Lapsus Jannah
Lapsus Jannah
“SKLERITIS”
Oleh :
Konsulen Pembimbing
dr. Yetrina, Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE 2022
BAB I
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IR
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 53 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Falajawa 2
Pekerjaan : Guru
No. RM : 0320397
Tanggal Pemeriksaan : 23 November 2022
Tempat Pemeriksaan : RSUD Dr. Chasan Boesoirie Ternate
DPJP : dr. Yetrina, Sp.M
A. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri pada mata kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Dr.
Chasan Boesoirie Ternate dengan keluhan mata kanan yang terasa nyeri,
memerah dan berair sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh nyeri dirasakan
jika menggerakkan matanya. Selain itu pasien mengeluhkan penglihatannya
agak sedikit terganggu. Tidak ada keluhan gatal, tidak terdapat kotoran mata.
Riwayat penggunaan kacamata minus (+). Kacamata baca (-) Riwayat pegal
pegal pada sendi (-).
B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8 C
Status Oftamologi
Visus :
OD VISUS OS
20/25 Visus jauh tanpa koreksi 20/25
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Visus jauh dengan koreksi
- -
Terbaik
Tidak dilakukan Visus dekat Tidak dilakukan
- Koreksi -
Segmen Anterior :
OD PEMERIKSAAN OS
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)
Blefarospasme (-) Palpebra Blefarospasme (-)
Lagoftalmus (-) Lagoftalmus (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Tumbuh Teratur Tumbuh Teratur
Trichiasis (-) Silia Trichiasis (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)
Tekanan Intraokuler
METODE
PEMERIKSAAN
OD OS
TEKANAN
INTRAOKULER
Tidak dilakukan Palpasi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Indentasi Schiotz Tidak dilakukan
D. DIAGNOSIS
OD skleritis noduler
E. DIAGNOSIS BANDING
Episkleritis
F. PENATALAKSANAAN
- P pred ED 1 tts/8 jam OD
- Noncort ED 1 tts/8 jam OD
- Ibuprofen 400 mg 2x1 tab
- Ranitidin 2x1 tab
G. PROGNOSIS
- Quad Ad Vitam : Bonam
- Quad Ad Sanam : Dubia ad bonam
- Quad Ad Functionam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada
garis ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior
mencapai 1 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang
rentan tersobek karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada
bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio otot rektus.2
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera
membentuk lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut
sebagai lamina kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut
sebagai emissaria. Pada sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh
arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat
jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan untuk pembuluh
darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.2
Gambar 2. Sklera
B. DEFINISI
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai
oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan
adanya vaskulitis.3
C. ETIOLOGI
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin
terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya
operasi pterigium.3
D. Patofisiologi
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat
menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme
menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan
oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas
tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).5
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi
lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan
dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang
memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor
dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui
reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas
lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu
maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi
dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan
kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama
dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast
melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil
mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering
dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis
dan glomerulonefritis.6
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas
yang disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut
juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel
jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan
menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,
kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan.
Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin
untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal
ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan
makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48 – 72
jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis.
Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari
pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.6
E. KLASIFIKASI
F. Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
a. Anamnesis
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa
berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun
dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis
disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat
abnormal.1,9,10
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis
seperti :10
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular disorder.
Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi
kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses
kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa kasus.
3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
6. Post pembedahan pada mata
7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan
di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
o
Pemeriksaan slit – lamp11
Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.
anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera
terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan
o
Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai
episklera.
Pemeriksaan skleritis posterior
proptosis.
o
Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papil edema, lipatan koroid,
suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi
onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan
penglihatan.
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna
merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau
ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat
menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,
melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5%
topikal.
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan
pemberian fenilefrin 2,5% topikal.
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
I. Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.
skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta
konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang
menyertai.
jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
o Necrotizing scleritis
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah
atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan
hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau
poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada
kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama
pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea atau telah terjadi
perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum, atau material
lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada ulkus kornea
J. Komplikasi
1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.
118-20
2. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
3. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.
Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73
4. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
5. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and
Scleritis: Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469–476
6. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-
Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with
Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
7. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile
and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye
Care Center of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
8. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and
scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9
9. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch Ophthalmol.
2008;126(5):651-655
10. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o
Congress Catalog. 1988; 111-6
11. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-
Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with
Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
12. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58