Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

“SKLERITIS”

Oleh :

Nurmar Atil Jannah M


10119210046

Konsulen Pembimbing
dr. Yetrina, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE 2022
BAB I
IDENTITAS PASIEN

 Nama : Ny. IR
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 53 Tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Falajawa 2
 Pekerjaan : Guru
 No. RM : 0320397
 Tanggal Pemeriksaan : 23 November 2022
 Tempat Pemeriksaan : RSUD Dr. Chasan Boesoirie Ternate
 DPJP : dr. Yetrina, Sp.M

A. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri pada mata kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Dr.
Chasan Boesoirie Ternate dengan keluhan mata kanan yang terasa nyeri,
memerah dan berair sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh nyeri dirasakan
jika menggerakkan matanya. Selain itu pasien mengeluhkan penglihatannya
agak sedikit terganggu. Tidak ada keluhan gatal, tidak terdapat kotoran mata.
Riwayat penggunaan kacamata minus (+). Kacamata baca (-) Riwayat pegal
pegal pada sendi (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


- Keluhan yang sama : Disangkal
- Penyakit ginjal : (+) pasien lupa sejak kapan.
- Hipertensi : Disangkal
- Diabetes Melitus : Disangkal
- Riwayat Operasi : Disangkal
- Alergi : Disangkal
4. Riwayat Pengobatan : Disangkal

5. Riwayat Kesehatan Keluarga


- Keluhan yang sama : Disangkal
- Hipertensi : Disangkal
- Diabetes Melitus : Disangkal
- Penyakit Mata : Disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang PNS

B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,8 C
Status Oftamologi
 Visus :

OD VISUS OS
20/25 Visus jauh tanpa koreksi 20/25
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Visus jauh dengan koreksi
- -
Terbaik
Tidak dilakukan Visus dekat Tidak dilakukan
- Koreksi -

- Visus dekat dengan koreksi -

- Distansia pupil (mm) -

 Segmen Anterior :

OD PEMERIKSAAN OS
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)
Blefarospasme (-) Palpebra Blefarospasme (-)
Lagoftalmus (-) Lagoftalmus (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Tumbuh Teratur Tumbuh Teratur
Trichiasis (-) Silia Trichiasis (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)

Normal Apparatus lakrimalis Normal

Hiperemis (+) Hiperemis (-)


Injeksi silier (-) Konjungtiva Injeksi silier (-)
Injeksi Konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)

Hiperemis Sklera Hiperemis (-)


(+) ,nodul (+)
Jernih Kornea ( tes sensitivitas dan
Jernih
fluoresens jika ada )
Kedalaman normal
Kedalaman normal BMD
Jernih
jernih
Coklat, kripte iris Coklat, kripte iris
Iris
Jernih
Jernih
Bulat di central, Bulat di central,
Pupil
diameter ±3 mm diameter ±3 mm
Refleks cahaya Refleks cahaya
langsung (+) Refleks langsung (+)
Reflek cahaya
cahaya tidak langsung Refleks cahaya tidak
langsung/tidak langsung
(+) langsung (+)

Relative afferent pupillary


Tidak diperiksa Tidak diperiksa
defect (RAPD)

Jernih Lensa Jernih

 Tes Kesejajaran Bola Mata


- Corneal reflex/ Hirschberg test : Tidak dilakukan
- Cover test : Tidak dilakukan
- Pergerakan Bola Mata : ODS ke segala arah

 Tes Lapang Pandang


- OD : Normal
- OS : Normal

 Pergerakan Bola Mata : OD OS


Ke segala arah Ke segala arah

 Tekanan Intraokuler
METODE
PEMERIKSAAN
OD OS
TEKANAN
INTRAOKULER
Tidak dilakukan Palpasi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Indentasi Schiotz Tidak dilakukan

 Segmen Posterior (Funduskopi) : Tidak dilakukan


C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

D. DIAGNOSIS
OD skleritis noduler

E. DIAGNOSIS BANDING
Episkleritis

F. PENATALAKSANAAN
- P pred ED 1 tts/8 jam OD
- Noncort ED 1 tts/8 jam OD
- Ibuprofen 400 mg 2x1 tab
- Ranitidin 2x1 tab

G. PROGNOSIS
- Quad Ad Vitam : Bonam
- Quad Ad Sanam : Dubia ad bonam
- Quad Ad Functionam : Dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sklera


Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan
terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah
jendela membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat
konjungtiva untuk menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan
fibrosa dengan ketebalan 10 – 14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta
mengandung otot halus.1 Sklera berfungsi untuk melindungi struktur bola mata
yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata.

Gambar 1. Anatomi Bola Mata

Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada
garis ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior
mencapai 1 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang
rentan tersobek karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada
bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio otot rektus.2
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera
membentuk lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut
sebagai lamina kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut
sebagai emissaria. Pada sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh
arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat
jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan untuk pembuluh
darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.2
Gambar 2. Sklera

B. DEFINISI
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai

oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan

adanya vaskulitis.3

C. ETIOLOGI
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses

imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III

(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin

terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya

tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak dan

operasi pterigium.3
D. Patofisiologi

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50


persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang
menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing
spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's
granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.4

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat
menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme
menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan
oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas
tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).5

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi
lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan
dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang
memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor
dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui
reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas
lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu
maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi
dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan
kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama
dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast
melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil
mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering
dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis
dan glomerulonefritis.6
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas
yang disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut
juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel
jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan
menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,
kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan.
Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin
untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal
ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan
makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48 – 72
jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis.
Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari
pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.6

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu


deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler
(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada
skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.

E. KLASIFIKASI

Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe


dari skleritis anterior adalah:7

1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada


seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul
radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior.
Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit
sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada
sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai
sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien
yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh
pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai
skleromalasia perforans.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi


dari nodul
Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior
ini jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.
Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata
(koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai
penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.7,8

F. Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.9

a. Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan

penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun

riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.

Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan

penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri

adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi

yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf

akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa

berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun

sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara

dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis

tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa

disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat

berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang

abnormal.1,9,10
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis
seperti :10
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular disorder.
Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi
kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses
kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa kasus.
3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
6. Post pembedahan pada mata
7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.

b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi



Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan
tajam penglihatan.
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o
Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

Pemeriksaan Sklera
o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan,

akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan

aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area


tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih

di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

o
Pemeriksaan slit – lamp11

Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental.

Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.

Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera

dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi

anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera

dan sklera edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya

terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan

pada jaringan dalam episklera.

o
Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai

jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan

episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular

pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau

konjungtivitis juga dapat dilakukan.


Pemeriksaan skleritis posterior

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan

proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.

Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o
Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papil edema, lipatan koroid,

dan perdarahan atau ablasio retina.


G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya


akumulasi cairan pada kapsul tenon
H. Diagnosa Banding
a. Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak

antara konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan

suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi

secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata,

terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit

reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada


episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera,

yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai

onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan

skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam

penglihatan.

Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa

mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada

episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna

merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau

ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat

menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan

melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini

dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,

melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5%

topikal.
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan
pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.

I. Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.

Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan

pengobatan yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi

skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta

konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang

menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid,


atau obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal

saja tidak mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis,

respon pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

2. Diffuse scleritis atau nodular scleritis

 Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2

jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga

misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

 Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,

dipertahankan menggunakan NSAIDs.

 Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat

digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga

digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau

cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegener’s granulomatosis atau

polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

 Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator seperti

infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

 Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada

bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.

 Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.


Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah

proses nekrosis yang terjadi.

3. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau

tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan

imunosupresif tidak boleh digunakan.


4. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit

penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk

pengawasan terapi imunosupresif.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera

atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan

hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau

poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada

skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi

kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama

pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea atau telah terjadi

perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum, atau material

lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada ulkus kornea

yang berat atau keratolisis.12

J. Komplikasi

Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular


edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior
sampai koroid, retina, dan saraf optik. Makular edema dapat mengakibatkan
penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga
dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat
kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan
tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma.
Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina,
keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30%
kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus
skleritis posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis
anterior.2Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda.
K. Prognosis

Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan


penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit
penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya
mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan
meninggal dalam 8 tahun.9
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien ini berdasarkan hasil anamnesis didapatkan seorang


perempuan usia 53 tahun datang dengan keluhan dengan keluhan mata kanan
yang terasa nyeri, memerah dan berair sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh
nyeri dirasakan jika menggerakkan matanya. Selain itu pasien mengeluhkan
penglihatannya agak sedikit terganggu. Tidak ada keluhan gatal, tidak terdapat
kotoran mata. Riwayat penggunaan kacamata minus.

Pada pemeriksaan status oftalmologi didapatkan, pada pemeriksaan


visus dekat didapatkan mata kiri 20/25 dan mata kanan adalah 20/25 . Pada
sklera tampak hiperemis dan terdapat nodul. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan status oftalmologi yang telah dilakukan didapatkan gejala-gejala
yang sesuai dengan diagnosis dari skleritis. Pada kasus ini gejala yg dialami
yaitu keluhan mata kanan yang terasa nyeri, memerah dan berair sejak 3 hari
yang lalu. Pasien mengeluh nyeri dirasakan jika menggerakkan matanya.
Selain itu pasien mengeluhkan penglihatannya agak sedikit terganggu, dengan
sklera yang tampak hiperemis dan terdapat nodul.

Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan P pred ED. Kortikosteroid


mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna untuk mengurangi peradangan.
Noncort ED adalah obat yang memiliki efek anti inflamasi dan analgesik.
ibuprofen 400 mg obat golongan NSAID yang dapat meredakan inflamasi dan
nyeri . Ranitidin obat yang berguna untuk perlindungan gastrointestinal.
Pengobatan ini sesuai dengan teori dari penatalaksanaan skleritis.
BAB IV
KESIMPULAN

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh


destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya
vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun
ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan
menjadi episkleritis, skleritis anterior dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis
dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Terapi skleritis meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi
berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif,
proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis skleritis tergantung pada penyakit
penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.
118-20

2. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
3. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.
Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

4. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
5. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and
Scleritis: Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469–476
6. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-
Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with
Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
7. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile
and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye
Care Center of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
8. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and
scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9
9. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch Ophthalmol.
2008;126(5):651-655
10. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o
Congress Catalog. 1988; 111-6

11. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-
Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with
Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
12. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58

Anda mungkin juga menyukai