Anda di halaman 1dari 28

BAB 4 KONSEP PENGEMBANGAN

4.1 Konsep Dasar


Pengembangan Desa
Konsep perencanaan
pengembangan desa mencakup 5 dimensi
sebagai pilar utama yaitu menyangkut tata
ruang desa, perekonomian desa, sosial
budaya desa, mitigasi bencana, lingkungan hidup.

Tata ruang desa : rehabilitasi, rekonstruksi dan pengembangan desa. Selain itu, juga
mampu menampung pertumbuhan ruang di masa datang secara fleksibel dan mampu
menampung kebutuhan perbaikan struktur tata ruang desa melalui konsolidasi lahan (jika
diperlukan).
Perekonomian Desa : meningkatkan penghidupan masyarakat dan pembangunan sarana
ekonomi berbasis potensi lokal, pengembangan usaha mikro, kelembagaan ekonomi
dikaitkan dengan sumber daya manusia.
Sosial Budaya Desa : pembangunan pendidikan, sosial dan penguatan adat istiadat
setempat dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat yang melibatkan segenap
lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok anak-anak pemuda dan wanita.
Mitigasi bencana : penataan ruang desa dengan fungsi khusus yaitu mitigasi bencana,
berupa pembangunan daerah daerah yang rawan bencana dan tempat tempat yang
digunakan untuk penampungan evakuasi warga ketika terjadi bencana.
Lingkungan hidup : penataan lingkungan yang menjaga keseimbangan holistik antara
kawasan budidaya dengan kawasan lindung dalam upaya menjaga kelestarian
penghidupan sebagian besar masyarakat. Penataan dilakukan juga terhadap pengelolaan
di sektor pertanian, termasuk perkebunan, perikanan, kehutanan untuk meminimalisir
ketidakseimbangan ekosistem.

4.2 Strategi Pembangunan Pedesaan


Usman (2004), menyatakan ada 4 strategi pembangunan yang dapat dilaksanakan di
pedesaan, yaitu pembangunan pertanian, industrialisasi pedesaan, pembangunan masyarakat
desa terpadu melalui pemberdayaan, dan strategi pusat pertumbuhan. Kesemua strategi
pembangunan ini tidak dapat dilaksanakan secara parsial, melainkan sebuah strategi
menyeluruh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam rangka mencapai kemajuan di
wilayah pedesaan. Semakin maju wilayah pedesaan maka akan mengurangi ketimpangan
antara kota dan desa. Hal ini juga hanya akan dapat tercapai apabila para pengambil
keputusan di pedesaan baik kepala desa, lurah, dan camat mampu memahami makna
pembangunan pedesaan dan mampu menjalin hubungan komunikasi dengan masyarakat desa
serta jajaran pemerintahan di atasnya. Dengan kata lain, pembangunan pedesaan harus
melibatkan berbagai pihak agar tercapai pembangunan yang maksimal.

Pembangunan pertanian di seleruh wilayah pedesaan di Indonesia sangat penting dari


keseluruhan pembangunan nasional. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya
pembangunan pertanian adalah sebagai berikut : 1) potensi sumber dayanya yang besar dan
beragam, 2) pangsa terhadap pendapatan nasional maupun pendapatan bagi masyarakat desa
besar, 3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, khususnya
penduduk desa, 4) peranannya yang besar dalam menyediakan pangan bagi masyarakat
nasional, khususnya bagi masyarakat desa sekitar, 5) dan menjadi basis pertumbuhan di
pedesaan. Semakin maju dan pesat pembangunan pertanian di pedesaan maka
ketergantungan bahan pangan dari luar negeri dapat dihilangkan. Masyarakat desa yang
mampu meningkatkan produktivitas pertaniannya sudah tentu akan mempunyai peningkatan
pendapatan, sebab hasil pertanian dapat dijual ke berbagai daerah (Hanani dkk, 2003). Dengan
demikian kesejahteraan masyarakat desa akan meningkat.
Pembangunan masyarakat desa melalui pemberdayaan juga tidak kalah pentingnya
dengan pembangunan pertanian. Makna pembangunan masyarakat desa melalui
pemberdayaan adalah bagaimana membangun kelembagaan sosial ekonomi yang mampu
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapat lapangan kerja dan pendapatan
yang layak, martabat dan eksistensi pribadi, kebebasan menyampaikan pendapat,
berkelompok dan berorganisasi, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat empat strategi yang diperlukan dalam
pemberdayaan masyarakat, 1) membangun kelembagaan sosial masyarakat yang dapat
memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang berasal
dari pemerintah dan dari masyarakat sendiri untuk meningkatkan status kesehatan dan
kesejahteraan sosial, martabat dan keberadaan serta memfasilitasi partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan pembangunan, 2) mengembangkan kapasitas organisasi
ekonomi masyarakat untuk dapat mengelola kegiatan usaha ekonomi secara kompetitif dan
menguntungkan yang dapat memberikan lapangan kerja dan pendapatan yang layak, 3)
Meningkatkan upaya perlindungan/pemihakan bagi masyarakat dengan menciptakan iklim
ekonomi yang pro rakyat, pengembangan sektor ekonomi riil, dan memberikan jaminan sosial
kepada masyarakat yang memerlukan, 4) menciptakan iklim politik yang dapat membuka
kesempatan yang luas kepada masyarakat dalam melakukan interaksi dengan organisasi
politik, penyaluran aspirasi dan pendapat dan berorganisasi secara bertanggung jawab (Hanani
dkk, 2003).

Industrialisasi pedesaan. Tujuan utama program industrialisasi pedesaan adalah


mengembangkan industri kecil dan kerajinan. Industrialisasi pedesaan merupakan alternatif
yang sangat strategis bagi upaya menjawab persoalan semakin menyempitnya rata-rata
pemilikan dan penguasaan lahan di pedesaan serta keterbatasan elastisitas tenaga kerja
(Usman, 2004).

Strategi pusat pertumbuhan. Strategi ini adalah sebuah cara alternatif yang diharapkan
dapat memecahkan masalah ketimpangan antara kota dan desa. Cara yang ditempuh adalah
membangun atau mengembangkan sebuah pasar di dekat desa. Pasar ini difungsikan sebagai
pusat pertumbuhan hasil produksi desa, sekaligus sebagai pusat informasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kehendak konsumen dan kemampuan produsen. Pusat pertumbuhan seperti
ini perlu diupayakan agar secara sosial tetap dekat dengan desa, tetapi secara ekonomi
mempunyai fungsi dan sifat seperti kota. Dengan demikian, pusat pertumbuhan ini di samping
secara langsung dapat menjawab berbagai persoalan pemasaran atau distribusi hasil produksi
pertanian, juga dapat dikelola sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masyarakat desa
(Usman, 2004).

4.3 Konsep Pengembangan Infrastruktur


Pembangunan masyarakat desa yang sekarang disebut juga dengan nama
pemberdayaan masyarakat desa pada dasarnya serupa dan setara dengan konsep
pengembangan masyarakat (community development atau CD). Menurut Schlippe pada
mulanya teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori
pembangunan desa itu dimulai dari praktik, yaitu dari kebutuhan yang dirasakan di dalam
masyarakat terutama dalam situasi social yang dihadapi didalam Negara-negara yang
menghadapi perubahan sosial yang cepat. Secara teoritis, agar suatu desa berkembang dengan
baik, maka teradapat tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan, yaitu: (1) desa (dalam bentuk
wadah); (2) masyarakat desa; dan (3) pemerintahan desa. Masyarakat desa, adalah penduduk
yang merupakan kesatuan masyakarat yang tinggal pada unit pemerintahan terendah langsung
dibawah camat. Sementara itu, pemerintah desa, adalah kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintah yang terendah
langsung dibawah kepala desa.

Dalam upaya mengembangkan masyarakat di tingkat local, baik organisasi pemerintah


maupun nonpemerintah, selain dibantu oleh tenaga pendamping (fieldworker atau fasilitator
lapangan) biasanya dibantu oleh tanaga kader (indigenous worker). Kader diharapkan dapat
menggantikan peranan petugas pembangunan desa dalam melanjutkan kegiatan-kegiatan
pembangunan desa. Kader adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat setempat yang
dengan sukarela bersedia ikut serta dalam pelaksanaan berbagai kegiatan dalam program
pembangunan desa. Kader dapat terdiri dari wanita atau pria, tua maupun muda, sudah
bekerja ataupun belum bekerja, yang penting mereka merasa terpanggil, ada kesediaan dan
kesadaran untuk ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di lingkungannya.

Kader dapat melaksanakan kegiatan di bidang pertanian; peternakan; kesehatan;


pendidikan; dan lain-lain, setelah memperoleh latihan secukupnya. Tugas seorang kader pada
intinya adalah: (1) sebagai pelopor dalam melaksanakan kegiatan; (2) pelaksana dan
pemelihara kegiatan program pembangunan desa; (3) menjaga terjadinya kelangsungan
kegiatan; dan (4) membantu dan menghubungkan antara warga masyarakat dan lembaga-
lembaga yang bekerja dalam bidang pembangunan desa.
Melakukan pembangunan perdesaan berarti mempersiapkan seluruh kebutuhan
masyarakat yang diindikasikan oleh potensi masyarakat. Potensi masyarakat bersifat
kompherehensif. Masyarakat lokal dalam perjalanan waktu harus mengembangkan suatu asset
yang menjadi suatu sumberdaya ataupun potensi bagi komunitas tersebut dalam rangka
menghadapi perubahan yang terjadi. Beberapa asset yang harus dimiliki masyarakat sebagai
hasil dari pembangunan perdesaan dan pengembangan masyarakat mencakup aset yang
diasumsikan terkait dengan upaya pengembangan modal fisik (physical capital), modal
financial (financial capital), modal lingkungan (environmental capital), modal teknologi
(technological capital), modal manusia (human capital), dan modal social (social capital).

Pembangunan infrastruktur perdesaan merupakan pendekatan terbaru dari beberapa


konsep pembangunan perdesaan yang telah ada sebelumnya. Pembangunan infrastruktur
perdesaan mempunyai beberapa karakteristrik. Pertama adalah adanya aktivitas proyek
infrastruktur desa yang cukup positif dalam membantu aksesibilitas masyarakat di bidang
sosial-ekonomi dan layak dikembangkan lebih lanjut dalam mendorong pertumbuhan wilayah
perdesaan. Kedua, kehadiran infrastruktur perdesaan yang berbasiskan pada kebutuhan
masyarakat harus mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan masyarakat
perdesaan. Ketiga, infrastruktur perdesaan dibangun dengan memperhatikan nilai-nilai
masyarakat yang hidup di perdesaan dan oleh karena itu pendekatan pengembangan
masyarakat (community development) merupakan salah satu ciri melekat berikutnya yang
harus terintegrasi dalam pembangunan infrastruktur perdesaan. Keempat adalah karakter
terakhir pembangunan infrastruktur perdesaan yaitu melibatkan kelompok fasilitator
pengembangan perdesaan yang mempunyai bisnis inti dalam pemberdayaan masyarakat.
Biasanya kelompok-kelompok fasilitator pengembangan perdesaan ini adalah mereka yang
bergiat dalam pemberdayaan masyarakat sebagai cara memaksimalkan proses, output dan
outcome pembangunan perdesaan. Lembaga pengembangan swadaya masyarakat yang
bersumberkan dari warga desa setempat seringkali merupakan pilihan dalam pelaksanaan
sebagai mitra/fasilitator pembangunan perdesaan, dan bukan para kontraktor atau konsultan
perusahaan besar.

Pembangunan infrastruktur perdesaan mempunyai cakupan fungsional dan


kemasyarakatan yang tinggi, artinya bahwa infrastruktur perdesaan yang dibangun harus
dibangun dengan memperhatikan kondisi sosiobudaya masyarakat. Jika masyarakat di suatu
desa pola sosiobudayanya adalah masyarakat pertanian maka infrastruktur perdesaan harus
mengikuti pola tersebut sebagai dan menjadi infrastruktur yang mendukung sektor pertanian
sebagai kegiatan utama masyarakat perdesaan. Pembangunan infrastruktur perdesaan akan
semakin efektif dalam mendorong pembangunan masyarakat dan wilayah pedesaan manakala
diikuti dengan kegiatan penguatan kelembagaan masyarakat, peningkatan perekonomian
rakyat untuk mendorong kesejahteraan, dan peningkatan aspek pengorganisasian masyarakat.
Termasuk mulai memperhatikan program infrastruktur lingkungan di masyarakat seperti
pengolahan limbah, perlindungan sumber air, dan sejenisnya.

4.4 Perkembangan Ekonomi Kawasan Perdesaan


Kawasan Perdesaan memiliki peran yang penting dalam mendukung pembangunan
nasional. Kemandirian pembangunan kawasan perdesaan merupakan salah satu pendekatan
dalam pembangunan kawasan perdesaan dalam mendorong perkembangan ekonomi di
kawasan desa dengan memanfaatkan potensi yang ada di wilayah tersebut. Perkembangan
ekonomi kawasan perdesaan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan kawasan
perdesaan terhadap kota, dan menguatkan peran desa sebagai pusat produksi dan kebutuhan
sumberdaya pembangunan. Membangun hubungan keterkaitan antar desa-kota juga
merupakan salah satu cara yang ditempuh sebagai suatu upaya pembangunan wilayah
perdesaan, dimana peran desa dikuatkan sebagai pusat produksi dan sumberdaya. Keterkaitan
tersebut dapat mengurangi ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan,
dan mengurangi angka urban masyarakat dari desa ke kota. Diharapkan pola tersebut
mendorong perkembangan ekonomi desa dan mendorong permerataan ekonomi antara desa
dan kota. Dalam hubungan yang lebih intensif, hubungan desa-kota tersebut dapat berupa
interaksi spasial antar subsistem rantai agribisnis/agroindustri (Rustadi, 2007).

Dalam mengukur perkembangan ekonomi kawasan perdesaan, Adisasmita (2006)


menawarkan beberapa pendekatan. Adapun beberapa pendekatan dalam mengukur
perkembangan ekonomi kawasan perdesaan adalah sebagai berikut:

A. Pendapatan Desa Per Kapita Pendapatan desa perkapita digunakan sebagai salah
satu pendekatan untuk melihat proporsi pendapatan suatu desa terhadap jumlah penduduk
desa. Pendapatan desa menggunakan prinsip pendapatan domestik bruto, dihitung dengan
jumlah produksi total. Jumlah produksi total tersebut dikonversi dalam nilai total rupiah dan
dibagi dengan jumlah pendapatan. Dalam penelitian ini, mengingat variabel pertumbuhan
penduduk yang sedikit, maka digunakan pendekatan neraca sumberdaya ekonomi lahan.

B. Pendapatan Masyarakat Pendapatan masyarakat dalam pendekatan Adisasmita


(2006) terkait dengan ketimpangan pendapatan yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain,
perkembangan ekonomi perdesaan harus diikuti oleh pemerataan pendapatan di masyarakat.
Dalam keadaan ekstrim dimana pendapatan terdistribusi secara merata, 40 persen populasi
terbawah akan menerima 40 persen pendapatan, dan 20 persen populasi teratas menerima 40
persen total pendapatan. Dalam penelitian ini, aspek pendapatan dilihat berdasarkan distribusi
pendapatan pada masing-masing kelompok penduduk yang terdampak oleh pembangunan
infrastruktur karena infrastruktur yang dibangun merupakan infrastruktur dengan pelayanan
tersier sehingga diduga tidak memberikan dampak secara menyeluruh terhadap kawasan desa.

C. Diversifisikasi Ekonomi Diversifikasi ekonomi atau perubahan struktur


perekonomian daerah perdesaan dilihat berdasarkan perubahan struktur ekonomi perdesaan.
Dalam beberapa dekade terakhir, perluasan kawasan perkotaan dan pembukaan akses
kawasan perdesaan mengubah struktur ekonomi kawasan perdesaan tidak lagi berat pada
sektor pertanian. Hal tersebut tampak pada kawasan-kawasan perdesaan yang mempunyai ciri
perkotaan, atau biasa disebut sebagai desa kota.

4.4.1 Pendapatan Perkapita dan Neraca Sumberdaya Ekonomi Lahan

Neraca sumberdaya lahan merupakan model penghitungan nilai ekonomi yang dapat
dihasilkan oleh masing-masing lahan. Pendapatan perkapita yang mengkonversi jumlah
pendapatan total terhadap jumlah penduduk disesuaikan dengan kondisi wilayah penelitian
dan variabel infrastruktur, sehingga digunakan model penghitungan neraca ekonomi
sumberdaya lahan. Model neraca ekonomi sumberdaya lahan mampu menunjukkan nilai
ekonomi masing-masing blok lahan, sehingga dapat dilihat keterkaitannya terhadap
pembangunan infrastruktur. Menurut Suhardjo (2008), sumberdaya lahan merupakan modal
utama pembangunan daerah.

Pemanfaatan sumberdaya lahan dilaksanakan dengan menyesuaikan aspek ekonomi


dan kelestarian secara berimbang. Berdasarkan perhitungan neraca sumber daya lahan, dapat
dilihat nilai ekonomi suatu lahan dengan pada periode waktu tertentu. Nilai ekonomi suatu
lahan dipengaruhi oleh nilai manfaat yang melekat pada lahan tersebut yang diciptakan oleh
akses, sumber daya yang dimiliki, serta aspek lain seperti lokasi. Pembangunan infrastruktur
dan masuknya teknologi dapat berdampak pada bertambahnya nilai guna lahan.
Pembangunan irigasi pada kawasan perdesaan yang berbasis pada sektor pertanian
menyebabkan naiknya kemampuan produksi baik produktivitas maupun frekuensi produksi.
Berdasarkan penghitungan neraca ekonomi lahan sawah, nilai ekonomi lahan sawah
berbanding lurus terhadap luas lahan, produktivitas, frekuensi, serta harga satuan. Dengan
membandingkan terhadap progarm pembangunan infrastruktur di perdesaan, dapat dilihat
apakah infrastruktur yang dibangun memberikan tambahan nilai manfaat, yang dalam hal ini
adalah meningkatkan nilai ekonomi suatu lahan.

4.4.2 Diversifikasi Ekonomi Kawasan Perdesaan

Menurut Suhardjo (2008), struktur ekonomi perdesaan di Indonesia, khususnya di


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah berubah dalam tiga dasawarsa terakhir,
terutama apabila dilihat dari sisi pendapatan dan kesempatan kerja. Di DIY, investasi
infrastruktur perdesaan telah mendorong mobilisasi penduduk perdesaan utuk memperoleh
kesempatan kerja di desa-desa lain atau kota-kota lain dalam jarak jangkauannya untuk
berkomutasi. Akibatnya, pendapatan dari sektor non pertanian justru lebih tinggi dibandingkan
dengan sektor pertanian. Suhardjo mengemukakan bahwa diversifikasi perdesaan di DIY
memunculkan interpretasi baru terhadap kawasan perdesaan sebagai berikut: 1. Diversifikasi
perdesaan dipandang sebagai awal terjadinya marginalisasi ekonomi. Dalam pandangan ini,
diversifikasi perdesaan dianggap terjadi akibat tenaga kerja terlempar keluar dari sektor
pertanian tanpa ada faktor penarik dari pertanian. Di DIY, dengan karakteristik pertanian kecil,
pekerjaan non pertanian diambil dalam rangka memenuhi keanekaragaman pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan subsiten. 2. Diversifikasi perdesaan di Jawa dianggap sebagai akumulasi
kapital. Pandangan ini dinilai merupakan pandangan yang lebih optimis, dimana proses
akumulasi kapital merupakan pijakan untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih lanjut
(Svensson, 1991).

Davis (2003) menyebutkan ada enam faktor yang menentukan partisipasi dan
pendapatan rumah tangga non pertanian, yaitu : 1. Pendidikan dan ketrampilan, 2. Modal
sosial, 3. Etnitas dan kasta, 4. Dinamika gender, 5. Modal finansial, serta 6. Infrastruktur fisik
dan informasi. Sedangkan menurut Suhardjo, penelitian oleh Poaposangkron yang dilakukan di
Thailand, menunjukkan bahwa pertumbuhan pekerjaan di sektor non pertanian juga
dipengaruhi oleh pertumbuhan di sektor pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian yang positif
menunjukkan korelasi dengan berkembangnya sektor non pertanian yang produktif.
Sebaliknya, apabila pertumbuhan sektor pertanian negatif, maka petani miskin memasuki
sektor non pertanian dengan produktivitas yang rendah. Dalam pendekatan yang sederhana,
diversifikasi ekonomi perdesaan ini dapat dilihat dari sisi perubahan mata pencaharian
masyarakat. Perubahan mata pencaharian masyarakat memberikan gambaran respon
masyrakat terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi perekonomian setempat.
Berkembangnya sektor industri rumah tangga misalnya mengubah proporsi mata pencaharian
masyarakat dari petani menjadi buruh atau pedagang. Dari pandangan stuktur ekonomi,
terjadi perubahan struktur dimana sektor pertanian mulai ditinggalkan.

4.5 Pembangunan Infrastruktur dan Perkembangan


Ekonomi
4.5.1 Kebutuhan Akses Di Perdesaan

Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Perdesaan Suhardjo (2008) menggambarkan


bahwa keterbatasan akses merupakan salah satu dari karakteristik kemiskinan. Keterbatasan
aksesibilitas merupakan bagian dari lingkaran kemiskinan yang digambarkan Malassis (1975)
dalam Bahrum (1995). Rendahnya nilai manfaat menyebabkan rendahnya investasi fisik dan
material serta investasi modal yang berlanjut terhadap tidak tumbuhnya sektor perekonomian
yang menyebabkan kemiskinan. Dan peningkatan aksesibilitas merupakan salah satu cara
untuk memotong siklus tersebut. Peningkatan aksesibilitas dapat dilakukan dengan
meningkatkan mobilitas atau mendekatkan fasilitas yang dibutuhkan kepada masyarakat
(proksimitas).

Menurut Suhardjo (2008), pendekatan peningkatan aksesibilitas untuk kawasan


perdesaan khususnya dapat dilakukan melalui intervensi transportasi berupa pembangunan
dan peningkatan jaringan jalan desa, peningkatan pelayanan umum, maupun pembangunan
atau relokasi infrastruktur, serta peningkatan kualitas layanan. Jangkauan terhadap fasilitas
umum dianggap dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, dan secara tidak
langsung dapat meningkatkan perekonomian kawasan perdesaan. Akses terhadap kawasan
pemerintahan, fasilitas pendidikan, kesehatan, koperasi, bank, psasr, telekomunikasi dan
informasi, dan berbagai fasilitas lainnya dapat meningkatkan kesempatan kerja, peningkatan
kemampuan dan sumber daya manusia, serta meminimalisir unsur-unsur kerentanan yang
mungkin dihadapi akibat perangkap kemiskinan. Oleh karenanya, aksesibilitas dianggap
menjadi salah satu faktor penting untuk menjawab permasalahan kemiskinan yang ada.
Peningkatan aksesibilitas dapat mendukung 4 pilar strategi penanggulangan kemiskinan yang
umumnya terjadi di kawasan perdesaan yaitu : 1. Perluasan kesempatan, 2. Pemberdayaan
masyarakat miskin, 3. Peningkatan kemampuan (human capital), dan 4. Perlindungan sosial
(Suhardjo, 2008).
4.5.2 Pembangunan Infrastruktur Oleh Pemerintah Terhadap Perkembangan
Ekonomi

Infrastruktur dalam berbagai pendekatannya dapat menjadi pendorong perkembangan


wilayah baik secara ekonomi maupun spasial, maupun membatasi perkembangan suatu
wilayah. Secara ekonomi, peran infrastruktur sehingga dalam sebuah studi yang dilakukan di
Amerika Serikat oleh Aschauer pada tahun 1989 dan Munnell pada tahun 1990 menunjukkan
bahwa tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap perkembangan ekonomi, adalah
sebesar 60% Dikun (2003). Namun pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap
perkembangan ekonomi juga dipengaruhi oleh metode pelaksanaan pembangunan
infrastruktur tersebut. Pengaruh pembangunan infrastruktur oleh pemerintah terhadap
perkembangan ekonomi dianggap sebagai salah satu fenomena penting dalam perekonomian.
Kegiatan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah secara langsung maupun tidak langsung
memungkinkan terjadi peningkatan output melalui interaksi dengan sektor swasta.

Lin (1994) menjelaskan bahwa tingkat perkembangan yang tinggi dapat dicapai melalui
pengeluaran pemerintah pada tingkat yang tinggi pula. Sehingga perkembangan ekonomi
menjadi 23 berlipat dibandingkan pengaruh yang diberikan dari pembangunan infrastruktur
oleh masyarakat (swadaya) atau sektor privat (swasta). Namun Barro (1990) juga menegaskan
bahwa pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pengaruhnya tergantung jenis
investasinya. Pembangunan yang berdampak terhadap peningkatan nilai-nilai produksi dan
investasi yang menumbuhkan multiplier effect mempunyai pengaruh yang positif. Namun disisi
lain, terdapat bentuk investasi yang justru menghambat dari proses perkembangan ekonomi
yang telah ada. Infrastruktur selain dianggap sebagai katalis, juga berperan sebagai
penghambat.

Dalam beberapa kasus, faktor-faktor penghambat dilakukan dalam rangka membatasi


pertumbuhan suatu wilayah dengan membangun infrastruktur sebagai batas yang imaginer
seperti halnya jalan lingkar yang banyak dibangun di berbagai kota. Bentuk-bentuk
pembangunan infrastruktur yang berpengaruh langsung terhadap proses produksi misalnya
adalah pembangunan jaringan irigasi pada kawasan perdesaan pertanian. Keberadaan irigasi
dapat meningkatkan produksi pertanian yang secara langsung memberikan dampak terhadap
perkembangan ekonomi kawasan. Dampak lainnya adalah naiknya nilai aset akibat dari
pembangunan infrastruktur. Infrastruktur dapat meningkatkan nilai ekonomi suatu lahan yang
diukur sebagai pertambahan nilai aset. Selain itu, infrastruktur yang meningkatkan aksesibilitas
masyarrakat terhadap fasilitas juga dinilai sebagai nilai tambah ekonomi. Peningkatan nilai
akses menyebabkan masyarakat lebih mudah mendapatkan pelayanan pendidikan dan
kesehatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Dalam studi investasi
sumber daya manusia, Schultz (1961) menuturkan peningkatan sumber daya manusia
menjadikan manusia memiliki lebih banyak pilihan untuk terciptanya peningkatan
kesejahteraan. Kesehatan dan pendidikan bukan merupakan sekedar input fungsi produksi
namun juga merupakan tujuan pembangunan yang fundamental (Sjafii, 2009).

4.6 Kerangka Konsep dan Target Pentahapan


Kerangka konsep dari penyusunan masterplan ini adalah sebagai berikut:

Sedangkan pentahapan yang menjadi skenario dalam mendapatkan output yang


maksimal adalah sebagai berikut:

4.7 Skenario Pengembangan Distrik Momiwaren


Seperti yang sudah dijelaskan pada bab metodologi, bahwa pada konsep ini akan
terbagi menjadi konsep makro kawasan dan konsep mikro kawasan. Konsep makro kawasan
merupakan konsep pengembangan kawasan yang bersifat jangka panjang dimana fokus
pengembangannya pada sektor-sektor sentral yang menjadi trigger dalam menggerakkan
perekonomian di Distrik Momi Waren.

Sedangkan konsep mikro kawasan merupakan suatu konsep jangka pendek dimana
lebih difokuskan pada penyediaan dan peningkatan capaian sarana prasarana infrastruktur
permukiman di Distrik Momi Waren dimana konsep mikro ini merupakan tujuan utama pada
penyusunan kajian ini.

Untuk lebih jelasnya mengenai konsep pengembangan kawasan strategis cepat


tumbuh Distrik Momi Waren dapat dilihat pada uraian berikut ini.

4.7.1 Konsep Makro Kawasan

Konsep makro kawasan menitikberatkan pada pengembangan kawasan sesuai dengan


kebijakan beserta konsep awal mengenai harapan adanya kawasan strategis cepat tumbuh
terhadap wilayah sekitarnya.

Dasar pertimbangan adanya Permendagri Nomor 29 Tahun 2008 tentang


Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah antara lain:

Dalam rangka mendorong percepatan pengembangan kawasan yang berpotensi sebagai


pusat pertumbuhan wilayah, mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan
mendorong pertumbuhan daerah tertinggal dan perbatasan perlu dilakukan upaya
pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh di daerah. Diharapkan dengan adanya
studi ini, dapat menjadi bahan masukan untuk mengembangkan Distrik Momi Waren
serta mengembangkan potensi-potensi unggulan di Distrik Momi Waren.

bahwa dalam pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh di daerah, perlu


mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan komparatif dan kompetitif produk unggulan
daerah dan daya tarik kawasan di pasar domestik dan internasional;

bahwa untuk mengembangkan kawasan strategis cepat tumbuh di daerah, diperlukan


langkah yang terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan sesuai arah kebijakan
pembangunan nasional dan daerah, sehingga dalam penyusunan kajian ini, program-
program yang disusun harus melakukan kajian sinkronisasi dengan arah kebijakan
pembangunan di daerah.

Berdasarkan pasal 3 Permendagri Nomor 229 Tahun 2008 tentang Pengembangan


Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah, Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh
di daerah provinsi/kabupaten/kota bertujuan :

meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk unggulan di kawasan;

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan;

mendorong peningkatan kerjasama pembangunan antar wilayah secara fungsional, dan


antar daerah yang relatif sudah berkembang dengan daerah tertinggal di sekitarnya dalam
suatu keterpaduan sistem wilayah pengembangan ekonomi; implikasi pasar yang ada di
Distrik Momi Waren dapat menjadi pasar tradisional perkulakan kecil.

mengoptimalkan pengelolaan potensi sumberdaya spesifik daerah


provinsi/kabupaten/kota bagi peningkatan perekonomian daerah dan kesejahteraan
masyarakat, yang berwawasan kelestarian lingkungan; dan

menciptakan perwujudan keterpaduan, keseimbangan dan keserasian pertumbuhan antar


wilayah.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah
ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan
batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain
saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan
pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen
biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan.
Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-
sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al.,
2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori,
yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region);
dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan
klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan
perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: 1). fase pertama yaitu wilayah
formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu
wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi,
ekonomi, sosial dan politik. 2). fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan
koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah
tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-
satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3). fase
ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-
keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang
antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab
“wālā-yuwālī-wilāyah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling
berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand,
hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan
fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan
pengembangan/ pembangunan/ development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan
lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4)
kemandirian; dan (5) keberlanjutan.

Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan


kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non
alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah
perencanaan.

Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk


menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian
aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005),
pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang
mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi
dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan
dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi
pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan
kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic
need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan
(suistainable development).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat


beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah
serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan.
Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan
akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003).
Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih
rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang,


Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam
pengembangan wilayah adalah :

Sebagai growth center

Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan
sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah
sekitarnya, bahkan secara nasional.

Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan


menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-
daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi
perencanaan pengembangan kawasan.

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan


diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat
dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya
(Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003)

Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (1933) dan dikenal
sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan
kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat
permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan
pertumbuhan kota (tempat pemusatan) tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan
timbulnya pusat-pusat pelayanan: (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan
sumberdaya, (3) kekuatan aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.

Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949
oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran
gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Rondinelli (1985) dan Unwin (1989)
dalam Mercado (2002) bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa
pemerintah di negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat
kota.

Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar
bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan
menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke
pedesaan. Menurut Stohr (1981) dalam Mercado (2002), konsep pusat pertumbuhan mengacu
pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa
sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu,
yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect)
pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan
urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor
industri).

Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin


ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect
atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai
dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah
seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki
perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar.

Konsep dan arahan terhadap sektor-sektor yang menjadi prime mover dalam
pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh Distrik Momi Waren Kabupaten
Manokwari Selatan adalah sebagai berikut:

4.7.1.1 Pengembangan Industri


Arahan pengembangan sentra industri secara umum adalah dapat dijelaskan di bawah
ini. Arahan pengembangan disesuaikan tiap-tiap faktor yang berpengaruh dalam
pengembangan sentra industri antara lain:

Jejaring Kemitraan

Esensi beroperasinya klaster adalah kemitraan antar pelaku bisnis, baik yang di dalam
maupun di luar klaster. Kemitraan antar pelaku bisnis dalam klaster membutuhkan
instrumen yang jelas, proporsional dan realistis dan hal tersebut harus dapat dibuktikan.
Kemitraan di masa lalu berkembang dengan semangat, namun tidak didasari konsepsi
yang jelas dan dapat ditangkap oleh pihak-pihak yang bermitra. Prinsip kemitraan yaitu:
saling melengkapi, saling memperkuat, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan,
sesungguhnya merupakan dasar yang kokoh, namun tidak semestinya hanya berhenti
sebagai slogan. Pada tiap jenis kemitraan. Harus dibuktikan dan ditawarkan skim-skim
yang menjanjikan semua pihak yang bermitra akan memperoleh manfaat dan
keuntungan. Apapun pola atau skim yang ditawarkan, adalah perlu untuk
mempertimbangkan kelangsungan kemitraan dimaksud untuk jangka waktu yang tidak
terlalu pendek, sehingga konsepsi kemitraan tersebut dimatangkan oleh berjalannya
waktu dan akumulasi pengalaman di antara pelaku usaha yang bermitra.

Inovasi Teknologi
Untuk mencapai daya saing internasional sektor industri, perlu dilakukan upaya
transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif melalui peningkatan
produktivitas. Oleh karena itu, arah pengembangan industri adalah meningkatkan
kandungan iptek,baik dalam proses maupun produk. Implementasi secara makro adalah
mentransformasikan dari ekonomi berbasis pertanian ke basis industri, lalu meningkat lagi
ke ekonomi berbasis teknologi. Konsep klaster merupakan instrumen yang tepat dalam
transformasi ini. Pada klaster yang terfokus pada kegiatan manufacturing, maka peran
teknologi sangat dominan karena berpengaruh langsung terhadap tingkat efisiensi,
efektivitas dan produktivitas. Kemampuan robotik, standarisasi, miniaturisasi serta
penggandaan (reproduceability) secara sistematik akan menseleksi kemampuan industri
dalam sentra untuk hidup. Sementara itu, teknologi yang inovatif ternyata semakin
murah, dengan kecanggihan yang terus meningkat, menyebabkan pelaku usaha baru
diuntungkan karena tidak dibebani biaya eksperimen dan riset. Tidak jarang pelaku baru
ini menggeser peran dominasi pelaku lama (incumbent) disebabkan karena pelaku baru
banyak memanfaatkan inovasi teknologi. Kesenjangan teknologi (technology gap)
diantara pelaku sentra, dan tidak adanya pertautan (incompatibility) merupakan
hambatan teknologi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan sentra industri.
Kesulitan lain dalam hal ini adalah resistensi untuk mengadopsi teknologi, melakukan
langkah-langkah eksperimen atau excercise untuk hal-hal yang bersifat inovatif.

Modal SDM dan Kewirausahaan


Wacana tentang perlunya kualitas SDM yang baik dalam rangka pengembangan sentra
industri, sesungguhnya didorong oleh keinginan kita untuk meningkatkan tiga hal yaitu:
produktivitas, daya saing, dan kualitas kerja. Ketiga hal ini dapat dibedakan, namun pada
dasarnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Pada sentra industri yang
terbentuk secara alamiah, lebih banyak dijumpai kualitas SDM yang belum optimal,
sehingga upaya peningkatannya membutuhkan usaha ekstra. Kualitas SDM juga berimbas
pada kemampuan wirausaha, baik sebagai ilmu, semangat, sikap maupun perilaku.
Kemampuan, inisiatif, pengembangan rasionalitas bisnis, kemampuan mengelola konflik,
dan membagi resiko, pada dasarnya akan bermuara pada kematangan dalam
pengambilan keputusan secara menyeluruh. Perbaikan dalam faktor ini seringkali buntu
karena perilaku kalkulatif yaitu, biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM
jauh lebih besar daripada tambahan kemanfaatan yang diperoleh. Dilema inilah yang
menghambat perkembangan sentra industri.

Infrastruktur Fisik
Kelancaran beroperasinya sentra industri ditentukan oleh tersedianya infrastruktur fisik
(utamanya fasilitas jalan aspal, listrik dan saluran telepon) secara memadai. Oleh
karenanya untuk mendukung pengembangan sentra industri ini maka diharapkan
infrastruktur pendukung bisa ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

Keberadaan Perusahaan Besar


Peran perusahaan besar dalam hubungannya dengan keberadaan sentra industri
bervariasi. Sebagian berperan sebagai inti dan memerankannya sebagai plasma. Ada yang
memerankan sentra industri sebagai pemasok bahan baku, atau komponen tertentu yang
dibutuhkan usaha besar. Sebagian lagi sebagai principal yang menyerahkan sebagian
kegiatan usaha untuk disubkontrakkan kepada sentra industri. Ada juga usaha besar yang
perannya menciptakan lingkungan usaha sehingga bertumbuh. Peran sentar industri
dalam hal ini sebagai pelaku dalam setting pasar yang telah berhasil diciptakan oleh usaha
besar. Jenis kegiatan usaha sentra industri, dalam setting seperti ini tidak selalu berkaitan
langsung dengan yang dilakukan usaha besar. Usaha besar juga diperlukan karena
kemampuan membuka pasar dan memperluas jaringan distribusi barang yang dihasilkan.
Keberadaan usaha besar yang paling strategis bagi sentra industri adalah untuk
meningkatkan kepastian pasar bagi produk-produk yang dihasilkan. Sebagai akibat dari
hubungan yang dependent ini, maka ketika usaha besar ini tidak berkembang atau bahkan
mati, akan segera diikuti oleh matinya kegiatan usaha suatu sentra industri.

Akses ke Pembiayaan Usaha


Pembiayaan usaha merupakan instrumen vital yang akan menentukan kelangsungan
kegiatan usaha. Masalah yang sering dikeluhkan adalah keterbatasan akses dan
ketidakmampuan untuk memenuhi syarat formal berhubungan dengan bank teknis,
misalnya proposal bisnis, pemenuhan collateral /agunan, dan sejumlah kelengkapan
administratif lainnya. Dari sisi bank memang terasa adanya kekhawatiran yang berlebihan
tentang kemampuan sentra menunaikan kewajibannya sebagai debitur. Padahal dalam
kenyataannya tingkat Non- Performing Loans (NPL) bagi kredit UKM, relatif kecil. Problem
berikutnya adalah mismatch antara saat dimana dana benar-benar dibutuhkan, dan saat
dimana dana dapat cair dan diterimakan kepada UKM debitur. Tercatat pula masalah
kekurangan likuiditas karena lembaga perbankan, karena Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK), tidak dapat menyediakan jumlah dana secara penuh sesuai yang diminta
UKM. Kombinasi dari tiga masalah ini mengakibatkan UKM pada klaster tidak mampu
melanjutkan usaha. Pada umumnya, UKM tidak terlalu risau dengan tingkat suku bunga,
namun benar-benar mempedulikan aspek kecepatan pelayanan dan kemudahan
prosedur. Kesulitan UKM dalam klaster untuk memperoleh pendanaan usaha dari bank,
menyebabkan peningkatan likuiditasnya berasal dari modal sendiri dan bukan dari
hutang.

Layanan Jasa Spesialis


Bagi sementara sentra industri, terutama yang masih belum pesat perkembangannya,
sesungguhnya permintaan akan jasa spesialis relatif rendah. Kebutuhannya meningkat
apabila benar-benar telah terjadi spesialisasi fungsi dari industri-industri yang ada dalam
suatu sentra (inti, pemasok, pendukung dan pelengkap). Layanan jasa spesialis dipandang
menentukan perkembangan, terutama bila terkait dengan aplikasi teknologi atau metode
baru yang benar-benar meningkatkan nilai tambah. Di sisi suplai, penyedia jasa spesialis
juga tidak dapat bertahan lama melayani kebutuhan sentra, karena keraguan atas
kontinuitas dan besarnya fee yang bisa diharapkan dari UKM. Tidak semua jenis
permintaan layanan jasa spesialis dapat dipenuhi, karena masalah ketidaksamaan
persepsi antara yang dibutuhkan oleh UKM dengan spesialisasi yang dimiliki dan
ditawarkan oleh lembaga penyedia.

Akses Terhadap Pasar dan Informasi pasar


Survey masif yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2004), yang diperkuat pula dengan
temuan berbagai survey lainnya menunjukkan bahwa masalah paling penting yang
dihadapi UKM adalah pemasaran produk. Terlalu lama produsen UKM terlena dengan
.production driven. dan bukan yang semestinya yaitu .market driven.. Pelaku UKM lebih
piawai mengembangkan produk dari pada mengembangkan pasar. Terjemahan lain,
kemampuan berkembangnya klaster UKM lebih besar ketimbang kemampuan pasar untuk
menyerap produk yang dihasilkan klaster UKM. Pasar yang dinamis, dengan jenis dan
kuantum permintaan yang sangat fluktuatif, perlu diimbangi dengan strategi pemasaran
yang kreatif dari UKM.

Akses Terhadap Layanan Pendukung Bisnis


Banyak sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka melancarkan kegiatan usaha
di dalam klaster. Mengenai nilai guna dan kemanfaatan layanan pendukung bisnis itu
sudah tentu cenderung bersifat subyektif, tergantung dari sisi tinjauan dan parameter
yang dijadikan ukuran. Pada umumnya, layanan pendukung yang paling dianggap relevan
dalam kategori ini adalah layanan untuk pelancaran mobilitas dan formalitas.
Kemanfaatan layanan mobilitas bersifat langsung dan kasat mata (tangible) dan
karenanya mudah dibayangkan. Layanan bisnis yang sangat penting namun belum banyak
memperoleh perhatian adalah lembaga yang menawarkan jasa untuk memformalkan
bisnis UKM klaster. Contoh kongkritnya adalah produk-produk hukum berupa sertifikasi
halal, desain dan merek dagang, hak cipta, hak patent, hak atas kekayaan intelektual, dan
lainnya. Sepintas produk-produk hukum ini tidak menghasilkan manfaat langsung bagi
UKM, karena sifatnya yang intangible. Namun, dalam kenyataan bisnis modern,
kelengkapan formal atas produk-produk yang dihasilkan UKM inilah yang nyatanyata
meningkatkan daya saing produk kita, utamanya ketika masuk di pasar internasional.
Tersedianya lembaga penunjang yang memfasilitasi terbitnya produk-produk hukum
tersebut amat perlu dan menentukan keberhasilan klaster UKM untuk tetap survive.

Persaingan
Prinsip dasar dari persaingan adalah kemampuan menjawab sederet pertanyaan berikut:
Siapa pesaing utama yang dihadapi, pada aspek apa kita bersaing, dan dengan cara apa
kita menghadapi persaingan. Pelaku UKM dalam klaster tidak selalu siap dan mempunyai
jawaban yang baik atas pertanyaan-pertanyaan elementer di atas. Konsep persaingan
diartikan sebagai .menghadapi lawan. secara frontal, tanpa ada slot untuk berfikir serius
tentang .berdampingan dengan lawan. Kesulitan menjawab pertanyaan di atas tidak
selamanya merupakan kelemahan UKM kita. Yang terjadi adalah, karena kehidupan UKM
bebas dari hambatan untuk masuk atau keluar (barrier to entry/to exit), sedemikian tinggi
kelenturan dan turnover-nya, sehingga UKM tidak dapat secara spesifik mengidentifikasi
siapa .lawan utamanya. Dan dalam hal apa ia harus bersaing. Dengan demikian ihwal
tentang persaingan di kalangan UKM dalam klaster, bukan semata-mata tentang ada
tidaknya persaingan. Bukan pula kecemasan tentang seketat apa persaingan itu
beroperasi, namun justru ketidakberdayaan mengidentifikasi sendi-sendi pokok dalam
penguasaan persaingan sebagaimana diuraikan di atas. Sendi-sendi persaingan tersebut
secara langsung akan menentukan probabilitas suatu UKM untuk memenangkannya, dan
dengan demikian menjamin survivebility-nya .

Komunikasi
Secara hirarkhis, komunikasi memiliki penjenjangan dari komunikasi interpersonal,
organisasional dan institusional. Problem yang dihadapi dalam klaster UKM adalah
komunikasi institusional yang ditandai oleh: ketidakmampuan klaster UKM untuk
mengkomunikasikan produk atau membangun etalase bagi produk-produknya; belum
efektifnya peran dan keberadaan kehumasan/public relation yang bukan hanya
membangun citra positif publik. Jauh lebih penting adalah meyakinkan kepada semua
pemangku kepentingan (stakeholders) tentang arti penting kehadiran klaster, keunggulan
kompetitif yang bisa diharapkan dengan adanya klaster dan membuktikan apa yang bisa
dilakukan klaster untuk mempercepat bergulirnya ekonomi lokal. Bila eksistensi suatu
klaster diakui dan dengan demikian ada perhatian berbagai pihak, utamanya pemerintah
daerah, maka hal ini menjadi aset yang tidak ternilai. Sebaliknya, bila keberadaan klaster
tidak pernah terkomunikasikan, gagal membangun citra positif masyarakat tentang
keberadaannya, maka dikhawatirkan klaster UKM tidak mampu beroperasi.

Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam konteks ini dapat diartikan ke dalam beberapa pengertian.
Pertama, kemampuan sentra industri memainkan perannya sebagai penentu
pertumbuhan ekonomi lokal yang ditandai, antara lain, dengan besarnya market share,
besarnya pengaruh yang dibangun suatu klaster. Pengertian lain adalah kemampuan
produk yang dihasilkan sentra industri untuk menjadi pemimpin pasar (market leaders) di
dalam industri sejenis, baik karena kuantum produksinya, kualitas, harga maupun mutu
layanan. Makna kepemimpinan di sini dapat sebagai kepeloporan (pioneering) bagi UKM
di dalam dan di luar. Pengertian kepemimpinan lainnya adalah UKM dalam klaster
berperan menonjol dibanding dengan klaster UKM, atau kelompok UKM yang terhimpun
dalam wadah lain. Wujud .kepemimpinan. ini adalah dijadikannya klaster UKM dan
produk produknya, sebagai patok duga (benchmark), ukuran keberhasilan oleh pelaku lain
dalam industri yang sama.
4.7.1.2 Pengembangan Perdagangan dan Jasa
Secara umum, rencana pengembangan perdagangan dan jasa di Distrik Momi Waren
dititikberatkan pada sebagian besar wilayah perkotaan dan secara bertahap dikembangkan ke
arah Kampung Demini, Kampung Waren dan Kampung Yekwandi. Sedangkan, untuk pusat
perbelanjaan, diarahkan untuk dikembangkan di Kampung Dembek untuk memudahkan
keterpaduan antara kawasan perdagangan dan jasa dengan akses infrastrukturnya.

Kemudian, yang menjadi arahan pengembangan kawasan strategis perdagangan dan


jasa tersebut adalah kawasan perdagangan direncanakan secara terpadu dengan kawasan
sekitarnya dan harus memperhatikan kepentingan semua sektor, termasuk pedagang informal.
Sehingga, pemberdayaan masyarakat di bidang perekonomian, tidak diabaikan. Arahan
pengembangan lainnya berupa pengembangan dan pembangunan kawasan jasa juga ditujukan
untuk mendukung visi Distrik Momi Waren yang sebagian wilayahnya menjadi kawasan
perkotaan. Arahan pengembangan terakhir terdiri dari pengembangan fasilitas-fasilitas
pendukung kawasan perdagangan barang dan jasa; memperjelas fungsi masing-masing pasar
yang ada di kawasan dan memperkuat hubungan antar-fungsi; pengaturan bentuk bangunan di
kawasan yang mampu mendukung kegiatan perdagangan barang dan jasa; pembatasan
pemanfaatan sisi sempadan jalan sebagai tempat tinggal; serta pengaturan dan penataan
ruang untuk PKL di satu sisi jalan, pungkasnya.

4.7.1.3 Pengembangan Perumahan


Lahan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan permukiman adalah lahan yang
memiliki kriteria sebagai berikut:

kelerengan < 40%


Tidak terletak pada kawasan lindung
Terlayani oleh utilitas dan sarana penunjang
sudah terdapat jaringan jalan dan terlayani sistem transportasi
Masyarakat cenderung menempati lahan-lahan yang berada disekitar jaringan jalan
utama kota yang mempunyai akses yang baik ke pusat kegiatan perdagangan dan kawasan
aktivitas lainnya. Secara keseluruhan pola perkembangan perumahan masih mengikuti pola
pekembangan jaringan jalan, dalam kecenderungan perkembangan ruang terbangun (built-up
area) berpola pita (ribon pattern) . Pola perkembangan ruang terbangun ini pada satu sisi akan
mendekatkan masyarakat pada aksesibilitas pelayanan tertinggi. Namun di sisi lain apabila
tingkat intensitas bangunan pada sepanjang jaringan jalan menjadi tidak terkendali, pada
giliran berikutnya ruang terbangun tersebut akan menjadi beban bagi pelayanan jaringan jalan
tersebut.

Dalam pengembangannya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah antara
lain:

Ditekankan pada daerah tertentu yang menjadi arahan persebaran penduduk.


Adanya usaha kontrol/ pengendalian terhadap peningkatan jumlah rumah non permanen
ataupun tidak layak huni oleh pemukim liar ataupun bagi penduduk kota yang tergolong
tunawisma khususnya untuk pusat kota yang daerahnya sudah cukup padat.
Arahan persebaran pemukiman akan dibuat tersebar merata sebagai usaha untuk
mencegah terjadinya pemusatan penduduk, dengan memperhatikan pula faktor
aksesibilitas, faktor kesesuaian lahan (jenis dan topografi tanah), dan ketersediaan
fasilitas yang memadai. Akan tetapi tetap harus dikontrol agar dalam perkembangannya,
persebaran pemukiman tidak menimbulkan permasalahan tata guna lahan.

4.7.1.4 Pengembangan Agropolitan


Pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks
pengembangan wilayah mengingat:

Kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal.

Pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan mengingat sektor


yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat.

Keberlanjutan pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor
pilihan mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif dibanding sektor lainnya.

Agropolitan sebagai konsep dasar pengembangan suatu wilayah berbasis pertanian


memiliki ciri-ciri: (i) Focal point, (ii) Pembangkit pembangunan perdesaan, (iii) Integratif
terhadap ruang yang lebih besar, (iv) memiliki hak mengatur areal wilayahnya sendiri, dan (v)
Sumberdaya ekonomi dari lokal.

Keterangan:

Penghasil Bahan
Baku/Hinterland
Pusat Agropolitan dan
penyalur 1/ SPPKP, PASAR/
GLOBAL
Agropolitan centre / SPKP

Jalan & Dukungan Sapras

Batas Kws Agropolitan

Konsep Struktur Pelayanan Kegiatan


Distrik Momi Waren direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai hinterland dari
pengembangan agropolitan Oransbari-Ransiki-Momi Waren.

4.7.1.5 Pengembangan Pariwisata


Konsep pengembangan pariwisata secara adalah sebagai berikut:

Pengembangan prasarana sarana pendukung kegiatan pariwisata, seperti pusat


akomodasi wisata, ruang pamer (showroom), sentra oleh - oleh, penginapan, kantor
informasi, dsb.
Pengembangan kegiatan wisata tetap mempertahankan aspek lokalitas serta
memperhatikan lingkungan.
Pengembangan wisata alam dan wisata sejarah.
Pengembangan Gunung Botak sebagai trigger pengembangan pariwisata.
Peta 4.1 Arahan Pengembangan

4.7.2 Konsep Mikro Kawasan

Dari uraian dan penjelasan pada sub bab sebelumnya, nyatalah bahwa konsep pusat-
pusat pertumbuhan merupakan salah satu konsep pengembangan wilayah yang mempunyai
kaitan sangat erat dengan aspek penataan ruang dan mempunyai peranan yang cukup penting
untuk mempercepat perkembangan daerah. Baik daerah-daerah yang relatif terlambat
perkembangannya, atau daerah-daerah yang mengalami krisis karena habisnya sumber daya
atau menurunnya nilai sumber daya.
Usaha pengembangan melalui strategi pusat-pusat pertumbuhan itu sendiri bukan
berarti hanya mengembangkan satu pusat pertumbuhan tunggal, tetapi akan mengembangkan
beberapa pusat pertumbuhan sesuai dengan tingkatannya (hirarki) yang mempunyai fungsi
dan peranan tersendiri. Sistem pusat pertumbuhan yang terbentuk ini akan mempengaruhi
penyediaan fasilitas perkotaan yang merupakan konsekuensi dari fungsi dan peran yang akan
disandang oleh tiap pusat pertumbuhan. Dalam pelaksanaannya, penerapan fungsi dan peran
dari setiap pusat juga harus disesuaikan dengan karakteristik daerah yang bersangkutan dan
daerah yang dipengaruhinya atau daerah di belakangnya.

Friedmann memberikan beberapa pendekatan yang dapat disimpulkan sebagai


berikut:

1. Menentukan pusat-pusat pertumbuhan utama yang mempunyai kapasitas pertumbuhan


yang tinggi.

2. Menentukan daerah pengaruh dan arah pelayanan dari titik-titik pertumbuhan.

3. Menentukan daerah belakang dan regionalisasi.

4. Mengukur tingkat pelayanan di setiap pusat-pusat pertumbuhan yang terpilih.

5. Meluaskan jaringan jalan yang difokuskan pada pusat-pusat pertumbuhan.

6. Mengukur potensi aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan.

7. Mengembangkan pusat-pusat perkotaan di pusat-pusat pertumbuhan.

8. Menggali kemungkinan untuk mengembangkan industri ringan dan industri padat karya
pada pusat pertumbuhan.

9. Melakukan usaha mengubah pola pertanian subsistem kepada pertanian komersial.

10. Menentukan kegiatan perekonomian dasar di pusat-pusat pertumbuhan.

Pengembangan Kegiatan Primer


Pengembangan kegiatan primer di wilayah perencanaan, membutuhkan dukungan
fasilitas dan utilitas yang memadai, untuk pengembangan industri, perdagangan jasa,
pertanian dan permukiman sendiri dan jasa/lembaga keuangan untuk mendukung
kelancaran aktifitasnya.

Pengembangan Kegiatan Sekunder


Pengembangan kegiatan sekunder mencangkup aktifitas yang langsung mendistribusikan
barang pada konsumen akhir, dalam hal ini penduduk itu sendiri.
Kegiatan sekunder diarahkan sesuai kebutuhan pada unit pelayanan yang ada. Aktifitas
sekunder dikembangkan menurut jenis dan skala pelayanan fasilitas. Dengan dasar
tersebut, maka pengembangan jenis aktifitas sekunder diarahkan menurut penduduk
pendukung dan jenis aktifitasnya. Pasar dikembangkan melayani beberapa kampung (satu
distrik), toko/warung dikembangkan pada tiap kampung dan unit lingkungan sedangkan
supermarket memiliki skala pelayanan wilayah.

Konsep mikro kawasan ini lebih cenderung pada pengembangan kegiatan sekunder
yaitu dengan memfasilitasi dan memperluas cakupan pelayanan infrastruktur permukiman
pada kawasan strategis dan cepat tumbuh prioritas agar kegiatan internal penduduk dapat
lebih baik.

Selain itu pada konsep ini dilakukan sinkronisasi program dimana program-program
yang dihasilkan dari hasil analisa, dipersandingkan dan disinkronkan dengan program-program
yang berasal dari Pemerintah Kabupaten Manokwari Selatan. Selain itu program-program
tersebut juga disinkronkan dengan kebutuhan masyarakat pada masing-masing kampung di
Kawasan perencanaan.
bab 4 kONSEP pENGEMBANGAN ......................................................................................... 4-1
4.1 Konsep Dasar Pengembangan Desa ........................................................................... 4-1
4.2 Strategi Pembangunan Pedesaan .............................................................................. 4-2
4.3 Konsep Pengembangan Infrastruktur ........................................................................ 4-4
4.4 Perkembangan Ekonomi Kawasan Perdesaan ........................................................... 4-6
4.4.1 Pendapatan Perkapita dan Neraca Sumberdaya Ekonomi Lahan ...................... 4-7
4.4.2 Diversifikasi Ekonomi Kawasan Perdesaan ........................................................ 4-8
4.5 Pembangunan Infrastruktur dan Perkembangan Ekonomi ....................................... 4-9
4.5.1 Kebutuhan Akses Di Perdesaan.......................................................................... 4-9
4.5.2 Pembangunan Infrastruktur Oleh Pemerintah Terhadap Perkembangan Ekonomi
4-10
4.6 Kerangka Konsep dan Target Pentahapan ............................................................... 4-11
4.7 Skenario Pengembangan Distrik Momiwaren.......................................................... 4-11
4.7.1 Konsep Makro Kawasan ................................................................................... 4-12
4.7.1.1 Pengembangan Industri ....................................................................................... 4-16
4.7.1.2 Pengembangan Perdagangan dan Jasa ................................................................ 4-22
4.7.1.3 Pengembangan Perumahan ................................................................................. 4-22
4.7.1.4 Pengembangan Agropolitan................................................................................. 4-23
4.7.1.5 Pengembangan Pariwisata ................................................................................... 4-24
4.7.2 Konsep Mikro Kawasan .................................................................................... 4-25

No table of figures entries found.


Peta 4.1 .................................................................................................................Arahan Pengembangan
.................................................................................................................................................. 4-25

No table of figures entries found.

Anda mungkin juga menyukai