BAB 2
TINJA
UAN
2 TINJAUAN TEORI
2.1
TEORI
KONSEP DASAR KLHS (KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS)
Lingkungan hidup, menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009,
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
yang mampu memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
sebagai karakteristik suatu proses atau kondisi tertentu yang dapat terus bertahan untuk
jangka waktu yang tak terbatas. Sementara Partidario (2007) mendefinisikan keberlanjutan
sebagai suatu proses atau kondisi tertentu yang dicapai sebagai hasil pembangunan
Strategi (s), merupakan konsepsi yang lahir dari ilmu kemiliteran dan umumnya merujuk
pada kajian atau perencanaan sarana atau alat-alat untuk pencapaian tujuan suatu kebijakan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa 1995), mendefinisikan strategi sebagai ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya
bangsa untuk melaksanakan kebijakan tertentu di perang dan damai; atau sebagai rencana yang
cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Oxford Dictionary (2005)
mendefinisikan strategis sebagai suatu tindakan yang ditempuh dalam tahap perencanaan dengan
maksud agar tujuan atau manfaat tertentu dapat dicapai (Oxford Dictionary 2005). Dapat
disimpulkan “strategis” mengandung arti perbuatan atau aktivitas yang dilakukan sejak awal
proses pengambilan keputusan yang berakibat signifikan terhadap hasil akhir yang akan diraih.
Dalam konteks KLHS, perbuatan dimaksud adalah suatu kajian yang dapat menjamin
dipertimbangkannya sejak dini aspek lingkungan hidup dalam proses pengambilan keputusan di
Bila pertimbangan lingkungan hidup dimaksud dikaji di tahap proyek, sebagaimana dikenal
sebagai AMDAL, maka kajian tersebut tidak tergolong sebagai yang bersifat strategik. Sejalan
dengan pengertian tersebut, pendekatan strategis dalam Kebijakan, Rencana dan Program
(KRP) dengan demikian bukanlah untuk mencari tahu apa yang akan terjadi di masa depan,
sedemikian rupa sehingga terbangun atau terbentuk route untuk menuju masa depan yang
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 15 ayat (2) Mewajibkan Pemerintah dan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya pada tingkat nasional,
Kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
Kebijakan, Rencana dan Program (KRP), walau atribut yang membedakan ketiga istilah
seringkali tidak jelas, namun secara generik perbedaannya adalah sebagai berikut (UNEP 2002:
Kebijakan (Policy): arah yang hendak ditempuh (road-map) berdasarkan tujuan yang
mengimplementasikan tujuan.
Rencana (Plan): desain, prioritas, opsi, sarana dan langkah-langkah yang akan ditempuh
sumber daya.
akan diimplementasikan pada jangka waktu tertentu dengan berlandaskan pada kebijakan
Dalam prakteknya, ketiga definisi tersebut satu sama lain saling bertindih (overlapping)
dan berbeda-beda antara satu negara dan negara lain, terutama definisi rencana dan program.
Kedua istilah yang terakhir ini di beberapa negara sering digunakan saling bergantian. Sehingga
yang perlu dipahami disini cukup definisi generik saja. Implikasinya, aplikasi KLHS di suatu
negara harus disesuaikan dengan definisi KRP yang umum dianut oleh negara yang bersangkutan.
Berbeda dengan proyek, pada arah ini terdapat proposal rinci perihal rancangan tapak, desain
rinci engineering atau teknis kegiatan pembangunan yang merefleksikan curahan investasi,
Menurut Sadler dan Verheem (1996). ”KLHS adalah proses sistematis untuk mengevaluasi
konsekuensi lingkungan hidup dari suatu usulan kebijakan, rencana, atau program sebagai
upaya untuk menjamin bahwa konsekuensi dimaksud telah dipertimbangkan dan dimasukan
sedini mungkin dalam proses pengambilan keputusan paralel dengan pertimbangan sosial
dan ekonomi”
dan formal untuk mengevaluasi efek lingkungan dari kebijakan, rencana, atau program
Menurut DEAT dan CSIR (2000). ”KLHS adalah proses mengintegrasikan konsep
Brown dan Therievel (2000). “KLHS adalah suatu proses yang diperuntukan bagi kalangan
formulasi kebijakan) dan pengambil keputusan (pada saat persetujuan kebijakan) dengan
maksud untuk memberi pemahaman holistik perihal implikasi sosial dan lingkungan hidup
dari rancangan kebijakan, dengan fokus telaah diluar isu-isu yang semula merupakan faktor
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
Dua definisi KLHS yang pertama boleh dikatakan menggunakan kerangka fikir AMDAL
yakni menelaah implikasi atau efek dari rancangan kebijakan, rencana atau program terhadap
lingkungan hidup. Pendekatan KLHS yang menyerupai AMDAL ini disebut juga sebagai ”EIA-
based” SEA atau KLHS yang berbasis pendekatan AMDAL (Partidario 1999).
Adapun definisi ketiga dan keempat yang diajukan oleh DEAT dan CSIR (2000) serta
Brown dan Therievel (2000) menunjukkan peran KLHS dalam memfasilitasi lahirnya KRP yang
sejak dini.
berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai pemandu untuk rencana dan program dan/atau
untuk menelaah rencana atau program yang tengah berjalan. Pendekatan ini boleh dikatakan
merefleksikan apa yang disebut oleh Therivel et al (1992) sebagai “sustainability-led” SEA atau
Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka dapat dimpulkan bahwa KLHS adalah Suatu
proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial
dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program
pembangunan.
Adanya berbagai kebutuhan dan perkembangan yang terjadi, maka definisi KLHS
Lingkungan Hidup Strategis untuk Kebijakan, Rencana dan Program Penataan Ruang (2008),
“KLHS adalah proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan
bersifat strategis”.
“SEA is a systematic process for evaluating the environ- mental effect of, and for ensuring
sumberdaya dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Kaidah terpenting KLHS
dalam perencanaan tata ruang adalah pelaksanaan yang bersifat partisipatif, dan sedapat
mungkin didasarkan pada keinginan sendiri untuk memperbaiki mutu KRP tata ruang ( self
assessment) agar keseluruhan proses bersifat lebih efisien dan efektif. Asas-asas hasil
penjabaran prinsip keberlanjutan yang mendasari KLHS bagi penataan ruang adalah :
Keterkaitan (interdependency)
Keseimbangan (equilibrium)
Keadilan (justice)
komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara satu variabel
biofisik dengan variabel biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan antar
maupun interaksi antara makhluk hidup dan ruang hidupnya, seperti diantaranya adalah
keseimbangan laju pembangunan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,
keseimbangan pemanfaatan dengan perlindungan dan pemulihan cadangan sumber daya alam,
Keadilan (justice) untuk menekankan agar dapat dihasilkan kebijakan, rencana dan
program yang tidak mengakibatkan pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam,
modal dan infrastruktur, atau pengetahuan dan informasi kepada sekelompok orang tertentu.
Atas dasar kaidah-kaidah diatas, maka penerapan KLHS dalam penataan ruang bertujuan
untuk mendorong pembuat dan pengambil keputusan atas KRP tata ruang menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut :
Apa manfaat langsung atau tidak langsung dari usulan sebuah Rencana Tata Ruang Wilayah
Bagaimana dan sejauh mana timbul interaksi antara manfaat RTRW atau KRP Tata Ruang
Apa lingkup interaksi tersebut? Apakah interaksi tersebut akan menimbulkan kerugian atau
Dapatkah efek-efek yang bersifat negatif diatasi, dan efek-efek positifnya dikembangkan?
Apabila RTRW atau KRP Tata Ruang mengintegrasikan seluruh upaya pengendalian atau
mitigasi atas efek-efek tersebut dalam muatannya, apakah masih timbul pengaruh negatif
dari RTRW atau KRP Tata Ruang tersebut terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan
secara umum?
Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat kabupaten,
provinsi maupun antar negara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi
Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di
tingkat proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap
Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan
Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat keterlibatan para pihak (stakeholders)
Identifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul dalam penyusunan KRP
Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan muncul
Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan informasi
Dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan penyelenggaraan
konsultasi publik
undangan;
“Dokumentasi status lingkungan”, yang secara efektif sebagai suatu dasar /baseline yang di
“Penentuan kemungkinan dampak utama lingkungan”, yang pada umumnya dalam kaitan dengan
mempertimbangkan dengan seksama dampak yang lingkungan yang ditimbulkan dan Untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, dan/atau program (UU PPLH Pasal 15 ayat
1). Jika dampak lingkungan menjadi bagian dari keseluruhan pengambilan keputusan, itu disebut
pembangunan berkelanjutan kerena kajian lingkungan tersebut dilaksanakan pada tahap awal
proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan. Pada tahap awal ini terdapat berbagai
alternative yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi dampak
lingkungan atas KRP memberi kesempatan untuk memasukkan aspek LH dalam proses perencanaan
pada tahap sangat awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial,
termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan senergistik, baik pada tingkat local,
regional, nasional maupun global (Lee dan Walsh, 1992; Partidarlo, 1996;Annadele dan Bauley,
1999; Therival, 2004). Dengan kata lain, KLHS bergerak di bagian hulu dan suatu proses
pengambilan keputusan, yaitu KRP. Untuk memudahkan pemahaman KLHS, berikut ini adalah
policy, or program initiatives in order to encure they are fully included and appropriately
addressed at the earlist appropriate stage of decision-making on par with economic and
Definisi tersebut menunjukkan bahwa skala sasaran kajian KLHS lebih luas daripada
instrument pengelolaan LH lain, misalnya AMDAL karena analisis dampak KRP mempunyai implikasi
dampak lebih luas /makro. Selain itu, KLHS fokusnya adalah pada tataran konsep dan bukan pada
tataran desain teknis yang bersifat fisik. Yang terakhir ini menjadi tekanan / fokus studi
AMDAL.
Kata “Strategis” dalam KLHS menjadi kata kunci yang membedakan antara instrument-
instrumen pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan dan intrumen KLHS. Istilah “Strategis”
dalam konteks KLHS secara umum dapat diartikan secara konseptual berkaitan dengan “akar”
permasalahan yang harus menjadi focus kajian lingkungan yang dilakukan, yaitu proses dan hasil
pengambilan keputusan.
Pengertian “Strategis” dalam KLHS pada umumnya berasosiasi dengan tiga hal berikut
(Partidarlo,1994):
Keberlanjutan proses pengambilan keutusan , yaitu proses penyempurnaan KRP secara terus-
menerus;
Fokus pada hasil keputusan, merujuk pada beragamnya alternative pilihan KRP dalam proses
AMDAL, menunjukkan bahwa meskipun AMDAL sebagai salah satu instrument pengelolaan
instrument AMDAL belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan
komulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinigitik. Saat ini, pergeseran orientasi
kebijakan pengelolaan lingkungan telah mengarah pada intervensi di tingkat makro dan pada
tingkat hulu dan proses pengambilan keputusan pembangunan. Esensinya adalah bahwa kerjasama
antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan akan lebih efektif
apabila lebih focus pada upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan pada tingkat makro /
nasional dari pada terbatas pada pendekatan di tinkat proyek.dalam konteks pergesean strategi
yang bersifat lintas batas (cross boundary environmental effects) dan lintas sector. Penanganan
dampak lintas wilayah dan lintas sector ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas
permasalahan lingkungan hidup yang cenderung masik kompleks dengan dilaksanakannya, atau
lebih tepatnya, distorsi pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
lingkungan yang semata-mata ditujukan pada komponen-komponen KRP, tapi yang lebih penting
adalah sebagai suatu acara untuk menyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap
lingkungan hidup telah dijadikan pertimbangan dalam setiap tingkatan pengambilan keputusan,dan
dengan demikian, keberlanjutan pembangunan dapat lebih terjamin (Annandale dan Bailey, 1999).
Dengan kata lain, secara subtansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam
kesenjangan informasi dan kendala kognitif merupakan fenomena umum yang melatar belakangi
ketidakpastian terbesar adalah dalam memprakirakan besaran dampak LH yang timbul sebagai
akibat implementasi KRP. Pelaksana Pembangunan atau pengambil kebijakan pembangunan yang
berada mengacu pada atau memberikan interpretasi terhadap KRP secara berada pula sehingga
menimbulkan persoalan dalam memprakirakan besarnya dampak. Dalam hal ini, teori proses
pengambilan keputusan menawarkan pendekatan yang mampu mendeskripsi dan memahmi setiap
Ide yang melatarbelakangi pelaksanaan studi KLHS adalah cara berfikir dan / atau
public dalam proses pengambilan keputusan pembangunan dan tidak terkendalinya tingkat
keputusan-keputusan yang bersifat strategis (KRP), seperti dilakukan dalam studi KLHS jauh
lebih komprehensif bila dibandingkan dengan studi analisis LH pada tingkat proyek (AMDAL).
Salam studi KHS , nilai-nilai dan kompleksitas persoalan harus deifahami dengan baik apabila
mengharapkan aspek LH menjadi salah satu factor yang harus dipertimbangkan dalam proses
pengambilan keputusan.
menguatkan secara sistematik peran nilai-nilai social dan non social (alam) dalam pelaksanaan
pembangunan. Apabila fungsi KLHS adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan
pembangunan, maka diperlukan criteria untuk identifikasi kelemahan dan kesalahan dalam proses
pengambilan keputusan. Oleh karenanya, KLHS mempersyaratkan criteria yang didasarkan pada
presepsi yang muncul adalah bukan soal apakah terkait dengan pandangan subyektif dalam proses
telah dikomodir dan diartikan secara transparan dalam proses pengambilan keputusan.
Literatur tentang KLHS telah mengindifikasikan orientasi politik dalam analisis LH serta
mengenali trade offs antar dampak sosial, ekonomi dan LH akibat implementasi KRP (Petts, 1999;
Therivel et al., 1992). Disebutkan juga bahwa penepisan dan pelingkupan secara inheren
merupakan proses politik , dan oleh karenanya, harus dilihat secara politik dan bukan semata-
mata masalah rasionalitas yang bersifat “obyektif” dan netral (Weston, 2000),dibalik fakta
bahwa studi KLHS berlanagsung dalam proses politik, proses analisis itu sendiri harus difahami
Untuk dapat merespon secara memadai terhadap variasi factor-faktor local yang
mempengaruhi bagaimana keputusan dibuat, kerangka kerja KLHS harus diupayakan seemikian
sehingga mampu beradaptasi pada kondisi local serta bersifat konstekual. Pendekatan ini
yang sangat diperlukan di wilayah dengan variasi kareakteristik sosial-sekonomi dan biofisik
tinggi.
metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model
KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL ( EIA-
Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL, baik dari segi langkah-langkah prosedur bekerjanya,
maupun metodologi berpikirnya, yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang
KLHS yang memiliki pendekatan ini menempatkan posisinya sebagai uji kebijakan untuk
menjamin keberlanjutan lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah
Sustainability Appraisal)
Pendekatan ini menempatkan posisinya sebagai bagian dari uji kebijakan untuk menjamin
Management)
bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan
sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya
dasar dari substansi RTRW atau KRP tata ruang, sementara model b) menekankan penegasan
fungsi RTRW atau KRP tata ruang sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan
baik dari segi cara maupun metoda telaahnya, sesuai dengan : 1) hirarki dan jenis KRP tata ruang
atau RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, 2) lingkup isu yang menjadi fokus, 3) kapasitas
institusi dan sumberdaya manusia selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta 4) kemauan politis
tata ruang. Beragamnya kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan tata ruang menyebabkan
Penyusunan dokumen KLHS untuk menjadi masukan bagi RTRW atau KRP tata ruang
Melebur proses KLHS dengan proses penyusunan RTRW atau KRP tata ruang
RTRW atau KRP tata ruang yang berlaku mengalami proses evaluasi dan/atau revisi, atau
konsep RTRW atau KRP tata ruang yang akan/sedang disusun membutuhkan masukan telaah
penyusunan KRP tata ruang, dimana integrasinya berlangsung menurut langkah-langkah sebagai
berikut :
Langkah 1 : Pelingkupan
proses sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isu- isu penting atau konsekuensi
lingkungan hidup yang akan menimbulkan dampak/resiko berkenaan dengan rancangan KRP.
perubahan iklim
sekelompok masyarakat
proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat
diterapkannya RTRW atau KRP tata ruang; serta pengujian efektivitas muatan RTRW atau
KRP tata ruang dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Kegiatan telaah dan analisis
pemilihan dan penerapan metoda serta teknik analisis yang sesuai dan terkini,
penentuan dan penerapan arah rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan
dijaring.
substansi pokok/dasar RTRW atau KRP tata ruang (misalnya: mengubah pola atau
program atau kegiatan penerapan muatan RTRW atau KRP tata ruang (misalnya:
Langkah 4 : Formulasi pelaksanaan dan pengambilan keputusan tentang pilihan muatan materi
aspirasi dan pandangan dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang
berkepentingan, serta
dan lain-lain).
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur
Gambar 2.1 Kerangka Kerja KLHS Secara Umum (Dapat disesuaikan dengan Keadaan)
Tabel 2.1 Contoh Integrasi Penyusunan Dokumen KLHS Dalam Penyusunan RTRW Propinsi
Gambar 2.2 Contoh Integrasi Penyusunan Dokumen KLHS Dalam Evaluasi Laporan RTRW Propinsi
2.10.4 Melebur Proses KLHS dengan Proses Penyusunan RTRW/KRP Tata Ruang
Peleburan proses KLHS ke dalam proses perencanaan tata ruang sesuai untuk kondisi-
kondisi berikut:
belum ada arah maupun konsep RTRW atau KRP tata ruang, atau
konsep RTRW atau KRP tata ruang perlu diuji secara cepat, atau
konsep RTRW atau KRP tata ruang tidak membutuhkan kajian atas isu-isu lingkungan secara
Hal-hal tersebut menyebabkan rangkaian kajian dilakukan dengan menerapkan daftar uji
pada setiap langkah proses perencanaan tata ruang. Secara umum daftar uji tersebut mencakup :
berbagai isu keberlanjutan maupun lingkungan hidup tercermin dalam tujuan dan sasaran
umum KRP,
sasaran terkait dengan keberlanjutan akan bisa dikaitkan langsung dengan indikator-
keterkaitan KRP tata ruang dengan KRP-KRP lain bisa dijelaskan dengan baik, dan
konflik kepentingan antara KRP tata ruang dengan KRP-KRP lain segera bisa
teridentifikasi.
Kepentingan utama pengujian ini adalah bukan menilai kelengkapan dan validitas data, tetapi
identifikasi kesenjangan antara data yang dibutuhkan dengan yang tersedia serta cara
mengatasinya. Hal ini terasa penting ketika KRP tata ruang diharuskan memperhatikan
sendiri.
Selanjutnya pengujian juga lebih mengutamakan relevansi informasi dan sumbernya agar
Pengujian ini ditujukan untuk memandu penyusun KRP memperhatikan isu-isu lingkungan hidup
maupun keberlanjutan di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional, dan melihat
Uji Pemenuhan Sasaran dan Indikator Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan.
Pengujian ini efektif bila konsep rencana sudah mulai tersusun, sehingga dapat dilakukan
penilaian langsung atas arahan-arahan rencana pemanfaatan dan pola ruang terhadap
sebenarnya merupakan iterasi atau pengembangan dari uji yang dilakukan di awal proses
Pengujian ini membantu penyusun KRP untuk dapat memperkirakan dimensi besaran dan
waktu dari efek-efek positif maupun negatif yang akan ditimbulkan. Bentuk pengujian ini
dapat disesuaikan dengan kemajuan konsep maupun ketersediaan data, sehingga pengujian
dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif. Pengujian secara kuantitatif maupun kualitatif
sama-sama bernilai apabila diikuti dengan verifikasi berupa proses konsultasi maupun diskusi
Pengujian ini membantu penyusun KRP untuk memperoleh pilihan alternatif yang beralasan,
relevan, realistis dan bisa diterapkan. Keputusan pemilihan alternatif bisa dilakukan dengan
sistem pengguguran (memilih satu opsi dan menggugurkan yang lainnya) atau
Pengujian ini merupakan pengembangan dari jenis pengujian nomor 5, dimana jenis-jenis KRP
tertentu diperkirakan juga akan menimbulkan efek-efek atau dampak-dampak lanjutan yang
lahir dari dampak langsung yang ditimbulkan, maupun akumulasi efek dalam jangka waktu
mengemasnya dalam berbagai model daftar pertanyaan, misalnya model daftar uji untuk
menilai mutu dokumen, model daftar uji untuk menilai konsistensi muatan RTRW
kehidupan di dalamnya. Konsep dasar pendekatan ini adalah menyesuaikan kemampuan alam
menyediakan berbagai bentuk kebutuhan makhluk untuk dapat hidup. Dalam penataan ruang, daya
dukung lingkungan terhadap kegiatan pembangunan diartikan sebagai penyediaan sumber daya
Beberapa contoh teknik yang digunakan dalam model telaah ini adalah Tapak Ekologis
(ecological footprints) yang menekankan penghitungan tingkat konsumsi individu terhadap sumber
daya alam, dan Keseimbangan Bionomic ( bionomic equilibrium) yang membuat model ukuran
populasi optimal suatu ekosistem atas dasar ketersediaan sumber daya alam dengan akses penuh
(open-access resources). Kerangka telaah ini mengilhami kerangka telaah yang lebih spesifik,
ekosistem akibat intervensi kegiatan manusia), atau kerangka untuk mengukur efisiensi
KLHS yang secara universal diterima oleh semua pihak. Namun demikian dari pilot project
aplikasi KLHS yang diselenggarakan oleh KLHS –DANIDA; beberapa prinsip KLHS yang
diletakkan oleh Sadler dan Verheem (19996) serta Sadler dan Brook (1998) tampaknya sesuai
Terpadu (integrated)
Transparan (transparent)
Partisipatif (participative)
Akuntabel (accountable)
Efektif-biaya (cost-effective)
Melihat prinsip-prinsip tersebut tampak bahwa KLHS bukan seperti studi yang
konvensional kita kenal. Juga bukan seperti AMDAL dimana partisipasi public dilibatkan pada dua
momen yakni saat persiapan Kerangka Acuan dan saat penilaian ANDAL, RKL dan RPL. Di dalam
penyelenggaraan KLHS tidak hanya elemen partisipasi masyarakat yang disentuh tetapi juga
persoalan transparansi dan akuntabilitas. Sebab yang dituju KLHS pada hakekatnya adalah
lahirnya kebijakan, rencana dan program yang melalui proses-proses yang partipasif, transparan
Selain prinsip-prinsip dasar tersebut, khusus untuk Indonesia, juga terformulasi nilai-
nilai yang dipandang penting untuk dianut dalam aplikasi KLHS di Indonesia. Nilai-nilai dimaksud
adalah :
Keterkaitan (interdependency)
Keseimbangan (equilibrium)
Keadilan (justice)
maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS dipertimbangkan benar keterkaitan antara satu
komponen dengan komponen lain, antara satu unsure dengan unsure lain, atau antara satu variable
biofisik dengan variable biologi, atau keterkaitan antara local dan global, keterkaitan antar
sector, antara daerah, dan seterusnya. Dengan membangun peraturan tersebut KLHS dapat
Keseimbangan (equilibrium) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud
agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan seperti
keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, keseimbangan kepentingan
pembangunan pusat dan daerah, dan lain sebagainya. Implikasinya, forum-forum untuk
identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan para pihak menjadi salah satu proses dan
metode yang penting digunakan dalam KLHS. Keadilan (justice) digunakan sebagai nilai penting
dengan maksud agar melaui KLHS dapat dihasilkan kebijakan, rencana dan program yang tidak
pembatasan akses dan control terhadap sumber-sumber alam atau modal atau pengetahuan.
kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan sector, wilayah, global-
lokal. Pada aras yang lebih mikro, yakni proses KLHS, keterkaitan juga mengandung makna
dihasilkannya KLHS yang bersifat holistic berkat adanya keterkaitan analisis antar komponen
Analisis multi
6.RENCANA PEMANTAUAN DAN criteria,
PENGOLAAN KRP survei public,
Implementasi mitigasi dampak; valuasi
Monitoring untuk perbaikan KRP, ekonomi
Efektifitas Tindak lanjut pengelolaan dampak
biaya, analisis KRP melalui pembentukan system
manfaat biaya yang adaptif
Gambar 2.1 Kerangka Kerja KLHS Secara Umum (Dapat disesuaikan dengan
Keadaan)....................................................................................................................................................... 2-15
Gambar 2.2 Contoh Integrasi Penyusunan Dokumen KLHS Dalam Evaluasi
Laporan RTRW Propinsi........................................................................................................................ 2-16
Gambar 2.3 Kerangka Sederhana Pendekatan Daya Dukung Lingkungan............2-19
Gambar 2.4 Kerangka Kerja dan Metodologi KLHS.......................................................2-22