Anda di halaman 1dari 28

EKOREGION

APDIYANI TOALU
EKOREGION PERLINDUNGAN &
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Memahami konsep ekoregion merupakan hal yang penting sebelum melakukan
analisis hingga pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan hidup,
seperti rencana tata ruang, rencana pembangunan, dan kajian lingkungan
hidup strategis (KLHS). Artikel ini akan memaparkan hal-hal dasar/konseptual
mengenai ekoregion.

Defenisi Ekoregion (Ekosistem Region) adalah


Wilayah geografis dengan kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,fauna asli dan
pola interaksi manusia dengan alam yg menggambarkan integritas system alam
lingkungan hidup. Ekoregion menjadi unit special dalam inventarisasi dan
analisis lingkungan hidup.
Undang-Undang No 32 thn 2009 tentang perllindungan dan pengelolaan
Presentation title 3

EKOREGION
Latar Belakang Penetapan Ekoregion
Ekoregion menjadi salah satu asas dalam upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Maksud dari “asas
ekoregion” adalah harus diperhatikannya karakteristik sumber
daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal, dalam setiap upaya PPLH [1].

Di samping itu, ekoregion juga dijadikan sebagai 


unit spasial dalam inventarisasi dan analisis lingkungan
hidup. Hal ini untuk memastikan terlaksananya koordinasi
horizontal antar wilayah administrasi yang saling bergantung
(misalnya hulu-hilir) dalam PPLH. Penetapan ekoregion
memungkinkan kita melihat keterkaitan, interaksi, dan
Konsep ekoregion dapat dikatakan sebagai
perwujudan konsep ekosistem, atau dapat
dikatakan sebagai ekosistem region [3].

Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),
ekoregion didefinisikan sebagai wilayah
geografis yang memiliki kesamaan
ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli,
serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem
Penetapan Ekoregion di Indonesia
Pada tahapan perencanaan PPLH, penetapan wilayah
ekoregion dilakukan dengan mempertimbangkan
kesamaan [1]:
(1) karakteristik bentang alam;
(2) Daerah aliran sungai;
(3) Iklim;
(4) flora dan fauna;
(5) sosial budaya;
(6) ekonomi;
(7) kelembagaan masyarakat;
(8) hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Dalam implementasinya, penetapan ekoregion
menggunakan kedelapan parameter yang telah
disebutkan merupakan hal yang cukup sulit di Indonesia,
karena ketersediaan data yang tidak merata di seluruh
wilayah.
Implikasinya, penetapan ekoregion yang telah dilakukan
di Indonesia saat ini belum sepenuhnya menggunakan
konsep dasar ekologi, yang mengasumsikan adanya
hubungan erat yang saling mempengaruhi antara iklim,
ketinggian tempat, tipe batuan, bentuk lahan, tanah,
kondisi hidrologi, & organisme [4].

Distribusi ekoregion divisualisasikan dalam bentuk peta


ekoregion yang biasanya memuat informasi mengenai
karakteritik bentang alam berupa geomorfologi dan
Geomorfologi adalah deskripsi kualitatif bentuk permukaan bumi, seperti
dataran perbukitan, dan pegunungan; deskripsi kuantitatif bentuk
permukaan bumi, seperti kelerengan, panjang lereng, ketinggian, dan
lainnya. Sementara itu, morfogenesa berkaitan dengan asal mula dan
perkembangan, serta proses pembentukan bentuk lahan 

[4]. Kedua unsur ini dipertimbangkan sebagai pendekatan karena


memiliki sifat statis, yaitu apabila terjadi perubahan, perubahannya terjadi
dalam jangka panjang. Berbeda halnya dengan unsur manusia, flora dan
fauna yang sifatnya lebih dinamis, sehingga hanya digunakan sebagai faktor
pengisi [2].

Berdasarkan unsur geomorfologi, ekoregion daratan dibagi dalam tiga kelas,


yaitu dataran, perbukitan, dan pegunungan. Berdasarkan morfogenesanya,
     
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah
menetapkan wilayah Ekoregion Indonesia pada pulau, kep
ulauan, dan laut yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Bali dan Nusa
Tenggara, Kepulauan Maluku, dan wilayah perairan NKRI.
Batas wilayah ekoregion yang ditetapkan ini bersifat
indikatif dan berisi informasi karakteristik bentang alam
Ekoregion Indonesia. Informasi ini menjadi acuan untuk
melaksanakan [5]:
1.Inventarisasi lingkungan hidup dan pemetaan rinci ekoregion;
2.Pengukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan
3.Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).

Referensi:
[1] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[2] Dariah, A. Pembangunan Pertanian Berbasi Ekoregion dari Perspektif Lingkungan Hidup,
(online, http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/ekoregion/Bab-II-1.pdf).
[3] Riqqi, A., Hendaryanto, Safitri, S., Mashita, N., Sulistyawati, E., Norvyani, D.A., Afriyanie,
D. (2018). Pemetaan Jasa Ekosistem, Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2018, (online, 
http://semnas.big.go.id/index.php/SN/article/view/962/275).
[4] Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan (Vol
1). Jakarta, Indonesia: Deputi Tata Lingkungan.
[5] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia.
THANK YOU
KLHS
Latar Belakang Pelaksanaan KLHS
Konsep Pembangunan Berkelanjutan saat ini menjadi perhatian utama dalam
berbagai proses perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan.
Setidaknya, terdapat tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan,
yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dalam kerangka pembangunan, ketiga
pilar ini dilengkapi pula oleh pilar hukum dan tata kelola kelembagaan.
Terkait lingkungan, pemanfaatan lingkungan yang berkelanjutan
Sejalan dengan amanat konstitusi yang tertera pada Pasal 28 H Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak asasi atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat [1]. Pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan menuntut adanya upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan. Oleh
karena itu, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), pemerintah dan pemerintah daerah
diwajibkan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk menjamin telah
dijadikannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar dalam
perencanaan dan penyusunan kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) [2].
Definisi KLHS dan Perbedaannya dengan AMDAL

Dalam UUPPLH, KLHS didefinisikan sebagai analisis sistematis, menyeluruh,


dan partisipatif yang bertujuan menjamin bahwa prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
proses pembangunan daerah dan penyusunan KRP [2], di antaranya KLHS
pada umumnya dilakukan untuk penyusunan dan/atau peninjauan kembali
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan (RPJM dan
RPJP) Daerah.
Penyusunan KLHS untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Berdasarkan Permenlhk Nomor 69 Tahun 2017, Pasal 7–8, penetapan KRP
yang wajib dilaksanakan KHLS dilakukan dengan cara penapisan, yang
melalui tahapan (1) identifikasi lingkup wilayah pengaruh KRP berdasarkan
cakupan ekosistem dan ekoregionnya, (2)menguji muatan KRP terhadap
kriteria dampak dan/atau risiko lingkungan hidup dan pembangunan
berkelanjutan, yang meliputi (namun tidak terbatas pada) perubahan iklim;
keanekaragaman hayati; intensitas dan cakupan wilayah bencana; sumber
daya alam; fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; penduduk miskin dan
keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan risiko terhadap
Penyusunan KLHS untuk Rencana Pembangunan Daerah (RPD)
Mengacu pada Permendagri Nomor 7 Tahun 2018, Pasal 3, tahapan
penyusunan KLHS untuk RPJMD secara umum meliputi pembuatan dan
pelaksanaan, penjaminan kualitas dan pendokumentasian, dan validasi
KLHS [6].
1.Pembentukan Tim/Kelompok Kerja Pembuat KLHS. Tim ini terdiri dari
anggota yang memenuhi standar kompetensi berupa kriteria ketepatan
keahlian pada isu yang dikaji dan pengalaman di bidang pembuatan dan
pelaksanaan KLHS atau kajian sejenis.
2.Pengkajian Pembangunan Berkelanjutan/Perumusan Isu Strategis. Kajian
ini meliputi tahap analisis data, konsultasi publik, dan penetapan isu.
Identifikasi isu strategis dilakukan dengan melihat kondisi saat ini dan
pencapaiannya terhadap target. Analisis isu biasanya ditinjau dari (namun
tidak terbatas) kondisi lingkungan hidup (kajian 6 muatan KLHS, lihat Pasal
13 PP 46/2016), isu strategis RPJMD (dapat berupa rancangan awal/dokumen
3..Perumusan Skenario dan Rekomendasi Pembangunan Berkelanjutan.
Tahap ini untuk merumuskan alternatif atau proyeksi kondisi capaian di
beberapa tahun mendatang serta memberikan rekomendasi kebijakan dan
arahan program yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
isu/permasalahan yang ada. Pada tahapan ini juga dilakukan konsultasi
publik.

4. Penjaminan Kualitas, Pendokumentasian, dan Validasi. Kegiatan ini


dilakukan dalam rangka memastikan telah tepatnya proses pembuatan
maupun isi KLHS RPJMD, serta telah diintegrasikannya rekomendasi KLHS
ke dalam RPJMD.
Pada dasarnya, KLHS — yang istilahnya dalam bahasa Inggris adalah Strategic
Environmental Assessment (SEA)– bukanlah konsep baru dalam pembangunan
berkelanjutan, khususnya dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Sebelum didorongnya pelaksanaan KLHS, bentuk kajian
terhadap lingkungan (Environmental Assessment) yang lebih dikenal dan
digunakan adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau
dalam bahasa Inggris Environmental Impact Assessment (EIA).
AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan [2]. KLHS mulai diwajibkan salah satunya untuk merespon
kebutuhan analisis lingkungan yang lebih global dan mempertimbangkan
efek kumulatif dalam penyusunan KRP. Partidário (1999) merumuskan
kekurangan AMDAL, sebagai instrumen pengkajian lingkungan, antara lain
[3]:
1.Waktu pengambilan keputusan. AMDAL berlangsung pada tahap yang
dapat dikatakan sudah terlambat untuk mempertimbangkan dampak
kebijakan dan merencanakan keputusan. AMDAL terjadi tanpa adanya
penilaian dampak sistematis yang hasilnya dapat mempengaruhi
perencanaan dan desain proyek/kegiatan.
2. Sifat keputusan. AMDAL merupakan instrumen yang bersifat lebih teknis.
Sementara itu, dalam pembangunan nasional diperlukan alat penilaian
dampak yang pada dasarnya dapat diadaptasi untuk tingkat pengambilan
keputusan yang lebih strategis dan bertahap.

3. Tingkat informasi. Pada tingkat kebijakan dan perencanaan seringkali


ada keterbatasan dalam ketersediaan informasi. AMDAL membutuhkan
tingkat informasi dan kepastian yang lebih mendetail, sehingga seringkali
menyulitkan pemerintah daerah dalam melaksanakan analisis dan
implementasinya.
Pada Seminar Internasional SEA tahun 1998 dirumuskan bahwa tujuan dan
sasaran SEA, di antaranya [4]:
1.KLHS membantu mencapai perlindungan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan melalui peringatan dini efek kumulatif KRP.
2.KLHS berperan memperkuat AMDAL dengan mengurangi waktu dan upaya
yang diperlukan untuk melakukan tinjauan pada skala proyek/kegiatan; serta
menyediakan identifikasi pendahulu mengenai ruang lingkup dampak
potensial dan kebutuhan informasi.
3.KLHS mampu mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam pengambilan
keputusan khusus yang bersifat sektoral.
Mekanisme Pelaksanaan Penyusunan KLHS
Tahapan atau tata cara penyusunan KLHS untuk RTRW maupun RPJMD, oleh
Pemerintah Daerah di Indonesia, telah diatur di dalam:
1.Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 69 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian lingkungan Hidup Strategis.
2.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 07 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pelaksanaan dalam Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
KLHS
Persiapan dan pembentukan tim/kelompok kerja

Pembuatan dan pelaksanaan

Penjaminan kualitas/ Pendokumentasi

Validasi KLHS
Dalam rangkaian penyusunan KLHS, baik untuk (namun tida k terbatas
pada) RTRW maupun RPJMD, terdapat kegiatan Konsultasi Publik/Uji Publik
yang dilakukan khususnya pada tahap perumusan isu strategis dan
perumusan skenario dan rekomendasi. Konsultasi/Uji publik ini dilakukan
untuk memastikan bahwa dalam penyusunan KLHS sudah melibatkan
pemangku kepentingan dalam pembangunan daerah (asas partisipatif).
Dalam rangkaian penyusunan KLHS, konsultasi public dilakukan khususnya pada
tahap perumusan isu sstrategis dan perumusan scenario dan/atau rekomendasi

Konsultasi public dilakukan untuk memastikan bahwa dalam penyususnan KLHS,


sudah melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan daerah (asas
partisipatif)
Referensi:
[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[2] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[3] Partidário, M. R. (1999). Strategic Environmental Assessment — principles and potential,
ch 4, in Petts, Judith (Ed.), 
Handbook on Environmental Impact Assessment, 60–73. Blackwell, London.
[4] Sadler, B. (1998). Report on the International Seminar on SEA. Lincoln: UK-DETR.
[5] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 69 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Kajian lingkungan Hidup Strategis.
[6] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 07 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pelaksanaan
dalam Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah.
26

Anda mungkin juga menyukai