Anda di halaman 1dari 35

Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)

Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Pada bab ini berisikan penjelasan mengenai gambaran umum dan


kondisi eksisting lingkungan, analisis perlindungan lingkungan dan
sosial seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), AMDAL,
UKL – UPL, dan SPPLH, serta perlindungan sosial pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan pembangunan
bidang Cipta Karya.

10.1 Aspek Lingkungan dan Sosial

10.1.1 Aspek Lingkungan

Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan


diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU
24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU
26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang
semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut,
kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang
belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya
dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat
mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global,
secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan
(developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini,
ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi
ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti
menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi
hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih
berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh
masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang
diperoleh.

X-1
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi
tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU
26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar
penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata
ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah
maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA]
menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking]
perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai


landasan operasional pelaksanaan pembangunan, sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM
Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UUtentang Penataan
Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara
filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan
fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.

Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam
konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah melalui implementasi UU Penataan
Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi,tujuan, dan strategi pembangunan
sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan
tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada


lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai
dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan
kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH,
Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan
pembangunan daerah tetapi juga pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan,
metode,dan teknis analisis.

Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat
proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis,
setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan
Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu instrumennya yaitu AMDAL

X-2
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada
aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal
sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat
dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap
awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping)
serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain,
KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman
selama ini, dapatditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat
dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan
nasional maupun daerah.

Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif
mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun
pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya
alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam konteks kebijakan
penyelenggaraannya.

Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan lingkungan


hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus


pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan
transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai
dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor
lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan
lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami, dan
lainnya).

X-3
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan
sumber daya alam.

Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan


ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan
daerah.
3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan
penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan
pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat
nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat
akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan
aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi
wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan
dini terhadap bencana.

Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program


pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber
daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program
ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem
kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan
tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah yang
rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta bencana alam
lainnya;

X-4
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

10.1.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009


serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual
sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan
mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi
pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi
payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan
dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat
holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang
saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam. Bahkan dari
sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai
integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme
dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian
untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan
metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam
kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum
terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya
kemungkinan ketidakserasian antar kebijakan sektoral yang seringkali
menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh
kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan
Presiden hingga Peraturan Daerah).

Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-


terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan
strategis pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan
yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang
secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi
kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No.
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang
(UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia
pasti terkait secarasistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan
hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan
dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengansistem

X-5
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks


perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan
mendatang.

Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala


regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya
instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah
dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai internasional pada
tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic
Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi
perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di
sejumlah negara di Asiadan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa
badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank.

Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk


mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi
pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih
dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-
kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya,
sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin
meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan
hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS
ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan,
perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah.

Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya
masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja
untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional.
Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam
merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan
evaluasinya,baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.

Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang
menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan
pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS

X-6
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu


kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua,
menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.

Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses


sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin
diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan
yang bersifat strategis SEA is a systematic process for evaluating the
environmental effect of, and for ensuring the integration of sustainability
principles into, strategic decision-making].

KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun,


mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan
dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana
dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan.
Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan
keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus
bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa
menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan
evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis
pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran
RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk


meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya,
menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan
keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif,
kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan
kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region”
dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga
kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif.
Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis
KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari
sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.

X-7
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka


bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat
ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :

1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)

KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada


efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.
Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis
telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.

2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup(Environmental


Appraisal)

KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan


KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga
bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut
pandang aspek lingkungan hidup.

3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated


AssessmentSustainability Appraisal)

KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin


keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan
paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian
dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.

4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya


Alam(Sustainable Natural Resource

Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable


Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang
tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan
sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan
sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan

X-8
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara


model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan
pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.

Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk


kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan
dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang
dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur
pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan
politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.

Tabel 10.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW

Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda,


namun secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS
dapat dijelaskan sebagai berikut :

X-9
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Gambar 10.1 Kerangka Kerja KLHS

Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS


terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan
atas alasan-alasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai
strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan
memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c)
memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan.
Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak
diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa
ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

 Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan


kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan
pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah
atau DAS dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana


banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah
mengalami krisis ekologi? dan/atau

X - 10
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

 Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara


termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah
yang berpenduduk padat? dan/atau

 Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah


penduduk golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas
akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat
mereka akses? dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan


penghidupan (livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok
masyarakat tertentu di masa mendatang?

Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek
penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.

Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk


mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan
timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat
adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan
pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.

Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan


evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya
RTRW; serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip
keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan
penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan
dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan
rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi,
kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim
dibutuhkan, antara lain:

 Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,


 Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
 Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim dan bencana lingkungan.
 Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

X - 11
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi


pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program
atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas
pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan
efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat
energi).

Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang


bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang
dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat
menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai
metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain:
compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis
skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan
prioritas, dll.

Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut


dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya
efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan
efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa
mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.

Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen


kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat.
Namun demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat
bervariasi bergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan
yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari
pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara
umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau
provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan
intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS
diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses
pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin
dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat
operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan
langsung dengan kegiatan masyarakat.

X - 12
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi


masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan
tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata
laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan
keputusan.

Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan


memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif
pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan
keputusan yang sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam kasus
dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh
komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari
langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS
hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di
tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone).
Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya
pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan
memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak
semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa
mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.

Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang


wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali
tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata
ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan
guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung
lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas
rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan
tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan
metodologi/muatan perencanaan.

X - 13
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

10.1.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH

AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap


lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek
fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat
sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di
sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui
secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan hidup, baik
dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau
kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak
negatif dan mengembangkan dampak positif.

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di


antaranya digunakan kriteria mengenai :

 Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha


dan/atau kegiatan;
 Luas wilayah penyebaran dampak;
 Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
 Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
 Sifat kumulatif dampak;
 Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang


kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup meliputi :

 Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam


 Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak
terbaharu

X - 14
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

 Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan


pemborosan, Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta
kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
 Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
 Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
 Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia


diberlakukan berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986)
sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup
yang saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan
instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan
lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL
merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri.
Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL
harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencan aan kegiatan
pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL
harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini
proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan.
Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya
untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.

Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :

1. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang
berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana
kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin
dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen
Perindustrian.

2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi


suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya
keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi,
serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan
lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan

X - 15
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan
tanaman industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit
tenaga listrik uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan
untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih
dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen
kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.

3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana


kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatua n hamparan
ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah
rencana kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini
masing -masing kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi membuat
AMDALnya, karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.

4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana


kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal
perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini
melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dal am satu
kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana
Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah
pembangunan kota -kota baru.

Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan


memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun
1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta
BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya
menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara
nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk
memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru
dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di dalam
proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak,
proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan , yaitu :

1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu


rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan

X - 16
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu


rencana kegiatan pembangunan.

2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini


LSM telah dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan tetapi
suaranya belum sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan
keputusan.

3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi


AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai
rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL
akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.

4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek


“sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi
sosial –budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi


pembuatan perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri
yang demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika
program ini diterapkan di negara berkembang dengan kondisi budaya dan
sosiopolitik b erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan.
Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam
penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di
negara-negara berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus
pada faktor-faktor teknis, seperti :

 Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,


 Kekuatan institusi ,
 Pelatihan ilmiah dan profesional,
 Ketersediaan data.

Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan
lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri.
Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan
penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan
barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan

X - 17
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972


dan Rio De Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan
kebijakan lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga
inisiatif bersifat “ bottom up ”.

Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena


kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi
dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan
dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting.
Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan
menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk
melindungi kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda
sosial untuk perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai
sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta
huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim
politik yang terlalu mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi
tersebut.

Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan


antar instansi , karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL,
seharusnya instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan
koordinasi, berbagi informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL
dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan
perencanaan lingkungan, serta mneyusun rekomendasi. Kerjasama ini
tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan AMDAL di Indonesia. Dalam
penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang berada di masing -
masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri -sendiri. Komisi dapat
menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain
yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin
egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama
sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama
menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek
dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.

Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi


masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi
dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya

X - 18
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi


masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat.
Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter
budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut.
Sebaliknya di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya
konsult asi masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang mana
pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau
kepentingan bersama.

Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor


budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika
mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program
seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan
budaya yang berbeda.

Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral


dan ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara
Lingkungan Hidup di mana semua stakeholders (para pihak terkait) duduk di
dalamnya, baik wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan
kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan
Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Sonny
Keraf saat membuka Workshop Nasional "Pengembangan Kapasitas
Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta. Seiring
desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan
ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi
berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan
kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani proses
Amdal di daerah bersangkutan.

"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan


dan proses mengenai Amdal hanya satu pintu. Dengan demikian tidak ada lagi
egosektoral yang selama ini mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan
kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya
dipandang sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .

X - 19
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu


dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha.
Dengan demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap
memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan
tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan
kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai
rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus
dikedepankan.

Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada
lagi keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa
memiliki suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan
Keputusan Kepala Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi
masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi kewenangan Amdal
merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap
aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas
pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.

Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah


menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia.
Karena itu, kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level
pemerintah.

Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan


hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting
terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan


Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan
kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup
dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL.

UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam


pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan

X - 20
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak


penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL
dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan
perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi
UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka
UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak
dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-
UPL diterbitkan.

Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure)


selanjutnya disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai
prosedur operasional yang berlaku.

10.1.2 Aspek Sosial

Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami upaya
pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan upaya pengamanan
sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan bahwa
pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara garis besar
mekanisme penerapan pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:

 Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan


kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan, pengusulan
kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pemanfaatan dan
pemeliharaan.
 Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah disediakan yang
memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja, termasuk dalam hal ini
kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.
 Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi
kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.
 Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel kriteria
penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan penapisan khusus untuk
semua usulan kegiatan masyarakat yang membutuhkan tanah dan perubahan
penggunaan air (misal reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak

X - 21
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

lingkungan untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek
yang baik.
 Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.

Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan pengamanan sosial


dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

 Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.


 Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.
 Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.
 Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.
 Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.
 Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.
 Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama pelaksanaan
program.
 Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.
 Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.
 Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah padat/cair,
kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.
 Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.
 Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.

10.1.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab


sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen,
praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi
manusia, dan governance organisasi.

Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur


tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank
Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.

X - 22
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

a. Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara
penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi
dampak operasionalisasi terhadap lingkungan.
b. Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara
efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk
berunding secara kolektif.
c. Hak Asasi Manusia
Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan
mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan
pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di
luar pekerjaan.

d. Keterlibatan dalam komunitas


Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang,
waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya
lainnya pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.
e. Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan,
perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.
f. Pasar
Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan
antara perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika
pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan
produk.
g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya
saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal,
kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan
mikro.
h. Proteksi Kesehatan
Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting
untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat
berperan sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.

X - 23
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

i. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan


Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar
dengan memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat
memberikan dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar
pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan
menularkan praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih
berada dalam tingkat perekonomian berkembang atau transional.
j. Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM
memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana
kemanusiaan. Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep “respon
proaktif” dan memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya
pemberdayaan.

10.1.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor


penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas
lingkungan hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja
infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global,
selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha.

Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan


infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan
nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia,
antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang
terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5%
per tahun akibat tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan
mesin pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga
proses pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran
pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga
25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai
65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan
diperkirakan mencapai 53 – 54%.

X - 24
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan


untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada
sebelumnya. Demikian juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua
golongan masyarakat, terutama masyarakat miskin.

Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan


pembangunan yang bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang
sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta
ketersedian infrastruktur suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan
permukiman dapat mendukung pengembangan ekonomi dan wilayah secara
efisien dan efektif.

Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan


permukiman ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan
yang menjadi bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan
lingkungan) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Tantangan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah menjaga kawasan dan
lingkungan hunian yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan tanpa
mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia semakin penting
sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang dipicu oleh keprihatinan
terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius dan sudah pasti
apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang buruk
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan di masa
mendatang.

Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif


tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir
belum dilakukan secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh pendanaan
infrastruktur yang masih under-investment (< 2% PDB). Anggaran
pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-
daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum
sepenuhnya terpenuhi.

X - 25
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu


pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk
masyarakat berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu,
tidak dapat diabaikan pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur
bersama, seperti pada kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA,
BIMP-EAGA, IMT-GT, SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia
Railway yang akan menuntut upaya sungguh-sungguh dari segenap pelaku
pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena itu upaya untuk memobilisasi
berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dengan
mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama pemerintah-swasta
(KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta dana
preservasi jalan.

Dari sisi penyelenggaraan, banyaknya daerah pemekaran baru serta


delivery system yang diterapkan, termasuk adanya tugas pembantuan dan
dekonsentrasi menuntut adanya pemantapan tugas umum pemerintahan
berupa pengaturan, pembinanan, pengawasan, dan fasilitasi bantuan teknis
dalam dalam penguatan kapasitas kelembagaan ke-PU-an di daerah.
Pelaksanaan pembangunan juga masih diwarnai praktik-praktik Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) walaupun melalui kebijakan selama ini telah
pula dilakukan pembenahan cukup signifikan untuk menghapus praktik-praktik
tersebut.

Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun yang
akan datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara
optimal oleh jajaran birokrasi melalui reformasi birokrasi yang mengedepankan
transparansi dan akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan disiplin dan etos
kerja yang prima.

Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan


adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang
berkualitas dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan
daya saing Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian
pula dengan infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi dan pengembangan wilayah diharapkan akan dapat terus mendorong

X - 26
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus


mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.

Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan


infrastruktur, khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah
kendala alamiah berupa struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi
penduduk di Jawa dan luar Jawa; menurunnya kinerja infrastruktur yang
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti jalan
provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk
pembangunan infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya kelancaran
pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.

Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang


ke-Cipta Karya-an diuraikan di bawah ini.

Tantangan pembangunan

 Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk


meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota
metro/besar yang sampai saat ini masih belum menuai hasil yang
optimal. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah
yang masih rendah, sementara konflik sosial yang berkaitan dengan
pengelolaan TPA sampah sampai saat ini masih sering terjadi di samping
ketersediaan sarana dan prasarana persampahan masih belum memadai.
 Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan terkecil
hingga wilayah yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi maupun
antar kabupaten/kota dan provinsi.
 Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan
akan menuntut pelayanan sanitasi sesuai dengan kriteria kesehatan dan
standar teknis.
 Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas
sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan
dan daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik
dan kesehatan.
 Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta) dalam
pendanaan pembangunan prasarana air minum.

X - 27
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

 Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air minum


baik dalam pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air minum.
 Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan
keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah, terdapat backlog
perumahan sebesar 6 juta unit.
 Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun
kebakaran melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan
administrasi/perizinan.
 Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan
gedung memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat
meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan
kriminalitas.
 Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green
building) untuk mengendalikan penggunaan energi sekaligus mengurangi
emisi gas dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi dan adaptasi
terhadap isu pemanasan global.
 Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan
ruang bagi permukiman.
 Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan,
besar, menengah, dan kecil mengacu pada sistem pembangunan
perkotaan nasional.
 Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.

Isu strategis sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an

 Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk


kawasan perkotaan sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih
mengutamakan mengelola persampahan pada kawasan elit dengan
kemampuan membayar dari konsumen yang sudah cukup tinggi. Potensi
swasta dan masyarakat yang sangat besar dalam pengembangan kawasan
belum dikelola dengan optimal.
 Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan
persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat
dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

X - 28
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

 Penanganan sistem drainase perkotaan di Indonesia masih bersifat


parsial, sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan banjir dan
genangan secara tuntas.
 Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional
sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan law
enforcement-nya.
 Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggaraan
air minum di daerah; perlunya perubahan mindset penyelenggaraan,
tugas, dan kewenangan dalam pelayanan air minum; makin sulitnya
penyediaan air baku; serta masih rendahnya cakupan dan kualitas
pelayanan penyelenggaraan air minum.
 Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak
konsistennya pembangunan dengan rencana tata ruang dan tata
bangunan yang ada.
 Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai
dengan pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan bangunan
gedung dan lingkungan, serta mendorong daerah untuk lebih optimal
dalam pengelolaan gedung dan penataan lingkungan dengan melengkapi
Perda tentang Bangunan Gedung; Ruang Terbuka Hijau; Rencana Induk
Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK); Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan; dan pengelolaan sanitasi.
 Meningkatkan jumlah bangunan gedung yang andal (keselamatan,
kesehatan, kenyamanan dan kemudahan) serta meningkatkan kualitas
pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.
 Meningkatkan jumlah kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional yang
direvitalisasi dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk
penataan lingkungan.

Tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi

 Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM)


Departemen PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi
nasional untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi. Tantangan ke depan pemerintah perlu
lebih serius melaksanakan pembinaan jasa konstruksi mengingat

X - 29
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

meningkatnya concern terhadap jasa konstruksi. Sementara di lain pihak


pembinaan jasa konstruksi yang selama ini berjalan ditengarai dan
dipersepsikan lebih menjadi bagian dari tugas Departemen PU semata
dan belum menjadi tanggung jawab semua pihak.
 Meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan jasa
konstruksi sebagai tindak lanjut Surat Edaran Mendagri No. 601/2006
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Daerah dengan membentuk
unit kerja yang mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi dan
pengalokasian APBD untuk pembinaan jasa konstruksi perlu mendapat
apresiasi yang positif. Namun unit struktural pembina jasa konstruksi
daerah belum jelas dengan berlakunya PP 41/2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah karena tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa
pembinaan jasa konstruksi masuk dalam rumpun urusan pekerjaan
umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai pembentukan unit struktural
pembina jasa konstruksi di daerah belum tersedia dan Tim Pembina jasa
konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000 yang bertugas untuk
mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar departemen dan
LPND terkait dalam rangka pembinaan jasa konstruksi daerah (provinsi)
belum terbentuk.
 Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan
kepentingan-kepentingan politis, sementara forum jasa konstruksi belum
intens dan kurang maksimal melakukan pembinaan.
 Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme
industri konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha
konstruksi kecil dan menengah antara lain karena lemahnya penguasaan
teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta
masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang
belum sesuai standar .
 Dari sekitar 115 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya
memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang
umumnya disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60%
pasar jasa konstruksi Indonesia lainnya, justru diambil kontraktor luar
negeri terutama sektor migas. Sementara permintaan keterlibatan badan
usaha/tenaga kerja konstruksi di luar negeri terus meningkat.

X - 30
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Isu strategis sub bidang jasa konstruksi

 Kompetensi SDM Konstruksi Indonesia masih harus ditingkatkan dalam


bersaing di tingkat internasional. Pemerintah perlu meningkatkan
kemampuan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan agar dapat
menghasilkan keluaran (lulusan) yang memiliki standar internasional.
 Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi
menuju tenaga ahli bidang konstruksi terampil.
 Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi masih menghadapi
permasalahan pada proses sertifikasi yang masih kurang obyektif dan
mahal, sehingga langsung atau tidak langsung menyebabkan tenaga ahli
dan tenaga terampil bidang konstruksi masih jauh dari cukup.
 Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu pada
kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana
pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara
tetangga).
 Meningkatkan kualitas sertifikasi dan pelatihan tenaga kerja konstruksi.
 Penerapan konsep green construction yang merupakan proses konstruksi
yang menggunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah
lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon
pemanasan global.
 Lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha
Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan
mutu konstruksi yang belum sesuai standar .
 KKN dalam industri konstruksi nasional masih dominan dalam perilaku
bisnis jasa konstruksi. Kondisi ini telah membuat persaingan di industri
konstruksi bukan berdasarkan kompetensi tetapi negoisasi atau lobby
(oligopolis).
 Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat ketidakseimbangan
antara supply dan demand. Oleh karena itu perlu upaya pembinaan
perusahaan jasa konstruksi melalui penerapan kualifikasi atau persyaratan
dalam pendirian badan usaha jasa konstruksi.
 Globalisasi bisnis konstruksi merupakan suatu keniscayaan. Liberalisasi
perdagangan jasa konstruksi merupakan suatu yang akan terjadi.

X - 31
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Indonesia sebagai negara anggota WTO akan dihadapkan pada tekanan


untuk membuka pasar konstruksi domestik.
 Otonomi daerah sebagai instrumen desentralisasi akan menjadi
pendorong perdagangan sektor konstruksi nasional menjadi berkembang
akibat kebijakan penanaman modal langsung ke daerah.

Tantangan pembangunan bidang penataan ruang

 Melengkapi peraturan perundangan dan Norma, Standar, Prosedur, dan


Kriteria (NSPK) di bidang penataan ruang untuk mendukung
implementasi penataan ruang di lapangan.
 Meningkatkan pemanfaatan RTR secara optimal dalam mitigasi dan
penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah, dan
pengembangan kawasan.
 Meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang terutama melalui dukungan sistem informasi dan
monitoring penataan ruang di daerah untuk mengurangi terjadinya
konflik pemanfaatan ruang antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku.
 Meningkatkan kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian
pemanfaatan ruang.
 Meminimalkan potensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut, pesisir
dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan koordinasi dan penyediaan
pedoman penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil agar
sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dapt dimanfaatkan secara
optimal.
 Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang.

Isu strategis bidang penataan ruang

 Perlu segera menyelesaikan peraturan operasionalisasi Undang-Undang


Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan
bahwa seluruh Peraturan Presiden harus diselesaikan pada tahun 2012,
sementara seluruh Peraturan Menteri yang berbentuk NSPK dan RTRW
Kabupaten/Kota harus diselesaikan/disesuaikan pada tahun 2010.
 Pentingnya menyelesaikan penyesuaian/revisi RTRW Kabupaten/Kota.

X - 32
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

 Perlu segera menyelesaikan RTR Kawasan Strategis Nasional seperti


Kawasan Ekonomi Khusus untuk mengantisipasi fenomena ekonomi
global sebagaimana diamanatkan oleh RTRWN.
 Melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang dengan melengkapi
instrumen hukum sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
 Meningkatkan kemampuan aparat perencana maupun pelaksana
pengendali dan pengawas pemanfaatan ruang, baik di tingkat pusat
maupun di daerah, untuk menjamin pelaksanaan RTR yang semakin
berkualitas serta dalam rangka pengendalian dan pengawasan
pemanfaatan ruang yang efektif.
 Menyelenggarakan upaya-upaya sosialisasi yang lebih memadai guna
meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kegiatan penataan ruang,
baik dalam perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian dan
pengawasan pemanfaatan ruang.
 Menyelaraskan pola penyusunan RTRW di daerah dalam rangka menjaga
keserasian antardaerah dan antartingkatan RTRW.

10.1.2.3 Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta


Karya

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari sudut ruang perkotaan


secara umum, dan penyediaan ketersediaan infrastruktur bidang ke-Cipta
Karya-an adalah permasalahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat
analisis lokal, serta memberikan wawasan segar tentang bagaimana sosialisasi
terhadap infrastruktur yang dibangun.

Aspek Sosial Merupakan aspek akhir dari seluruh hirarki dari kajian
seluruh studi kelayakan. Suatu proyek investasi harus memiliki kohesif dengan
masyarakat di lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan inklusif. Sehingga
investasi tersebut tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, khususnya
masyarakat sekitar kawasan pembangunan. Dinilai layak investasi dan dapat
diambil suatu keputusan investasi setelah mempertimbangkan seluruh aspek
kajian secara hirarki dan proyek dapat dinyatakan bermanfaat bagi masyarakat.

X - 33
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

Pengarusutamaan sosial dalam penyelenggaraan pembangunan bidang


Cipta Karya sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial di dalam
memperoleh aksesibilitas, kontrol, partisipasi dan manfaat dari penyelenggaraan
pembangunan bidang Cipta Karya.

Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya


diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu
aspek yang perlu ditindaklanjuti adalah isu kemiskinan. Kajian aspek sosial
lebih menekankan pada manusianya sehingga yang disasar adalah kajian
mengenai penduduk miskin, mencakup data eksisting, persebaran, karakteristik,
hingga kebutuhan penanganannya.

Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan


pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan
responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood
Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur
Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan Infrastruktur
Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi
Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang
Cipta Karya.

Menindaklanjuti hal tersebut maka diperlukan suatu pemetaan awal


untuk mengetahui bentuk responsif gender dari masing-masing kegiatan,
manfaat, hingga permasalahan yang timbul sebegai pembelajaran di masa
datang di daerah.

Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran


kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir
terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan
beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian
kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali.

Permasalahan yang perlu diantisipasi di masa datang :

1. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk


memberikan informasi kepada masyarakat, terutama kelompok

X - 34
Penyusunan Revisi Dokumen Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM)
Bidang Cipta Karya Kabupaten Enrekang Tahun 2016-2020

masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang


Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung
aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan
pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu
dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan
AMDAL dan pembebasan lahan
2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan.
Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas
tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta
karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah
ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip
utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus
dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan
standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan
pengadaan tanah ini.
3. Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang
memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya
kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek.
Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana
pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat
proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas
kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan
kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan,
perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang
dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.
4. Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi
manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat
terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti
kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang
menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan
oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.

X - 35

Anda mungkin juga menyukai