Anda di halaman 1dari 17

RINGKASAN EKSEKUTIF (RE)

DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN HIDUP DAERAH ACEH
TAHUN 2021

PEMERINTAH ACEH
TAHUN 2022
DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP DAERAH ACEH

Ringkasan Eksekutif
(Executive Summary)

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.

Arah Kebijakan Pembangunan Aceh difokuskan untuk


menjadi acuan penyusunan program prioritas Aceh Tahun 2023-
2026, diimplementasikan setiap tahunnya yang salah satunya
adalah Pembangunan infrastruktur strategis untuk Mengurangi
Ketimpangan Wilayah dengan tetap Menjaga Kelestarian
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.

Komitmen Pemerintah Aceh melalui misi pembangunan Aceh sangat


relevan dengan DIKPLHD Aceh, berupa pengembangan sistem informasi
dan database Aceh yang terpadu, terpusat, terintegrasi, dan menjadi basis
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dalam pembangunan
Aceh, peningkatan kualitas infrastruktur, terintegrasi, dan lingkungan yang
berkelanjutan, serta akan dibangun dan dikembangkan infrastruktur
berkelanjutan dan terintegrasi di seluruh sektor-sektor pembangunan Aceh.

Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah


(DIKPLHD) merupakan dokumen penyedia data dan informasi disektor
lingkungan hidup sebagai arahan pengambilan kebijakan bagi pemerintah
Aceh. DIKPLHD merupakan bentuk akuntabilitas kepada publik dan
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai Reformasi Birokrasi

1
guna mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable
Development Goals (TPB/SDGs) .
1.2. Profil provinsi Aceh

Secara geografis Aceh dengan Ibu Kota Banda Aceh terletak pada

01o58‟37,2” – 06o04‟33,6” Lintang Utara dan 94o57‟57,6” – 98o17‟13,2”


Bujur Timur. Selanjutnya secara administrasi, berdasarkan Keputusan
Gubernur Aceh Nomor: 140/2020/2019 tentang Daftar Kode Wilayah
Administrasi Pemerintahan Kecamatan, Mukim dan Gampong di Aceh,
terdapat 18 Kabupaten dan 5 Kota, 290 Kecamatan, 819 Mukim, dan 6.497
Gampong/Desa.

Jumlah penduduk Aceh mengalami peningkatan jika dibandingkan


dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2020 penduduk Aceh berjumlah
5.459.891 jiwa, mengalami penurunan pada tahun 2021 menjadi 5.459.114
jiwa, yang berarti penurunan sebesar 777 jiwa.

Posisi geografis dan kelimpahan sumber daya alam yang tinggi


termasuk keragaman hayati baik di darat maupun perairan menjadikan
kawasan ujung barat Pulau Sumatera ini menjadi pusat perhatian dunia.
Ekosistem teristrial dengan ikon ekosistem Leuser menempatkan wilayah ini
sebagai salah satu pusat perhatian dunia.

Indikasi kualitas lingkungan hidup Aceh sampai saat ini dalam kondisi
baik sesuai dengan Nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Aceh 2021
sebesar 75,54 dan berada di atas nilai IKLH Nasional serta di atas target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA). Nilai IKLH Aceh
sebesar 75,54 berada pada kategori “Baik”.
2
1.3. Proses Penyusunan dan Perumusan Isu Prioritas.

Penyusunan dan Perumusan Isu Prioritas DIKPLHD Aceh tahun 2022,


melalui beberapa tahapan meliputi: inventarisasi /list isu lingkungan hidup
(long list) dengan menggunakan metode DPSIR disiapkan oleh Tim Penyusun
berdasarkan data yang disampaikan oleh Tim Pengumpul (instansi terkait dan
stakeholder), selanjutnya daftar isu lingkungan long list disampaikan kepada
Tim Pengumpul untuk dilakukan penjaringan isu prioritas secara partisipatif
melalui rapat tim pengumpul dan Stakeholder. Berdasarkan rapat
penjaringan isu tersebut, dengan metode skoring, maka dihasilkan isu
prioritas, dan dilanjutkan penandatanganan isu prioritas oleh Tim Pengumpul
data dan Stakeholder, isu prioritas yaitu:
1. Kualitas Udara (Peningkatan Jumlah Kenderaan);
2. Tata Guna Lahan (Alih Fungsi Lahan Hutan dan Penegakan Hukum
yang konsisten);
3. Risiko Kebencanaan (Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko
Bencana) dan
4. Tata Kelola (Peran Serta Masyarakat).

Isu Prioritas yang dihasilkan secara proses partisipatif yang telah di


kumpulkan kemudian di analisis lebih lanjut dengan menggunakan metode
DPSIR (Driving force – Pressure – State – Impact – Response) dengan
melakukan hubungan kausalitas antara unsur-unsur pemicu, penyebab
terjadinya persoalan lingkungan hidup, status, akibat dan upaya untuk
memperbaiki kualitas lingkungan.
Dalam penyusunan DIKPLHD, proses kritikal terdapat pada saat
pengumpulan data dari instansi terkait dan Stakeholder, namun data yang
3
diinginkan terkadang tidak sesuai dengan data yang ada, sehingga harus
dilakukan pengolahan data oleh Tim Sekretariat, walaupun demikian,
skenario penyusunan DIKPLHD Aceh yang telah dilakukan dan
diimplementasikan memiliki keunggulan, dimana penyusunan dan analisis
telah dilalui oleh Tim Penyusun melalui proses yang cermat dan terstruktur
(dilakukan evaluasi melalui pertemuan dan cross check).

1.4. Maksud dan Tujuan.

Dokumen IKPLHD dapat memberikan informasi dasar untuk


pengambilan keputusan untuk memperbaiki lingkungan di daerah Aceh,
selain itu untuk mengukur perkembangan dan kemajuan pengelolaan dan
perlindungan lingkungan di Aceh, serta sebagai indikator Pemerintah Aceh
dalam mengukur kinerjanya terhadap pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup.

1.5. Ruang Lingkup DIKPLHD.

Ruang lingkup dan sistematika, serta cakupan Dokumen IKPLHD yang


disusun merujuk pada Pedoman yang diatur dalam Surat edaran Sekjen
KLHK Nomor: S.113/SETJEN/DATIN/DTN.0/2/2022 tanggal 22 Februari 2022
tentang Penyampaian Pedoman DIKPLHD Tahun 2022, serta keluasan
cakupan nya terdiri dari , lingkup waktu, lingkup analisis dan lingkup bab
(sesuai arahan surat pedoman penyususan yang berlaku).

4
II. ANALISIS DRIVING FORCE, PRESSURE, STATE, IMPACT, DAN
RESPONSE ISU LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH.

Data-data berkaitan dengan tata guna lahan, kualitas air, kualitas


udara, resiko bencana, perkotaan dan tata Kelola dipergunakan untuk analisis
DPSIR dari isuprioritas yang diperoleh dari rapat Tim pengumpul data
(Instansi terkait dan Stakeholder), analisis berbasis data dan fakta ini dapat
membantu pejabat pemerintah Aceh pada skala regional maupun nasional
dalam menyempurnakan agenda kebijakanya, memfasilitasi kumunikasi
dengan pemangku kepentingan utama, dan memaksimalkan keuntungan dari
investasi lingkungan yang telah dilakukan, hal ini semua merupakan upaya
untuk memenuhi target SDGs (tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan)
dan untuk menggerakkan maasyarakat menuju masa depan yang baik dan
berkelanjutan

2.1 Tata Guna Lahan.


2.1.1 Tata Guna Lahan – Alih Fungsi Lahan Hutan dan Penegakan
Hukum yang Konsisten.

Pemicu utama terkait tata guna lahan adalah pertambahan penduduk


yang terus meningkat dan dikuti oleh perluasan areal pemukiman dan area
terbangun sekaligus meningkatnya alih fungsi lahan hutan yang akan
memberikan tekanan dan dampak signifikan terhadap penurunan kualitas
lingkungan secara umum dan dampak ikutan lainnya. Kondisi ini diperparah
dengan keterbatasan lapangan pekerjaan dan usaha bagi usia produktif,
sehingga jalan pintas yang dipilih adalah kegiatan dan usaha ekstraktif
terutama dalam kawasan hutan antara lain perambahan dan pembalakan liar.

5
Penegakan hukum yang terukur dan konsisten sangat diperlukan untuk
memastikan tekanan yang dibangkitkan oleh pemicu utama di atas dapat
dikendalikan dan diantisipasi untuk mencegah semakin besarnya dan
masifnya dampak utama dan ikutan pada setiap bentang alam di Aceh.
Respons yang konsisten dan sistematis diharapkan akan menjadi capaian
dalam penguatan kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
Aceh.

Selanjutnya diperlukan intervensi sistematis yang didukung oleh inovasi


terukur dari pemerintah dan mitra pembangunan di Aceh untuk membangun
solusi berbasis bentang alam atau spasial dan program tematik untuk
perbaikan sistem tata kelola lingkungan hidup di Aceh, dimana upaya dan
intervensi secara umum yang menjadi prioritas diantaranya: Perlunya
pengembangan mata pencaharian, sehingga jumlah keluarga miskin di Aceh
dapat disejahterakan dengan memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam
yang disertai tersedianya strategi pengaman (safeguard) untuk menghindari
risiko dan dampak ekologis; Diperlukan upaya perbaikan dan pemulihan
kerusakan yang telah terjadi untuk mengembalikan kondisi daya dukung dan
daya tampung lingkungan sebagai penyangga kehidupan yang lebih baik.

Perbaikan sistem penataan ruang khususnya dalam pengendalian


pemanfaatan ruang sampai pada tingkat tapak degan memperkuat upaya
kepatuhan yang disertai dengan penegakan hukum secara terukur dan
konsisten untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan ekologis;
Penguatan kearifan lokal dan pengelolaan adaptif kawasan dengan
mengedepankan integrasi program tematik dengan bentang alamnya

6
(contoh sistem pemerintahan adat mukim dan adat laot) sebagai yurisdiksi
formal yang diakui dalam kekhususan Aceh.

2.2 Kualitas Air


Faktor penyebab atau pendorong turunnya kualitas air sungai di Aceh
tidak lepas dari kondisi pengolahan limbah cair domestik yang belum
tersedianya unit pengolahan limbah yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari
rendahnya akses masyarakat terhadap sanitasi dasar yang layak. Aceh
(42,03%) berada di bawah rata-rata Indonesia (51,19%), kemudian
rendahnya tingkat pelayanan pengolahan air limbah di perkotaan dan
perdesaan serta fasilitas pengolahan air limbah yang belum memenuhi
standar teknis yang ditetapkan; rendahnya peran serta dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pengelolaan air limbah permukiman serta
potensi yang ada dalam masyarakat maupun dunia usaha belum sepenuhnya
diberdayakan oleh pemerintah; belum memadainya perangkat, serta
pembuangan limbah cair domestik (limbah tinja) dan industri (kecil dan
besar).

Faktor-faktor pemicu lainnya adalah intensitas curah hujan, letak


daerah konvergensi antartropik, arah lereng medan, arah angin sejajar garis
pantai, dan jarak perjalanan angin di atas medan datar.

Di Aceh, sungai umumnya dimanfaatkan sebagai jalur transportasi


lokal (seperti di Krueng Singkil), sumber air PDAM (Krueng Aceh, Krueng
Peusangan), sumber material bangunan (Krueng Aceh, Sungai Tamiang,
Krueng Kale), dan umumnya sebagai tempat pembuangan limbah domestik,
sehingga perubahan kondisi kualitas air pada aliran sungai merupakan

7
dampak dari buangan dari penggunaan lahan yang ada, selain itu aktivitas
industri akan memberikan dampak terhadap kondisi hidrologis dalam suatu
DAS, demikian juga, berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian
akan menghasilkan limbah yang memberi sumbangan pada penurunan
kualitas air sungai.

Berkenaan dengan isu-isu kualitas air, pemerintah Aceh telah


mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan pencemaran lingkungan
hidup melalui Peraturan Daerah (Qanun) serta program-program yang
diarahkan untuk meningkatkan kualitas Lingkungan Hidup di Aceh,
diantaranya : Program Sanitasi Berbasis Masyarakat atau SANIMAS IDB
merupakan salah satu program andalan di Aceh untuk menekan tercemarnya
air sungai akibat limbah domestik. Untuk program lainnya, seperti Program
Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) tetap berjalan dengan berfokus pada
penyediaan air bersih untuk masyarakat miskin. “Gerakan 100-0-100”, yaitu
100 persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan
100 persen akses sanitasi layak. Di Aceh ada 11 target kabupaten program
KOTAKU yang dijalankan untuk menekan kontribusi pencemaran air
permukaan dari sistem sanitasi (limbah cair domestik) yang tidak layak.

2.3 Kualitas Udara.


Pencemaran udara di Aceh teridentifikasi dari beberapa sumber dan
penyebab yang signifikan di antaranya peningkatan jumlah kendaraan
bermotor, pengelolaan sampah, perubahan iklim, dan sistem early warning
yang belum optimal. Jumlah kendaraan bermotor yang mencapai 2,2 juta di

8
mana lebih 80% adalah jenis kendaraan bermotor roda 2 yang memberi
kontribusi yang berarti terhadap kualitas udara di Aceh. Selanjutnya, jumlah
TPA di seluruh Aceh ada 23 lokasi dengan total luasan TPA lebih 168 Ha
secara signifikan berpotensi meningkatkan emisi gas CH4 dan CO2 karena
umumnya menggunakan sistem open dumping (78%). Tempat Pembungan
Akhir sampah (TPA), dan kendaraan bermotor (emisi gas buang) juga
berkontribusi terhadap emisi pencemaran udara, perubahan iklim yang
berkenaan dengan durasi musim kemarau yang berkepanjangan juga
merupakan faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan menjadi pencetus
pencemaran udara di Aceh.

Selanjutnya, konsumsi energi listrik di Aceh terus meningkat


akibatnya produksi energi listrik juga meningkat dan sebagai konsekuensinya
emisinya pun juga meningkat, beban (pressure) yang diakibatkan oleh emisi
dari pembangkit listrik seluruh Provinsi Aceh sekitar 88,5 ton CO2 per tahun.
Pemakaian bahan bakar di rumah tangga menghasilkan emisi gas yang dapat
menurunkan kualitas udara, demikian juga laju pertambahan penduduk di
Aceh yang mencapai hampir 2% per tahun, merupakan tekanan (pressure)
terhadap menyebabkan kualitas udara di Aceh makin meningkat pula,
disamping itu bencana kebakaran hutan Aceh pada tahun 2020 mencapai
luasan 384 ha yang berada di 13 kabupaten/kot berkontribusi nyata terhadap
peningkatan komponen partikulat di atmosfer Aceh.

Data kondisi (state) atau status kualitas udara di Aceh diperoleh


dengan melakukan pemantauan kualitas udara ambiens hampir di 23
kabupaten/kota dengan jumlah 93 titik pemantauan yang mewakili wilayah

9
transportasi, industri, permukiman, dan perkantoran. Pembahasan hanya
melingkupi parameter SO2 dan NO2 karena data ini lebih lengkap di semua
Sebagai perbandingan, Apabila dibandingkan dengan nasional, secara
keseluruhan kondisi kualitas udara ambiens di Aceh masih di bawah baku
mutu udara ambiens nasional. Kondisi suhu udara rata-rata tidak ada
perubahan yang signifikan dibandingkan dengan kondisi tahun 2020.

Upaya Pemerintah Aceh dalam menurunkan pencemaran udara yaitu


melalui kegiatan Car-free Day di kota-kota padat kendaraan, misalnya Banda
Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan Kuala Simpang dilakukan setiap hari libur
dan hari Minggu, Peningkatan median jalan untuk pejalan kaki dan
bersepeda, penyediaan bus Trans Koetaraja dan kampanye menggunakan
kendaraan umum, program penanaman pohon dan memperbanyak Ruang
Terbuka Hijau , penambahan jalur hijau di sekitar jalan yang padat akumulasi
gas buang kendaraan; memperbaiki manajemen lalu lintas menuju
transportasi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan meningkatkan
penggunaan sepeda melalui program khusus, merupakan langkah inovatif
pemerintah Aceh di dalam mengelola kualitas lingkungan khususnya
pencemaran udara

2.4 Risiko Bencana.


Provinsi Aceh memiliki skor indeks Risiko Bencana 149.99 dengan
kelas risiko tinggi. Skor indeks risiko bencana ini menurun dari 153.58 pada
tahun 2021. Kajian risiko bencana Indonesia 2021 merangkum ancaman
bencana di Provinsi Aceh yang terdiri dari gempa bumi, tsunami, gunung
api, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem

10
dan abrasi, serta Kebakaran hutan dan lahan, analisi terkait risiko bencana
difokuskan pada penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana,
karena dapat menghambat upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat
dan pencapaian pertumbuhan bumi dan Tsunami), juga menghadapi
ancaman akibat perubahan iklim (banjir, kekeringan dan karhutla) dengan
frekuensi dan intensitas yang cenderung meningkat. Hal ini dapat terlihat dari
jumlah kejadian dan intensitas bencana yang meningkat secara signifikan
dari tahun ke tahun, dimana bencana yang terjadi di Aceh yang mencakup
karakteristik dan frekuensi yang terjadi selama tahun 2021 terjadi 662
bencana, dengan total kerugian lebih kurang Rp. 235.000.000.000,-

Dampak bencana juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah


kerugian material dan non material akibat kejadian bencana, seperti jumlah
korban jiwa dan luka-luka, korban yang harus mengungsi, rusaknya rumah
dan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Terhentinya kegiatan
perekonomian, Terbakarnya hutan dan lahan pertanian. Rusaknya fasilitas
umum seperti sekolah, sarana kesehatan dan pemerintahan. Potensi bencana
ini juga telah menjadi isu besar dalam RPJMA 2017-2022 sehingga program
kerja RPJMA diarahkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Upaya pemerintah dan masyarakat Aceh masih terkendala berbagai


persoalan, terutama pendanaan untuk penanggulangan bencana,
peningkatan kapasitas daerah (masyarakat dan pemerintah) dalam
mengurangi risiko bencana, dan menurunkan kerentanan masyarakat
terhadap bencana, Selain itu fokus pengurangan bencana di Provinsi Aceh
yaitu dengan menerapkan strategi mitigasi dan manajemen risiko bencana

11
melalui penguatan kapasitas tim tanggap darurat dan penyadartahuan
masyarakat, serta memasukkan isu strategis risiko bencana dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) tahun 2017-2022.

2.5 Perkotaan
Permasalahan di perkotaan ditandai dari perkembangan penduduk
maupun kegiatan masyarakat perkotaan kecenderungannya semakin sulit
dikontrol sehingga sering kali menimbulkan persoalan yang menyangkut
persoalan lingkungan (fasilitas, sistem dan area). Permasalahan lainnya yang
dialami perkotaan adalah meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh
suatu kota.

Penduduk miskin masih salah satu faktor penting dalam kaitannya


dengan lingkungan. Volume sampah yang semakin tinggi jika tidak dikelola
dengan baik dan benar sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai
masalah yang cukup serius di antaranya permasalahan lingkungan dan
kesehatan bagi lingkungan dan manusia. Demikian juga terkait dengan
sarana pembuangan air besar, hubungannya yang paling mendasar dengan
kualitas lingkungan yakni fasilitas dan jenis penampungan tinja yang
digunakan. Persentase jumlah rumah tangga dan fasilitas tempat buang air
besar berdasarkan tempat sendiri yang di atas rata-rata 81,34 % sebanyak
8 kabupaten dan 5 kota dan di tempat bersama yang di atas rata-rata 3,73
% sebanyak 7 kabupaten dan 3 kota.

Selanjutnya, Pembuangan air besar tidak dilakukan secara saniter


akan menimbulkan gangguan pada manusia, disamping itu peningkatan
penduduk selalu berhubungan dengan sampah merupakan masalah yang

12
krusial bagi kota yang padat akan penduduk yang berdampak kepada
timbulnya penyakit, serta masih rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat.

Adapun peran pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dalam


mengurangi permasalahan di perkotaan yaitu menerbitkan Peraturan daerah
berupa Pergub/Qanun yang terkait dengan upaya untuk menangani
permasalahan yang timbul akibat permasalahan yang dihadapi pada sektor
perkotaan.

2.6 Tata Kelola


Untuk permasalahan di tata kelola ditandai karena informasi terbatas
yang diberikan oleh PDRB mengenai pengukuran terhadap nilai yang tidak
berbasis pasar, seperti kualitas. Selain itu, permasalahan lingkungan hidup
dalam era otonomi, cenderung semakin bertambah kompleks. Kemerosotan
lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, oleh karena
daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
melakukan eksploitasi sumber daya alam dan kurang memperhatikan aspek
lingkungan hidup sebagaimana mestinya. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan dan diikuti dengan timbulnya
bencana alam. Selain itu terdapat juga penerapan teknologi yang tidak
berwawasan lingkungan.

Pertumbuhan PDRB ADHB selama dua tahun terakhir di provinsi Aceh


cenderung mengalami peningkatan di semua sektor kecuali penyediaan
akomodasi dan makan-minum. Lebih lanjut, kondisi penerimaan pendapatan
asli daerah mengalami peningkatan dari sebelumnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pandemi covid-19 tidak begitu berdampak pada sektor-sektor PDRB.

13
Salah satu upaya peningkatan peran serta masyarakat adalah melalui
tumbuhnya lembaga sosial masyarakat (LSM) yang memberi pendampingan
kepada pemberdayaan dan peran serta kelompok masyarakat melalui
implementasi kegiatan dan program yang fokus kepada isu-isu konservasi
lingkungan, pemberdayaan ekonomi maupun peningkatan kapasitas berupa
advokasi isu-isu lingkungan hidup. Di samping itu, juga terdapat kelompok
masyarakat ataupun komunitas yang fokus pada isu-isu persampahan pada
tingkat Desa (Gampong) yang ada di Aceh.

III. INOVASI DAERAH DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN


HIDUP.
Pemerintah Aceh menerbitkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 19
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Inovasi Aceh yang mengelompokkan
bentuk Inovasi Aceh menjadi : Inovasi tata kelola berjumlah 9 Inovasi
diantaranya berupa Sistem Informasi Aceh Terpadu (SIAT);
penyelenggaraan sistem informasi gampong (SIGAP). Sistem informasi
terpadu terdiri dari sistem Informasi, pengelolaan satu data, layanan
keterbukaan Informasi publik untuk pembangunan dan pelayanan yang
berkuaJitas serta berkelanjutan di Gampong. Inovasi pelayanan publik
berjumlah 8 Inovasi, diantaranya : Geomobil edukasi gempa bumi kepada
masyarakat sekolah, khususnya di sekolah dasar; dan pemanfaatan sampah
sebagai bahan bakar berupa Refuse Derived Fuel (RDF) yang akan
dimanfaatkan di pabrik semen PT Solusi Bangun Andalas (SBA). Inovasi
Aceh lainnya, berjumlah 4 inovasi, diantaranya berupa Pembibitan Bakau
dengan Media Tanam Terumbu Karang dan , Cangkan. Inovasi yang
dikembangkan oleh Pemerintah Aceh selama Tahun 2021 merupakan

14
penggabungan dari kegiatan inovasi baru dan lanjutan dari inovasi kebijakan
sebelumnya yang masih berlangsung atau harus dilanjutkan.

3.1. PENUTUP.
Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
(DIKPLHD) Aceh menggambaran secara umum pengelolaan
lingkungan hidup yang berisi informasi aktual dalam hal ini
disampaikan pada tahun data 2021.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap keempat isu prioritas


dengan metode DPSIR, Rencana tindak lanjut Pemerintah Aceh untuk
menangani isu prioritas dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup
di Provinsi Aceh adalah sebagai berikut :1). Penetapan Dokumen
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Aceh
menjadi Qanun RPPLH Aceh; 2) Pengembangan mata pencaharian
berkelanjutan untuk memastikan kecukupan pendapatan sehingga
jumlah keluarga miskin di Aceh dapat disejahterakan. dengan
memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam yang disertai
tersedianya strategi pengaman (safeguard) untuk menghindari risiko
dan dampak ekologis; 3). Perbaikan tata ruang khususnya dalam
pengendalian pemanfaatan ruang sampai pada tingkat tapak dengan
memperkuat upaya kepatuhan yang disertai dengan penegakan
hukum secara terukur dan konsisten untuk mencegah terjadinya
pelanggaran dan kejahatan ekologis.; 4). Penguatan kearifan lokal dan
pengelolaan adaptif kawasan dengan mengedepankan integrasi
program tematik dengan bentang alamnya sebagai yurisdiksi formal
yang diakui dalam kekhususan Aceh.
15
16

Anda mungkin juga menyukai