BAB 2
PENDEKATAN DAN METODOLOGI
Kata sustainability sangat penting dalam sebuah kerangka pengembangan dan pembangunan. Kata
tersebut merujuk pada abilility of something to be sustained. Pendekatan Sustainability Development
saat ini umum digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan lingkungan atau etika bisnis,
terutama sejak dipublikasikannya istilah ini dalam dokumen Bruntland Report oleh World Commission
on Environtment and Development (WCED), tahun 1987. Dalam dokumen tersebut, sustainability
development diartikan sebagai :
"development that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs. In a way that "promote[s] harmony among human beings and
between humanity and nature".
Dalam ekonomi, pengembangan seperti ini mempertahankan atau meningkatkan modal saat ini untuk
menghasilkan pendapatan dan kualitas hidup yang lebih baik. Modal yang dimaksud disini tidak hanya
berupa modal fisik yang bersifat privat, namun juga dapat berupa infrastruktur publik, sumberdaya
alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM).
Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan ini muncul dari pemikiran untuk menanggapi tantangan
global di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan, melalui pengembangan ketiga komponen tersebut
secara sinergi. Konsep ini memperhatikan kualitas pertumbuhan, bukan hanya kuantitasnya saja.
Dengan demikian, secara singkat pembangunan berkelanjutan ini dapat diartikan sebagai upaya
menumbuhkan perekonomian dan pembangunan sosial tanpa mengganggu kelangsungan lingkungan
hidup yang sangat penting artinya bagi generasi saat ini dan masa mendatang. Oleh karena itu,
pembangunan keberlanjutan menempatkan 3 pilar utama yang satu sama lainnya saling terkait dan
mendukung, yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi, 2) pemerataan sosial, dan 3) pelestarian lingkungan
hidup.
Dengan didasari oleh pendekatan eksternal, internal, dan sustainability, maka diharapkan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan dilakukan merupakan:
a. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berdaya guna dan berhasil guna, artinya
perlindungan dan pengelolaan yang mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang sesuai dengan
potensi dan fungsi lingkungan hidup.
b. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu, artinya perlindungan dan pengelolaan
yang dianalisis dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan lingkungan
hidup yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
c. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang, artinya
perlindungan dan pengelolaan yang dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan bagi persebaran penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar
sektor, antar daerah, dan antara sektor dengan daerah.
d. Perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan, artinya perlindungan dan pengelolaan yang
menjamin kelestarian kemampuan daya dukung sumberdaya alam.
Siregar (2004) menjelaskan ada 3 aset dalam pembangunan berkelanjutan yaitu sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, dan infrastruktur. Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang dapat
digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya manusia adalah semua potensi
yang terdapat pada manusia seperti akal pikiran, seni, dan keterampilan yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya. Sedangkan
infrastruktur adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia
dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan
semaksimalnya, baik untuk saat ini maupun keberlanjutannya di masa yang akan datang.
Dalam pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting yaitu pertama gagasan kebutuhan
yaitu kebutuhan esensial yang memberlanjutkan kehidupan manusia. Kedua gagasan keterbatasan yang
bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, dan Famiola, 2004). Selanjutnya Djajadiningrat dan Famiola
(2004) menyatakan bahwa setiap elemen pembangunan berkelanjutan diuraikan menjadi empat hal yaitu:
pemerataan dan keadilan sosial, keanekaragaman, integratif dan perspektif jangka panjang.
Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas), disebutkan bahwa dalam rangka mendukung
pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang ketiga, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan
memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi
kerakyatan, maka kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada
upaya :
1). Mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat
diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampungnya;
2). Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumberdaya alam
dan pencemaran lingkungan;
3). Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;
4). Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal;
5). Menerapkan secara efektif penggunaan indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
6). Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di
wilayah tertentu; dan
Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan berkelanjutan menurut Propenas adalah terwujudnya
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring dengan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu
yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan masyarakat dan antar
negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
optimal.
2.2 Pendekatan
Dalam rangka pelaksanaan Kegiatan Pengendalian Dan Evaluasi Pencemaran Di Kali Cikarang, berikut ini
pendekatan yang dilakukan Konsultan dalam rangka Pekerjaan, yaitu :
1. Pendekatan Umum
2. Pendekatan Struktur Organisasi
3. Pendekatan Kelembagaan
4. Pendekatan Konseptual
5. Pendekatan Teknis Perencanaan
1. Membuat jadwal pelaksanaan pekerjaan untuk digunakan sebagai acuan saat pelaksanaan
pekerjaan.
2. Memahami maksud dan tujuan proyek. Merupakan hal yang sangat penting karena hanya dengan
pemahaman yang baik terhadap latar belakang dan tujuan proyek, maka dapat disusun metodologi
penanganan dan rencana kerja yang memuaskan. Pengetahuan dan pemahaman mengenai
maksud dan tujuan serta sasaran proyek sangat membantu sehingga pekerjaan diharapkan akan
berjalan dengan efisien dan efektif.
3. Berpedoman pada peraturan dan kebijakan pihak terkait.
• Pekerjaan ini akan selalu berpedoman pada peraturan dan kebijakan pihak yang terkait yang
berhubungan dengan sanitasi, persampahan dan air minum.
• Menggunakan peraturan dan kebijakan Pemerintah Daerah setempat serta kriteria/standar
dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pedoman.
Kajian literatur dengan mereview materi informasi yang lainnya untuk memperkaya wacana sehingga
dalam mendesain materi teknis masterplan dan studi kelayakan ini akan didapat hasil yang lebih
sempurna dan terarah.
Semua anggota tim Konsultan akan dilengkapi dengan uraian pekerjaan yang akan memberikan
gambaran yang jelas untuk setiap tenaga ahli mengenai tanggung jawab, wewenang dan hasil yang
diharapkan dari proyek
Dalam melakukan pekerjaan ini, Konsultan selain berhubungan langsung dengan instansi yang terlibat
langsung dengan pekerjaan ini (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi), juga
diperlukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait lainnya di daerah seperti Pemda/Bappeda Tingkat
I dan II, PDAM, Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup tokoh masyarakat dan lain-lain.
Pendekatan yang akan kami lakukan dalam menangani pekerjaan ini yaitu dengan terlebih dahulu
mengkaji, mengevaluasi dan menganalisa data-data kondisi pengelolaan air limbah eksisting, volume
buangan limbah di sepanjang Kali Cikarang, permasalahan-permasalahan yang terjadi, potensi-potensi
penanganan air limbah yang dapat dikembangkan, data kondisi wilayah (antara lain : administrasi
wilayah, fisik / morfologi kota, kependudukan, sosial-ekonomi-budaya-kesehatan masyarakat dan
lingkungan), Analisa terhadap kualitas air Kali Cikarang dengan melakukan sampling pada titik-titik yang
telah di tentukan, serta kajian terhadap studi-studi terkait.
Tahapan pelaksanaan kegiatan dalam pekerjaan Pengendalian dan Evaluasi Pencemaran Sungai, adalah
sebagai berikut:
1. Survei data primer dalam rangka menentukan titik-titik sumber pencemaran baik Domestik
maupun Industri dan non industri pada daerah sekitar Sungai Cikarang sebanyak 25 titik
sampling.
2. Survei data sekunder atau survei instansional untuk pengumpulan data pendukung terkait
sumber-sumber pencemar pada Sungai Cikarang.
3. Merumuskan rencana aksi dalam pengendalian pencemaran dan pengelolaan kualitas air pada
sungai Cikarang dengan melaksanakan tahapan, sebagai berikut:
b. Analisa pemeriksaan laboratorium kualitas air sungai oleh laboratorium yang memiliki
syarat sebagai berikut:
Memiliki surat izin usaha (SIUP) kecil yang masih berlaku dan dikeluarkan oleh instansi
pemerintah yang berwenang, SBU: Studi, penelitian dan bantuan teknik 1.SI masih
berlaku.
Pada tahapan ini dilakukan persiapan pekerjaan, baik yang menyangkut persiapan administratif
maupun persiapan teknis. Persiapan teknis meliputi kegiatan mobilisasi personil dan koordinasi tim
kerja yang akan dilibatkan dalam keseluruhan pekerjaan, penajaman metoda dan rencana kerja,
penyiapan perangkat survei, penyiapan peta dasar serta pengumpulan data awal. Secara rinci, pokok
pekerjaan dan hasil kegiatan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
Pada tahap awal, kegiatan koordinasi tim kerja konsultan bertujuan untuk mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara matang dan rinci, berkaitan dengan
proses pekerjaan yang akan dilakukan, Kegiatan ini meliputi penyusunan organisasi kerja,
penyusunan rencana kerja, pembagian kerja, serta kebutuhan fasilitas pendukung yang diperlukan
bagi kelancaran pelaksanaan pekerjaan.
Data Kelembagaan meliputi : organisasi, tugas dan peran multi pihak serta peraturan yang
terkait dengan pengelolaan DAS. Data yang dibutuhkan tersebut di atas diperoleh melalui
survei (wawancara dan pengukuran langsung) dan pengumpulan data skunder.
b. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dimaksud untuk mengetahui struktur permasalahan yang berhubungan
dengan sumberdaya air, lahan, investigasi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Proses
identifikasi masalah dilakukan dengan pendekatan parstipatif melalui focus group Discusion
(FGD), pendapat ahli atau hasil-hasil penelitian. Metode identifikasi masalah dilakukan
dengan pendekatan Problem Tree dan Objective Tree.
c. Studi Terdahulu
Terdapat beberapa studi terdahulu untuk mendukung proses analisa kegiatan Pengendalian
dan Evaluasi Pencemaran Sungai adalah Studi daya tampung dan beban pencemar Sungai
Cikarang Tahun 2014.
d. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah.
e. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air.
f. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan
Status Mutu Air
g. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 213 tentang Baku Mutu Air dan
pengendalian Pencemaran Air Sungai Cimanuk, Sungai Cimalaya dan Sungai Bekasi.
h. Peraturan Daerah nomor 06 tahun 2016 tentang Pembentukan dan susunan Perangkat
Daerah Kabupaten Bekasi (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2016 no 06.
i. Peraturan Bupati Nomor 62 tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas dan
fungsi organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja DLH Kabupaten Bekasi.
k. Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
pengendalian Pencemaran Air.
l. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
m. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air.
Data sekunder merupakan data yang telah tersedia yang telah diolah atau dikoleksi oleh pihak lain
seperti misalnya data statistik, data rekapan dari instansi terkait, dari dokumen perencanaan atau studi
tertentu dan literatur. Sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya
tanpa perantara pihak lain.
1. Data yang diambil dari hasil pengamatan lapangan langsung terhadap situasi tertentu.
2. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, diskusi atau kuisioner terhadap target group tertentu.
Berdasarkan pengkategorian data sekunder-primer disusun metode yang lebih spesifik sebagai berikut:
Pencarian data dapat dilakukan pada tahapan persiapan sebelum survei lapangan, atau dilakukan
pada saat survei lapangan. Karakter pekerjaan yang bersifat makro menjadikan pencarian data
sekunder menduduki peran sentral sebagi sumber data untuk kepentingan analisis dan dapat
menentukan perangkat data primer yang perlu dikoleksi.
Metode analisis data merupakan tahapan proses penelitian dimana data yang sudah di kumpulkan dan
di olah dalam rangka menjawab rumusan masalah. Dalam penelitian ini metode analisi data
menggunakan rumus metode indeks yang dilakukan yaitu:
Mengingat peta-peta tersebut memiliki skala yang berbeda, maka langkah pertama yang perlu
dilakukan adalah penyeragaman skala. Seluruh peta tersebut akan didigitasi sehingga proses
tumpang-tindih (super imposed) peta dapat dengan mudah dilakukan.
Analisis yang digunakan untuk menentukan Status Mutu Air Sungai Sungai Cikarang adalah
Metode Indeks Pencemaran (IP). Perhitungan status mutu air sungai adalah sebagai berikut :
- Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik.
- Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang.
- Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan.
- Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat,
misal DO. Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim
merupakan nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai
Ci/Lij hasil perhitungan, yaitu :
(Ci/Lij)baru = Cim - Ci(hasil pengukuran)
Cim - Lij
(3) Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan 1,0, misal Ci/Lij = 0,9
dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0.
Dalam contoh ini tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi
kesulitan ini adalah :
- Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil dari 1,0.
- Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran lebih besar dari 1,0.
Jenis Limbah
No Sumber Karakteristik
Domestik
Mengandung patogen dalam jumlah besar dan
Kotoran manusia
1 Black Water bersifat sangat berpengaruh terhadap
(Toilet)
kesehatan manusia
Limbah cair bekas Tidak mengandung excreta dan tidak terlalu
2 Grey Water
Mandi, cuci, dapur berbahaya untuk kesehatan manusia.
Sumber : Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010
Kandungan pencemar yang terdapat dalam grey water ditunjukkan seperti pada tabel
berikut ini.
Tabel 2. 6 Kualitas Grey Water
Karakteristik limbah domestik berdasarkan komposisi limbah black water dan untuk
bahan organik-anorganik dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa grey water mengandung unsur pencemar
dengan kadar tinggi yang akan mengalami dekomposisi dan menimbulkan bau tidak
sedap ke lingkungan, juga bisa mencemari air tanah disekitarnya. Menurut, Naoko (2005)
komposisi volume dan kadar grey water dan black water seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 2. 9 Komposisi Black Water dan Grey Water
Walaupun kadar N dan P lebih tinggi pada black water, akan tetapi berdasarkan volume
grey water jauh lebih banyak sehingga black water dan grey water berpotensi untuk
menghasilkan limbah cair yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber
pencemar yang mengganggu sumber air dan lingkungan.
Semua sumber pencemar air yang berada dalam wilayah inventarisasi kemudian
diidentifikasi berdasarkan jenis pencemar dan sumbernya. Jenis pencemar yang berasal
dari limbah domestik akan berbeda dengan jenis pencemar dari limbah non-domestik.
Tabel dibawah ini menyajikan contoh karakteristik air limbah domestik yang belum
diolah.
Konsentrasi
Jenis Pencemar Satuan
Rendah Sedang Tinggi
Padatan total (TS) mg/L 350 720 1200
Padatan terlarut (TDS) mg/L 250 500 850
Padatan tersuspensi (TSS) mg/L 100 220 350
Settleable solids mg/L 5 10 20
BOD5 mg/L 110 220 400
Organik karbon total (TOC) mg/L 80 160 290
COD mg/L 250 500 1000
Nitrogen total (N) mg/L 20 40 85
Organik mg/L 8 15 35
Amonia bebas mg/L 12 25 50
Nitrit mg/L 0 0 0
Nitrat mg/L 0 0 0
Fosfor total (P) mg/L 4 8 15
Organik mg/L 1 3 5
Inorganik mg/L 3 5 10
Klorida mg/L 30 50 100
Sulfat mg/L 20 30 50
Alkalinitas, sebagai CaCO3 mg/L 50 100 200
Lemak mg/L 50 100 150
Koliform total Jml./100mL 10 – 107
6
107– 108 107– 109
VOCs mg/L <100 100 - 400 > 400
Sumber : Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010
organik sintetis dan logam berat, bergantung pada proses pencucian dan sifat-sifat
dari lindi sampahnya.
Pencemaran air dari kegiatan domestik dan penggunaan barang konsumsi umumnya
digolongkan sebagai sumber pencemar air tak tentu. Hal ini karena dari kegiatan
domestik dan penggunaan barang konsumsi dapat menjadi sumber pencemar air
khususnya pada tingkat lokal. Akan tetapi, jika sumber-sumber individual terlalu kecil
atau terlalu banyak untuk diidentifikasi dan diukur sebagai sumber pencemar air
tertentu yang terpisah dalam inventarisasi, maka dari kegiatan domestik dan
penggunaan barang konsumsi yang secara khusus berasal dari sekumpulan kegiatan
individu dalam suatu daerah, secara umum digolongkan sebagai sumber pencemar
air tak tentu (diffused sources) dalam inventarisasi sumber pencemar air.
Berdasarkan PerMen LH No. 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian
Pencemaran Air, emisi sumber pencemar tak tentu dari kegiatan domestik seperti
pada tabel berikut ini.
Faktor Emisi
Sumber Pencemar Air (g/kapita/hari)
BOD COD Tot-N Tot-P
1. Permukiman
Limbah Cair Tanpa Diolah 53 101,6 22,7 3,8
Pakai Septic Tank 12,6 24,2 5,4 0,9
Sumber : Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010
Pada diatas, emisi BOD = 53 g/kapita/hari sepertinya terlalu besar jika dibandingkan
dengan emisi di berbagai negara lain pada tabel di bawah ini.
Emisi BOD
No Negara
(g/BOD/O/H)
1 Zambia 36
2 Kenya 23
3 South Asia 43
4 India 30–45
5 Francis ( perdesaan) 24–34
6 USA 45–78
Sumber : Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010
Potensi emisi sumber pencemar yang jika dilihat dari kondisi sosial ataupun
daerahnya (Kota s/d Pedalaman), hasil kajian di beberapa kota di Indonesia maka
emisi BOD untuk limbah domestik diklasifikasikan seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. 14 Klasifikasi Emisi BOD di Indonesia
Rata-rata Rasio
Rentang Emisi
No. Daerah Klasifikasi Beban ekivalen
(g/BOD/O/H)
(g/BOD/O/H) Kota
1 Kota Tinggi 37,5 – 42,5 40 1,0000
2 Pinggiran Kota Sedang 27,5 – 37,5 32,5 0,8125
3 Pedalaman Rendah 22,5 – 27,5 25 0,6250
Sumber : Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010
Catatan :
Sebagai acuan adalah untuk daerah Kota, sehingga jika penduduk yang ada di pinggiran kota perlu
dikali 0,8125 dan demikian juga untuk daerah pedalaman perlu dikali 0,625.
1. Formulasi Potensi Beban Pencemaran Air Untuk Kegiatan Domestik dan Penggunaan
Barang Konsumsi
a. Kebutuhan Data
Untuk memperkirakan besaran potensi beban pencemaran, terdapat dua jenis data
yang diperlukan, yaitu : jumlah penduduk dan faktor emisi per penduduknya, jika
diketahui kepadatan penduduknya (jumlah penduduk per luas wilayah) maka
diperlukan luas wilayah yang dinti njau pada daerah kajiannya, maka jumlah
penduduk = kepadatan penduduk x luas wilayahnya.
Sedangkan untuk penggunaan barang konsumsi adalah bahwa polutan (kg polutan
yang dibuang) dapat dihubungkan langsung dengan kepadatan populasi (jumlah
penduduk per luas wilayah) lewat penggunaan faktor emisi per kapita (kg polutan
yang dibuang per orang) dan data statistik pemasaran (misalnya data penjualan dan
data penggunaan produk). Informasi yang tersedia seharusnya berhubungan dengan
jumlah penduduk dan distribusi geografisnya, dari informasi ini kepadatan penduduk
dapat diperoleh untuk luas area tertentu yang masuk dalam daerah kajian
inventarisasi.
Faktor emisi untuk emisi yang berkaitan dengan penggunaan pelarut yang
terkandung dalam suatu produk ditentukan oleh komposisi produk tersebut.
Biasanya Negara produsen atau importer diharuskan untuk menyediakan informasi
ini. Apabila tidak tersedia informasi ini dapat digunakan faktor emisi dari negara lain
yang memiliki jenis kegunaan atau spesifikasi yang sama, atau membuat faktor emisi
yang tepat dengan menyesuaikaan faktor emisi yang tersedia. Estimasi yang
berdasarkan pengalaman sebaiknya juga dijadikan pertimbangan. Faktor-faktor
emisi ini kemudian dikombinasikan dengan data statistik penggunaan produk
berdasarkan kepadatan penduduk untuk mendapatkan perkiraan.
Untuk acuan
perhitungan, diatas seyogianya dapat dijadikan acuan untuk perhitungan potensi
beban pencemaran air.
b. Metode Estimasi
Potensi Beban Pencemaran Air dapat diperkirakan menggunakan rumus (02) yang
berdasarkan emisi individu dan rumus (03) jika berdasarkan emisi wilayah dengan
memperhitungkan kepadatan wilayahnya. Khusus untuk rumus (02) yang
berdasarkan emisi individu, rumusannya dapat disederhanakan : Faktor emisi yang
digunakan dalam persamaan di atas bersifat spesifik terhadap jenis tertentu sumber
pencemar air yang diestimasi dan jenis polutan tertentu yang diidentifikasi untuk
setiap sumber pencemar air tersebut. Apabila diinginkan hasil yang lebih baik maka
daerah geografis inventarisasi atau luas total dari diffused source sebaiknya dibagi
menjadi luas area yang lebih kecil yang memiliki kepadatan populasi masih seragam,
kemudian perkiraan ditentukan berdasarkan luas area yang lebih kecil tersebut
Metode alternatif lain untuk menghitung perkiraan untuk sumber pencemar dari
limbah domestik adalah mengalikan faktor emisi secara langsung dengan jumlah
penduduk yaitu seperti rumus (01) berikut :
Keterangan :
PBPd : Potensi Beban Pencemaran domestik (kg/hari)
β : Konversi Satuan (0,001)..........g menjadi kg
ϒ : Koefisien Transfer Beban jarak (0,3 – 1,0)......jarak sumber ke BAP
JP : Jumlah Penduduk (orang)
Ei : Emisi zat pencemar (g/orang/hari)
Namun jika hanya diketahui kepadatan penduduknya saja, maka PBPd dihitung
dengan rumus (04) tapi besaran JP= KP x LW (KP adalah Kepadatan penduduk/ha dan
LW adalah luas wilayah dalam ha).
dari proses pencucian, penggunaan pelarut dan produk lainnya, keakuratan estimasi
bergantung pada kualitas data konsumsi atau penggunaan produk, seperti: kualitas
data komposisi produk penyebab (contoh jenis pelarut, dan bahan aktif pembersih
kulit serta lainnya).
Semua teknik ini memerlukan waktu dan tenaga untuk mengumpulkan data yang
sangat tergantung pada kualitas data statistik dan/atau data pemasaran yang
tersedia. Identifikasi faktor emisi yang representatif membutuhkan penilaian yang
baik dan/atau melakukan test lapangan atau survey untuk mengkoreksi/ memvalidasi
dan/atau menyesuaikan faktor emisi internasional yang tersedia dari literatur.
2. Penerapan dan Penggunaan Hasil Perkiraan
Perkiraan awal bagi kegiatan domestik dan penggunaan barang konsumsi merupakan
indikasi dari kontribusi nasional dari keseluruhan tujuan inventarisasi. Proses analisis
lebih lanjut dari sumber-sumber pencemar air dan perkiraan yang lebih baik menjadi
perhatian bagi masyarakat pada tingkat lokal dan studi kesehatan lingkungan yang
memeriksa misalnya pembuangan air limbah penduduk.
Perkiraan dari jenis ini dapat pula dikombinasikan dengan menerapkan model
penyebaran polutan melalui model komputer yang bahkan digunakan sebagai studi lebih
lanjut. Misalnya model untuk menyelidiki bagaimana polutan dari air lindi lahan urug
limbah padat dapat mengkontaminasi cadangan air tanah atau lapisan air dalam tanah.
3. Sumber Pencemaran Air Limbah Fasilitas Perkotaan
a. Karakteristik Air Limbah
Berbagai fasilitas perkotaan umumnya merupakan kegiatan domestik yang
diantaranya: perkantoran, hotel, restauran, stasion, airport, pertokoan/perdagangan
yang dkelompokan sebagai daerah komersial, fasilitas umum (fasum) dan fasilitas
sosial (fasos). Untuk memperkirakan beban pencemar air limbah perkotaan tidaklah
mudah dikarenakan besaran sangat bervariatif dan sulit untuk diukur secara
langsung pada bak-bak penampungan untuk periode harian/mingguan atau
bulanannya, maka pada umumnya untuk perhitungan volume air limbah diprediksi
dari kebutuhan air baku yang digunakan.
b. Perkiraan Jumlah Limbah Cair dari Konsumsi Air Bersih
Untuk memberikan gambaran dari berbagai kemungkinan besaran limbah cairnya
dari fasum & fasos ini ditaksir dari kebutuhan air bakunya yang dirinci dalam berbagai
jenis penggunanya dari masing-masing kelompok fasilitasnya. Limbah cair yang
dihasilkan fasilitas komersial bervariasi yang tergantung dari jenis dan aktifitas
(kantor akan berbeda dengan restoran), ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Debit, L/unit/hari
No Pemakaian Unit
Rentang Rata-rata
I. Fasilitas Komersial
1.1 Apartemen Penghuni 190 – 265 225
1.2 Hotel Tamu/Penginap 150 – 210 180
1.3 Restoran Tamu/Kursi 50 – 90 70
1.4 Kafetaria Tamu/Kursi 35 – 75 55
1.5 Bengkel Mobil/Motor Mobil 26 – 50 38
Motor 10 - 24 17
1.7 Tempat Cuci Mobil/Motor Mobil 100 - 140 120
Motor 25 - 65 45
II. Fasilitas Umum
2.1 Airport Pesawat 800 – 3.000 2.000
2.2 Stasiun Gerbong Kereta 650 – 2.000 1.400
Sumber: Pusat Litbang SDA, 2012
Ket : * Dapat dihitung berdasarkan jumlah pekerja atau pengunjung dan/atau jumlah toilet.
Fasilitas yang belum dideskripsikan dapat dihitung berdasarkan jumlah Pekerja/ Pengunjung/Tamu
B. Sektor Industri
Selain dari itu karakteristik air limbah yang diidentifikasi ditentukan berdasarkan tingkat
bahaya dan toksisitasnya, semakin tinggi tingkat bahaya dan toksisitasnya menjadi prioritas
inventarisasi. Hal ini menjadi isu penting dalam identifikasi jenis pencemar mengingat
adanya beberapa pencemar yang bersifat toksik/berbahaya walaupun dalam jumlah yang
relatif kecil. Selain itu, karakteristik limbah juga diidentifikasi berdasarkan jenis pencemar
spesifik untuk masing-masing kegiatan.
Oleh karena itu perlu mengelompokkan jenis pencemar spesifik untuk masing-masing
kegiatan. Jenis pencemar spesifik untuk setiap usaha dan/atau kegiatan didasarkan pada
parameter kunci yang terdapat dalam Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup yang mengatur baku mutu air limbah untuk setiap kegiatan. Kelompok jenis
pencemar yang telah diidentifikasi ini kemudian menjadi jenis pencemar minimum yang
diprioritaskan dalam inventarisasi. Tabel dibawah ini menyajikan jenis pencemar minimum
yang menjadi prioritas inventarisasi.
Tabel 2. 19 Jenis Pencemar Minimum Prioritas Inventarisasi (Berdasarkan BMLC untuk Jenis Kegiatan)
Untuk tingkat lokal, identifikasi jenis pencemar dalam suatu sumber air dapat juga merujuk
pada kebijakan pemerintah setempat yang mengatur jenis pencemar minimum yang harus
diukur (umumnya mengadopsi sepenuhnya KepMen LH), sebagai contoh seperti yang
disajikan pada tabel dibawah ini mengenai kadar maksimum air limbah tekstil menurut salah
satu Peraturan Daerah.
Tabel 2. 20 Kadar dan Beban Pencemaran Maksimum Air Limbah Tekstil Menurut Peraturan Daerah
Parameter/ Jenis
No. Satuan Baku Mutu
Pencemar
1. BOD5 mg/L 60
2. COD mg/L 150
3. TSS mg/L 50
4. Fenol Total mg/L 0,5
5. Krom Total (Cr) mg/L 1,0
6. Amonium Total (NH3-N) mg/L 8,0
7. Sulfida (S) mg/L 0,3
Parameter/ Jenis
No. Satuan Baku Mutu
Pencemar
8. Minyak dan Lemak mg/L 3,0
9. pH - 6,0 – 9,0
Sumber : Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya
Air, 2010
Tabel diatas ini mengadopsi sepenuhnya KepMen LH No. 51 Tahun 1995, semestinya untuk
melindungi lingkungannya, pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan
pengetatan kadar zat pencemar parameternya yaitu baik dengan memperketat kadar baku
mutunya dan/atau menambahkan parameter zat pencemar lainnya.
volume (m3) kebutuhan air baku dari berbagai jenis industri untuk setiap ton produksinya.
Air yang sudah tidak terpakai biasanya disebut air limbah keluar melalui satu saluran
buangan, kecuali pada industri yang telah mengolah dan memanfaatkannya kembali air
limbahnya. Air limbah diukur pada efluen Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan air
bekas dari WC baik yang diolah tersendiri melalui tangki septik komunal. Secara umum
proses industri dapat diprakirakan membutuhkan air sekitar 1 – 3 L/s/ha yang tergantung
dari proses industrinya, namun ada beberapa industri di Indonesia dengan buangan hanya
0,6 – 0,85 L/s/ha saja dan juga untuk industri yang banyak menggunakan air baku yaitu
sekitar 1,2 – 1,65 L/s/ha.
Formulasi dari potensi emisi limbah cair yang diasumsikan bahwa semua pembuang limbah
menaati besaran baku mutu limbah cairnya, sehingga Ei = BMLCi. Maka formulasi potensi
beban pencemaran industri secara umum adalah sesuai dengan rumus (02), untuk ini perlu
adanya penyederhanaan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
C. Persampahan
Estimasi jumlah sampah yang dihasilkan per orang per hari menggunakan prakiraaan jumlah
sampah yang dihasilkan tiap individu menurut kategori kota, beban sampah total dengan
rumus sebagai berikut.
Jika data dalam satuan volume, maka berat sampah dihitung dengan rumus :
Berat Sampah (Kg) = Berat jenis sampah (Kg/L) x Volume Sampah (L)
Menurut SNI 19 -3964 -1994, bila pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk
menghitung besaran sistem, dapat digunakan angka timbulan sampah sebagai berikut:
Satuan timbulan sampah kota besar = 2– 2,5 L/orang/hari, atau = 0,4 – 0,5
kg/orang/hari
Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5 – 2 L/orang/hari, atau = 0,3 – 0,4
kg/orang/hari
Karena timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah tangga, maka
untuk perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut dapat dianggap sudah
meliputi sampah yang ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai kegiatan dan berbagai
lokasi, baik saat di rumah, jalan, pasar, hotel, taman, kantor dsb. Namun tambah besar
sebuah kota, maka tambah mengecil porsi sampah dari permukiman. Berat jenis sampah
organic = 0,61 Kg/L (Kastaman,2006) .
a. Sampah yang Tidak Tertangani
Berat sampah yang tidaktertangani di hitung dengan rumus sebagai berikut
Berat sampah yang tidak tertangani (Kg/hari) = % sampah yang tidak tertangani x
beban sampah
b. Beban BOD Sampah
Selain komposisi, maka karakteristik lain yang biasa ditampilkan dalam penanganan
sampah adalah karakteritik fisika dan kimia. Karakteristik tersebut sangat bervariasi,
tergantung pada komponen-komponen sampah. Kekhasan sampah dari berbagai
tempat/daerah serta jenisnya yang berbeda-beda memungkinkan sifat-sifat yang
berbeda pula.
Beradasarkan Penelitian yang dilakukan oleh INEGI dan SEMARNAP pada sungai di
Mexico Tahun 1998 dalam Nila Aliefia Fadly (2008) menyatakan bahwa 1Kg sampah
Organik memilikinilaiBOD sebesar 2,82gr. Nilai ini lah tang menyatakan beban BOD
Sampah.
Perhitungan potensi beban pencemar sampah dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Beban BOD Sampah (Kg/hari) =berat sampah tidak tertangani (Kg/hari) x (2.82/1000)
Untuk nilai COD dihitung dengan menggunakan asumsi
COD = 1,375 xBOD
Untuk nilai TSS dihitung dengan menggunakan asumsi
TSS = 0,95 x BOD
D. Sektor Pertanian
Seperti halnya jenis sumber limbah lainnya, karakteristik air limbah pertanian sangat
ditentukan oleh berbagai komponen bahan serta proses dalam pelaksanaan kegiatannya
seperti pengolahan tanah pertaniannya. Ada beberapa kegiatan yang berpotensi
memberikan efek terhadap kemungkinan pencemaran air yang diantaranya: pengolahan
tanah/lahan, penanaman, pemupukan, pembasmian hama dan pengelolaan limbahnya
contoh untuk sawah yaitu mengelola jerami padi yang membusuk. Secara umum terkait
dengan kegiatan pertanian dijelaskan sebagai berikut:
1. Pupuk
Sebagian besar tanah di Indonesia sebenarnya subur, namun dengan penanaman selama
berabad-abad secara terus menerus tanah tersebut menjadi miskin dan kekurangan
unsur hara, sehingga diperlukan pemupukan. Jenis pupuk yang dipergunakan dalam
pertanian adalah pupuk yang mengandung unsur Nitrogen dan Phospor, seperti Urea, ZA
dan TSP. Tidak semua unsur Nitrogen yang diberikan sebagai pupuk tersebut dapat
diserap seluruhnya oleh tanaman, sebagian hilang menjadi gas, denitrifikasi, terikat oleh
mikroba dan tercuci yang dapat menyebabkan proses Eutrofikasi dan tumbuhnya gulma
air pada perairan. Masalah Eutrofikasi air oleh pupuk pada umumnya lebih memerlukan
pengawasan dan perhatian di dalam waduk dari pada di dalam air sungai. Hal ini karena
waduk memiliki waktu tinggal (detention time) yang cukup lama, sehingga
memungkinkan tumbuhnya gulma air dan ganggang. Tumbuhan tersebut dapat
mengganggu penggunaan air untuk sumber baku air minum, pembangkit listrik, irigasi,
perikanan dan rekreasi Selain itu tumbuhan tersebut apabila mati akan mengendap dan
mengurai sehingga menyebabkan proses pembusukan di dalam air yang akan
mengganggu sanitasi waduk.
Sumber pencemaran pertanian khususnya padi berasal dari sisa pemakaian pupuk dan
jerami yang merupakan sisa hasil panen. Pupuk yang dipakai per ha sawah terdiri dari
komposisi 200 kg Nitrogen: 100 kg Phospor: 100 Kg Kalium, selain itu untuk pencegahan
hama dipakai juga pestisida 2 L/ha sawah. Pupuk yang dipakai tersebut hanya sebesar
80% yang efektif diserap, sedangkan sisanya sebesar 20% akan terbawa aliran terutama
pada saat musim hujan.
2. Jerami Padi
Jerami padi merupakan produksi sampingan pada saat musim panen, setiap ha sawah
menghasilkan sekitar 3 ton jerami padi, yang setiap ton jerami padi menghasilkan 30
gBOD. Emisinya diperkirakan sebanyak 20% dari jerami tersebut terbawa ke dalam aliran
sungai.
3. Pestisida
Kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran berasal dari pemakaian
pestisida. Sisa pestisida dapat terbawa air hujan dan drainase sawah menuju ke saluran
pengairan, sungai dan lain-lain. Sedangkan sumber lainnya berasal dari pemakaian pupuk
yang mengandung unsur Nitrogen dan Phospor. Unsur-unsur tersebut akan
menyebabkan penyuburan air yang memungkinkan tumbuhnya gulma air sehingga
terjadi proses pembusukan dan pengendapan.
Penggunaan pestisida dalam pertanian dibagi dalam dua golongan, yaitu Herbisida dan
Insektisida. Sedangkan berdasarkan komposisi kimiawinya terdiri dari Organokhlorin,
Organofosfat dan Karbamat. Insektisida dari golongan Organokhlorin merupakan bahaya
yang terbesar terhadap sumber air, mengingat golongan ini mempunyai residual activity
yang lama. Sedangkan insektisida dari golongan Organofosfat memiliki bahaya yang lebih
rendah dibandingkan dengan Organokhlorin karena persenyawaannya kurang stabil dan
cepat terurai dalam air. Dari semua persenyawaan golongan Organokhlorin, Endrin
merupakan racun yang paling kuat, sedangkan TDE dan BHC yang paling lemah.
Dalam hal pencemaran pestisida melalui air yang paling merugikan yaitu adanya “bio
magnification” atau “bio concentration”, yang terutama untuk pestisida yang
persistensinya tinggi. Dalam perairan pestisida terserap oleh organisme rendah dan
organisme lebih tinggi yang memangsanya akan mengandung pestisida menjadi berlipat
ganda. Secara langsung pestisida terambil oleh binatang air melalui insang, kulit atau
melalui makanan, selanjutnya didistribusikan ke jaringan badan dan mengalami
metabolisme, sebagian dikeluarkan sebagai kotoran ke dalam air. Meskipun demikian
senyawa persisten seperti DDT, Dieldrin dan lain-lainnya jarang dapat
dimetabolismeukan, sehingga senyawa demikian tertimbun dalam jaringan dalam
konsentrasi lebih tinggi dibanding dalam air disekililingnya. Oleh karena itu sebelum
pestisida dipakai secara meluas sebaiknya dilakukan pengujian melalui prosedur bio
consentration.
Sumber utama pencemar air yang berkaitan dengan kegiatan pertanian adalah : 1)
Penggunaan pestisida, herbisida, dan fungisida. 2) Penggunaan pupuk kimia yang
berlebihan. 3) Pengolahan lahan/tanah pertanian.
Kandungan nutrien dalam pupuk menyebabkan proses eutrofikasi pada air permukaan,
akumulasi nitrat dalam air tanah, pengasaman tanah, dan N2O (gas yang juga
menyebabkan efek rumah kaca). Air lindi yang mengandung nitrat yang mencemari air
tanah dan air permukaan juga mengancam ketersediaan sumber air minum. Nitrogen
dan Fosfat yang terbawa menuju air permukaan menyebabkan eutrofikasi pada danau,
sungai, dan perairan dangkal. Penggunaan limbah organik sebagai pupuk, seperti rabuk
(pupuk kandang) dan lumpur pembuangan (sewage sludge), juga menyebabkan
akumulasi logam berat dalam tanah.
Pestisida, herbisida, dan senyawa agrokimia lainnya (khususnya jenis organoklorin)
terbawa angin atau air, dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi zat beracun dalam
air permukaan dan tanah. Pestisida yang tidak terurai dengan mudah atau hilang melalui
penguapan atau adsorpsi dapat menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan
kesehatan jangka panjang.
Pestisida-pestisida dan metabolitnya juga dapat berpindah ke dalam sistem air tanah,
yang kemudian mencemari sumber-sumber air minum pada saat ini dan dimasa
mendatang. Pestisida juga dapat mempengaruhi makhluk hidup non-target seperti
serangga penyerbukan dan pemangsa parasit dan hama alami, dengan demikian akan
mengganggu mekanisme pengaturan alami. Masalah lainnya adalah terbentuknya
resistansi dari hama pengganggu terhadap pestisida tertentu yang dapat menyebabkan
siklus penggunaan dosis pestisida yang lebih tinggi. Pencemaran air yang sangat buruk
sering berasal dari pembuangan limbah organik (padatan, bahan organik yang
menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat, dan mikroorganisme) yang dihasilkan dari
proses pemanenan hasil pertanian atau limbah peternakan. Pencemaran air yang
ditimbulkan dari kegiatan pertanian dikategorikan sebagai sumber pencemar air tak
tentu karena berasal dari kumpulan beberapa kegiatan individual secara periodik dan
jumlahnya terlalu banyak untuk diidentifikasi sebagai sumber-sumber pencemar air
tertentu dalam inventarisasi. Kegiatan- kegiatan ini meliputi penggunaan senyawa
agrokimia dan pemupukan/ perabukan. Kegiatan pertanian sebagai sumber pencemar air
tak tentu memberikan kontribusi yang berarti pada pencemar air secara nasional,
khususnya di daerahdaerah yang menggunakan senyawa agrokimia dan teknik produksi
pertanian modern secara luas. Di daerah dimana produksi pertanian dilakukan secara
intensif, penggunaan senyawa agrokimia seperti pestisida, herbisida, dan pupuk kimia
dapat menyebabkan beban pencemaran yang berarti pada sumber air melalui aliran
larian (runoff) yang mengandung residu bahan-bahan tersebut. Eutrofikasi merupakan
fenomena yang secara luas mempengaruhi sumber air yang telah menerima senyawa
Nitrat dan Fosfat. Pada daerah-daerah dimana kegiatan peternakan dilakukan secara
intensif, biasanya merupakan sumber utama pencemar air yang umum seperti padatan,
BOD, nutrien, dan mikroorganisme.
Perkiraan kasar tingkat pencemaran air dari kegiatan pertanian dapat diperoleh
berdasarkan data primer produksi dan data penggunaan agrokimia yang meliputi antara
lain informasi jenis dan jumlah hasil panen, komposisi dan volume pestisida dan pupuk
yang digunakan, dan jumlah ternak. Untuk menentukan tingkat pencemar berdasarkan
data primer, tingkat kebutuhan tenaga dan waktu sebaiknya diperlunak. Akan tetapi,
karena metode ini mengkaji hanya cakupan geografis yang terbatas dan tidak menyajikan
kekhususan dari kategori pencemar air, digunakan terbatas untuk tujuan inventarisasi
yang sangat umum.
Sebagai contoh, untuk mempelajari beban pencemar air yang disebabkan oleh kegiatan
yang berkaitan dengan pertanian pada sumber air, yang cenderung menjadi perhatian
utama terkait dengan sumber pencemaran air dari kegiatan pertanian, diperlukan kajian
pada tingkat yang lebih detail. Jika perkiraan dari pencemar air yang tersebar menjadi
kumpulan perkiraan kasar dari aliran pencemar air yang terlokalisasi dalam sumber air,
hal itu akan membutuhkan penggunaan model komputer aliran larian atau model
komputer pencemaran air tersebar. Secara keseluruhan rata-rata emisi dari kegiatan
pertanian dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. 22 Emisi Kegiatan Pertanian
Limbah Pertanian
No Jenis Pertanian BOD N P TSS Pestisida Lahan Pertanian
(g/ha/musim tanam) (L/ha/m.t)
1 Padi biasa 225* 20* 10* 0,40* 0,16* Sawah
(Jerami padi yg
busuk)
Padi hemat air 170* 15* 7,6* 3* 0,12* Sawah
Padi Gogo 125* 10* 5* 2,2* 0,09* Sawah tadah hujan
2 Palawija 125 10 5 2,2 0,09* Ladang
(Humus yg terkikis)
3 Tanaman kebunan 32,5 3 1,5 0,60 0,025* Kebun/ladang
lain 2)
Sumber : Modul Pengelolaan Kualitas Air, Balai Lingkungan Keairan, Pusat Litbang Sumber Daya Air,
2010
Ket : * konversi satuan per-hari = 10% per-musim tanam, Sawah tadah hujan/Padi Gogo hanya 1 kali
tanam di musim hujan saja Pestisida hanya untuk tanaman tertentu saja ”tanpa asteris” konversi
satuan per-hari = 1% per-musim tanam
perairan atau sumber yang menanganinya dalam beban keseluruhan dari sumber air
tertentu. Penggunaan teknik ini bersifat intensif waktu dan tenaga dan perlu
dilaksanakan dalam kolaborasi dangan pengurus perairan daerah dan pertanian yang
telah memiliki informasi yang dibutuhkan pada tingkat yang diperlukan untuk
menjalankan sebuah model. Kesulitan yang lebih jauh dalam konteks memperkirakan
bahan pencemar ke air dari kegiatan pertanian yang tersebar adalah bahwa terdapat dua
kali emisi pencemar ke atmosfer yang tinggal diatas permukaan lahan dan kemudian
memberikan kontribusi pada pencemaran air melalui aliran larian (runoff). Terlebih lagi,
teknik-teknik memperkirakan dan model yang tersedia untuk sumber-sumber ini
cenderung terkonsentrasi pada jenis pencemar air konvensional (misal padatan, BOD,
nutrien, dan mikroorganisme) dan cenderung tidak secara spesifik menunjukkan jenis
pencemar, yang biasanya menjadi perhatian khusus dalam sistem inventarisasi.
jenisnya. Demikian pula untuk mengestimasi tingkat pencemar nutrien (senyawa N dan
P), data yang diperlukan mirip seperti estimasi pencemar pestisida yaitu jumlah pupuk
yang digunakan, termasuk komposisi nutrien (N dan P) dalam pupuk tersebut, rasio
partisi seperti persentase zat yang mudah larut dalam air (data kelarutan), data pupuk
residu yang diperoleh dari analisis sampel air dan tanah.
Metode Estimasi
Untuk memperkirakan tingkat pencemaran air berdasarkan volume pestisida dan
jumlah pupuk digunakan pendekatan top-down. Dalam pendekatan ini informasi
statistik mengenai produksi, penjualan, dan impor/ekspor pestisida dan pupuk
dikumpulkan untuk menentukan volume pestisida serta jumlah pupuk yang digunakan,
khususnya yang tersebar dalam lingkup geografis yang menjadi daerah inventarisasi.
Dari penghitungan awal jumlah pestisida dan pupuk yang dijual, besaran pestisida dan
pupuk aktual yang digunakan sebaiknya diperkirakan. Langkah ini menjadi rumit
mengingat fakta bahwa penjualan pestisida/pupuk pada tahun tertentu tidaklah sama
dengan jumlah pestisida/pupuk yang digunakan untuk periode yang sama karena
dipengaruhi oleh meningkatnya hama dan sejumlah pestisida tertentu yang terjual yang
digunakan selama tahun berikutnya, serta musim tanam dan jenis tanaman yang
mempengaruhi jenis dan jumlah pupuk yang digunakan. Ketika volume pestisida yang
digunakan dalam suatu daerah dihitung, besaran tingkat pencemaran air dapat
diperkirakan untuk setiap golongan pestisida berdasarkan rasio partisi yang
memberikan perkiraan ke udara, tanah, dan air yang diperkirakan dari penggunaan
pestisida tersebut. Akan tetapi, mengestimasi pada tingkat ini dibutuhkan rasio partisi,
yang sangat bergantung pada keadaan khusus dari lingkungan dimana pestisida
dibuang. Demikian halnya dengan penggunaan pupuk, rasio partisi kemudahan larut
pupuk dalam air, dan residu pupuk yang tertinggal bergantung pada kondisi lingkungan.
Karena data tersebut sering tidak tersedia untuk kondisi penggunaan lokal, pendekatan
top-down sering tidak menghasilkan hasil detail pada zat-zat yang secara individual
terlepas ke berbagai media lingkungan. Terlebih, pusat perhatian umumnya pada
kategori pestisida dan pupuk yang digunakan pada daerah tersebut. Pendekatan lainnya
adalah pendekatan bottom-up yang didasarkan pada inventarisasi jenis tanaman
dimana pestisida dan pupuk digunakan. Perkiraan didasarkan pada penilaian ahli yang
dibuat mengacu pada jumlah pestisida dan pupuk yang digunakan untuk berbagai jenis
tanaman pada periode tertentu. Karena lokasi dan keberadaan dari tanaman yang
Tabel 2. 23 Klasifikasi dan Bobot Nilai Indikator Pengendalian Penvemaran Air Sungai
masukan/input, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemangilan data), (c) analisis dan
manipulasi data, (d) keluaran/output. [Aronoff, Stanley. “Geographic Information System : A
Management Perspective”, WDL Publications, Ottawa, Canada.89].
7. Analisa Hidrologi
Dalam perencanaan sistem DAS diperlukan analisa hidrologi (analisa curah hujan). Analisa ini
terutama diperlukan untuk dapat memperkirakan debit banjir rencana dari seluruh tipe daerah
pengaliran dengan luas pelayanan dan tata guna tanah yang bervariasi. Besarnya debit banjir
rencana pada saluran dihitung berdasarkan metoda rasional yang dimodifikasi. Salah satu faktor
yang menjadi parameter dalam metoda tersebut adalah penentuan intensitas hujan pada perioda
ulang yang direncanakan berdasarkan waktu konsentrasi dan durasi curah hujan yang kritis.
Analisa curah hujan diperlukan untuk dapat membuat kurva intensitas durasi frekuensi yang sesuai
dengan keadaan kota/daerah setempat sehingga dapat diperkirakan debit banjir rencana yang
akan dipakai sebagai dasar penentuan dimensi saluran dan perlengkapannya.
Untuk mencapai hal-hal tersebut harus dilakukan penentuan data dasar dan hasil penelitian
langsung di lapangan, analisa data curah hujan dan analisa debit banjir.
Nam, jumlah, dan penyebaran stasiun curah hujan di dalam dan sekitar kota/ daerah
perencanaan
Data curah hujan dan perioda tahun pengamatannya (rata-rata curah hujan tahunan dan
bulanan, rata-ratarata curah hujan maksimum selama 24 jam)
Nama dan lokasi stasiun duga air di sungai yang bersangkutan dan sekitarnya (jika ada)
R 1 + R 2 + R 3 + ..... + R n
R rata rata =
n
dimana :
Dengan menghitung perbandingan luas poligon untuk setiap stasiun yang besarnya =
An/A, dimana A adalah luas basin. Untuk mendapatkan curah hujan rata-rata basin
dipakai rumus :
A 1 R 1 + A 2 R 2 + ..... + A n R n
R rata rata =
A
dimana :
Untuk menghitung volume hujan yang jatuh di daerah penampungan, tiap daerah
dibatasi oleh dua isohiet dalam daerah penampungan diukur luasnya dengan planimeter
luasnya = An, n-1. Curah hujan rata-rata basin di cari dengan rumus :
n
(A n , n 1)(R n , n 1, t )
Rrata rata =
1 A
dimana :
a dan b = konstanta yang tergantung pada lamanya curah hujan yang terjadi di
daerah aliran atau daerah penampungan
Formula Sherman
Intensitas curah hujan dihitung dengan :
a
l=
tn
(log l )(log t. log t ) (log t. log l )(log t )
log a =
N(log t. log t ) (log t. log t )
Formula Ishiguro
Intensitas curah hujan dihitung dengan :
a
l=
( t + b)
(l )(l. t ) N(l.l. t )
b=
N(l.l ) (l )(l )
Metode ARRO
Intensitas curah hujan dalam waktu 1 jam sampai 12 jam dari curah hujan dalam 12 jam
dapat dihitung dengan rumus :
R t = C t . R 12
dimana :
1,798
C t = A( 0.143) + 1
t + 0.576
Pengendalian dan Evaluasi Pencemaran Sungai
2 - 44
Cikarang Tahun Anggaran 2021
Laporan Antara
dimana :
Sedangkan untuk durasi curah hujan dari 6 menit sampai 60 menit dapat dihitung dengan
rumus :
R m = K m R 60
dimana :
49 ,589
K m = 0 ,309 +
m + 11,767
Xt = Xa + K. Sx
dimana :
(x 1 x a )(x i x a )
Sx =
( n 1)
dimana :
Dengan menghitung nilai Xt yang sesuai dengan periode ulangnya maka dapat ditentukan
persamaan Intensitas Durasi Frekwensi untuk masing-masing wilayah.
Koefisien aliran permukaan (c) ditentukan berdasarkan tata guna lahan atau tipe daerah
penampungan hujan yang secara umum dapat dibagi dalam beberapa tipe daerah
penampungan antara lain daerah perumahan, industri, pekarangan, perkotaan,
pertamanan, tempat bermain, halaman kereta api. Nilai koefisien aliran permukaan
tersebut berkisar antara 0.05 sampai dengan 0.95.
Besarnya intensitas curah hujan menitan sampai jam-jaman untuk menentukan debit
desain sesuai dengan periode ulangnya bergantung kepada besarnya waktu onsentrasi
(tc). Cara menghitung waktu konsentrasi dapat menggunakan formula Kirpich yaitu :
tc = 95 x K0,770
dimana :
L
K = ulang T tahun
S
L = panjang pengaliran sungai
S = kemiringan lahan
Namun demikian untuk mendapatkan nilai tc yang optimal perlu dikoreksi dengan
nilai waktu konsentrasi yang didapatkan dari penjumlahan antara td dan to.
3. Penentuan debit banjir desain dengan metode modifikasi rasional ataupun dengan
metode unit hidrograf
Perhitungan debit banjir desain dengan metode modifikasi rasional adalah sebagai
berikut:
Q = C.I.A
dimana :
atau
Q = 0.278 C.I.A
dimana :
Untuk durasi curah hujan sama dengan waktu konsentrasi maka besarnya debit
maksimum dapat dihitung dengan rumus :
Qp = 0.278 C Cs.I.A
2 tc
Cs =
2 tc + td
dimana :
Cs = koefisien storage
Untuk durasi curah hujan melebihi waktu konsentrasi maka besarnya debit maksimum
dapat dihitung dengan rumus :
2 te
Cs 1 =
2 te + td
dimana :
C = koefisien aliran
Sedangkan untuk memperkirakan debit banjir maksimum di suatu badan air yang
mengalir digunakan metoda Van Breen, dimana perhitungan debit hanya didasarkan
pada jumlah air yang mencapai suatu tempat dari tempat tertentu yang dapat mencapai
tempat tersebut dalam waktu maksimum selama 4 (empat) jam.
Qs = V . A
Qs = V. y2/3
dimana :
Agar supaya debit rencana yang diakibatkan oleh besarnya intensitas curah hujan (Qr)
dapat ditampung di dalam salurannya secara teknis dan ekonomis adalah optimal
menurut kapasitasnya (Qs), maka disyaratkan Qr = Qs.
Mengingat kegiatan ini memerlukan banyak waktu, maka untuk mempersingkat waktu
dicari hasil-hasil analisa yang sudah dilakukan untuk daerah yang berdekatan.
Pengendalian dan Evaluasi Pencemaran Sungai mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-
aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan
meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan
yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.
Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu DAS dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan
pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, pembangunan PLTA,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi
kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan
adalah berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan
baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor maupun pada
tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan
pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan
produksi atau ekonomi semata, tetapi juga untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan
seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain.
Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam menganalisa kinerja suatu DAS, kita tidak hanya melihat
kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada di dalam DAS, misalnya mengukur
produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksi hasil hutan kayu saja. Kita harus melihat
keseluruhan komponen yang ada, baik output yang bersifat positif (produksi) maupun dampak negatif.
Karena itu dalam kajian Pengendalian dan Evaluasi Pencemaran Sungai ini selain dilakukan analisis yang
bersifat kuantitatif, juga dilakukan analisis yang bersifat kualitatif. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya
didasarkan kepada adanya keterkaitan antara suatu sektor/kegiatan pembangunan dengan kegiatan
pembangunan lain, sehingga apa yang dilakukan pada satu sektor/komponen akan mempengaruhi kinerja
sektor lain.
Untuk menggambarkan hubungan keterkaitan antara berbagai aktifitas/komponen pembangunan yang ada
di dalam DAS digunakan model seperti dalam gambar 4.3. Dalam diagram tersebut digambarkan keterkaitan
antara berbagai komponen yang dalam analisis kuantitatif akan digunakan sebagai variabel untuk mengukur
kinerja DAS secara keseluruhan.
KEGIATAN/ASPEK
NO KONDISI SAAT INI KONDISI YANG DIHARAPKAN
MANAJEMEN
Parsial Terpadu
1. PERENCANAAN Tujuan Sektoral Tujuan Bersama
Tidak kuat secara hukum Mempunyai kekuatan hukum
Ada lembaga koordinatif para
Masing-masing sektor bekerja
pihak terkait PDAS “Forum DAS”
sendiri-sendiri berdasarkan
Lembaga koordinatif berperan
2. KELEMBAGAAN kepentingannya
secara efektif untuk
Beberapa Forum DAS di daerah telah
mensinergikan kebijakan,
terbentuk tapi belum efektif
kegiatan dan pendanaan
Kegiatan PDAS terpadu antar
sektor terkait (ada “KISS”)
Kegiatan di lapangan cenderung
Konservasi & rehabilitasi DAS
egosektoral
melibatkan para pihak
Konservasi & rehabilitasi DAS
(Pemerintah, Pemda, Swasta
3. PELAKSANAAN mengandalkan pemerintah terutama
dan Masyarakat)
kehutanan
Pembayaran jasa lingkungan
Pemanfaatan jasa lingkungan DAS
DAS yang dikembalikan untuk
belum dihargai
mendanai konservasi &
rehabilitasi
KEGIATAN/ASPEK
NO KONDISI SAAT INI KONDISI YANG DIHARAPKAN
MANAJEMEN
Ada koordinasi para pihak dalam
melakukan monev, SIM DAS
Monev terbatas oleh institusi tersedia dengan baik
tertentu, SIM DAS masih lemah Pengawasan melibatkan
Pengawasan dan penertiban belum masyarakat, ada networking
4. PENGENDALIAN
banyak melibatkan masyarakat yang baik, hasil monev untuk
Kondisi DAS tidak menjadi indikator umpan balik PDAS
kinerja institusi terkait PDAS Kesehatan DAS menjadi
indikator kinerja institusi
pengelola terkait
Partisipasi pada berbagai
tahapan PDAS dengan
Masih terbatas pada kegiatan-
pembagian peran dan tanggung
PARTISIPASI kegiatan fisik di lapangan
5. jawab yang jelas
MASYARAKAT Pembagian peran, hak dan kewajiban
Dibangun kemitraan antara
belum jelas
masyarakat dengan pihak
swasta dan pemerintah
Masih sangat mengandalkan dana
Penerapan cost sharing antara
pemerintah
Pemerintah, Pemda, Swasta dan
Rehabilitasi dan konservasi DAS
6. PEMBIAYAAN masyarakat
merupakan cost centre sehingga
Penerapan beneficiaries &
tidak menjadi prioritas Pemda,
poluters pay principles
swasta dan masyarakat
Pada tahun 2014, dalam kegiatan studi daya tampung Kali Cikarang Kabupaten Bekasi sudah dibuatkan
indikasi program terkait pengendalian dan pengelolaan Kali Cikarang, indikasi program yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Periode Pelaksanaan
Jangka Jangka Jangka
No Kegiatan Dinas/Instansi
Pendek Menengah Panjang
(2015-2019) (2020-2024) (2025-2034)
A Indikasi Program Tata Ruang
Pengembalian Fungsi Ruang Bappeda,
1
Sempadan Sungai Dinas PU-
a. Relokasi Kegiatan Cipta Karya
Permukiman √ √ √
b. Relokasi Kegiatan Industri √ √ √
Penataan Kawasan Sempadan
2
Sungai
a. Penyusunan Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan
Kawasan Sempadan Sungai √
b. Pembangunan Kawasan
Sempadan Sungai √
Monitoring Pemanfaatan Ruang
3
Kawasan Sempadan Sungai √ √
Indikasi Program Pemulihan
B Kualitas Air
1 Air Limbah Domestik Bappeda,
a. IPAL Skala Kota √ √ √ Dinas PU-
Cipta Karya
b. IPAL Skala Kota √ √ √
2 Air Limbah Non Domestik Bappeda, BLH
a. Evaluasi Ijin Pembuangan
Limbah Cair (IPLC) √ √ √
b. IPAL Industri √ √ √
c. Pengawasan IPAL Industri √ √ √
3 Limbah Padat Bappeda,
a. Program 3R √ √ √ Dinas PU-
Cipta Karya
b. Jaring Sampah √ √ √
Sumber: Studi Daya Tampung Kali Cikarang Kabupaten Bekasi