Anda di halaman 1dari 18

INTEGRASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM

PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH (RTRW) DAN TANTANGANNYA

Ditulis oleh:

LUKMANUL HAKIM
NPM. 250120160023

Essay ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL)

Dosen Pengampu:
Chay Asdak, M.Sc., Ph.D.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017

1
2
INTEGRASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM
PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH (RTRW) DAN TANTANGANNYA

Oleh : Lukmanul Hakim


NPM. 250120160023

A. PENDAHULUAN
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut
ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh
undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Namun, setelah diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum
memenuhi harapan bahkan terindikasi terjadi penurunan kualitas dan daya dukung
lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat semakin jelas
baik di perkotaan maupun perdesaan.
Hal tersebut karena penataan ruang tidak didesain dengan baik, tidak terintegrasi dan
lebih mementingkan aspek ekonomi dibandingkan aspek lingkungan dan sosial.
Pembangunan ekonomi Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada sumbangan sumber
daya alam, yakni sebesar kurang lebih 25% Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya
minyak, sumber daya mineral dan hutan sehingga menyebabkan deplesi sumber daya alam
dan degradasi lingkungan. Di sisi lain, kualitas lingkungan hidup yang dicerminkan pada
kualitas air, udara dan lahan juga masih rendah. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi yang terus
meningkat harus dapat menggunakan sumber daya alam secara efisien agar tidak menguras
cadangan sumber daya alam, dipergunakan untuk mencapai kemakmuran yang merata, tidak
menyebabkan masalah lingkungan hidup, sehingga dapat menjaga kualitas kehidupan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. (Kemenko Perekonomian, 2015).
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada
lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam
UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik
agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana
tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental
Assessment (SEA) menjadi salah satu alat instrumen lingkungan hidup yang dapat

1
diintegrasikan dalam perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan
hidup.
KLHS merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam perencanaan pembangunan suatu wilayah. Sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS untuk
memastikan bahwa pertimbangan lingkungan hidup dan prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS dalam : (1) penyusunan atau evaluasi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, (2) Rencana Pembangunan
Jangka Panjang/Menengah (RPJP/M), dan (3) kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP)
lain yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
Tujuan dalam penulisan essay ini adalah untuk mengetahui proses integrasi KLHS
dalam penyusunan RTRW dan mengidentifikasi tantangan pelaksanaannya. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan studi literatur dan kepustakaan yang terkait
KLHS dan perencanan tata ruang wilayah.

B. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)


Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada
pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan
(sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek
dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan.
Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya (Setyabudi, 2008).
Menurut Asdak (2014), KLHS adalah suatu proses sistematis dalam evaluasi dampak
lingkungan hidup yang diperkirakan akan terjadi akibat pelaksanaan KRP yang dilakukan
pada tahap awal dari suatu proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain
pertimbangan pertimbangan ekonomi dan sosial. Dengan kata lain, KLHS adalah proses
pengintegrasian konsep keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis.
Dokumen KLHS adalah suatu pendekatan partisipatif dalam pengarusutamaan isu-isu
lingkungan dan sosial untuk mempengaruhi rencana pembangunan, pengambilan keputusan
(pembangunan) dan proses implementasi (pembangunan) pada tingkat strategis.

2
Sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2009, KLHS merupakan instrumen
lingkungan yang wajib dilaksanakan pada tahap awal proses pengambilan keputusan
pembangunan sehingga bersifat komprehensif. Dalam pasal 16 disebutkan bahwa KLHS
memuat kajian antara lain: (1) kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
untuk pembangunan, (2) perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, (3)
kinerja layanan/jasa ekosistem, (4) efisiensi pembanfaatan sumber daya alam, (4) tingkat
kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan (6) tingkat ketahanan dan
potensi keanekaragaman hayati. Sesuai pasal 18 UU tersebut, maka KLHS dilaksanakan
dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dan ketentuan lebih lanjut
mengenai tata-cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 46
Tahun 2016.
Tujuan KLHS adalah (1) memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan
kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) pembangunan sehingga mengarah pada
terwujudnya pembangunan berkelanjutan; (2) Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL (3)
Mendorong pendekatan baru dalam proses pengambilan keputusan KRP Pembangunan.
(UNEP, 2002; Partidario, 2007; KLH, 2007 dalam Asdak, 2014).
Landasan Hukum KLHS adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS, Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan KLHS dan Surat
Edaran Bersama Menteri DAlam Negeri dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
660/5113/SJ dan 04/MENLH/12/2010 tentang Pelaksanaan KLHS dalam RTRW dan
RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan adanya landasan hukum tersebut, maka
secara legal, implementasi KLHS untuk RTRW dan RPJMD memiliki landasan hukum yang
sah. (Asdak, 2014).
Aplikasi KLHS dilaksanakan di sepanjang proses KRP. Pada level kebijakan dapat
diaplikasikan KLHS Kebijakan, pada level rencana dan program dapat berupa KLHS
Regional (termasuk tata ruang), KLHS Program, dan KLHS Sektor. Berikut adalah gambar
skematis yang menunjukkan ruang lingkup KLHS dan yang membedakan dengan AMDAL.

3
Gambar 1. Ruang Lingkup KLHS
(Patridario, 2000 dalam Brontowiyono dkk, 2010)

Implementasi KLHS harus mampu menyertakan nilai-nilai dasar dalam aplikasi KLHS.
Terpenuhinya nilai-nilai dasar diharapkan akan mencitpakan prakondisi terwujudnya
keberlanjutan pembangunan. Nilai-nilai dasar tersebut meliputi ketiga prinsip berikut
(Asdak, 2014), yaitu :
1. Keterkaitan (interdependency)
Penyelenggaraan KLHS harus mempertimbangkan keterkaitan antara satu
komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain,
antara lokal dan global, antar sektor, antar daerah, dan sebagainya. Atau dengan
kata lain KLHS diaplikasikan secara komprehensif dan holistik.
2. Keseimbangan (equilibrium)
KLHS harus senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai keseimbangan, seperti
keseimbangan kepentingan sosial ekonomi dengan lingkungan hidup,
keseimbangan kepentingan jangka panjang dan jangka pendek,
keseimbangan pusat- daerah, dan lainnya.
3. Keadilan (justice)
Nilai keadilan akan membatasi akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam atau
modal atau pengetahuan, sehingga hasil KLHS berupa kebijakan, rencana, dan
program tidak menyebabkan marginalisasi kelompok masyarakat tertentu.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan
metodologi berpikirnya. Menurut UNEP (2002) dan Sadler (2005) dalam Setyabudi (2008),
Sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang , yaitu :

4
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan
dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah
pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Environmental
Appraisal)
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW
menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah
telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.
3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment
Sustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara
holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial,
ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih
ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis
dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.
4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable
Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
(Sustainable Resource Management)
KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan
sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan
dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan
sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi
sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan
penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan
sumberdaya alam.
C. Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa
rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan
ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara
sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,
serta sanksi.

5
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu:
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan
produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki
terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW
Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana
pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan
berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan
penataan ruang, maka Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan
rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan
sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya
buatan.
Pendekatan top-down dan partisipatif dalam perencanaan pembangunan yang ada
dalam UU No. 25/2004 terwujud dalam bentuk rangkaian musyawarah perencanaan
pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat
Kabupaten/Kota sampai dengan Nasional. Rangkaian forum ini menjadi bagian dalam
menyusun sistem perencanaan dan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan
pembangunan setiap tahun. Secara top down, Pemerintah telah menetapkan rencana kerja
pemerintah berikut alokasi anggaran yang ditetapkan dan akan digunakan didalam
membiayai kegiatan pembangunan secara nasional. Secara partisipatif, proses perencanaan
pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah.
Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat sistematis, terkoordinir
dan berkesinambungan, sangat terkait dengan kegiatan pengalokasian sumberdaya, usaha
pencapaian tujuan dan tindakan- tindakan di masa depan. Segala bentuk kegiatan
pemanfaatan sumberdaya harus diatur di dalam rencana tata ruang seperti yang tercantum di
dalam UU No. 26/2007, bahwa penataan ruang terbagi atas kegiatan perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian keterkaitan antara
perencanaan pembangunan dan penataan ruang sangat penting dalam rangka optimalisasi
sumberdaya alam dan buatan yang terbatas dan mengurangi resiko bencana yang
ditimbulkan oleh kegiatan manusia.
Keterkaitan antara rencana pembangunan dengan penataan ruang dapat dilihat pada
skema berikut.

6
Gambar 2. Keterkaitan antara rencana pembangunan dengan penataan ruang
(Koespramoedyo, 2008)

Proses penyusunan Tata Ruang melibatkan setidaknya tiga kementerian sebagai berikut:
a. Kementerian Pekerjaan Umum bertanggungjawab dalam persetujuan substansi (PP No.
15/2010).
b. Kementerian Dalam Negeri bertanggungjawab dalam evaluasi legalitas, administrasi
dan kebijakan (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28/2008 tentang Tata cara Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Daerah).
c. Peran Kementerian Kehutanan disebutkan dalam pasal 31 PP No. 15/2010 yang
menyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan
kawasan hutan berlaku ketentuan perundang-undangan bidang kehutanan. PP No.
15/2010 menyatakan kewajiban melaksanakan KLHS dalam pengolahan dan analisis
data dalam penyusunan RTRW untuk menentukan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Sedangkan PP No. 10/2010 mengenai Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan, menyatakan bahwa apabila usulan perubahan peruntukan
kawasan hutan berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan, wajib
melaksanakan KLHS.
D. Intergasi KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah
Proses penyusunan KLHS harus dilakukan terintegrasi dengan proses perencanaan
tata ruang. Beragamnya kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan tata ruang
menyebabkan integrasi tersebut bisa dilaksanakan dalam 2 cara (Asdak, 2014), yaitu :
1. Pendekatan proses penyusunan/perumusan RTRW (pendekatan Ex-ante)
2. Pendekatan proses evaluasi RTRW (pendekatan Ex-post)

7
Implementasi KLHS dalam rangka integrasi kepentingan lingkungan hidup dalam
proses penyusunan rencana tata ruang (Ex-ante) tidak dilakukan pada setiap tahapan proses
penyusunan tata ruang sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kimpraswil nomor
327/2002, melainkan pada tahapan yang dianggap strategis, yaitu salah satu atau kombinasi
dari tiga tahapan yang dianggap strategis yaitu : dilaksanakan pada tahap Review RTRW,
tahap analisis penyusunan RTRW dan tahap konsepsi rencana penyusunan RTRW.
Sedangkan implementasi KLHS pada proses evaluasi RTRW (Ex-Post) dilakukan
pada tahap : dilaksanakan pembahasan Laporan Pendahuluan yang dilakukan setelah tahap
persiapan dan review RTRW, setelah pembahasan Buku Data dan Statistik dan pada
pembahasan laporan Buku Rencana. Apabila implementasi dilakukan pada ketiga tahap
proses penyusunan atau tahap evaluasi RTRW, maka pelaksanaannya masuk dalam kategori
maksiman. Sedangkan jika dilakukan pada salah satu tahap proses, maka pelaksanaannya
masuk kategori minimal.

Gambar 3. Integrasi KLHS pada proses evaluasi RTRW (Ex-Post)


(Setyabudi, 2008a)

Tata cara penyelenggaraan KLHS untuk RTRW yang saat ini sering dilakukan di
Indonesia adalah seperti pada tabel dibawah ini.
Tahap Proses Tujuan
1 Pengkajian pengaruh RTRW
Merancang agar melalui KLHS prinsip pembangunan
Perancangan proses berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam
a
penyelenggaraan KLHS RTRW. Memahami konteks KLHS dalam penyusunan
RTRW dan peluang integrasinya

8
Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dapat
Identifikasi dan pelibatan
menyampaikan masukan tentang isu strategis LH,
b masyarakat dan pemangku
sehingga akuntabilitas RTRW dapat
kepentingan lainnya
dipertanggungjawabkan
Menetapkan isu LH yang bersifat strategis yang perlu
c Identifikasi isu-isu strategis LH menjadi dasar dan dipertimbangkan dalam
penyusunan RTRW
Identifikasi muatan RTRW yang Menetapkan muatan RTRW yang relevan dengan isu
d
relevan strategis LH yang ditetapkan
Pengkajian pengaruh KRP
Memprakirakan dampak dan risiko lingkungan hidup
e terhadap kondisi lingkungan
oleh rancangan RTRW
hidup di wilayah perencanaan
Perumusan alternatif Merumuskan alternatif penyempurnaan RTRW dan
2
penyempurnaan RTRW mitigasinya
Merumuskan perbaikan rancangan RTRW sesuai
Rekomendasi perbaikan RTRW
3 dengan alternatif terpilih dan mencatat mitigasi yang
dan pengintegrasian hasil KLHS
diperlukan
Mendokumentasikan proses-proses KLHS yang
Dokumentasi KLHS dan Akses terbuka aksesnya untuk publik, agar masyarakat dan
4
Publik pemangku kepetingan lainnya dapat menilai dan
menanggapiny

Tabel 1. Tahapan pelaksanaan KLHS RTRW yang sering dilaksanakan di Indonesia


(Asdak, 2014)

Mempertimbangkan pentingnya isu-isu strategis dalam studi KLHS, maka pelaksanaan


KLHS diupayakan melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan dan representatif,
sehingga mampu merumuskan isu-isu strategis yang juga relevan.
Tahapan yang paling penting dalam penyusunan KLHS adalah dalam menentukan isu-
isu strategis karena isu-isu strategis ini akan mengarahkan pada kerangka akar masalah (root
problem). Jika salah dalam menentukan isu-isu strategis, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam KLHS tidak akan tepat sasaran dan tidak akan memecahkan masalah.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan diwarnai
berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian, tingkat
keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi tergantung pada aras (level of
detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta
komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat
nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan
intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk
tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi
publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan
RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan
bersinggungan langsung dengan kegiatan masyarakat.

9
E. Lesson Learn : Integrasi KLHS dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) Tata Ruang Kota Palangkaraya 2013 2033
Salah satu contoh integrasi KLHS dalam penyusunan RTRW dilakukan oleh
pemerintah kota Palangkaraya (Pemkot) untuk periode 2013 2033. Pelaksanaan integrasi
KLHS dalam hal ini adalah terhadap dokumen Ranperda RTRW Kota Palangka Raya
(pendekatan KLHS ex-post). Penyelenggaraan KLHS ini ditujukan untuk mengintegrasikan
usulan perubahan atau penyesuaian pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang yang
telah ada. Dengan demikian, fungsi RTRW Kota Palangka Raya sebagai pedoman/arahan
perencanaan dan pembangunan daerah dapat berfungsi secara optimal.
Menurut Pemkot Palangkaraya (2014) bahwa melalui substansi RTRW, Kota
Palangka Raya diharapkan mampu mencapai sasaran :
1. Tersusunnya penyempurnaan rumusan pemantapan fungsi Kota Palangka Raya.
2. Tersusunnya penyempurnaan kebijakan dan strategi pengembangan Kota Palangka
Raya.
3. Tersusunnya penyempurnaan arahan rencana struktur ruang Kota Palangka Raya.
4. Tersusunnya penyempurnaan arahan pola ruang.
5. Tersusunnya penyempurnaan arahan rencana kawasan strategis.
6. Tersusunnya penyempurnaan arahan implementasi pemanfaatan ruang wilayah Kota
Palangka Raya, prioritas tahapan pembangunan (indikasi program).
7. Tersusunnya penyempurnaan rencana pengendalian pemanfaatan ruang (peraturan
zonasi, ketentuan perijinan, insentif dan disinsentif dan arahan sanksi).
8. Tersusunnya penyempurnaan arahan pelibatan masyarakat dalam
penataan ruang.
Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam implementasi KLHS terhadap
rencana penyusunan RTRW kota Palangka Raya adalah penyusunan KLHS berdasarkan
pendekatan kombinasi antara proses pengambilan keputusan (decision centerd approach)
dan pengkajian dampak LH dan sosial akibat im`plementasi KRP (RTRW) (impact-based
SEA approach). Dengan kata lain, studi KLHS dilakukan dengan beradaptasi terhadap
proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Hal ini untuk menjamin agar proses
pelaksanaan KLHS dapat beradaptasi sesuai dengan persyaratanpersyaratan proses
pengambilan keputusan strategis dalam perencanaan penataan ruang (RTRW).
Implementasi KLHS ditinjau dari perspektif metodologi dan prosedur pelaksanaannya
dapat ditempuh melalui pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) dan dari bawah
ke atas (bottom up approach). Pendekatan yang digunakan untuk penyusunan dokumen

10
KLHS di Kota Palangka Raya adalah sistem pendekatan menyatu (integrated approach)
dimana KLHS menjadi bagian dari proses perencanaan dan evaluasi KRP penataan ruang.
Mekanisme dan Tahapan KLHS
Pemkot Palangkaraya (2014) menjelaskan bahwa tahapan penyusunan dokumen
KLHS untuk Ranperda RTRW Kota Palangka Raya meliputi langkah-langkah sesuai tabel
dibawah ini.
No Tahapan KLHS
1 Identifikasi isu-isu dan permasalahan dan merumuskan strategi
pembangunan berkelanjutan
2 Mengidentifikasi KRP Ranperda RTRW Kota Palangkaraya
3 Memetakan para pemangku kepentingan terhadap KRP
4 Menentukan kriteria dan indikator berdasarkan KRP RTRW Palangkaraya
5 Menyusunan baseline data dan informasi untuk analisis KLHS.
6 Mengidentifikasi hal-hal terkait metode untuk pengkajian pengaruh KRP
terhadap kondisi lingkungan, sosial budaya dan ekonomi serta SPRE di
Kota Palangkaraya
7 Melakukan analisis KLHS untuk RTRW Kota Palangkaraya
8 Penyusunan peta-peta tematik untuk kebutuhan analisis KLHS
9 Merumuskan implikasi rencana dan/atau program yang tertuang dalam
RTRW Kota Palangka Raya
10 Merumuskan mitigasi dan skenario alternatif terhadap KRP RTRW Kota
Palangka Raya
11 Menyusun draft laporan KLHS termasuk naskah akademik RTRW
12 Melakukan konsultasi publik
Tabel 2. Tahapan pelaksanaan KLHS terhadap Ranperda RTRW Kota Palangkaraya
(Pemkot Palangkaraya 2014)

Pelaksanaan KLHS diakhiri dengan rekomendasi dan endorsement hasil KLHS.


Rekomendasi hasil KLHS merupakan alternatif penyempurnaan KRP. Alternatif perbaikan
muatan KRP tersebut diperoleh dengan melakukan kajian implikasi/dampak KRP terhadap
isu-isu LH dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah, dan disepakati
bahwa KRP yang dikaji potensial memberikan dampak negatif pada pembangunan
berkelanjutan.
Tahapan pelaksanaan KLHS terhadap RTRW di Kota Palangkaraya sesuai dengan
dengan tahapan yang biasa dilakukan di Indonesia sesuai dengan teori yang dikemukakan
Asdak, 2014 yang dapat dilihat pada tabel 1. Pelaksanaan KLHS ini dilakukan dalam 8 kali
pertemuan: satu kali kick-off meeting, empat kali FGD, dua kali konsultasi publik, dan satu

11
kali proses integrasi hasil KLHS ke dalam Ranperda RTRW Kota Palangka Raya termasuk
naskah akademiknya (Pemkot Palangkaraya, 2014).
Identifikasi isu-isu strategis KLHS lazimnya dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu
proses pelingkupan yang akan menghasilkan daftar panjang isu-isu strategis dan proses
pelingkupan selanjutnya yang akan menghasilkan daftar pendek isu-isu strategis yang
kemudian akan menjadi fokus kajian. Proses KLHS dalam pelingkupan adalah proses yang
memerlukan pemahaman mendalam terkait implikasi KRP yang tercantum dalam dokumen
RTRWK Palangka Raya. Setelah para pemangku kepentingan, yang menjadi peserta
kegiatan pelaksanaan KLHS RTRWK Palangkaraya diminta untuk mendalami struktur isi
dalam dokumen RTRW, mereka diharapkan dapat mengidentifikasi isu-isu strategis terkait
KRP prioritas, terutama terkait komponen pembangunan berkelanjutan bagi kota Palangka
Raya yang berorientasi rendah emisi.
Isu-isu strategis lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan
melalui proses diskusi yang panjang, yaitu :
1. Alih fungsi lahan dan konflik lahan (utamanya pada kawasan hutan gambut).
2. Emisi karbon dari areal gambut dan kebakaran hutan dan lahan.
3. Persampahan
4. Pencemaran air dan udara
5. Keanekaragaman hayati
6. Sumber air baku, terkait dengan daya dukung air

F. Tantangan ke depan
Integrasi KLHS ke dalam perencanaan tata ruang wilayah di daerah yang merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai amanat konstitusi mempunyai beberapa
tantangan, yaitu :
1. Sejak diwajibkannya KLHS dalam UU nomor 32/2009 sejak tanggal 3 Oktober 2009
membawa konsekuensi legal, yakni diperlukannya Peraturan Pemerintah untuk
mengatur tata-cara penyelenggaraan KLHS yaitu PP nomor 46/2016 yang baru terbit
pada akhir tahun 2016. Selama jeda hampir 7 tahun, pelaksana KLHS berusaha
menafsirkan pasal-pasal KLHS dalam UU nomor 32/2009, berusaha mencari bentuk
dan mencoba membangun konsep pelaksanaan KLHS yang paling cocok untuk
dilakukan di Indonesia, spesifik untuk jenis KRP yang dikaji, yang terintegrasi dengan
kerangka hukum sistem KRP yang telah ada dan dibangun sebelum diwajibkannya
KLHS. Hal ini berakibat pada banyaknya RTRW yang akan direview dan disusun

12
kembali pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota sehingga dibutuhkan sumber
daya manusia yang mumpuni di bidang penyusunan KLHS.
2. Sumber daya manusia yang kapabel dan mengerti tentang KLHS sangat dibutuhkan
oleh daerah, karena berdasarkan evaluasi yang dilakukan kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, dari 62 KLHS yang sudah dibuat, hanya 2 KLHS yang dinilai
layak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan peningkatan kapasitas
SDM penyusun KLHS serta sosialisasi penyusunan KLHS ke seluruh wilayah
Indonesia.
3. Dari beberapa laporan pelaksanaan KLHS dan dokumen pembelajaran KLHS (Dusik,
2010 dalam Kappiantari, 2011) terlihat bahwa KLHS hanya menghasilkan studi teoritis
yang memiliki dampak yang tidak signifikan dalam pengambilan keputusan, yang pada
akhirnya tidak memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Pendekatan
KLHS yang diperkenalkan pada tahun 2010, yang mencoba membawa KLHS sebagai
instrumen yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan strategis di Indonesia,
berpotensi membawa KLHS lebih menekankan pada proses dan mengesampingkan
analisis seperti diamanatkan UU No. 32/2009. KLHS yang teoritik tanpa dapat
memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan adalah kesia-siaan. Namun KLHS
yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan tanpa melakukan kajian, dapat
disalahartikan sebagai bentuk legitimasi semata. Oleh karena itu, kedua hal, baik kajian
maupun proses penting adanya.
4. Kebutuhan Praktis Pengesahan KRP vs. Makna KLHS
Kewajiban melaksanakan KLHS untuk RTRWN/D pada awalnya dilihat beberapa
pihak sebagai suatu kendala bagi proses penyusunan KRP. Tanpa dilakukannya KLHS,
sebuah RTRW meskipun telah mendapatkan persetujuan substansi dari PU, tidak dapat
disahkan. Tanpa disahkannya RTRW, maka RPJM dan RPJP tidak memiliki acuan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa wajib KLHS yang dicantumkan pada UU No. 32/2009
yang baru justru menghambat penyusunan KRP dan pelaksanaan pembangunan. Pada
saat UU No. 32/2009 diundangkan sampai dengan tahun 2011 ini, beberapa Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) untuk RTRW provinsi, kabupaten/kota yang telah
mendapatkan persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum belum dapat
disahkan karena belum melakukan KLHS. Diperlukan langkah yang cerdas untuk dapat
menyelesaikan permasalahan di atas tanpa menyeret KLHS menjadi sekedar alat
legitimasi. Jangan sampai untuk alasan tenggat waktu penyusunan dan penyelesaian
suatu KRP, KLHS dilakukan sesingkat dan sepraktis mungkin, sehingga maknanya

13
dalam memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup dan pembangunan yang
berkelanjutan menjadi tersingkir (Kappiantari, 2011).
5. Sinergi antar KRP
Tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak ketidaksinkronan antara satu KRP
dengan KRP lain dalam proses perencanaan. Hal ini kadang dapat mengalihkan fokus
KLHS, sehingga perumusan isu strategis dalam proses pelingkupan KLHS bercampur
aduk atau bahkan tersisih oleh masalah koordinasi antar instansi. Yang terbaik yang
bisa dilakukan dalam KLHS dalam ketidaksinkronan antar KRP adalah
mendokumentasikan masalah tersebut, dan tidak menyelesaikan konfliknya (Therivel,
2010 dalam Kappiantari, 2011). KLHS seyogyanya tetap memfokuskan diri pada
masalah lingkungan hidup dan sosial, tanpa menafikan masalah ekonomi.

G. KESIMPULAN
Integrasi KLHS dalam penyusunan RTRW sangat penting untuk dilakukan agar
pertimbangan lingkungan hidup dan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Penyusunan KLHS yang bersifat
sistematis, menyeluruh, dan partisipatif merupakan amanat konstitusi untuk dilaksanakan
dalam proses pengambilan keputusan.
Integrasi KLHS dalam penyusunan RTRW dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1)
Pendekatan proses penyusunan/perumusan RTRW (pendekatan Ex-ante) dan (2)
Pendekatan proses evaluasi RTRW (pendekatan Ex-post). Seluruh rangkaian KLHS bersifat
partisipatif sehingga semua komponen kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan
konsultasi masyarakat.
Tahapan yang paling penting dalam penyusunan KLHS adalah dalam menentukan isu-
isu strategis karena isu-isu strategis ini akan mengarahkan pada kerangka akar masalah (root
problem). Jika salah dalam menentukan isu-isu strategis, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam KLHS tidak akan tepat sasaran dan tidak akan memecahkan masalah.
Tantangan kedepan dari integrasi KLHS dalam penyusunan RTRW adalah (1) terkait
kesiapan sumber daya manusia yang kapabel dan mumpuni dalam menyusun KLHS, (2)
KLHS hanya menghasilkan studi teoritis yang memiliki dampak tidak signifikan dalam
pengambilan keputusan dan tidak memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup,
(3) Kewajiban melaksanakan KLHS untuk RTRW tidak menjadi kendala bagi proses
penyusunan KRP (4). ketidaksinkronan antara satu KRP dengan KRP lain dalam proses
perencanaan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2014. Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Jalan Menuju Pembangunan


Berkelanjutan. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 337
Hal.
Brontowiyono, W., R. Lupiyanto, D. Wijaya. 2010. KLHS untuk pembangunan Daerah yang
Berkelanjutan. disampaikan pada Seminar Nasional 2010: Menuju Purworejo
Dinamis dan Kreatif.
Kemenko perekonomian. 2015. Rencana Strategis 2015 2019 Deputi Bidang Koordinasi
Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Kementerian
Koordinator Perekonomian. Jakarta:

KLH. 2007. Buku Pegangan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Deputi Bidang Tata
Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 -
DANIDA. Jakarta:

Pemkot Palangkaraya. 2014. Kajian Lingkungan Hidup Strategis Ranperda Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Palangka Raya Tahun 2013 - 2033. Pemerintah Kota
Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Palangkaraya:

Setyabudi, B. 2008. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai Kerangka Berfikir
dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah. Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Setyabudi, B. 2008a. Pertimbangan pertimbangan dalam penerapan Kajian Lingkungan


Hidup Strategis (KLHS) untuk Kebijakan, Rencana dan Program Penataan Ruang.
Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sudarwanto, S. 2010. Metoda cepat pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) dalam RTRW dan RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jurnal EKOSAINS,
Vol.II No.3 Hal. 21-27. Oktober 2010.
Kappiantari, M. 2011. Dua Tahun UU Lingkungan Hidup: Tantangan Pelaksanaan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Indonesia. Media Release :
http://www.kompasiana.com/kappiantari/dua-tahun-uu-lingkungan-hidup-tantangan-
pelaksanaan-kajian-lingkungan-hidup-strategis-klhs-di-
indonesia_550db5ffa33311f2262e3e81 . Diakses tanggal 16 Februari 2017.
Koespramoedyo, D. 2008. Keterkaitan Rencana Pembangunan Nasional Dengan Penataan
Ruang. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, BAPPENAS. Media release :
(http://www.docstoc.com/docs/44057657/Keterkaitan-Rencana-Pembangunan-
Nasional-Dengan-Penataan-Ruang). Diakses tanggal 16 Februari 2017.
Therivel, R. 2010. Strategic Environmental Assessment in Action, 2nd Edition, Earthscan,
London and Washington.

15
Peraturan Perundangan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009 tentang pedoman
pelaksanaan KLHS.

16

Anda mungkin juga menyukai