Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1 TINJAUAN KEBIJAKAN DAN PUSTAKA

1.1 Subtansi Rencana Detai Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ)
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) nomor 16 tahun 2018, muatan RDTR meliputi:

a) Tujuan Penataan BWP;


Tujuan penataan BWP merupakan nilai dan/atau kualitas terukur yang akan dicapai sesuai
dengan arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota dan
merupakan alasan disusunnya RDTR yang apabila diperlukan dapat dilengkapi konsep
pencapaian.
b) Rencana struktur ruang;
Rencana struktur ruang yang dimaksud meliputi:
 Rencana pengembangan pusat pelayanan;
 Rencana jaringan transportasi; dan
 Rencana jaringan prasarana.
c) Rencana pola ruang;
Rencana pola ruang yang dimaksud meliputi:
 Zona lindung; dan
 Zona budidaya.
d) Penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya;
Penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya yang dimaksud memuat:
 Lokasi; dan
 Tema penanganan.
e) Ketentuan pemanfaatan ruang.
Ketentuan pemanfaatan ruang merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program
pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun
masa perencanaan.
Muatan PZ kabupaten/kota meliputi aturan dasar dan/atau teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar
meliputi:
a. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan;
b. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang;
c. Ketentuan tata bangunan;d.ketentuan prasarana dan sarana minimal;
d. Ketentuan khusus;
e. Standar teknis; dan
f. Ketentuan pelaksanaan.
Sedangkan teknik pengaturan zonasi merupakan ketentuan lain dari aturan dasar yang disediakan
atau dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan aturan dasar dan ditujukan
untuk mengatasi berbagai permasalahan dengan mempertimbangkan karakteristik blok/ zona

2
1.2 Amanat Penyusunan KLHS Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Landasan hukum KLHS adalah Undang – Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengertian yang berkaitan dengan KLHS seperti tercantum pada
Pasal 1 adalah sebagai berikut:
a. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.
b. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
c. Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis
yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah
dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Pasal 15 memberikan amanah kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan
KLHS sebagaimana tercantum, dimana;
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau
evaluasi;
a. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan
jangka panjang (RPJP), dan pencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota;
b. Kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme :
a. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi
lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan
c. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau
program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan Pasal 15 UU 32/09 diketahui, bahwa tujuan KLHS adalah untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

Adapun dalam pasal 16 menyebutkan, bahwa KLHS akan memuat kajian antara lain :
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

3
Dengan demikian, KLHS akan menghasilkan rekomendasi dalam memenuhi ketentuan pada Pasal 17,
yaitu menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.
Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, maka:
 kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai
dengan rekomendasi KLHS; dan
 segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

1.3 Tahapan Pelaksanaan KLHS


Tahapan penyelenggaraan KLHS berdasarkan Permen LHK Nomor 69 Tahun 2017 serta arahan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bersifat ex-poste atau berjalan bersamaan
(paralel) dengan penyusunan dan/atau evaluasi KRP. Proses ini seringkali disebut dengan 11
(sebelas) tahapan sebagai mana diilustrasikan pada gambar berikut:

Gambar 2-1 Tahapan Pelaksanaan KLHS

(Sumber: Paparan KLHK-RI, 2019)

1.4 Aturan Tentang Validasi KLHS


Penjaminan kualitas KLHS dilaksanakan melalui penilaian mandiri oleh Penyusun Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program untuk memastikan bahwa kualitas dan proses pembuatan dan pelaksanaan KLHS
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal
16 UU 46/2016.
Penilaian mandiri harus mempertimbangkan:
a. dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang relevan; dan
b. laporan KLHS dari Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang terkait dan relevan.
Dalam hal dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum tersusun maka
penilaian mandiri mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup.

4
Penilaian mandiri dilaksanakan dengan cara:
a. penilaian bertahap yang sejalan dan/atau mengikuti tahapan perkembangan pelaksanaan
KLHS; dan/atau
b. penilaian sekaligus yang dilaksanakan di tahapan akhir pelaksanaan KLHS.

1.5 Pustaka Ilmiah


1.5.1 Pustaka Ilmiah Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan
secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas
kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada
generasi yang akan dating Tommorrow’s Generation Today’s Generation North untuk
menikmati dan memanfaatkannya (Budimanta, 2015).

Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung pengertian


sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi
lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam
konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang
menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan
(Soerjani, 1977), menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas masalah
lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan
memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development) (Rangkuti,2000). Menurut
Emil Salim, inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan lingkungan,
dan memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar (yayasan SPES,
1992).

Sebagaimana diungkapkan Fauzi & Oktavianus (2014); Apriyanto, Eriyatno, Rustiadi, dan
Mawardi (2015) bahwa indikator pembangunan mengalami kemajuan di bidang ekonomi
dan sosial namun tidak untuk lingkungan yang menunjukkan tren penurunan.
Lebih lanjut, menurut Sutamihardja (2004) bahwa dalam konsep pembangunan
berkelanjutan dimungkinkan terdapat benturan kebijakan dan kebutuhan untuk menggali
sumber daya alam guna memerangi kemiskinan dan mencegah terjadinya degredasi
lingkungan agar keduanya dapat berjalan seimbang. Untuk itu, menurut Lama dan Job
(2014) bahwa dalam memahami konsep pembangunan berkelanjutan pada kawasan yang
dilindungi diperlukan pemahaman baik secara politik, lingkungan dan sosial-ekonomi.
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang
memberikan semacam ambang batas (limit) pada lanjut ekosistem alamiah secara
sumberdaya yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute),
melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi
dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, secara kemampuan biosfir
untuk menerima dampak kegiatan mausia (Sompotan, 2016).

Pada dasarnya prinsip pembangunan berwawasan lingkungan ialah memasukkan factor


lingkungan hidup dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (Puji, 2010). Seiring
dengan pertambahannya jumlah manusia dan meningkatnya aktivitas manusia, lingkungan
justru mengalami penurunan kualitas yang semakin rendah (Zaini dan Darmawanto, 2015).

5
Keadaan ini terutama terjadi di pusat industry maupun di daerah perkotaan yang merupakan
pusat aktivitas masyarakat. Penurunan kualitas lingkungan terutama terjadi pada air dan
udara akibat adanya pencemaran (Dwiyatmo, 2007).

Sejak tahun 1980an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma
pembangunan berkelanjutan. Mulai pertama istilah ini muncul dalam World Conservation
Strategy dari the International Union for the conservation of nature (1980). Kemudian pada
tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada konferensi tingkat
tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigma pembangunan berkelanjutan di terima
sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Perkembangan
kebijakan lingkungan hidup, didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment
and Development (WECD).

Menurut Sugandi, dkk(2007) model pembangunan berkelanjutan didasarkan atas tiga pilar
utama yang ketiganya saling berkaitan, yaitu pertama, society, berkaitan peran masyarakat,
responsibility (tanggung jawab), interaksi sosial, keperilakuan masyarakat dan kondisi sosial
masyarakat yang ada di suatu wilayah, kedua, environment, yaitu berkaitan dengan
lingkungan alam, termasuk lingkungan fisik serta adanyaseperangkat kelembagaan sebagai
hasil buatan manusia dalam rangka pemanfaatannya, ketiga,economy, yaitu kesejahteraan
ekonomi masyarakat dan pemanfaatan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat termasuk dalam rangka memperoleh keuntungan. Ketiga pilar tersebut saling
terkait, apabila ketiganya dalam generasi sekarang saling terkait dan saling mendukung,
maka dari hasil generasi sekarangakan dapat dinikmati generasi selanjutnya.

1.5.2 Pustaka Ilmiah Rencana Detil Tata Ruang


Perencanaan tata ruang merupakan suatu kebijakan publik yang terintegrasi dan
berkelanjutan dalam pemanfaatan ruang kota. Menurut Manea (2014), dalam perencanaan
terintegrasi dan berkelanjutan harus dilakukan upaya perlindungan sumber daya terestrial
dengan memperhatikan:
(1) Perubahan pertumbuhan dan distribusi populasi dan penggunaan lahan perkotaan;
(2) perlunya perencanaan terpadu dalam pengelolaan sumber daya terestrial dengan
mempertimbangkan geomorfologi dan ekohidrologi;
(3) Pengelolaan sumber daya alam tingkat lokal; serta
(4) pertimbangan mitigasi bencana perkotaan. Hal ini berarti informasi geospatial
wilayah perencanaan menjadi sangat penting dalam menyusun sebuah
perencanaan tata ruang terintegrasi dan berkelanjutan.

Proses pembangunan perkotaan mencakup tahapan perencanaan, penyusunan kebijakan,


implementasi kebijakan pembangunan dan evaluasi implementasi pembangunan perkotaan.
Perencanaan tata ruang merupakan suatu kebijakan publik yang terintegrasi dan
berkelanjutan dalam pemanfaatan ruang kota (Wikantiyoso, 2005).
Dalam konteks ini, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) digunakan oleh sebagian besar
Kawasan perkotaan seperti Ibukota Kabupaten/Kota dan Ibukota kecamatan. Hal ini
dikarenakan di dalam RDTR tersebut telah memuat arahan peruntukan dan kepastian
penggunaan tanah baik bagi perorangan, badan hukum yang mempunyai hubungan hukum

6
dengan tanah maupun fasilitas untuk kepentingan umum. Dalam penyusunannya, Lingkup
wilayah perencanaan RDTR ditetapkan pada :
a. Wilayah administrasi kecamatan;
b. Kawasan fungsional, seperti bagian wilayah kota / Sub Wilayah Kota;
c. Bagian wilayah kabupaten/ kota yang memiliki ciri perkotaan;
d. Kawasan strategis kabupaten/kota yang memiliki ciri kawasan perkotaan;
e. Bagian wilayah kabupaten /kota yang berupa kawasan pedesaan dan
direncanakan menjadi kawasan perkotaan.
Meskipun pada umumnya kota/kabupaten telah dilengkapi dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), bahkan dengan perencanaan yang lebih detail dalam bentuk Rencana
Detail Tata Ruang Kota (RDTR) serta perencanaannya yang kedalamannya sudah sampai
pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dan Zoning Regulation. Namun,
pengalaman membuktikan bahwa rencana yang telah diundangkan tidak dijadikan sebagai
rujukan dalam pemanfaatan ruang berupa pembangunan sarana gedung, perumahan
maupun pembangunan sarana dan prasana.

Menurut Budihardjo (2000), penyusunan rencana tata ruang harus dilandasi pemikiran
perspektif menuju keadaan pada masa depan yang didambakan, bertitik tolak dari data,
informasi, ilmu pengetahuan dan teknlogi yang dapat dipakai, serta memperhatikan
keragaman wawasan kegiatan tiap sektor.
Untuk mewujudkan sasaran penataan ruang dan penataan pertanahan demi menjaga
kelestarian lingkungan hidup, maka kebijaksanaan pokok yang nanti dapat ditempuh
yakni dengan jalan sebagai berikut: Pertama, Mengembangkan kelembagaan melalui
penetapan organisasi pengelolaan yang mantap, dengan rincian tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang jelas. Kedua,  Meningkatkan kemampuan aparatur yang dapat
mendukung kegiatan penataan ruang dan penataan pertanahan demi menjaga kelesatarian
lingkungan hidup. Ketiga, Memasyarakatkan penataan ruang dan penataan pertanahan demi
menjaga kelesatarian lingkungan hidup kepada masyarakat dan dunia usaha serta unsur
lain. Keempat, Memantapkan pemanfaatan rencana tata ruang sebagai acuan bagi
pembangunan daerah dengan perhatian khusus pada kawasan cepat berkembang dan
kawasan andalan, serta kawasan strategis. Kelima,  Memantapkan pengendalian
pemanfaatan ruang termasuk pengamanan terhadap kawasan yang memiliki aset penting
bagi pemerintah daerah. Keenam, Meningkatkan sistem informasi, pemantauan dan evaluasi
dalam penataan ruang dan penataan pertanahan demi menjaga kelesatarian lingkungan
hidup.

1.5.3 Pustaka Ilmiah Kajian Daya Dukung Dan Daya Tampung


Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup
adalah kemampuan lingkungan hidup untuk Menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain
yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang dimaksudkan
agar pemanfaatan ruang berdasarkan tata ruang nantinya tidak sampai melampaui batas-
batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia

7
tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan
dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumberdaya alam, dan
kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang
mengganggu keseimbangan ekosistem (Deputi Bidang Tata Lingkungan- Kementerian
Lingkungan Hidup, 2014).

Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakuikan dengan cara mengetahui kapasitas
lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang
menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat
dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang
bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas
dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan
lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung
lingkungan hidup (Fithriah, 2011). Dalam pemanfaatan ruang, menurut Kustiawan dan
Ladimananda (2012) pemenuhan kekurangan lahan kawasan terbangun berasal dari alih
fungsi guna lahan lainnya seperti hutan, lahan pertanian dan perkebunan, serta ruang
terbuka hijau. Pemenuhan kekurangan lahan lahan pertanian dan perkebunan berasal dari
alih fungsi guna lahan hutan. Alih fungsi guna lahan secara terus menerus memiliki pengaruh
dalam peningkatan limpasan air permukaan, karena tiap jenis guna lahan memiliki koefisien
run off yang berbeda-beda. Limpasan air permukaan yang tidak dapat ditampung akan
menyebabkan bencana banjir, sehingga penambahan kawasan terbangun yang berasal dari
alih fungsi guna lahan lainnya akan memicu terjadinya bencana banjir. Dalam perencanaan
tata ruang, alih fungsi lahan menjadi salah satu factor yang berkorelasi erat terhadap daya
dukung lingkungan, serupa dengan Kustiawan dan Ladimananda (2012), Widiatmono dkk
(2016) juga menyatakan Alih fungsi lahan yang melebihi daya dukung lingkungan
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan seperti banjir dan peningkatan sedimentasi.
Sebagai upaya pengendalian terhadap pengembangan wilayah maka penerapan daya
dukung lingkungan menjadi sangat penting untuk diperhitungkan.

Daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi salah satu pertimbangan terpenting
dalam penataan ruang, baik dalam penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah (RDTR)
maupun dalam evaluasi pemanfaatan ruang. Perubahan lingkungan fisik tersebut akan turut
berdampak. Kemampuan fisik optimal kawasan dapat menentukan batas toleransi kapasitas
yang masih memungkinkan secara fleksibel sehingga tujuan jangka panjangnya, adalah
terpenuhinya tingkat keleluasaan dan kepuasan bagi wisatawan (Muhammad, 2013).
Menjaga kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan merupakan usaha untuk
mencapai pembangunan jangka panjang yang mencakup jangka waktu antara-generasi, yaitu
pembangunan yang berlanjut (sustainable development). Agar pembangunan dapat
berkelanjutan, pembangunan haruslah berwawasan lingkungan dengan menggunakan
sumberdaya secara bijaksana (Soemarwoto, 2014).

Hasil penelitian Imran (2013) menunjukan bahwa fungsi penataan tata ruang dalam Menjaga
kelestarian lingkungan hidup mengalami berbagai permasalahan yakni pertama, konflik
antar sector dan antar wilayah. Kedua, degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata

8
ruang, baik di darat, laut dan udara. Ketiga, dukungan terhadap pengembangan wilayah
belum optimal.

Dalam melakukan analisis terhadap daya dukung lingkungan dalam konteks perencanaan
spasial, maka turut diperlukan analisis daya dukung yang juga dapat terlihat secara spasial.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan daya dukung lingkungan
adalah melalui pendekatan berbasis data spasial. Melalui perkembangan sistem informasi
geografi (SIG) memberikan harapan baru untuk mengoptimalkan upaya pembangunan
berbasis lingkungan, selain untuk memberikan informasi spasial akan karakteristik suatu
wilayah, SIG juga dapat memberikan gambaran spasial akan peruntukan dan penutupan
lahan secara rinci (Wirosoedarmo dkk, 2014).

Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup diukur dengan pendekatan jasa ekosistem. Semakin tinggi nilai jasa ekosistem, maka
semakin tinggi pula kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Untuk
memperoleh nilai jasa ekosistem digunakan dua penaksiran yaitu landscape based proxy dan
landcover/landused based proxy, yang selanjutnya digunakan dasar untuk melakukan
pemetaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (Suharyani dkk).

1.5.4 Pustaka Ilmiah Jasa Ekosistem


Ekosistem adalah entitas yang kompleks yang terdiri atas komunitas tumbuhan, binatang
dan mikroorganisme yang dinamis beserta lingkungan abiotiknya yang saling berinteraksi
sebagai satu kesatuan unit fungsional. Fungsi ekosistem adalah kemampuan komponen
ekosistem untuk melakukan proses alam dalam menyediakan materi dan jasa yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik secara langsung maupun tidak
langsung (De Groot, 1992). Jasa ekosistem adalah keuntungan yang diperoleh manusia dari
ekosistem (MEA, 2005). Menurut Hein et al, 2006, jasa ekosistem adalah barang atau jasa
yang disediakan ekosistem untuk manusia dan menjadi dasar untuk penialain suatu
ekosistem. Adapun definisi lain Jasa Ekosistem adalah manfaat yang diperoleh oleh manusia
dari berbagai sumberdaya dan proses alam yang secara bersama- sama diberikan oleh suatu
ekosistem yang dikelompokkan ke dalam empat macam manfaat yaitu manfaat penyediaan
(provisioning), produksi pangan dan air; manfaat pengaturan (regulating) pengendalian iklim
dan penyakit; manfaat pendukung (supporting), seperti siklus nutrien dan polinasi
tumbuhan; serta manfaat kultural (cultural), spiritual dan rekreasional. Sistem klasifikasi jasa
ekosistem tersebut menggunakan standar dari Millenium Ecosystem Assessment (2005).
Menurut (De Groots, 2002) Jasa Ekosistem dikelompokkan Berdasarkan empat kategori dan
23 kelas klasifikasi jasa ekosistem, yaitu :
a. Jasa penyediaan : (1) Bahan Makanan, (2) Air bersih, (3) Serat, bahan bakar dan
bahan dasar lainnya (4) Materi genetik, (5) Bahan obat dan biokimia, (6) Spesies
Hias.
b. Jasa Pengaturan : (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9)
Pencegahan gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12)
Perlindungan tanah, (13) Penyerbukan, (14) Pengaturanbiologis, (15) Pembentukan
tanah.

9
c. Budaya : (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Warisan dan indentitas budaya, (20)
Spiritual dan keagamaan, (21) Pendidikan.
d. Pendukung : (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah

Penilaian terhadap jasa ekosistem sangat penting sebagai dasar perumusan kebijakan publik
mengenai pengelolaan sumber daya alam (Djajadiningrat, dkk., 2011) dan kebijakan publik
yang bersifat sosial (Fisher dkk., 2009).

Dalam pengembangan wilayah, factor ekonomi menjadi salah satu factor yang berperan
penting. Menghadapi kebutuhan mendesak akan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan, dan mengingat kurangnya pendanaan publik dan donor, lingkungan hidup
cenderung tetap diberi prioritas rendah dalam perencanaan pembangunan dan perumusan
kebijakan. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah menghapus pandangan bahwa jasa
ekosistem adalah kemewahan yang tidak terjangkau oleh perencana pembangunan dan
membuat mereka sadar bahwa jasa ekosistem adalah kebutuhan mutlak yang harus mereka
perlakukan sebagai investasi (UNDP dan UNEP 2008).

Secara sederhana, ekosistem alam adalah bagian pokok infrastruktur pembangunan:


kumpulan fasilitas, jasa dan perbekalan yang dibutuhkan bagi perekonomian dan
masyarakat agar dapat berfungsi dan tumbuh dengan baik (Emerton, 2008). Menurut
Chintantya dan Maryono (2017) penilaian jasa ekosistem dapat digunakan untuk
menentukan alternatif tata guna lahan perkotaan, mengetahui pilihan atau opini masyarakat
terhadap ekosistem disekitarnya, menjadi acuan harga untuk suatu barang produksi,
kompensasi atas ekosistem yang hilang, dan nilai investasi pembangunan infrastruktur hijau.
Dalam perencanaan tata ruang, penting untuk mengetahui bahwa struktur tata kelola yang
berkaitan dengan ekosistem dan jasa ekosistem bersifat kompleks. Ekosistem jarang
ditempatkan di bawah suatu bentuk pengelolaan atau peraturan yang dengan jelas
ditegakkan dan dipahami oleh semua. Serangkaian system formal dan informal, “modern”
dan tradisional, privat dan kolektif dapat hadir bersama- sama pada saat yang sama (GIZ,
2012).

Hubungan dan keterkaitan ekosistem dan tata ruang perlu diperkuat melalui peningkatan
pengelolaan yang bersifat lintas batas. Masalah ini merupakan masalah utama dalam
pengelolaan sumberdaya seperti air dan juga dalam pengelolaan keempat fungsi jasa
ekosistem (Nugroho dkk).

1.5.5 Pustaka Ilmiah Efisiensi Pemanfaatan Sumberdaya Alam


Pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya
merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan melestarian fungsi dan keseimbangan
lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya
masyarakat lokal, serta penataan ruang. Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan di atas, GBHN 1999-2004 mengamanatkan:
1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.

10
2. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan
melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan
teknologi ramah lingkungan.
3. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan
keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk
mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
4. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalampelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur
dengan undang-undang.
5. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal
serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
Secara umum, pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri: - tidak merusak lingkungan
hidup yang dihuni manusia; dilaksanakan dengan kebijakan yang terpadu dan menyeluruh;
serta memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan dating (Sugiyono, 2015).

Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini memberikan penegasan tentang dua hal yaitu: 1)
Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah
hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan SDA di Indonesia; 2) Membebaskan
serta kewajiban kepada negara untuk mempergunakan SDA yang ada untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

Dalam implementasinya, masih rendahnya pemahaman akan pentingnya pengelolaan sumber


daya alam dan lingkungan hidup secara berkesinambungan, lemahnya penegakan hukum
sehingga menyebabkan tekanan yang berlebihan terhadap fungsi lingkungan hidup, bahkan
sampai mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, masih tingginya tingkat pencemaran
lingkungan hidup, serta kurang adanya keselarasan pengaturan antara pemerintah pusat dan
daerah, serta antarsektor terkait. Menurut Jazuli (2015), dengan pendekatan yuridis normatif
yang bersifat deskriptif analisis melalui pengkajian hukum doktrinal, maka disimpulkan bahwa
permasalahan lingkungan hidup pada substansinya hanya terfokus pada “pengendalian
lingkungan” dan dalam implementasinya di daerah cenderung bersifat administratif-
kewilayahan dan berorientasi ekonomi. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma
dalam pengelolaan sumber daya alam agar supaya kebijakan keputusan yang diambil
menggunakan perspektif jangka panjang dengan mengedepankan pembangunan yang
berkelanjutan secara terintegral serta mempertimbangan aspek sosial masyarakat.

Merujuk UU No.32 Tahun 2004, Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai kepanjang
tangganan Pemerintah pusat yang memiliki kemandirian dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki wilayahnya untuk kempentingan kemakmuran rakyatnya. Hal ini bisa juga diartikan
bahwa pelaksanaan, pendayagunaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber
daya buatan sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat perlu dilakukan secara terencana dan
terpadu, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan pengelolaan lingkungan

11
hidup. Serta kualitas tata ruang dalam proses perencanaannya perlu diperhitung kan dalam
rangka pelestarian fungsi dan kemampuan lingkungan hidup bagi pembangunan yang
berkelanjutan. Menurut Suparmoko dalam Pambudi (2008), menjelaskan bahwa lahan
merupakan faktor produksi yang sangat menentukan bagi proses pembangunan ekonomi
suatu negara.

Dengan demikian perencanaan tata ruang mestinya berkaitan dengan upaya pemanfaatan
sumber daya alam secara efisiensi dan efektif, serta perlu alokasi ruang untuk kegiatan yang
sesuai dengan daya dukung lingkungan alam dengan memperhatikan sumber daya manusia
serta aspirasi masyarakat. Apabila pemanfaatan ruang tidak dilakukan penataan dengan baik,
kemungkinan akan terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang
kehidupan (Beta, 2017). Maka perlu penataan ruang sesuai dengan kegiatan, fungsi lokasi,
kualitas ruang dan estetika lingkungan.

Menurut Utomo dkk (1992) alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan
adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti
yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap
lingkungan dan potensi lahan tersebut. berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan
lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversilahan, banyak terkait dengan
kebijakan tata guna tanah (Ruswandi 2005).

Dalam penyusunan tata ruang, pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk
megarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi,
perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (Dardak,
2006). Pengendalian pemanfaatan raung menjadi salah satu sarana dalam menjaga efisiensi
pemanfaatan sumberdaya alam

1.5.6 Pustaka Ilmiah Dampak dan Resiko Lingkungan Hidup


Menurut Saul M. Katz, yang mengemukakan alasan atau dasar diadakannya suatu
perencanaan adalah :
a. Dengan adanya suatu perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan,
adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada
pencapaian suatu perkiraan.
b. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu perkiraan terhadap hal-hal dalam masa
pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan tidak hanya dilakukan mengenai potensi-
potensi dan prospek-prospek perkembangan, tetapi juga mengenai hambatan-
hambatan dan resiko-resiko yang mungkin dihadapi, dengan perencanaan
mengusahakan agar ketidakpastian dapat dibatasi sedikit mungkin.
c. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara
atau kesempatan untuk memilih kombinasi terbaik.
d. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih urutan-urutan dari
segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya.
e. Dengan adanya rencana, maka akan ada suatu alat pengukur atau standar untuk
mengadakan pengawasan atau evaluasi (Ridwan dan Sodik, 2004).

12
Dalam setiap melakukan perencanaan Tata Ruang, tidak boleh mengabaikan kondisi atau
dampak yang akan terjadi terhadap lingkungan. Diharapkan antara pembangunan yang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan dari Perencanaan Tata Ruang dengan lingkungan harus
terjadi suatu keseimbangan sehingga akan terwujud suatu keindahan serta tidak terjadinya
kondisi yang membahayakan baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya.

Menurut Wahyunto (2001) dalam Mustopa (2011), perubahan penggunaanlahan dalam


pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari.Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat
jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang
lebih baik.

Menurut Jayadinata (1999), dampak Lingkungan terjadi karena aktivitas atau perbuatan
manusia yang keliru sehingga mempengaruhi kondisi lingkungan atau ekologi. Berikut bagan
pengaruh konversi lahan non-terbangun menjadi lahan terbangun.

Gambar 2-2 Pengaruh Pembangunan Tehadap Lahan (dewi dan Rudiarto, 2014)

Dalam meminimalkan dampak dan resiko terhadap lingkungan, Pemerintah perlu


memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan yang secara proporsional dicirikan oleh
tiga pilar, yakni perkembangan ekonomi, sosial dan knservasi lingkungan (Supraptiningsih).

1.5.7 Pustaka Ilmiah Kajian Perubahan Iklim


Iklim merupakan suatu keadaan cuaca disuatu lingkungan fisik, iklim diklasifikasikan atas
iklim makro dan mikro dimana iklim makro memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa
metoerologis diatmosfir dan dipermukaan bumi atau lingkungan fisik yang luas. Adapun
iklim mikro terkait dengan lapisan udara yang dekat dengan permukaan bumi dengan
lingkungan fisik yang terbatas (Frick, Ardiyanto dan Darmawan, 2008).

13
Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena perubahan global (global changes),
dimana sebagian dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam tata-guna tanah dan
penutup tanah (land-use and land cover changes), perubahan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) dan perubahan iklim (Najmulmunir). Gas yang dikategorikan sebagai GRK adalah gas-
gas yang berpengaruh, baik langsung maupun tak langsung terhadap efek rumah kaca. Gas-
gas tersebut antara lain karbon dioksida (CO2), gas metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O),
clorofluorocarbon (CFC), karbon monoksida, nitrogen oksida (NOx) dan gas-gas organik
metan volatil.

Konsep pembangunan fisik kota yang dipadati dengan bangunan, perkerasan, minim ruang
terbuka hijau dan tutupan rumput, akan memberikan pengaruh terhadap kenaikan suhu
kota, sehingga konsep ini perlu diubah dengan konsep pembangunan berwawasan ekologi
dengan demikian akan terjadi proprosionalitas antara ruang fisik kota yang dipadati
bangunan dengan ruang terbuka hijau dimana vegetasi menjadi elemen dominan dan
penyerap radiasi matahari. Setiap perkerasan yang dibangun ditengah kota perlu dinaungi
dengan vegetasi dari radiasi matahari langsungnya sehingga pemanasan serta peningkatan
suhu kota dapat dikurangi (Karyono, 2013).

Disamping itu, beralihnya fungsi lahan pertanian ke lahan terbangun kemudian berubah
menjadi kegiatan perkotaan yang tidak terkendali merupakan salah satu unsur penyebab
peningkatan suhu udara kota dan sekitarnyasehingga sangat rentan terhadap perubahan
iklim (UN Habitat, 2011). Berdasarkan penelitian Dunggio dan Wunarlan (2013),
menyebutkan bahwa alih fungsi lahan memberikan pengaruh terhadap kenaikan suhu.
Kenaikan suhu global sampai 1 OC akan menyebabkan 30% spesies mengalami kepunahan,
kenaikan suhu permukaan air laut sampai 27 OC dan beresiko menimbulkan badai tropis.
Tahun 1995-2006 atau selama 12 tahun dengan suhu permukaan terpanas sejak 1850
(Sangkertadi, 2013).

Apabila praktek penataan ruang tidak mampu mengendalikan tekanan urbanisasi yang
sangat cepat dengan segenap dampak negatifnya, maka kota akan tumbuh tak terkendali
sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi gagal (Ernawi, 2010).

Dalam menanggulangi/ meminimalisir dampak terhadap perubahan iklim, pengaturan


pemanfaatan lahan diperlukan untuk menentukan pilihan terbaik dalam pengalokasian
fungsi tertentu agar aktivitas di atas lahan tersebut dapat berjalan secara optimal.
Pemanfaatan lahan diperkotaan selalu dihubungkan dengan penilaian yang bertumpu pada
nilai ekonomis atas sebidang tanah yang dimanfaatkan untuk rumah tinggal atau kegiatan
usaha (Darmawan, 2003 dalam Yusran,2006).

1.5.8 Pustaka Ilmiah Kajian Keanekaragaman Hayati


Keanekaragam hayati (biological-diversity atau biodiversity) adalah semua makhluk hidup di
bumi (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) termasuk keanekaragaman genetik yang
dikandungnya dan keanekaragaman ekosistem yang dibentuknya (DITR 2007).
Keanekaragam an hayati itu sendiri terdiri atas tiga tingkatan (Purvis dan Hector 2000), yaitu:

14
(i) Keanekaragaman spesies, yaitu keanekaragaman semua spesies makhluk hidup di
bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak
(tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler).
(ii) Keanekaragaman genetik, yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara
populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individu-
individu dalam satu populasi.
(iii) Keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta
asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.
(iv) Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari munculnya beragam
jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk maupun
dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh perikehidupan
makhluk hidup, khususnya manusia.

Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di


berbagai sektor yang cukup pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam
penyedia berbagai jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami kerusakan karena
berbagai faktor (Schaltegger and Bestandig 2012).

Beberapa tahun terakhir ini cukup banyak tipe-tipe ekosistem bervegetasi yang produktif
terkena gangguan kerusakan akibat pesatnya pembangunan perkebunan, infrastruktur kota,
pemukiman, tambak, dan lain-lain yang menyebabkan terdegradasinya bahkan lenyapnya
ekosistem tersebut. Maka dari itu, dalam kegiatan pengembangan wilayah ekosistem dan
keanekagaraman hayati perlu menjadi factor yang diperhatikan. Inti dari ekosistem kota
hijau tersebut adalah keanekaragaman hayati (tingkat genetik, spesies, dan ekosistem) yang
menyebabkan suatu ekosistem kota berfungsi optimal secara berkelanjutan didalam
menghasilkan beragam jenis produk dan jasa lingkungan yang penting untuk menunjang
perikehidupan makhluk hidup, khususnya masyarakat kota tersebut (Kusmana). Pengelolaan
keanekaragaman hayati (PKH) meliputi aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Perencanaan
Spektrum perencanaan dalam PKH pada dasarnya meliputi: penetapan tujuan pengelolaan,
program kerja jangka pendek dan jangka panjang, kelembagaan, dan penetapan sistem
monitoring dan evaluasi. Menurut Haeruman (1995), harapan masa depan untuk
memperoleh kualitas lingkungan perkotaan yang lebih baik akan tergantung kepada empat
hal, yaitu: (i) Ketepatan alokasi ruang untuk setiap kegiatan pembangunan, (ii) Ketersediaan
dan kemampuan kelembagaan dan proses pengelolaan lingkungan, (iii) Pengendalian
kegiatan pembangunan yang mengarah pada efisien, (iv) Tingkat peran serta masyarakat dan
disiplin bermasyarakat kota. Secara maknawiah PKH berkaitan sangat erat dengan
pengelolaan suatu RTH kota, karena dalam RTH kota itulah terdapatnya vegetasi yang
sekaligus juga merupakan habitat beragam jenis fauna yang saling berinteraksi diantara
keduanya dan dengan fisik lingkungannya membentuk suatu persekutuan hidup yang utuh.
Untuk perlindungan keanekaragaman hayati di wilayahperkotaan, selain terhadap RTH kota
tindakan konservasi juga perlu diberikan pada RTB (Ruang Terbuka Biru) sebagai habitat

15
berbagai jenis flora dan fauna aquatik serta jasa lingkungan intrinsik dari ekosistem RTB
tersebut.

Pemanfaatan
RTH kota mempunyai fungsi utama (fungsi ekologis) yang menunjang sistem penyangga
kehidupan berbagai makhluk hidup (khususnya manusia) dan untuk membangun jejaring
habitat berbagai jenis hidupan liar. Fungsi ekologis ini sangat berperan untuk menjamin
keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, oleh karena itu berdasarkan fungsi ini suatu
RTH harus mempunyai kepastian lokasi, ukuran, bentuk, dan potensi kawasan.
Selain fungsi ekologis, suatu RTH mempunyai suatu fungsi tambahan/pendukung, yaitu
fungsi sosial, ekonomi, dan estetika/arsitektural untuk menambah nilai kualitas lingkungan,
keindahan, kesejahteraan dan tatanan budaya penduduk kota tersebut.

Suatu RTH kota yang berbentuk hutan kota tergantung pada komposisi jenis dan tujuan
perancangannya dapat berfungsi sebagai berikut (Dahlan 1992; Sundari 2005; Indrawati
2007): Fungsi lanskap, yang meliputi fungsi fisik sebagai perlindungan kondisi fisik alami
seperti angin, sinar matahari, penapis cahaya silau, pemandangan yang kurang bagus dan
bau, serta sebagai tempat interaksi sosial yang produktif, sarana pendidikan dan penelitian,
rekreasi, kesehatan, penghasil makanan/minuman/obat-obatan.

Pengendalian
Pengendalian kerusakan terhadap keanekaragaman hayati dapat dilakukan melalui tindakan
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Tindakan pencegahan dapat dilakukan
melalui ketaatasasan terhadap tata ruang kota dan baku mutu lingkungan hidup serta
penyadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan. Adapun tindakan penanggulangan
dapat dilakukan dengan cara informasi peringatan kepada masyarakat terkait kerusakan
lingkungan kota, pengisolasian kerusakan lingkungan, dan penghentian sumber yang
menimbulkan kerusakan lingkungan. Selanjutnya upaya pemulihan dapat dilakukan melalui
remediasi, rehabilitasi, dan/atau restorasi, dan upaya penghentian sumber yang
menimbulkan kerusakan serta pembersihan dari unsur-unsur yang menyebabkan kerusakan.

Pemeliharaan
Pemeliharaan terhadap keberadaan keanekaragaman hayati dapat dilakukan, baik berupa
tindakan budidaya ntuk memacu laju pertumbuhan, perkembangan, dan regenerasi
biodiversitas maupun berupa perlindungan dari gangguan hama dan penyakit, kebakaran,
pencurian flora dan fauna, dan kerusakan ekosistem kota lainnya.

Pengawasan
Konservasi terhadap biodiversitas (keanekaragaman hayati) memerlukan adanya tata kelola
(kelembagaan: sumberdaya manusia, peraturan perundangan, struktur organisasi,
mekanisme kerja) yang memadai untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan
produk dan/atau jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem dimana beragam jenis flora
dan fauna hidup. Pada spektrum pengawasan ini, kegiatan monitoring dan evaluasi oleh
pengelola terhadap performa ekosistem kota perlu dilakukan secara konsisten dan reguler
yang hasilnya dipergunakan untuk melakukan tindakan pengelolaan yang tepat untuk

16
meningkatkan produktivitas, stabilitas, dan keseimbangan dalam ekosistem tersebut. Dalam
hal ini seyogyanya pihak pemerintah harus dapat memberdayakan masyarakat agar
berperan aktif dalam pengelolaan konservasi biodiversitas.

Penegakan Hukum
Penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku harus dilakukan
kepada pelaku yang menyebabkan kerusakan ekosistem kota, khususnya yang mengancam
terhadap kelestarian biodiversitas.

17
BAB 2

Anda mungkin juga menyukai