Ada Apa Di Balik Salib
Ada Apa Di Balik Salib
-2:
Salib, Penderitaan, dan Perintah
Untuk Menderita bagi Kristus
oleh: Denny Teguh Sutandio
“Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut
Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”
(Mat. 16:24)
Di awal renungan Ada Apa Di Balik Salib?-1, kita telah merenungkan bahwa salib
Kristus adalah bukti nyata bahwa Allah bukan hanya peduli pada penderitaan manusia,
tetapi juga mengalami sendiri penderitaan terberat sepanjang zaman. Kristus disalib
selain karena kehendak Allah Bapa juga karena kebebalan hati manusia yang melawan
Allah. Oleh karena itulah, Ia menyadari bahwa manusia yang menyalibkan Kristus
adalah manusia yang sama juga akan menyalibkan mereka yang mengikut Kristus,
sehingga Ia mempersiapkan hati para murid dan mereka yang mengikut-Nya dengan
berfirman, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya,
memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan
nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya
karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat. 16:24-25) Dengan kata lain, barangsiapa
yang hendak mengikut Kristus, ia harus sadar bahwa karena Kristus disalib demi
menebus dosa manusia, maka pengikut Kristus pun harus meneladani apa yang Kristus
kerjakan, yaitu rela menderita demi nama-Nya. Penderitaan apa yang harus dialami
oleh umat-Nya?
Pertama, penderitaan diri. Di dalam Matius 16:24, Tuhan Yesus mengajar kita bahwa
setiap orang yang mau mengikut-Nya harus menyangkal diri. Menyangkal diri adalah
penderitaan pertama kita yang harus kita tanggung. Artinya, pada saat kita
memutuskan untuk mengikut Kristus, hal pertama yang harus kita lakukan adalah
menyerahkan hati dan seluruh kehidupan kita kepada Kristus dengan mempersilahkan
Kristus bertahta sebagai Raja dan Pemilik mutlak dan tunggal hidup kita. Ketika hati
kita diserahkan kepada Kristus, berarti konsekuensi logisnya adalah bukan kehendak
kita yang terutama, tetapi kehendak-Nya. Itulah arti menyangkal diri! Jujur, secara
teori, kita mudah mengucapkan dan mengajarkan bahwa kehendak Allah itu yang
terutama, namun secara praktik hidup, kita sering kali susah menjalankannya.
Mengapa? Karena sejujurnya, hati kita belum 100% diserahkan kepada Kristus. Marilah
kita periksa kembali hati kita, benarkah hati kita sudah diserahkan kepada Kristus?
Atau mungkin juga, keinginan duniawi dan pencobaan setan sering kali membawa kita
jauh dari menghambakan diri di bawah kaki Kristus. Kita memang tidak boleh selalu
menyalahkan orang lain dan pihak luar sebagai penyebab kita tidak mengikuti
kehendak-Nya, tetapi tentu hal ini tidak berarti kita mengabaikan godaan luar. Kita
harus peka terhadap godaan luar dengan cara TIDAK menganggap sepele setiap
pencobaan. Saya teringat pada perkataan bijak dari Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.
bahwa pencobaan perzinahan itu terjadi tidak langsung, tetapi pelan, namun ketika
sudah terjadi, kita baru menyadarinya dan tidak bisa lepas darinya. Setelah peka akan
pencobaan, maka kita memerlukan solusi terhadap pencobaan tersebut yaitu melawan
pencobaan dengan iman kepada Kristus! Kristus yang mati disalib demi menebus dosa-
dosa umat-Nya dan setelah itu bangkit memberikan jaminan kepastian kepada kita
bahwa dengan kuasa-Nya, kita mampu mengalahkan setiap pencobaan setan!
Penderitaan orang Kristen sejati berlanjut kembali kira-kira di abad XVII-XVIII, ketika
abad Pencerahan yang beridekan Rasionalisme, Empirisme, Deisme, dll sampai
munculnya “theologi” liberal dari Friedrich Schleiermacher, Albert Ritschl, dll
menyerang Kekristenan dari aspek rasio. Namun puji Tuhan, Ia membangkitkan para
intelektual Kristen menyerang pemikiran mereka, salah satunya Dr. John Gresham
Machen, dll. Dan di abad postmodern ini, kita juga melihat penderitaan hidup serupa,
di mana iman Kristen mendapat perlakuan tidak baik, namun atheisme dibiarkan
berkembang begitu rupa (diskriminasi iman). Di Indonesia, pembangunan gedung
gereja begitu sulit dengan birokrasi yang berbelit-belit dan lama, namun
pembangunan tempat ibadah agama mayoritas tidak perlu semuanya itu. Di zaman ini,
ketika kita hendak menyebutkan iman Kristen di dunia perkuliahan, maka kita akan
dicap aneh, sok religius, dll, bahkan tidak menutup kemungkinan dosen atau teman
kita akan menceramahi kita, “agama dan sains tidak ada hubungannya.”
Bagaimana dengan kita? Biarlah menjelang Jumat Agung, kita diingatkan kembali
betapa pentingnya penderitaan Kristus di salib dan betapa harusnya kita sebagai
pengikut-Nya meneladani-Nya dengan ikut menderita bagi nama-Nya demi kemuliaan-
Nya. Amin. Soli Deo Gloria.