Anda di halaman 1dari 5

PERSEMBAHAN UNTUK PEKERJAAN PELAYANAN (1

TAWARIKH 29:10-19) –
Apakah persembahan sama dengan sumbangan? Sepintas keduanya sama saja.
Baik persembahan maupun sumbangan merupakan pemberian dari satu pihak
kepada pihak lain. Pihak yang dimaksud bisa berarti pribadi maupun
organisasi. 1 Tawarikh 29:1-9 juga memberi kesan itu. Biarpun demikian
sebenarnya pandangan ini kurang tepat.
LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) memberi judul pada perikop ini, “Sumbangan
untuk pembangunan Bait Suci”. Tetapi dalam seluruh perikop, tidak ada kata
“sumbangan” sama sekali. Bahkan dalam seluruh pasal 29 tidak ada kata
“sumbangan”. Yang ada hanya kata “persembahan” sebanyak tujuh kali yaitu dalam
ayat 5, 9, 14, 17 dan 21.
Khusus untuk perikop kita (1 Tawarikh 29:10-19), kata persembahan empat kali
disebutkan yaitu dalam ayat 14 dan 17. Jadi kata “sumbangan” pada perikop 1
Tawarikh 29:1-9 merupakan tafsiran LAI.
LAI menggunakan kata “sumbangan” karena dalam bahasa aslinya (bahasa Ibrani),
kata yang digunakan adalah minchah. Minchah secara harfiah berarti hadiah,
pemberian atau korban. Ini adalah kata untuk persembahan yang bersifat umum.
Selain minchah, ada kata-kata untuk persembahan dalam arti khusus.
Misalnya, syelem dan ola (korban bakaran), khattah (korban penghapus
dosa), asyam (korban penutup salah) dan zebakh (korban sembelihan). Sekalipun
demikian harusnya LAI menerjemahkan kata minchah dengan “persembahan” saja.
Mengapa? Karena sumbangan dan persembahan mempunyai makna yang bertolak
belakang.
Setidaknya ada lima perbedaan. Pertama, fokus sumbangan adalah materi seperti
uang, barang atau jasa. Sedangkan fokus persembahan adalah sikap
hati. Kedua, sumbangan diberikan oleh pihak yang kaya atau berkuasa kepada pihak
yang miskin atau tidak memiliki apa yang diterimanya. Sedangkan persembahan
sebaliknya, dari pihak yang miskin, hina dan terbatas kepada pihak yang kaya dan
berkuasa.
Ketiga, sumbangan bisa diberikan karena terpaksa atau dengan tujuan tersembunyi.
Sedangkan persembahan diberikan dengan tulus dan penuh
kerelaan. Keempat, sumbangan membutuhkan pertanggungjawaban yang disertai
dengan bukti-bukti yang sah. Sedangkan dalam persembahan, pertanggungjawaban
bukanlah kewajiban penerima, melainkan kebaikan hatinya. Sebab penerima
persembahan dapat memanfaatkan apa yang diterima sesuka hatinya.
Kelima, sumbangan hanya bisa diberikan kepada manusia. Sumbangan tidak bisa
diberikan kepada Tuhan. Kenapa? Karena Tuhan Maha Kaya sehingga tidak butuh
sumbangan. Sebaliknya, persembahan hanya untuk Tuhan. Ini karena “persembahan”
berasal dari kata dasar “sembah”. Sebagai orang percaya, kita yakin bahwa hanya
Tuhan yang layak disembah. Selain itu tidak. Memang, kadang-kadang ada orang
yang bilang hendak mempersembahkan sesuatu kepada orang yang dicintainya. Tetapi
hakikat persembahan hanya untuk Tuhan semata-mata.
Inilah lima perbedaan sumbangan dengan persembahan. Agar lebih jelas, perhatikan
contoh-contoh berikut.
Apabila bupati memberikan bantuan uang ke gereja, itu namanya sumbangan.
Sebelum dicairkan, ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh majelis jemaat.
Misalnya harus ada proposal. Harus ada panitia kegiatan. Harus bersedia
menyerahkan laporan pertanggungjawaban setelah kegiatan selesai. Harus siap
diaudit, dan sebagainya.
Tanpa sejumlah syarat, sumbangan tidak dapat diberikan. Dalam situasi ini, penerima
sumbangan tunjuk pada syarat yang diberikan oleh pemberi sumbangan. Karena itu
posisinya di bawah. Sedangkan pemberi sumbangan berada di posisi atas.
Tetapi kalau ada anggota jemaat yang memberikan kolekte, nazar, perpuluhan atau
natura, itu namanya persembahan. Karena itu untuk menerimanya, majelis jemaat
tidak perlu membuat proposal. Anggota jemaat pun tidak harus bertanya dulu tentang
peruntukannya.
Semua bentuk persembahan yang telah diserahkan kepada Tuhan, biarkanlah Tuhan
yang atur melalui hamba-hamba-Nya. Sebab dalam persembahan, pemberi yaitu
manusia, posisinya di bawah. Sedangkan penerima, yaitu Tuhan, posisinya di atas.
Anggota jemaat yang mempersembahkan microphone misalnya, tetapi dengan
syarat microphone itu harus mengganti microphone yang ada di mimbar utama, telah
mengubah persembahannya menjadi sumbangan. Sebab dia memberi dengan syarat.
Ada juga yang mempersembahkan kain tenun tetapi dengan syarat kain tenun itu
harus dipasang di meja persembahan. Kain tenunnya tidak boleh dilelang. Dalam hal
ini pun dia telah mengubah persembahannya menjadi sumbangan.
Ada pula anggota jemaat yang memberi kolekte, nazar dan perpuluhan tetapi
melarang majelis jemaat untuk menyerahkan kewajiban keuangan ke klasis dan
sinode. Anggota jemaat itu pun telah mengubah persembahannya menjadi sumbangan.
Jadi semua orang yang melakukan hal-hal yang demikian, mengubah persembahannya
menjadi sumbangan. Jika demikian pemberiannya tidak layak di hadapan Tuhan.
Hal-hal inilah yang sebenarnya terdapat dalam 1 Tawarikh 29:10-19. Melalui nas ini
Tuhan mengajari kita tentang berbagai aspek terkait persembahan. Ada lima aspek
yang dapat kita lihat dalam nyanyian pujian Daud ini.
Pertama, Tuhan Allah adalah pemilik segala sesuatu (ayat 10-12). Inilah yang
pertama-tama harus disadari oleh setiap orang yang hendak memberikan
persembahan. Kita memberikan persembahan bukan karena Tuhan tidak punya. Justru
sebaliknya, segala sesuatu adalah milik Tuhan. Apa yang manusia miliki adalah milik
Tuhan. Bahkan semua yang tidak manusia miliki pun adalah milik Tuhan.
Tuhan memiliki kekekalan. Tuhan memiliki kebesaran, kejayaan, kehormatan,
kemasyuran dan keagungan di seluruh alam semesta. Tuhan juga memiliki semua
kerajaan. Tuhan lebih tinggi dari semua pemimpin dunia. Tuhan pulalah yang
memiliki kemuliaan, kekuasaan dan kemampuan untuk membesarkan dan
mengokohkan segala-galanya. Jadi Tuhan punya segala-galanya. Oleh karena itu tidak
boleh ada seorang pun yang sombong di hadapan Tuhan.
Kedua, persembahan yang diserahkan kepada Tuhan sebenarnya berasal dari tangan
Tuhan sendiri (ayat 13-14). Konsekuensi dari keyakinan bahwa Tuhan adalah pemilik
segala sesuatu adalah bahwa apa pun yang ada pada kita merupakan milik Tuhan.
Entah itu diri seutuhnya, waktu, keluarga, harta benda, uang, pekerjaan dan
sebagainya. Itu semua milik Tuhan. Jadi ketika kita memberikan persembahan,
sebenarnya kita hanya mengembalikan apa yang merupakan milik Tuhan.
Hal ini mesti menjadi pengingat bagi semua orang percaya agar bermurah hati. Bukan
saja bermurah hati dengan memberikan persembahan kepada Tuhan. Kita juga mesti
bermurah hati kepada sesama. Mengapa?
Sebab semua yang ada pada kita hanya titipan. Suatu saat kita harus menyerahkan
kembali semua titipan itu. Ada titipan yang diserahkan kepada sesama yang hidup
satu zaman dengan kita. Ada titipan yang mesti diserahkan kepada sesama yang hidup
di zaman setelah kita. Ada pula titipan yang mesti diserahkan kembali kepada Tuhan.
Dengan kesadaran ini maka konsekuensinya kita mesti menggunakan setiap
pemberian Tuhan dengan bertanggung jawab. Tidak gemar berpesta pora. Tidak hidup
dengan berhura-hura. Tidak hidup dengan berfoya-foya, seolah-olah semua yang ada
pada kita merupakan hasil kerja keras kita semata-mata.
Bukankah semua titipan mesti dikembalikan kepada pemiliknya? Karena itu apa pun
kondisi sosial ekonomi kita, jalanilah hidup sederhana. Tetapi ingat, yang diminta
oleh Tuhan itu hidup sederhana, bukan hidup miskin. Sebab sederhana dan miskin itu
berbeda.
Sederhana itu pilihan hidup. Sedangkan miskin itu kondisi hidup. Contoh. Apabila ada
orang yang ingin punya motor tetapi tidak sanggup membelinya, itu disebut miskin.
Kondisi hidupnya demikian. Tetapi kalau ada yang sebenarnya bisa membeli mobil
pribadi, namun tidak membelinya karena ke mana-mana lebih suka naik motor atau
berjalan kaki, itu namanya sederhana. Pilihan hiduplah yang membuatnya demikian.
Sebagai orang Kristen, kita mesti bergaya hidup sederhana.
Ketiga, persembahan mesti diserahkan dengan sikap merendahkan diri, sukarela, tulus
dan ikhlas (ayat 15, 17). Bagian ini berhubungan dengan sikap hati. Di sini Daud
berkata kepada Tuhan bahwa dia dan umat Israel hanyalah orang asing seperti nenek
moyangnya. Hari-hari hidup mereka seperti bayang-bayang yang segera lenyap.
Perlu diperhatikan, Daud mengatakan semua ini pada saat dirinya mapan sebagai raja
Israel. Ini menunjukkan bahwa dia merendahkan diri di hadapan Tuhan. Semua ini dia
lakukan karena tahu bahwa Tuhan menguji hatinya. Dengan demikian setiap
persembahan yang diberikan dengan sukarela, tulus dan ikhlas, Tuhan ketahui.
Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan melihat sampai ke lubuk hati yang paling dalam.
Karena itu utamakanlah apa yang Tuhan lihat, bukan apa yang manusia lihat dari kita.
Jadi setelah memberi persembahan tidak usah koar-koar ke mana-mana. Tidak pula
menulisnya sebagai status atau caption foto di facebook, IG, story WA dan
sebagainya. Cukuplah kalau Tuhan sudah tahu. Sebab dengan demikian berkat-Nya
akan dilipatgandakan bagi kita.
Keempat, persembahan mesti dipergunakan untuk pekerjaan pelayanan (ayat 16).
Inilah yang Daud lakukan. Ketika dia meminta umat memberikan persembahan,
tujuannya jelas yaitu pembangunan Bait Suci. Tetapi itu tidak berarti dia langsung
mengerjakannya. Tidak.
Tuhan lebih menghendaki anaknya, Salomo, yang membangun Bait Suci. Karena itu
Daud hanya memotivasi umat untuk mengumpulkan persembahan saja. Setelah itu dia
memberikan petunjuk kepada anaknya untuk melaksanakan pekerjaan itu. Jadi
pengelolaan persembahan tetap berpatokan pada kehendak dan waktu Tuhan.
Hal ini pun adalah teladan bagi para pengelola persembahan umat pada masa kini.
Pengelolaan persembahan umat mesti berpatokan pada kehendak dan waktu Tuhan.
Di GMIT, kebijakan pengelolaan persembahan umat ada pada majelis di tiap lingkup;
jemaat, klasis dan sinode. Biar pun begitu, manfaatnya mesti dirasakan oleh semua
orang, baik di dalam maupun di luar gereja.
Untuk pengelolaan persembahan umat, sudah ada berbagai aturan dan kebijakan di
setiap lingkup. Ada rencana anggaran. Ada pemanfaatan anggaran. Ada pengawasan
anggaran, baik yang sifatnya melekat maupun fungsional. Lalu ada pula evaluasi
anggaran.
Hal yang sama berlaku pula untuk setiap persembahan dalam bentuk harta bergerak,
tidak bergerak, surat-surat berharga, jasa dan sebagainya. Semuanya mesti dikelola
dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian pekerjaan pelayanan dapat dituntaskan.
Kelima, pemberi dan pengelola persembahan mesti selalu didoakan agar tetap taat
menjalankan kehendak Tuhan (ayat 18-19). Ini pulalah yang Daud lakukan. Ayat 18
menunjukkan doanya untuk umat Israel. Dia berdoa agar Tuhan memelihara
kecenderungan hati umat sehingga senantiasa memberikan persembahan. Lalu dalam
ayat 19, Daud berdoa agar Salomo yang dipercayakan untuk membangun Bait Suci
terus berpegang pada perintah dan peringatan Tuhan dengan tulus.
Ini pun merupakan pelajaran penting bagi kita. Sebab ada kalanya kita berat sebelah.
Ada orang yang hanya berdoa supaya umat rajin memberikan persembahan. Di sisi
lain, ada orang yang hanya berdoa agar pengelola persembahan mengelolanya dengan
benar.
Firman Tuhan ini mengingatkan kita untuk mendoakan semuanya. Baik pemberi
maupun pengelola persembahan harus didoakan secara bersama-sama. Doanya pun
bukan hanya sesekali saja. Tidak. Kita harus mendoakannya setiap saat. Sebab, sekali
lagi, semua yang ada, baik pada pemberi maupun pengelola persembahan, hanya
titipan. Tuhanlah pemilik sejati dari segala sesuatu. Dengan demikian semua yang
dilakukan mesti seturut dengan kehendak-Nya. Tuhan memberkati kita. Amin. ***

Anda mungkin juga menyukai