Anda di halaman 1dari 9

BERTHEOLOGIA DI ERA POSTMODERNISME

Oleh: Ev. Venny E.H Sariowan. M.Div

A. PENDAHULUAN
Postmodernisme merupakan sebuah aliran filsafat baru yang muncul pada abad ke 20.
Sebagai suatu gejala baru dalam dunia intelektual, Postmodernisme ibarat sebuah ledakan yang
bikin kaget, kuatir, kagum sekaligus membuat bingung dan cemas. 1 Aliran filsafat baru ini,
muncul sebagai sebuah reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang
dipandang gagal menuntaskan proyek pencerahan dan menyebabkan munculnya sebagai
penyakit modernitas. Tujuannya adalah menggugat watak modernisme yang monoton,
postivistik, rasionalistik dan teknosentris. Seiring dengan itu, Postmodernisme sendiri
menawarkan watak yang bertolak belakang dengan konsep filsafat pendahulunya yang lebih
menekankan emosi daripada rasio, media daripada isi, tanda dan makna, kemajemukan
daripada penunggalan, kemungkinan daripada kepastian, permainan daripada keseriusan,
keterbukaan daripada pemusatan, lokal daripada universal, fiksi daripada fakta, estetika
daripada etika, narasi daripada teori. semua di anggap relatif dan tidak ada yang mutlak. 2 Fakta
ini bukan hanya berpengaruh di dalam sains, ilmu pengetahuan dan bidang (ekonomi,
kebudayaan, politk) tapi merambah sampai ke Agama secara khusus kekristenan dan jantung
theology itu sendiri.
Dengan maksud ini, hamba Tuhan dan para Theolog dipacu untuk tetap setia dan
konsisten kepada ajaran Theologia yang bertanggung jawab. 3 Sehingga dengan theologia yang
bertnggung jawab ini, kita dapat bertahan dalam serangan-serangan postmodernisme sekarang
ini. Pertanyaannya adalah; bagaimana hamba Tuhan dan para Theolog bertheologia di era
Postmodernisme saat ini? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban segera. Oleh karena itu di
1
Hipolitus K. Kewel, Allah Dalam Dunia Postmodern (Malang: DIOMA, 2005), 88.
2
Millard J. Erickson, The word became flesh; Postmodern Christology (Grand Rapids: Eerdmans, 1993).
231.
3
Theologia yang benar dan unik memiliki kekuatan bagi pertumbuhan, pelayanan dan pertahanan iman,
sehingga memperdalam pemahahaman yang benar dalam segala aspek hidup. Semua ini berakar dari
pengertian tentang Theologia dari kata “Theo” sebagai sumber dari segala sesuatu tanpa kecuali. Sehingga
“Theologia” adalah, nilai dari semua ilmu pengetahuan, sekaligus nilai dari semua orang yang berilmu,
sehingga ilmu dan ilmuan menjadi tidak berarti sama sekali. Jadi bisa disimpulkan bahwa Theologia adalah
nilai kehiudpan manusia dari lahir sampai mati. Secara lebih mendalam theologia Kristen bersumber dari
penyataan Allah yang khusus yaitu Alkitab sebahai sumber yang mutlak dan absolute. (Stevri Indra
Lumintang, Keunikan Theologia Kristen Di Tengah Kepalsuan, (Malang: Lembaga Literatur Multimedia PPII,
2010),1.

1
bawah ini penulis akan menguraikan satu tema makalah dengan judul; “Bertheologia Di Era
Postmodernisme”.

B. KARATERISTIK THEOLOGIA POSTMODERNISME


Dalam konteks Postmodernisme, kedudukan dan hakekat Theologia berpusat kepada
Teisme Naturalistik dimana meskipun kata Tuhan dipakai oleh seorang naturalis, kata itu
bukan merujuk kepada pribadi di luar dunia yang bisa memberi pengaruh kepada dunia. 4
Secara epistimologi, theology postmodernisme berlandaskan pada pengakuan akan adanya
persepsi non indrawi, dimana tidak hanya ada tapi juga menjadi cara dasar untuk berhubungan
dengan lingkungan. Selain itu, perasaan dan nilai intrinsik merupakan ciri khas yang ada pada
semua individu yang membentuk alam. Dalam hal inilah system empiris dalam membangun
theologia postmodernisme sangat ditekankan. Manusia tidak lagi perlu lagi memilih antara
memiliki iman yang berarti dan menjadi orang yang empiris dan bernalar.5
Munculnya semangat pluralisme agama yang didukung oleh fakta kemajemukan agama
dan pengaruh globalisasi (akhir abad ke-20) yang menentang tidak hanya theologia tradisional,
tapi juga memustahilkan pertemuan disiplin ilmu theologia dengan disiplin ilmu yang lain. 6
Penyangkalan terhadap meta-narrative dalam theologia (cerita-cerita yang berbau
supernatural), diganti dengan pengakuan atas pentingnya pengalaman yang berbeda-beda, dan
tradisi-tradisi tertentu dalam refleksi theology, selain itu bangkitnya semangat bertheologia
1
dalam konteks lokal dalam arti budaya, suku, theologia yang lahir dari kepentingan-
kepentingan tertentu (seperti theologia pembebasan, theologi hitam, theologi feminisme,
theologi gay dan lesbian), theologia yang lahir dari pengalaman-pengalaman khusus (theologia
perasaan, theologia tertawa, dll). Dalam hal ini, pengalaman menjadi kaidah kebenaran. Para
theolog yang berpola pikir postmo, senantiasa menyuarakan slogan kaum postmo: “berpikir
global tapi bertindak lokal.”7
Adapun salah satu corak yang dibuat oleh dunia postmodernisme, yang mana kebenaran
adalah relatif, maka zaman sekarang orang-orang akan mengambil aspek-aspek tertentu dari
ismenya tentang “konsep bertheologi.” Disamping itu juga, di dunia postmodern, tidak
seorangpun yang dapat mengklaim kebenaran yang paling benar. Oleh karena itulah semua
kebenaran masing-masing pribadi diklaim sebagai kebenaran yang sah. Sehingga tidak

4
David Ray Griffin, Tuhan Agama Dalam Dunia Postmodern (Yogjakarta: Kanisius, 2005), 18
5
Ibid 19
6
Ramly Lumintang, Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed, (Batu: Multimedia
PPII),123.
7
Ibid

2
seorangpun memiliki hak untuk memaksanakan kebenaran pada orang lain. Tak ada lagi
standar untuk menentukan benar atau salah. Satu-satunya standar adalah diri sendiri. Maka
tidak heran akibat semua ini muncullah juga kekerasan spiritual. Dari sinilah postmodernisme
kembali menekankan theologia yang dimotori oleh semangat pragmatisme, yang menekankan
theologia yang benar apabila theologia tersebut dapat diterapkan, dialami, berguna bagi kita
(Trinitas, kematian dan kebangkitan Yesus tidak berguna). Teks Alkitab harus didekonstruksi
karena: Penafsir (tidak netral, dipengaruhi teks lain), Penulis (dipengaruhi penulis lain), karena
itu mencari makna adalah sia-sia (nihilisme). 8 Inilah yang dinamakan perubahan “paradigma
Hermeneutik.” Dalam postmodern ini ada muncul juga satu budaya yang disebut dengan
“Budaya Penafsiran” yang merupakan produk penting dari postmodernisme. Dimana budaya
postmodern telah mencetuskan perubahan paradigma hermeneutika sebagai suatu upaya
pencarian cara untuk menjadikan teks yang terhina masih bisa diterima oleh pembaca yang
skeptis. Hermeneutika tidak lagi dipandang sebagai upaya penjelasan kebenaran teks yang
otoritatif. Yang diperlukan kini adalah imajinasi dari batiniah manusia. Dengan model ini
mencetuskan satu semangat sekularisasi didalam kehidupan kekristenan dan membawa
kekeristenan lebih kepada “bersandar-pada –diri-sendiri” (Self-reliance).9

C. BERTHEOLOGIA DALAM ERA POSTMODERNISME.


Sebagai seorang theolog, hamba Tuhan, praktisi dan pengerja gereja, kita dituntut untuk
harus antisipasi terhadap realita perubahan zaman, agar kita tidak “ketinggalan pesawat” serta
dapat terus konsisten pada jalur theology yang benar dan dapat melaksanakan Amanat Agung
Tuhan Yesus Kristus yang tidak pernah berubah di tengah dunia yang selalu berubah ini. Untuk
itu kita perlu mewaspadai apa yang menjadi patokan Postmodernisme yang mengatakan semua
relatif dan tidak ada yang mutlak. Dalam wacana theologia Postmodernisme, pengalaman
manusia tentang Allah sebagai dasar pengetahuan tentang Allah memunculkan faham
fundamentalisme yang baru sebagai wujud dari kekerasan spiritual di tengah pluralisme dan
relativisme dan sekularisasi di dalam theologia Kristen. 10 Bukan hanya itu, hal tersebut juga
mempengaruhi kehidupan Kristen dan dapat membawa umat Kristen bersikap pragmatis dan 2
terbawa arus dan akhirnya bersandar pada diri sendiri (antroposentris) bukan Allah. Ini

8
ibid
9
Erwin J. Skripsiadi dan Floriberta Aning, Penuntun Komunikasi dan Tingkah laku Pergaulan Manusia
Postmodern, (Yogyakarta: Enigma, 2005), 87.
10
Hipolitus K. Kewel, Allah Dalam Dunia Postmodern, (Malang: DIOMA, 2005), 121

3
merupakan tanggung jawab para Pendeta, Penginjil dan Dosen Theologia untuk terus berpacu
dan belajar theologia dengan benar dan konsisten.
Sesungguhnya hal ini tidak perlu membuat kita menjadi kaget dan heran. Generasi
Postmodernisme tidak lagi terkesan pada penyajian rasionil Injil yang berpesona tetapi pada
perujudan Injil yang menyeluruh dalam masyarakat dan peyembuhan hubungan antar manusia
bahkan dengan alam sekitarnya. Sikap seperti ini banyak sekali dijalankan oleh kaum Injili
sampai sekarang ini.11 Sesungguhnya kita harus tetap berpegang pada kenyakinan Injil sebagai
satu-satunya jawaban yang mutlak bagi generasi Postmodernisme juga. Panggilan kita sebagai
orang-orang percaya adalah untuk menjelaskan dan mewujudnyatakan Kabar Baik
Keselamatan yang kekal lewat tindakan yang dapat dimengerti oleh generasi Postmodernisme
yang sedang menghadang sekarang ini.
Generasi di era postmodernisme saat ini sesungguhnya sedang berada pada fase
perusakan, dimana tidak hanya nilai-nilai tradisional yang rusak tetapi juga nila-nilai masa kini.
Pada masa kini ditemukan banyaknya tanda-tanda agama sekular jenis baru yang memunculkan
masyarakat jenis yang baru. Dimana masyarakat bisa memiliki beberapa macam konsensus
religi. Namun apabila suatu saat konsensus ini hilang, objek penyembahan yang baru akan
mendesak masuk ke dalam kerohanian yang sudah vakum. Maka, saat satu masyarakat
kehilangan imannya yang trasendental, maka manusia akan mengarah ke salah satu dari tiga
hal yang merupakan tantangan kekeristenan dalam era postmodern, yakni; semangat
nasionalisme abad 20, membangun semangat oikumenikalisme dan bangkitnya idolaisme.12

1. Gerakan Nasionalisme Abad 20


Heryanto menegaskan dalam artikelnya bahwa nasionalisme ini muncul dari sentimen
satu gerakan. Maka didalam model ini, masing-masing kelompok kecil yang membentuk dunia
kebenaran sendiri menunjukkan sentimen mereka dengan mengklaim diri mereka sebagai yang
ilahi. Kebudayaan dan sub kebudayaan akan mengilahkan diri sendiri. Komunitas akan menjadi
sumber nilai-nilai moral yang berlaku hanya bagi anggota komunitas tersebut. Sehingga setiap
kelompok menentukan kebenaran mereka masing-masing sebagai perwujudan nasionalisme
mereka dan orang-orang yang di luar dari hukum moral mereka akan di anggap musuh. 13
Sebagaimana seringnya pelayanan dalam gereja kacau dan rusak akibat umat gereja baik secara
pribadi maupun kelompok membangun kebenarannya masing-masing tanpa mengacu kepada
11
Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 38
12
Postman Neil. Technopoly : The Surrender Of Culture To Technology. (New York: Vintage Books. 1993),
231
13
Heryanto, “Nasionalisme itu lebih bersifat Subjektif”, SMI No. 11 tahun ke 62 Nopember 2002 ), 10.

4
Kebenaran Allah yang mutlak. Jadi sifat postmodern ini harus diwaspadai dan dihindari
sehingga tidak ada umat yang mengingkari kebenaran Allah yang mutlak ini.
Menurut George Eldon Ladd, sesungguhnya kebenaran adalah istilah yang mengandung
makna teologis yang penting. Kebenaran adalah standar yang telah ditetapkan Allah bagi
prilaku manusia. Orang yang benar adalah orang yang menurut penilaian Allah telah memenuhi
standar Ilahi sehingga berada dalam hubungan yang benar dengan Allah. Maka aturan
kebenaran bergantung penuh pada sifat Allah sehingga akhirnya hanya Allah lah yang dapat
menentukan apakah manusia telah memenuhi aturan yang ditetapkan-Nya bagi kebenaran
manusia.14 Jadi, tidak ada seorangpun dapat menentukan kebenaran di luar dari apa yang telah
ditentukan oleh Allah, apalagi jika kebenaran yang dibuat manusia tanpa melihat standar yang
Allah telah tentukan.
3

2. Gerakan Oikumenikalisme dan Pluralisme


Hilangnya satu konsensus religius akan dimasuki oleh objek penyembahan yang baru.
Dengan kata lain, hilangnya konsensus nilai-nilai transenden bisa terjadi akibat pengilahian
kekuatan oikumenis dan pluralisme. Ini yang diisitikahkan oleh Pdt Stevri Lumintang dengan
theologia abu-abu dimana kaum pluralalisme berusaha membangun Theologia yang diakui
bersama yang dinamakannya “Theologia Religionum”.15
Sebagaimana kurangnya konsensus religi yang sudah dimulai pada zaman pencerahan
dan mencapai puncaknya pada abad ke dua puluh ini. Dimana para teolog modernis mencoba
menyatukan gereja-gereja dengan menghilangkan perbedaan kenyakinan akan dogma masing-
masing. Hal inilah yang kita sebut dengan “Gerakan Oikumenis”.
Ternyata gerakan oikumenis juga gagal menyatukan gereja-gereja maka usaha mereka
sekarang adalah untuk menyatukan semua agama-agama di dunia ini. Hal ini berarti
menghilangkan perbedaan-perbedaan kenyakinan mereka demi menerima iman yang sama
sekali baru. Sehingga para theolog menganut prinsip-prinsip yang relativisme dari
Postmodernisme agar mereka dapat merangkul semua kebudayaan dan agama.
Dengan demikian mereka tetap menekankan “kesatuan global” (Global Unity), dimana
semua yang ada bergantung kepada ekosistem tunggal. Dan dalam istilah “Globalisasi”ini
merupakan semangat oikumenis postmodernisme yang memberikan ruang yang terbuka bagi
relativisme kebudayaan dan kesatuan global.

14
Ladd Eldon George. Teologi Perjanjian Baru, jilid-2. (Bandung: Yayasan Kalam hidup. 1999), 64
15
Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu (Malang: Gandum Mas, 2004),373-483

5
Untuk itulah, di tengah-tengah situasi pluralisme keagamaan, setiap orang kristen harus
terbuka dan siap menerima kebenaran apapun yang dapat diterima dan belajar dari berbagai
tradisi keagamaan lain untuk memadukan unsur-unsur kebenaran ke dalam filter kita tentang
Allah dan pernyataan-Nya. Jadi, hal ini tidak menuntut kita merelatifkan klaim kebenaran iman
kristen khususnya tentang finalitas eskatologis, sebaliknya klaim ini harus bisa memampukan
orang krsiten untuk mengakui kebutuhannya akan pemahaman yang lebih mendalam tentang
iman kristen, terlebih saat berjumpa dengan tradisi-tradisi keagamaan lainnya. 16

3. Bangkitnya Teknologi baru dan Konsumeristik


Alternatif yang terakhir ini adalah pengilahian ahli teknologi yang tak tersaingi sebagai
kenyakinan yang transenden. Di sini menelusuri di mana teknology sedang berkembang
fungsinya mengambil fungsi suatu kenyakinan atau agama. Atribusi ilahi tentang
kemahatahuan dan kemahakuasaan sudah dikenakan kepada teknologi.
Pada abad pertengahan, teologi skolastik secara tidak tepat mengaplikasikan
metodologi theologinya ke dalam bidang yang di luar objek pengetahuannya, misalnya sains.
Namun masa kini sebaliknya, manusia mengaplikasi metodologi atau kerangka berfikir ke
dalam semua bidang termasuk theologi dan etika. Masyarakat postmodern menentukan fungsi
religi kepada dirinya sendiri. Postmodrenisme menurunkan nilai theologinya, moral dan misteri
manusia kepada hal-hal yang teknis.
Didalam teknologi, seluruh ahli dibekali dengan kharisma keimaman (charisma of
priestliness), dimana beberapa dari imam ahli (priest – experts) kita sebut sebagai psikiater,
psikolog dan beberapa ahli statistik. Allah yang mereka sembah tidak berbicara tentang
kebenaran atau kebaikan atau kemurahan atau anugerah. Allah mereka bicara tentang efisiensi
ketepatan (presesi), keobjektivitasan. Asal dan konsep dosa serta kejahatan tidak muncul di
dalam konsep kejatuhan manusia pertama di taman Eden dan akibat kejatuhan tersebut. Mereka
datang dari satu moral semesta yang tidak relevan dengan para ahli theologi. Para ahli
4
posmodernisme menyebut dosa sebagai “Diviasi atau Penyimpangan Sosial” dalam konsep
statistik dan mereka akan menyebut kejahatan sebagai “Psikopatology” dalam konsep medis. 17
Konsep Alkitab tentang “KUDUS” artinya secara harafiah adalah “Dipisahkan dari”.
Namun teknologi membawa segala sesuatu – seks, penderitaan, personalitas dan kehidupan
batiniah – menjadi sesuatu yang profan yaitu secara harafiah artinya “Umum” dan “Common” (
biasa). Makanya, tidak mengherankan di era postmodernisme saat ini, tidaklah masalah bila

16
Olaf Schumann, Keluar dari Benteng Pertahanan, (Jakarta: Gramedia, 1996), 111.
17
Heryanto, “Tantangan Postmodernisme Terhadap Iman Kristen” www, heryanto.com 11.

6
media massa mengekspos besar-besar masalah seksual yang dulunya merupakan hal yang tabu,
rahasia dan pribadi. Demikian juga dengan kejahatan yang dulu dipandang sebagai yang
mengerikan dan tersembunyi. Maka visual masa kini memotret semua yang dapat dilihat
dengan bebas. Apa yang tak dapat dilihat – yaitu Allah, Iman, Kebajikan, Spritualitas – itu di
luar perhatiannya dan diabaikan. Kalaupun tidak diabaikan, realita spiritual akan diperhatikan
dalam pemahaman yang di anut media masa kini. Tentu hal ini sama saja dengan
melecehkannya. Alternatif ketiga yang dijelaskan oleh Toynbee perlu dicermati dengan seirus
agar kita tidak kandas dalam iman kepada Yesus Kristus oleh pengeruhnya.

D. PARADIGMA DASAR DALAM BERTHEOLOGI


Ada beberapa paradigma dasar yang diperlukan dalam bertheologi terhadap sikap
kemutlakkan ini, yakni :

1. Sumber Kebenaran adalah Allah yang Berdaulat.


Manusia bukanlah sumber kebenaran karena manusia sendiri adalah ciptaan Allah yang
masih mencari Kebenaran dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya
tidaklah absolute dan terbatas. Karena itu, manusia perlu kembali kepada Tuhan sebagai
sumber Kebenaran.
Secara inkarnasi, di sepanjang sejarah hanya satu manusia saja yang berhak mengklaim
dirinya sebagai jalan Kebenaran dan hidup yaitu Yesus Kristus sendiri, Anak Allah yang
tunggal yang menjadi pusat iman orang percaya. (Yoh 14:6).

2. Alkitab Sebagai Penyataan Allah Yang final.


Allah menyatakan Kebenaran-Nya kepada manusia melalui Firman-Nya, yaitu Alkitab.
Dengan kata lain, Alkitab merupakan satu-satunya sarana untuk menusia bisa kembali mengerti
kebenaran yang paling hakiki, karena Alkitab adalah penyataan kebenaran Allah final. Inilah
yang diproklamirkan oleh para reformator, yaitu “Sola Scriptura”. 18 Dengan demikian tidak ada
kebenaran di luar Kebenaran Allah karena segalah kebenaran adalah kebenaran Allah dan
semua kebenaran harus berpreuposisi pada Alkitab saja sebagai kebenaran yang absolut.

3. Alkitab adalah Firman yang di Wahyukan oleh Allah secara utuh dan benar.
Sebab Allah yang sama mengwahyukan seluruh bagian Alkitab, maka seluruh bagian
Alkitab tidak bertentangan satu sama lain. Jika terjadi pertentangan, maka bukan pengertian
18
Lumintang, Keunikan Theologia Kristen…65

7
Alkitab itu sendiri tetapi kesulitan pikiran manusialah yang memang mempertentangkannya.
Maka kembali lagi, presuposisi manusia didalam menghadapi Alkitab adalah preuposisi
keutuhan bukan dikonstruktif.

E. PENUTUP
Sangat jelas sekali bahwa gugatan terhadap theologia yang benar, objektif dan masuk
akal, melahirkan penolakan terhadap eksistensi Theologia yang Alkitbiah dengan membalikan
pada relativisme, nihilisme, materialisme, antroposentrisme dan tidak masuk di akal. Theologia5
kemudia dibangun secara baru dengan memisahkan rasio dan irasional dan akhirnya zaman
baru postmodernisme berteriak “akulah allah”. Kekacauan ini membawa kepada
ketidakjelasan setiap orang Kristen memahaminya akhirna dipengaruhi. Untuk itu, kita
dituntut berpegang teguh pada ajran theologia yang benar, sehingga mengerti kebenaran Allah
yang telah dinyakininya dari semula. Berbagai upaya model-model keyakinan, kebudayaan dan
filsafat dunia akan mempengaruhi keimanan kita yang bertolak belakang dengan iman Kristen.
Perlu sekali bahwa setiap orang kristen memiliki kacamata iman sebagai filter yang benar
dalam melihat tantangan dan pengaruh sekular ini yang terus-menerus mempengaruhi apa saja
yang ada dalam dunia baik ekonomi, pendidikan, teknologi bahkan juga agama. Makanya
dengan tulisan ini, sekedar untuk menggelitik kita yang mungkin sedang diam terpana dengan
keadaan dunia ini, supaya kita dibangunkan untuk tidak terbawa arus dunia ini dengan
berpegang teguh pada kebenaran sesuai dengan iman kristen yang kita pegang. Sebagaimana
peringatan yang disampaikan oleh rasul Paulus: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang
baik, peganglah apa yang ada padamu supaya tidak seorangpun mengambil mahkotamu”.
(ITes. 5 : 21).

DAFTAR PUSTAKA

Erickson, Millard J., The word became flesh; Postmodern Christology, Grand Rapids:
Eerdmans, 1993.

Griffin, David Ray., Tuhan Agama Dalam Dunia Postmodern, Yogjakarta: Kanisius, 2005)

8
Ladd Eldon George. Teologi Perjanjian Baru, jilid-2., Bandung: Yayasan Kalam hidup. 1999.

Lumintang, Stevri Indra, Keunikan Theologia Kristen Di Tengah Kepalsuan, Malang:


Lembaga Literatur Multimedia PPII, 2010

Lumintang, Ramly., Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed, Batu: Lembaga
Literatur Multimeda PPII, 2010.

Skripsiadi Erwin J., Aning, Floriberta., Penuntun Komunikasi dan Tingkah laku Pergaulan
Manusia Postmodern, Yogyakarta: Enigma, 2005.

Newbigin,Lesslie., Injil dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Neil. Postman., Technopoly : The Surrender Of Culture To Technology. New York: Vintage
Books. 1993.

Schumann, Olaf., Keluar dari Benteng Pertahanan, Jakarta: Gramedia, 1996.

Anda mungkin juga menyukai