Anda di halaman 1dari 20

PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

NS. ARIEF BUDIMAN, M.KEP


NS. FITROH ASRIYADI, M.KEP

PENERBIT CV. PENA PERSADA

i
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Penulis:
Ns. Arief Budiman, M.Kep
Ns. Fitroh Asriyadi, M.Kep

ISBN : 978-623-315-902-9

Editor:
Fitriani Dwi Ramadhani

Design Cover :
Retnani Nur Brilliant

Layout :
Dita Nurul Aviqoh

Penerbit CV. Pena Persada


Redaksi :
Jl. Gerilya No. 292 Purwokerto Selatan, Kab. Banyumas
Jawa Tengah
Email : penerbit.penapersada@gmail.com
Website : penapersada.com Phone : (0281) 7771388
Anggota IKAPI

All right reserved


Cetakan pertama : 2021

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang


memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa
izin penerbit

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan
buku ini. Penulisan buku merupakan buah karya dari pemikiran
penulis yang diberi judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja”. Saya menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit
bagi saya untuk menyelesaikan karya ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu penyusunan buku ini. Sehingga buku ini bisa hadir di
hadapan pembaca.
Kajian dalam buku ini bertujuan untuk mengetahui dan
menunjukkan pada distribusi frekuensi pengaruh faktor
kepercayaan diri menunjukkan bahwa responden yang pernah atau
yang sedang menerima perilaku bullying sebagian besar berusia 14
tahun sebanyak 45 responden dengan presentase 24,9 % pada
kategori sangat rendah. Sedangkan pada distribusi frekuensi
perilaku bullying menunjukkan mayoritas usia berada pada usia 14
tahun sebanyak 49 responden dengan presentase 27,1% pada
kategori rendah. Selanjutnya dari penelitian yang telah dilakukan
pada siswa dan siswi di SMP Negeri 5 Samarinda, menunjukkan
jumlah siswa laki-laki sebanyak 79 orang (43,9 %) dan siswa
perempuan sebanyak 102 orang (56,4%).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada kedua orang tuaku tercinta, Bapak H. Abdul Jalal dan Ibu
Hj. Supiah, kemudian kepada tim peneliti Savitri Iska, Sari, Riski
Novilia, Redi Oktavianur, Ns. Fitroh Asriyadi, M. Kep juga kepada
istri dan anakku tercinta Dwi Pratiwi Amd.Kep dan Aurora Elmeira
Budiman sehingga penulis dapat menapakki kehidupan ini dengan
penuh hikmah serta dukungan. Semoga kebaikan dan kasih sayang
terbalaskan dengan surga-Nya. Amin.

iii
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan guna penyempurnaan buku ini. Akhir kata saya
berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini akan
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu di bidang kesehatan.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... iii


DAFTAR ISI.......................................................................................... v
BAB 1 FENOMENA PERILAKU BULLYING ................................... 1
A. Perilaku Bullying Pada Remaja ....................................... 1
BAB 2 MASA PUBERTAS FAKTOR BULLYING ............................. 6
A. Konsep Remaja ............................................................... 6
B. Konsep Perilaku .............................................................. 7
C. Konsep Bullying.............................................................. 9
D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Bullying ............. 12
E. Penelitian Terkait .......................................................... 23
F. Kerangka Teori.............................................................. 25
G. Kerangka Konsep .......................................................... 26
H. Hipotesis ....................................................................... 26
BAB 3 METODE ANALISIS BULLYING ......................................... 28
A. Deskripsi Faktor Bullying.................................................. 28
B. Populasi Dan Sampel ........................................................ 28
C. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................... 31
D. Definisi Operasional .......................................................... 31
E. Variabel Penelitian............................................................. 33
F. Instrument Penelitian ........................................................ 33
G. Validitas dan Reliabilitas .................................................. 37
H. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 41
I. Teknik Analisa Data .......................................................... 42
J. Analisis Uniariat dan Bivariat .......................................... 43
K. Etika Penelitian .................................................................. 44
L. Jalannya Penelitian ............................................................ 46
M. Jadwal Penelitian ............................................................... 47

v
BAB 4 HASIL ANALISIS FAKTOR BULLYING ............................. 48
A. Hasil Kajian ................................................................... 48
B. Hasil Univariat .............................................................. 49
C. Diskusi Dalam Kajian .................................................... 53
BAB 5 PENUTUP ............................................................................... 65

vi
BAB 1
FENOMENA PERILAKU BULLYING

A. Perilaku Bullying Pada Remaja


Fenomena perilaku bullying merupakan bagian dari
kenakalan remaja yang sering di ketahui terjadi pada masa -
masa remaja, dikarenakan masa ini remaja memiliki
egosentrisme yang tinggi. Masa remaja merupakan suatu fase
perkembangan antara masa kanak - kanak dan masa dewasa,
usia peserta didik / remaja sekitar 12-18 tahun. Usia rentan
menjadi korban bullying menurut Sejiwa (2008) adalah usia
remaja yaitu sekitar 13-18 tahun, dimana dalam periode tersebut
dianggap sebagai masa yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian.
Sehingga sebelum memasuki usia remaja, seorang anak harus
dibekali pengetahuan serta pemahaman terkait bahaya tindakan
bullying pada usia sekolah dasar.
Bullying sendiri paling banyak terjadi pada siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yakni siswa usia 13 hingga 14 tahun.
Anak usia 12-17 tahun dilaporkan 84 % nya mengalami bullying
(Tribunjogja, 2017). Hal ini juga ditegaskan oleh Liu dan Grave
(2011) bullying dapat terjadi pada semua tingkat usia, tetapi
mulai meningkat pada akhir sekolah dasar, puncak di sekolah
menengah, dan umumnya menurun di sekolah tinggi.
Pada masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), remaja
memiliki perkembangan emosi, sosial, fisik dan psikis. Remaja
juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati
dengan berbagai kesulitan. Pada masa ini juga, kondisi psikis
remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian
jati diri. Biasanya mereka selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu
yang baru dilihat atau diketahui dari lingkungan sekitarnya,
mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman sepermainan dan
masyarakat (Trevi, 2010).

1
Bullying merupakan tindakan kekerasan secara fisik
maupun verbal, dimana si pelaku merendahkan dan
mengintimidasi korban agar tak bisa melawan, pelaku bullying
mencari kesenangan yang tak bisa didapatkannya dan
melampiaskan nya dengan membuat orang lain menderita.
Dampak bullying akan menghambat anak dalam
mengaktualisasi dirinya karena perilaku bullying tidak akan
memberi rasa aman dan nyaman, dan akan membuat para
korban bullying merasa takut dan terintimidasi, rendah diri, tak
berharga, sulit berkonsentrasi dalam belajar, serta tidak mampu
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya (Sejiwa, 2008).
Secara garis besar faktor yang berhubungan perilaku bullying
menurut Tumon (2014) dan Usman (2013) yaitu faktor keluarga,
faktor kepercayaan diri dan teman sebay. Keluarga yang
mengalami masalah dalam keluarga seperti broken home atau
kurangnya dukungan dalam keluarga dapat berdampak buruk
terutama bagi anak seperti, kurangnya perhatian membuat anak
cenderung kurang rasa percaya diri sehingga anak lebih sering
menghabiskan waktu bersama teman- temannya diluar. Teman
sebaya mempengaruhi bullying karena anak lebih banyak
menghabiskan waktu diluar bersama teman-temannya
disekolah dan cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh
teman sekelompoknya (Saifullah, 2016).
Salah satu fenomena yang menyita perhatian di dunia
pendidikan zaman sekarang adalah kekerasan di sekolah, baik
yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, maupun oleh siswa
terhadap siswa lainnya. Maraknya aksi tawuran dan kekerasan
(bullying) yang dilakukan oleh siswa di sekolah yang semakin
banyak menghiasi deretan berita di halaman media cetak
maupun elektronika menjadi bukti telah tercabutnya nilai-nilai
kemanusiaan. (Wiyani, 2012).
Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua terbesar
setelah Jepang pada kasus bullying atau kekerasan terhadap
anak di sekolah (Indra, 2015). Data Global School-based Student
Health Survey (GSHS) menunjukkan bahwa grafik kasus
bullying di Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 2007,

2
sekitar 40% murid berusia 13-15 tahun di Indonesia melaporkan
telah diserang secara fisik selama 12 bulan terakhir di sekolah
mereka. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
terbaru tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat 1.051 anak
menjadi korban kekerasan di Indonesia dan 70% anak-anak usia
8 - 12 pernah menjadi pelaku kekerasan atau bullying di sekolah.
KPAI menemukan bahwa anak mengalami bullying di
lingkungan sekolah sebesar (87.6%). Dari angka (87.6%) tersebut,
(29.9%) bullying dilakukan oleh guru, (42.1%) dilakukan oleh
teman sekelas, dan (28.0%) dilakukan oleh teman kelas lain
(Prima, 2012). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
tahun 2014 mencatat bahwa dari total pengaduan bullying, yang
terjadi di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying
yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah,
mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan ataupun
aduan pungutan liar (Republika, 2014).
Upaya pemerintah dalam menanggulangi kasus bullying
pemerintah sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 35
tahun 2014 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kementerian
Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Perlindungan
anak (PPPA) juga sudah berkoordinasi dengan kepolisian dan
kejaksaan agar hukuman pelaku kekerasan terhadap anak disa
diberikan sebarat-beratnya. Hukuman berat berat itu sesuai
tindakan pelaku, sehingga diharapkan menimbulkan efek jera
bagi pelaku kekerasan (Berita Satu, 2016).
Semua pihak baik di lingkungan keluarga, masyarakat
dan sekolah. Salah satu yang dilakukan United Nations
Children’s Fund (UNICEF) Pusat selama dua atau tiga tahun ini
adalah mengembangkan riset aksi program model pencegahan
bullying di sekolah pada dua daerah, yaitu Provinsi Sulawesi
Selatan dan Provinsi Jawa Tengah. Metode pendekatan yang
digunakan bernama roots, yaitu model pendekatan program
global pencegahan kekerasan di kalangan teman sebaya yang
berfokus pada upaya membangun iklim yang aman di sekolah
dengan mengaktivasi peran siswa sebagai agen berpengaruh

3
atau agen perubahan. Program tersebut diharapkan dapat
menghasilkan model pengembangan upaya pencegahan
perlindungan anak yang mampu bekerja secara holistik dan
komprehensif, apabila sudah berjalan dengan baik akan
direplikasi didaerah lain (Portal Resmi Provinsi Jawa Tengah,
2018).
Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi di
Indonesia berdasarkan laporan Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi
menunjukkan bahwa terdapat 457 kasus pelecehan seksual dan
kekerasan pada anak, dan diantaranya juga terdapat kasus
bullying atau intimidasi, sepanjang tahun 2015 lalu. Penelitian
yang dilakukan oleh Amrina (2014) menjelaskan bahwa 23%
siswa SMPN 31 Samarinda memiliki tingkat bullying tinggi, 39%
tingkat bullying sedang.
Penelitian Akbar (2013) pada kasus bullying yang sama
terjadi di SMPN 5 Samarinda, para pelakunya banyak dilakukan
oleh siswa laki- laki dan sebagian dilakukan oleh siswa
perempuan. hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan
oleh Adilla (2009) dalam jurnalnya yang menyimpulkan bahwa
pelajar laki-laki lebih sering menggunakan tindakan bullying
terhadap pelajar lain baik secara langsung maupun tidak
langsung dibandingkan dengan pelajar perempuan. Dari
beberapa bentuk perilaku bullying yang dilakukan antarsiswa di
SMP N
5 Samarinda, yang paling sering terjadi ialah penghinaan
terhadap perilaku maupun fisik dari korbannya dan sedikit
sekali perlakuan kekerasan yang diberikan kepada korbannya
berupa kekerasan fisik.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan
oleh peneliti di SMP 5 Samarinda, dilakukan wawancara
terhadap Guru BK dan mengatakan di dapatkan 4 siswa yang
sering mengganggu teman maupun kakak kelas, kejadian baru-
baru ini terjadi pada saat olahraga salah satu siswa suka
menjegal temannya saat berlari. Salah satu Alumni SMP Negeri
5 Samarinda juga mengatakan ia bersama teman sekelompok

4
(geng) pernah menjadi pelaku bully terhadap adik kelas seperti
memalak dan mengejek. Bullying merupakan tindakan
agresivitas antar siswa yang memiliki dampak paling negatif
bagi korbannya. Oleh karena itu sekiranya mulai dari sekarang
dan untuk seterusnya masyarakat dapat menyadari bahwa
dengan membiarkan atau menerima perilaku bullying pada
lingkungan sosial, berarti memberikan bullies power kepada
pelaku bullying itu sendiri dan menciptakan interaksi sosial
yang tidak sehat serta meningkatkan budaya kekerasan.
Terutama lingkungan sekolah diharapkan dapat
menerapkan peraturan yang ada secara tegas dan konsisten
kepada setiap siswa-siswi di sekolah serta melakukan
pengawasan yang serius. Kemudian sekolah juga berupaya
untuk mengoptimalkan fungsi unit BK (bimbingan konseling),
terutama agar masalah dan penanganannya terhadap korban
tindakan perilaku bullying dapat ditindak lanjuti secara tepat.
Karena itu penelitian ini sangat penting untuk diteliti.
Berdasarkan fenomena diatas oleh karena itu peneliti tertarik
ingin melakukan penelitian “Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Perilaku Bullying pada Remaja di SMP Negeri 5
Samarinda”.

5
BAB 2
MASA PUBERTAS FAKTOR BULLYING

A. Konsep Remaja
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja
(adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun sebagai
suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali
ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya (pubertas)
sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Sementara
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan anak muda
untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam
terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-
24 tahun (WHO, 2013).
Menurut Santrock (2011) masa remaja adalah suatu
periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang
menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Menurut Hurlock (2015) awal masa remaja berlangsung kira-kira
dari 13 tahun sampai 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa
remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu
usia matang secara hukum. Adapun ciri-ciri masa remaja yang
membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya, yaitu
masa remaja sebagai periode yang penting, periode peralihan,
periode perubahan, usia bermasalah, remaja sebagai masa
mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, masa
yang tidak realistis, dan masa remaja sebagai ambang masa
dewasa.
Salah satu ciri menyebutkan bahwa remaja adalah usia
bermasalah, dimana masalah masa remaja sering menjadi
masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak
perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama,
sepanjang masa kanak-kanak sebagian masalah anak-anak
diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga
kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi
masalah itu. Kedua, karena para remaja merasa mandiri
sehingga ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak
bantuan orang tua dan guru-guru (Hurlock, 2015).

6
Berbagai masalah yang dihadapi oleh remaja salah
satunya adalah kasus kekerasan atau agresivitas baik oleh guru
terhadap siswa, maupun antar sesama siswa sendiri. Kekerasan
yang ditemui tersebut tak hanya secara fisik namun juga secara
psikologis. Kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang merasa
diri lebih berkuasa atas pihak yang dianggap lebih lemah
disebut dengan bullying (Magfirah & Rachmawati, 2009).
Dampak yang diakibatkan oleh tindakan ini pun sangat
luas cakupannya. Remaja yang menjadi korban bullying lebih
berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara
fisik maupun mental. Adapun masalah yang lebih mungkin
diderita anak-anak yang menjadi korban bullying, antara lain
munculnya berbagai masalah mental seperti depresi,
kegelisahan dan masalah tidur yang mungkin akan terbawa
hingga dewasa, keluhan kesehatan fisik, seperti sakit kepala,
sakit perut dan ketegangan otot, rasa tidak aman saat berada di
lingkungan sekolah, dan penurunan semangat belajar dan
prestasi akademis.

B. Konsep Perilaku
Perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu
dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang
paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan
sampai paling yang tidak dirasakan (Okviana, 2015). Perilaku
merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkunganya yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan
respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal
dari luar maupun dari dalam dirinya (Notoatmojo, 2010).
Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku merupakan suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik,
durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku adalah
kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Jenis-jenis
pengukuran perilaku ada beberapa teknik, yaitu : Skala Likert
Penggunaan skala Likert menurut Sugiyono (2013) adalah skala
Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.

7
1. Skala Thurstone
Skala Thurstone merupakan salah satu skala sikap
yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala
interval. Setiap butir memiliki kunci skor dan jika disusun,
kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak sama. Skala
Thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pernyataan
yang relevan dengan variable yang hendak diukur kemudian
sejumlah ahli (20-40) orang menilai relevansi pernyataan itu
dengan konten atau konstruk yang hendak diukur.
Skala Thurstone meminta responden untuk memilih
pertanyaan yang ia setujui dari beberapa pernyataan yang
menyajikan pandangan yang berbeda-beda. Metode
pengukuran ini dikembangkan untuk menilai secara spesifik
terhadap objek atau subjek yang hendak diteliti (Sugiyono,
2009).
2. Skala Guttman
Perilaku dapat diukur dengan menggunakan teknik
skala Guttman. Skala ini merupakan skala yang bersifat tegas
dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas
seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak,
positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah.
Skala guttman ini pada umumnya dibuat seperti cheklist
dengan interpretasi penilaian, apabila skor benar nilainya 1
dan apabila salah nilainya 0 dan analisanya dapat dilakukan
seperti skala likert (Aziz, 2007).
3. Skala Semantic Defferential
Semantic differential adalah salah satu bentuk
instrumen pengukuran yang berbentuk skala, yang
dikembangkan oleh Osgood, Suci, dan Tannenbaum (1984).
Instrumen ini juga digunakan untuk mengukur reaksi
terhadap stimulus, kata-kata, dan konsep-konsep dan dapat
disesuaikan untuk orang dewasa atau anak-anak dari budaya
manapun juga. Skala ini juga di gunakan untuk mengukur
sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun
checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang
jawaban “sangat positifnya” terletak di bagian kanan garis,

8
dan jawaban yang “sangat negatif” terletak di bagian kiri
garis, atau sebaliknya. Data yang di peroleh adalah daya
interval, dan biasanya skala ini di gunakan untuk mengukur
sikap/karakteristik tertentu yang di punyai oleh seseorang
(Heise, 2006)
4. Skala Rating
Skala rating adalah data mentah yang diperoleh
berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian
kualitatif. Dalam skala model rating scale, responden tidak
akan menjawab salah satu dari jawaban kualitatif yang telah
disediakan, tapi menjawab salah satu jawaban kuantitatif
yang telah disediakan. Oleh karena itu, rating scale ini lebih
fleksibel, tidak terbatas pengukuran sikap saja tetapi bisa juga
mengukur persepsi responden terhadap fenomena
(Sugiyono, 2009).

C. Konsep Bullying
1. Pengertian Bullying
Bullying adalah perilaku agresif yang dapat terjadi di
kalangan anak terutama anak usia sekolah dan melibatkan
ketidakseimbangan kekuatan yang berpotensi untuk
dilakukan secara berulang- ulang (Control Disease Center:
National Center for Injury Prevention and Control, 2014).
Bullying merupakan bentuk agresivitas yang dilakukan oleh
satu individu maupun secara berkelompok terhadap
individu atau kelompok lain dengan tujuan untuk
mendominasi (dominate), menyakiti (hurt), atau
mengasingkan pihak lain (exclude another) (Praningtyas,
2010). Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok terhadap orang-orang atau
kelompok lain yang dilakukan secara berulang-ulang dengan
cara menyakiti secara fisik maupun mental (Prasetyo, 2011).
Kata bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull
yang berarti banteng yang senang merunduk kesana kemari.
Dalam bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti
penggertak, orang yang mengganggu orang lemah.
Kemudian, Olweus juga mengatakan hal yang serupa bahwa

9
bullying merupakan perilaku negatif yang mengakibatkan
seseorang ada dalam keadaan tidak nyaman/terluka dan
biasanya terjadi berulang-ulang. (Wiyani, 2012).
Definisi bullying sendiri, menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak adalah kekerasan fisik dan psikologis
berjangka panjang yang dapat dilakukan seseorang atau
kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu
mempertahankan diri (Tiga Ananda, 2015). Dapat dikatakan
pula bullying adalah tindakan yang dilakukan seseorang
secara sengaja membuat orang lain takut atau terancam
sehingga menyebabkan korban merasa takut, terancam, atau
setidak-tidaknya tidak bahagia (Saifullah, 2016).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
bullying merupakan suatu tindakan kekerasan baik secara
fisik maupun mental yang dilakukan oleh individu maupun
secara berkelompok yang dapat menyebabkan trauma secara
fisik maupun mental. Biasanya bully yang sering terjadi
adalah seperti mengejek dan memalak dikalangan anak usia
sekolah.
2. Bentuk – Bentuk Bullying
Menurut Wiyani (2012) disebutkan bahwa terdapat
empat bentuk bullying, yaitu:
a. Lisan, misalnya memberi julukan, menggoda, mengejek,
menghina, mengancam.
b. Fisik, misalnya memukul, menendang, menyelengkat.
c. Sosial, misalnya mengabaikan, tidak mengajak berteman,
memberi isyarat yang tidak sopan.
d. Psikologis, misalnya menyebarkan desas-desus, ‘dirty
looks’ (pandangan yang menunjukkan rasa tidak senang,
kebencian atau kemarahan), menyembunyikan atau
merusak barang, pesan jahat lewat SMS dan email,
penggunaan ponsel kamera yang tidak patut.

10
Menurut Bauman (2008), tipe-tipe bullying adalah
sebagai berikut :
a. Overt bullying (Intimidasi terbuka), meliputi bullying
secara fisik dan secara verbal, misalnya dengan
mendorong hingga jatuh, memukul, mendorong dengan
kasar, memberi julukan nama, mengancam dan mengejek
dengan tujuan untuk menyakiti.
b. Indirect bullying (Intimidasi tidak langsung) meliputi
agresi relasional, dimana bahaya yang ditimbulkan oleh
pelaku bullying dengan cara menghancurkan hubungan-
hubungan yang dimiliki oleh korban, termasuk upaya
pengucilan, menyebarkan gosip, dan meminta pujian atau
suatu tindakan tertentu dari kompensasi persahabatan.
Bullying dengan cara tidak langsung sering dianggap
tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan
bullying secara fisik, dimaknakan sebagai cara bergurau
antar teman saja. Padahal hubungan bullying lebih kuat
terkait dengan distress emosional daripada bullying
secara fisik. Bullying secara fisik akan semakin berkurang
ketika siswa menjadi lebih dewasa tetapi bullying yang
sifatnya merusak hubungan akan terus terjadi hingga usia
dewasa.
3. Cyberbullying (Intimidasi melalui dunia maya), seiring
dengan perkembangan dibidang teknologi, siswa memiliki
media baru untuk melakukan bullying, yaitu melalui sms,
telepon maupun internet. Cyberbullying melibatkan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-
mail, telepon seluler dan peger, sms, website pribadi yang
menghancurkan reputasi seseorang, survei di website pribadi
yang merusak reputasi orang lain, yang dimaksudkan adalah
untuk mendukung perilaku menyerang seseorang atau
sekelompok orang, yang ditujukan untuk menyakiti orang
lain, secara berulang- ulang kali.

11
4. Dampak – Dampak Bullying
Menurut Wiyani (2012) dampak yang dialami korban
bullying adalah mengalami berbagai macam gangguan yang
meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (Low
Psicological Wellbeing) di mana korban akan merasa tidak
nyaman, takut, rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian
sosial yang buruk dimana korban merasa takut ke sekolah
bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan,
prestasi akademik yang menurun karena mengalami
kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, bahkan berkeinginan
untuk bunuh diri dari pada harus menghadapi tekanan-
tekanan berupa hinaan dan hukuman.
Menurut Priyatna (2010) dampak dari bullying yaitu
depresi, cemas, selalu khawatir pada masalah keselamatan,
menjadi pemurung, agresi, timbul isu-isu akademik, tampak
rendah diri dan menjadi pemalu, menarik diri dari pergaulan
dan penyalahgunaan substansi (obat atau alkohol). Menurut
Dwipayanti dan Komang (2014) anak sebagai korban
bullying akan mengalami gangguan psikologis dan fisik,
lebih sering mengalami kesepian, dan mengalami kesulitan
dalam mendapatkan teman, sedangkan anak sebagai pelaku
bullying cenderung memiliki nilai yang rendah. Menurut
penelitian Duke University yang diterbitkan 12 Mei 2014
dalam Proceedings of the National Academy of Sciences
dampak bullying di masa kanak- kanak dapat berbekas
seumur hidup, baik bagi korban maupun pelaku bullying itu
sendiri, begitu pula pada kaum dewasa muda yang
menunjukkan dampak jangka panjang akibat tindakan
bullying. Namun, pelaku bullying didapatkan lebih sehat
dibandingkan dengan korban bullying (Liputan6, 2014).

D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Bullying


Menurut Tumon (2014) dan Usman (2013) faktor yang dapat
mempengaruhi Bullying adalah :
1. Faktor Keluarga
Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan
darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk

12
keluarga adalah ibu, bapak, dan anak-anaknya. Ini disebut
keluarga batih (nuclear family). Keluarga yang diperluas
(extended family) mencakup semua orang dari suatu
keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk
keturunan suami dan isteri. Keluarga mempunyai fungsi
untuk berkembang biak, mensosialisasi, mendidik anak, dan
menolong serta melindungi yang lemah, khususnya orang
tua yang telah lanjut usia (Setiono, 2011).
Dukungan sosial diartikan sebagai sumber emosi,
informasi atau pendampingan yang diberikan oleh orang-
orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap
permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam
kehidupan (Kail dan Cavanaugh, 2000). Taylor (2009) juga
mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari
orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki
harga diri dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan
komunikasi dan kewajiban bersama. Hal yang senada
diungkapkan oleh Kenrick, Neuberg, dan Cialdini, (2010)
bahwa dukungan sosial adalah dukungan emosi, materi atau
informasi yang disediakan orang lain dan bertujuan untuk
membantu seseorang. Menurut Baron dan Byrne (2009),
dukungan sosial adalah kenyamanan fisik dan psikologis
yang disediakan oleh teman dan anggota keluarga.
Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial
karena salah satu sumber dukungan sosial adalah keluarga
(Dalton, Elias, dan Wandersman, 2007).
Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah
sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat
dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap
siklus kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa
dukungan sosial internal, seperti dukungan dari suami, istri
atau dukungan dari saudara kandung dan dapat juga berupa
dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan
keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman,

13

Anda mungkin juga menyukai