Referat TB Anak
Referat TB Anak
TB ANAK
Oleh:
Penguji:
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Skoring TB Anak ……………….……………………………………………15
Tabel 2 Dosis OAT anak ……………………...…………………………………...….23
Tabel 3 Lama pengobatan TB pada anak …………………..………………………....24
Tabel 4 Dosis OAT FDC pada anak ……………..……………………………………25
Tabel 5 Pilihan panduan Terapi pencegahan Tuberkulosis…………..…..………...….27
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Tuberkulosis masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia, terutama pada
negara berkembang. Tercatat dengan estimasi sekitar 10 juta individu dunia terinfeksi TB
setiap tahunnya, dengan 24% berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi. Infeksi
Tuberkulosis menyebabkan kasus kematian lebih banyak daripada pasien dengan HIV/AIDS.
Data 2020, mencatat sekitar 1,1 juta anak dan remaja terinfeksi dengan TB dengan sebagian
besar berusia kurang dari 5 tahun. Program TB Nasional mencatat data tersebut hanya kurang
dari setengah anak yang teridentifikasi, dimana ini dianggap masih banyak anak yang tidak
teridentifikasi infeksi TB.
Indonesia merupakan negara dengan posisi kedua dunia berdasarkan jumlah kasus TB,
dengan angka kejadian mencapai 969 ribu orang pada 2021. Prevalensi kasus TB anak di
Indonesia pada rentang usia 0-14 tahun mencapai 9,3%, dari jumlah kasus Angka kematian
akibat infeksi TB di Indonesia pada 2021 mencapai 150 ribu kasus dengan kenaikan 60% dari
tahun 2020. Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia merupakan sulitnya dalam
penegakkan diagnosis, dan penanggulangan jumlah kasus TB dewasa resisten obat. Dimana
fasilitas kesehatan di Indonesia sendiri masih kurang dalam ketersediaan pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto thoraks sebagai 2 parameter utama dalam sistem skoring TB anak.
Permasalahan lain mengenai infeksi TB di Indonesia adalah infeksi TB laten, dimana infeksi
ini tidak menimbulkan gejala, sehingga dalam identifikasi dan pendiagnosaan menjadi
permasalahan.
Dalam tatalaksana pencegahan dalam bentuk pemberian Terapi Pencegahan
Tuberkulosis dan pengobatan OAT di Indonesia, tingkat kepatuhan pasien masih sangat
rendah, sehingga masih sangat sulit Infeksi Tuberkulosis tereradikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
1.2. Epidemiologi
Prevalensi akan kasus TB pada anak secara mendunia terjadi pada negara berkembang.
WHO memperkirakan sekitar 1,1 juta anak dan remaja pada setiap tahunnya menderita
penyakit TB, dan lebih banyak lagi yang memiliki bentuk infeksi laten (tidak bergejala),
dimana lebih dari setengah kasus TB terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Angka kejadian TB
secara mendunia terus menurun, walaupun masih dikatakan tinggi pada negara Sub-Saharan
Africa. WHO menyatakan angka kematian oleh TB mencapai 1,5 juta pertahun pada segala
golongan usia.2-4 Indonesia sendiri berada pada posisi kedua dunia bedasarkan jumlah
penderita TBC, dengan angka kejadian infeksi TB mencapai 969 ribu orang pada 2021. Angka
kejadian ini naik 17% dari tahun 2020 pada 834 ribu kasus. Dari total kasus 969 ribu infeksi
TB di Indonesia, kasus yang ditemukan hanya 45,7% (443.235) dengan sisanya 54,3% belum
ditemukan. Prevalensi kasus TB anak di Indonesia pada rentang usia 0-14 tahun mencapai
9,3%, dengan jumlah kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat (5.900 kasus) Angka kematian
akibat infeksi TB di Indonesia pada 2021 mencapai 150 ribu kasus dengan kenaikan 60% dari
tahun 2020. 5
1.3. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari penyebab penyakit
tuberkulosis. M. tuberculosis adalah jenis bakteri tahan asam basili dengan transmisi via
inhalasi aerosol droplet. M. tuberculosis merupakan bakteri gram positif maupun negative,
aerobic obligat facultative. Bakteri M. tuberculosis dikarakteristikan oleh rantai panjang yang
kaya akan asam lemak. M. tuberculosis terbagi menjadi 2 grup, grup pertumbuhan cepat dan
pertumbuhan lambat.[6] Dinding bakteri ini terdiri dari peptidoglikan dan lemak kompleks
yang menjadi struktur utama dalam patogenesisnya dalam proses infeksi dan bertahan hidup.
Struktur ini berkontribusi dalam proses infeksi dengan: 1. Resistensi terhadap antibiotik; 2.
False pada pewarnaan gram; dan 3. Kemampuan dalam bertahan hidup pada kondisi
lingkungan dengan keasaman tinggi, maupun basa tinggi.1 Sebagai bakteri fakultatif
intraseluler, disini akan berperan sebagai inhibitor dari makrofag, dan akan berproliferasi
dalam makrofag yang kemudian menyebabkan kematian dari makrofag. Kematian dari
makrofag ini membuat basili bakteri ini keluar pada ruang alveoli.7
1.5. Patofisiologi
Pada sebagian besar kasus infeksi TB, paru merupakan jalur masuk utama dari bakteri
M.tuberkulosis (98%). Infeksi TB bertransmisi via percik renik (droplet) dengan ukuran <5µm
yang terhirup dan masuk pada alveolus. Infeksi TB dikarakteristikan oleh kerusakan dan
nekrosis pada jaringan paru, dimana ini berbeda pada kejadian infeksi penyakit paru lainnya
yang umumnya mempengaruhi jalur napas. Faktor virulensi terbesar pada patogenesis
M.Tuberculosis ini ada pada dinding sel bakteri yang terdiri dari peptidoglikan dan lemak
kompleks (asam glikolipid mikolat, lipoarabinomannan (LAM), sulfatida, dan trehalosa
dimikolat). Proses infeksi TB memiliki dampak yang bervariasi oleh karena faktor sistem imun
lokal.7,17
Sistem imunitas non-spesifik (makrofag dan sel dendritik) merupakan sistem pertama
yang mendeteksi dan mengeliminasi dari mikrobakteri ini. Seiring dengan terjadinya sistem
imunitas ini, akan memicu produksi dari kaskade pada sistem imun komplemen, merangsang
kemokin, produksi sitokin, IFN-γ dan TNF-α dalam prosesnya mengeliminasi infeksi.4 Infeksi
TB pada sebagian kasus dapat dihancurkan seluruhnya oleh imunitas non spesifik sehingga
tidak terjadinya sistem imun spesifik. Pada individu dengan imunitas non-spesifik tidak dapat
menghancurkan bakteri TB pada sistem imun non-spesifik nya (makrofag), bakteri ini akan
berproliferasi dalam makrofag yang kemudian menyebabkan kematian dari makrofag,
membuat basili bakteri ini keluar pada ruang alveoli dan membentuk lesi di tempat tersebut
(Fokus Primer Ghon) umumnya terjadi pada bagian tengah dari paru.1 Dari awal infeksi terjadi
sampai terbentuknya fokus primer Ghon ini disebut dengan fase inkubasi dengan rentang waktu
2-12 minggu, dengan rata rata 4-8 minggu.17 Pada sebagian individu fokus Ghon ini dapat
memasuki fase laten yang dikenal sebagai TB laten dan sebagian lagi menjadi infeksi TB aktif
yang langsung. TB laten dapat aktif kembali pada keadaan turunnya imunitas tubuh setelah
melewati periode laten dengan waktu beberapa tahun yang disebut sebagai infeksi TB
sekunder, dengan gambaran lesi pada apex paru (fokus Simon). Kasus pada paparan Infeksi
kedua akan M.Tuberkulosis yang juga disebut sebagai infeksi TB sekunder, dapat terjadi
dengan prevalensi kasus yang lebih jarang.
Infeksi TB dapat menyebar melalui saluran limfatik setelah pembentukan fokus primer
Ghon, dimulai dari kelenjar limfatik regional terhadap lokasi fokus primer Ghon. Penyebaran
dari infeksi TB ini menyebabkan inflamasi dari saluran limfatik (limfangitis) dan kelenjar limfe
(limfadenitis). Kejadian dengan terbentuknya fokus primer Ghon, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakan sebagai kompleks primer. Dengan terbentuknya kompleks primer ini, individu
tersebut dinyatakan sebagai kasus infeksi TB primer. Pada keadaan infeksi TB primer ini
pengujian tuberkuloprotein dinyatakan positif oleh adanya imunitas seluler.17 Jumlah bakteri
yang tidak berhasil tereliminasi oleh sistem imun tubuh non-spesifik akan tetap bertahan hidup
dalam granuloma, dan merangsang pembentukan imunitas spesifik. Setelah imunitas spesifik
terbentuk (CD4+, Sel Helper T-lymphocyte) dengan jalur hipersensitivitas tipe-IV (Cell-
mediated delayed cell), M.Tuberkulosis akan kembali menginduksi aktivasi dari makrofag
jaringan ditandai dengan terbentuknya sitokin dan IFN-γ.1 Dua perubahan utama yang
melibatkan makrofag terjadi selama proses pembentukan sel raksasa inti-banyak
(Multinucleated Giant Cells) dan sel epiteloid. Sel raksasa dan sel epiteloid disini berfungsi
untuk mengoptimalkan fagositosis dengan hasil pembentukan proses fagosit ini sebagai
granuloma. IFN-γ juga berperan dalam pembentukan granuloma, IL-4, IL-6, dan TNF-α.
Pembentukan granuloma ini sering disebut sebagai nekrosis kaseosa, dengan bagian tengah lesi
yang akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan ruang di paru paru
(kavitas). Terbentuknya nekrosis kaseosa ini berasal dari kandungan asam mikolat dari dinding
M.Tuberkulosis, sehingga ini menjadikan ciri khas dari penemuan infeksi TB.1
Infeksi TB juga dapat menyebar secara hematogen, ini terjadi selama fase inkubasi
secara langsung maupun setelah penyebaran limfogen. Penyebaran hematogen umumnya
terjadi dalam bentuk hematogen tersamar (Occult hematogenic spread) dengan cara sporadik
sehingga jarang atau lambat dalam menimbulkan gejala klinis. Pesebaran via hematogen ini
dapat membuat M.Tuberkulosis berdeposit pada keadaan tidak aktif pada organ lain ekstraparu,
seperti kelenjar limfe superficialis, otak, hati, tulang, ginjal, dan organ lainnya. Selain itu
penyebaran secara hematogen ini juga dapat terjadi secara generalisata akut (Acute generalized
hematogenic spread) di dalam darah ke seluruh tubuh. Penyebaran kali ini akan menimbulkan
manifestasi klinis yang akut (TB diseminata) dalam waktu 2-6 bulan setelah infeksi.17
1.7 Diagnosis
Alur diagnosa pada TB anak digunakan dalam penegakkan diagnosis pada anak
bergejala, tanpa gejala, dengan kontak erat, atau tanpa kontak.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Pembengkaka - Ada
n tulang/ pembengkakan
sendi
panggul, lutut
Skor
Total
Dengan penilaian: (1). Skor total ≥ 6, pasien didiagnosis TB dan tatalaksana dengan
OAT, (2) Skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau dengan kontak erat, pasien
didiagnosis TB dan diobati dengan OAT, (3). Skor total < 6 dengan uji tuberkulin negatif atau
tanpa kontak erat, lakukan observasi gejala selama 2-4 minggu, dan jika menetap evaluasi
ulang.
Pemeriksaan sputum dapat dilakukan pada pengujian mikroskopis BTA (Basil Tahan
Asam) yang dilakukan minimal 2 kali sewaktu dan pagi, atau TCM (Test Cepat Molekuler)
Gene-Xpert MTB dalam kurun waktu yang cepat < 2 jam, setelah pengambilan sampel.
Hasil dari pemeriksaan BTA bedasarkan WHO: (1). BTA 0, merupakan hasil negatif, (2). BTA
+1, dengan tanda positif sebelum angka menandakan hasil yang sangat sedikit terhadap hasil
positif, (3). BTA 1+, menandakan hasil positif, (4). BTA 2+, hasil positif, (5). BTA 3+,
menandakan hasil positif, dan sangat infeksius.21 Pemeriksaan Kultur atau biakan merupakan
Gold Standard (Baku Emas) dalam menemukan Micobacterium Tuberculosis dari sampel
sputum, cair serebrospinal, pleura, ataupun biopsi jaringan. Terdapat 2 jenis biakan
pemeriksaan kultur, yaitu media padat dan media cair. Media padat dapat menujukan hasil pada
rentang 4-8 minggu, sedangkan media cair dapat menujukan hasil 1-2 minggu.
Pemeriksaan penunjang lain dalam mendiagnosis TB, berupa Uji Tuberkulin, IGRA,
foto thoraks, histopatologi. Uji tuberkulin dapat membantu menegakkan diagnoss TB anak
terlebih pada pasien dengan riwayat kontak, dan gejala tidak jelas. Hasil uji tuberkulin tidak
dapat menunjukan akan adanya infeksi atau tidak dapat menunjukan ada tidaknya sakit TB,
sehingga hasil negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis. Interpretasi hasil uji tuberkulin
dapat dilakukan pembacaan dengan metode palpasi, dan metode ballpoint. Metodi palpasi
dilakukan dengan melakukan palpasi dari tepi lateral indurasi yang kemudian penandaan
dengan pena pada batas indurasi, sedangkan dengan metode pena, dapat dilakukan dengan
penentuan langsung tepi lateral indurasi dengan pena. Dimana titik batas pena dapat diukur
dengan menggunakan penggaris. Hasil uji tuberkulin: (1). Imunokompeten, didapati positif bila
≥ 10 mm, (2). Imunokompromais, didapati positif bila ≥5 mm. IGRA merupakan pemeriksaan
pada respon imun tubuh (sitokin inflamasi, interferon gamma) terhadap bakteri TB dengan
penggunaan sample darah1 Pemeriksaan IGRA tidak dapat membedakan antara infeksi TB
laten dengan TB aktif, sehingga lebih efektif terhadap penggunaan uji tuberkulin. Pemeriksaan
foto thoraks, merupakan salah satu pemeriksaan penunjang dalam penegakkan diagnosis TB,
dengan gambaran foto thoraks yang menunjang diagnosis TB: (1). Pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan atau tanpanya infiltrat, (2). Konsolidasi segmental atau lobar, (3). Efusi
pleura, (4). Milier, (5). Atelektasis, (6). kavitas, (7). Kalsifikasi yang disertai dengan infiltrat,
dan (9). Tuberkuloma. Pemeriksaan histopatologi pada infeksi TB akan menunjukan gambaran
granuloma dengan khas necrosis caseosa (nekrosis perkijuan) dengan atau tanpanya sel datia
langhans, atau bakteri TB.
Sedangkan pada infeksi TB laten tanpa gejala, dapat diidentifikasi dengan penemuan
dan pemeriksaan dari infeksi TB laten. Indentifikasi ini dilakukan pada populasi berisiko pada
populasi (1). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), (2). Kontak serumah dengan pasien TBC
paru yang telah terkonfirmasi bakteriologis, (3). Individu dengan immunokompremais, dialisis,
penggunaan terapi kortikosteroid, (4). Petugas kemasyarakatan, kesehatan, militer, dan
pengguna narkoba jarum suntik. Penemuan orang dengan infeksi TB laten ini dilakukan dengan
investigasi kontak pada orang sekitar kasus, contact invitation, penemuan di tempat khusus,
dan pemeriksaan medik rutin.
Selain dari identifikasi infeksi TB laten, pemeriksaan infeksi TB laten dapat dilakukan
dengan Uji Tuberkulin, skrining gejala pada ODHA dan anak <5 tahun dengan riwayat kontak,
pemeriksaan TST, IGRA, maupun rontgen thorax pada pasien ODHA atau pasien ≥5 tahun
dengan riwayat kontak. Tujuan dari dilakukannya investigasi pada infeksi TB laten untuk
pemberian Terapi Pencegahan Tuberculosis (TPT), maupun tatalaksana kuratif pada infeksi
TB. Pada pemeriksaan TB laten, dan pemberian TPT pada individu beresiko dapat dilakukan
dengan Algoritma WHO Pemeriksaan ILTB dan TPT pada Individu berisiko.
1.8.1 Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit yang terjadi akibat adanya invasi pada
saluran pernapasan bagian bawah. Pneumonia dikatakan merupakan penyebab
utama dari mortalitas anak di bawah usia 5 tahun. Diperkirakan terdapat kurang
lebih 120 juta kasus pneumonia setiap tahunnya di seluruh dunia dan pneumonia
dikatakan menyebabkan terjadinya kematian sebanyak 1,3 juta kematian.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa pneumonia menjadi salah satu
penyebab utama kematian anak dibawah usia 2 tahun pada negara berkembang,
dimana dikatakan hampir 80% kematian anak terjadi karena pneumonia.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, dikatakan bahwa
sebagian besar kematian pada anak karena pneumonia umumnya terjadi pada
negara berkembang. Etiologi dari pneumonia pada neonatus umumnya
disebabkan oleh Streptococcus grup B, Klebsiella, Escherichia coli, dan Listeria
monocytogenes. Sedangkan pada anak usia 30 hari hingga 5 tahun, etiologi yang
paling sering menyebabkan terjadinya pneumonia adalah karena virus seperti S.
pneumoniae dan H. influenzae tipe B. Mycoplasma pneumonia lebih sering
didapatkan pada anak di rentang usia 5 tahun - 13 tahun.
Pneumonia terjadi karena adanya invasi saluran pernapasan bagian
bawah. Infeksi oleh patogen menyebabkan terjadinya kolonisasi bakteri atau
virus pada nasofaring dan menyebabkan peradangan dan ataupun cedera pada
epitel dan alveoli sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya migrasi sel
inflamasi ke tempat infeksi dan menyebabkan terjadinya proses eksudarif yang
mengganggu oksigenasi.
Anak dengan pneumonia umumnya mengeluhkan keluhan yang tidak
spesifik seperti terjadinya batuk, demam, takipnea, dan adanya kesulitan
bernapas. Pada pemeriksaan fisik seringkali ditemukan adanya tanda-tanda
gangguan pernapasan seperti takipnea, pernapasan cuping hidung, tarikan dada
bagian bawah, ataupun terjadinya hipoksia. Pada pemeriksaan auskultasi,
seringkali ditemukan adanya rales atau ronki pada seluruh lapang paru.
Pneumonia sendiri merupakan diagnosis klinis sehingga perlu untuk
dipertimbangkan riwayat pasien, temuan pemeriksaan fisik, tes tambahan, dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi. Pada anak dengan
kecurigaan pneumonia dapat dilakukan pemeriksaan CBC, elektrolit, tes fungsi
ginjal atau hari, serta kultur darah. Dapat dilakukan juga pemeriksaan tes
sputum BTA untuk menyingkirkan diagnosis TB anak.
Pada anak dengan pneumonia, dapat diberikan manajemen suportif dan
simptomatik dimana penting untuk memberikan oksigen tambahan untuk
hipoksia, antipiretik untuk demam, dan cairan untuk dehidrasi. Jika dicurigai
adanya pneumonia bakteri, dapat diberikan tatalaksana antibiotik empiris,
seringkali diberikan antibiotik dengan golongan sefalosporin generasi ketiga.
Pneumonia atipikal yang seringkali terjadi pada bayi usia 1-3 bulan dapat
diberikan eritromisin atau klaritromisin.
Prognosis dari pneumonia dikatakan baik dimana pneumonia virus
umumnya dapat sembuh tanpa pengobatan. Gejala sisa jangka panjang juga
dikatakan jarang terjadi.22
1.8.2 Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah salah satu infeksi paru-paru yang umum terjadi pada
anak-anak. Infeksi virus tersebut melibatkan saluran pernapasan bawah yang
seringkali muncul dengan adanya tanda-tanda gangguan pernapasan ringan
hingga sedang. Etiologi yang paling sering menyebabkan bronkiolitis adalah
virus. Penyebab paling umumnya adalah RSV adau Respiratory syncytial virus.
Bronkiolitis paling sering terjadi pada anak-anak kurang dari 2 tahun.
Dilaporkan bahwa sekitar kurang lebih 11-15% terjadi pada tahun pertama
kehidupan. Terdapat beberapa faktor resiko yang dipikirkan dapat
meningkatkan resiko terjadinya bronkiolitis seperti adanya riwayat
prematuritas, usia dibawah 3 bulan, penyakit neuromuskular, penyakit jantung
bawaan, penyakit paru-paru kronis, dan adanya immunodefisiensi.
Gambaran utama dari bronkiolitis yaitu batuk disebabkan karena adanya
obstruksi jalan napas dan berkurangnya komplians paru. Virus yang
menginfeksi sel epitel di saluran udara dan menginduksi reaksi peradangan
tersebut menyebabkan terjadinya disfungsi dari silia. Edema dari saluran napas
dan penumpukan debris kemudian akan menyebabkan terjadinya pelepasan
sitokin dan kemudian menimbulkan gejala serta penurunan komplians paru.
Sehingga pasien kemudian akan mencoba untuk mengatasi gejala tersebut
dengan bernafas dengan lebih keras.
Pada pasien dengan bronkiolitis, seringkali datang dengan adanya
keluhan batuk, demam, dan rinorea. Dalam 48-72 jam, anak seringkali
mengalami obstruksi jalan napas kecil yang menyebabkan adanya gejala
gangguan pernapasan. Pada pemeriksaan fisik, seringkali ditemukan adanya
ronki dan mengi. Selain itu, dapat ditemukan juga adanya takipnea ataupun
retraksi berat, bayi merintih, dan adanya sianosis. Perjalanan dari penyakit
bronkiolitis dikatakan dapat berlangsung selama 7-10 hari. Dalam menegakkan
diagnosis dari bronkiolitis, perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Selain itu, penting juga untuk dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium dan imaging untuk menyingkirkan penyebab atau
etiologi lainnya.
Tatalaksana dari bronkiolitis meliputi pemberian terapi simtomatik.
Semua bayi dan anak yang terdiagnosis dengan bronkiolitis perlu diperhatikan
adanya tanda-tanda gangguan pernapasan, hipoksia, serta kecukupan hidrasi.23
1.8.3 Pertussis
Pertusis adalah infeksi pernafasan yang disebabkan oleh bordetella
pertussis. Pertussis diartikan sebagai batuk hebat. Pertussis juga seringkali
disebut sebagai “batuk 100 hari”. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kasus
dari pertusis pada anak yang dilaporkan semakin lama semakin meningkat
dimana sebagian besar disebabkan karena kekebalan tubuh remaja dan orang
dewasa yang berkurang. Dikatakan bahwa 38% kasus terjadi pada bayi di bawah
6 bulan, dan 71% pada anak dibawah 5 tahun. Di Indonesia sendiri, tercatat
sekitar 5.643 kasus yang dilaporkan.
Pertusis disebabkan oleh Bordetella Pertussis dan Bordetella
parapertussis. Bordetella ditransmisikan melalui udara. Manusia merupakan
satu-satunya reservoir dari Bordetella. Terdapat beberapa faktor resiko yang
meningkatkan resiko terjadinya pertusis pada anak seperti adanya imunisasi
yang tidak lengkap, serta adanya kontak dekat dengan individu yang terinfeksi
oleh pertussis. Bordetella pertusis yang ditransmisikan melalui droplet
kemudian akan menyebabkan terjadinya kolonisasi dan multiplikasi dari bakteri
pada selaput lendir pernapasan.
Gambaran klinis yang muncul pada pasien dengan pertusis umumnya
bergantung pada fase pasien datang. Pertussis sendiri meliputi 3 fase yaitu fase
catarrhal, paroxysmal, dan convalescent. Pada fase catarrhal, pasien seringkali
hanya memunculkan gejala seperti infeksi saluran pernapasan atas seperti
demam, kelelahan, dan rinore. Pada fase paroxysmal, gejala khas yang muncul
adalah adanya batuk staccato dan resolusi dari demam. Pasien akan mengalami
batuk berulang dan diikuti dengan inspirasi kuat atau yang disebut dengan
whooping cough. Pada fase convalescent yang merupakan fase pemulihan,
pasien umumnya datang dengan adanya batuk residual yang dapat bertahan
hingga beberapa minggu.24-26
Dalam mendiagnosis pertussis, penting untuk dilakukan anamnesis serta
pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik, seringkali anak tampak sianotik dan
juga dapat mengalami muntah. Berdasarkan WHO dan CDC, terdapat kriteria
diagnosis yang dapat digunakan dalam mendiagnosis pertusis yaitu adanya
batuk yang menetap setidaknya 2 minggu dengan satu atau lebih ciri lainnya:
- Batuk paroxysmal
- Inspiratoy whooping
- Posttussive vomiting
Selain itu, berdasarkan pemeriksaan laboratorium, harus didapatkan hasil positif
PCR dan positive paired serology.
Tatalaksana medikamentosa yang dapat diberikan adalah pemberian
eritromisin dengan dosis 40-60 mg/ kg / hari dibagi kedalam 2-3 kali pemberian
selama 7-14 hari. Penting juga untuk diberikan terapi suportif lainnya seperti
pemberian oksigen dan hidrasi yang cukup.27
1.9 Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis pada anak memiliki beberapa bagian penting terutama
medis dan profilaksis. Anak dengan tuberkulosis diobati, dan anak sehat yang pernah
kontak dengan penderita tuberkulosis atau anak yang menderita tuberkulosis diberikan
pengobatan profilaksis.17
1.9.1 Medikamentosa
Tatalaksana medikamentosa pada TB anak meliputi pemberian 4 macam
obat anti tuberkulosis atau OAT. Pemberian 4 macam OAT sendiri hanya
diberikan pada anak dengan pemeriksaan BTA positif, TB berat, dan TB tipe
dewasa. Terapi TB pada anak dengan menggunakan panduan INH, Rifampisin,
dan Pirazinamid. Pemberian 3 macam OAT diberikan pada fase inisial atau 2
bulan pertama dan diikuti pemberian rifampisin dan INH pada 4 bulan fase
lanjutan.
Pirazinamid 35 (30-40)
Etambutol 20 (15-25)
Terdapat beberapa efek samping dari pemberian obat-obat OAT pada
anak. Perlu diperhatikan pemberian rifampisin sendiri yang memiliki efek
samping pada gastrointestinal, adanya reaksi pada kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, dan menyebabkan cairan tubuh
berubah menjadi warna oranye. Isoniazid juga memiliki beberapa efek samping
yang seringkali menyebabkan hepatitis, neuritis perifer, dan hipersensitivitas.
Pirazinamid juga merupakan obat yang hepatotoxic, serta dapat menyebabkan
juga terjadinya arthralgia dan gangguan pada gastrointestinal. Etambutol
seringkali menyebabkan terjadinya neuritis optik, ketajaman mata yang
berkurang, serta menyebabkan kebutaan warna merah hijau.
Pemberian tatalaksana OAT pada TB anak bergantung terhadap jenis
TB yang diderita. Dimana pada pasien dengan TB klinis, kelenjar dan pasien
dengan efusi pleura TB diberikan tatalaksana 2RHZ pada fase intensif, dan 4RH
pada fase lanjutan. Sedangkan pasien anak yang terkonfirmasi dengan TB
secara bakteriologis, TB paru dengan kerusakan luas, TB ekstra paru (selain TB
meningitis dan TB tulang dan sendi) diberikan tatalaksana 2RHZE pada fase
intensif dan 4RH pada fase lanjutan. Pada pasien anak dengan TB tulang atau
sendi, TB milier, serta TB meningitis diberikan terapi OAT 2RHZE
pada fase intensif, dan 10RH pada fase lanjutan.
TB Klinis
TB Kelenjar 2 RHZ 4 RH
Efusi pleura TB
TB terkonfirmasi 2 RHZE 4 RH
bakteriologis
TB Tulang/ sendi
TB Millier 2 RHZE 10 RH
TB Meningitis
1.9.2 Non-Medikamentosa
Selain pemberian terapi medikamentosa, penting juga untuk
memberikan terapi non-medikamentosa pada pasien. Salah satu yang penting
untuk diperhatikan adalah status gizi pada anak dimana status gizi
mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB. Malnutrisi berat dikatakan
meningkatkan resiko kematian. Penting untuk memperhatikan mikronutrien
dikarenakan hal tersebut penting untuk kekebalan tubuh terhadap tuberkulosis.
Vitamin D penting untuk fungsi dari makrofag dan fagositosis, vitamin A
digunakan untuk mengatur imunitas. Selain itu, penting untuk memperhatikan
vitamin E untuk antioksidan. Zinc juga memiliki efek pada imunitas.30
1.9.3 Profilaksis
Terdapat beberapa terapi profilaksis yang dapat diberikan pada anak.
Salah satu yang paling sering diberikan adalah pemberian vaksin BCG. Vaksin
BCG merupakan vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Vaksinasi BCG direkomendasikan pada anak yang
tinggal pada area endemik TB dan memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar
TB. Dosis tunggal dapat diberikan pada semua bayi.31
Selain pemberian vaksinasi, pada anak < 5 tahun yang serumah atau
kontak dekat dengan orang TB atau pada anak-anak dengan infeksi laten TB,
dapat diberikan terapi IPT atau terapi preventif isoniazid. Terapi ini dapat
diberikan dengan dosis 10 mg/kg/ hari dalam kisaran 7-15 mg/ kg, dengan dosis
maksimal 300 mg/ hari. Selain pemberian isoniazid 6 bulan, terdapat juga
regimen pemberian INH sekali sehari selama 9 bulan. Selain itu, terdapat juga
regimen pemberian INH dan rifampisin sekali sehari selama 3-4 bulan atau
pemberian kombinasi rifapentin dan INH seminggu sekali selama 3 bulan yang
direkomendasikan pada pasien dengan kontak serumah usia 2-4 tahun, dan
kontak serumah usia > 5 tahun. Pemberian INH dan kombinasi rifampisin dapat
diberikan dengan dosis INH 10 mg/kgBB/ hari dan rifampicin 10 mg/kgBB/
hari. Pemberian kombinasi INH dengan rifapentin dapat diberikan dengan dosis
INH 15 mg/kgBB dan rifapentin dengan dosis bergantung pada berat badan,
dimana anak dengan berat 10-14 kg diberikan 300mg, 14,1-25 kg diberikan 450
mg, 25,1 - 32 kg diberikan 600 mg, 32,1 - 49,9 kg diberikan 750 mg, dan >50
kg diberikan 900 mg.31
Pada anak laten TB dengan HIV AIDS dengan usia < 2 tahun dapat
diberikan tatalaksana menggunakan isoniazid selama 6 bulan atau dengan
menggunakan isoniazid dengan rifampisin selama 3 bulan. Sedangkan pada
anak laten TB dengan HIV AIDS usia > 2 tahun dapat diberikan tatalaksana
isoniazid selama 6 bulan atau isoniazid dengan rifapentine selama 3 bulan.31,32
5 ODHA Usia ≥
v v
2 tahun
6 Kelompok resiko
v
lainnya
1.10 Prognosis
Tingkat mortalitas pada anak dengan tuberkulosis yang tidak diberikan
tatalaksana yang tepat dapat mencapai sekitar 50% dari populasi. Sedangkan pada
pasien anak yang terdiagnosis dini dan diberikan tatalaksana yang tepat, prognosis
umumnya baik. Berdasarkan beberapa penelitian, dikatakan juga bahwa terapi
pencegahan juga umumnya dapat mengurangi kemungkinan berkembangkan penyakit
TBC selama masa kanak-kanak.17
1.11 Komplikasi
Komplikasi dari TB pada anak umumnya terjadi karena adanya reaksi inflamasi
dan terjadinya pembesaran kelenjar limfe. Seringkali terjadi penyumbatan saluran
udara kecil dikarenakan terjadi penekanan yang kemudian dapat bermanifestasi
menjadi batuk berlebih, mengi, ataupun dyspnea. Kelenjar limfe juga dapat mengalami
nekrosis dan menyebabkan erupsi ke jalan napas dan menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia dan bermanifestasi menjadi batuk, dispnea, malaise, dan demam.
Selain itu, reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi dan seringkali terjadi juga efusi
pleura yang kemudian memicu terjadinya gejala-gejala seperti nyeri dada, demam, dan
penurunan daya tahan tubuh.33
1.12 Edukasi
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA