Anda di halaman 1dari 36

TINDAK PIDANA PERKAWINAN (TIPIKA) DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS SEDERHANA,

CEPAT, BIAYA RINGAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kamil Amrulloh
Fakultas Hukum Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, Indonesia
Wakil ketua Pengadilan Agama Nanga Pinoh Kalimantan Barat
E-mail: narohikmah@gmail.com

ABSTRACT
The handling of cases in the judicial system in Indonesia related to law
enforcement in cases of criminal acts of marriage really needs to be reviewed.
Because the handling of cases with a system which is a legacy of Dutch colonialism
and which has become obsolete is a legal stagnation. This system still enforces the
separation of the process of handling criminal cases with cases of civil marital
disputes which are the source of the emergence of the criminal act of marriage, while
the progress of the sociology of law has arrived at the opinion of the types of
handling cases in law.
The purpose of this study was to determine the extent to which the
handling of criminal cases of marriage is associated with the justice system in
Indonesia in the perspective of simple, fast and low-cost justice principles.
The research method used is a normative juridical research method,
namely research based on statutory provisions accompanied by supporting elements
in the form of legal comparisons, literature studies and strengthened by research
data in the field.
The results of the study indicate that the current judicial system in
Indonesia in handling cases of criminal acts of marriage, whose handling must be
based on the principles of a simple, fast and low-cost judicial system is felt to be very
ineffective and efficient so that it does not fulfill the sense of justice for justice seekers
and the parties involved. related. Thus there must be a progressive change to the
judicial system in Indonesia in the perspective of the lex specialist on marital crimes.
This is because disputes in the Marriage law itself are special, confidential, sensitive
and closed to the public.

Keyword : Article. the perspective of the principle of justice is simple, fast and
low cost. the justice system in Indonesia. separation of the process
of handling criminal cases from civil disputes. sociology of law.
family law.

ABSTRAK
Penanganan perkara dalam sistem peradilan di Indonesia terkait
penegakan hukum dalam perkara tindak pidana perkawinan sangat perlu untuk
ditinjau ulang. Sebab penanganan perkara dengan sistem yang merupakan
warisan peninggalan kolonialisme Belanda dan yang telah usang adalah
kemandekan hukum. Sistem ini masih memberlakukan pemisahan proses
penangananan perkara pidana dengan perkara sengketa perdata perkawinan yang
menjadi sumber munculnya tindak pidana perkawinan tersebut sementara
kemajuan ilmu sosiologi hukum telah sampai pada pendapat penjenisan
penanganan perkara dalam hukum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penanganan
perkara tindak pidana perkawinan dikaitkan dengan sistem peradilan di Indonesia
dalam perspektif asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
1│ ISSN 2715-9698 (online)
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis


normatif yaitu penelitian didasarkan atas ketentuan perundang-undangan disertai
elemen pendukung berupa perbandingan hukum, kajian kepustakaan dan
dikuatkan dengan data penelitian di lapangan.
Hasil penelitian memberikan petunjuk bahwa sistem peradilan di
Indonesia saat ini dalam penanganannya terhadap perkara tindak pidana
perkawinan, yang penanganannya harus berdasarkan asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan dirasakan sangat tidak efektif dan efisien sehingga tidak
memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan dan para pihak yang terkait.
Dengan demikian haruslah ada perubahan progresif terhadap sistemik peradilan
di Indonesia dalam perspektif lex spesialis tindak pidana perkawinan. Hal ini
disebabkan karena sengketa dalam hukum Perkawinan sendiri bersifat spesial,
rahasia, sensitif dan tertutup untuk umum.

Kata Kunci: Artikel perspektif asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan. sistem peradilan di Indonesia. pemisahan proses
penangananan perkara pidana dengan perkara sengketa perdata.
sosiologi hukum.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keadilan adalah tempat bernaung bagi jiwa-jiwa yang hidup. Karena jiwa yang mati
bersifat apatis terhadap dirinya sendiri apatah lagi terhadap lainnya, itulah sebabnya setiap
orang menginginkan keadilan tegak dalam sendi-sendi kehidupannya. Karena tanpa
keadilan kepentingan tiap orang akan beradu-bantah dengan lainnya dan menyebabkan
anarki kepentingan. Demikian pula dalam hukum perkawinan yang mana menjadi tempat
bernaungnya dua individu yang berbeda latar belakang, sifat, karakter hanya kesamaan visi
dalam menegakkan hak-hak rumah tangga yang mereka miliki;
Rumah tangga pada dasarnya tempat untuk membangun keluarga yang bahagia,
harmonis dan sejahtera sebagai hak asasi pokok manusia untuk melanjutkan
kehidupannya, keturunannya sebagai legacy dan wujud eksistensinya di dunia1.
Perkawinan2 sebagai lembaga hukum yang memberikan wadah bagi terciptanya
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang
sah dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terlebih lagi jika perkawinan sebagai diartikan
pernikahan secara agama islam dimana ikatan pria dan wanita tersebut hanyalah bertujuan
untuk mentaati perintah Allah dan menjauhi larangnya dalam menjalani kehidupan rumah
tangga sehingga perkawinan berarti ibadah.
Dalam prakteknya lembaga perkawinan secara mayoritas berhasil mewujudkan
keharmonisan dan kebahagiaan bagi masing masing pasangan bahkan mampu
mewujudkan tujuannya3 mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah namun banyak pula yang mengalami keretakan yang besar yang tidak bisa
ditambal sulam seperti halnya kaca yang retak sulit untuk di kembalikan ke bentuk aslinya,

1
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A, Pasal 28B.
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.
3
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

sehingga usaha perdamaian apapun alih-alih menjadi solusi untuk mempersatukan dua hati
yang retak malah menambah dalamnya rasa sakit yang dialami kedua pasangan suami istri.
Pemerintah Indonesia dengan rasa syukurnya yang amat dalam sebagaimana
termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa telah mengatur bagaimana tegaknya keadilan bagi setiap orang
yang yang terkait dalam hukum perkawinan sebagaimana diundangkannya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum
Islam, bahkan sebelumnya telah terbit undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Nikah Talak Cerai Rujuk.
Guna menegakkan hukum dan keadilan 4 Mahkamah Agung berlaku sebagai
pelaksana kekuasan kehakiman. Dibawah Mahkamah Agung terdapat empat macam
peradilan dan peradilan lain sesuai dengan undang-undang berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945 berikut amandemen kedua BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 D5
hukum perkawinan yang sah adalah hak setiap orang untuk melestarikan keturunan yang
menghasilkan hukum perlindungan dan hak bagi anak untuk tumbuh dan berkembang
serta jauh dari kekerasan secara fisik dan psikis. Kekuasaan kehakiman guna menegakkan
hukum dan keadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan empat peradilan
dibawahnya.6 Diantara empat tersebut dua lingkungan peradilan menyelenggarakan
peradilan yang berkaitan dengan hukum perkawinan yaitu peradilan Agama dan Peradilan
Umum.
Pada umumnya kasus-kasus berkaitan dengan hukum perkawinan yang diajukan
pada peradilan Agama7 dan Peradilan Umum8 berupa gugat perceraian, cerai talak
pembatalan nikah, dispensasi yang kesemuanya merupakan perkara perdata yang hanya
berkaitan erat dengan bagaimana status hukum dari person yang mengajukan gugatan atau
permohonan berikut lawannya.
Namun selain sisi-sisi perdata dalam kasus-kasus terkait hukum perkawinan secara
praktek pada dua pengadilan tersebut terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum yang
secara nyata melanggar hukum dan keadilan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan
hukum perkawinan yang berada diranah pidana. Seperti pernikahan yang tidak dicatatkan
di KUA, poligami yang tidak meminta izin ke Pengadilan Agama, Pemalsuan dokumen
pernikahan, Kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lainnya, yang mana hal-hal tersebut
termasuk dalam kategori misdrijven dan atau overditredingen yang mana di satu sisi sebagai
perbuatan melawan hukum disisi lain berakibat pada terabaikannya hak-hak pihak-pihak
yang terkait dengan perbuatan itu sebagai bagian dari sebab dan akibat hukum yang
dilanggar.
Perkawinan adalah sebagai lembaga kehormatan untuk memunculkan generasi-
generasi bangsa yang unggul dan berperadaban tinggi, yang merupakan benteng dan istana
bagi pencegahan perembesan nilai-nilai buruk bagi calon pemuda-pemudi bangsa bahkan
tempat pembibitan nilai-nilai luhur seharusnyalah disematkan kepadanya hukum yang lex
special yang mencegah pelanggaran dan menjamin tegaknya sendi-sendi perkawinan yang
luhur.
Secara de jure kenyataan hukum perkawinan yang saat ini diampu oleh Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat paling tidak terdapat dua pasal

4
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24.
5
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B.
6
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 junto Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 Pasal 1 dan Pasal 18.
7
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang diubah pertama dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 49.
8
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
27 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

tentang ketentuan pidana yang bahkan tidak tercantum dalam undang-undang perkawinan
sebagai groundnorm hukum perkawinan tetapi dalam aturan pelaksananya Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.9
Disamping inkonsistensi dalam ketegasan penetapan ketentuan pidana diatas,
terdapat pula beberapa tindak pidana yang bersifat rechtdelicten terhadap hukum
perkawinan yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut, meskipun ada yang
tersebar dalam undang-undang lainnya seperti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KUHP Pasal 279 tentang
pelanggaran atas perkawinan karena ada penghalang dari perkawinan lainnya Pasal 351
tentang Penganiayaan dan pernikahan terhadap anak dibawah umur terkait pasal 7 ayat (1)
undang-undang perkawinan, dapat menimbulkan efek negatif dalam penegakan hukumnya.
Kondisi hukum perkawinan di Indonesia yang tidak mempunyai ketegasan dalam
sistem pemidanaannya berikut sanksi pidana terhadap pelanggaran hukum terhadapnya
berimplikasi pada rapuhnya keadilan pada realitas penegakan hukum pidana perkawinan
di negara Indonesia bahkan berimbas pada banyaknya kondisi perkawinan pada
masyarakat Indonesia - yang secara umum berasaskan budaya partiarkal dan sebagian kecil
lain matrialkal – menjadikan akar budaya tersebut sebagai ‘legitimasi’ pelanggaran-
pelanggaran hukum terhadap hukum perkawinan, seperti pandangan semena-mena praktik
poligami liar (tidak berdasarkan undang-undang), kekerasan dalam rumah tangga dalam
berbagai bentuknya (dikecualikan dalam hal ini kekerasan verbal/ cekcok) dan pemalsuan
identitas perkawinan dan lainnya. Realitas yang demikian, sangat memprihatinkan
mengingat akar budaya bangsa Indonesia merupakan budaya timur yang menjunjung tinggi
adab dan kesopanan. Oleh karenanya perbuatan-perbuatan anarkhi-anarkhi tersebut
merupakan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat pidana yang pada realita sosial
kemasyarakatan terjadi secara ‘rahasia umum’ dalam praktek hukum perkawinan di negara
Indonesia.
Kita dapat sebut anarkhi tersebut sebagai feiten, timbul baik yang disebabkan oleh
budaya yang sudah tidak mengikat atau tumpulnya sensifitas moral maupun disebabkan
oleh pembacaan (tafsir) religi yang kurang mendalam dalam memahami kontekstualisasi
teks yang dalam hal ini seperti pendapat dari sebagian orang pelajar fiqh10 tentang sahnya
pernikahan diluar yurisdiksi instansi yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama
setempat. Tindakan semacam ini dan selainnya, banyak dijumpai dalam masyarakat
Indonesia sebagai anggapan kelumrahan (udzrun). Semakin memperburuk keadaan saat
mana para pelaku feiten tersebut mendapat izin dari orang yang mereka sebut ustadz disaat
yang sama para pelaku hanya mengambil keuntungan dengan keberadaan ustadz-ustadz
yang berpendapat bolehnya tindakan tersebut. Feiten yang demikian dan selainnya (yang
akan Penulis kaji) banyak ditemui pada banyak tempat di Indonesia, sebagian indikasinya
masih adanya pengajuan isbat nikah terhadap perkawinan diatas tahun 1974 yang diajukan
pada Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.

9
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 45 menyatakan :
1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka :
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan
Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran..
10
Pelajar fiqh atau disebut dalam bahasa Inggris Islamic traditional scholar, penulis menyebut demikian
disebabkan karena orang-orang yang berpendapat demikian belum sampai pada derajat mufti tsabit (para cendekiawan
muslim yang luas pemahaman fiqh dan siyasah islam dan diakui sebagai mufti).
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Ketentuan pidana dalam kajian hukum perkawinan ditentukan pada Pasal 45


Peraturan Pemerintah Tahun 1975 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yang menetapkan tindak pidana terkait hukum perkawinan
merupakan pelanggaran. Hal ini disebabkan paradigma lama teorisasi hukum para
pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana11 (WvS), berusaha menemukan suatu
pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) menjadi rechtsdelicten menurut Memorie van Toelichting dalam
Lamintang, menunjuk pada sejumlah tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht”
hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelakunya memang pantas untuk
dihukum. Dan yang kedua wetsdelicten sejumlah tindakan-tindakan yang dinyatakan
pelakunya dapat dihukum setelah tindakan-tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan-
tindakan yang terlarang dalam undang-undang. Kedua pembagian jenis onrechtmatige daad
tersebut ternyata memberikan pengaruh pada para Pembentuk Undang-undang untuk
membaginya lagi menjadi misdrijven (kejahatan) dan Pelanggaran-pelanggaran
(overtredingen) sehingga terhadap penelitan ini penyebutan tindak pidana atas
onrechtmatige daad dalam hukum perkawinan menjadi tidak relevan.
Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran membawa
berbagai akibat hukum yang bersifat hukum material beberapa pokoknya dinyatakan oleh
Prof. Simons sebagai berikut : 12
1. Undang-undang telah tidak membuat suatu perbedaan antara opzet dan culpa di dalam
pelanggaran.
2. Percobaan untuk melakukan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum.
3. Keturutsertaan atau medeplichtigheid di dalam pelanggaran dapat dihukum.
4. Didalam pelaanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris itu
hanya dapat dihukum apabila pelanggaran itu terjadi dengan sepengetahuan mereka.
5. Di dalam pelanggaran itu terdapat ketentuan bahwa adanya suatu “pengaduan” itu
merupakan suatu syarat bagi penuntutan.
6. Jangka waktu kedaluwarsanya hak untuk melakukan penuntutan (Pasal 78 ayat 1
angka 1 KUHP) dan hak untuk menjalani hukuman (Pasal 84 ayat 2 KUHP) pada
pelanggaran itu pada umumnya lebih singkat.
7. Dan lainnya...
Dalam kesimpangsiuran term ini, suatu keberhasilan yang memberikan perbedaan
dalam kajian hukum di Indonesia tampak dari hasil pergulatan fikir para sarjana hukum
Indonesia tahun 2020an yang mencoba membangun kultur hukum Pidana Indonesia secara
original. Dimulai dari reformasi politik tahun 1998, perspektif para ahli hukum Indonesia
telah membuahkan hasil berupa RUU KUHP yang hingga karya ini ditulis masih belum pula
disahkan sebagai dasar hukum pidana nasional sebagai akibat dari pasal-pasal
kontroversial yang sedikit saja. Dalam RUU KUHP yang di bahas di DPR pada Tahun 2020
ternyata tidak lagi mengkualifikasi tindak pidana menjadi dua pengertian yaitu kejahatan
dan pelanggaran. Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP disebutkan bahwa RUU KUHP tidak
membedakan lagi antara tindak pidana/strafbaarfeit berupa kejahatan/misdrijven dan
tindak pidana pelanggaran/overtredingen tetapi untuk keduanya dipakai istilah tindak
pidana.13

11
Pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek
van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
12
Simons, Leeboek I h. 134 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang
Berlaku di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 211.
13
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-undang Pidana
Khusus, https://media.neliti.com.
29 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Pada bagian pertama permasalahan pemidanaan atas onrechtmatige daad pada


hukum perkawinan bertambah bebannya ketika hukum perkawinan bila berkaitan dengan
person yang beragama islam yaitu ketika hukum positif negara bertemu cengkram dengan
hukum dari fiqh klasik, hal mana fiqh klasik dalam kitab-kitab pembahasan perkawinan
tidak membahas tentang uqubah/penghukuman yang berakhir pemaknaannya kepada
pemidanaan dalam kaitannya dengan perkawinan menjadi tidak relevan untuk
diberlakukan.
Permasalahan ini perlu untuk dijawab sehingga proporsi term pada tindak pidana
yang terjadi dalam hukum perkawinan menjadi relevan dan secara logika hukum dapat
diterapkan sebagai delict tertentu (lex spesialis) yaitu delik perkawinan sehingga bila sudah
terjawab maka pemaparan bentuk-bentuk delik-delik perkawinan mendapatkan
relevansinya.
Sistem hukum dan peradilan di Indonesia menganut asas sederhana, cepat dan
biaya ringan sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 35
tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970.14 Asas ini
bertujuan agar proses peradilan berkesesuaian dengan pemenuhan hak asasi manusia
dalam bentuk kemudahan proses, efisiensi, efektivitas dan keringanan biaya.
Berkaitan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, ternyata perkara pidana
perkawinan merupakan satu jenis perkara yang bersinggungan erat didalamnya proses
penanganan secara sistem hukum privat (perdata) dan sistem hukum public (pidana). Hal
tersebut tampak pada terjadinya tindak pidana tersebut berkaitan erat dengan
keberlangsungan ikatan perkawinan antara pelaku dan korban. Pada satu sisi apakah
akibat dari proses penanganan tindak pidana perkawinan dalam sistem peradilan di
Indonesia masih diharapkan adanya rehabilitasi terhadap pelaku yang menghasilkan
perubahan sikap dan perilaku sehingga perkawinan masih dapat dilanjutkan atau disisi lain
merupakan puncak tertinggi perpecahan ikatan perkawinan yang bahkan mengakibatkan
perceraian.
Pada beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia terdapat sub
sistem hukum yang dipergunakan untuk menangani perkara perkawinan dengan segala
efeknya berkaitan perdata dan pidana. Mereka mengenalkan sub sistem tersebut sebagai
system hukum family law. Sementara di Indonesia meski telah merdeka sampai saat ini
telah berusia 76 tahun, sistem hukum di Indonesia masih memberlakukan sistem hukum
lama (era koloniaisme Belanda terhadap Indonesia), yaitu berkaitan dengan tesis ini, tetap
menangani pidana perkawinan secara terpisah perkara perdata perkawinan sehingga
dalam praktek di lapangan sering didengarkan suara-suara para pencari keadilan yang
menyatakan bahwa terhadap perkara perdata perkawinan yang diajukannya di pengadilan,
yang tersembunyi didalam perkaranya, tindakan pidana perkawinan, ternyata sistem
peradilan di Indonesia dirasakan berbelit-belit dan tidak sederhana. Hal tersebut bukan
dalam proses penanganannya tetapi terhadap pemisahannya pemeriksaan dan
penyelesaian perkara tersebut, walaupun demikian sistem tersebutlah yang legitimate
positivis dalam sistem peradilan di Indonesia.
Legal positivis dalam system peradilan di Indonesia yang berkaitan dengan
penanganan perkara tindak pidana perkawinan (tipika) yang menghendaki pada
praktiknya keharusan pemisahan (differensial) pemeriksaan dan penyelesaian perkara
tipika dengan perkara perdata yang menyertainya tersebut dirasakan bertambah berbelit-
belit ketika perkara aquo berhadapan dengan kompetensi kewenangan absolut antara
Pengadilan Negeri di satu sisi dalam penanganan tipikanya vis a vis Kompetensi

14
“Bahwa peradilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam penanganan sengketa perdatanya


sedangkan diketahui secara umum justru sengketa perdata yang menjadi sumber
terjadinya tipika tersebut, secara big majority ditangani dan merupakan lex spesialis
Pengadilan Agama di Indonesia.
Jika demikian halnya, terhadap penanganan perkara tipika dalam system peradilan
di Indonesia perlu diajukan pertanyaan apakah system peradilan pidana tersebut pada
masa kini telah cukup memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan ataukah
diperlukan keharusan perubahan?. Tentunya ini bukan pertanyaan yang diperlukan
jawaban saja, tetapi keharusan penyegeraan penegakannya pada system hukum dan
peradilan di Indonesia.
Berkaitan dengan urgensi perubahan sistem hukum, Prof. Satjipto Rahardjo
mempunyai solusi melalui teori hukum progresif yang beliau usung. Teori tersebut secara
radical merupakan teori yang lahir dari kekecewaan terhadap kondisi hukum di Indonesia
yang stagnan dan lemah. Teori hukum progresif merupakan suatu upaya filosofis hukum
untuk menyelesaikan karut marut kondisi hukum di Indonesia. Oleh karena itu teori hukum
progresif dapatlah dipergunakan sebagai instrument pergerakan penegakan hukum di
Indonesia secara umum maupun khusus sehingga sila kedua -kemanusiaan yang adail dan
berada- dan sila kelima -keadilan social bagi rakyat Indonesia- dapat dicapai dalam
perpektif sistem peradilan Indonesia yang baru dan progresif.
Suatu sistem hukum yang aplikatif dalam suatu negara seharusnya merupakan
sistem yang memenuhi tujuan hukum sebagaimana Gustav menyatakan tujuan hukum
adalah untuk memperoleh keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan. Supremasi hukum
yang kuat seharusnya diiringi tujuan hukum yang sama kuatnya sehingga tidak melahirkan
sistem hukum yang stagnan, beku, tidak humanis dan otoritarian.
Berdasarkan hal-hal diatas, Penulis berusaha meneliti bagaimana berlakunya asas
Asas Sederhana, Cepat, Biaya Ringan tersebut dalam sistem peradilan di Indonesia
dikaitkan dengan tindak pidana perkawinan, sehingga judul penelitian ini adalah Tindak
Pidana Perkawinan (Tipika) Dihubungkan Dengan Asas Sederhana, Cepat, Biaya Ringan
Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Penulis akan berusaha mengkaji dan meneliti
berdasarkan teori-teori yang akan dijelaskan didalam kerangka berfikir, bagaimana posisi
tindak pidana perkawinan (Tipika) dalam sistem peradilan di Indonesia dan bagaimana
praktis penegakan hukum atas tipika dikaitkan dengan asas hukum sederhana, cepat dan
biaya ringan dalam sistem hukum di Indonesia.
Perkawinan sebagai suatu lembaga hukum yang didasarkan atas hak asasi manusia
yang paling dasar yaitu hak untuk berkembang merupakan Lembaga yang dihiasi ikatan
suci yang bersifat transedental dan horizontal yang berimplikasi Lembaga tersebut
legitimate dalam dua ikatan tersebut, seharusnyalah bersifat harus dihormati (to respect)
dan dilindungi (to protect), dan pada posisi ini negara seharusnya hadir dan melayani (to
serve) dengan alat-alatnya dengan cara pembentukan undang-undang perkawinan yang
komprehensif dan membawa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kaitan tindak pidana perkawinan di Indonesia dengan sistem peradilan di
Indonesia ?
2. Bagaimana kaitan tindak pidana perkawinan di Indonesia dengan asas sederhana, cepat
dan biaya ringan dalam sistem peradilan di Indonesia ?
C. Kerangka Pemikiran.

31 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Kerangka pemikiran dalam membahas dan memecahkan persoalan dalam suatu


penelitian dengan menggunakan dasar-dasar teori berkaitan dengan penelitian dalam hal
ini teori-teori hukum serta teori-teori yang berkaitan dengan objek penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian terhadap hukum pidana secara penelitian
hukum normatif (yuridis normatif) yang obyek penelitiannya berupa norma hukum, konsep
hukum, asas hukum dan doktrin hukum. Penelitian yuridis normatif yang sesuai dengan
pengertian yang diusung oleh Cohen & Olson sebagai berikut : “Legal research is the process
of finding the law that governs activities in human society”,15 artinya “Penelitian hukum
adalah proses menemukan hukum yang mengatur aktivitas sosial masyarakat” Senada
dengan itu Mahmud Marzuki mengemukakan : ……. “bahwa penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. 16 Oleh karenanya penulis menguraikan
kerangka teori sebagai berikut :
Lembaga perkawinan di Indonesia sebagai lembaga tempat tumbuh dan
berkembangnya rakyat Indonesia guna membentuk sebuah Negara yang berperadaban
tinggi yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 beserta amandemennya.
Identitas lembaga perkawinan yang demikian penting bagi penyokong sumber daya
manusia yang unggul bagi sendi-sendi kebangkitan sebuah Negara tentunya hukum yang
menyokongnya tidak boleh dibiarkan lemah dan tidak berkekuatan, atau bahkan dianggap
sebagai formalitas belaka, karena sifat penting dari lembaga perkawinan menjadikan
hukum yang tersemat kepadanyapun harus bersifat lex spesialis yaitu bersifat keperdataan
namun terhadap kejahatan yang mengenainya dapat dieksekusi secara pidana.
Undang-undang sektoral tentang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tidak membahas tentang tindak kejahatan atas perkawinan namun pada
beberapa undang-undang yang lain dan Peraturan Pelaksanannya diadakan penegakan atas
kejahatan pelanggaran perkawinan, yaitu pada beberapa diantaranya:
1. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pasal 277-279, Pasal 280, BAB XIII KUHP tentang Asal-usul anak dan kejahatan dalam
perkawinan.
3. Pasal 436 BAB XXVIII KUHP tentang perkawinan atas perkawinan yang sah dan atas
halangan perkawinan, pejabat yang melaksanakan perkawinan dalam pasal ini.
4. Pasal 530 BAB IV KUHP tentang Pelanggaran Mengenai Asal-usul dan Perkawinan.
5. Pasal 284 BAB XIV KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan pergendakan dalam
perkawinan.
6. Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dan dari sisi praktek di Pengadilan terhadap pemalsuan buku nikah, akta cerai dan
akta lahir yang berkaitan dengan hak hadhanah atau kewarisan sebagai akibat dari
perkawinan dan perceraian, pasal di bawah ini berkaitan dapat digolongkan ke dalam
tindak pidana perkawinan yaitu:
7. Pasal 263-266 BAB XII KUHP tentang Pemalsuan Surat.
Jika ditinjau dari teori sebab akibat hukum, maka kejahatan terhadap anak yang
dilakukan salah satu atau kedua pihak suami-istri terhadap anak mereka pun dapat
digolongkan dalam tipika (tindak pidana perkawinan) yaitu :
8. Pasal 77-90 BAB XII Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

15
Morris L Cohen & Kent C Olson, “Legal Research in A Nutshell”, (St Paul Minn: West Publishing Co, 1992), hlm.
1.
16
Peter Mahmud Marzuki “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h lm. 35.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Dari sini justru tampak demikian lemahnya Undang-undang perkawinan tersebut


dalam membentengi hukum perkawinan yang sedang ia legitimasi dari kejahatan-kejahatan
yang dimungkinkan secara nyata akan berdampak kepadanya lembaga perkawinan.
Oleh karenanya penguatan dan perluasan hukum perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentu harus menjadi prioritas utama sehingga terwujud Sila
ke 2 tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, Kedaulatan Rakyat pada Pasal 1 ayat (2)
serta Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 A hingga J yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 amandeman ke 2.
Berpangkal dari kehidupan perkawinan setiap rakyat Indonesia yang terjamin
hukumnya, terlindungi hak dan kewajibannya, dan ketegasan hukum di dalamnya akan
menjadi hubungan timbale balik antara tujuan hukum secara umum tercapai dan hadirnya
negara dalam penegakan hukumnya terpenuhi.
Adapun pokok-pokok teori yang digunakan dalam penelitian ini, oleh penulis
dikualifikasikan sebagai berikut:
1. Teori yang berkualifikasi sebagai Grand Theory yang merupakan setiap teori yang
menjelaskan keseluruhan17 dari suatu sistem, yang dalam penelitian ini dimaknai
dengan teori yang menjelaskan asas keseluruhan pada sistem peradilan di Indonesia,
adapun Grand theory yang berkaitan dengan tesis ini yaitu :
- Teori Legalitas.
Teori Legalitas pada pokoknya memiliki makna empat makna yang
dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend diantaranya: 18
1. Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif/nullum
crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia);
2. Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum
kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta);
3. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege
certa/lex certa);
4. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum
crimen poena sine lege stricta/lex stricta).
2. Teori yang berkualifikasi sebagai Middle Theory, Adapun Middle Theory yang
digunakan pada penelitian ini sebagai berikut :
a. Teori Hukum Progresif.
Gagasan hukum progresif yang diusung oleh Satjipto Raharjo19 yang pada
prinsipnya bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan
perilaku (rules and behavior).20 Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa
hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.21 Berangkat dari asumsi dasar ini,
maka hukum progresif berpendapat kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar, itulah sebabnya ketika terjadi

17
Quentin Skinner, ed., The Return of Grand Theory in The Human Sciences, (Cambridge, 1985).
18
Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and The Subject Matter Jurisdiction of The International Criminal
Court, Genocide, crimes Against Humanity, War Crimes, (Leiden: Intersentia, 2001).
19
Dalam pidato untuk mengakhiri jabatan sebagai Guru Besar di FH UNDIP, Satjipto Rahardjo membacakan karya yang
sangat menarik dengan judul, “Mengajarkan Keteraturan, Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order, Finding Dis-
Order), Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan”, Pidato Emiritus Guru Besar UNDIP, 15
Desember 2000
20
Satjipto Rahardjo, “Menuju Produk Hukum Progresif” Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas yang
diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Juni 2004.
21
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1/No. 1/ April 2005,
PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hal. 5. Lihat juga Satjipto Rahardjo, “Hukum Dalam Jagat Ketertiban”, Jakarta, UKI Press, 2006,
Hal. IX.
33 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.22
b. Teori Sistem Hukum Family Law.
Teori system family law telah digunakan oleh beberapa negara maju dalam
hukum seperti United Kingdom/ Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Iran,
India, Malaysia dll. Family Law sebagaimana yurisprudensi-yurisprudensi pada
negara-negara tersebut -contohnya family law pada United Kingdom23 dan pada
Australia24 merupakan peradilan yang bersifat khusus (lex spesialis) terhadap
perkara-perkara dalam bidang perkawinan, meliputi sengketa perdata dan pidana
yang berkaitan secara khusus kepada keluarga yang bertujuan pokok melindungi
keluarga dan anak.
c. Teori Pemidanaan (Pemberian Ancaman Hukuman).
Teori paling dasar yang dari pengertiannya secara logika hukum turun teori-
teori pemidanaan lainnya, disebutkan oleh Anselm von Feuerbach, berpendapat
bahwa asas yang penting bagi pemberian ancaman pidana yakni setiap penjatuhan
pidana oleh hakim haruslah merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan
menurut undang-undang dengan maksud menjamin hak-hak yang ada pada setiap
orang.
d. Teori Nilai Dasar Hukum Gustav Radbruch.
Tujuan hukum yang banyak dipergunakan oleh para sarjana hukum
dikemukakan oleh Gustav Radbruch25 adalah mewujudkan kepastian hukum
(rechtszekerheid), keadilan (rechtsgerechtigheid), dan kemanfaatan
(rechtsutiliteit).
3. Teori yang berkualifikasi sebagai Applied Theory, merupakan kelanjutan dan sub-
teori dari Grand Theory yang berlaku sebagai teori yang bersifat aplikatif dalam sistem
hukum yang diteliti dalam hal ini adalah sistem hukum Indonesia sebagai berikut :
- Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia.
D. Metodologi Penelitian.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian yuridis
normatif. Pendekatan penelitian yuridis normatif dimaksudkan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) sebagai data primer dan bahan pustaka bersifat
hukum sebagai data sekunder. Oleh karena itu data yang dipergunakan adalah data yang
diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka, 26 demikian pula dengan
putusan-putusan pengadilan.
Bab II Hasil Penelitian
A. Kaitan Tindak Pidana Perkawinan Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Di
Indonesia.
A.1. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Di Indonesia.
A.2. Sistem Peradilan Di Indonesia
Sistem berasal dari Bahasa Yunani Sistema27 telah dirumuskan para ahli, diantara
rumusan yang memuaskan adalah Sudikno Mertokusumo memperjelas dalam ungkapan
umum sebagai suatu kesatuan yang utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-
22
Ibid.
23
https://www.legislation.gov.uk/ukpga/1996/27/contents
24
https://www.ag.gov.au/families-and-marriage/family-law-council
25
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk,
2002), hlm. 85.
26
Soerjono soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 13.
27
H. Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019), hlm. 9.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan kait mengkait. 28 lalu
penjelasan yang cukup dari Gabiel A. Almond yang mengartikan sistem sebagai suatu
konsep ekologis yang menunjukkan suatu organisasi yang berinteraksi dengan satu
lingkungan yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. 29 R.I. Ackof menambah
kejelasan sistem sebagai entity conceptual or physical, wich concists of interdependent
parts.30 Muladi, Seorang ahli hukum Indonesia mempertegaskan dan memperjelas lagi,
bahwa sistem harus dilihat dalam konteks , baik sebagai physical sistem dalam arti
seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai
abstract sistem dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang
satu sama lain saling ketergantungan.31
Rumusan ini semakin rinci di perkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, sistem
hukum dibagi menjadi tiga bagian atau komponen 32 yaitu pertama, Komponen Struktural
contohnya legislative, pengadilan dan berbagai badan dan Lembaga yang memberlakukan
hukum, kedua, Komponen Substansi contohnya peraturan-peraturan, kaidah hukum, 33
jurisprudensi, ketiga, Komponen Budaya Hukum contohnya keseluruhan nilai social,
ideologi cita negara, interaksi rakyat terhadap hukum.
Negara hukum Indonesia sebagaimana amanat Undang-undang Dasar 1945 beserta
amandemennya, meletakkan dasar Justice Sistemnya berdasarkan unsur-unsur teori negara
hukum, berdasarkan pedoman dasar hukumnya yaitu Undang-undang Dasar 1945 beserta
amandemennya dan KUHAP, pada unsur-unsur sebagai berikut:
1. Legislatif.34
2. Pelaksana Undang-undang (polisi, jaksa, Pengadilan, dan penjara).
3. Seperangkat peraturan yang menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia
diantaranya Lembaga bantuan hukum (yang akan dipaparkan pada bagian
penyelidikan polisi).
Salah satu unsur sistem hukum/ peradilan Indonesia bagian peradilan, setelah
reformasi 1998 Undang-Undang membuat formasi peradilan modern sebagai wujud prinsip
the rule of the law and not of man yang sejalan dengan pengertian nomocratie yang berarti
kekuasaan dijalankan oleh hukum, maka tugas kehakiman berdasarkan Undang-Undang
1945 beserta amandemennya Pasal 24 ayat 2 kekuasaan Kehakiman di lakukan oleh
Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan dibawahnya ….. serta pengadilan-
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan badan peradilan tersebut dan sebuah
Mahkamah Konstitusi yang wewenangnya diatur dalam Pasal 24 C tentang pengujian
undang-undang terhadap undang-undang Dasar, sengketa antar Lembaga negara,
pembubaran partai politik dan hasil pemilu, oleh karena tidak ada relevansinya dalam
penelitian ini maka tidak perlu dibahas.
Adapun penelitian ini berjudul TINDAK PIDANA PERKAWINAN DIHUBUNGKAN
DENGAN ASAS SEDERHANA, CEPAT, BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN DI
INDONESIA, berkaitan erat dengan sistem peradilan pidana dan sistem peradilan perdata,
pada dua badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan
Agama, sedangkan badan pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara tidak
memiliki kaitan dengan penelitian ini, sebabnya itu tidak dibahas lebih lanjut.

28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 31.
29
Ali Mufiz, Sistem Administrasi Negara, (Jakarta: Karunika, 1985), hlm. 137.
30
Philips DC, Holistic, Thought In Social Science, (California: Stanford University Press, 1988), hlm. 60.
31
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP. UNDIP, 1995), hlm. 3.
32
Agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 1986), hlm. 5.
33
H. Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana…. Op. Cit. hlm 14.
34
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP -Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2014), hlm. 90.
35 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Sistem peradilan yang dijalankan Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama yang
berkaitan dengan perkara ini adalah dua sistem yaitu sistem peradilan pidana dan sistem
peradilan perdata, berikut tinjauan umum kedua sistem tersebut:
Pengadilan-pengadilan yang masuk dalam sistem peradilan di Indonesia menurut
undang-undang antara lain:
I. Lembaga hukum tertinggi
1. Mahkamah Agung: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang diubah dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 yang diubah yang kedua dengan Undang-
undang nomor 48 Tahun 2009.
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun Mahkamah Konstitusi.
II. Badan dibawah Mahkamah Agung
1. Peradilan Umum, meliputi:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor
8 Tahun 2004 dan diubah yang kedua dengan Undang-undang Nomor 49 Tahun
2009 tentang Peradilan Umum.
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang diubah dengan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak.
3. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
5. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.
7. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang didalamnya diatur Pengadilan Niaga.
8. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yaitu didalamnya diatur
tentang Pengadilan Perikanan.
2. Peradilan Agama, meliputi:
1. Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama (Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah yang
kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama).
2. Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (Pasal 2 Undang-
undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
3. Peradilan Militer
Diselenggarakan pada Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer (Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer).
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Diselenggarakan pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah yang kedua dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
1. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.
Sistem peradilan pidana di Indonesia digariskan oleh KUHAP merupakan “sistem
terpadu” (integrated criminal justice sistem) yang diletakkan diatas landasan prinsip
diferensiasi fungsional diantara apparat penegak hukum sesuai deng “tahap proses
kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Berdasarkan
kerangka landasan dimaksud aktivitas pelaksanaan criminal justice sistem, merupakan
“fungsi gabungan” dari:35

35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…., Op. Cit. hlm. 90
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

1. Legislator
2. Polisi
3. Jaksa
4. Pengadilan.
5. Penjara serta badan lain yang berkaitan.
Dengan demikian, system peradilan Pidana dilaksanakan oleh empat fungsional
utama yaitu:
a. Legislator sebagai fungsi pembuatan peraturan dan Undang-undang.
a. Fungsi ini dilakukan oleh DPR dan dibantu Pemerintah atau badan lain
berdasarkan ketentuan Undang-undang seperti Mahkamah Agung yang
dapat menetapkan Aturan ke dalam institusinya berkaitan dengan hukum
acara atau bila terjadi kekosongan hukum dalam bentuk SEMA, PERMA, dan
seperti hal demikian yakni Kepolisian yang dapat menerbitkan perkapolri
dll.
b. Polisi sebagai aktivitas penegakan hukum garda pertama.
Polisi, dalam KUHAP dalam system terpadu differensi fungsional menspesialisasi
Polisi sebagai “penyelidik tunggal”36 yang berfungsi melaksanakan:
1) Tindakan Preventif, yaitu mencegah masyarakat melakukan tindak pidana,
melaksanakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai Pasal 3 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
2) Tindakan Penyelidikan Dan Penyidikan.
a) Penyelidik adalah semua pejabat polisi Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP) yang
memiliki kewajiban:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Dalam Undang-undang membagi dua kelompok pelapor:
b. Orang yang “berhak” melapor atau mengadu yaitu setiap orang yang
mengalami, melihat, menyaksikan, menjadi korban tindak pidana.
c. Orang yang “wajib” melapor atau mengadu yaitu, setiap pegawai negeri
dalam rangka melaksanakan tugas mengetahui tentang terjadinya peristiwa
pidana, dan orang yang mengetahui adanya pemufakatan jahat untuk
melakukan tindakan pidana atas ketentraman, keamanan umum, jiwa, hak
milik.
Nilai kewajiban lapor disini bersifat moral dan tidak ada sanksi atas tidak
melaksanakan kewajiban melapor37, dalam masalah ini (berkaitan dengan
the rule of law) penulis tidak sependapat, seharusnya ada sanksi meski
berupa kewajiban moril maupun denda.
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
5. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
6. Penangkapan, sesuai Pasal 17 dilaksanakan dengan alasan:
- Adanya dugaan keras tersangka melakukan pidana,
- Adanya dugaan keras tersebut didasarkan pada permulaan bukti yang
cukup. “permulaan bukti yang cukup” dalam praktek dan teori, oleh
pembuat undang-undang diserahkan kepada penilaian penyidik, hal yang

36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…., Op. Cit. hlm. 366.
37
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…. Op. Cit. hlm. 119.
37 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

sama di Amerika dikenal dengan affidavit and testimony,38 yaitu pada


adanya bukti dan kesaksian. Pasal 19 ayat (1), Penangkapan ditentukan
batas waktu tidak lebih dari satu hari, apabila kondisi geografis tidak
mendukung secara praktek dilakukan Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (4),
“surat perintah membawa dan menghadapkan”. Terhadap pelanggaran
tidak ada penangkapan kecuali undang-undang mengecualikannya. Contoh
penahanan atas pelaku pasal 506 KUHP.
- Didasarkan untuk kepentingan “penyelidikan” dan “penyidikan”.
7. Penahanan, wewenang ini tidak hanya dilakukan oleh Polisi, tetapi termasuk
penuntut umum dan hakim (pengadilan) sesuai Pasal 1 ayat (21) dan masing-
masing mempunyai batas waktu secara “limitative” pada pasal 24 sampai 28
KUHAP yaitu:
No Pejabat Lama Pejabat Lama Jumlah
Penahanan Penahanan perpanjangan Perpanjangan
1.
Penyidik 20 Hari P. Umum 60 H
40 Hari
2. P. Umum 20 Hari Ket. PN 30 Hari 50 H
3. Hakim PN 30 Hari Ket. PT 60 Hari 90 H
4. Hakim PT 30 Hari Ket. PT 60 Hari 90 H
5. Hakim MA 50 Hari Ket. MA 60 Hari 110 H
Jumlah
400 H
Masa penahanan dalam table diatas, masih dimungkinkan diperpanjang lagi sesuai Pasal
2939 sebagai berikut:
No Pejabat Pejabat Jumlah Jumlah Jumlah
Penahanan perpanjangan perpanjangan perpanjangan
pertama kedua
1. Penyidik P. Umum 30 Hari 60 H
30 Hari
2. P. Umum Ket. PN 30 Hari 30 Hari 60 H
3. Hakim PN Ket. PT 30 Hari 30 Hari 60 H
4. Hakim PT Ket. PT 30 Hari 30 Hari 60 H
5. Hakim MA Ket. MA 30 Hari 30 Hari 60 H
Jumlah 300 H
Sehingga total maksimal penahanan 700 hari.
Jenis-jenis penahanan sesuai Pasal 22 ayat (1):
1. Penahanan rumah.
2. Penahanan Kota.
3. Penahanan rumah tahanan Negara (Rutan).
8. larangan meninggalkan tempat,
9. penggeledahan
10. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
11. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
12. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
b) Penyidik: membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik sebagai
berikut:

38
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…. Op. Cit. hlm. 158.
39
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana…,. Hlm. 33.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
mempunyai kewajiban berupa wewenang:
a. Menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang khusus pada salah satu pasalnya. Seperti penyidik bea cukai,
penyidik imigrasi, penyidik kehutanan. PPNS bekerja dalam ketentuan sebagai
berikut:
a. Berkedudukan dibawah dan dalam koordinasi serta pengawasan dan arahan
Polri (Pasal 107 ayat 1 KUHAP).
b. Melaporkan tindak pidana yang disidik kepada Polri (Pasal 107 ayat 2
KUHAP).
c. Hasil penyidikan PPNS diserah kepada Polri untuk diserahkan kepada
penutut umum (Pasal 107 ayat 3 KUHAP).
d. Penghentian penyidikan dibawah arahan Polri (Pasal 109 ayat 3 KUHAP).
Penjelasan tentang “Koordinasi dan Pengawasan” adalah bentuk
kegiatan Penyidik Polri dalam mengawal PPNS yang melakukan penyidikan,
dengan tujuan agar berkas yang dibuat dapat memenuhi syarat formil dan
meteril. Implimentasi “Koordinasi dan Pengawasan” berupa pemberian bantuan
berupa bantuan personil maupun peralatan, bantuan teknis penyidikan, (seperti
Labotarium Forensik, Identifikasi, NCB-Interpol), bantuan upaya paksa
(pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan), dan
konsultasi teknis penyidikan. “Koordinasi dan Pengawasan” berperan untuk
menjembatani dalam penanganan kasus, manakala PPNS tidak berwenang
menangani kasus yang dihadapi dan karena keterbatasan wewenang PPNS.
Berkaitan dengan itu, maka berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf UU No.
2 Tahun 2002, Polri melakukan pembinaan teknis yang dilakukan semenjak
dilaksanakan pendidikan dan latihan penyidikan bagi calon PPNS sampai pada
kegiatan operasional.40 Pelaksanaan Koordinasi dan Pengawasan terutama
dalam pemberian bantuan penyidikan mekanismenya telah diatur dalam Pasal
107 ayat (1) yang berbunyi “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri
memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan”. Penjelasan tentang “Penyidik Polri diminta atau tidak diminta
berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan kepada
PPNS yang sejak awal wajib memberi tahukan tentang penyidikan itu kepada
penyidik”.

40
Ibid, hlm. 90.
39 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Polri telah memberikan


konsekuensi kepada penyidik polri untuk wajib memberikan bantuan
penyidikan kepada PPNS baik diminta atau tidak diminta. Kewajiban polri dalam
pemberian bantuan tersebut dapat tidaknya terwujud apabila PPNS dalam
pelaksanaan penyidikanya tidak memberitahukan kepada penyidik polri.
Penerapan hukum ini harus melalui Penyidikan oleh PPNS (Penyidik Pegawai
Negeri Sipil) untuk memeriksa secara administrative apakah terjadi tindak
pidana atau tidak dan apabila terbukti maka perkara ini akan dilanjutkan ke
penidik Polri.
Penyidik membuat dan menyampaikan laporan hasil tindakan-tindakan
yang telah dilakukan Penyidik dalam setiap tindakan penyidikan harus
membuat berita acara terhadap semua tindakan-tindakan penyidikan seperti: 1)
Pemeriksaan tersangka, 2) Penangkapan, 3) Penahanan, 4) Penggeledahan, 5)
Pemeriksaan rumah, 6) Penyitaan benda, 7) Pemeriksaan surat, 8) Pemeriksaan
saksi, 9) Pemeriksaan di tempat kejadian, 10) Pelaksanaan penetapan dan
putusan pengadilan (setelah ada penetapan dan putusan).41
c. Bantuan hukum, setelah dilakukan penangkapan dan penahanan oleh Polisi sesuai
Pasal 35 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 115 KUHAP tersangka
mempunyai hak bantuan hukum yang bersifat hak fakultatif dan pasif (bukan wajib)
dari penasihat hukum secara Cuma-Cuma (prodeo) atau imbalan jasa yaitu advokat,
pokrol, insidentil, LBH. Sifat aktif penasihat dapat dilakukan pada saat berkas perkara
telah dimpahkan kepada Pengadilan Negeri.
d. Jaksa, sesuai Pasal 1 ayat (6) huruf (b), ayat (7) dan Pasal 13 tugas Penuntut Umum
(jaksa) pada pokoknya :
1. Melimpahkan perkara Pidana ke Pengadilan Negeri.
2. Menjadi penuntut umum yang melakukan penuntutan (membuat surat dakwaan
dan requisitur/ tuntutan pidana 42)
3. Melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Penyidikan yang dianggap selesai, tanggungjawab atas tersangka dan barang
bukti diserahkan penyidik kepada penuntut umum sesuai Pasal 8 ayat (2) dan (3)
KUHAP, dalam jangka waktu maksimal 14 hari berkas perkara diterima Penuntut
umum atau telah ada pemberitahuan dari Penuntut Umum kepada Penyidik, sesuai
Pasal 110 ayat (4), maka penyidik tidak perlu berkecil hati jika berkas mondar-mandir
bolak-balik dari/ke Kantor Kejaksaan.43
Dalam jangka waktu 14 hari, Penuntut Umum wajib44 melakukan:
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara.
2. Mengadakan pra penuntutan (memeriksa kelengkapan berkas apabila kekurangan
mengembalikan kepada penyidik, memberitahu penyidikan telah selesai).
3. Tindakan-tindakan berkaitan penahanan (mengadakan, memperpanjang, mengubah
status tahanan)
41
http://www.negarahukum.com/hukum/proses-peradilan-pidana.html (Diakses 1 April 2016) di unduh pada
hari rabu 10 mei 2017.
42
Rumusan KUHAP Pasal 182 sangat sumir, karena surat tuntutan adakalanya tidak memuat pidana, menurut
Wirjono Projodikoro requisitor adalah tuntutan hukuman jaksa penuntut umum pada sidang pengadilan negeri setelah
pemeriksaan ditutup. Perbedaan tampak Misalnya berdasarkan hasil pemeriksaan di sidang, terdakwa tidak bersalah
maka penuntut umum mengajukan tuntutan untuk membebaskan terdakwa. Leden Marpaung, Proses Penanganan
Perkara Pidana (di Kejaksaan & Pengadilan Negeri -upaya hukum dan &eksekusi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm.
123- 124.
43
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana…hlm. 5.
44
Martiman Prodjoharmidjojo, Kekuasaan Kejaksan dan Penuntutan, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1982),
hlm. 10-11.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

4. Menghentikan penuntutan (bukan Deponering) dalam “tidak cukup alasan” sehingga


hak menuntut telah hilang atas tersangka. 45 Oleh P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar
meniadakan penuntutan dijumpai dalam KUHP: BAB I Pasal 2 -5, Pasal 7 – 9, BAB V
Pasal 61, 62, BAB VII Pasal 72, BAB VIII Pasal 82, 76, 77.46
5. Membuat surat dakwaan.
6. Memberitahu terdakwa ketentuan persidangan.
7. Melakukan penuntutan.
Dari penjelasan diatas maka, yang dapat menentukan dilakukan penuntutan atau
tidak adalah penuntut umum47 secara mutlak, tidak lainnya.
e. Pengadilan.
1) Pengadilan Negeri (Peradilan Umum).
Peradilan umum adalah salah satu bentuk kekuasaan kehakiman bagi rakyat pada
umumnya. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding, kemudian puncaknya pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan yang tertinggi atau sebagai pengadilan tingkat kasasi.
Pengadilan Negeri merupakan institusi yang melaksanakan peradilan umum yang
mempunyai wewenang kompetensi absolute terhadap peradilan perkara pidana dan
perdata yang ditentukan oleh undang-undang (pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman), yaitu perkara pidana dan perdata pada
umumnya kecuali yang ditentukan oleh undang-undang secara khusus.
Adapun acara pemeriksaan perkara pada peradilan umum di Pengadilan Negeri/
Umum sebagai berikut:
a) Praperadilan.
Dirumuskan pada Pasal 1 ayat (10) KUHAP, Pasal 77 dan BAB X, berkaitan dengan
hal-hal sebagai berikut :
1. Memeriksa dan memutus sah tidaknya upaya paksa penangkapan dan penahanan.
2. Memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Memeriksa perkara perdata tuntutan ganti rugi (Pasal 95) dengan alasan:
a. Penangkapan atau penahanan yang tidak sah.
b. Penggeledahan atau penyitaan yang tidak sah.
c. Kekeliruan mengenai orang yang mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa
Masa tuntutan ganti rugi adalah:
a. 3 bulan sejak penetapan pra peradilan.
b. 3 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
4. Memeriksa tuntutan rehabilitasi (Pasal 97) jika terdapat dua hal yaitu:
a. Putusan pembebasan.
b. Putusan pelepasan dari segala tututan hukum.
5. Terhadap tindakan penyitaan.
b) Peradilan Acara Biasa, diatur dalam BAB XVI bagian ketiga yaitu terhadap perkara
tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas.
Tahapan-tahapan persidangan di lingkungan system pidana yaitu:
1. Tahapan Pemanggilan.
2. Tahapan Pembukaan dan Pemeriksaan identitas terdakwa.
3. Tahapan pembacaan surat dakwaan.
4. Tahapan eksepsi.

45
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana…hlm. 14.
46
P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut
Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984), hlm. 79.
47
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana…., hlm. 77.
41 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

5. Tahapan pembuktian.
6. Tahapan requisitoir/ tuntutan pidana.
7. Tahapan pledoi/ pembelaan.
8. Tahapan replik dan duplik.
9. Tahapan putusan hakim.
c) Peradilan Acara Singkat/ Sederhana (Sumir -Hir), diatur dalam BAB XVI bagian
kelima (Pasal 203). Adapun cirinya:
1. Secara praktek, peradilan acara singkat ditujukan terhadap perkara pidana yang
dinilai penuntut umum akan dijatuhi hukuman pidana tidak melampaui 3 tahun.
2. Pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu lama
dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau dalam dua kali
persidangan.
3. Tetap berpedoman dengan acara biasa namun dengan perbedaan penuntut umum
tidak perlu membuat surat dakwaan secara tertulis, dakwaan cukup secara lisan
kepada Terdakwa dimuka persidangan.
4. Penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi-saksi dan barang bukti.
Seteleh terdakwa diperiksa identitas kemudian penuntut umum memberitahukan
dengan lisan dari catatannya tentang tindak pidananya serta menerangkan waktu,
tempat dan keadaan waktu tidak pidana dilakukan. Pemberitahuan ini dicatat oleh
panitera sidang dalam berita acara pemeriksaan sidang sebagai pengganti “sudat
dakwaan”.
5. Pembuktian serta penerapan hukumnya yang mudah yaitu terdakwa mengakui
sepenuhnya atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya dan disertai alat
bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah menurut
undang-undang.
6. Dalam hal hakim memandang hakim memandang perlu dapat meminta penuntut
umum untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam jangka waktu maksimal 14
hari dan apabila 14 hari terlewati, hakim memerintahkan perkara diajukan dengan
acara biasa.
7. Putusan dalam acara singkat tidak buat secara khusus, cukup dibuat dan disampaikan
dimuka sidang yang dihadiri oleh terdakwa dan penuntut umum melainkan cukup
dicatat dalam berita acara sidang dan mempunyai kekuatan hukum sama seperti
putusan biasa.
8. Petikan dan Salinan berita acara sidang diberikan kepada Terdakwa, penuntut
umum, penyidik (Pasal 226).
d) Peradilan Acara Biasa Cepat, diatur dalam BAB XVI bagian keenam, (Pasal 205 – 210)
yang terdiri dari dua jenis:
1. Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 205) adapun cirinya:
a) Ancaman pidana paling lama 3 bulan
b) Denda sebanyak-banyak Rp. 7.500,00
c) Penghinaan ringan yang diatur Pasal 315 KUHP (pengecualian).
d) Hal-hal yang diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 yang pokoknya bila
nilai pidana pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan tidak lebih dari Rp.
2.500.000,00 dilakukan pemeriksaan cepat dengan hakim tunggal.
e) Kata-kata dalam KUHP Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 407 KUHP yang
berupa “dua ratus lima puluh” dibaca Rp. 2.500.000,00.
f) Perkara yang didakwa denda pada KUHP Pasal 301 ayat (1), (2), Pasal 303 bis
ayat (1), (2) yang diartikan “denda dilipatkan menjadi 1.000 seribu kali.
g) Penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta alat
bukti di persidangan dalam waktu 3 hari sejak berita pemeriksaan selesai
dibuat.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

h) Berita acara sidang tidak dibuat kecuali ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
berita acara pemeriksaan penyidik.
i) Disidangkan pada hari itu juga.
j) Pengajuan tanpa surat dakwaan dan Berita Acara sidang tidak dibuat.
k) Putusan tidak dibuat seperti acara biasa dan acara singkat, hanya berbentuk
catatan sekaligus berisi amar putusan dalam bentuk “catatan dalam daftar
catatan perkara”.
l) Putusan bersifat sebagai putusan peradilan instansi pertama dan banding
(terakhir) contoh pidana denda. Jika terdakwa keberatan dapat upaya hukum
kasasi kecuali dalam hal putusan berkaitan atas perampasan kemerdekaan
terdakwa dapat upaya hukum banding seperti (pidana kurungan).
2. Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan (Pasal 211) adapun
cirinya:
a) “Perkara pelanggaran tertentu” terhadap peraturan perundangan-undangan
lalu lintas yang dijelaskan pada Pasal 211.
b) Tanpa adanya berita acara umumnya baik oleh Penyidik maupun dalam
persidangan.
c) Berita acara berbentuk berita acara ringkas seperti formulir yang disediakan
penyidik yang memuat pelanggaran lalu lintas yang didakwakan dan catatan
pemberitahuan hari, tanggal, jam dan tempat sidang yang akan dihadiri oleh
terdakwa.
d) Pemeriksaan sidang dapat dilakukan dengan tanpa dihadiri terdakwa atau
wakilnya.
e) Dalam hal putusan tentang perampasan kemerdekaan dapat diajukan banding
dalam waktu 7 hari sesudah pemberitahuan putusan kepada terdakwa.
f) Putusan dalam bentuk sederhana berupa catatan yang dibuat hakim dalam
catatan/ suatu formulir yang disebut surat amar putusan.
g) Panitera mencatat isi putusan dalam register.
2) Pengadilan Tinggi.
- Tugas Pokok Pengadilan Tinggi:
1. Menyelengarakan peradilan yang agung di wilayahnya.
2. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaran peradilan di
wilayah hukumnya.
3. Pengadilan Tinggi menyelenggarakan pemeriksaan peradilan tingkat kedua yang
bersifat upaya hukum banding /biasa dalam pemeriksaan umum dan
konvensional pada setiap putusan pengadilan tingkat pertama di wilayah
Pengadilan Tinggi tersebut, yang diajukan oleh Terdakwa atau Penuntut umum.
(Pasal 67 jo. Pasal 233 KUHAP). Adapun alasan upaya hukum banding dalam hal-
hal yang diatur pada KUHAP Pasal 240, Pasal 183, Pasal 193 ayat (2), Pasal 84,
Pasal 143 ayat (2) huruf (b), Pasal 205 ayat (3), hukuman yang terlalu berat dan
tidak memenuhi rasa keadilan.
Pemeriksaan tingkat banding tidak berhadapan langsung dengan pihak-pihak
terkait, tetapi berdasar berkas perkara yang terdiri dari:
a. Berita acara pemeriksaan.
b. Berita acara sidang Pengadilan Negeri.
c. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri.
3) Mahkamah Agung.
a) Tugas Dan Fungsi Pokok Mahkamah Agung.48
1. Fungsi Peradilan.
48
https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi
43 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan


pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan
hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua
hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara
adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir:
1) Semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
2) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-
undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
3) Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau
dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat
yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14
Tahun 1985).
2. Fungsi Pengawasan.
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan
yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama
dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan:
1) Pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan
Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal
menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan,
teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan
Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
2) Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan
(Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur.
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum
cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai
pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-
undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-
undang.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

c. Instrument fungsi mengatur:


Fungsi pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung tersebut
menimbulkan suatu kewenangan untuk menerbitkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) guna
memperlancar penyelenggaraan peradilan yang kerap kali terhambat
karena belum adanya atau kurang lengkapnya pengaturan hukum acara
yang terdapat dalam undang-undang.49
1. SEMA.
Suatu bentuk peraturan kebijakan (beleidsregel) internal dari
pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya
merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih
bersifat administrasi50 peradilan dan pemberitahuan tentang hal tertentu
yang dianggap penting dan mendesak.
2. PERMA.
PERMA dapat dikatakan sebagai keputusan normatif yang
mengatur kepentingan umum dalam arti mengikat untuk para hakim,
jaksa, advokat, dan masyarakat pencari keadilan yang hendak beracara di
pengadilan, walaupun menurut Hakim Agung Mahdi Soroinda, PERMA
hanya berlaku internal. Menurut pendapat Ronald S. Lumbuun yang tidak
sependapat dengan pandangan Mahdi Soroinda, karena berdasarkan
penjelasan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahakamah Agung RI sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang
No 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 3 Tahun 2009 yang masih
berlaku sampai saat ini yang di dalam salah satu kalimatnya menyatakan
bahwa, “…..Dalam hal peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang-
undang…. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan
melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada
umumnya…...”51
Pada praktiknya dalam berbagai pelatihan hukum yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Agung, sering diungkapkan bahwa SEMA
dan PERMA merupakan instrument hukum yang berfungsi sebagai pengisi
kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karenanya SEMA dan PERMA merupakan kumpulan dari peraturan-
peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan puncak
dalam rangka mengisi kekosongan hukum (penemuan hukum) yang dalam
prakteknya bersifat petunjuk hukum acara (formil) bahkan terkadang
terhadap hukum materiil seperti perubahan nominal tindak pidana ringan
dalam Pasal 364 sebesar maksimal Rp250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah), diubah oleh Mahkamah Agung pada Perma Nomor 2 Tahun 2012
menjadi sebesar maksimal Rp2.500.000,00 (Dua juta lima ratus ribu
rupiah).
Diantara produk hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia
lainnya yaitu: fatwa Mahkamah Agung dan SK KMA.
4. Fungsi Nasehat.

49
Ronald S. Lumbuun, PERMA RI (Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia) Wujud Kerancuan Antara
Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 132.
50
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2001), hlm.144
51
Ronald S. Lumbuun, PERMA ……. Op. Cit, hlm. 132.
45 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-


pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain
(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-
undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan
Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi
sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-
undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif.
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10
Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. Fungsi Lain-Lain.
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat
(2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan
kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
e) Upaya Hukum Di Mahkamah Agung.
Upaya hukum pada Mahkamah Agung ada 3 macam yaitu:
1. Upaya hukum biasa Kasasi
2. Upaya hukum luar biasa kasasi demi kepentingan hukum.
3. Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK).
a. Pemidanaan.
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan
tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu
tindakan tata tertib bagi meruka yang telah melanggar peraturan tersebut. 52 Maka penjara
adalah suatu tempat untuk merampas kemerdekaan seseorang karena kejahatan yang
dilakukannya berupa rumah atau ruang atau Lembaga pemasyarakatan.

52
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hlm 69.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

5. Sistem Peradilan Perdata Di Indonesia.


Sumber hukum perdata sampai sekarang belum ada kodifikasi dari para pembuat
undang-undang negeri Indonesia yang sampai saat ini memakai sumber hukumnya warisan
colonial Belanda yaitu: BW (Bugerlijk Wetboek-peninggalan Belanda), HIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement), RBG (Reglement Buitengengewesten), RV (reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering), RO (Reglement op de Rechtsvordering), hal ini disebabkan
Belanda mengupayakan BW agar diberlakukan di Indonesia dengan istilah hukum asas
konkordansi (asas persamaan)53 yaitu isinya sama dengan BW Belanda dan belum adanya
penghapusan dari pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR) untuk mengganti dan
menghapuskan keberlakuan buku hukum tersebut. Meski demikian ada beberapa isinya
yang diganti dengan undang-undang lain seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Perceraian, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
pertanahan dan Hak-hak atas Tanah dll. Abdulkadir Muhammad menyatakan “dalam
pembangunan hukum perdata tertulis, sebaiknya pembuat undang-undang Ri menghimpun
ketentuan KUHPdt, KUHD serta perundang-undangan RI yang masih berlaku… sebagai bahan
baku utama….. sementara hukum adat …. Dapat dijadikan bahan hukum yang melengkapi”. 54
Hukum perdata/ hukum privat memberikan ketentuan hukum bagi perseorangan
atau kelompok atau pihak-pihak terkait, untuk memperoleh kebenaran dan keadilan dalam
perkara yang diselesaikan oleh Hakim. Saat ini ilmu hukum perdata meliputi perkara
tentang:
1. Hukum tentang diri seseorang
2. Hukum kekeluargaan dan perkawinan.
3. Hukum kekayaan.
4. Hukum warisan.55
5. Hukum Dagang.
6. Hukum adat.
7. Hukum Islam.
8. Hukum tenaga kerja.56
Sistem Hukum perdata di Indonesia memiliki perbedaan sifat dan mekanisme
dengan Sistem Hukum Pidana di Indonesia. System ini bersifat indivualistik dan privat, oleh
karnanya dikenal sebagai hukum sipil/ hukum privat yang memiliki asas-asas sebagai
berikut:
a. Penyelenggara sistem peradilan perdata di indonesia.
1) Legislator, yang memiliki tugas membentuk undang-undang sesuai dengan
kebutuhan hukum di Indonesia.
2) Pengadilan tingkat pertama
a) Pengadilan Negeri, yaitu sesuai pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman), perkara perdata pada umumnya
diajukan kepada Pengadilan Negeri kecuali yang ditentukan oleh undang-
undang secara khusus menjadi wewenang Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Adapun tahapan proses peradilan perdata sebagai berikut:
1. Pembacaan Gugatan.
2. Mediasi (institusionalisasi/ melembagakan proses mediasi dalam sistem
peradilan bersifat compulsory (memaksa) untuk mendorong peran
perdamaian Pasal 130 HIR, 154 RBG, sehingga tidak beri’tikad baik dalam
53
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2019), hlm. 7.
54
Ibid hlm. 4.
55
Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm.16.
56
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata…., Op. Cit. hlm. 2.
47 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

mediasi menyebabkan gugatan tidak diterima, diatur pada Pasal 2 Perma


Nomor 1 Tahun 2016).
3. Jawaban Tergugat.
4. Replik Penggugat.
5. Duplik Tergugat.
6. Pembuktian.
7. Kesimpulan.
8. Putusan Hakim.
b) Pengadilan Agama, yaitu pengadilan yang menyelenggarakan peradilan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah pertama dengan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah kedua dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang bercirikan berasas hukum sama dengan
Peradilan Umum dan dikecualikan hal-hal yang dibawah ini.
1. Hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara
perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan umum, kecuali hal-hal yang diatur
secara khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.57
2. Bidang penyelesaian perkara yang menjadi kompetensi kewenangan absolute
pada Peradilan agama adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan 58 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yang diubah pertama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
diubah kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama.
kompetensi kewenangan absolute Peradilan Agama di Pengadilan Agama berarti
bidang-bidang perdata tertentu dari hukum perdata, terakhir diatur oleh pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan kedua atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang meliputi : a). Perkawinan, b).
Waris, c). Wasiat, d). Hibah, e). Wakaf, f). Zakat, g). Infaq, h). Shadaqah, dan i).
Ekonomi syari'ah.
kompetensi kewenangan absolute Peradilan Agama dijelaskan secara rinci pada
penjelasan atas pasal tersebut yaitu : 1). Izin beristri lebih dari seorang, 2). Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat, 3). Dispensasi kawin, 4). Pencegahan perkawinan, 5).penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah, 6).pembatalan perkawinan, 7). Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau istri, 8). Perceraian karena talak, 9). Gugatan
perceraian, 10). Penyelesaian harta bersama, 11). Mengenai penguasaan anak-
anak, 12.ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya, 13). Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri, 14). Putusan tentang sah atau
tidaknya seorang anak, 15). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, 16).
Pencabutan kekuasaan wali, 17). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh
Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, 18). Menunjuk seorang wali
dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya, 19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah

57
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2008), hlm. 7.
58
Ibid.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya,
20). Penetapan asal usul seorang anak, 21). Putusan tentang hal penolakan
pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran 22. Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
3. Berasaskan personalitas keislaman59 yaitu peradilan bagi orang-orang beragama
islam (Pasal 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. Pengadilan Agama memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara
berdasarkan hukum Islam (Pasal 2, 49 dan penjelasan umum Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama).60
c) Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu yaitu pengadilan yang menyelenggarakan
peradilan tentang sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, juga
sengketa kepegawaian, baik di pusat maupun di daerah yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 dan diubah yang kedua dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
3) Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan terkait upaya hukum
perdata biasa banding pada tiap wilayah yurisdiksinya masing-masing.
4) Mahkamah Agung, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan terkait upaya
hukum perdata biasa dan luar biasa.
6. Sistem Hukum Family Law
Penegakan hukum menggunakan sistem hukum family law telah dikenal dan
dipraktekkan oleh negara-negara maju seperti Australia, Inggris, Amerika Serikat, Turki,
bahkan telah ada juga pada beberapa negara berkembang seperti India, Malaysia, al jazair
dan lain-lain, sedangkan sistem peradilan di Indonesia sampai saat ini belum mengenalkan
sistem hukum family law.
Keistimewaan Sistem hukum family law dengan sistem lainnya adalah sistem
hukum family law tidak mengenal adanya pemisahan perkara pidana dan perdata
sebagaimana sistem peradilan di Indonesia. Hal tersebut disebabkan kebutuhan
pemenuhan keadilan yang diharapkan terjadi pada sengketa yang berkaitan dengan
keluarga terpenuhi dalam sistem yang efektif dan efisien, guna meletakkan posisi keadilan
pada kaum perempuan dan anak-anak sejajar dengan kaum laki-laki.
Istrumen hukum bagi tegaknya family law pada beberapa maju tersebut didasarkan
atas undang-undang yang terkait dengan keluarga yaitu:61
1. Undang-undang HAM seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan Undang-
undang HAM tahun 1998
2. Undang-undang perkawinan seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan
undang-undang perkawinan tahun 1973,
3. Undang-undang anak seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan undang-
undang anak tahun 1989.
4. Undang-undang keluarga seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan
undang-undang keluarga tahun 1996.

59
Abintoro Prakoso, Sistem Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2019), hlm. 99.
60
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 8.
61
https://en.wikipedia.org/wiki/English_family_law
49 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

5. Undang-undang pelecehan seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan


undang-undang pelecehan tahun 1997.
6. Undang-undang hubungan masyarakat sipil pada negara Inggris (united kingdom)
dengan Undang-undang hubungan masyarakat sipil tahun 2004.
7. Dll.
Sistem hukum family law mempunyai wewenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara peradilan dalam hukum perkawinan yang mencakup hal-
hal sebagai berikut:
1. Perkawinan yaitu perceraian, pembatalan nikah,62 isbat nikah63 tunjangan anak,
pengasuhan Bersama dll.
2. Adopsi.64
3. Ibu pengganti (surrogacy).65
4. Perlindungan anak.66
5. Hukum remaja seperti kenakalan, pelanggaran status dll.67
6. Ayah.6869
7. Pidana dalam hukum perkawinan seperti kekerasan suami atas istri dll.70
Berkaitan dengan tesis ini, proses penanganan perkara pidana perkawinan seperti
halnya pada sistem pidana terpadu berserta prinsip-prinsip dasar penanganannya, namun
ketika proses memasuki tahapan dihadapan hakim, proses peradilannya menggunakan
prinsip-prinsip family law beserta pidana/hukuman yang diterapkan kepada pelakunya.
Prinsip-prinsip pokok dalam family law yaitu sebagai berikut:71
1. Prinsip-prinsip umum hukum acara pidana kecuali yang dikhususkan pada family law.
2. Prinsip kerahasiaan (tertutup untuk umum).
3. Prinsip mediasi terhadap pelaku dan korban.
4. Prinsip peradilan cepat.
5. Prinsip hakim tunggal dan tidak ada juri.
6. Prinsip komunikasi yang bersifat kekeluargaan dalam proses pemeriksaan. Dll.
Sebutan Tindak pidana Perkawinan (TIPIKA) yang peneliti usung mengacu kepada
suatu tindak pidana yang berkaitan erat dengan hukum perkawinan yang bersifat hukum
perdata yaitu tindak pidana yang lahir atau muncul dari sebab akibat status hukum
tersebut.
Hukum pidana dirumuskan oleh Jan Remmelink, mencakup tiga hal:72

62
Lenore J Weitzman, "The Economics of Divorce: Social and Economic Consequences of Property, Alimony and Child
Support Awards". (California: UCLA, 1980) Law Review. 28: 1181. Retrieved 9 October 2019.
63
Jeff Atkinson,. "ABA Family Legal Guide". American Bar Association. Retrieved 31 October 2017.
64
Walter Wadlington, "Adoption of Adults a Family Law Anomaly". Cornell Law, 1980–1981), Review. 54: 566.
Retrieved 9 October 2019.
65
Capron, A.M.; Radin, M.J. (1988). "Choosing Family Law over Contract Law as a Paradigm for Surrogate
Motherhood". Law, Medicine & Health Care. 16 (1–2): 34–43. doi:10.1111/j.1748-
720X.1988.tb01048.x. PMID 3060684. S2CID 20125279.
66
Moloney Lawrie, Smyth, Bruce M.; Weston, Ruth; Richardson, Nich; Qu, Lixia; Gray, Matthew
(2007). "Allegations of family violence and child abuse in family law children's proceedings: key findings of Australian
Institute of Family Studies Research Report No. 15". Family Matters. 77. Retrieved 9 October 2019. Lay summary..
67
Lee, Chang Ling (1975). "Current Status of Paternity Testing". Family Law Quarterly. 9 (4): 615–
633. JSTOR 25739134.
68
Paternitas artinya permohonan atau sengketa penetapan ayah.
69
Barbara A. Babb, (1998). "Fashioning an interdisciplinary framework for court reform in family law: A blueprint
to construct a unified family court". Southern California Law Review. 71: 469. Retrieved 9 October 2019.
70
Committee of President of The Family Division, the Solicitor General, High Court Family Division, Related
Family and Criminal Proceedings - A Good Practice Guide-, (London: Law Society Publishing, 2007).
71
Ibid.
72
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 1.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

1. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ yang
dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana; norma-
norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu; hukum
penitensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;
3. Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan
batas ruang lingkup kerja dari norma-norma;
Jan Remmelink lebih lanjut meringkas pendapat diatas dengan mengemukakan
hukum pidana adalah hukum tentang penjatuhan sanksi yang mungkin juga sanksi tersebut
berupa pengenaan atau tindakan-tindakan lainnya, sebagai ilustrasi pemidanaan yaitu
penyerahan terdakwa kepada perawatan di rumah sakit jiwa.73
Dalam hukum pidana terdapat pengkategorian delik yang pada tahun 1789 di
Perancis menetapkan pemilahan 3 kategori: crimes, delicts dan contraventions. Pada
pemeriksaan tindakan pelanggaran yang paling serius, yang diancam dengan sanksi pidana
paling keras diserahkan kepada juri dengan tujuan agar hal ini suara rakyatlah (vox populi)
yang menentukan dan mentapkan keadilan. Sementara di Belanda tahun 1886
menggunakan pemilahan dua kategori yakni: kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen) yang hingga saat ini juga berlaku di Indonesia74 yang seharusnya telah
terjadi perubahan jika RKUHP disahkan pada tahun 2020.
Pemilahan diatas ditegaskan lagi dalam Memorie va Toeclichting / memori penjelasan
yang menjelaskan kejahatan dimengerti sebagai delik hukum (rechtsdelicten/in mala) dan
pelanggaran sebagai delik undang-undang (wetsdeichten). Namun Jan Remmelink menutup
penjelasannya dengan memuaskan: “sebenarnya tidak satupun tindak pidana yang atas
dasar suatu sistem pengertian tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan yang
lainnya sebagai pelanggaran. Yang lebih menentukan adalah makana dari kebendaan
hukum yang tersentuh oleh tindak pidana yang bersangkutan, ruang lingkup pelanggaran
hukum yang terjadi, bagaimana hal itu terjadi dan lain-lain.” 75 Dan “jika memang ada
perbedaan substansial, pembuat undang-undang akan mengalami kesulitan ketika ingin
mengubah kategorisasi delik. Misalnya dalam hukum lalu lintas, yaitu ketika tindakan
mengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan terpengaruh minuman beralkohol,
pertama kali digolongkan sebagai pelanggaran kemudian pada tahun 1951 diubah menjadi
kejahatan. Pendapat ini juga didukung oleh Prof. Lamintang yang mengemukakan dampak-
dampak kategorisasi delik pelanggaran sebagaimana peneliti sebut dalam Bab I
pendahuluan.
Suatu keberhasilan yang memberikan perbedaan dalam kajian hukum di Indonesia
tampak dari hasil pergulatan fikir para sarjana hukum Indonesia tahun 2020an yang
mencoba membangun kultur hukum Pidana Indonesia secara original. Dimulai dari
reformasi politik tahun 1998, perspektif para ahli hukum Indonesia telah membuahkan
hasil berupa RUU KUHP yang hingga karya ini ditulis masih belum pula disahkan sebagai
dasar hukum pidana nasional sebagai akibat dari pasal-pasal kontroversial yang sedikit
saja. Dalam RUU KUHP yang di bahas di DPR pada Tahun 2020 ternyata tidak lagi
mengkualifikasi tindak pidana menjadi dua pengertian yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP disebutkan bahwa RUU KUHP tidak membedakan lagi
antara tindak pidana/strafbaarfeit berupa kejahatan/misdrijven dan tindak pidana
pelanggaran/overtredingen tetapi untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana.76
73
Ibid, hlm. 7.
74
Ibid, hlm. 66.
75
Ibid, hlm. 67.
76
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana …., Op. Cit.
51 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Berdasarkan perspektif diatas, maka hukum apapun, jika hukum tersebut secara
legalistic positivis menetapkan adanya sanksi terhadap pelanggaran atas perundang-
undangan yang dengan perbuatan itu dikenakan sanksi oleh undang-undang maka
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana.
Dalam penegakan hukum terhadapnya mengikuti sistem hukum pidana yang
ditentukan oleh Kitab Hukum Acara Pidana. Rusli Muhammad menyatakan terkait hal ini
bahwa “undang-undang tidak memberikan pengertian resmi 77 mengenai hukum acara
pidana, yang ada adalah berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum
acara pidana itu, misalnya, penyidikan, penyelidikan, penangkapan dan sebagainya. Untuk
mengetahui pengertian hukum acara pidana dapat ditemukan dalam berbagai literatur
yang dikemukakan oleh para pakar”.78
Penegasan yang cukup memuaskan atas berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP terhadap proses pidana secara umum terdapat dalam penjelasan
undang-undang tersebut nomor tiga (3) yang berbunyi : “….tetapi kitab inipun juga memuat
hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses pidana dan memuat pula
hukum acara pidana Mahkamah Agung ….”, bahkan pada Pasal 284 KUHAP menetapkan
adanya pengecualian atas berlakunya KUHAP ini dalam hal kemungkinan (probability)
adanya ketentuan khusus atau perubahan atau dinyatakan tidak berlaku.79
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta hukum diatas, terkait penelitian ini, maka
pasal-pasal terkait hukum perkawinan yang mana hukum perkawinan sendiri pada asalnya
hukum perdata, sepanjang pasal-pasal tersebut mengandung unsur-unsur pemidanaan
yaitu sifat melawan hukum (wederrechttelijkkheid), kesalahan (schuld), dan (kemampuan
ber-) tanggung jawab menurut hukum pidana (toerekeningsvarbaarheid),80 maka tindakan-
tindakan pidana atas hukum perkawinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam
rangkaian sistem terpadu hukum pidana di Indonesia.
A. Kaitan Tindak Pidana Perkawinan Di Indonesia Dihubungkan Dengan Asas
Sederhana, Cepat, Biaya Ringan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
konsideran huruf (c) memberikan penjelasan secara implisit bahwa undang-undang
tersebut bertindak selaku pengganti atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
mengganti Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
Meski demikian telah terjadi 3 (tiga) kali perubahannya, semua undang-undang tersebut
memberi perintah bersifat imperative bahwa asas peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Asas ini merupakan asas bagi sistem peradilan yang dicitakan para penuntut
keadilan di seluruh dunia, agar asas ini benar-benar berlaku pada sistem peradilan suatu
negara. Karena telah mendunia kritik terhadap peradilan, yang mana semua kritik itu
bernada tidak puas atas kinerja dan keberadaan peradilan.81 Yahya Harahap82
mengemukakan beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada Pengadilan terutama di
era 1980,83 antara lain:
77
Pasal 285 KUHAP yang berbunyi: Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
78
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana, … Op. Cit. hlm. 1.
79
Pasal 284 KUHAP.
80
Jan Remmemlink, Hukum Pidana …, Op. Cit. hlm. 86.
81
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1997), hlm. 233.
82
Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia yang purna bhakti pada tahun 2000. Pada riwayat hidup
Penulis, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP…., Op. Cit. buku II, hlm. 470.
83
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 233-235.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

1. Penyelesaian sengketa Lambat.


2. Biaya Perkara Mahal.
3. Peradilan tidak tanggap (unresponsivei).
4. Putusan Pengadilan tidak menyelesaikan masalah.
5. Putusan pengadilan membingungkan.
6. Putusan pengadilan tidak memberikan kepastian hokum.
7. Kemampuan para hakim bercorak generalis.
Peradilan sebagai institusi negara yang menjadi tempat terakhir para pencari
keadilan mendapat keadilan yang diharapkan yang seadil-adilnya yaitu putusan dan proses
pemeriksaan yang sedapat mungkin terasa sangat dekat dengan keadilan (sebab keadilan
yang sebenarnya adalah milik Allah swt), maka seharusnya mewujudkan pelaksanaan
penegakan hukum yang komprehensif dan mudah. Hal ini sebenarnya telah menampakkan
pemenuhannya terhadap keadilan pada asas yang bersifat umum ini yaitu asas sederhana,
cepat dan biaya ringan.
Asas ini tidak banyak diterangkan oleh para pakar sarjana hukum Indonesia kecuali
berputar pada kalimat “tidak berbelit-belit” dan “mudah”. Bahkan ditegaskan pula dalam
penjelasan Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, bahwa yang
dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara
efisien dan efektif. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara
yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun demikian asas sederhana, cepat dan biaya
ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di Pengadilan tidak
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.84
Jika demikian halnya maka sepanjang tidak ada ketentuan khusus dalam peraturan
perundang-undangan yang tercakup dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang
diubah pertama dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan, asas tersebut mempunyai makna yang bersifat umum
dalam penerapannya dan penegakannya, tidak terbatas pada satu institusi penegak hukum,
namun meliputi seluruh stakeholder dalam sistem terpadu hukum pidana di Indonesia,
dimulai dari legislator sebagai pembentuk undang-undang, pemerintah sebagai pelaksana
undang-undang, dan kehakiman sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.
Asas sederhana, cepat, biaya ringan terkait penelitian ini mengambil sample putusan
dari Pengadilan Negeri Kelas 1 A Bale Bandung dalam lampiran 3 tentang putusan nomor
282/Pid.Sus/2016/PN. Blb, Pengadilan Negeri Bale Bandung sebagaimana Pengadilan
Negeri lainnya yang pada dasarnya telah melaksanakan asas tersebut dalam proses
penanganan perkara pidana maupun perdata secara umum ataupun perkara pidana yang
lex specialis dan demikian pula organ-organ lainnya dalam sistem peradilan pidana terpadu,
seperti kepolisian dan kejaksaan.
Hal tersebut tidak lepas dari visi dan misi lembaga tertinggi pada ketiga organ sistem
peradilan pidana terpadu. Mahkamah Agung dengan visinya “Terwujudnya Badan
Peradilan Indonesia Yang Agung” yang terwujud secara ideal dalam bentuk peradilan yang
memiliki ciri—ciri yaitu: 1. Melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen,
efektif, dan berkeadilan. 2. Didukung pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara mandiri
yang dialokasikan secara proporsional dalam APBN. 3. Memiliki struktur organisasi yang
tepat dan manajemen organisasi yang jelas dan terukur. 4. Menyelenggarakan manajemen
dan administrasi proses perkara yang sederhana, cepat, tepat waktu, biaya ringan dan
proporsional. 5. Mengelola sarana prasarana dalam rangka mendukung lingkungan kerja
yang aman, nyaman, dan kondusif bagi penyelenggaraan peradilan. 6. Mengelola dan
membina sumber daya manusia yang kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta
personil peradilan yang berintegritas dan profesional. 7. Didukung pengawasan secara
84
Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009.
53 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

efektif terhadap perilaku, administrasi, dan jalannya peradilan. 8. Berorientasi pada


pelayanan publik yang prima. 9. Memiliki manajemen informasi yang menjamin
akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi. 10. Modern dengan berbasis TI terpadu.85
Cetak biru dari Mahkamah Agung yang merupakan sebutan dari Perencanaan Jangka
Panjang Badan Peradilan Indonesia 2010-2035. Cetak Biru ini merupakan penyempurnaan
dari Cetak Biru yang diterbitkan tahun 2003, guna lebih mempertajam arah dan langkah
dalam mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Dengan adanya Cetak
Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 ini, Mahkamah Agung berharap proses pembaruan
yang saat ini tengah dilakukan akan dapat berjalan lebih baik lagi, lebih terstuktur, lebih
terukur dan tepat sasaran. Selain itu Mahkamah Agung berharap agar pembaruan yang
tengah dan terus akan dilakukan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, terutama
stakeholders lembaga peradilan dan lembaga-lembaga lainnya.
Usaha penerapan asas sederhana, cepat biaya ringanpun tampak pada cetak biru
Mahkamah Agung BAB IV Arahan Pembaruan Fungsi Teknis Dan Manajemen Perkara dalam
bab A. Arahan Pembaruan Fungsi Teknis yang mengarahkan pada “Pelaksanaan fungsi
kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan berkeadilan” maka berdasarkan hal
tersebut Mahkamah Agung membuat program-progam utama yaitu:
1. Pembatasan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali
2. Penerapan Sistem Kamar secara Konsisten.
3. Penyederhanaan Proses Berperkara.
4. Penguatan Akses pada Pengadilan
Selanjutnya pada program utama ketiga (ke-3) Mahkamah Agung mengarahkan
badan-badan peradilan dibawahnya untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. Meningkatkan akses keadilan pada masyarakat;
2. Mempercepat proses penyelesaian perkara;
3. Menekan biaya berperkara baik yang dikeluarkan para pihak maupun negara;
4. Mengurangi arus perkara ke tingkat kasasi.
Yang dalam pelaksanaanya juga mempunyai dua program yaitu:
a. Penyederhanaan Proses Berperkara pada Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Penyelesaian Perkara dengan Acara Cepat dan Berorientasi Perdamaian (Mediasi) pada
Peradilan Umum Tingkat Pertama.
Pada tahun 2012 bahkan telah adanya nota kesepakatan Bersama antara empat (4)
Lembaga tinggi negara Indonesia yaitu Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Jaksa Agung, Kepolisian. Nota tersebut merupakan salah satu dari kesekian usaha
menerapkan asas sederhana, cepat biaya ringan dalam penyelesaian perkara pidana, nota
tersebut tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian, Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda, acara pemeriksaan cepat, serta penerapan keadilan restorative (restorative
justice).
Secara mendasar asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan termaktub
pada pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang dalam penjelasannya kata sederhana dimaksudkan bahwa
pemeriksaan dan penyelesaian suatu perkara dilakukan secara efesien dan efektif yang
dibarengi dengan keharusan tetap teliti dan cermat dalam mencari kebenaran. Pasal ini
juga diperkuat oleh SK KMA Nomor KMA/032/SK/IV/ 2006 tentang Pemberlakuan
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan yang menyatakan
bahwa perkara harus diputus selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak
perkara didaftarkan. Jika dalam waktu tersebut belum putus, maka ketua majelis harus
melaporkan keterlambatan tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan dengan menyebutkan alasannya.
85
Cetak biru Pembaruan Peradilan 2010 - 2035
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Sebagaimana penanganan perkara pada Pengadilan Negeri secara umum, hal


mana juga yang tampak sesuai dengan putusan nomor 282/Pid.Sus/2016/PN.Blb,
tampak “asas biaya ringan” pada diktum putusan point lima (5) yang menyatakan
“biaya perkara sejumlah Rp2000,00 (dua ribu rupiah)” hal tersebut telah sesuai dengan
Sema Nomor 1 Tahun 2017 point 3 yang menyebutkan “menurut Pasal 222 Ayat (1)
KUHAP siapapun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara, kecuali dalam
hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan
pada Negara, dan sesuai pasal 10 KUHP bahwa pembebanan biaya perkara kepada
Terdakwa bukanlah merupakan jenis hukuman, namun atas dasar peri kemanusiaan
dan keadilan yang bermartabat, maka kepada Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, biaya perkara tersebut diambil alih dan dibebankan
kepada Negara.”
Demikan pula Proses penanganannya menggunakan proses pemeriksaan biasa
dan tidak menggunakan proses pemeriksaan cepat karena memang sistem peradilan
pidana terpadu di Indonesia belum menghendaki adanya ketentuan khusus terhadap
penanganan penegakan hukum terhadap tindak pidana perkawinan, sebab hukum
terkait dengannya adalah hukum biasa yang sehingga diperlukan secara biasa. Hal
tersebut menjadikan proses penanganan perkara sejak penyidikan sampai pembacaam
putusan berlangsung sekitar 5 – 6 bulan, yang mana hal tersebut sudah hal yang
berlaku wajar secara umum sebagaimana yang dikehendaki sistem peradilan pidana
terpadu di Indonesia saat ini.
Proses sederhana dan tidak berbelit pun telah dilaksanakan dalam putusan ini
sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dimana proses
penanganan pemeriksaan pidana dilakukan secara sistem pidana secara pemeriksaan
biasa.
Oleh karena tindak pidana perkawinan secara praktik yang saat ini juga masih
dianggap dalam kategori delik pelanggaran pada sebagian ketentuannya dan yang
lainnya masuk kategori delik hukum, yang mana keduanya masih dalam rumpun yang
sama yaitu kejahatan biasa, yang diperlakukan secara biasa. Sehingga salah satu
organon sistem peradilan pidana yang berbentuk penjara atau Lembaga
pemasyarakatan pun dimasukkan dalam kategori biasa.
Akibat yang tampak adalah proses penangkapan dan penahanan sejak hari
pertama proses penegakan hukum terhadap tindak pidana perkawinan yang dilakukan
secara biasa, mengurangi masa hukuman yang seharusnya hukuman yang dijatuhkan
kepada terdakwa lebih panjang dari yang sebelum dikurangi masa tahanan.
Proses pemeriksaan perkara semakin dirasakan lama, jika para pencari keadilan
sehabis menempuh proses pemeriksaan pidana, kemudian menempuh proses
pemeriksaan sengketa perdata perkawinan yang berkaitan erat dengan tipika tersebut,
maka ia akan menempuh proses pemeriksaan perkara dengan kehadiran kedua belah
pihak, yang memakan waktu selama minimal sekitar 5 bulan seperti dalam proses
pemeriksaan perkara cerai gugat Nomor 3943/Pdt.G/2020/PA.Sor yang didaftarkan
pada tanggal 30 Juni 2020 dan diputuskan pada tanggal 7 November 2020. 86
Penegakan hukum terkait kejahatan perkawinan seharusnyalah diatur secara lex
spesialis yang membedakan dari kejahatan lain, sebab hukum perkawinan
menghasilkan hukum-hukum berkaitan rumahtangga dan segala hal yang timbul
darinya. Dari diharapkan hukum perkawinan menghasilkan rumah tangga-rumah
tangga yang baik dan menjadi tulang punggung peradaban negara Indonesia, sehingga
tidak dilakukan secara biasa.

86
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaeb3dabfab7fc7aa62f303833303431.html
55 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Salah satu akibat dari penanganan secara biasa yaitu terpidana akan diletakkan
pada penjara atau Lembaga pemasyarakatan terhadap kejahatan secara umum, padahal
masalah kerumahtanggaan adalah masalah psikologis yang perlu penanganan khusus
yang bila dicampur dengan nara pidana lain akan menghasilkan lulusan narapidana
baru yang memperoleh keilmuan kejahatan yang baru. Sedangkan penanganan
terpidana kejahatan perkawinan perlu diarahkan kepada penanganan pembentukan
karakter ke rumahtanggaan yang telah putus dalam jiwa seseorang yang sedang sakit
tersebut.
Penegakan hukum terhadap pelaku pidana perkawinan haruslah diterapkan
kepadanya konsep keadilan retoratif dan rehabilitasi yang bersifat khusus dikarenakan
kebutuhan akan pemulihan pelaku ketika lepas dari penjara bersifat psikologis
disebabkan kejahatan yang dikenai olehnya merupakan hukum perkawinan tempat ia
bermula hidup, bermulai belajar hidup dan mewariskan (legacy) tradisi kebaikan dan
peradaban yang maju bagi anak turunnya.
Meski demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan pada penanganan
penegakan hukum terhadap tindak pindana perkawinan pada peradilan-peradilan
negeri umum di Indonesia, pada saat ini, telah sesuai dengan kebijakan yang diarahkan
oleh Mahkamah Agung, yang mana kebijakan tersebut telah sesuai dengan kondisi
hukum sepanjang tahun 1945 sampai zaman ini.
Namun, melihat perkembangan social kemasyarakatan yang semakin maju
dengan problematika kehidupan yang bermacam-macam serta kemajuan pemikiran
filosofi hukum di negara-negara maju, maka tidak dapat disalahkan jika sebagian besar
masyarakat awam, para pegiat social, HAM dan keperempuanan, serta para praktisi
hukum memandang penanganan pemeriksaan perkara tipika dengan tipe system
peradilan di Indonesia saat ini sebagai system peradilan yang lemah, tidak tegas,
berbelit-belit, rumit, tidak memenuhi keadilan bagi korban terutama kaum perempuan,
tidak memenuhi ekspektasi keadilan yang memihak HAM, tidak mencerminkan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pertimbangan keharusan tetap berpegah teguh dalam ketelitian dan kecermatan
dalam rangka pemeriksaan yang diharapkan efisiensi dan efektif (sederhana) dan
pelaporan terhadap pemeriksaan perkara lebih dari 6 (enam) bulan menunjukkan
bahwa letak kebutuhan efisiensi dan efektivitas tidak bisa menafikan tujuan pokok
peradilan dalam mencapai keadilan yang sebenarnya. Ukuran waktu tersebut adalah
sebagai batas minimal pemeriksaan yang bersifat relative sehingga ketika kebutuhan
keadilan yang membutuhkan waktu yang lebih, maka proses keadilan tetap
dikedepankan dengan pemberitahuan yang bersifat administrative. Oleh karena
kebutuhan keadilan tidak bisa dirampas oleh waktu, maka efisiensi dan efektivitas
haruslah dicarikan jalan untuk itu, sehingga dengan asas sederhana (efisiensi dan
efektif) keadilan dapat dicapai dengan tidak mencederai proses dan keadilan yang
dicitakan.
Bila dibandingkan penanganan perkara tindak pidana perkawinan dari sistem
peradilan di Indonesia dengan pemisahan proses pidana dan perdata perkawinan
dalam dua bentuk persidangan vis a vis sistem peradilan yang menggunakan sistem
hukum family law, maka efisiensi dan efektivitas tampaknya lebih dipenuhi dalam
sistem hukum family law yang mana sistem tersebut menggabungkan proses pidana
dan perdata dalam perkara perkawinan dalam satu persidangan seperti perceraian
dengan KDRT, pembatalan nikah dengan poligami liar, pembatalan nikah dengan
pemalsuan status dll.
System hukum family law telah banyak digunakan oleh negara-negara yang
diindikasikan dengan kemajuan peradabannya. Negara-negara yang menggunakan
system ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, New Zealand, Turki,
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

Malaysia dll. Pada tataran ini, penulis memandang bahwa pencetus system family law
menggunakan teori dasar pokok yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tentang
penjenisan perkara. Yang dalam hal ini Pound merupakan seorang filosof yang oleh
Jeremy Bentham sebut sebagai orang yang harus diberi ucapan terimakasih yang
banyak oleh Amerika Serikat disebabkan pengaruh pemikirannya yang luar biasa atas
kemajuan hukum di Negara tersebut, termasuk dalam hal ini konsep family law.
Sebagaimana suatu adagium menyatakan “hukum tidak hidup dalam ruang
hampa” maka hukum dan peradilan di Indonesia seharusnya beringsut dari tempat
berdiam mandegnya. Agar hukum dan peradilan di Indonesia lebih mampu memenuhi
rasa haus para pencari keadilan terkait hukum perkawinan, maka ia harus berproses,
berkembang dan maju sebagaimana teori hukum progresif dari Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH., M.H., yang menyatakan “Hukum adalah suatu hal yang terus-menerus
membangun dan mengubah dirinya ke tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
kesempurnaan di sini dapat dibuktikan dalam faktor keadilan, kesejahteraan,
kepedulian terhadap rakyat dan lain-lain.” “…. termasuk hukum, diusahakan dengan
progresif, dengan terus berusaha untuk berada pada puncak perkembangan atau
kemutakhiran ilmu.”87
Dengan mempertahankan proses penanganan yang dikehendaki sistem
peradilan di Indonesia terkait tindak pidana perkawinan yang terjadi saat ini, lalu
ditambahi dengan sistem pengadilan anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 dan PERMA 3 Tahun 2017 tentang penanganan perempuan dan anak
dihadapan hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang perempuan dan
anak, tetapi tanpa adanya perubahan dalam sistem peradilan yang dapat
mengakomodasi substansi peraturan-peraturan perundangan tersebut hanya akan
membuat ruwet dan sengkarut hukum tanpa adanya solusi terwujudnya asas
sederhana, cepat dan biaya ringan dalam tataran praktis. Oleh karena itu, jika hal
demikian terus terjadi dan tidak ada perubahan semakin membuat seakan-akan
masyarakat hukum (para sarjana hukum) di Indonesia pun turut dalam arus kegelapan
hukum sebagaimana adagium “tersesat dalam jalan yang terang”.
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berada dibawahnya empat (4)
peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer merupakan konsep yang telah diakui oleh para sarjana hukum
Indonesia seperti Prof. Dr. Satjipto Rahardjo telah sesuai benar menurut kondisi sosio-
kultural Indonesia. Meski demikian sistem empat peradilan tersebut tidaklah
menafikan dan menegasi adanya sub sistem peradilan yang dapat diinfiltrasikan ke
dalam sistem empat wewenang peradilan tersebut. Hal tersebut disebabkan tidak
adanya larangan untuk kearah tersebut. Sehingga guna mewujudkan asas sederhana,
cepat dan biaya ringan terkait tindak pidana perkawinan dalam sistem peradilan di
Indonesia dapat dilakukan dengan cara menjadikan sistem hukum family law dalam
sub-sistem dalam kekuasaan dan kewenangan dalam pengadilan umum dan pengadilan
agama.
Pada tataran praktis, penerapan family law dapat diterapkan dalam system
peradilan pidana di Indonesia dengan analogi internal system pada peradilan umum
yang diterapkan pada institusi Pengadilan Negeri/ Umum yang juga menerapkan
system peradilan lainnya yaitu : Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Anak,
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Pajak, Pengadilan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan.
Berdasarkan hal yang demikian maka berkaitan dengan penegakan hukum
tindak pidana perkawinan dalam system peradilan di Indonesia diperlukan upaya
87
http://bankhukum.blogspot.com/2011/09/prof-dr-satjipto-rahardjo-sh-alm-hari.html
57 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

perubahan hukum secara progresif yang dilakukan oleh pangkal utama sistem ini yaitu
badan legislative dengan di dorong oleh praktisi hukum dari Mahkamah Agung untuk
membentuk aturan perundang-undangan tentang family law yang diterapkan pada
Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama.
Verifikasi yang patut dijadikan pedoman penerapan sistem hukum family law
dalam sistem peradilan di Indonesia adalah pada negara-negara maju yang telah
menerapkan sistem hukum family law juga memiliki kesamaan penerapan proses
penanganan pidana dengan sistem pidana terpadu demikian pula proses peradilan
dihadapan hakim serta pelaksanaan putusan dalam bentuk hukuman yang bersifat
restorative justice.
Kemanfaatan hukum akan semakin terasa besar, jika system peradilan di
Indonesia mengadopsi konsep hukum family law. Yang mana dapat digabungkan proses
pemeriksaan pidana dengan pemeriksaan perdata yang menyertainya secara lex
spesialis. Akselerasi pemeriksaan yang semakin terpenuhi dan dapat teridentifikasi
dengan mudah kondisi penegakan hukum perkawinan dalam rumah tangga-rumah
tangga pada suatu wilayah yurisdiksi sektoral. Yang demikian akan memicu rangsangan
stakeholder penegakan hukum lainnya selain pengadilan untuk melakukan upaya-
upaya penegakan hukum yang sifatnya preventif dan persuasive.
Kemanfaatan hukum lainnya adalah pemosisian konsep restorative justice
secara tepat, yaitu bilamana dalam proses pemeriksaan, korban KDRT (misalnya)
memberikan kemaafan kepada pelaku lalu perkara pidananya dengan nomor … (nomor
yang sama dengan kode berbeda pada institusi pengadilan yang sama) dicabut, maka
restorative justice telah mendapatkan nilainya secara tepat dimuka persidangan. Sebab
restorative justice yang dilakukan diluar persidangan tentunya tidak dapat dikatakan
memenuhi rasa keadilan secara utuh.
Penegakan hukum pidana perkawinan dengan sistem hukum family law
diharapkan akan merubah maindset hukum, legislator, professional hukum (advokat,
polisi, jaksa, hakim, petugas LP dll) dan masyarakat bahwa hukum perkawinan
mendapat perhatian negara secara komprehensif dan sungguh-sungguh serta
meningkatkan nilai kehormatan hukum perkawinan dimata masyarakat sehingga tidak
dengan mudah menghina dan menistakan perkawinan dengan cara-cara seperti
selingkuh, KDRT, gampang gonta-ganti pasangan suami atau istri, poligami liar dan
lain-lain.
BAB V
PENUTUP
B. Kesimpulan.
1. Tindak pidana perkawinan terdapat dalam ketentuan-ketentuan dan pasal-pasal
yang tersebar pada peraturan perundang-undangan yang berlainan, meski
demikian keadaannya seharusnya tidak menjadi acuan lemahnya penegakan
hukum terhadap tindak pidana perkawinan di Indonesia.
2. Tindak pidana perkawinan dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia
merupakan jenis tindak pidana biasa yang dilakukan penanganan penegakan
hukum terhadapnya dengan pemeriksaan biasa dan pemidanaan biasa.
Peradilan terhadanya pun secara praktik peradilan juga telah memenuhi asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam perspektif sistem peradilan
pidana terpadu di Indonesia saat ini.
Namun demikian, dalam praktiknya dan melihat kenyataan tingginya
angka sengketa hukum perkawinan (sebagaimana dalam lampiran 2 hal 1) yang
berbanding terbalik 180 derajat dengan penegakan hukumnya secara pidana
(lampiran 1 hal 1) maka diperlukan peningkatan penerapan justitia asas
sederhana, cepat, biaya ringan daripada perspektif Justitia di Indonesia saat ini.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

C. Saran.
1. Diharapkan adanya kodifikasi hukum perkawinan yang komprehensif, progresif
dan responsive yang sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila yang menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia dalam proses penanganan perkara dan bangunan
system peradilan terhadapnya.
2. Diharapkan adanya peningkatan progresif terhadap penegakan hukum pidana
perkawinan yang dapat mempercepat proses penanganan perkara tindak pidana
perkawinan (tipika) yang bercirikan sebagai berikut :
a. Diharapkan adanya perubahan terhadap undang-undang perkawinan yang
menjadikannya bersifat lex spesialis dalam penegakan hukumnya dalam
sistem peradilan di Indonesia hal ini disebabkan hukum perkawinan yang
baik akan menghasilkan perkawinan-perkawinan yang baik yang
merupakan induk sebuah bangsa, yang berikutnya melahirkan putra-putri
bangsa yang berkeadaban yang maju dan berperadaban tinggi. Sebagaimana
buah yang bagus pastilah hasil dari pohon yang bagus.
b. Adanya perubahan tersebut bersifat lebih menguatkan identitas politik
hukum perkawinan di Indonesia sehingga hukum perkawinan di Indonesia
bernilai luhur. Hal ini disebabkan banyaknya para pakar hukum yang
menilai hukum perkawinan saat ini lemah. Diantara para pakar tersebut
adalah M. Yahya Harahap yang memberikan penilaian atas undang-undang
perkawinan semasa beliau masih menjabat hakim agung di Mahkamah
Agung Republik Indonesia (lampiran 4).
c. Diharapkan adanya inovasi-inovasi Justitia Mahkamah Agung atas
penanganan tindak pidana perkawinan (tipika) yang sifatnya progresif,
komprehensif dan responsive baik melalui instrument peradilan. Hal mana
disebabkan legislator tidak berhadapan langsung dengan praktik peradilan,
sedangkan para pencari keadilan membutuhkan keadilan yang sifatnya
sederhana cepat, biaya ringan.
d. Diharapkan adanya pemahaman yang diaplikasikan dalam program-
program Justitia terkait tindak pidana perkawinan (tipika) terkait asas
sederhana, cepat biaya ringan yang mana asas tersebut bersifat luas yang
mencakup pengembangan progresifitas penanganan perkara yang
responsive.
e. Diharapkan adanya inovasi Justitia yang melibatkan peranan Pengadilan
Agama untuk dapat menangani perkara tindak pidana perkawinan. Hal ini
disebabkan banyaknya perkara sengketa perkawinan yang didalamnya
tersembunyi (dalam lampiran 2 hal 1) dalam sengketa-sengketa
perkawinan, yang bila diproseskan ke instansi lain, secara praktik
banyaknya rakyat pencari keadilan yang merasakan kerumitan atas proses
tersebut. Namun jika sengketa perdata perkawinan yang didalamnya
terdapat tindak pidana perkawinan yang kemudian dapat dituntut dalam
persidangan majelis yang sama akan menjadikan 3 tujuan hukum yang
dikemukakan gustav radbruch yaitu kemanfaatan, kepastian, dan keadilan
semakin mudah dipenuhi disamping itu asas sederhana, cepat, biaya ringan
juga terpenuhi dengan peningkatan nilai yang progresif dan responsive
sebagaimana cita-cita hukum nasional Indonesia yang mandiri dan khas
Pancasila sebagaimana tujuan dari Teori dua Asas Hukum Nasional yang
berkaitan yaitu asas Wawasan Nusantara dan asas sosio-budaya.

59 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh

f. Diharapkan sistem hukum family law dapat diadopsi, terapkan di sistem


peradilan di Indonesia serta disesuaikan dengan sistem kewenangan
menangani perkara dalam kewenangan Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang berada dibawahnya empat (4) peradilan yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai