Tipika Dan Asas SCB
Tipika Dan Asas SCB
Kamil Amrulloh
Fakultas Hukum Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, Indonesia
Wakil ketua Pengadilan Agama Nanga Pinoh Kalimantan Barat
E-mail: narohikmah@gmail.com
ABSTRACT
The handling of cases in the judicial system in Indonesia related to law
enforcement in cases of criminal acts of marriage really needs to be reviewed.
Because the handling of cases with a system which is a legacy of Dutch colonialism
and which has become obsolete is a legal stagnation. This system still enforces the
separation of the process of handling criminal cases with cases of civil marital
disputes which are the source of the emergence of the criminal act of marriage, while
the progress of the sociology of law has arrived at the opinion of the types of
handling cases in law.
The purpose of this study was to determine the extent to which the
handling of criminal cases of marriage is associated with the justice system in
Indonesia in the perspective of simple, fast and low-cost justice principles.
The research method used is a normative juridical research method,
namely research based on statutory provisions accompanied by supporting elements
in the form of legal comparisons, literature studies and strengthened by research
data in the field.
The results of the study indicate that the current judicial system in
Indonesia in handling cases of criminal acts of marriage, whose handling must be
based on the principles of a simple, fast and low-cost judicial system is felt to be very
ineffective and efficient so that it does not fulfill the sense of justice for justice seekers
and the parties involved. related. Thus there must be a progressive change to the
judicial system in Indonesia in the perspective of the lex specialist on marital crimes.
This is because disputes in the Marriage law itself are special, confidential, sensitive
and closed to the public.
Keyword : Article. the perspective of the principle of justice is simple, fast and
low cost. the justice system in Indonesia. separation of the process
of handling criminal cases from civil disputes. sociology of law.
family law.
ABSTRAK
Penanganan perkara dalam sistem peradilan di Indonesia terkait
penegakan hukum dalam perkara tindak pidana perkawinan sangat perlu untuk
ditinjau ulang. Sebab penanganan perkara dengan sistem yang merupakan
warisan peninggalan kolonialisme Belanda dan yang telah usang adalah
kemandekan hukum. Sistem ini masih memberlakukan pemisahan proses
penangananan perkara pidana dengan perkara sengketa perdata perkawinan yang
menjadi sumber munculnya tindak pidana perkawinan tersebut sementara
kemajuan ilmu sosiologi hukum telah sampai pada pendapat penjenisan
penanganan perkara dalam hukum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penanganan
perkara tindak pidana perkawinan dikaitkan dengan sistem peradilan di Indonesia
dalam perspektif asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
1│ ISSN 2715-9698 (online)
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
Kata Kunci: Artikel perspektif asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan. sistem peradilan di Indonesia. pemisahan proses
penangananan perkara pidana dengan perkara sengketa perdata.
sosiologi hukum.
BAB I
PENDAHULUAN
1
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A, Pasal 28B.
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.
3
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
sehingga usaha perdamaian apapun alih-alih menjadi solusi untuk mempersatukan dua hati
yang retak malah menambah dalamnya rasa sakit yang dialami kedua pasangan suami istri.
Pemerintah Indonesia dengan rasa syukurnya yang amat dalam sebagaimana
termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa telah mengatur bagaimana tegaknya keadilan bagi setiap orang
yang yang terkait dalam hukum perkawinan sebagaimana diundangkannya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum
Islam, bahkan sebelumnya telah terbit undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Nikah Talak Cerai Rujuk.
Guna menegakkan hukum dan keadilan 4 Mahkamah Agung berlaku sebagai
pelaksana kekuasan kehakiman. Dibawah Mahkamah Agung terdapat empat macam
peradilan dan peradilan lain sesuai dengan undang-undang berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945 berikut amandemen kedua BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 D5
hukum perkawinan yang sah adalah hak setiap orang untuk melestarikan keturunan yang
menghasilkan hukum perlindungan dan hak bagi anak untuk tumbuh dan berkembang
serta jauh dari kekerasan secara fisik dan psikis. Kekuasaan kehakiman guna menegakkan
hukum dan keadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan empat peradilan
dibawahnya.6 Diantara empat tersebut dua lingkungan peradilan menyelenggarakan
peradilan yang berkaitan dengan hukum perkawinan yaitu peradilan Agama dan Peradilan
Umum.
Pada umumnya kasus-kasus berkaitan dengan hukum perkawinan yang diajukan
pada peradilan Agama7 dan Peradilan Umum8 berupa gugat perceraian, cerai talak
pembatalan nikah, dispensasi yang kesemuanya merupakan perkara perdata yang hanya
berkaitan erat dengan bagaimana status hukum dari person yang mengajukan gugatan atau
permohonan berikut lawannya.
Namun selain sisi-sisi perdata dalam kasus-kasus terkait hukum perkawinan secara
praktek pada dua pengadilan tersebut terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum yang
secara nyata melanggar hukum dan keadilan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan
hukum perkawinan yang berada diranah pidana. Seperti pernikahan yang tidak dicatatkan
di KUA, poligami yang tidak meminta izin ke Pengadilan Agama, Pemalsuan dokumen
pernikahan, Kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lainnya, yang mana hal-hal tersebut
termasuk dalam kategori misdrijven dan atau overditredingen yang mana di satu sisi sebagai
perbuatan melawan hukum disisi lain berakibat pada terabaikannya hak-hak pihak-pihak
yang terkait dengan perbuatan itu sebagai bagian dari sebab dan akibat hukum yang
dilanggar.
Perkawinan adalah sebagai lembaga kehormatan untuk memunculkan generasi-
generasi bangsa yang unggul dan berperadaban tinggi, yang merupakan benteng dan istana
bagi pencegahan perembesan nilai-nilai buruk bagi calon pemuda-pemudi bangsa bahkan
tempat pembibitan nilai-nilai luhur seharusnyalah disematkan kepadanya hukum yang lex
special yang mencegah pelanggaran dan menjamin tegaknya sendi-sendi perkawinan yang
luhur.
Secara de jure kenyataan hukum perkawinan yang saat ini diampu oleh Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat paling tidak terdapat dua pasal
4
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24.
5
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B.
6
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 junto Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 Pasal 1 dan Pasal 18.
7
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang diubah pertama dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 49.
8
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
27 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
tentang ketentuan pidana yang bahkan tidak tercantum dalam undang-undang perkawinan
sebagai groundnorm hukum perkawinan tetapi dalam aturan pelaksananya Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.9
Disamping inkonsistensi dalam ketegasan penetapan ketentuan pidana diatas,
terdapat pula beberapa tindak pidana yang bersifat rechtdelicten terhadap hukum
perkawinan yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut, meskipun ada yang
tersebar dalam undang-undang lainnya seperti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KUHP Pasal 279 tentang
pelanggaran atas perkawinan karena ada penghalang dari perkawinan lainnya Pasal 351
tentang Penganiayaan dan pernikahan terhadap anak dibawah umur terkait pasal 7 ayat (1)
undang-undang perkawinan, dapat menimbulkan efek negatif dalam penegakan hukumnya.
Kondisi hukum perkawinan di Indonesia yang tidak mempunyai ketegasan dalam
sistem pemidanaannya berikut sanksi pidana terhadap pelanggaran hukum terhadapnya
berimplikasi pada rapuhnya keadilan pada realitas penegakan hukum pidana perkawinan
di negara Indonesia bahkan berimbas pada banyaknya kondisi perkawinan pada
masyarakat Indonesia - yang secara umum berasaskan budaya partiarkal dan sebagian kecil
lain matrialkal – menjadikan akar budaya tersebut sebagai ‘legitimasi’ pelanggaran-
pelanggaran hukum terhadap hukum perkawinan, seperti pandangan semena-mena praktik
poligami liar (tidak berdasarkan undang-undang), kekerasan dalam rumah tangga dalam
berbagai bentuknya (dikecualikan dalam hal ini kekerasan verbal/ cekcok) dan pemalsuan
identitas perkawinan dan lainnya. Realitas yang demikian, sangat memprihatinkan
mengingat akar budaya bangsa Indonesia merupakan budaya timur yang menjunjung tinggi
adab dan kesopanan. Oleh karenanya perbuatan-perbuatan anarkhi-anarkhi tersebut
merupakan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat pidana yang pada realita sosial
kemasyarakatan terjadi secara ‘rahasia umum’ dalam praktek hukum perkawinan di negara
Indonesia.
Kita dapat sebut anarkhi tersebut sebagai feiten, timbul baik yang disebabkan oleh
budaya yang sudah tidak mengikat atau tumpulnya sensifitas moral maupun disebabkan
oleh pembacaan (tafsir) religi yang kurang mendalam dalam memahami kontekstualisasi
teks yang dalam hal ini seperti pendapat dari sebagian orang pelajar fiqh10 tentang sahnya
pernikahan diluar yurisdiksi instansi yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama
setempat. Tindakan semacam ini dan selainnya, banyak dijumpai dalam masyarakat
Indonesia sebagai anggapan kelumrahan (udzrun). Semakin memperburuk keadaan saat
mana para pelaku feiten tersebut mendapat izin dari orang yang mereka sebut ustadz disaat
yang sama para pelaku hanya mengambil keuntungan dengan keberadaan ustadz-ustadz
yang berpendapat bolehnya tindakan tersebut. Feiten yang demikian dan selainnya (yang
akan Penulis kaji) banyak ditemui pada banyak tempat di Indonesia, sebagian indikasinya
masih adanya pengajuan isbat nikah terhadap perkawinan diatas tahun 1974 yang diajukan
pada Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.
9
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 45 menyatakan :
1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka :
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan
Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran..
10
Pelajar fiqh atau disebut dalam bahasa Inggris Islamic traditional scholar, penulis menyebut demikian
disebabkan karena orang-orang yang berpendapat demikian belum sampai pada derajat mufti tsabit (para cendekiawan
muslim yang luas pemahaman fiqh dan siyasah islam dan diakui sebagai mufti).
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
11
Pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek
van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
12
Simons, Leeboek I h. 134 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang
Berlaku di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 211.
13
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-undang Pidana
Khusus, https://media.neliti.com.
29 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
14
“Bahwa peradilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
31 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
15
Morris L Cohen & Kent C Olson, “Legal Research in A Nutshell”, (St Paul Minn: West Publishing Co, 1992), hlm.
1.
16
Peter Mahmud Marzuki “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h lm. 35.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
17
Quentin Skinner, ed., The Return of Grand Theory in The Human Sciences, (Cambridge, 1985).
18
Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and The Subject Matter Jurisdiction of The International Criminal
Court, Genocide, crimes Against Humanity, War Crimes, (Leiden: Intersentia, 2001).
19
Dalam pidato untuk mengakhiri jabatan sebagai Guru Besar di FH UNDIP, Satjipto Rahardjo membacakan karya yang
sangat menarik dengan judul, “Mengajarkan Keteraturan, Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order, Finding Dis-
Order), Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan”, Pidato Emiritus Guru Besar UNDIP, 15
Desember 2000
20
Satjipto Rahardjo, “Menuju Produk Hukum Progresif” Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas yang
diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Juni 2004.
21
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1/No. 1/ April 2005,
PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hal. 5. Lihat juga Satjipto Rahardjo, “Hukum Dalam Jagat Ketertiban”, Jakarta, UKI Press, 2006,
Hal. IX.
33 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.22
b. Teori Sistem Hukum Family Law.
Teori system family law telah digunakan oleh beberapa negara maju dalam
hukum seperti United Kingdom/ Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Iran,
India, Malaysia dll. Family Law sebagaimana yurisprudensi-yurisprudensi pada
negara-negara tersebut -contohnya family law pada United Kingdom23 dan pada
Australia24 merupakan peradilan yang bersifat khusus (lex spesialis) terhadap
perkara-perkara dalam bidang perkawinan, meliputi sengketa perdata dan pidana
yang berkaitan secara khusus kepada keluarga yang bertujuan pokok melindungi
keluarga dan anak.
c. Teori Pemidanaan (Pemberian Ancaman Hukuman).
Teori paling dasar yang dari pengertiannya secara logika hukum turun teori-
teori pemidanaan lainnya, disebutkan oleh Anselm von Feuerbach, berpendapat
bahwa asas yang penting bagi pemberian ancaman pidana yakni setiap penjatuhan
pidana oleh hakim haruslah merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan
menurut undang-undang dengan maksud menjamin hak-hak yang ada pada setiap
orang.
d. Teori Nilai Dasar Hukum Gustav Radbruch.
Tujuan hukum yang banyak dipergunakan oleh para sarjana hukum
dikemukakan oleh Gustav Radbruch25 adalah mewujudkan kepastian hukum
(rechtszekerheid), keadilan (rechtsgerechtigheid), dan kemanfaatan
(rechtsutiliteit).
3. Teori yang berkualifikasi sebagai Applied Theory, merupakan kelanjutan dan sub-
teori dari Grand Theory yang berlaku sebagai teori yang bersifat aplikatif dalam sistem
hukum yang diteliti dalam hal ini adalah sistem hukum Indonesia sebagai berikut :
- Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia.
D. Metodologi Penelitian.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian yuridis
normatif. Pendekatan penelitian yuridis normatif dimaksudkan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) sebagai data primer dan bahan pustaka bersifat
hukum sebagai data sekunder. Oleh karena itu data yang dipergunakan adalah data yang
diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka, 26 demikian pula dengan
putusan-putusan pengadilan.
Bab II Hasil Penelitian
A. Kaitan Tindak Pidana Perkawinan Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Di
Indonesia.
A.1. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Di Indonesia.
A.2. Sistem Peradilan Di Indonesia
Sistem berasal dari Bahasa Yunani Sistema27 telah dirumuskan para ahli, diantara
rumusan yang memuaskan adalah Sudikno Mertokusumo memperjelas dalam ungkapan
umum sebagai suatu kesatuan yang utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-
22
Ibid.
23
https://www.legislation.gov.uk/ukpga/1996/27/contents
24
https://www.ag.gov.au/families-and-marriage/family-law-council
25
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk,
2002), hlm. 85.
26
Soerjono soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 13.
27
H. Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019), hlm. 9.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan kait mengkait. 28 lalu
penjelasan yang cukup dari Gabiel A. Almond yang mengartikan sistem sebagai suatu
konsep ekologis yang menunjukkan suatu organisasi yang berinteraksi dengan satu
lingkungan yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. 29 R.I. Ackof menambah
kejelasan sistem sebagai entity conceptual or physical, wich concists of interdependent
parts.30 Muladi, Seorang ahli hukum Indonesia mempertegaskan dan memperjelas lagi,
bahwa sistem harus dilihat dalam konteks , baik sebagai physical sistem dalam arti
seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai
abstract sistem dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang
satu sama lain saling ketergantungan.31
Rumusan ini semakin rinci di perkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, sistem
hukum dibagi menjadi tiga bagian atau komponen 32 yaitu pertama, Komponen Struktural
contohnya legislative, pengadilan dan berbagai badan dan Lembaga yang memberlakukan
hukum, kedua, Komponen Substansi contohnya peraturan-peraturan, kaidah hukum, 33
jurisprudensi, ketiga, Komponen Budaya Hukum contohnya keseluruhan nilai social,
ideologi cita negara, interaksi rakyat terhadap hukum.
Negara hukum Indonesia sebagaimana amanat Undang-undang Dasar 1945 beserta
amandemennya, meletakkan dasar Justice Sistemnya berdasarkan unsur-unsur teori negara
hukum, berdasarkan pedoman dasar hukumnya yaitu Undang-undang Dasar 1945 beserta
amandemennya dan KUHAP, pada unsur-unsur sebagai berikut:
1. Legislatif.34
2. Pelaksana Undang-undang (polisi, jaksa, Pengadilan, dan penjara).
3. Seperangkat peraturan yang menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia
diantaranya Lembaga bantuan hukum (yang akan dipaparkan pada bagian
penyelidikan polisi).
Salah satu unsur sistem hukum/ peradilan Indonesia bagian peradilan, setelah
reformasi 1998 Undang-Undang membuat formasi peradilan modern sebagai wujud prinsip
the rule of the law and not of man yang sejalan dengan pengertian nomocratie yang berarti
kekuasaan dijalankan oleh hukum, maka tugas kehakiman berdasarkan Undang-Undang
1945 beserta amandemennya Pasal 24 ayat 2 kekuasaan Kehakiman di lakukan oleh
Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan dibawahnya ….. serta pengadilan-
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan badan peradilan tersebut dan sebuah
Mahkamah Konstitusi yang wewenangnya diatur dalam Pasal 24 C tentang pengujian
undang-undang terhadap undang-undang Dasar, sengketa antar Lembaga negara,
pembubaran partai politik dan hasil pemilu, oleh karena tidak ada relevansinya dalam
penelitian ini maka tidak perlu dibahas.
Adapun penelitian ini berjudul TINDAK PIDANA PERKAWINAN DIHUBUNGKAN
DENGAN ASAS SEDERHANA, CEPAT, BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN DI
INDONESIA, berkaitan erat dengan sistem peradilan pidana dan sistem peradilan perdata,
pada dua badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan
Agama, sedangkan badan pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara tidak
memiliki kaitan dengan penelitian ini, sebabnya itu tidak dibahas lebih lanjut.
28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 31.
29
Ali Mufiz, Sistem Administrasi Negara, (Jakarta: Karunika, 1985), hlm. 137.
30
Philips DC, Holistic, Thought In Social Science, (California: Stanford University Press, 1988), hlm. 60.
31
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP. UNDIP, 1995), hlm. 3.
32
Agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 1986), hlm. 5.
33
H. Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana…. Op. Cit. hlm 14.
34
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP -Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2014), hlm. 90.
35 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
Sistem peradilan yang dijalankan Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama yang
berkaitan dengan perkara ini adalah dua sistem yaitu sistem peradilan pidana dan sistem
peradilan perdata, berikut tinjauan umum kedua sistem tersebut:
Pengadilan-pengadilan yang masuk dalam sistem peradilan di Indonesia menurut
undang-undang antara lain:
I. Lembaga hukum tertinggi
1. Mahkamah Agung: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang diubah dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 yang diubah yang kedua dengan Undang-
undang nomor 48 Tahun 2009.
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun Mahkamah Konstitusi.
II. Badan dibawah Mahkamah Agung
1. Peradilan Umum, meliputi:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor
8 Tahun 2004 dan diubah yang kedua dengan Undang-undang Nomor 49 Tahun
2009 tentang Peradilan Umum.
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang diubah dengan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak.
3. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
5. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.
7. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang didalamnya diatur Pengadilan Niaga.
8. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yaitu didalamnya diatur
tentang Pengadilan Perikanan.
2. Peradilan Agama, meliputi:
1. Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama (Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah yang
kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama).
2. Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (Pasal 2 Undang-
undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
3. Peradilan Militer
Diselenggarakan pada Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer (Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer).
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Diselenggarakan pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah yang kedua dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
1. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.
Sistem peradilan pidana di Indonesia digariskan oleh KUHAP merupakan “sistem
terpadu” (integrated criminal justice sistem) yang diletakkan diatas landasan prinsip
diferensiasi fungsional diantara apparat penegak hukum sesuai deng “tahap proses
kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Berdasarkan
kerangka landasan dimaksud aktivitas pelaksanaan criminal justice sistem, merupakan
“fungsi gabungan” dari:35
35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…., Op. Cit. hlm. 90
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
1. Legislator
2. Polisi
3. Jaksa
4. Pengadilan.
5. Penjara serta badan lain yang berkaitan.
Dengan demikian, system peradilan Pidana dilaksanakan oleh empat fungsional
utama yaitu:
a. Legislator sebagai fungsi pembuatan peraturan dan Undang-undang.
a. Fungsi ini dilakukan oleh DPR dan dibantu Pemerintah atau badan lain
berdasarkan ketentuan Undang-undang seperti Mahkamah Agung yang
dapat menetapkan Aturan ke dalam institusinya berkaitan dengan hukum
acara atau bila terjadi kekosongan hukum dalam bentuk SEMA, PERMA, dan
seperti hal demikian yakni Kepolisian yang dapat menerbitkan perkapolri
dll.
b. Polisi sebagai aktivitas penegakan hukum garda pertama.
Polisi, dalam KUHAP dalam system terpadu differensi fungsional menspesialisasi
Polisi sebagai “penyelidik tunggal”36 yang berfungsi melaksanakan:
1) Tindakan Preventif, yaitu mencegah masyarakat melakukan tindak pidana,
melaksanakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai Pasal 3 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
2) Tindakan Penyelidikan Dan Penyidikan.
a) Penyelidik adalah semua pejabat polisi Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP) yang
memiliki kewajiban:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Dalam Undang-undang membagi dua kelompok pelapor:
b. Orang yang “berhak” melapor atau mengadu yaitu setiap orang yang
mengalami, melihat, menyaksikan, menjadi korban tindak pidana.
c. Orang yang “wajib” melapor atau mengadu yaitu, setiap pegawai negeri
dalam rangka melaksanakan tugas mengetahui tentang terjadinya peristiwa
pidana, dan orang yang mengetahui adanya pemufakatan jahat untuk
melakukan tindakan pidana atas ketentraman, keamanan umum, jiwa, hak
milik.
Nilai kewajiban lapor disini bersifat moral dan tidak ada sanksi atas tidak
melaksanakan kewajiban melapor37, dalam masalah ini (berkaitan dengan
the rule of law) penulis tidak sependapat, seharusnya ada sanksi meski
berupa kewajiban moril maupun denda.
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
5. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
6. Penangkapan, sesuai Pasal 17 dilaksanakan dengan alasan:
- Adanya dugaan keras tersangka melakukan pidana,
- Adanya dugaan keras tersebut didasarkan pada permulaan bukti yang
cukup. “permulaan bukti yang cukup” dalam praktek dan teori, oleh
pembuat undang-undang diserahkan kepada penilaian penyidik, hal yang
36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…., Op. Cit. hlm. 366.
37
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…. Op. Cit. hlm. 119.
37 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
38
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan…. Op. Cit. hlm. 158.
39
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana…,. Hlm. 33.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
mempunyai kewajiban berupa wewenang:
a. Menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang khusus pada salah satu pasalnya. Seperti penyidik bea cukai,
penyidik imigrasi, penyidik kehutanan. PPNS bekerja dalam ketentuan sebagai
berikut:
a. Berkedudukan dibawah dan dalam koordinasi serta pengawasan dan arahan
Polri (Pasal 107 ayat 1 KUHAP).
b. Melaporkan tindak pidana yang disidik kepada Polri (Pasal 107 ayat 2
KUHAP).
c. Hasil penyidikan PPNS diserah kepada Polri untuk diserahkan kepada
penutut umum (Pasal 107 ayat 3 KUHAP).
d. Penghentian penyidikan dibawah arahan Polri (Pasal 109 ayat 3 KUHAP).
Penjelasan tentang “Koordinasi dan Pengawasan” adalah bentuk
kegiatan Penyidik Polri dalam mengawal PPNS yang melakukan penyidikan,
dengan tujuan agar berkas yang dibuat dapat memenuhi syarat formil dan
meteril. Implimentasi “Koordinasi dan Pengawasan” berupa pemberian bantuan
berupa bantuan personil maupun peralatan, bantuan teknis penyidikan, (seperti
Labotarium Forensik, Identifikasi, NCB-Interpol), bantuan upaya paksa
(pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan), dan
konsultasi teknis penyidikan. “Koordinasi dan Pengawasan” berperan untuk
menjembatani dalam penanganan kasus, manakala PPNS tidak berwenang
menangani kasus yang dihadapi dan karena keterbatasan wewenang PPNS.
Berkaitan dengan itu, maka berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf UU No.
2 Tahun 2002, Polri melakukan pembinaan teknis yang dilakukan semenjak
dilaksanakan pendidikan dan latihan penyidikan bagi calon PPNS sampai pada
kegiatan operasional.40 Pelaksanaan Koordinasi dan Pengawasan terutama
dalam pemberian bantuan penyidikan mekanismenya telah diatur dalam Pasal
107 ayat (1) yang berbunyi “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri
memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan”. Penjelasan tentang “Penyidik Polri diminta atau tidak diminta
berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan kepada
PPNS yang sejak awal wajib memberi tahukan tentang penyidikan itu kepada
penyidik”.
40
Ibid, hlm. 90.
39 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
45
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana…hlm. 14.
46
P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut
Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984), hlm. 79.
47
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana…., hlm. 77.
41 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
5. Tahapan pembuktian.
6. Tahapan requisitoir/ tuntutan pidana.
7. Tahapan pledoi/ pembelaan.
8. Tahapan replik dan duplik.
9. Tahapan putusan hakim.
c) Peradilan Acara Singkat/ Sederhana (Sumir -Hir), diatur dalam BAB XVI bagian
kelima (Pasal 203). Adapun cirinya:
1. Secara praktek, peradilan acara singkat ditujukan terhadap perkara pidana yang
dinilai penuntut umum akan dijatuhi hukuman pidana tidak melampaui 3 tahun.
2. Pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu lama
dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau dalam dua kali
persidangan.
3. Tetap berpedoman dengan acara biasa namun dengan perbedaan penuntut umum
tidak perlu membuat surat dakwaan secara tertulis, dakwaan cukup secara lisan
kepada Terdakwa dimuka persidangan.
4. Penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi-saksi dan barang bukti.
Seteleh terdakwa diperiksa identitas kemudian penuntut umum memberitahukan
dengan lisan dari catatannya tentang tindak pidananya serta menerangkan waktu,
tempat dan keadaan waktu tidak pidana dilakukan. Pemberitahuan ini dicatat oleh
panitera sidang dalam berita acara pemeriksaan sidang sebagai pengganti “sudat
dakwaan”.
5. Pembuktian serta penerapan hukumnya yang mudah yaitu terdakwa mengakui
sepenuhnya atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya dan disertai alat
bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah menurut
undang-undang.
6. Dalam hal hakim memandang hakim memandang perlu dapat meminta penuntut
umum untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam jangka waktu maksimal 14
hari dan apabila 14 hari terlewati, hakim memerintahkan perkara diajukan dengan
acara biasa.
7. Putusan dalam acara singkat tidak buat secara khusus, cukup dibuat dan disampaikan
dimuka sidang yang dihadiri oleh terdakwa dan penuntut umum melainkan cukup
dicatat dalam berita acara sidang dan mempunyai kekuatan hukum sama seperti
putusan biasa.
8. Petikan dan Salinan berita acara sidang diberikan kepada Terdakwa, penuntut
umum, penyidik (Pasal 226).
d) Peradilan Acara Biasa Cepat, diatur dalam BAB XVI bagian keenam, (Pasal 205 – 210)
yang terdiri dari dua jenis:
1. Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 205) adapun cirinya:
a) Ancaman pidana paling lama 3 bulan
b) Denda sebanyak-banyak Rp. 7.500,00
c) Penghinaan ringan yang diatur Pasal 315 KUHP (pengecualian).
d) Hal-hal yang diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 yang pokoknya bila
nilai pidana pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan tidak lebih dari Rp.
2.500.000,00 dilakukan pemeriksaan cepat dengan hakim tunggal.
e) Kata-kata dalam KUHP Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 407 KUHP yang
berupa “dua ratus lima puluh” dibaca Rp. 2.500.000,00.
f) Perkara yang didakwa denda pada KUHP Pasal 301 ayat (1), (2), Pasal 303 bis
ayat (1), (2) yang diartikan “denda dilipatkan menjadi 1.000 seribu kali.
g) Penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta alat
bukti di persidangan dalam waktu 3 hari sejak berita pemeriksaan selesai
dibuat.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
h) Berita acara sidang tidak dibuat kecuali ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
berita acara pemeriksaan penyidik.
i) Disidangkan pada hari itu juga.
j) Pengajuan tanpa surat dakwaan dan Berita Acara sidang tidak dibuat.
k) Putusan tidak dibuat seperti acara biasa dan acara singkat, hanya berbentuk
catatan sekaligus berisi amar putusan dalam bentuk “catatan dalam daftar
catatan perkara”.
l) Putusan bersifat sebagai putusan peradilan instansi pertama dan banding
(terakhir) contoh pidana denda. Jika terdakwa keberatan dapat upaya hukum
kasasi kecuali dalam hal putusan berkaitan atas perampasan kemerdekaan
terdakwa dapat upaya hukum banding seperti (pidana kurungan).
2. Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan (Pasal 211) adapun
cirinya:
a) “Perkara pelanggaran tertentu” terhadap peraturan perundangan-undangan
lalu lintas yang dijelaskan pada Pasal 211.
b) Tanpa adanya berita acara umumnya baik oleh Penyidik maupun dalam
persidangan.
c) Berita acara berbentuk berita acara ringkas seperti formulir yang disediakan
penyidik yang memuat pelanggaran lalu lintas yang didakwakan dan catatan
pemberitahuan hari, tanggal, jam dan tempat sidang yang akan dihadiri oleh
terdakwa.
d) Pemeriksaan sidang dapat dilakukan dengan tanpa dihadiri terdakwa atau
wakilnya.
e) Dalam hal putusan tentang perampasan kemerdekaan dapat diajukan banding
dalam waktu 7 hari sesudah pemberitahuan putusan kepada terdakwa.
f) Putusan dalam bentuk sederhana berupa catatan yang dibuat hakim dalam
catatan/ suatu formulir yang disebut surat amar putusan.
g) Panitera mencatat isi putusan dalam register.
2) Pengadilan Tinggi.
- Tugas Pokok Pengadilan Tinggi:
1. Menyelengarakan peradilan yang agung di wilayahnya.
2. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaran peradilan di
wilayah hukumnya.
3. Pengadilan Tinggi menyelenggarakan pemeriksaan peradilan tingkat kedua yang
bersifat upaya hukum banding /biasa dalam pemeriksaan umum dan
konvensional pada setiap putusan pengadilan tingkat pertama di wilayah
Pengadilan Tinggi tersebut, yang diajukan oleh Terdakwa atau Penuntut umum.
(Pasal 67 jo. Pasal 233 KUHAP). Adapun alasan upaya hukum banding dalam hal-
hal yang diatur pada KUHAP Pasal 240, Pasal 183, Pasal 193 ayat (2), Pasal 84,
Pasal 143 ayat (2) huruf (b), Pasal 205 ayat (3), hukuman yang terlalu berat dan
tidak memenuhi rasa keadilan.
Pemeriksaan tingkat banding tidak berhadapan langsung dengan pihak-pihak
terkait, tetapi berdasar berkas perkara yang terdiri dari:
a. Berita acara pemeriksaan.
b. Berita acara sidang Pengadilan Negeri.
c. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri.
3) Mahkamah Agung.
a) Tugas Dan Fungsi Pokok Mahkamah Agung.48
1. Fungsi Peradilan.
48
https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi
43 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
49
Ronald S. Lumbuun, PERMA RI (Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia) Wujud Kerancuan Antara
Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 132.
50
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2001), hlm.144
51
Ronald S. Lumbuun, PERMA ……. Op. Cit, hlm. 132.
45 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
52
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hlm 69.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
57
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2008), hlm. 7.
58
Ibid.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya,
20). Penetapan asal usul seorang anak, 21). Putusan tentang hal penolakan
pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran 22. Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
3. Berasaskan personalitas keislaman59 yaitu peradilan bagi orang-orang beragama
islam (Pasal 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. Pengadilan Agama memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara
berdasarkan hukum Islam (Pasal 2, 49 dan penjelasan umum Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama).60
c) Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu yaitu pengadilan yang menyelenggarakan
peradilan tentang sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, juga
sengketa kepegawaian, baik di pusat maupun di daerah yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 dan diubah yang kedua dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
3) Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan terkait upaya hukum
perdata biasa banding pada tiap wilayah yurisdiksinya masing-masing.
4) Mahkamah Agung, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan terkait upaya
hukum perdata biasa dan luar biasa.
6. Sistem Hukum Family Law
Penegakan hukum menggunakan sistem hukum family law telah dikenal dan
dipraktekkan oleh negara-negara maju seperti Australia, Inggris, Amerika Serikat, Turki,
bahkan telah ada juga pada beberapa negara berkembang seperti India, Malaysia, al jazair
dan lain-lain, sedangkan sistem peradilan di Indonesia sampai saat ini belum mengenalkan
sistem hukum family law.
Keistimewaan Sistem hukum family law dengan sistem lainnya adalah sistem
hukum family law tidak mengenal adanya pemisahan perkara pidana dan perdata
sebagaimana sistem peradilan di Indonesia. Hal tersebut disebabkan kebutuhan
pemenuhan keadilan yang diharapkan terjadi pada sengketa yang berkaitan dengan
keluarga terpenuhi dalam sistem yang efektif dan efisien, guna meletakkan posisi keadilan
pada kaum perempuan dan anak-anak sejajar dengan kaum laki-laki.
Istrumen hukum bagi tegaknya family law pada beberapa maju tersebut didasarkan
atas undang-undang yang terkait dengan keluarga yaitu:61
1. Undang-undang HAM seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan Undang-
undang HAM tahun 1998
2. Undang-undang perkawinan seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan
undang-undang perkawinan tahun 1973,
3. Undang-undang anak seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan undang-
undang anak tahun 1989.
4. Undang-undang keluarga seperti pada negara Inggris (united kingdom) dengan
undang-undang keluarga tahun 1996.
59
Abintoro Prakoso, Sistem Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2019), hlm. 99.
60
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 8.
61
https://en.wikipedia.org/wiki/English_family_law
49 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
62
Lenore J Weitzman, "The Economics of Divorce: Social and Economic Consequences of Property, Alimony and Child
Support Awards". (California: UCLA, 1980) Law Review. 28: 1181. Retrieved 9 October 2019.
63
Jeff Atkinson,. "ABA Family Legal Guide". American Bar Association. Retrieved 31 October 2017.
64
Walter Wadlington, "Adoption of Adults a Family Law Anomaly". Cornell Law, 1980–1981), Review. 54: 566.
Retrieved 9 October 2019.
65
Capron, A.M.; Radin, M.J. (1988). "Choosing Family Law over Contract Law as a Paradigm for Surrogate
Motherhood". Law, Medicine & Health Care. 16 (1–2): 34–43. doi:10.1111/j.1748-
720X.1988.tb01048.x. PMID 3060684. S2CID 20125279.
66
Moloney Lawrie, Smyth, Bruce M.; Weston, Ruth; Richardson, Nich; Qu, Lixia; Gray, Matthew
(2007). "Allegations of family violence and child abuse in family law children's proceedings: key findings of Australian
Institute of Family Studies Research Report No. 15". Family Matters. 77. Retrieved 9 October 2019. Lay summary..
67
Lee, Chang Ling (1975). "Current Status of Paternity Testing". Family Law Quarterly. 9 (4): 615–
633. JSTOR 25739134.
68
Paternitas artinya permohonan atau sengketa penetapan ayah.
69
Barbara A. Babb, (1998). "Fashioning an interdisciplinary framework for court reform in family law: A blueprint
to construct a unified family court". Southern California Law Review. 71: 469. Retrieved 9 October 2019.
70
Committee of President of The Family Division, the Solicitor General, High Court Family Division, Related
Family and Criminal Proceedings - A Good Practice Guide-, (London: Law Society Publishing, 2007).
71
Ibid.
72
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 1.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
1. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ yang
dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana; norma-
norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu; hukum
penitensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;
3. Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan
batas ruang lingkup kerja dari norma-norma;
Jan Remmelink lebih lanjut meringkas pendapat diatas dengan mengemukakan
hukum pidana adalah hukum tentang penjatuhan sanksi yang mungkin juga sanksi tersebut
berupa pengenaan atau tindakan-tindakan lainnya, sebagai ilustrasi pemidanaan yaitu
penyerahan terdakwa kepada perawatan di rumah sakit jiwa.73
Dalam hukum pidana terdapat pengkategorian delik yang pada tahun 1789 di
Perancis menetapkan pemilahan 3 kategori: crimes, delicts dan contraventions. Pada
pemeriksaan tindakan pelanggaran yang paling serius, yang diancam dengan sanksi pidana
paling keras diserahkan kepada juri dengan tujuan agar hal ini suara rakyatlah (vox populi)
yang menentukan dan mentapkan keadilan. Sementara di Belanda tahun 1886
menggunakan pemilahan dua kategori yakni: kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen) yang hingga saat ini juga berlaku di Indonesia74 yang seharusnya telah
terjadi perubahan jika RKUHP disahkan pada tahun 2020.
Pemilahan diatas ditegaskan lagi dalam Memorie va Toeclichting / memori penjelasan
yang menjelaskan kejahatan dimengerti sebagai delik hukum (rechtsdelicten/in mala) dan
pelanggaran sebagai delik undang-undang (wetsdeichten). Namun Jan Remmelink menutup
penjelasannya dengan memuaskan: “sebenarnya tidak satupun tindak pidana yang atas
dasar suatu sistem pengertian tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan yang
lainnya sebagai pelanggaran. Yang lebih menentukan adalah makana dari kebendaan
hukum yang tersentuh oleh tindak pidana yang bersangkutan, ruang lingkup pelanggaran
hukum yang terjadi, bagaimana hal itu terjadi dan lain-lain.” 75 Dan “jika memang ada
perbedaan substansial, pembuat undang-undang akan mengalami kesulitan ketika ingin
mengubah kategorisasi delik. Misalnya dalam hukum lalu lintas, yaitu ketika tindakan
mengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan terpengaruh minuman beralkohol,
pertama kali digolongkan sebagai pelanggaran kemudian pada tahun 1951 diubah menjadi
kejahatan. Pendapat ini juga didukung oleh Prof. Lamintang yang mengemukakan dampak-
dampak kategorisasi delik pelanggaran sebagaimana peneliti sebut dalam Bab I
pendahuluan.
Suatu keberhasilan yang memberikan perbedaan dalam kajian hukum di Indonesia
tampak dari hasil pergulatan fikir para sarjana hukum Indonesia tahun 2020an yang
mencoba membangun kultur hukum Pidana Indonesia secara original. Dimulai dari
reformasi politik tahun 1998, perspektif para ahli hukum Indonesia telah membuahkan
hasil berupa RUU KUHP yang hingga karya ini ditulis masih belum pula disahkan sebagai
dasar hukum pidana nasional sebagai akibat dari pasal-pasal kontroversial yang sedikit
saja. Dalam RUU KUHP yang di bahas di DPR pada Tahun 2020 ternyata tidak lagi
mengkualifikasi tindak pidana menjadi dua pengertian yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP disebutkan bahwa RUU KUHP tidak membedakan lagi
antara tindak pidana/strafbaarfeit berupa kejahatan/misdrijven dan tindak pidana
pelanggaran/overtredingen tetapi untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana.76
73
Ibid, hlm. 7.
74
Ibid, hlm. 66.
75
Ibid, hlm. 67.
76
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana …., Op. Cit.
51 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
Berdasarkan perspektif diatas, maka hukum apapun, jika hukum tersebut secara
legalistic positivis menetapkan adanya sanksi terhadap pelanggaran atas perundang-
undangan yang dengan perbuatan itu dikenakan sanksi oleh undang-undang maka
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana.
Dalam penegakan hukum terhadapnya mengikuti sistem hukum pidana yang
ditentukan oleh Kitab Hukum Acara Pidana. Rusli Muhammad menyatakan terkait hal ini
bahwa “undang-undang tidak memberikan pengertian resmi 77 mengenai hukum acara
pidana, yang ada adalah berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum
acara pidana itu, misalnya, penyidikan, penyelidikan, penangkapan dan sebagainya. Untuk
mengetahui pengertian hukum acara pidana dapat ditemukan dalam berbagai literatur
yang dikemukakan oleh para pakar”.78
Penegasan yang cukup memuaskan atas berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP terhadap proses pidana secara umum terdapat dalam penjelasan
undang-undang tersebut nomor tiga (3) yang berbunyi : “….tetapi kitab inipun juga memuat
hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses pidana dan memuat pula
hukum acara pidana Mahkamah Agung ….”, bahkan pada Pasal 284 KUHAP menetapkan
adanya pengecualian atas berlakunya KUHAP ini dalam hal kemungkinan (probability)
adanya ketentuan khusus atau perubahan atau dinyatakan tidak berlaku.79
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta hukum diatas, terkait penelitian ini, maka
pasal-pasal terkait hukum perkawinan yang mana hukum perkawinan sendiri pada asalnya
hukum perdata, sepanjang pasal-pasal tersebut mengandung unsur-unsur pemidanaan
yaitu sifat melawan hukum (wederrechttelijkkheid), kesalahan (schuld), dan (kemampuan
ber-) tanggung jawab menurut hukum pidana (toerekeningsvarbaarheid),80 maka tindakan-
tindakan pidana atas hukum perkawinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam
rangkaian sistem terpadu hukum pidana di Indonesia.
A. Kaitan Tindak Pidana Perkawinan Di Indonesia Dihubungkan Dengan Asas
Sederhana, Cepat, Biaya Ringan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
konsideran huruf (c) memberikan penjelasan secara implisit bahwa undang-undang
tersebut bertindak selaku pengganti atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
mengganti Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
Meski demikian telah terjadi 3 (tiga) kali perubahannya, semua undang-undang tersebut
memberi perintah bersifat imperative bahwa asas peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Asas ini merupakan asas bagi sistem peradilan yang dicitakan para penuntut
keadilan di seluruh dunia, agar asas ini benar-benar berlaku pada sistem peradilan suatu
negara. Karena telah mendunia kritik terhadap peradilan, yang mana semua kritik itu
bernada tidak puas atas kinerja dan keberadaan peradilan.81 Yahya Harahap82
mengemukakan beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada Pengadilan terutama di
era 1980,83 antara lain:
77
Pasal 285 KUHAP yang berbunyi: Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
78
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana, … Op. Cit. hlm. 1.
79
Pasal 284 KUHAP.
80
Jan Remmemlink, Hukum Pidana …, Op. Cit. hlm. 86.
81
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1997), hlm. 233.
82
Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia yang purna bhakti pada tahun 2000. Pada riwayat hidup
Penulis, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP…., Op. Cit. buku II, hlm. 470.
83
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 233-235.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
86
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaeb3dabfab7fc7aa62f303833303431.html
55 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
Salah satu akibat dari penanganan secara biasa yaitu terpidana akan diletakkan
pada penjara atau Lembaga pemasyarakatan terhadap kejahatan secara umum, padahal
masalah kerumahtanggaan adalah masalah psikologis yang perlu penanganan khusus
yang bila dicampur dengan nara pidana lain akan menghasilkan lulusan narapidana
baru yang memperoleh keilmuan kejahatan yang baru. Sedangkan penanganan
terpidana kejahatan perkawinan perlu diarahkan kepada penanganan pembentukan
karakter ke rumahtanggaan yang telah putus dalam jiwa seseorang yang sedang sakit
tersebut.
Penegakan hukum terhadap pelaku pidana perkawinan haruslah diterapkan
kepadanya konsep keadilan retoratif dan rehabilitasi yang bersifat khusus dikarenakan
kebutuhan akan pemulihan pelaku ketika lepas dari penjara bersifat psikologis
disebabkan kejahatan yang dikenai olehnya merupakan hukum perkawinan tempat ia
bermula hidup, bermulai belajar hidup dan mewariskan (legacy) tradisi kebaikan dan
peradaban yang maju bagi anak turunnya.
Meski demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan pada penanganan
penegakan hukum terhadap tindak pindana perkawinan pada peradilan-peradilan
negeri umum di Indonesia, pada saat ini, telah sesuai dengan kebijakan yang diarahkan
oleh Mahkamah Agung, yang mana kebijakan tersebut telah sesuai dengan kondisi
hukum sepanjang tahun 1945 sampai zaman ini.
Namun, melihat perkembangan social kemasyarakatan yang semakin maju
dengan problematika kehidupan yang bermacam-macam serta kemajuan pemikiran
filosofi hukum di negara-negara maju, maka tidak dapat disalahkan jika sebagian besar
masyarakat awam, para pegiat social, HAM dan keperempuanan, serta para praktisi
hukum memandang penanganan pemeriksaan perkara tipika dengan tipe system
peradilan di Indonesia saat ini sebagai system peradilan yang lemah, tidak tegas,
berbelit-belit, rumit, tidak memenuhi keadilan bagi korban terutama kaum perempuan,
tidak memenuhi ekspektasi keadilan yang memihak HAM, tidak mencerminkan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pertimbangan keharusan tetap berpegah teguh dalam ketelitian dan kecermatan
dalam rangka pemeriksaan yang diharapkan efisiensi dan efektif (sederhana) dan
pelaporan terhadap pemeriksaan perkara lebih dari 6 (enam) bulan menunjukkan
bahwa letak kebutuhan efisiensi dan efektivitas tidak bisa menafikan tujuan pokok
peradilan dalam mencapai keadilan yang sebenarnya. Ukuran waktu tersebut adalah
sebagai batas minimal pemeriksaan yang bersifat relative sehingga ketika kebutuhan
keadilan yang membutuhkan waktu yang lebih, maka proses keadilan tetap
dikedepankan dengan pemberitahuan yang bersifat administrative. Oleh karena
kebutuhan keadilan tidak bisa dirampas oleh waktu, maka efisiensi dan efektivitas
haruslah dicarikan jalan untuk itu, sehingga dengan asas sederhana (efisiensi dan
efektif) keadilan dapat dicapai dengan tidak mencederai proses dan keadilan yang
dicitakan.
Bila dibandingkan penanganan perkara tindak pidana perkawinan dari sistem
peradilan di Indonesia dengan pemisahan proses pidana dan perdata perkawinan
dalam dua bentuk persidangan vis a vis sistem peradilan yang menggunakan sistem
hukum family law, maka efisiensi dan efektivitas tampaknya lebih dipenuhi dalam
sistem hukum family law yang mana sistem tersebut menggabungkan proses pidana
dan perdata dalam perkara perkawinan dalam satu persidangan seperti perceraian
dengan KDRT, pembatalan nikah dengan poligami liar, pembatalan nikah dengan
pemalsuan status dll.
System hukum family law telah banyak digunakan oleh negara-negara yang
diindikasikan dengan kemajuan peradabannya. Negara-negara yang menggunakan
system ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, New Zealand, Turki,
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
Malaysia dll. Pada tataran ini, penulis memandang bahwa pencetus system family law
menggunakan teori dasar pokok yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tentang
penjenisan perkara. Yang dalam hal ini Pound merupakan seorang filosof yang oleh
Jeremy Bentham sebut sebagai orang yang harus diberi ucapan terimakasih yang
banyak oleh Amerika Serikat disebabkan pengaruh pemikirannya yang luar biasa atas
kemajuan hukum di Negara tersebut, termasuk dalam hal ini konsep family law.
Sebagaimana suatu adagium menyatakan “hukum tidak hidup dalam ruang
hampa” maka hukum dan peradilan di Indonesia seharusnya beringsut dari tempat
berdiam mandegnya. Agar hukum dan peradilan di Indonesia lebih mampu memenuhi
rasa haus para pencari keadilan terkait hukum perkawinan, maka ia harus berproses,
berkembang dan maju sebagaimana teori hukum progresif dari Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH., M.H., yang menyatakan “Hukum adalah suatu hal yang terus-menerus
membangun dan mengubah dirinya ke tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
kesempurnaan di sini dapat dibuktikan dalam faktor keadilan, kesejahteraan,
kepedulian terhadap rakyat dan lain-lain.” “…. termasuk hukum, diusahakan dengan
progresif, dengan terus berusaha untuk berada pada puncak perkembangan atau
kemutakhiran ilmu.”87
Dengan mempertahankan proses penanganan yang dikehendaki sistem
peradilan di Indonesia terkait tindak pidana perkawinan yang terjadi saat ini, lalu
ditambahi dengan sistem pengadilan anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 dan PERMA 3 Tahun 2017 tentang penanganan perempuan dan anak
dihadapan hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang perempuan dan
anak, tetapi tanpa adanya perubahan dalam sistem peradilan yang dapat
mengakomodasi substansi peraturan-peraturan perundangan tersebut hanya akan
membuat ruwet dan sengkarut hukum tanpa adanya solusi terwujudnya asas
sederhana, cepat dan biaya ringan dalam tataran praktis. Oleh karena itu, jika hal
demikian terus terjadi dan tidak ada perubahan semakin membuat seakan-akan
masyarakat hukum (para sarjana hukum) di Indonesia pun turut dalam arus kegelapan
hukum sebagaimana adagium “tersesat dalam jalan yang terang”.
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berada dibawahnya empat (4)
peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer merupakan konsep yang telah diakui oleh para sarjana hukum
Indonesia seperti Prof. Dr. Satjipto Rahardjo telah sesuai benar menurut kondisi sosio-
kultural Indonesia. Meski demikian sistem empat peradilan tersebut tidaklah
menafikan dan menegasi adanya sub sistem peradilan yang dapat diinfiltrasikan ke
dalam sistem empat wewenang peradilan tersebut. Hal tersebut disebabkan tidak
adanya larangan untuk kearah tersebut. Sehingga guna mewujudkan asas sederhana,
cepat dan biaya ringan terkait tindak pidana perkawinan dalam sistem peradilan di
Indonesia dapat dilakukan dengan cara menjadikan sistem hukum family law dalam
sub-sistem dalam kekuasaan dan kewenangan dalam pengadilan umum dan pengadilan
agama.
Pada tataran praktis, penerapan family law dapat diterapkan dalam system
peradilan pidana di Indonesia dengan analogi internal system pada peradilan umum
yang diterapkan pada institusi Pengadilan Negeri/ Umum yang juga menerapkan
system peradilan lainnya yaitu : Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Anak,
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Pajak, Pengadilan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan.
Berdasarkan hal yang demikian maka berkaitan dengan penegakan hukum
tindak pidana perkawinan dalam system peradilan di Indonesia diperlukan upaya
87
http://bankhukum.blogspot.com/2011/09/prof-dr-satjipto-rahardjo-sh-alm-hari.html
57 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
perubahan hukum secara progresif yang dilakukan oleh pangkal utama sistem ini yaitu
badan legislative dengan di dorong oleh praktisi hukum dari Mahkamah Agung untuk
membentuk aturan perundang-undangan tentang family law yang diterapkan pada
Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama.
Verifikasi yang patut dijadikan pedoman penerapan sistem hukum family law
dalam sistem peradilan di Indonesia adalah pada negara-negara maju yang telah
menerapkan sistem hukum family law juga memiliki kesamaan penerapan proses
penanganan pidana dengan sistem pidana terpadu demikian pula proses peradilan
dihadapan hakim serta pelaksanaan putusan dalam bentuk hukuman yang bersifat
restorative justice.
Kemanfaatan hukum akan semakin terasa besar, jika system peradilan di
Indonesia mengadopsi konsep hukum family law. Yang mana dapat digabungkan proses
pemeriksaan pidana dengan pemeriksaan perdata yang menyertainya secara lex
spesialis. Akselerasi pemeriksaan yang semakin terpenuhi dan dapat teridentifikasi
dengan mudah kondisi penegakan hukum perkawinan dalam rumah tangga-rumah
tangga pada suatu wilayah yurisdiksi sektoral. Yang demikian akan memicu rangsangan
stakeholder penegakan hukum lainnya selain pengadilan untuk melakukan upaya-
upaya penegakan hukum yang sifatnya preventif dan persuasive.
Kemanfaatan hukum lainnya adalah pemosisian konsep restorative justice
secara tepat, yaitu bilamana dalam proses pemeriksaan, korban KDRT (misalnya)
memberikan kemaafan kepada pelaku lalu perkara pidananya dengan nomor … (nomor
yang sama dengan kode berbeda pada institusi pengadilan yang sama) dicabut, maka
restorative justice telah mendapatkan nilainya secara tepat dimuka persidangan. Sebab
restorative justice yang dilakukan diluar persidangan tentunya tidak dapat dikatakan
memenuhi rasa keadilan secara utuh.
Penegakan hukum pidana perkawinan dengan sistem hukum family law
diharapkan akan merubah maindset hukum, legislator, professional hukum (advokat,
polisi, jaksa, hakim, petugas LP dll) dan masyarakat bahwa hukum perkawinan
mendapat perhatian negara secara komprehensif dan sungguh-sungguh serta
meningkatkan nilai kehormatan hukum perkawinan dimata masyarakat sehingga tidak
dengan mudah menghina dan menistakan perkawinan dengan cara-cara seperti
selingkuh, KDRT, gampang gonta-ganti pasangan suami atau istri, poligami liar dan
lain-lain.
BAB V
PENUTUP
B. Kesimpulan.
1. Tindak pidana perkawinan terdapat dalam ketentuan-ketentuan dan pasal-pasal
yang tersebar pada peraturan perundang-undangan yang berlainan, meski
demikian keadaannya seharusnya tidak menjadi acuan lemahnya penegakan
hukum terhadap tindak pidana perkawinan di Indonesia.
2. Tindak pidana perkawinan dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia
merupakan jenis tindak pidana biasa yang dilakukan penanganan penegakan
hukum terhadapnya dengan pemeriksaan biasa dan pemidanaan biasa.
Peradilan terhadanya pun secara praktik peradilan juga telah memenuhi asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam perspektif sistem peradilan
pidana terpadu di Indonesia saat ini.
Namun demikian, dalam praktiknya dan melihat kenyataan tingginya
angka sengketa hukum perkawinan (sebagaimana dalam lampiran 2 hal 1) yang
berbanding terbalik 180 derajat dengan penegakan hukumnya secara pidana
(lampiran 1 hal 1) maka diperlukan peningkatan penerapan justitia asas
sederhana, cepat, biaya ringan daripada perspektif Justitia di Indonesia saat ini.
Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 1: 25-30
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
C. Saran.
1. Diharapkan adanya kodifikasi hukum perkawinan yang komprehensif, progresif
dan responsive yang sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila yang menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia dalam proses penanganan perkara dan bangunan
system peradilan terhadapnya.
2. Diharapkan adanya peningkatan progresif terhadap penegakan hukum pidana
perkawinan yang dapat mempercepat proses penanganan perkara tindak pidana
perkawinan (tipika) yang bercirikan sebagai berikut :
a. Diharapkan adanya perubahan terhadap undang-undang perkawinan yang
menjadikannya bersifat lex spesialis dalam penegakan hukumnya dalam
sistem peradilan di Indonesia hal ini disebabkan hukum perkawinan yang
baik akan menghasilkan perkawinan-perkawinan yang baik yang
merupakan induk sebuah bangsa, yang berikutnya melahirkan putra-putri
bangsa yang berkeadaban yang maju dan berperadaban tinggi. Sebagaimana
buah yang bagus pastilah hasil dari pohon yang bagus.
b. Adanya perubahan tersebut bersifat lebih menguatkan identitas politik
hukum perkawinan di Indonesia sehingga hukum perkawinan di Indonesia
bernilai luhur. Hal ini disebabkan banyaknya para pakar hukum yang
menilai hukum perkawinan saat ini lemah. Diantara para pakar tersebut
adalah M. Yahya Harahap yang memberikan penilaian atas undang-undang
perkawinan semasa beliau masih menjabat hakim agung di Mahkamah
Agung Republik Indonesia (lampiran 4).
c. Diharapkan adanya inovasi-inovasi Justitia Mahkamah Agung atas
penanganan tindak pidana perkawinan (tipika) yang sifatnya progresif,
komprehensif dan responsive baik melalui instrument peradilan. Hal mana
disebabkan legislator tidak berhadapan langsung dengan praktik peradilan,
sedangkan para pencari keadilan membutuhkan keadilan yang sifatnya
sederhana cepat, biaya ringan.
d. Diharapkan adanya pemahaman yang diaplikasikan dalam program-
program Justitia terkait tindak pidana perkawinan (tipika) terkait asas
sederhana, cepat biaya ringan yang mana asas tersebut bersifat luas yang
mencakup pengembangan progresifitas penanganan perkara yang
responsive.
e. Diharapkan adanya inovasi Justitia yang melibatkan peranan Pengadilan
Agama untuk dapat menangani perkara tindak pidana perkawinan. Hal ini
disebabkan banyaknya perkara sengketa perkawinan yang didalamnya
tersembunyi (dalam lampiran 2 hal 1) dalam sengketa-sengketa
perkawinan, yang bila diproseskan ke instansi lain, secara praktik
banyaknya rakyat pencari keadilan yang merasakan kerumitan atas proses
tersebut. Namun jika sengketa perdata perkawinan yang didalamnya
terdapat tindak pidana perkawinan yang kemudian dapat dituntut dalam
persidangan majelis yang sama akan menjadikan 3 tujuan hukum yang
dikemukakan gustav radbruch yaitu kemanfaatan, kepastian, dan keadilan
semakin mudah dipenuhi disamping itu asas sederhana, cepat, biaya ringan
juga terpenuhi dengan peningkatan nilai yang progresif dan responsive
sebagaimana cita-cita hukum nasional Indonesia yang mandiri dan khas
Pancasila sebagaimana tujuan dari Teori dua Asas Hukum Nasional yang
berkaitan yaitu asas Wawasan Nusantara dan asas sosio-budaya.
59 | P a g e
Hukum progresif dalam sudut pandang filsafat hukum terhadap sistem hukum indonesia
Kamil Amrulloh
DAFTAR PUSTAKA