Anda di halaman 1dari 95

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF, BERAT

BADAN LAHIR RENDAH DAN POLA ASUH


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BUNIWANGI
KABUPATEN SUKABUMI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Kebidanan

SENJA NOVALIA HASTUTI


6221499

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2022
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
karunia-Nya, sholawat beserta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat yang ta’at kepadanya. Berkat
iradat-Nya penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi yang berjudul
“Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Buniwangi
Kabupaten Sukabumi”. Tujuan dari penulisan Proposal Skripsi ini adalah untuk
memenuhi salah satu syarat guna mendapat gelar Sarjana Kebidanan (S.Keb) di
Program Studi Sarjana Kebidanan, Fakultas Kebidanan, Institut Kesehatan
Rajawali Bandung.
Proses penyusunan proposal penelitian ini tidak lepas dari berbagai
kesulitan dan kendala yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, namun diantara kesulitan itu ada orang-
orang yang selalu memberikan jalan kemudahan bagi penulis dan sehingga
penulis banyak sekali mendapatkan bantuan, bimbingan, arahan maupun
dukungan moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sehingga
proposal penelitian ini tersusun dengan bantuan banyak pihak, untuk itu izinkan
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih kepada ;
1. Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes., selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali
Bandung.
2. Erni Hernawati, S.S.T., Bd., M.M., M.Keb., selaku Dekan Fakultas Sarjana
Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali Bandung.
3. Lia Kamila, S.S.T., Bd., M.Keb., selaku Penanggung Jawab Program Studi
Institut Kesehatan Rajawali Bandung
4. Intan Karlina, S.S.T., Bd., M.Keb., selaku pembimbing Utama yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan proposal penelitian ini.
5. Euis Nurhayati, S.S.T., M.Kes. Selaku pembimbing pendamping yang telah

iii
memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan proposal penelitian ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Sarjana Kebidanan yang telah
memberikan banyak ilmu selama penulis menempuh studi di Institut
Kesehatan Rajawali Bandung;
7. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Sarjana Kebidanan Alih Jenjang
Institut Kesehatan Rajawali yang senantiasa selalu memberikan doa dan
dukungan.
8. Keluarga yang senantiasa memberikan doa dan memberikan dukungan
selama penulisan ini;
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis harapkan kritik dan saran dari semua pihak
sebagai pembelajaran untuk menjadi lebih baik lagi.
Dan akhirnya atas segala bantuan, penulis tidak dapat berbuat apapun
sebagai imbalan kecuali ucapan terimakasih dan memohon kepada Allah SWT
semoga jasa dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal.

Bandung, Desember 2022

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................... 4
1.3 Rumusan Masalah............................................................................. 6
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................... 7
1.5 Hipotesis Penelitian........................................................................... 8
1.6 Manfaat Penelitian............................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9
2.1 Balita................................................................................................. 9
2.2 Stunting............................................................................................. 18
2.3 ASI Eksklusif.................................................................................... 35
2.4 BBLR................................................................................................ 47
2.5 Pola Asuh.......................................................................................... 48
2.6 Peran Bidan....................................................................................... 54
2.7 Kerangka Konsep.............................................................................. 55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................... 56
3.1 Rancangan Penelitian........................................................................ 56
3.2 Kerangka Penelitian.......................................................................... 56
3.3 Variabel Penelitian............................................................................ 56
3.4 Definisi Operasional.......................................................................... 58
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian........................................................ 58
3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian......................... 61

v
3.7 Pengolahan dan Analisis Data........................................................... 65
3.8 Tempat Penelitian.............................................................................. 68
3.9 Waktu Penelitian .............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 69

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Indikator Status Gizi Balita (Z-Score)................................ 22


Tabel 2.2 Standar (PB/U) Anak Laki-Laki Umur 0 24 Bulan .................... 24
Tabel 2.3 Standar (TB/U) Anak Laki-Laki Umur 24-60 Bulan .................. 25
Tabel 2.4 Standar (PB/U) Anak Perempuan Umur 0-24 Bulan ................... 27
Tabel 2.5 Standar (TB/U) Anak perempuan Umur 24-60 Bulan ................. 28
Tabel 3.1 Definisi Operasional .................................................................... 58
Tabel 3.2 Tabel Skala Likert ...................................................................... 63
Tabel 3.3 Tabel Kisi Kisikuesioner ............................................................. 66

vii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori.................................................................. 55


Bagan 3.1 Kerangka Penelitian........................................................... 56

vii
i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mengukur panjang badan menggunakan papan pengukur


panjang badan.............................................................. 31
Gambar 2.2 Posisi lutut dan kaki yang benar saat mengukur panjang
badan............................................................................. 32
Gambar 2.3 Mengukur tinggi badan menggunakan papan pengukur
tinggi badan................................................................ 33

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar bimbingan skripsi


Lampiran 2 : Surat permohonan menjadi responden
Lampiran 3 : Infomed consent
Lampiran 4 : Kuisioner penelitian

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status
gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2
SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek /
severely stunted). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat
terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak
berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 mengestimasikan
prevalensi balita kerdil (stunting) di seluruh dunia sebesar 20 persen atau
sebanyak 149,2 juta pada 2020, lebih dari setengah balita stunting di dunia
berasal dari Asia (59,5%) sedangkan lebih dari sepertiganya (36,8%) tinggal
di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal
dari Asia Selatan (30,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Timur (4,9%).
Berdasarkan hasil SSGI Tahun 2021, prevalensi balita stunting di
Indonesia menunjukkan penuruan sekitar 3,3 % yaitu dari 27,7% di tahun
2019 menjadi 24,4 %. Meskipun ada penurunan namun masih diatas batasan
yang ditetepkan World Health Organization (WHO) sebesar 20 %. Prevalensi
stunting di Provinsi Jawa Barat tahun 2021 sebesar 24,5 % (Kemenkes RI,
2022) dan prevalensi stunting di Kabupaten Sukabumi sebesar 24,6 % ( Dinas
Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2021).
Anak yang stunting mengalami pertumbuhan rangka yang lambat dan
pendek. Kondisi ini merupakan hasil dari periode panjang akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan makanan yang meningkatkan kesakitan. Zat gizi
memegang peranan penting dalam dua tahun pertama kehidupan.
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak memerlukan zat gizi yang

1
2

adekuat. Kecukupan zat gizi pada masa ini akan mempengaruhi proses
tumbuh kembang anak pada periode selanjutnya. Penelitian lain menyatakan
bahwa gangguan keterlambatan perkembangan antara lain ditandai dengan
lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya
kecerdasan, dan lambatnya respon sosial. Berbagai stimulasi melalui panca
indra seperti mendengar, melihat, merasa, mencium, dan meraba, yang
diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh besar pada
pertumbuhan dan maturasi otak (Pantaleon. dkk, 2015).
Berdasar atas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes
RI) periode 1.000 hari pertama kehidupan merupakan periode kritis untuk
menentukan kualitas kehidupan. Bila kekurangan gizi tidak ditangani selama
1.000 hari pertama kehidupan mengakibatkan stunting dan dampak krusial
jangka pendek dapat terjadi salah satunya perkembangan motorik yang tidak
optimal. Dua tahun pertama sangat penting untuk proses perkembangan dan
arborisasi apikal dendrit korteks otak. Beberapa studi menunjukkan anak
yang kekurangan gizi selama periode perkembangan otak mengalami
beberapa perubahan struktural pada saraf seperti pemendekan dendrit apikal,
jumlah akson berkurang, serta mengganggu proses mielinisasi yang

memengaruhi kecepatan hantaran impuls antar neuron. Beberapa komponen


nutrisi yang memengaruhi fisiologis saraf adalah iron, zinc, zat besi, iodin,

lemak, dan protein. Defisiensi zinc dapat mengubah arborisasi dendrit

serebellar yang berkaitan dengan pengaturan koordinasi motorik. Fungsi


motorik yang terganggu pada anak stunting berhubungan dengan kematangan
otot tricep surae yang terhambat sehingga kemampuan mekanik otot

terganggu. Menurut penelitian Hoddinot dkk. efek yang didapat ketika


seseorang mengalami stunting adalah hambatan perkembangan motorik.
Perkembangan motorik terbagi menjadi dua, yaitu motorik kasar (gross
motoric) dan motorik halus (fine motoric). Motorik kasar adalah kemampuan
gerak yang dikontrol oleh otot-otot besar seperti pada lengan dan kaki.
Motorik halus ialah kemampuan gerak yang dikontrol oleh otot-otot kecil.
3

Menurut WHO, stunting dapat meyebabkan gangguan perkembagan


motorik halus, karena pada anak stunting terjadi keterlambatan kematangan
sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi
gerak motorik (Nugroho, Susanto and Kartasurya, 2014). Pada anak stunting
yang mengalami penurunan fungsi motorik berkaitan dengan rendahnya
kemampuan mekanik dari otot trisep akibat lambatnya kematangan fungsi
otot (Hanani, 2016). Gerakan motorik halus tidak dapat dilakukan dengan
sempurna apabila mekanisme otot belum berkembang, hal ini terjadi pada
anak yang mengalami gangguan pertumbuhan seperti pendek (stunted),
dimana otot berbelang (striped muscle) atau striated muscle yang
mengendalikan gerakan sukarela berkembang dalam laju yang agak lambat,
sebelum anak dalam kondisi normal, tidak mungkin ada tindakan sukarela
yang terkoordinasi (Nurbaeti, 2016). Sehingga kejadian stunting berlangsung
sejak lama yang dialami oleh anak dapat menyebabkan terlambatnya
perkembangan motorik. Terlambatnya perkembangan motorik halus pada
anak stunting dapat mengakibatkan tujuan dari perkembangan motorik halus
tidak dapat tercapai salah satunya dalam memfungsikan otot-otot kecil seperti
gerakan jari tangan (Novisiam, 2012).
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa faktor penyebab kejadian
stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut,
inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali,
pemberian ASI terhenti 12 bulan, dan makanan yang diberikan tidak
bervariasi dengan frekuensi dan tekstur yang tidak sesuai usia (Anggryni
dkk., 2021). Hal ini di tandai dengan meningkatnya prevalensi kejadian
BBLR di Indonesia dengan hasil 5,1% (2017), 6,2% (2018), dan 10,1%
(2019). Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) merupakan berat badan bayi saat
lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi, bisa terjadi pada
bayi cukup bulan ataupun prematur. BBLR akan menjadi masalah kesehatan
masyarakat secara global baik jangka pendek maupun jangka panjang.
(WHO, 2014, Unicef. 2017)
4

Faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu asupan


makanan, Riwayat ASI eksklusif, Riwayat BBLR dan status kesehatan.
Asupan energi dan zat gizi yang tidak memadai, serta penyakit infeksi
merupakan faktor yang sangat berperan terhadap masalah stunting. Faktor
tidak langsung yang berhubungan dengan stunting salah satunya pola
pengasuhan, sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan dan ketersediaan
pangan. Dalam hal ini yang sangat berhubungan adalah pola asuh pemberian
makan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Renyoet, dkk didapatkan hasil
adanya hubungan yang signifikan antara perhatian/ dukungan ibu terhadap
anak dalam praktik pemberian makanan, persiapan dan penyimpanan dengan
kejadian stunting, maka dapat dikatakan ibu yang memberikan perhatian dan
dukungan terhadap anak dalam hal ini akan memberikan dampak positif
dalam keadaan status gizi.
Menurut UNICEF, stunting berdampak pada tingkat kecerdasan,
kerentanan terhadap penyakit, menurunnya produktifitas dan kemudian
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
ketimpangan. Oleh karena itu, kejadian stunting di wilayah Kerja Puskesmas
Buniwangi perlu mendapat perhatian khusus. Berdasarkan uraian diatas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
Pemberian ASI Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi
Kabupaten Sukabumi”.

1.2 Identifikasi Masalah


Meskipun ASI eksklusif sangat kuat dihubungkan dengan penurunan
risiko stunting, hal tersebut belum sepenuhnya dapat merubah persepsi
masyarakat terkait pentingnya pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama kehidupan. Hal ini ditandai dengan rendahnya persentase bayi yang
mendapat ASI di Indonesia. Secara nasional cakupan ASI eksklusif ini di
Indonesia hanya sebesar 41,9% pada tahun 2019 dan pada tahun 2020,
persentase bayi mendapat ASI umur 0-5 bulan berdasarkan kelompok umur
5

ada sebesar 54%. Sedangkan tahun 2021, bayi mendapat ASI eksklusif sesuai
umurnya sebesar 46,7%.
Pemeberian ASI Eksklusif yang tidak sesuai merupakam salah satu
faktor utama penyebab terjadinya stunting, hal ini diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan oleh Nuzurul Rahmi (2021) yang dilakukan pada balita usia
23-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Padang Tiji didapatkan hasil adanya
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian
stunting.
Pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya memberikan
pengaruh cukup besar dalam kehidupan anak di masa mendatang. Pola asuh
terkait dengan pemahaman dan pengetahuan ibu tentang pola asuh yang
benar. Ibu dengan pemahaman dan pengetahuan yang baik, maka pola asuh
yang diterapkan dengan baik pada anak dan keluarganya, karena dengan pola
asuh yang baik ibu akan lebih faham dan mengerti tentang kebutuhan gizi
untuk anak dan keluarganya. Hal ini diperkuat oleh penelitan yang dilakukan
oleh Ilya Krisnana (2020) menunjukkan pola asuh dengan kejadian stunting
baik demokratis, otoritatif dan permisif dapat disimpulkan bahwa pola asuh
yang baik berpengaruh dalam hal pemahaman seorang ibu dalam mengurus
anaknya baik dari kebutuhan, dan status gizinya. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Evy Noorhasanah dan Nor Isna Tauhidah (2021) menunjukan
sebanyak 55,7% responden dengan pola asuh buruk memiliki anak pendek
dan sangat pendek dan terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kejadian
stunting anak usia 12-59 bulan.
Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun, biasanya anak terlahir dengan BBLR
sehingga dalam tahap pertumbuhan dan perkemabanganya kuran optimal
menyebabkan terjadinya stunting, pendapat ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh Erna Eka Wijayanti (2019) Hasil penelitian menunjukan
balita yang BBLR seluruhnya mengalami stunting sebanyak 28 responden
(100%) dan balita yang tidak mendapatkan ASI Esklusif hampir seluruhnya
mengalami stunting sebanyak 44 responden (94%). Stunting masih menjadi
6

permasalahan kehidupan balita saat ini, stunting yang dialami oleh balita
dapat berdampak buruk saat balita besar dan dewasa kelak. Dampak balita
stunting dapat menurunkan kecerdasan sehingga dapat menurunkan kualitas
sumber daya manusia di masa depan. BBLR diduga sebagai faktor resiko
terjadinya stunting pada balita(Candra Murti, 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Evy Noorhasanah dan Nor Isna
Tauhidah (2021) dengan judul Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kejadian
Stunting Anak Usia 12-59 Bulan, menunjukan sebanyak 55,7% responden
dengan pola asuh buruk memiliki anak pendek dan sangat pendek dan
terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 12-59
bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh I Dewa Nyoman Supariasa1 dan Heni
Purwaningsih (2019) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting pada balitan di Kabupaten Malang didapatkan bahwa Pola asuh
balita stunting yang kurang tepat. Ketersediaan dan ketahanan pangan dalam
keluarga balita stunting sebesar 76% tergolong kurang dan rawan pangan.
Pelayanan kesehatan ibu balita stunting selama kehamilan meliputi pemberian
tablet tambah darah sebesar 98% tetapi berdasarkan hasil wawancara
sebagian besar tidak dikonsumsi. Akses sumber air bersih keluarga balita
stunting sebanyak 98% berasal dari PDAM dan sebanyak 2% berasal dari
sumur tertutup. Tingkat ekonomi keluarga balita stunting sebesar 96% berada
dibawah UMR Kabupaten Malang
Berdasarkan hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) di Kabupaten
Sukabumi, Puskesmas Buniwangi masih banyak ditemukan balita yang
stunting. Prevalensi stunting pada tahun 2021 di Puskesmas Buniwangi
sebesar 14,5% atau 425 balita stunting dari total 2970 balita dan wasting
sebanyak 186 balita, angka tersebut masih bawah target dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukabumi yaitu 24,6 % (Dinkes Kabupaten Sukabumi, 2021).
sedangkan kasus BBLR di Puskemas Buniwangi sebesar 3,6 % dan capaian
ASI eksklusif masih rendah dari target Dinas Kesehatan yaitu sebesar 50,6%.
7

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latarbelakang diatas maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah apakah terdapat “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, Berat Badan
Lahir Rendah Dan Pola Asuh dengan Kejadian Stunting Pada Balita
Diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi?’’

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Pemberian
Asi Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi
Kabupaten Sukabumi.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian stunting pada balita
diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi.
2. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada balita
diwilayah kerja puskesmas buniwangi kabupaten sukabumi
3. Mengetahui distribusi frekuensi berat badan lahir rendah pada balita
diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi.
4. Mengetahui distribusi frekuensi pola asuh pada balita diwilayah
kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi tahun 2022.
5. Mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita diwilayah Puskesmas Buniwangi Kabupaten
Sukabumi.
6. Mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan kejadian
stunting pada balita diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi
Kabupaten Sukabumi.
7. Mengetahui hubungan pola asuh dengan kejadian stunting pada
balita diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten.
8

1.5 Hipotesis Penelitian


1. Terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting
pada balita diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi.
2. Terdapat hubungan berat badan lahir rendah dengan kejadian stunting pada
balita diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi.
3. Terdapat hubungan pola asuh dengan kejadian stunting pada balita
diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi.

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tentang
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah dan
Pola Asuh dengan Kejadian Stunting pada Balita Diwilayah Kerja
Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi.

1.6.2 Praktis
1. Bagi Puskesmas
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
media untuk mendapatkan informasi dan pertimbangan tentang
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah dan
Pola Asuh dengan Kejadian Stunting pada Balita.
2. Bagi Bidan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bahan informasi bagi
bidan sehingga dapat digunakan untuk menyusun asuhan kebidanan
secara tepat dalam upaya menurunkan serta mencegah Kejadian
Stunting pada Balita.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
9

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi untuk


mengembangkan penelitian selanjutnya tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting pada balita.

4. Bagi Responden
Hasil penelitian diharapkan penelitian ini memberikan
masukan bagi masyarakat sebagai informasi dan menambah
pengetahuan bagi masyarakat tentang stunting agar dapat melakukan
upaya pencegahan stunting pada balita.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Balita
2.1.1 Pengertian
Balita adalah anak berusia 1-5 tahun. Balita merukan masa
transisi anata bayi da anak-anak kecil, dan merupakan masa
pertumbuhan yang cepat dan pentingdaam perkembangan fisik, mental
dan emosiona anak. Balita memerlukan perhatian khusus dan nutrisi
yng tepatuntuk tumbuh dan berkembang (Nelson, 2015)
Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini
ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat dan disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang
jumlahnya lebih banyak dengan kualitas yang tinggi. Akan tetapi, balita
termasuk kelompok yang rawan gizi serta mudah menderita kelainan
gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Konsumsi makanan
memegang peranan penting dalam pertumbuhan fisik dan kecerdasan
anak sehingga konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status
gizi anak untuk mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak
(Ariani, 2017).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018) menjelaskan
balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan
setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun lambat tergantung dari
beberapa faktor, yaitu nutrisi, lingkungan dan sosial ekonomi keluarga.

2.1.2 Klasifikasi Balita


Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi
usia di bawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5
tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari satu
tahun sampai tiga tahun yang yang dikenal dengan batita dan anak usia

10
11

lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia pra
sekolah (Proverawati & Wati, 2013).
Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra
sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pola
makan yang diberikan sebaiknya dalam porsi kecil dengan frekuensi
sering karena perut balita masih kecil sehingga tidak mampu menerima
jumlah makanan dalam sekali makan (Proverawati & Wati, 2010).

2.1.3 Kebutuhan gizi Balita


a. Kebutuhan Energi Balita
Kebutuhan energi dipengaruhi oleh usia, aktivitas, dan basal
metabolisme. Sekitar 55% kalori total digunakan untuk aktivitas
metabolisme, 25% untuk aktivitas fisik, 12% untuk pertumbuhan,
dan 8% zat yang dibuang atau sekitar 90-100 kkal/kg BB. Ketika
laju pertumbuhan menurun pada masa batita dan pra sekolah,
kebutuhan kalori (per kg) tidak setinggi pada waktu masa bayi.
Pedoman umum yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan
kalori pada masa awal anak sama dengan (1.000 kkal) + 100 kkal
setiap tahun umur. Jadi anak 3 tahun membutuhkan sekitar 1.300
kkal per hari (Wirjatmadi, 2022).
b. Kebutuhan Protein Balita
Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan otot dan
imunitas tubuh. Kebutuhan protein balita, FAO menyarankan
konsumsi protein protein sebesar 1,5-2 g/kg BB, dimana 2/3
diantaranya didapat dari protein bernilai biologi tinggi. Pada umur 3-
5 tahun konsumsi protein menjadi 1,57 g/kg/hari. Kecukupan protein
ini hanya dapat dipakai dengan syarat kebutuhan energi terpenuhi.
Bila kebutuhan energi tidak terpenuhi, maka Sebagian protein yang
dikonsumsi akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan energi.
Pertumbuhan dan rehabilitasi membutuhkan tambahan protein.
Dalam hal rehabilitasi, kecukupan protein dan energi lebih tinggi
12

karena akan digunakan untuk sintesis jaringan baru yang susunannya


Sebagian besar terdiri dari protein ( Nelson, 2015)
c. Kebutuhan Lemak Balita
Lemak merupakan sumber yang konsentrasinya cukup tinggi
dalam tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal. Lemak juga
berfungsi sebagai sumber asam lemak esensial pelarut vitamin A, D,
E, dan K serta pemberi rasa gurih pada makanan. Konsumsi lemak
yang dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-20% dari energi total.
(Dewi, 2013).

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita


Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya
disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun
anak balita. Secara lebih detail, beberapa faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Faktor langsung
a. Faktor ibu
Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama
prekonsepsi, 10 kehamilan, dan laktasi.
1) Perawakan ibu, seperti usia ibu terlalu muda atau terlalu tua,
pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa,
2) BBLR.
3) IUGR dan
4) Persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat dan
hipertensi ( Sandra Fikawati dkk,2017 ).
b. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses
pertumbuhan. Melalui genetik yang berada dalam sel telur yang telah
dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Derajat
sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas
danberhentinya pertumbuhan tulang (Narsikhah, 2012). Menurut
13

Amigo et al, dalam Narsikhah (2012) salah satu atau kedua orang tua
yang pendek akibat kondisi patologi ( seperti defisiensi hormon
pertumbuhan ) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan
tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat
kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh
dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor
resiko yang lain.
c. Asupan Makanan
Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrien yang
buruk, kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari
pangan hewani, kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan
energi pada complementary foods. Praktik pemberian makanan yang
tidak memadai, meliputi pemberian makanan yang jarang, pemberian
makanan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi
pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi,
pemberian makan yang tidak berespon. Bukti menunjukan keragaman
diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani
terkait dengan pertumbuhan linier. Analisa terbaru menunjukan bahwa
rumah tangga yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang
diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan
mengurangi resiko stunting ( Sandra fikawati dkk, 2017 ).
d. Pemberian ASI Eksklusif
Masalah-masalah tekait praktik pemberian ASI meliputi delayed
Initiation, tidak menerapkan ASI Eksklusif, dan penghentian dini
konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda
inisiasi menyusu ( delayed initiation ) akan meningkatkan kematian
bayi. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa suplementasi makanan
maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain
ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan
pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai
14

tumbuh kembang yang optimal. Setelah 6 bulan, bayi mendapat


makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai
usia 24 bulan. Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun
memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan nutrisi penting pada
bayi ( Sandra fikawati dkk, 2017).
2. Faktor infeksi
Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi entrik
seperti diare, enteropati,dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi
pernapasan ( ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan
infeksi dan inflamasi. Penyakit infeksi akan berdampak pada gangguan
masalah gizi. Infeksi klinis menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan
perkembangan, sedangkan anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi
memiliki peluang mengalami stunting ( picauly & Toy, 2013 ).
3. Faktor tidak langsung
a. Faktor sosial ekonomi
Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang
signifikan terhadap anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013 ).
Menurut Bishwakarma dalam khoiron dkk (2015),status ekonomi
yang rendah akan mempengaruhi pemilihan makanan yang
dikonsumsinya sehingga biasanya menjadi kurang bervariasi dan
sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi untuk
pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin dan mineral
sehingga meningkatkan resiko kekurangan gizi.
b. Tingkat Pendidikan
Menurut Delmi Sulastri (2012), pendidikan ibu yang rendah
dapat mempengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga
berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan
dikonsumsi oleh anaknya.Penyediaan bahan dan menu makan yang
tepat untuk balita dalam upaya peningkatan status gizi akan dapat
terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Ibu
dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit menyerap informasi
15

gizi sehingga anak dapat beresiko mengalami stunting.


c. Pengetahuan Gizi ibu
Menurut delmi Sulastri (2012) menjelaskan bahwa pengetahuan
gizi yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik
pada keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya
mengetahui gizi tetapi harus mengerti dan mau berbuat. Tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang kebutuhan akan zat-
zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan makanan yang
dikonsumsi. Penetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat
berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang
cukup pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi
anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah,dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas
yang tidak adekuat.
a. Penerapan pola asuhan yang buruk,
b. Ketidak amanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat,
c. Rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal dari rumah
tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik
beresiko mengalami stunting ( putri dan sukandar, 2012).
Menurut Supariasa (2012) menyatakan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi stunting terbagi atas dua macam faktor yaitu faktor
secara langsung yakni asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan
lahir rendah dan genetik. Sedangkan faktor secara tidak langsung yakni
pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua, sosial ekonomi, pola
asuh orang tua, distribusi makanan dan besarnya keluarga/jumlah
anggota keluarga.

2.2 Stunting
2.2.1 Definisi Stunting
16

Tubuh merupkan proses pertambahan ukuran dan jumlah sel


dalam tubuh yang terjadi selama masa pertumbuhan. Tumbuh terjadi
sebagai bagian dari proses perkembangan fisik, mental, dan emosional.
Tumbuh terjadi pada semua orang, namun tingkat pertumbuhan yang
terjai berbeda-beda pada setiap individu. Tumbuh dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti nutrisi, genetik, lingkungan dan perawatan
kesehatan (Nelson,2015)
Gagal tumbuh adalah kondisi dimana tingkat pertumbuhan
individu tidak sesuai dengan tingkat pertumbuhan yang seharusnya
terjadi pada usia tersebut. Gagal tumbuh dapat terjadi pada semua usia,
namun lebih sering terjadi pada anak-anak dan balita. Gagal tumbuh
dapat mempengruhi pertumbuhan fisik, mental, dan emosional individu
dan daat memerlukan perawatan kesehata khusus untuk menangani
masaah ini (Nelson, 2015)s
Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama,
hal ini menyebabkan adanya gangguan di masa yang akan datang yakni
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif
yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ)
lebih rendah dibandingkan rata – rata IQ anak normal (Kemenkes RI,
2018).
Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada
anak menurut TB/U dengan hasil nilai Z Score = <-2 SD, hal ini
menunjukan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek hasil dari
gagal pertumbuhan. Stunting pada anak juga menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya kematian, masalah perkembangan motorik yang
rendah, kemampuan berbahasa yang rendah, dan adanya
ketidakseimbangan fungsional (Anwar, Khomsan, dan Mauludyani,
2014).
Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di
bawah –2 standar median kurva pertumbuhan anak (Fikawati dkk,
17

2017). Seorang anak dikatakan pendek apabila berdasarkan perhitungan


indeks TB/U dia berada rentang -2 SD sampai -3-SD, sedangkan
dikatakan sangat pendek apabila perhitungan indeks TB/U nilainya < -
3 SD (Sandjojo, 2017).

2.2.2 Patofisiologi Stunting


Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi oleh
berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah
pangan. Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh
pemerintah, atau masyarakat bahkan keluarga karena anak tidak tampak
sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului oleh terjadinya
bencana kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa.
Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi
kasus kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita bulan
sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.
Stunting merupakan retradasi pertumbuhan linier dengan deficit
dalam panjang atau tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut
buku rujukan pertumbuhan World Health Organization/National Center
for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh kumulasi
episode stress yang sudah berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan
makanan yang buruk), yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up
growth (kejar tumbuh).
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan
berlanjut dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS)
dan ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) akan
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR ini
akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan berlanjut ke usia
anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya. Kelompok ini akan
menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh kembangnya dari
tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini dikuatirkan lost
generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai
18

dengan seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian


ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi
mikro.

2.2.3 Dampak Stunting pada Balita


Menurut laporan UNICEF beberapa fakta terkait stunting dan
pengaruhnya adalah sebagai berikut:
a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia
enam bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua
tahun. Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka
panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu
untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak
dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunting cenderung
lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah
dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa
yang akan datang.
b. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan
anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting
adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan
tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan.
Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunting
mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan
rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah
keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan
komunitas pedesaan
c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang.
Anak stunting pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang
hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa
19

remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunting


dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas,
sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung
menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar
meninggal saat melahirkan.
Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan
mental dan status kesehatan pada anak. Menurut World Healtf
Organization (WHO) dalam buletin jendela data dan informasi
kesehatan yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan RI Tahun
2018.

2.2.4 Penilaian Status Gizi Anak


Standar Antropometri Anak digunakan untuk menilai atau
menentukan status gizi anak. Penilaian status gizi Anak dilakukan
dengan membandingkan hasil pengukuran berat badan dan
panjang/tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Klasifikasi
penilaian status gizi berdasarkan Indeks Antropometri sesuai dengan
kategori status gizi pada WHO Child Growth Standards untuk anak
usia 0-5 tahun dan The WHO Reference 2007 untuk anak 5-18
tahun.
Umur yang digunakan pada standar ini merupakan umur yang
dihitung dalam bulan penuh, sebagai contoh bila umur anak 2 bulan 29
hari maka dihitung sebagai umur 2 bulan. Indeks Panjang Badan (PB)
digunakan pada anak umur 0-24 bulan yang diukur dengan posisi
terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur dengan posisi berdiri,
maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.
Sementara untuk indeks Tinggi Badan (TB) digunakan pada anak umur
di atas 24 bulan yang diukur dengan posisi berdiri. Bila anak umur di
atas 24 bulan diukur dengan posisi terlentang, maka hasil
20

pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.


1. Indeks Standar Antropometri Anak
Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat
badan dan panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks,
meliputi:
a. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif
dibandingkan dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk
menilai anak dengan berat badan kurang (underweight) atau sangat
kurang (severely underweight), tetapi tidak dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan anak gemuk atau sangat gemuk. Penting
diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah, kemungkinan
mengalami masalah pertumbuhan, sehingga perlu dikonfirmasi
dengan indeks BB/PB atau BB/TB atau IMT/U sebelum
diintervensi.
b. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut
Umur (PB/U atau TB/U)
Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan
panjang atau tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini
dapat mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau
sangat pendek (severely stunted), yang disebabkan oleh gizi kurang
dalam waktu lama atau sering sakit. Anak-anak yang tergolong
tinggi menurut umurnya juga dapat diidentifikasi. Anak-anak
dengan tinggi badan di atas normal (tinggi sekali) biasanya
disebabkan oleh gangguan endokrin, namun hal ini jarang terjadi di
Indonesia.
c. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB
atau BB/TB)
Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat
badan anak sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya.
Indeks ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi
21

kurang (wasted), gizi buruk (severely wasted) serta anak yang


memiliki risiko gizi lebih (possible risk of overweight). Kondisi
gizi buruk biasanya disebabkan oleh penyakit dan kekurangan
asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah lama
terjadi (kronis).
d. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi
buruk, gizi kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan
obesitas. Grafik IMT/U dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung
menunjukkan hasil yang sama. Namun indeks IMT/U lebih
sensitif untuk penapisan anak gizi lebih dan obesitas. Anak
dengan ambang batas IMT/U>+1SD berisiko gizi lebih sehingga
perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah terjadinya gizi lebih
dan obesitas.
2. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Table 2.1 Tabel Indikator Status Gizi Balita (Z-Score)


Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas
(Z-Score)
Berat Badan Berat badan sangat < -3 SD
menurut Umur kurang (severely
(BB/U) underweight)
Berat badan kurang -3 SD sd < -2 SD
(underweight)
Berat badan normal -2 SD sd +1 SD
Risiko Berat badan lebih > +1 SD
Tinggi Badan Sangat pendek (severely < -3 SD
menurut Umur stunted)
(TB/U) Pendek (stunted) -3 SD sd < -2 SD
Normal -2 SD sd +3 SD
Tinggi > +3 SD
Berat Badan Gizi buruk (severely < -3 SD
menurut Tinggi wasted)
Badan (BB/TB) Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Berisiko gizi lebih > +1 SD sd +2 SD
(possible risk of
overweight)
22

Gizi lebih (overweight) > +2 SD sd +3 SD


Obesitas (obese) > +3 SD
Indeks Massa Gizi buruk (severely < -3 SD
Tubuh menurut wasted)
Umur (IMT/U) Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Berisiko gizi lebih > +1 SD sd +2 SD
(possible risk of
overweight)
Gizi lebih (overweight) > +2 SD sd +3 SD
Obesitas (obese) > +3 SD
Sumber: (Kementerian Kesehatan RI, Permenkes No 2 Tahun 2020)

3. Standar Antropometri dan Grafik Pertumbuhan Anak


Penentuan status gizi anak merujuk pada tabel Standar
Antropometri Anak dan grafik pertumbuhan anak, namun grafik
lebih menggambarkan kecenderungan pertumbuhan anak. Baik
tabel maupun grafik menggunakan ambang batas yang sama.
Tabel 2.2 Standar Panjang Badan menurut Umur (PB/U) Anak Laki-
Laki Umur 0-24 Bulan
Umur Panjang Badan (cm)
(bulan
) -3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD +3 SD
0 44.2 46.1 48.0 49.9 51.8 53.7 55.6
1 48.9 50.8 52.8 54.7 56.7 58.6 60.6
2 52.4 54.4 56.4 58.4 60.4 62.4 64.4
3 55.3 57.3 59.4 61.4 63.5 65.5 67.6
4 57.6 59.7 61.8 63.9 66.0 68.0 70.1
5 59.6 61.7 63.8 65.9 68.0 70.1 72.2
6 61.2 63.3 65.5 67.6 69.8 71.9 74.0
7 62.7 64.8 67.0 69.2 71.3 73.5 75.7
8 64.0 66.2 68.4 70.6 72.8 75.0 77.2
9 65.2 67.5 69.7 72.0 74.2 76.5 78.7
10 66.4 68.7 71.0 73.3 75.6 77.9 80.1
11 67.6 69.9 72.2 74.5 76.9 79.2 81.5
12 68.6 71.0 73.4 75.7 78.1 80.5 82.9
23

13 69.6 72.1 74.5 76.9 79.3 81.8 84.2


14 70.6 73.1 75.6 78.0 80.5 83.0 85.5
15 71.6 74.1 76.6 79.1 81.7 84.2 86.7
16 72.5 75.0 77.6 80.2 82.8 85.4 88.0
17 73.3 76.0 78.6 81.2 83.9 86.5 89.2
18 74.2 76.9 79.6 82.3 85.0 87.7 90.4
19 75.0 77.7 80.5 83.2 86.0 88.8 91.5
20 75.8 78.6 81.4 84.2 87.0 89.8 92.6
21 76.5 79.4 82.3 85.1 88.0 90.9 93.8
22 77.2 80.2 83.1 86.0 89.0 91.9 94.9
23 78.0 81.0 83.9 86.9 89.9 92.9 95.9
24 * 78.7 81.7 84.8 87.8 90.9 93.9 97.0
Keterangan: *Pengukuran panjang badan dilakukan dalam keadaan
anak telentang

Tabel 2.3 Standar Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Laki-
Laki Umur 24-60 Bulan
Umur Panjang Badan (cm)
(bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD +3 SD
24 * 78.0 81.0 84.1 87.1 90.2 93.2 96.3
25 78.6 81.7 84.9 88.0 91.1 94.2 97.3
26 79.3 82.5 85.6 88.8 92.0 95.2 98.3
27 79.9 83.1 86.4 89.6 92.9 96.1 99.3
28 80.5 83.8 87.1 90.4 93.7 97.0 100.3
29 81.1 84.5 87.8 91.2 94.5 97.9 101.2
30 81.7 85.1 88.5 91.9 95.3 98.7 102.1
31 82.3 85.7 89.2 92.7 96.1 99.6 103.0
32 82.8 86.4 89.9 93.4 96.9 100.4 103.9
33 83.4 86.9 90.5 94.1 97.6 101.2 104.8
34 83.9 87.5 91.1 94.8 98.4 102.0 105.6
35 84.4 88.1 91.8 95.4 99.1 102.7 106.4
36 85.0 88.7 92.4 96.1 99.8 103.5 107.2
37 85.5 89.2 93.0 96.7 100.5 104.2 108.0
38 86.0 89.8 93.6 97.4 101.2 105.0 108.8
39 86.5 90.3 94.2 98.0 101.8 105.7 109.5
40 87.0 90.9 94.7 98.6 102.5 106.4 110.3
41 87.5 91.4 95.3 99.2 103.2 107.1 111.0
42 88.0 91.9 95.9 99.9 103.8 107.8 111.7
43 88.4 92.4 96.4 100.4 104.5 108.5 112.5
24

44 88.9 93.0 97.0 101.0 105.1 109.1 113.2


45 89.4 93.5 97.5 101.6 105.7 109.8 113.9
46 89.8 94.0 98.1 102.2 106.3 110.4 114.6
47 90.3 94.4 98.6 102.8 106.9 111.1 115.2
48 90.7 94.9 99.1 103.3 107.5 111.7 115.9
49 91.2 95.4 99.7 103.9 108.1 112.4 116.6
50 91.6 95.9 100.2 104.4 108.7 113.0 117.3
51 92.1 96.4 100.7 105.0 109.3 113.6 117.9
52 92.5 96.9 101.2 105.6 109.9 114.2 118.6
53 93.0 97.4 101.7 106.1 110.5 114.9 119.2
54 93.4 97.8 102.3 106.7 111.1 115.5 119.9
55 93.9 98.3 102.8 107.2 111.7 116.1 120.6
56 94.3 98.8 103.3 107.8 112.3 116.7 121.2
57 94.7 99.3 103.8 108.3 112.8 117.4 121.9
58 95.2 99.7 104.3 108.9 113.4 118.0 122.6
59 95.6 100.2 104.8 109.4 114.0 118.6 123.2
60 96.1 100.7 105.3 110.0 114.6 119.2 123.9
Keterangan: * Pengukuran TB dilakukan dalam keadaan anak berdiri

Tabel 2.4. Standar Panjang Badan menurut Umur (PB/U) Anak


Perempuan Umur 0-24 Bulan
Umur Panjang Badan (cm)
(bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD +3 SD
0 43.6 45.4 47.3 49.1 51.0 52.9 54.7
1 47.8 49.8 51.7 53.7 55.6 57.6 59.5
2 51.0 53.0 55.0 57.1 59.1 61.1 63.2
3 53.5 55.6 57.7 59.8 61.9 64.0 66.1
4 55.6 57.8 59.9 62.1 64.3 66.4 68.6
5 57.4 59.6 61.8 64.0 66.2 68.5 70.7
6 58.9 61.2 63.5 65.7 68.0 70.3 72.5
7 60.3 62.7 65.0 67.3 69.6 71.9 74.2
8 61.7 64.0 66.4 68.7 71.1 73.5 75.8
9 62.9 65.3 67.7 70.1 72.6 75.0 77.4
10 64.1 66.5 69.0 71.5 73.9 76.4 78.9
11 65.2 67.7 70.3 72.8 75.3 77.8 80.3
12 66.3 68.9 71.4 74.0 76.6 79.2 81.7
13 67.3 70.0 72.6 75.2 77.8 80.5 83.1
25

14 68.3 71.0 73.7 76.4 79.1 81.7 84.4


15 69.3 72.0 74.8 77.5 80.2 83.0 85.7
16 70.2 73.0 75.8 78.6 81.4 84.2 87.0
17 71.1 74.0 76.8 79.7 82.5 85.4 88.2
18 72.0 74.9 77.8 80.7 83.6 86.5 89.4
19 72.8 75.8 78.8 81.7 84.7 87.6 90.6
20 73.7 76.7 79.7 82.7 85.7 88.7 91.7
21 74.5 77.5 80.6 83.7 86.7 89.8 92.9
22 75.2 78.4 81.5 84.6 87.7 90.8 94.0
23 76.0 79.2 82.3 85.5 88.7 91.9 95.0
24 * 76.7 80.0 83.2 86.4 89.6 92.9 96.1
Keterangan: * Pengukuran PB dilakukan dalam keadaan anak
telentang

Tabel 2.5 Standar Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)


Anak perempuan Umur 24-60 Bulan
Umur Tinggi Badan (cm)
(bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD +3 SD
24 * 76.0 79.3 82.5 85.7 88.9 92.2 95.4
25 76.8 80.0 83.3 86.6 89.9 93.1 96.4
26 77.5 80.8 84.1 87.4 90.8 94.1 97.4
27 78.1 81.5 84.9 88.3 91.7 95.0 98.4
28 78.8 82.2 85.7 89.1 92.5 96.0 99.4
29 79.5 82.9 86.4 89.9 93.4 96.9 100.3
30 80.1 83.6 87.1 90.7 94.2 97.7 101.3
31 80.7 84.3 87.9 91.4 95.0 98.6 102.2
32 81.3 84.9 88.6 92.2 95.8 99.4 103.1
33 81.9 85.6 89.3 92.9 96.6 100.3 103.9
34 82.5 86.2 89.9 93.6 97.4 101.1 104.8
35 83.1 86.8 90.6 94.4 98.1 101.9 105.6
36 83.6 87.4 91.2 95.1 98.9 102.7 106.5
37 84.2 88.0 91.9 95.7 99.6 103.4 107.3
38 84.7 88.6 92.5 96.4 100.3 104.2 108.1
39 85.3 89.2 93.1 97.1 101.0 105.0 108.9
40 85.8 89.8 93.8 97.7 101.7 105.7 109.7
41 86.3 90.4 94.4 98.4 102.4 106.4 110.5
42 86.8 90.9 95.0 99.0 103.1 107.2 111.2
43 87.4 91.5 95.6 99.7 103.8 107.9 112.0
44 87.9 92.0 96.2 100.3 104.5 108.6 112.7
45 88.4 92.5 96.7 100.9 105.1 109.3 113.5
26

46 88.9 93.1 97.3 101.5 105.8 110.0 114.2


47 89.3 93.6 97.9 102.1 106.4 110.7 114.9
48 89.8 94.1 98.4 102.7 107.0 111.3 115.7
49 90.3 94.6 99.0 103.3 107.7 112.0 116.4
50 90.7 95.1 99.5 103.9 108.3 112.7 117.1
51 91.2 95.6 100.1 104.5 108.9 113.3 117.7
52 91.7 96.1 100.6 105.0 109.5 114.0 118.4
53 92.1 96.6 101.1 105.6 110.1 114.6 119.1
54 92.6 97.1 101.6 106.2 110.7 115.2 119.8
55 93.0 97.6 102.2 106.7 111.3 115.9 120.4
56 93.4 98.1 102.7 107.3 111.9 116.5 121.1
57 93.9 98.5 103.2 107.8 112.5 117.1 121.8
58 94.3 99.0 103.7 108.4 113.0 117.7 122.4
59 94.7 99.5 104.2 108.9 113.6 118.3 123.1
60 95.2 99.9 104.7 109.4 114.2 118.9 123.7
Keterangan: * Pengukuran TB dilakukan dalam keadaan anak berdiri

2.2.5 Metode Pengukuran TB/U


Kriteria antropometrik stunting adalah berdasarkan indeks
panjang badan atau tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin
(PB/U atau TB/U) <-2 SD berdasarkan kurva WHO 2006 untuk anak
0-5 tahun. Pemeriksaan antropometrik pada stunting sangat penting
dilakukan menurut prosedur pengukuran standar meliputi teknik, alat
timbang dan ukur, plotting serta interpretasi hasil.
Metode pengukuran yang tidak tepat akan menimbulkan bias
pengukuran yang berefek pada ketidakvalidan diagnosis dan tata
laksana. Analisis terhadap indeks antropometrik dan pola
pertumbuhan dapat mengarahkan ke diagnosis banding stunting.
Pendek yang didahului oleh suatu perlambatan pertumbuhan dapat
diperkirakan sebagai stunting dengan menentukan apakah usia berat
(weight age) < usia tinggi (height age) < usia kronologis
(chronological age). Rekomendasi WHO mengenai pengukuran
antropometrik pada bayi dan anak, terutama dibawah 5 tahun, terdiri
dari pengukuran tinggi/panjang badan memiliki tahapan yaitu:
1. Persiapan,
a. Tunjukkan papan pengukur panjang badan (infantometer)
27

kepada orangtua/pengasuh dan jelaskan bahwa alat tersebut


yang akan digunakan. Beri tahu orang tua/pengasuh bahwa
bantuan mereka mungkin diperlukan.
b. Minta orangtua/pengasuh untuk melepaskan sepatu dan
hiasan kepala anak yang dapat mengganggu pengukuran.
c. Pastikan permukaan papan pengukuran bersih sebelum
meletakkan bayi/ anak.
d. Ukur panjang badan anak di bawah usia dua tahun dengan
berbaring. Jika anak usia di bawah 2 tahun diukur dengan
cara berdiri maka perlu ditambahkan 0,7 cm untuk
mengkonversi menjadi panjang badan. Anak berusia di atas
dua tahun dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan, di ukur
tinggi badannya sambil berdiri. Jika anak usia di atas 2 tahun
diukur dengan cara telentang maka perlu dikurangi 0,7 cm
untuk mengkonversi menjadi tinggi badan.
2. Pemilihan dan Cara Menggunakan
a. Mengukur panjang badan menggunakan papan pengukur
panjang badan (gambar 2.1). Prosedur penggunaannya adalah

Gambar 2.1 Mengukur panjang badan menggunakan papan


pengukur panjang badan
b. Letakkan papan pengukuran secara horizontal pada
permukaan yang keras dan rata. Pastikan papan pengukuran
stabil.
c. Jika papan pengukur berada di tanah/lantai, pemeriksa
berlutut di sisi kanan bawah (tempat kaki akan diletakkan).
28

d. Minta asisten/orangtua untuk berlutut pada bagian alas


kepala. Minta asisten/orangtua untuk meletakkan anak
dengan lembut ke papan dan menopang bagian belakang
kepala anak dengan tangan. Pemeriksa menopang batang
tubuh anak.
e. Letakkan kepala anak pada alas kepala sehingga anak melihat
lurus ke atas.
f. Bahu anak harus menyentuh papan dan tulang belakang tidak
boleh melengkung.
g. Jika anak bergerak, asisten/orang tua harus memberi tahu
pemeriksa dan menyesuaikan kembali posisi anak.
h. Pastikan anak berbaring rata di tengah papan dan letakkan
lutut dan kaki anak pada posisi yang benar. Terdapat tiga
posisi lutut dan kaki anak yang benar (gambar 2.2)

Gambar 2.2 Posisi lutut dan kaki yang benar saat


mengukur panjang badan
i. Letakkan tangan kiri pemeriksa di atas lutut anak dan tekan
ke bawah dengan lembut untuk meluruskan kaki.
j. Periksa kembali posisi anak. Jika posisi anak sudah benar,
gerakkan alas kaki ke tumit anak. Pastikan telapak kaki rata
dengan jari kaki mengarah ke atas.
k. Bacakan panjang badan sampai 0.1 cm terdekat. Asisten
terlatih mencatat dan membuat plot PB.
l. Angkat anak dari papan dan kembalikan ke orang
29

tua/pengasuh.
m. Periksa kembali panjang badan yang diukur atau di plot agar
lebih akurat.
3. Mengukur tinggi badan menggunakan stadiometer (gambar 2.3).
Prosedur penggunaannya adalah:

Gambar 2.3 Mengukur tinggi badan menggunakan


papan pengukur tinggi badan
a. Tempatkan papan pengukuran secara vertikal pada
permukaan yang keras dan rata. Pastikan papan stabil.
b. Minta anak yang akan diukur untuk berdiri di tengah papan
pengukuran dengan kaki rata di lantai dan punggung
menempel pada papan. Saat mengukur, minta orang
tua/pengasuh untuk berlutut di sisi kanan anak. Pemeriksa
berlutut di sisi kiri anak.
c. Tentukan apakah tumit anak harus menjauhi bagian belakang
papan pengukuran dengan membuat garis khayal dari ujung
bahu ke tumit (garis mid-aksilaris). Garis ini harus tegak lurus
(900) dari dasar papan pengukuran.
d. Angkat dagu anak sehingga mata melihat lurus ke depan.
e. Terdapat tiga posisi lutut dan kaki anak yang benar (gambar
2).
f. Dengan bantuan asisten terlatih/orang tua, pastikan lengan
anak mengantung di sisi tubuh dengan posisi bahu rata dan
bokong anak menyentuh bagian belakang papan. Pada anak
30

usia prasekolah dengan BB kurang atau normal, bagian


belakang kepala, bahu, betis dan tumit akan sepenuhnya
menyentuh bagian belakang papan.
g. Periksa kembali posisi anak. Minta asisten terlatih untuk
menggeser alas kepala ke bawah hingga menyentuh ubun-
ubun kepala anak. Jika asisten tidak ada, pemeriksa sendiri
yang menggeser alas kepala.
h. Bacakan panjang badan sampai 0.1 cm terdekat. Asisten
terlatih mencatat dan membuat plot TB.
i. Lepaskan alas kepala dan bantu anak turun dari papan
pemeriksaan.
j. Periksa kembali tinggi badan yang diukur atau di plot agar
lebih akurat.

2.6.7 Penanganan dan Penegahan Stunting


Menurut WHO upaya pencegahan pada stunting dapat dimulai
sejak remaja. Remaja putri dapat mulai diberikan pengetahuan dan
pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan nutrisi saat remaja.
Pemenuhan nutrisi saat remaja dapat mencegah terjadinya gizi yang
kurang saat masa kehamilan. Nutrisi yang adekuat saat kehamilan dapat
mencegah terjadinya pertumbuhan yang terhambat pada janin yang
dikandung. Selain itu, pencegahan stunting juga difokuskan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu pada Ibu Hamil, Ibu Menyusui,
Anak 0- 23 bulan. Periode 1.000 HPK merupakan periode yang efektif
dalam mencegah terjadinya stunting karena merupakan periode yang
menentukan kualitas kehidupan. Pada 1.000 HPK anak akan mengalami
masa “Periode Emas” dimana pertumbuhan anak akan berlangsung
cepat. Oleh karena itu, pada periode ini cakupan gizi harus terpenuhi
mulai dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi
dilahirkan. Namun, menurut WHO pencegahan terjadinya stunting tidak
31

hanya dimulai saat 1.000 HPK, melainkan dimulai saat remaja dengan
memperbaiki gizi saat remaja. Pencegahan yang dilakukan pada ibu
hamil dapat dilakukan dengan memperbaiki gizi ibu hamil. Perbaikan
gizi yang dapat dilakukan saat kehamilan yaitu dengan memberikan
tablet tambah darah minimal 90 tablet saat kehamilan. Selain itu pada
ibu yang mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) perlu mendapatkan
makanan tambahan untuk meningkatkan gizi ibu hamil tersebut.
Meningkatkan praktek menyusui juga merupakan salah satu tindakan
untuk mencegah terjadinya stunting. Inisiasi menyusui dini dan
pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dapat memberikan
perlindungan terhadap infeksi gastrointestial. Pernyataan tersebut di
dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tiwari yang menyatakan
bahwa anak yang diberi ASI eksklusif kemungkinan menderita stunting
lebih rendah jika dibandingkan anak yang tidak diberi ASI eksklusif.

2.3 ASI Eksklusif


2.3.1 Pengertian
Air Susu Ibu (ASI) adalah air susu yang dihasilkan oleh ibu
dan mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk
kebutuhan pertumbuhan dan perkembangannya. Air Susu Ibu Eksklusif
adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 bulan
tanpa menambahkan dan/ atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012,
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan
selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan
makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral)
(Kemenkes RI, 2019).
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan cair pertama yang
dihasilkan secara alami oleh payudara Ibu. ASI mengandung berbagai
zat gizi yang dibutuhkan yang terformulasikan secara unik di dalam
tubuh ibu untuk menjamin proses pertumbuhan dan perkembangan
32

bayi. Selain menyediakan nutrisi lengkap untuk seorang anak, ASI juga
memberikan perlindungan pada bayi atas infeksi dan sakit penyakit
bayi. (Wahyuningsih, 2018).
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja, tanpa
tambahan cairan lainnya seperti susu formula, air putih, madu, air teh,
maupun makanan lainnya (Roesli, 2013). Menurut World Health
Organization / WHO (2017) ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja
tanpa memberikan makanan dan minuman lainnya kepada bayi sampai
berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin.

2.3.2 Manfaat ASI


ASI merupakan makanan pokok bagi bayi yang baru lahir,
dikarenakan kandungan ASI sangat cocok dan dibutuhkan bagi tubuh
bayi yang barusaja lahir. Berikut ini beberapa penjelasan manfaat ASI
eksklusif menurut beberapa sumber.
1. Manfaat ASI bagi bayi
Berikut ini beberapa fakta peran ASI dalam meningkatkan
kesehatan bayi :
a. Bayi yang diberi ASI lebih terlindungi dari penyakit sepsis/infeksi
dalam darah yang menyebabkan kegagalan fungsi organ tubuh
hingga kematian oleh Patel (dalam Monika, 2016).
b. Mengisap ASI membuat bayi mudah mengkoordinasi saraf
menelan , mengisap dan bernafas menjadi lebih sempurna dan
bayi menjadi lebih aktif dan ceria Lesmana, Sandi, Mera &
Nisman, 2011).
c. Waktu menyusui yang panjang dapat melindungi bayi dan anak
dari penyakit asma atau mengurangi terjadinya serangan asma
pada anak kecil. Resiko menderita asma meningkat apabila
pemberian ASI eksklusif dihentikan sebelum 4 bulan oleh Kull &
Benner (Monika, 2016).
d. Menyusui dengan waktu yang lebih panjang (lebih dari 6 bulan)
33

dapat melindungi bayi adan anak dari penyakit rhinitis oleh


Ehlayel (Monika, 2016).
e. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih terlindungi dari infeksi
telinga tengah oleh sabirov (Monika,2016).
f. Bayi prematur yang memiliki berat badan lahir sangat rendah
yang diberi ASI eksklusif dapat terhindar dari ROP Retimopathy
of Prematurnity oleh Manzoni (Monika,2016).
g. Pemberian ASI eksklusif selama 3-5 bulan mengurangi resiko
obesitas sebasar 35% di masa yang akan datang (3-5 tahun) oleh
Carol (Monika, 2016).
h. ASI mencegah kerusakan gigi, misalnya gigi keropos dan
maloklusi/kelainan susunan gigi geligi atas dan bawah yang
berhubungan dengan bentuk rongga mulut/rahang oleh Agalawal
(Monika, 2016).
i. ASI selalu tersedia dalam keadaan bersih dari payudara ibu
(Monika, 2016). Selalu tersedia kapanpun dengan suhu yang tepat
(Monika, 2016).
2. Manfaat ASI Untuk Ibu
Berbagai penelitian mendukung bukti bahwa ASI
bermanfaat bagi ibu, baik secara fisik maupun emosional. Sebagian
ibu tidak mengetahui manfaat bagi diri sendiri sehingga kurang
menikmati menyusui dan terpaksa menyusui atau memberikan ASI
agar hanya bayi sehat. Menyusui dapat memberi manfaat bagi
kesehatan fisik dan psikologis ibu, baik jangka pendek maupun
panjang sebagai berikut :
a. Mengurangi pendarahan pasca persalinan yang dikemukakan
oleh sobhy (monika, 2016) ibu yang segera menyusui
(melakukan IMD) setelah bersalin akan lebih mudah pulih
dibandingkan ibu yang tidak segera menyusui.
b. Mempercepat bentuk rahim kembali ke keadaan sebelum hamil
oleh Holdcroft (monika, 2016). Isapan bayi saat menyusu
34

membuat ibu melepaskan hormon oksitosin yang kemudian


menstimulasi rahim sehingga mengembalikan bentuk rahim ibu
pada saat kondisi sebelum hamil.
c. Wanita menyusui memiliki angka insidensi terkena kanker
payudara, kanker indung telur (ovarium), dan kanker endometri
lebih rendah (Lesmana, Sandi, Mera & Nisman, 2012).
Menyusui dapat menekan produksi hormon estrogen berlebih
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan kanker
payudara, kanker indung telur, dan kanker endometrium
(Monika, 2016).
d. Mengurangi resiko terkena penyakit diabetes tipe 2. Penelitian
yang dilakukan oleh Lie, Jorm dan Banks mengemukakan bahwa
resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat 50% pada ibu
yang tidak menyusui (Monika, 2016)
e. Mengurangi resiko terkena rheumatoid arthitis oleh karlson
(Monika, 2016). Rheumathoid arthritis merupakan kelainan
autoimun, penelitian yang melibatkan lebih dari 7000 ibu di
China menemjukan bahwa menyusui dalam jangka panjang
mengurangi resiko terkena rheumatoid arthitis hingga 50%.
f. Mengurangi resiko kropos tulang / osteoporosis oleh chantry
rheumatoid arthitis Bukti penelitian ini adalah wanita menyusui
beresiko rendah menderita kropos tulang (Monika, 2016)
g. Menjadi metode kontrasepsi yang paling aman dan efektif oleh
vekemans (Monika, 2016) yaitu sebesar 98% ibu menyusui
eksklusif selama 6 bulan belum mendapatkan menstruasi yang
pertamakali setelah nifas.
h. Mengurangi resiko obesitas dan lebih cepat mengembalikan berat
badan sepert sebelum hamil oleh Baker (Monika,2016).
i. Mengurangi stres dan kegelisahan saat bayi mengisap dan
kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu, hormon prolaktin
35

dilepaskan dari tubuh ibu dan membuat tenang juga rileks


(Monika, 2016).
j. Mengurangi ibu menderita depresi pasca persalinan (post partum
depression) oleh kendal (Monika, 2016). Hormon oksitosin yang
dilepaskan saat menysui menciptakan kuatnya ikatan kasih
sayang, kedekatan dengan bayi, dan ketenangan.
k. Mengurangi tindakan kekerasan ibu pada anak oleh Stratheam
(dalam Monika, 2016).
l. Mengurangi resiko anemia oleh Dermer (Monika, 2016). Jumlah
zat besi yang digunakan ibu untuk memproduksi ASI lebih
sedikit dibandingkan dengan zat besi yang hilang dari tubuh ibu
akibat pendarahan (nifas maupun menstruasi).
m. Memudahkan hidup ibu, dengan menyusui ibu tidak perlu repot
menyiapkan botol, membeli susu formula, menyiapkan susu
formula, dan lain-lain (Monika, 2016)
5. Untuk Keluarga
Menyusui juga tidak hanya memberikan keuntungan bagi ibu
dan bayi saja namun juga bagi keluarga dan lingkungan disekitar ibu
dan bayi. Berikut keuntungan ASI bagi keluarga dan lingkungan
diantaranya :
a. Mengurangi kemiskinan dan kelaparan karena ASI sangat
ekonomis tidak seperti susu formula yang membutuhkan biaya
tinggi untuk membelinya (Monika, 2016
b. Mengurangi anggaran biaya perawatan baik anggaran rumah
tangga atau anggaran perusahaan tempat ibu / ayah bekerja
( Monika, 2016).
c. Mengurangi penggunaan energi (yang diperlukan untuk
memproduksi susu formula di pabrik ) dan tidak membahayakan
lingkungan (tidak ada sampah kemasan plastik) (Monika, 2016).

2.3.3 Komposisi ASI


36

ASI merupakan cairan nutrisi yang unik, spesifik, dan kompleks


dengan komponen imunologis dan komponen pemacu pertumbuhan.
ASI mengandung sebagian besar air sebanyak 87,5%, oleh karena itu
bayi yang mendapat cukup ASI tidak perlu mendapat tambahan air
walaupun berada di tempat sushu udara panas. Selain itu, berbagai
komponen yang terkandung dalam ASI anatara lain:
1. Protein
Protein adalah bahan baku untuk tumbuh, kualitas protein
sangat penting selama tahun pertama kehidupan bayi, karena pada
saat ini pertumbuhan bayi paling cepat. Air susu ibu mengandung
protein khusus yang dirancang untuk pertumbuhan bayi. ASI
mengandung total protein lebih rendah tetapi lebih banyak protein
yang halus, lembut dan mudah dicerna. Komposisi inilah yang
membentuk gumpalan lebih lunak yang mudah dicerna dan diserap
oleh bayi (Haryono, dan Setianingsih, 2014).
2. Lemak
Lemak ASI adalah komponen yang dapat berubah-ubah
kadarnya kadar lemak bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan
kalori untuk bayi yang sedang tumbuh. Merupakan sumber kalori
(energi) utama yang terkandung di dalam ASI. Meskipun kadarnya
di dalam ASI cukup tinggi, namun senyawa lemak tersebut mudah
diserap oleh saluran pencernaan bayi yang belum berkembang secara
sempuurna. Hal ini disebabkan karena lemak didalam ASI
merupakan lemak yang sederhana struktur zatnya (jika dikaji dari
sisi ilmu kimia) tidak bercabang-cabang sehingga mudah melewati
saluran pencernan bayi yang belum berfungsi secara optimal
(Nurhaeni, 2009). ASI yang pertama kali keluar disebut susu mula
(foremilk). Cairan ini kira-kira mengandung 1-2% lemak dan tampak
encer. ASI berikutnya disebut susu belakang (hindmilk) yang
mengandung lemak paling sedikit tiga seperempatkali lebih banyak
dari susu formula. Cairan ini memberikan hampir seluruh energi
37

(Haryono, dan Setianingsih, 2014).


3. Karbohidrat
Laktosa merupakan komponen utama karbohidrat dalam ASI.
Kandungan laktosa dalam ASI lebih banyak dibandingkan dengan
susu sapi. Laktosa ini jika telah berada di dalam saluran pencernaa
bayi akan dihidrolisis menjadi zat-zat yang lebih sederhana yaitu
glukosa dan galaktosa). Kedua zat inilah yang nanti akan diserap
oleh usus bayi, dan sebagai zat penghasil energi tinggi (Nurhaeni,
2009). Selain merupakan sumber energi yang mudah dicerna,
beberapa laktosa diubah menjadi asam laktat, asam ini membantu
mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan membantu
dalam penyerapan kalsium dan mineral lainnya (Haryono, dan
Setianingsih, 2014).
4. Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap. Walaupun kadarnya
relatif rendah tetapi cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan. Kadar
kalsium, natrium, kalium, fosfor, dan klorida yang lebih rendah
dibandingkan dengan susu sapi, tetapi dengan jumlah itu sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi bahkan mudah diserap
tubuh. Kandungan mineral pada susu sapi memang cukup tinggi,
tetapi hal tersebut justru berbahaya karena apabila sebagian besar
tidak dapat diserap maka akan memperberat kerja usus bayi dan akan
mengganggu sistem keseimbangan dalam pencernaan (Lesmana,
Sandi, Mera & Nisman, 2011). Jenis mineral essensial ( vital ) lain
yang terkandung di dalam ASI, yaitu senyawa seng (Zn).
5. Vitamin
Vitamin dalam ASI dapat dikatakan lengkap. Vitamin A, D,
dan C cukup, sedangkan golongan vitamin B kurang (Haryono, dan
Setianingsih, 2014). Selain itu vitamin yang terkandung di dalam
ASI meliputi Vistamin E, vitamin K, karoten, biotin kolin, asam
folat, inositol, asam nikotinat (niasin), asam pathotenat, prodoksin
38

(Vitamin B3), riboflavin (vitamin B2), thiamin (vitamin B1) dan


sianokobalamin (vitamin B12) (Nurhaeni, 2009)

2.3.4 ASI Menurut Stadium Laktasi


Menurut stadium laktasinya ASI dibedakan menjadi tiga bagian
berikut ini :
1. Kolostrum
Ibu yang melahirkan normal memiliki kesempatan untuk
memberikan kolostrum. Bagi ibu yang melahirkan melalui operasi
caesar, tentunya diperlukan peran tenaga medis dananggota keluarga
lain agar kolostrum dapat diberikan kepada bayi (Anggraini, dan
Sutomo, 2010). Kolostrum merupakan cairan piscous dengan warna
kekuning-kuningan dan lebih kuning dibandingkan susu yang matur,
Kolostrum juga dikenal dengan cairan emas yang encer berwarna
kuning (dapat pula jernih) dan lebih menyerupai darah daripada susu
karena mengandung sel hidup menyerupai sel darah putih yang dapat
membunuh kuman penyakit (Haryono, dan Setianingsih, 2014). Oleh
karena itu, kolostrum harus diberikan pada bayi. Kolostrum melapisi
usus bayi dan melindunginya dari bakteri. Merupakan suatu laxanif
yang ideal untuk membersihkan meconeum usus bayi yang baru
lahir. Dapat dikatakan bahwa kolostrum merupakan obat untuk
membersihkan saluran pencernaan dari kotoran bayi dan membuat
saluran tersebut siap menerima makanan (Marmi, 2012).
Kolostrum disekresi oleh kelenjar payudara dari hari pertama
sampai ketiga atau keempat. Pada awal menyusui, kolostrum yang
keluar mungkin hanya sesendok teh saja. Pada hari pertama pada
kondisi normal produksi kolostrum sekitar 10 - 100 cc dan terus
meningkat setiap hari sampai sekitar 150 – 300 ml / 24 jam.
Kolostrum lebih banyak mengandung protein dan zat anti infeksi 10
- 17 kali lebih banyak dibandingkan dengan ASI matur, tetapi kadar
karbohidrat dan lemak lebih rendah. Komposisi dari kolostrum dari
39

19 hari ke hari selalu berubah. Rata-rata mengandung protein 8,5%,


lemak 2,5%, karbohidrat 3,5%, corpusculum colostrums, garam
mineral (K,Na, dan Cl) 0.4% air 85,1% leukosit sisa-sisa epitel yang
mati, dan vitamin yang larut dalam lemak lebih banyak. Selain itu,
terdapat zat yang menghalangi hidrolisis protein sebagai zat anti
yang terdiri atas protein tidak rusak (Astutik, 2014). Fungsi
kolostrum adalah memberikan gizi dan proteksi yang terdiri atas zat
sebagai berikut :
a. Imunoglobulin, untuk melapisi dinding usus yang berfungsi untuk
mencegah penyerapan protein yang mungkin menyebabkan alergi
(Astutik, 2014). Dibandingkan dengan ASI mature yang protein
utamanya adalah casein, pada coloustrum protein utamanya
adalah globulin sehingga dapat memberikan daya perlindungan
tubuh terhadap infeksi (Marmi, 2015).
b. Laktoferin merupakan protein yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap zat besi. Kadar laktoferin yang tertinggi pada
kolostrum dan air susu ibu adalah pada 7 hari pertama
postpartum. Kandungan zat besi yang rendah pada kolostrum dan
air susu ibu akan mencegah perkembangan bakteri patogen
(Astutik,2014).
c. Lisosom berfungsi sebagai anti bakteri dan menghambat
pertumbuhan berbagai virus. Kadar lisosom pada kolostrum dan
air susu jauh lebih besar kadarnya dibanding susu sapi
(Astutik,2014).
d. Faktor antitripsin berfungsi menghambat kerja tripsin sehingga
akan menyebabkan imunoglobulin pelindung tidak akan dipecah
oleh tripsin (Astutik, 2014).
e. Lactobasillus ada di dalam usus bayi dan menghasilkan berbagai
asam yang mencegah pertumbuhan bakteri patogen. Untuk
pertumbuhannya, 20 Lactobasillus membutuhkan gula yang
mengandung nitrogen yaitu faktor bifidus. Faktor bifidus ini
40

terdapat di dalam kolostrum dan air susu ibu. Faktor bifilus tidak
terdapat dalam susu sapi (Astutik, 2014).
2. Air Susu Masa Peralihan
ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum
sampai sebelum menjadi ASI yang matang/matur (Astutik, 2014).
Ciri dari air susu pada masa peralihan adalah sebagai berikut:
a. Peralihan ASI dari kolostrum sampai menjadi ASI yang matur.
b. Disekresi dari hari ke-4 sampai hari ke-10 dari masa laktasi. Teori
lain, mengatakan bahwa ASI matur baru terjadi pada minggu ke-3
sampai dengan minggu ke-5.
c. Kadar lemak, laktosa, dan vitamin larut air lebih tinggi, dan kadar
protein mineral lebih rendah serta mengandung lebih banyak
kalori daripada kolostrum (Hesti Widuri, 2013).
d. Volume ASI juga akan makin meningkat dari hari ke hari
(Marmi, 2012) sehingga pada waktu bayi berumur tiga bulan
dapat diproduksi kurang lebih 800 ml/hr.
3. Air Susu Matang (Matur)
Merupakan cairan yang berwarna putih kekuningan,
mengandung semua nutrisi. Terjadi pda hari ke 10 sampai seterusnya
(Haryono, Setianingsih, 2014). Ciri dari susu matur adalah sebagai
berikut :
a. ASI yang disekresikan pada hari ke 10 dan seterusnya. Komposisi
relatif konstan (Haryono, Setianingsih, 2014). Tetapi, ada juga
yang 21 mengatakan bahwa minggu ke 3 sampai 5 ASI
komposisinya baru konstan (Marmi, 2012).
b. Pada ibu yang sehat, produksi ASI untuk bayi akan tercukupi. Hal
ini dikarenakan ASI merupakan makanan satu-satunya yang
paling baik dan cukup untuk bayi sampai usia enam bulan
(Astutik, 2014).
41

c. Cairan berwarna putih kekuning - kuningan yang diakibatkan


warna dari garam Ca-caseinant, riboflavin, dan karoten yang
terdapat di dalamnya (Bahiyatun, 2009).
d. Tidak menggumpal jika dipanaskan (Bahiyatun, 2009).
e. Terdapat faktor antimikrobial (Astutik, 2014).
f. Interferon producing cell (Bahiyatun, 2009).
g. Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah, dan
adanya faktor bifidus (Astutik, 2014).

2.3.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi ASI


Berikut ini adalah faktor yang mempengaruhi produksi ASI adalah
sebagai berikut :
1. Faktor Makanan Ibu
Makanan yang dikonsumsi oleh ibu menyusui sangat
berpengaruh terhadap produksi ASI. Apabila makanan yang ibu
makan cukup kan gizi dan pola makan yang teratur maka
produksi ASI akan berjalan dengan lancar (Marmi,2012).
Seorang ibu yang kekurangan gizi akan mengakibatkan
menurunnya jumlah ASI dan akhirnya produksi ASI berhenti.
Hal ini disebabkan pada masa kehamilan jumlah pangan dan gizi
yang dikonsumsi ibu tidak memungkinkan untuk menyimpan
cadangan lemak dalam tubuhnya, yang kelak akan digunakan
sebagai salah satu komponen ASI dan sebagai sumber energi
selama menyusui (Haryono, Setianingsih, 2014).
2. Faktor Isapan Bayi
Isapan mulut bayi akan menstimulus kelenjar hipotalamus pada
bagian hipofisis anterior dan posterior. Hipofisis anterior
menghasilkan rangsangan (rangsangan prolaktin) untuk
meningkatkan sekresi (pengeluaran) hormon prolaktin. Hormon
prolaktin bekerja pada kelenjar susu (alveoli) untuk
memproduksi ASI. Isapan bayi tidak sempurna atau puting susu
42

ibu yang sangat kecil akan mebuat produksi hormon oksitosin


dan hormon prolaktin akan terus menurun dan ASI akan
berhenti (Haryono, Setianingsih, 2014). Semakin sering bayi
menyusu pada payudara ibu, maka produksi dan pengeluaran
ASI akan semakin banyak (Marmi, 2012).
3. Frekuensi Penyusuan Penyusuan direkomendasikan paling
sedikit 8 kali perhari pada periode awal setelah melahirkan
selama 24 jam semakin sering bayi mengisap puting susu, akan
semakin banyak ASI yang. Penyusuan ini berkaitan dengan
kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara
(Haryono, Setianingsih, 2014).
4. Faktor psikologis
Dukungan suami maupun keluarga akan sangat membantu
berhasilnya seorang ibu dalam menyusui. Perasaan ibu yang
bahagia, senang, perasaan menyanyangi bayi, memeluk,
mencium dan mendengar bayinya menangis akan meningkatkan
pengeluaran ASI (Haryono, Setianingsih, 2014). Untuk
memproduksi ASI yang baik, maka kondisi kejiwaa dan pikiran
ibu harus tenang. Keadaan psikologis ibu yang tertekan, sedih
dan tegang dapat menurunkan volume ASI (Marmi, 2012).
5. Berat badan lahir
Bayi berat lahir rendah (BBLR), mempunyai kemampuan
mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi yang lahir
normal (>2500gr) (Marmi, 2012). Ada hubungan berat lahir bayi
dengan volume ASI. Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk
mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan dibanding bayi yang
lebih besar. Berat bayi pad hari kedua dan usia 1 bulan sangat
erat berbuhungan dengan kekuatan mengisap yang
mengakibatkan perbedaan inti yang besar dibanding bayi yang
mendapat formula (Haryono, Setianingsih, 2014).
6. Perawatan Payudara
43

Perawatan payudara bermanfaat merangsang payudara


mempengaruhi hipofise untuk mengeluarkan hormon prolaktin
dan oksitosin. Prolaktin mempengaruhi jumlah produksi ASI,
sedangkan oksitosin mempengaruhi proses pengeluaran ASI
(Marmi, 2012). Perawatan payudara yang dimulai dari
kehamilan bulan ke 7-8 memegang peranan penting dalam
menyusui bayi. Payudara yang terawat akan memproduksi ASI
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan dengan
perawatan,payudara yang baik, maka 37 puting tidak akan lecet
sewaktu diisap bayi. Perawatan fisik payudara menjelang masa
laktasi perlu dilakukan, yaitu dengan mengurut selama 6 minggu
terakhir masa kehamilan. Pengurutan tersebut diharapkan
apabila terdapat penyumbatan pada duktus laktiferus dapat
dihindarkan sehingga pada waktunya ASI akan keluar dengan
lancar (Haryono, Setianingsih, 2014).

2.3.6 Peran Bidan dalam Keberhasialan Pemberian ASI


Peran bidan dalam mendukung ASI eksklusif antara lain melalui
upaya promosi ASI eksklusif yang dimulai dari masa kehamilan.
Dukungan lain yang dapat diberikan bidan yaitu mempersiapkan ibu
untuk dapat menyusui dengan baik dengan melakukan perawatan
payudara selama kehamilan.
Perawatan payudara yang dilakukan pada masa kehamilan
bertujuan untuk menjaga kebersihan payudara, kesiapan puting dan
memastikan ASI sudah keluar sebelum kelahiran bayi. Bidan juga dapat
memfasilitasi ibu untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) pada
satu jam pertama setelah bayi lahir, tidak memberikan susu formula dan
melakukan rawat gabung (Sabati, 2015).

2.4 BBLR
2.4.1 Pengertian
44

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.
Dahulu neonatus dengan berat badan lahir kurang 2500 gram atau sama
dengan 2500 gram disebut premature. Pembagian menurut berat badan
ini sangat mudah tetapi tidak memuaskan. Sehingga lambat laun
diketahui bahwa tingkat morbiditas dan mortalitas pada neonatus tidak
hanya bergantung pada berat badan lahir saja, tetapi juga pada tingkat
maturitas bayi itu sendiri (WHO, 2014).

2.4.2 Klasifikasi
Klasifikasi BBLR menurut (Tando, 2016) ada beberapa cara
dalam mengelompokkannya yaitu:
1. Klasifikasi BBLR menurut harapan hidupnya:
a. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500 gr
b. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) berat lahir 1000-
1500 gr
c. Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLR) berat lahir 1000 gr
2. Menurut masa gestasinya:
a. Prematuritas murni: Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan
berat badanya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat
atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa
kehamilan.
b. Dismaturitas: Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami
retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang kecil
untuk masa kehamilannya (Proverawati & Ismawati, 2012).

2.4.3 Tanda-tanda Bayi Berat Lahir Rendah


Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai ciri-ciri :
1. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
2. Berat badan kurang dari 2500 gram.
45

3. Panjang badan kurang dari 46 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm,
lingkar dada kurang dari 30 cm.
4. Rambut lanugo (rambut halus dan tipis yang muncul pada kulit janin
dan menghilang dalam beberapa waktu setelah kelahiran) masih
banyak.
5. Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya.
6. Tumit mengkilap, telapak kaki halus.
7. Genitalia belum sempurna seperti pada bayi perempuan labio minora
belum tertutup oleh labia mayora, klitoris menonjol, pada bayi laki –
laki testis belum turun ke dalam skrotum
8. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakkannya
lemah dan tangisnya lemah.
9. Verniks kaseosa (sejenis lemak yang menyerupai keju dan
membantu untuk melindungi janin) tidak ada atau sedikit
(Proverawati dan Ismawati, 2012).

2.4.4 Batasan Bayi Berat Lahir Rendah


Berat Badan Lahir Rendah (Bayi Berat Lahir Rendah) adalah
bayi yang lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa
kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam
setelah lahir. Penyebab Bayi Berat Lahir Rendah sangat kompleks. Bayi
Berat Lahir Rendah dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan,
bayi kecil untuk bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum umur
37 minggu. Sebagian bayi kurang bulan belum siap hidup di luar
kandungan dan mendapatkan kesulitan untuk mulai bernafas,
menghisap, melawan infeksi, dan menjaga tubuhnya agar tetap hangat
(Proverawati dan Ismawati, 2012).
Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak
tumbuh dengan baik di dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3
kelompok bayi yang termasuk bayi kecil masa kehamilan (KMK) yaitu
KMK lebih bulan, KMK cukup bulan, dan KMK kurang bulan. Bayi
yang cukup bulan kebanyakkan mampu bernafas dan menghisap dengan
baik. Sedangkan bayi KMK kurang bulan kadang kemampuan bernafas
dan menghisapnya lemah (Proverawati dan Ismawati, 2012).
46

2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Bayi Berat Lahir Rendah


BBLR disebabkan oleh dua faktor utama yaitu kelahiran
prematur (usia gestasi < 37 minggu), intrauterine growth restriction
(IUGR), atau kombinasi keduanya. Sehingga patofisiologi BBLR
berkaitan dengan kedua kondisi tersebut. Kelahiran prematur
disebabkan oleh banyak faktor yang berkaitan erat dengan hubungan
yang kompleks antara fetus, plasenta, uterus, dan faktor maternal.
Apabila terjadi suatu gangguan atau kelainan pada salah satu faktor
diatas, maka akan timbul akibat ketidakmampuan uterus untuk
mempertahankan fetus, terganggunya jalan lahir, dan kontraksi uterus
sebelum waktunya, sehingga terjadilah kelahiran prematur. Faktor yang
dapat menyebabkan kelahiran prematur meliputi fetus yaitu gawat janin
dan kehamilan ganda, faktor plasenta yaitu disfungsi plasenta, plasenta
previa, dan solusio plasenta. Faktor maternal yaitu 10 preeklampsia,
penyakit kronis (ginjal, jantung) dan infeksi. Faktor lain seperti ketuban
pecah dini (KPD).
Faktor penyebab IUGR yakni adanya gangguan pada faktor ibu,
janin, dan plasenta yang menyebabkan gangguan perfusi uterus –
plasenta dan nutrisi janin. Perfusi yang tidak baik, letak plasenta yang
abnormal, hipertensi dalam kehamilan, merokok, kehamilan ganda,
infeksi intrauterin (termasuk HIV dan malaria), karakteristik dari
maternal, malnutrisi pada ibu, indeks masa tubuh ibu rendah dapat
menyebabkan BBLR. Sebuah teori yang menjadi penyebab dari IUGR
adalah penurunan produksi hormon insulin atau gangguan pada level
reseptor insulin ( Insulin-like growth factor / IGF).
Hal ini terjadi terutama pada bayi yang memiliki defek pada
reseptor IGF-1 , hipoplasia pankreas, dan diabetes neonatus sementara.
Defek pada reseptor IGF-1 disebabkan oleh mutasi genetik yang
mengganggu mekanisme pengenalan glukosa oleh sel islet pankreas
sehingga menyebabkan penurunan pelepasan insulin. IUGR terbagi
menjadi dua yakni IUGR simetris dan IUGR asimetris. IUGR simetris
mempengaruhi seluruh pertumbuhan dimulai dari lingkar kepala,
panjang, dan berat badan bayi. Sedangkan pada IUGR asimetris, lingkar
47

kepala bayi dalam batas normal, namun ukuran panjang dan berat badan
bayi terganggu. IUGR asimetris adalah tipe yang paling sering
ditemukan. Tipe ini memiliki persentase kasus sebesar 70 – 80%.
Berikut adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan Bayi
Berat Lahir Rendah secara umum yaitu:
1. Faktor obstetrik
a. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan baik hidup
maupun mati. Resiko terjadinya BBLR pada ibu yang pernah
melahirkan anak empat kali atau lebih akan meningkat.
b. Riwayat obstetrik buruk
Riwayat obstetrik buruk yaitu riwayat abortus, riwayat
persalinan prematur, riwayat BBLR, bayi lahir mati, riwayat
persalinan dengan tindakan (ekstaksi vacuum dan ekstrasi
forsep), pre-eklamsia/eklamsia juga berpengaruh terhadap
BBLR.(Manuaba, 2012).
c. Hipertensi gestasional Hipertensi gestasional adalah keadaan
dimana diperoleh tekanan darah > 140/90 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu, tanpa disertai adanya proteinuria.
Kendati demikian,apabila didapatkan tekanan darah yang
signifikan maka diperlukan pengawasan yang lebih ketat karena
kejadian eklampsia dapat mendahului proteinuria. Tekanan
darah pada kasus hipertensi gestasional akan berangsur normal
dalam 12 minggu setelah persalinan (Cuningham, 2014)

2. Sosial demografi
a. Usia ibu
Usia ibu adalah waktu hidup ibu bersalin sejak lahir sampai
hamil. Saat terbaik untuk seorang wanita hamil adalah saat
usia 20-35 tahun, karena pada usia itu seorang wanita sudah
mengalami kematangan organ-organ reproduksi dan secara
psikologi sudah dewasa (Manuaba, 2012)
48

b. Gizi hamil
Status gizi selama kehamilan adalah salah satu faktor penting
dalam menentukan pertumbuhan janin. Status gizi ibu hamil
akan berdampak pada berat badan lahir, angka kematian
perinatal, keadaan kesehatan perinatal, dan pertumbuhan bayi
setelah kelahiran. Situasi status gizi ibu hamil sering
digambarkan melalui prevalensi anemia dan Kurang Energi
Kronis (KEK) pada ibu hamil.
c. Status sosial ekonomi
Keluarga bayi dengan status ekonomi rendah dan tinggal di
pedesaan cenderung mengalami kejadian BBLR lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga status ekonomi tinggi dan
tinggal di perkotaan. Keluarga bayi dengan status ekonomi
rendah mempunyai risiko BBLR sebesar 1,33 kali
dibandingkan keluarga dengan status ekonomi tinggi karena
berhubungan dengan kurangnya pemenuhan nutrisi ibu dan
pemantauan kehamilan. (Cunningham, 2014).
d. Status pernikahan
Remaja yang hamil di luar nikah menghadapi berbagai
masalah psikologis yaitu rasa takut, kecewa, menyesal, dan
rendah diri terhadap kehamilan sehingga terjadi usaha untuk
menghilangkan dengan menggugurkan kandungannya atau 13
tidak mengurusi kehamilannya sehingga dapat kekurangan
nutrisi dan menyebabkan BBLR. Ibu dengan kehamilan di
luar nikah berpeluang 1,8 kali berisiko memiliki bayi berat
lahir rendah (BBLR) (Damelash, 2015).
e. Pendidikan Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi seseorang berperilaku. Tingkat pendidikan
merupakan faktor yang mendasari dalam pengambilan
keputusan. Semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin
mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan
selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi
ibu dan janinnya termasuk mencegah kejadian BBLR.Tingkat
49

pendidikan juga sering dihubungkan dengan tingkat sosial


ekonomi dalam konteks kesehatan, dimana tingkat pendidikan
yang rendah dapat membatasi pekerjaan (Notoatmodjo, 2014).
3. Kesehatan umum dan penyakit episodik
a. Gangguan metabolisme
Salah satu penyakit gangguan metabolisme yang sering
dialami oleh ibu hamil yaitu diabetes mellitus (DM). Pada
ibu yang mengalami diabetesmeliitus, cedera mikrovaskular
ginjal akan merusak membrane glomelurus sehingga protein
akan bocor keluar ke urin. Seiring dengan memburuknya
fungsi ginjal, kebocoran protein akan menimbulkan retensi
cairan dan ginjal makin tidak efisien dalam membuang
sampah metabolism seperti keratinin. Gangguan ini disebut
nefropati diabetic dan akan mempersulit kehamilan termasuk
pre-eklamsia, hipertensi, BBLR, dan kelahiran premature.
Pertumbuhan janin terhambat (IUGR) merupakan faktor
komplikasi yang sering terjadi jika ibu hamil sudah
mengalami fungsi ginjal yang buruk. (Bothamley, 2013)
b. Faktor ayah
Faktor ayah yang mempengaruhi terjadinya BBLR adalah
tinggi badan dan berat badan. (Ngoma, 2016).
c. Kebiasaan
Risiko BBLR terjadi pada ibu yang mmpunyai kebiasaan
merokok, meminum minuman yang mengandung alkohol,
pecandu obat jenis narkotika, dan pengguna obat
antimetabolik. Asupan kafein harian tinggi dikaitkan dengan
peningkatan risiko melahirkan kecil masa kehamilan atau
berat bayi lahir

2.5 Pola Asuh


2.5.1 Pengertian
Pola asuh anak merupakan perilaku yang dipraktikkan oleh
pengasuh anak dalam pemberian makan, pemeliharaan kesehatan,
50

pemberian stimulasi, serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak


untuk proses tumbuh kembangnya. Metode pola asuh yang digunakan
oleh orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan
potensi dan karakter seorang anak. Ada banyak jenis-jenis pola asuh
yang sering menjadi pedoman bagi siapa saja yang ingin mencetak
generasi paripurna untuk 30 diandalkan bagi kemajuan bangsa ke
depan. Jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki
karakteristik dan ciri khas yang berbeda. Berkaitan dengan jenisjenis
pola asuh orang tua, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga
jenis yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh
permisif. (Ayun, 2017)
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar
tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter
(yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan
orang tua) dan pola asuh yang permisif (yang cenderung memberikan
kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya
dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk
terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil
pendidikan karakter anak. Artinya jenis pola asuh yang diterapkan oleh
orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak oleh keluarga.

2.5.2 Tipe Pola Asuh Orang Tua


1. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis)
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang
memperioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu
mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap
rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-
pemikiran. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban
hak orang tua dan anak, bersikap rasional dan selalu mendasari
tindakannya pada rasio pemikiran. Pola asuh demokrasi ini
51

merupakan sikap pola asuh dimana orang tua memberikan


kesempatan kepada anak dalam berpendapat dengan
mempertimbangkan antara keduanya. Akan tetapi hasil akhir tetap
ditangan orang tua. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya
pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak ,anak diberi
kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Sedikit
memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik
bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam
pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu
sendiri .Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol
internal nya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung
jawab kepada diri sendiri.
2. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan
menggunakan kepemimpinan otoriter, kepemimpinan otoriter yaitu
pemimpin menentukan semua kebijakan, langkah dan tugas yang
harus dijalankan. Sebagaimana diketahui pola asuh otoriter
mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung
diskriminatif. Hal ini ditandai dengan tekanan anak untuk patuh
kepada semua perintah dan keinginan orang tua, kontrol yang sangat
ketat terhadap tingkah laku anak, anak kurang mendapatkan
kepercayaan dari orang tua, anak sering di hukum, apabila anak
mendapat prestasi jarang diberi pujian atau hadiah.
Baumrind menjelaskan bahwa pola asuh orang tua yang
otoriter ditandai dalam hubungan orang tua dengan anak tidak hangat
dan sering menghukum. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang
ditandai dengan cara mengasuh anak-anak dengan aturan yang ketat,
sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang
tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi, anak
jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita, bertukar
pikiran dengan orang tua. Orang tua malah menganggap bahwa
52

semua sikap yang dilakukan itu sudah benar sehingga tidak perlu
minta pertimbangan anak atas semua keputusan yang mengangkat
permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga
ditandai dengan hukuman hukuman yang dilakukan dengan keras,
anak juga diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi
perlakuannya. Perlakuan seperti ini sangat ketat dan bahkan masih
tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak dewasa.
3. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah bentuk pengasuhan dimana orang
tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada anak untuk
mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan
tidak banyak kontrol oleh orang tua. Pola asuh ini memberikan
pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan kepada
anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup
darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan
anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun, orang tua tipe ini
bersifat hangat sehingga sering kali disukai oleh anak. Pola asuh
permisif ini yaitu sikap pola asuh orang tua yang cenderung
membiarkan dan memberikan kebebasan kepada anak untuk
melakukan berbagai hal.
Pola Permisif adalah membiarkan anak bertindak sesuai
dengan keinginannya, orang tua tidak memberikan hukuman dan
pengendalian. Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa
batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya
sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan
kepada anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri walaupun terkadang bertentangan dengan
norma sosial (Wati, 2021).
4. Pola Asuh Lalai
Pola asuh lalai (neglectful parenting) merupakan gaya ketika
53

orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak


yang orang tuanya lalai mengembangkan rasa bahwa aspek lain
kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka. Anak-anak
tersebut cenderung tidak kompeten secara sosial. Banyak orang
miskin dalam pengendalian dirinya kurang mandiri. Mereka sering
memiliki harga diri rendah dan tidak matang, serta mungkin terasing
dari keluarga.
Pola asuh tipe ini adalah pola asuh antar orang tua dengan anak
memiliki komunikasi yang minim, anak yang tidak dalam
pengawasan orang tua bahkan tidak ada. Orang tua tipe ini pada
umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada
anak-anaknya (Pratiwi, 2016)

2.5.3 Ciri-Ciri Pola Asuh Orang Tua


1. Ciri-ciri orang tua demokratis yaitu:
a. Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak
berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak
b. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan
melakukan suatu tindakan
c. Bersikap responsif terhadap kemampuan anak
d. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan
e. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan baik dan buruk
f. Menghargai setiap keberhasilan yang diperoleh anak
2. Pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Orang tua suka menghukum secara fisik
b. Orang tua cenderung bersikap mengomando (mengharuskan atau
memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)
c. Bersikap kaku
d. Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak
3. Secara umum ciri-ciri pola asuh orang tua yang bersifat permisif yaitu:
a. Orang tua tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak
54

sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan


oleh mereka
b. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan
dorongan atau keinginannya.
c. Orang tua tidak pernah menegur atau tidak berani menegur perilaku
anak, meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar
batas kewajaran.
4. Ciri-ciri pola asuh penelantar yaitu:
a. Orang tua lebih mementingkan kepentingan sendiri misalnya
terlalu sibuk, tidak peduli bahkan tidak tahu anaknya dimana atau
sedang dengan siapa, dan lain sebagainya.
b. Anak-anak dibiarkan berkembang sendiri baik fisik maupun psikis
(Ayun, 2017).

2.6 Peran Bidan


Menurut WHO Bidan adalah seseorang yang telah diakui secara reguler
dalam program pendidikan kebidanan sebagaimana yang diakui yuridis,
dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan
telah mendapatkan kualifikasi serta terdaftar disahkan dan mendapatkan ijin
melaksanakan praktik kebidanan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan pasal 46
menjelaskan tentang tugas bidan. Tugas bidan meliputi pelayanan kesehatan
ibu dan anak, reproduksi perempuan, dan keluarga berencana. Didalamnya
termasuk pencegahan stunting sebagai pelayanan dari kesehatan ibu dan anak.
Bidan adalah salah satu tenaga yang memberikan pengawasan untuk
memastikan bahwa nutrisi dan program pendidikan kesehatan reproduksi
berlanjut melaui 2 tahun pertama kehidupan bayi, pertumbuhan dan
perkembangan bayi, dapat membantu mencegah stunting. Peran bidan dalam
pencegahan stunting ini meliputi intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi
sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada
anak dalam 1000 hari pertama kelahiran (PKH) dan berkontribusi pada 30%
55

penuruan stunting. Sedangkan intervensi gizi sensitive merupakan intervensi


yang dilakukan menanggulangi penyebab tidak langsung terjadinya stunting,
seperti lingkungan yang buruk, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan
berkualitas, pola asuh yang tidak memadai serta permasalahan ketahanan
pangan ditingkat rumah tangga (Kemenkes, 2017).

2.7 Kerangka Konsep


Faktor – faktor yang
mempengaruhi terjadinya
stunting
Faktor Langsung
Faktor ibu
Nutrisi yang buruk selama
prekonsepsi, kehamilan, dan
laktasi.
Perawakan ibu
BBLR.
IUGR
Persalinan prematur
Jarak persalinan
Faktor Genetik
Asupan Makanan
Pemberian ASI Eksklusif Kejadian Stunting
Faktor infeksi

Faktor tidak langsung


Faktor sosial ekonomi
Tingkat Pendidikan
D. Faktor Lingkungan
Penerapan Pola asuh
Ketidak amanan pangan, alokasi
pangan yang tidak tepat, 56
Rendahnya edukasi pengasuh.

Bagan 2.1 Kerangka Teori


Duggan (2016), Almatsier (2017), Baumrind (2017) Sandra
Fikawati dkk, (2017), Rakhmawati (2015), Maryuani (2012); Nelson.
(2015); Sandjojo, E. P (2017)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancanga penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif
analitik yang artinya peneliti mencoba menggali suatu fenomena kesehatan
yang terjadi dan bertujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh antara
variabel satu dengan yang lain, maupun membandingkan atau mengetahui
perbedaan satu variabel atau lebih.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Cross
Sectional sendiri berarti penelitian yang mendapatkan data sesuai dengan
kondisi dan saat penelitian berlangsung. Dalam penelitian cross sectional
peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu
57

yang artinya subjek hanya diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel
subjek dilakukan pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Kerangka Penelitian


Kerangka penelitian merupakan suatu cara yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan atau kaitan antara variabel yang akan
diteliti (Notoatmodjo, 2018).
Pemberian ASI eklusif
BBLR
Pola Asuh
Kejadian Stunting

Bagan 3.1 Kerangka Penelitian

3.3 Variabel Penelitian


variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbetuk apa
saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2017).Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu:
1. Varibel Independent (bebas)
Variabel bebas sering disebut variabel stimulus, atau
prediktor.Variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau
menjadi sebab perubahannya atau timulnya variabel dependen (terikat)
(Sugiyono,2017). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian
ASI eksklusif, BBLR, pola asuh.
2. Variabel Dependent (Tak bebas)
mengemukakan bahwa variabel terikat sering disebut variabel
58

output, kriteria, konsekuen. Variabel terikat merupakan variabel yang


dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono,2017). Variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah
pemilihan kejadian stunting.

3.4 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil ukur Skala
Operasional
1 Kejadian Keadaan Antropometri 1. Stunting: Ordinal
Stunting kekurangan gizi (microtoise) Z-score<-3SD
kronis yang keteliti an 0,1 s/d < -2SD
disebabkan oleh cm. tabel 2. Tidak
asupan gizi yang ZScore Stunting:
kurang dengan Z-score -2SD
kebutuhan gizi dan s/d +3 SD
berada pada batas
ukuran sesuai
dengan tabel score
TB/U
2 Pemberian Menyusui secara Kuisioner 1. Tidak ASI Ordinal
ASI eksklusif selama Eksklusif
eksklusif enam bulan, tanpa jika salah
59

No Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil ukur Skala
Operasional
memberikan satu jawaban
makanan tambahan ibu tidak
lainnya selain ASI. tepat
2. ASI
Eksklusif
jika jawaban
ibu tepat
semua
3 BBLR Berat badan bayi Kuisioner 1. Tidak Ordinal
yang ditimbang BBLR:
saat lahir (BBL 2500-
4000 gram)
2. BBLR
< 2.500 gram)
4 Pola asuh Pola perilaku ibu Kuisioner 1. Kurang baik , Ordinal
yang diterapkan jika < Mean
kepada balita usia 2. Baik, jika ≥
1-59 bulan dalam Mean
memberikan
makan untuk
menentukan pola
asuh baik dan
kurang baik

3.5 Populasi dan sampel Penelitian


3.5.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:
objek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. (Sugiyono, 2018).
Populasi pada penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita
stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kecamatan Surade
Kabupaten Sukabumi sampai bulan Agustus - Oktober tahun 2022
sebanyak 315 balita.
60

3.5.2 Sampel
Berdasarkan populasi diatas, maka untuk mempermudah
melakukan penelitian diperlukan suatu sampel penelitian dikarenakan
populasi yang diteliti berjumlah besar dan sampel tersebut harus
representatif atau mewakili dari populasi tersebut. Sampel penelitian
adalah faktor dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. (Sugiyono, 2017). Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ibu yang mempunya balita stunting yaitu sebanyak
76 di Wilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kecamatan Surade.
Penelitian ini menggunakan teknik proporsional Stratified random
sampling.
Berdasarkan uraian diatas, maka untuk penarikan dalam sampel
penelitian ini menggunakan sampel acak (Random sampling) karena
jumlah populasi lebih dari 100 orang. Penelitian ini menggunakan
toleransi kesalah 10% berarti memiliki tingkat akurasi 90%. Sedangkan
teknik untuk pengambilan sampel menggunakan Rumus Slovin
(Riduwan , 2013) sebagai berikut:

Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah seluruh populasi
E = toleransi error 10%
61

n = 75,9 dibulatkan menjadi 76 responden Berdasarkan perhitungan


rumus sampel diatas.
Rumus yang digunakan untuk menghitung proporsi sampel di

tiap bidang (Riduwan : 2013) :

¿= ¿ xn
N
dimana :
ni = anggota sampel pada prosorsi ke-I
Ni = populasi ke-I
n = sampel yang di ambil dalam penelitian

Hasil yang didapatkan dari masing-masing proporsional

Stratified random sampling adalah sebagai berikut:

109
1. Desa Pasiripis x 76 = 26,29 = 26 orang
315
110
2. Desa Buniwangi x 76 = 25,53 = 26 orang
315
37
3. Desa Gunungsungsing x 76 = 8,92 = 9 orang
315
31
4. Desa Cipeundey x 76 = 7,49 = 8 orang
315
28
5. Desa Sukatani x 76 = 6,75 = 7 orang
315
Sampel yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu
sebanyak 76 balita stunting Wilayah Kerja Puskesmas Buniwangi
Kecamatan Surade

3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
62

metode Proportionate Stratified Random Sampling artinya data ini


bersifat heterogen.Proportionate Stratified Random Sampling adalah
pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata
secara proporsional, teknik ini digunakan karena populasi tersebar
dalam beberapa kelompok (Sugiyono, 2017).
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Kriteria sampel
a. Kriteria Inklusi
1) Ibu yang memiliki balita usaia 1-5 tahun (12-59 bulan) di
wilayah Puskesmas Buniwangi
2) Balita yang tinggal di wilayah Puskesmas Buniwangi
3) Ibu bersedia menjadi responden
b. Kriteria Eksklusi
1) Ibu balita pindah tempat tinggal saat penelitian berlangsung.
2) Ibu yang tidak bersedia menjadi responden

3.6 Teknik Pengumpulan Data


3.6.1 Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data menurut Hardani (2020) merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data tanpa mengetahui Teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang
ditetapkan.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi atas 3
(tiga) yaitu:
1. Data Primer
Data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data (Sugiyono,2017). Sumber data primer
dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari melalui wawancara dan
kuesioner dari responden yang berada di Puskesmas Buniwangi.
63

2. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan
data kepada pengumpul data. Sumber data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari berbagai sumber antara lain dari laporan gizi puskesmas,
buku, artikel, jurnal dan informasi lainnya yang mempunyai hubungan dan
relevan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

3.6.2 Instrumen Penelitian


Kuesioner merupakan alat teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono,
2017). Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien.
Kuesioner diberikan kepada ibu yang mempunya balita stunting yaitu di
Wilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kecamatan Surade.
Alat atau instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah
Microtoise untuk mengukur tinggi badan anak dengan ketelitian 0,1 cm.
Kuesioner untuk ASI eksklusif dan riwayat BBLR dan pola asuh.
Kuesioner ini mengacupada kuesioner peneliti sebelumya dan di
modifikasi oleh peneliti.
Pola asuh pemberian makan, kuisioner yang digunakan adalah
kuisioner parental feeding style. Kuisioner ini terdiri dari 29 butir
pertanyaan yang dibagi menjadi 16 soal demandingness (D) dan 13 soal
responsiveness (R) yang jawabannya menggunakan skala likkert. Skala
likkert adalah skala yang dirancang untuk memungkinkan responden
menjawab berbagai tingkatan pada setiap objek yang akan diukur.
Setiap butir soal memiliki 5 kemungkinan jawaban, yaitu. Tidak pernah
(0), Jarang (1), kadang-kadang (2), sering (3), selalu (4) (Astuti, 2014).
Adapun Kisi-kisi angket pola asuh ibu dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut :
Tabel. 3.2 kisi-kisi kuesioner pola asuh
Variabel Indikator Jumlah
64

Pola Asuh Pemantauan dalam memilih makanan 1


perilaku makan anak (monitoring) 2
pembatasan untuk mengendalikan berat badan 3
anak (retriction)
pembatasan asupan makan dalam porsi makan 3
(pressure to eat)
mendorong atau menuntut anak untuk makan 5
merekomendasikan pencegahan dan 3
penanganan berat badan (child control)
pemberian contoh perilaku makan orang tua 3
kepada anak (item modelling)
pengaturan emosi saat makan (emotion 2
regulation)
pengajaran tentang kesehatan dan gizi 3
(teaching about nutrition)
makanan sebagai hadiah (food as a reward) 1
keterlibatan anak dalam pemilihan makanan 2
(involvement)
mendorong keseimbangan makanan dan jenis 2
makanan (enchourage balance and variety)
Total Pernyataan 29

3. Uji Validitas dan Reliabilitas


a. Uji Validitas
Uji validitas merupakan persamaan data yang dilaporkan oleh
peneliti dengan data yang diperoleh langsung yang terjadi pada subyek
penelitian. Uji validitas digunakan untuk mengukur valid atau
setidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika
pernyataan pada kuesioner mampu mengungkapkan yang akan diukur
oleh kuesioner tersebut. Uji validitas pada setiap pertanyaan apabila r
hitung > r tabel pada taraf signifikan (α = 0,05) maka instrument itu
dianggap tidak valid dan jika r hitung < r tabel maka instrument
dianggap tidak valid. (Sugiyono, 2018).
Angket/kuisioner yang di gunakan dalam penelitian ini
merupakan kuisioner yang sebelumnya sudah diuji oleh Corry
Ocvita Sari pada tahun 2018 di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasih II pada ibu yang memiliki balita usia 25-59 bulan
dengan jumlah 35 responden dimana pencarian responden dibantu
65

oleh kader melalui data balita yang berusia 25-59 bulan. Dari
hasil uji validitas angket dinyatakan valid karena berdsarkan uji
validitas didapatkan nilai hitung > r tabel (0,344).
b. Uji Reliabilitas
Menurut Sugiyono (2018) menyatakan bahwa uji reliabilitas
adalah sejauh mana hasil pengukuran dengan menggunakan objek
yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Variabel
dinyatakan reliabel dengan kriteria berikut :
1) Jika r-alpha positif dan lebih besar dari r-tabel maka
pernyataan tersebut reliabel.
2) Jika r-alpha negatif dan lebih kecil dari r-tabel maka
pernyataan tersebut tidak reliabel.
(1) Jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,6 maka reliable
(2) Jika nilai Cronbach’s Alpha < 0,6 maka tidak reliable
Variabel dikatakan baik apabila memiliki nilai Cronbach’s
Alpha > dari 0,6 (Priyatno, 2013)
Uji reliabilitas angket dalam penelitian ini dinyatakan reabiltas
Nilai Cronbach’s Alpha (0,9) > konstanta (0,6) maka pernyataan
tersebut reliable.

3.6.3 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian yaitu pembuatan rancangan penelitian,
pelaksanaan penelitian, dan pembuatan laporan penelitian (Arikunto,
2013).
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada
Fakultas Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali
2. Setelah mendapat izin penelitian, peneliti mengajukan surat izin
penelitian kepada Kepala Puskesmas Buniwangi sekaligus
menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian.
3. Peneliti mengikuti kegiatan posyandu balita pada bulan Januari
66

tahun 2022 untuk pengambilan data.


4. Peneliti menentukan populasi dan sampel penelitian sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi.
5. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian secara rinci,
termasuk responden berhak menolak dalam mengikuti penelitian.
6. Peneliti memberikan lembar persetujuan (informed consent) yang
menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian serta
menjelaskan tentang maksud dan tujuan penelitian.
7. Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya
mengenai hal-hal yang tidak dimengerti atau belum jelas.
8. Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk mengisi
lembar kuisioner dengan estimasi waktu setiap responden kurang
lebih 25 menit.
9. Peneliti melakukan skrining sesuai dengan pengukuran
antropometri untuk melihat status gizi pada balita. Apabila hasil
pengukuran menunjukkan nilai Z-score Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) balita usia 0-59 bulan <-3SD sampai dengan <-2SD
maka disebut balita stunting. Apabila nilai Z-score pada balita -
2SD sampai dengan +3 SD maka balita tersebut dikatakan tidak
stunting.
10. Peneliti memeriksa kembali identitas dan jawaban dari kuisioner
yang telah diisi, jika masih ada yang belum lengkap maka
responden akan diminta untuk melengkapinya.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, data tersebut diolah secara
manual dan disajika dalam bentuk dan proses dengan langkah sebagai
berikut:
1. Editing (Pengeditan Data)
Angket yang telah diisi oleh responden terlebih dahulu diedit
67

untuk mengecek kebenaran data berdasarkan pengisian angket. Pada


tahap editing ini peneliti melakukan pengecekan kelengkapan data-
data yang ada terutama dalam kelengkapan data angket.
2. Coding (Pemberian Kode)
merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
data berbentu angka atau bilangan. Kegunaannya untuk
mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat pada
saat entri data.
Tabel 3.7.1 Coding Data
No Pilihan Jawaban Kode
1 Balita Stunting
Stunting 1
Tidak stunting 2
2 Pemberian ASI Ekslusif
Tidak ASI 1
ASI eksklusif 2
3 BBLR
BBLR 1
Tidak BBLR 2
4 Pola Asuh
Kurang baik 1
Baik 2

3. Processing
Setelah semua isian angket terisi penuh dan benar, dan sudah
melewati coding, maka langkah selanjutnya memproses data agar
dapat dianalisis.
4. Tabulating (Pentabulasian)
Tabulation merupakan proses pembuatan tabel-tabel sesuai
dengan tujuan penelitian, kemudian memasukan data yang telah
diperoleh ke dalam master table.
5. Cleaning (pembersihan data)
merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-
entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut
dimungkinkan terjadi pada saat meng-entry data.
68

3.7.2 Analisis Data


Analisis data pada penelitian ini menggunakan bantuan program
SPSS. Berikut merupakan tahap-tahap analisa data dalam penelitian ini:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dimaksudkan untuk mengetahui distribusi
frekuensi dan proporsi dari variabel - variabel yang diamati. Tujuan
dari analisis ini adalah untuk menjelasan atau mendeskripikan
karateristik setiap variabel penelitian. Pada analisis ini hanya
menghasilkan distribui frekuensi dan presentasi setiap variabel.
(Arikunto, 2016). Analisis univariat dalam penelitian ini adalah
distribusi frekuensi dan persentase kejadian stunting, pemberian ASI
eksklusif, BBLR dan pola asuh.
Pengolahan data dilakukan dengan cara tabulasi, kemudian di
tentukan persentasenya. Keuntungan menggunakan persentase sebagai
alat untuk menyajikan informasi, pembaca laporan penelitian akan
mengetahui seberapa jauh sumbangan tiap-tiap bagian didalam
keseluruhan konteks permasalahan yang sedang dibicarakan.
Adapun rumus persentase adalah:
F
P= X 100%
N
Keterangan:
P = Persentase
F = Jumlah pertanyaan yang dijawab benar
N = jumlah frekwensi maksimal
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menganalisis dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2018).
Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara
dua variabel independen dengan variabel dependen, untuk
mengetahui hubungan antara kedua variabel digunakan uji Chi-
square dengan derajat kepercayaan 95% (p < 0.05). Bila hasil
analisa diperoleh nilai p < 0.05 maka secara statistik disebut
69

bermakna dan jika nilai p > 0.05 maka hasil perhitungan disebut
tidak bermakna (Sastroasmoro, 2014).
Rumus Chi Square :
(0 - E) 2
X
2
=
E
Keterangan :
X2 : Chi Square
0 : Frekuensi yyang
E : Frekuensi yang diharapkan
Setelah didapatkan nilai chi square maka hasilnya
disesuaikan dengan kriteria sebagai berikut:
a. Apabila nilai p value < 0,05 maka Ha diterima, artinya ada
hubungan yang signifikan antara variabel independen dengan
variabel dependen.
b. Apabila nilai p value ≥ 0,05 maka Ha ditolak, artinya tidak ada
hubungan yang signifikan antara variabel independen dengan
variabel dependen.

3.8 Lokasi
Lokasi Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas
Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.

3.9 Waktu Penelitian


Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2022
70

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D Sediaoetomo. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat; 2010.

Allen, L.H dan Gillespie, S.R. What Works? A Review of The Efficacy and.
Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila: ABD; 2011.

Anggryni, M., Mardiah, W., Hermayanti, Y., Rakhmawati, W., Ramdhanie, G. G.,
& Mediani, H. S. Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan
Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang; 2021. Jurnal
Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 1764–1776. Available at:
URL: https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i2.967

Anwar, F., Khomsan, A., & Mauludyani, A. Masalah dan Solusi Stunting Akibat
Kurang Gizi di Wilayah Pedesaan, Bogor : PT Penerbit IPB Press; 2014.

Ariani, Putri. AM. Keb. Yogyakarta: Ilmu Gizi. Nuha Medika; 2017.

Arifin. Panduan Ibu Cerdas ASI dan Tumbuh Kembang Bayi. MedPress Jakarta;
2012.

Astuti, E.P. Status Gizi Balita di posyandu Melati Desa Sendangadi Mlati Sleman
Yogyakarta. Jurnal Permata Indonesia. Vol. 8, No. 1. Mei 2017.

Dewey, K.G dan Begum, K. Long-term Consequences of Stunting In Early Life.


Blackwell Publishing Ltd Maternal and Child Nutrition. 7(3) : 5-18. 2011.
Available at: URL: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21929633/

Dewi, Fatma. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Status Gizi Balita di


Lingkungan VIII Kelurahan Sei. Agulmedan. Karya Tulis Ilmiah tidak
diterbitkan. Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Prima,
Medan; 2013

Erna Eka Wijayanti. Hubungan Antara BBLR, ASI Esklusif dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun. 2019. Available at: URL:
http://journal.stikesdrsoebandi.ac.id/index.php/jkds/article/view/138

Evy Noorhasanah dan Nor Isna Tauhidah. Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 12-59 Bulan. 2021. Available at: URL:
https://journal.ppnijateng.org/index.php/jika/article/view/959

Fatimah Chandra Murti dkk. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa Umbulrejo,
Ponjong, Gunung Kidul. JKK. Vol. 11 No. 2. 2020. Available at: URL:
https://jurnal.stikmuhptk.ac.id/index.php/JK2/article/view/120

Fikawati S, Syafiq A, Karima K. Gizi Ibu dan Bayi. PT Raja Grafindo. Persada:
71

Jakarta; 2017.

Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Selemba Medika;


2009.

Haryono, R., & Setianingsih, S. Manfaat ASI Eksklusif Untuk Buah Hati Anda.
Yogyakarta: Gosyen Publishing; 2014.

Hurlock, Elizabeth. B. Perkembangan Anak: Jakarta: Penerbit Erlangga; 2013.

Izzati, I.S. 2016. Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Riwayat Penyakit Infeksi
dengan Kejadian Stunting Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Skripsi.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang. Available at: URL:
http://repository.unimus.ac.id

Kementrian Republik Indonesia. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan


Indikator Kinerja Gizi. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2016

Lainua, M.Y.W. 2016. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Balita Stunting di


Kelurahan Sidorejo Kidul salatiga. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. Available at: URL:
https://repository.uksw.edu/handle/123456789/11772

Martha, Kresno, E. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Bidang. Kesehatan.


Depok: Raja Grafindo Persada; 2020.

Maryunani, A. 2012. Inisiasi Menyusui Dini, Asi Ekslusif Dan Manajemen


Laktasi. Jakarta; 2012.

Mugianti, S. dkk. 2018. Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di
Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan. Vol. 5. No. 3.
Desember 2018. Hlm. 268–278. Available at: URL:
http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/download/374/pdf

Ni Ketut Aryastami dan Ingan Tarigan. kajian kebijakan Pemerintah yang


bertajuk 1000 hari pertama kehidupan sebagai penanggulangan stunting.
2017. Available at: URL:
https://media.neliti.com/media/publications/222768-kajian-kebijakan-dan-
penanggulangan-masa.pdf

Ni’mah, C. & Muniroh, L. Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan


dan Pola Asuh Ibu dengan Wasting Dan Stunting Pada Balita Keluarga
Miskin. Jurnal Media Gizi Indonesia. Vol. 10. No. 1. Hlm: 84-90. 2015.
Available at: URL: https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/view/3131

Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi). Penuntun Konseling Gizi. Jakarta:


Penerbit PT.Abadi; 2010.
72

Price, D. L. & Gwin, J. F., Pediatric Nursing : An Introductory Text. Canada:


Elsevier; 2016.

Proverawati, A dan Wati, E K. Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan.
Yogyakarta : Nuha Medika; 2010.

Proverawati. Kapita Selekta ASI dan Menyusui. Yogyakarta : Nuha Medika; 2013

Rakhmawati, Istiana. Peran Keluarga Dalam Pengasuhan Anak. Bimbingan


Konseling Islam; 2015.

Sandjojo, E. P. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Kementrian Desa,


Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmingrasi. Jakarta; 2017.

Sentolo I Kulon Progo Tahun 2016. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani.

Setyawati, V.A.V. 2018. Kajian Stunting Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Di Kota Semarang. Jurnal University Research Colloqium. Available at:
URL: http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/273

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D.Bandung : Alfabeta

Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Bandung : Alfabeta

Sulistyoningsih. Gizi untuk Kesehatan ibu dan anak. Edisi Pertama. Jakarta:
Graha Ilmu; 2011

Supariasa, I Dewa Nyoman., Bakri, Bachyar dan Fajar, Ibnu. Penilaian Status
Gizi. Jakarta: EGC; 2012.

Supariasa. Pendidikan & Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC; 2012.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017.

Waryana. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama; 2010.

Wong, Donna L, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (6 ed.). Jakarta: EGC;
2012
73

LAMPIRAN
74

SURAT PERMOHONAN KEPADA RESPONDEN

Kepada Yth.
Calon responden penelitian
Di tempat

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Program Studi
Sarjana Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali :
Nama : Senja Novalia Hastuti
NPM : 6221499
Akan melakukan penelitian yang berjudul Hubungan Pemberian ASI
Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi Tahun
2022. Untuk itu saya meminta kesediaan saudara untuk menjadi responden dalam
penelitian ini.
Dalam penelitian tersebut saya mengharapkan kesediaan saudara untuk
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang ada dalam kuisioner sesuai
dengan pendapat saudara sendiri tanpa dipengaruhi oleh pihak lain sesuai dengan
petunjuk. Saya menjamin kerahasiaan pendapat saudara. Identitas dan informasi
yang saudara berikan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan tidak
untuk maksud lain.
Partisipasi saudara dalam penelitian ini bersifat bebas dan tanpa paksaaan.
saudara bebas ikut atau tidak tanpa dikenai sanksi apapun. Atas perhatian dan
kesediaan saudara, saya ucapkan terimakasih.
Sukabumi, Desember 2022
Peneliti

Senja Novalia Hastuti


75

Lampiran 3 : Informed Consent

INFORMED CONSENT
(PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Tempat/ Tanggal lahir :

Alamat :

No Telp :

Bersama ini menyatakan kesediaannya untuk menjadi


responden penelititan “_Hubungan Pemberian Asi Eksklusif, Berat
Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Terhadap Kejadian Stunting Pada
Balita Di Puskesams Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten
Sukabumi Tahun 2022” dengan ketentuan bahwa ini dilakukan
semata-mata untuk penelitian, serta peneliti menjamin kerahasiaan
identitas responden.
Keikutsertaan saya dalam penelitian ini adalah sukarela dan
saya dapat menghentikan keikutsertaan ini tanpa kerugian apapun.
Demikian surat ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun
dan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bandung , 2022

Peneliti Yang memberi persetujuan

(Senja Novalia Hastuti) ( )


76

Lampiran 4 : Kuisioner Penelitian

LEMBAR KUESIONER

Hubungan Pemberian Asi Eksklusif, BBLR dan Pola Asuh Dengan


Kejadian Stunting Pada Balita Di Puskesmas Buniwangi Kecamatan Surade
Kabupaten Sukabumi Tahun 2022

(Parental Style)

No. Urut Responden :...................................... (diisi oleh peneliti)


Tanggal Pengisian :....................................... (diisi oleh peneliti)
A. Identitas Responden Biodata
1) Nama Responden :.................................... (inisial)
2) Usia Responden : ....................................
3) Jumlah anak : ...................................
4) Pendidikan terakhir : .....................................
5) Pekerjaan : ....................................
6) Alamat :.....................................
B. Identitas Balita
Nama Anak : ………..…. (Inisial)
Usia anak : ................... Bulan
Berat Lahir anak :…………… gram
Berat Badan Anak : …………… kg
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan

C. Riwayat BBLR : 1.Ya 2.Tidak


D. Stunting
Tinggi Badan Anak : ............................ cm
Standar Deviasi Z- : ...........................
score

Stunting Tidak Stunting


77

KUISIONER ASI EKSKLUSIF

Petunjuk :
Bacalah dengan teliti pertanyaan di bawah ini. Berilah tanda ceklist (X) pada
jawaban yang paling sesuai. Berikan jawaban dengan sejujurnya !

Pertanyaan Pemberian ASI Eksklusif

No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah Ibu memberikan makanan tabahan lain selain
ASI kepada anak sampai usia 6 bulan?
2 Apakah Ibu memberikan susu formula kepada anak
sebelum usia 6 bulan?
3 Apakah Ibu pernah memberikan madu untuk di minum
pada bayi ibu sebelum usia 6 bulan?
4 Apakah Ibu memberikan makanan seperti bubur bayi
sebelum usia 6 bulan?
5 Apakah Ibu memberikan air putih kepada bayi ibu
sebelum usia 6 bulan?
6 Apakah Ibu memberikan makanan buah seperti pisang
kepada anak ibu sebelum usia 6 bulan?

Keterangan :
Jika benar nilai 1 dengan jawaban “Tidak”
Jika salah nilai 0 dengan jawaban “ya”
78

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET

Bacalah setiap pernyataan dibawah ini dengan sebaik-baiknya dan seksama


kemudian berikan jawaban pada lembar jawaban bagi setiap pernyataan tersebut
dengan cara memberi tanda ( √ ) pada salah satu jawaban saudara sesuai dengan
keadaan atau kondisi saudara.
Petunjuk Pengisian Kuisioner :
Selalu : saya melakukannya setiap hari
Sering : saya melakukanya sebanyak 5-6 kali dalam seminggu
Kadang-kadang : apabila dilakukan sebanyak 3-4 kali dalam 1 minggu
Jarang : saya melakukanya sebanyak 1-3 kali dalam seminggu
Tidak Pernah : saya tidak pernah melakukan

No Pernyataan Kadang Tidak


Selalu Sering Jarang
kadang pernah
A Demangdingness
1 . Saya menentukan
menu makanan yang
akan dikonsumsi anak
2 Saya berusaha
mengingatkan anak
untuk makan, jika
tidak mau makan saya
akan memaksa anak
untuk tetap makan
3. Saya mengatakan
kepada anak untuk
makan sesuatu yang
ada diatas piring
("makan nasimu")
4. Saya mengambil
makan dan menyuapi
anak agar tahu berapa
banyak makanan yang
dimakan anak
5. Saya melarang anak
untuk memakan
makanan yang terlalu
manis
(gulali/permen/coklat)
6. Saya menekankan
dengan keras bahwa
79

anak tidak boleh


menyisakan
makananan
7. Saya melarang anak
untuk memakan
aneka jajanan di
pinggir jalan karena
tidak terjamin
kebersihan dan
kandungan gizinya
8. Saya memarahi anak
ketika memakan
makanan yang
diberikan orang lain
9. Saya mengatakan
kepada anak agar
memakan makanan
yang tersedia di
piring walaupun
sedikit
10. Saya Mengharuskan
anak untuk meminum
susu setelah makan
siang
11. Jika anak tidak mau
makan ibu memberi
peringatan tentang
sesuatu yang lain
selain makanan ("jika
kamu tidak
menghabiskan
makananmu kamu
tidak boleh bermain")
12. Saya memarahi anak
ketika makanan yang
diberikan tersisa
13. Saya tetap menyuruh
anak untuk memakan
buah sekalipun anak
tidak suka
14. Sayaa tidak setuju
ketika anak menolak
untuk makan
makanan yang saya
sediakan
15. Saya sudah mengatur
80

jadwal pemberian
makanan anak sehari-
hari
16. Saya membatasi anak
makan makanan
ringan terlalu banyak
sebelum makan
B Responsivenes
17. Ibu membantu anak
untuk makan
(memotong makanan
menjadi bagian yang
lebih kecil)
18. Ibu mengatakan
sesuatu yang positif
tentang makanan
yang dimakan anak
selama anak makan
19. Ibu meminta
(memohon) pada anak
untuk makan ("Ayo
makan, nanti nasinya
keburu dingin")
20. Ibu mengatakan
kepada anak untuk
segera makan ("Ayo
cepat dimakan
nasinya")
21. S Saya mengarahkan
kepada anak untuk
memilih makanan
yang tidak
berpengawet karena
dapat menimbulkan
penyakit
22. Ibu menjelaskan
(Menasehati) kepada
anak kenapa harus
makan ("susu baik
untuk kesehatanmu
karena dapat
membuat tulangmu
kuat")
23. Saya mengajarkan
kebiasaan makan
yang baik kepada
81

anak melalui
pendidika gizi
dirumah
24. Saya menjanjikan
sesuatu (selain
makanan) jika anak
bersedia makan ("
jika kamu mau
makan, nanti ibu
perbolehkan bermain
bersama temanmu")
25. Saya mengenalkan
kepada anak untuk
memilih makanan
yang bergizi
26. Saya
memperbolehkan
anak makan lebih dari
3x sehari
27. Ibu mendorong anak
untuk coba makanan
baru yang bergizi
28. Saya menyiapkan
sarapan pagi dengan
makanan yang
mengandung
karbohidrat seperti
nasi, protein seperti
ikan dan lemak
seperti daging
29. Saya
memperkenalkan
makanan pada anak,
sebaiknya diberi
makanan dengan
porsi sedikit terlebih
dahulu, agar dia
mampu mengenal
makanan tersebut
82

Kunci Jawaban
Pemberian ASI Eksklusif

1 2 3 4 5 6
tidak tidak tidak tidak tidak tidak

Kuisioner Parental Feeding Style

Setiap butir soal pada kuisioner parental feeding style memiliki 5 kemungkinan

jawaban, yaitu:

Tidak pernah 0

Jarang 1

Kadang-kadang 2

Sering 3

Selalu 4
83
84
85

Anda mungkin juga menyukai