Anda di halaman 1dari 36

Laporan Praktikum

FARMASI FISIKA
“EMULSIFIKASI”

Diajukan untuk memenuhi nilai praktikum Farmasi Fisika

OLEH

NAMA : SITI RAHMAWATI NAUE


NIM : 821419043
KELAS : B-S1 FARMASI 2019
KELOMPOK : II (DUA)
DOSEN PENGAJAR : Dr. rer. medic. Apt. Robert Tungadi, M.Si.

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
Lembar Pengesahan

FARMASI FISIKA
“Emulsifikasi”

OLEH

NAMA : SITI RAHMAWATI NAUE


NIM : 821419043
KELAS : B-S1 FARMASI 2019
KELOMPOK : II (DUA)

Gorontalo, November 2020 Nilai


Mengetahui Dosen

Dr. rer.medic. Apt. Robert Tungadi, M.Si


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
senantiasa memberikan rahmat dan kesempatan bagi kita selaku umat-Nya, karena
berkat izin dan kuasa-Nyalah laporan praktikum dengan judul “Emulsifikasi” ini
dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan laporan praktikum ini tidak sedikit hambatan yang di
hadapi, namun berkat petunjuk-Nya, dilandasi oleh kesabaran dan kemauan
sehingga segala hambatan dapat teratasi.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan praktikum ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan pembuatan laporan praktikum atau pun
tugas-tugas selanjutnya.
Atas segala bantuan dari berbagai pihak yang membantu dalam
menyelesaikan laporan praktikum ini, saya mengucapkan terima kasih. Semoga
laporan praktikum ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Gorontalo, November 2020

Siti Rahmawati Naue


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Maksud Percobaan.....................................................................................2
1.3 Tujuan Percobaan......................................................................................2
1.4 Prinsip Percobaan......................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Dasar Teori.................................................................................................3
2.2 Uraian Bahan.............................................................................................13
BAB III METODE KERJA................................................................................16
3.1 Alat dan Bahan..........................................................................................16
3.2 Cara Kerja...................................................................................................16
BAB IV HASIL PENGAMATAN......................................................................17
4.1 Tabel Pengamatan......................................................................................17
4.2 Perhitungan.................................................................................................20
BAB V PEMBAHASAN......................................................................................22
BAB VI PENUTUP..............................................................................................26
6.1 Kesimpulan.................................................................................................26
6.2 Saran...........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Farmasi fisika merupakan salah satu ilmu di bidang farmasi yang
menerapkan ilmu fisika dalam sediaan farmasi. Dalam farmasi fisika dipelajari
sifat fisika dari berbagai zat yang digunakan untuk membuat berbagai zat yang
digunakan untuk membuat sediaan sediaan obat dan juga meliputi evaluasi obat
dan juga meliputi evaluasi akhir sediaan obat tersebut. Sehingga akan
menghasilkan sediaan yang sesuai standar, aman dan stabil yang nantinya akan di
distribusikan kepada pasien yang membutuhkan.
Di bidang farmasi, seringkali berhubungan dengan fenomena-fenomena
yang terkait dengan reaksi kimia maupun fisika. Untuk mempelajari salah satu
kaitan tersebut, ahli farmasi mempelajari farmasi fisika. Ilmu inilah yang memuat
hubungan farmasi dalam konsep dunia fisika. Salah satu fenomena fisika yang
kerap muncul yaitu fenomena yang berhubungan dengan emulsi.
Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang
mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak saling bercampur, dimana satu
diantaranya sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat satabil dengan
adanya suatu zat pengemulsi yakni emulgator (Martin, 1990).
Emulgator adalah bahan aktif permukaan yang menurunkan tegangan
antarmuka antara minyak dan air dan mengelilingi tetesan terdispersi dengan
membentuk lapisan yang kuat untuk mencegah koalesensi dan pemisahan fase
terdispersi.
Emulsi termasuk dalam pilihan bentuk sediaan apabila terdapat dua zat
yang tidak saling bercampur. Banyak pengaplikasian emulsi dalam kehidupan
sehari-hari yakni seperti lotio, minyak ikan, dan lain-lain. Dalam pembuatan suatu
emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan
karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang
digunakan.

1
Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan praktikum tentang cara
pembuatan emulsi minyak parafin dalam air dengan menggunakan emulgator dari
golongan surfaktan yaitu Tween 80 dan Span 60.
1.2 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara pembuatan emulsi dan hal-hal yang
mempengaruhi kestabilan emulsi.
1.3 Tujuan Percobaan
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan
untuk pembuatan emulsi minyak paraffin dalam air.
2. Membuat emulsi menggunakan emulgator surfaktan yaitu Tween 80
dan Span 60.
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi minyak paraffin dalam air.
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan
emulsi.
1.1 Prinsip Percobaan
Pembuatan emulsi minyak dalam air dengan menggunakan variasi HLB
butuh 11, 12, 13 dan penentuan kestabilan yang didasarkan pada penampakan
fisik dari emulsi misalnya perubahan volume, perubahan warna dan pemisahan
fase terdispersi dalam jangka waktu tertentu pada kondisi yang dipaksakan (stress
condition).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Emulsi
Emulsi merupakan sediaan yang mengandung bahan obat cair atau
larutan obat yang terdispersi dalam cairan pembawa dan distabilkan dengan zat
pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Biasanya emulsi mengandung dua zat
atau lebih yang tidak dapat bercampur, misalnya minyak dan air. Zat pengemulsi
(emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar memperoleh emulsi
yang stabil (Anief,1996).
2.1.2 Jenis Emulsi
Salah satu fase cair dalam suatu emulsi terutama bersifat polar (contoh :
air), sedangkan lainnya relatif nonpolar (contoh: minyak). Emulsi obat untuk
pemberian oral biasanya dari tipe emulsi minyak dalam air (m/a) dan
membutuhkan penggunaan suatu zat pengemulsi m/a. Tetapi tidak semua emulsi
yang dipergunakan termasuk tipe m/a. Makanan tertentu seperti mentega dan
beberapa saus salad merupakan emulsi tipe air dalam minyak (a/m) (Martin, et al.,
1993).
Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam empat golongan, yaitu emulsi
minyak dalam air (m/a), emulsi air dalam minyak (a/m), emulsi minyak dalam air
dalam minyak (m/a/m), dan emulsi air dalam minyak air (a/m/a).
a) Emulsi jenis minyak dalam air (m/a), Bila fase minyak di dispersikan
sebagai bola-bola keseluruh fase kontinu air, sistem tersebut dikenal
sebagai suatu emulsi minyak dalam air (m/a) (Martin, et al., 1993).
b) Emulsi jenis air dalam minyak (a/m), Bila fase minyak bertindak sebagai
fase kontinu, emulsi tersebut dikenal sebagai produk air dalam minyak
(a/m) (Martin, et al.,1993).
c) Emulsi jenis minyak dalam air dalam minyak (m/a/m)
d) Emulsi jenis air dalam minyak dalam air (a/m/a), Emulsi minyak dalam
air dalam minyak (m/a/m), juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat
dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi m/a dengan suatu fase

3
air dalam suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase minyak
untuk membentuk suatu emulsi minyak dalam air (Martin, et al.,1993).
Emulsi a/m/a juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan
mencampurkan suatu pengemulsi a/m dengan suatu fase minyak dalam
suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase air untuk
membentuk suatuemulsi air dalam minyak. Emulsi a/m tersebut
kemudian didispersikan dalam suatu larutan air dari suatu zat
pengemulsi m/a, seperti polisorbat 80 (Tween 80), sehingga membentuk
emulsi air dalam minyak dalam air. Pembuatan emulsi a/m/a ini untuk
obat yang ditempatkan dalam tubuh serta untuk memperpanjang kerja
obat, untuk makanan-makanan serta untuk kosmetik (Martin, et al.,
1993). Tipe emulsi (a) m/a; (b) a/m; (c) a/m/a; (d) m/a/m dapat dilihat
pada Gambar 2.1 (Martin, et al.,1993).

Beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan tipe dari suatu
emulsi meliputi metode pewarnaan, metode pengenceran fase, metode
konduktivitas listrik, dan metode fluoresensi.
a) Metode pewarnaan
Sejumlah kecil zat warna yang larut dalam air, seperti metilen biru atau
briliant blue FCF bisa ditaburkan pada permukaan suspensi. Jika air merupakan
fase luar, yakni jika emulsi tersebut bertipe m/a, zat warna tersebut akan melarut
didalamnya dan berdifusi merata ke seluruh bagian dari air tersebut. Jika emulsi
tersebut bertipe a/m, partikel-partikel zat warna akan tinggal bergerombol pada
permukaan (Martin, et al., 1993).
b) Metode pengenceran
Fase jika emulsi tersebut bercampur dengan sempurna dengan air, maka ia
termasuk bertipe m/a dan apabila tidak dapat diencerkan adalah tipe a/m(Anief,

4
1994).
c) Metode konduktivitaslistrik
Pengujian ini menggunakan sepasang elektroda yang dihubungkan dengan
suatu sumber listrik luar dan dicelupkan dalam emulsi. Lampu akan menyala bila
elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi bila tipenya m/a dan lampu akan mati
bila emulsi tipenya a/m (Martin, et al.,1993).
d) Metodefluoresensi
Minyak dapat berfluoresensi di bawah sinar UV, emulsi m/a menunjukkan
pola titik-titik, sedangkan emulsi a/m berfluoresensi seluruhnya (Lachman et
al.,1994).
2.1.3 Tujuan Pembuatan Emulsi
Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan ahli farmasi dapat
membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang tidak
saling bisa bercampur. Untuk emulsi yang diberikan secara oral, tipe emulsi m/a
memungkinkan pemberian obat yang harus dimakan tersebut mempunyai rasa
yang lebih enak walaupun yang diberikan sebenarnya minyak yang tidak enak
rasanya, dengan menambahkan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya,
sehingga mudah dimakan dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran partikel yang
diperkecil dari bola-bola minyak dapat mempertahankan minyak tersebut agar
lebih dapat dicernakan dan lebih mudah diabsorpsi (Ansel,1989).
2.1.4 Teori Emulsifikasi
Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat
dengan menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing berbeda
tergantung pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda untuk mencapai suatu
produk yang stabil. Adanya kegagalan dari dua cairan yang tidak dapat bercampur
untuk tetap bercampur diterangkan dengan kenyataan bahwa gaya kohesif antara
molekul-molekul dari tiap cairan yang memisah lebih besar daripada gaya adhesif
antara kedua cairan. Gaya kohesif dari tiap-tiap fase dinyatakan sebagai suatu
energi antarmuka atau tegangan pada batas antara cairan-cairan tersebut. Faktor
yang umum untuk zat pengemulsi adalah pembentukan suatu lapisan, apakah itu
monomolekular, multimolekular atau partikel (Martin, et al., 1993).

5
Ada beberapa teori emulsifikasi yang menjelaskan bagaimana zat
pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling
bercampur, yaitu adsorpsi monomolekuler, adsorpsi multimolekuler, dan adsorpsi
partikel padat.
a) Adsorpsi Monomolekuler
Zat yang aktif pada permukaan dapat mengurangi tegangan antarmuka
karena adsorpsinya pada batas m/a membentuk Lapisan-lapisan monomolekuler
(Martin, et al., 1993). Hal ini dianggap bahwa lapisan monomolekular dari zat
pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi. Teori tersebut
berdasarkan anggapan bahwa zat pengemulsi tertentu mengarahkan dirinya di
sekitar dan dalam suatu cairan yang merupakan gambaran kelarutannya pada
cairan tertentu (Ansel, 1989).
Penggunaan emulsi kombinasi dalam pembuatan emulsi saat ini lebih
sering dibandingkan penggunaan zat tunggal. Kemampuan campuran pengemulsi
untuk mengemas lebih kuat menambah kekuatan lapisan itu, dan karenanya
menambah kestabilan emulsi tersebut. Umumnya pengemulsi mungkin
membentuk struktur gel yang agak rapat pada antarmuka, dan menghasilkan suatu
lapisan antarmuka yang stabil. Kombinasi dari natrium setil sulfat dan kolesterol
mengakibatkan suatu lapisan yang kompleks yang menghasilkan emulsi yang
sangat baik. Natrium setil sulfat dan oleil alkohol tidak membentuk lapisan yang
tersusun dekat atau lapisan yang kompak dan akibatnya kombinasi tersebut
menghasilkan suatu emulsi yang jelek. Pada setil alkohol dan natrium oleat
menghasilkan lapisan yang tertutup erat, tetapi kekompleksan diabaikan sehingga
menghasilkan suatu emulsi yang jelek. Pengertian dari suatu lapisan tipis
monomolekular yang terarah dari zat pengemulsi tersebut pada permukaan fase
dalam dari suatu emulsi, adalah dasar paling penting untuk mengerti sebagian
besar teori emulsifikasi (Martin, et al., 1993).
Gambaran kombinasi zat pengemulsi pada batas minyak-air suatu emulsi
digambarkan pada Gambar 2.2. Dan gambaran tetesan air dalam suatu emulsi
minyak-air, terlihat arah dari sebuah molekul Tween dan sebuah molekul Span
pada batas antarmuka suatu emulsi minyak-air dapat dilihat pada Gambar 2.3

6
Gambar 2.3 diatas menunjukkangambaran skematis dari tetesan air dalam
suatu emulsi minyak-air, terlihat arah dari sebuah molekul Tween dan
sebuahmolekul Span pada batas antarmuka suatu emulsi minyak-air. Pengemulsi
campuran seringkali lebih efektif daripada pengemulsi tunggal. Kemampuan
campuran pengemulsi untuk mengemas lebih kuat menambah kekuatan lapisan
itu, dan karenanya menambah kestabilan emulsi tersebut.
Umumnya pengemulsi mungkin membentuk struktur gel yang rapat pada
antarmuka, dan menghasilkan suatu lapisan antarmuka yang stabil. Atlas– ICI
(1976) merekomendasikan bahwa Tween hidrofilik dikombinasi dengan Span
lipofilik menghasilkan emulsi m/a atau a/m yang diinginkan. Pada bagian
hidrokarbon dari molekul Span 80 (Sorbitan mono-oleat) berada dalam air dan
radikal sorbitan berada dalam bola minyak. Bila Tween 40 (polioksietilen sorbitan
monopalmitat) ditambahkan, ia mengarah pada batas sedemikian rupa sehingga
sebagian dari ekor Tween 40 ada dalam fase minyak, dan dari rantai tersebut,
bersama-sama dengan cincin sorbitan dan rantai polioksietilen, berada dalam fase
air. Diselidiki bahwa rantai hidrokarbon dari molekul Tween 40 berada dalam
bola minyak antara rantai-rantai Span 80, dan penyusunan ini menghasilkan
atraksi (gaya tarik- menarik) Van Der Waals yang efektif. Dalam cara ini, lapisan

7
antarmuka diperkuat dan kestabilan dari emulsi m/a ditingkatkan
melawanpengelompokkan partikel (Martin, et al., 1993). Tipe emulsi yang
dihasilkan, m/a atau a/m, terutama bergantung pada sifat zat pengemulsi.
Karakteristik ini dikenal sebagai kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile-
lipophile balance, HLB), yakni sifat polar-nonpolar dari pengemulsi.
Kenyataannya, apakah suatu surfaktan adalah suatu pengemulsi, zat pembasah,
detergen, atau zat penstabil dapat diperkirakan dari harga kesimbangan
hidrofillipofil (Martin, et al., 1993).
1. Adsorpsi Multimolekuler
Koloid lipofilik ini dapat dianggap seperti zat aktif permukaan karena
tampak pada batas antarmuka minyak-air. Tetapi zat ini berbeda dari zat aktif
permukaan sintetis dalam dua hal, yaitu tidak menyebabkan penurunan tegangan
antarmuka dan membentuk suatu lapisan multimolekuler pada antarmuka dan
bukan suatu lapisan monomolekuler. Zat ini bekerja sebagai bahan pengemulsi
terutama karena efek yang kedua, karena lapisan-lapisan yang terbentuk tersebut
kuat dan mencegah terjadinya penggabungan. Efek tambahan yang mendorong
emulsi tersebut menjadi stabil adalah meningkatnya viskositas dari medium
dispers. Karena zat pengemulsiyang terbentuk akan membentuk lapisan-lapisan
multilayer di sekeliling tetesan yang bersifat hidrofilik, maka zat pengemulsi ini
cenderung untuk membentuk emulsi m/a (Martin, et al., 1993).
2. Adsorpsi Partikel Padat
Partikel-partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi sampai derajat
tertentu oleh minyak dan air dapat bekerja sebagai zat pengemulsi. Ini diakibatkan
oleh keadaannya yang pekat antarmuka dimana dihasilkan suatu lapisan
berpartikel sekitar tetesan dispers sehingga dapat mencegah terjadinya
penggabungan. Serbuk yang mudah dibasahi oleh air akan membentuk emulsi tipe
m/a, sedangkan serbuk yang mudah dibasahi dengan minyak membentuk emulsi
a/m (Martin, et al., 1993).
2.1.5 Penggunaan emulsi
Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua golongan, yaitu emulsi pemakaian
dalam dan emulsi pemakaian luar.

8
a. Emulsi untuk pemakaian dalam
Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi pemakaian per oral. Emulsi untuk
penggunaan oral biasanya mempunyai tipe m/a. Emulgator merupakan film
penutup dari minyak obat agar menutupi rasa tidak enak. Flavor ditambahkan
pada fase ekstern agar rasanya lebih enak. Emulsi juga berguna untuk menaikkan
absorpsi lemak melalui dinding usus (Anief, 1994).
b. Emulsi untuk pemakaian luar
Emulsi untuk pemakaian luar meliputi pemakaian pada injeksi intravena
yang digunakan pada kulit atau membran mukosa yaitu lotion, krim dan salep.
Produk ini secara luas digunakan dalam farmasi dan kosmetik untuk penggunaan
luar. Emulsi parenteral banyak digunakan pada makanan dan minyak obat untuk
hewan dan manusia (Anief, 1994). Misalnya, vitamin A diserap cepat melalui
jaringan, bila diinjeksikan dalam bentuk emulsi. Terutama untuk lotion
dermatologi dan lotion kosmetik serta krim karena dikehendaki produk yang dapat
menyebar dengan mudah dan dan sempurna pada daerah dimana produk ini
digunakan (Martin, et al., 1993).
2.1.6 Pembuatan emulsi
Dalam membuat emulsi dapat dilakukan dengan metode gom kering,
metode gom basah dan metode botol.
a. Metode gom kering
Korpus emulsi mula-mula dibuat dengan empat bagian lemak, dua bagian
air dan satu bagian gom, selanjutnya sisa air dan bahan lain ditambahkan. Metode
ini juga disebut metode 4:2:1. Cara mencampurnya adalah empat bagian minyak
dan satu bagian gom diaduk dan dicampur dalam mortir yang kering dan bersih
sampai tercampur benar, lalu ditambahkan dua bagian air sampai terjadi korpus
emulsi. Tambahkan sirup dan tambahkan sisa air sedikit demi sedikit. Bila ada
cairan alkohol sebaiknya ditambahkan setelah diencerkan sebab alkohol dapat
merusak emulsi (Anief, 1994).
b. Metode gom basah
Cara ini dilakukan sebagai berikut, dibuat musilago yang kental dengan
sedikit air lalu ditambahkan minyak sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat.

9
Bila emulsi terlalu kental, tambahkan air sedikti demi sedikit agar mudah diaduk
dan diaduk lagi ditambah sisa minyak. Bila semua minyak sudah masuk ditambah
air sambil diaduk sampai volume yang dikehendaki. Cara ini digunakan terutama
bila emulgator yang akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan dulu dalam
air (Anief, 1994).
c. Metode botol
Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap dan mempunyai
viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab dimasukkan ke dalam botol kering,
lalu ditambahkan dua bagian air kemudian air campuran tersebut dikocok dengan
kuat dalam keadaan wadah tertutup. Suatu volume air yang sama dengan minyak
kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit, terus mengocok campuran tersebut
setiap kali ditambahkan air. Jika semua air telah ditambahkan, emulsi utama yang
terbentuk bisa diencerkan sampai mencapai volume yang tepat dengan air atau
larutan zat formulatif lain dalam air (Ansel, 1989).
Yang paling penting agar memperoleh emulsa yang stabil. Semua
emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di sekeliling butir-butir
tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar mencegah terjadinya koalesen
dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah (Anief, 1996). Daya kerja
emulsifier (zat pengemulsi) terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang
dapat terikat baik padaminyak maupun air (Winarno, 1992). Zat pengemulsi dapat
dibagi menjadi duagolongan, yaitu emulsifier alami dan emulsifier buatan.
a. Emulsifier alami
Umumnya dapat diperoleh dari tanaman, hewan atau mikroba yang
diperoleh dengan cara eksudat, ekstraksi dan fermentasi. Eksudat diperoleh dari
cairan atau getah pada tanaman. Misalnya gum arab, gum pati, dan gum tragakan.
Hasil ekstraksi biasanya paling banyak diperoleh dari rumput laut. Sedangkan
hasil fermentasi banyak diperoleh dari mikroorganisme baik. Salah satu gum yang
penting dari hasil fermentasi ini adalah xanthangum.
Dimana xanthan gum merupakan polisakarida dengan bobot molekul
tinggi hasil fermentasi karbohidrat dari Xanthomonas campetris yang dimurnikan,
dikeringkan dan digiling. Bakteri ini secara alami hidup di tanaman kubis

10
(Sufi,2012).
b. Emulsifier buatan
Di samping emulsifier alami telah dilakukan sintesis elmusifier buatan
seperti ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang dikenal sebagai
Tween yang dapat membentuk emulsi m/a. Sabun juga merupakan emulsifier
buatan yang terdiri dari garam natrium dengan asam lemak. Sabun dapat
menurunkan tegangan permukaan air dan meningkatkan daya pembersih air
(Winarno, 1992).
2.1.7 Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan.Rumus bangun
Tween 90 dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Rumus molekul: C64H124O26, Bobot molekul: 1310, Pemerian: Pada suhu


25˚C Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak
memilikaroma yang khas dan berasa pahit (Rowe, et al., 2009).
2.1.8 Xanthangum
Xanthan gum merupakan rangkaian polisakarida yang tersusun atas tiga
macam rantai panjang gula sederhana. Rumus bangun xanthan gum dapat dilihat
pada Gambar 2.5.

Rumus molekul: (C35H49O29)n, Pemerian : Berupa bubuk berwarna krem


atau putih, tidak berbau, memiliki sifat aliran yang baik dan merupakan serbuk
halus, Kelarutan : Larut dalam air panas atau air dingin (Rowe, et al., 2009).

11
2.1.9 Sistem Kesimbangan Hidrofil-lipofil (hydrophile-lipophile balance HLB)
Surfaktan atau amfifil, menurunkan tegangan antarmuka minyak-air dan
membentuk film monomolekuler. Sifat-sifat aktif dari molekul surfaktan disebut
kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile- lipophile balance, HLB). Keseimbangan
dari sifat hidrofilik dan sifat lipofilik dari suatu pengemulsi menentukan apakah
akan dihasilkan suatu emulsi m/a atau a/m. Umumnya emulsi m/a terbentuk jika
kesimbangan hidrofil-lipofil dari pengemulsi berkisar antara 9-12, dan terbentuk
emulsi a/m jika jaraknya berkisar antara 3-6.. Fase dimana zat aktif permukaan itu
lebih larut adalah fase kontinu.
Jenis zat pengemulsi dengan harga kesimbangan hidrofil-lipofil yang
tinggi lebih suka larut di dalam air dan menghasilkan terbentuknya suatu emulsi
m/a. Keadaan sebaliknya terjadi dengan surfaktan yang memiliki kesimbangan
hidrofil-lipofil rendah, yang cenderung untuk membentukemulsi a/m (Martin, et
al., 1993). Aktivitas dan harga kesimbangan hidrofil-lipofilpada surfaktan terlihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Aktivitas dan harga keseimbangan hidrofil-lipofil pada surfaktan

2.1.10 Ketidakstabilan emulsi


Kemungkinan besar pertimbangan yang terpenting bagi emulsi di bidang
farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari hasil jadi sediaan emulsi tersebut.
Kestabilan dari sediaan emulsi ditandai dengan tidak adanya penggabungan fase
dalam, tidak terjadi creaming, dan memiliki penampilan, bau, warna dan sifatsifat
fisik lainnya yang baik (Martin, et al., 1993). Ketidakstabilan dalam emulsi
farmasi dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu flokulasi dan creaming,
penggabungan dan pemecahan, dan inversi.
a. Flokulasi dan creaming

12
Pengkriman (creaming) mengakibatkan ketidakrataan dari distribusi obat
dan tanpa pengocokan yang sempurna sebelum digunakan, berakibat terjadinya
pemberian dosis yang berbeda. Tentunya bentuk penampilan dari suatu emulsi
dipengaruhi oleh creaming, dan inibenar-benar merupakan suatu masalah bagi
pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase dalam (Martin, et al., 1993).
Penggabungan dan Pemecahan Creaming adalah proses yang bersifat
dapat kembali, berbeda dengan proses cracking (pecahnya emulsi) yang bersifat
tidak dapat kembali. Pada creaming, flokul fase dispers mudah didispersi kembali
dan terjadi campuran homogen bila dikocok perlahan- lahan, karena bola-bola
minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi (Anief,
1994). Sedang pada cracking, pengocokan sederhana akan gagal untuk
membentuk kembali butir-butir tetesan dalam bentuk emulsi yang stabil, karena
lapisan yang mengelilingi partikel-partikel tersebut telah dirusak dan minyak
cenderung untuk bergabung (Martin, et al.,1993).
1. Inversi
Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi
adalah inversi fase yang meliputi perubahan tipe emulsi dari m/a menjadi a/m atau
sebaliknya (Martin, et al., 1993).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Latin : Alkohol, etanol, ethyl alcohol
RM/BM : C2H6O /46,07
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak; bau khas rasa panas, mudah
terbakar dan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P

13
dan dalam eter P.
Kegunaan : Sebagai zat tambahan, jugadapatmembunuhKuman
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk jauh dari nyala api
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling, Aquadest
RM / BM : H2O /18,02
Stuktur Molekul :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


mempunyai rasa.
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.3 Tween 80(6)
NamaResmi : Polysorbatum 80
NamaLain : Polisorbat 80, tween
RM/BM : C64H124O26 /1310
StrukturMolekul :

Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berwarna hampir


tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dalaM
etil asetat P dan dalam methanol P, sukar larut dalam
parafin cair P
Kegunaan : Sebagai emulgator fase air

14
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
HLB Butuh : 15
2.2.4 Parafin(4:652)
Nama Resmi : Parafin
Nama Lain : Paraffinum
Sinonim : Paraffinum durum; paraffinum solidum

Bobot Jenis : 0.84–0.89 g/cm3 at 20oC


Pemerian : Hablur tembus cahaya atau agak buram; tidak
berwarna atau putih, tidak berbau, tidak berasa, agak
berminyak. Mineral yang sangat sangat halus putih.
Kelarutan : Tidak larut dalam air dan dalam etanol; mudah larut
dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak menguap,
dalam hampir semua jenis minyak lemak hangat;
sukar larut dalam etanol mutlak.
Kegunaan : Digunakan dalam kosmetik untuk tujuan medis.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan cegah pemaparan
terhadap panas berlebih.
HLB Butuh : 12
2.2.5 Span 60 (Dirjen POM, 1979)
Nama Lain : Span 60
Nama Resmi : SORBITON MONO
Pemerian : Cairan kental seperti minyak, jernih dan kuning, bau
asam lemak khas
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam ethanol (95%) P, dalam
etil asetat P, dan dalam methanol P, sukar larut dalam
paraffin dan minyak kapas
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai surfaktan

15
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakanpadapraktikum kali iniadalahgelasukur 100 ml,
gelasbeker 250 ml, neraca analitik, Thinky Homogenizer, Waterbath, pipet tetes,
dan batang pengaduk.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakanpada praktikum kali ini yaitu Tisu, Tween 80, Span
60, Paraffin cair, dan Aquadest
3.2 Cara Kerja
1. Disiapkan semua alat dan bahan yang digunakan
2. Tween 80 dan Span 60 ditimbang dalam campuran sesuai perhitungan
untuk membuat emulsi dengan HLB 11, 12, 13
3. Untuk pembuatan fase air, air suling dicampur dengan Tween 80, lalu
diaduk dan dipanaskan pada waterbath sampai suhu 70° C. dilakukan
hal yang sama untuk masing-masing HLB
4. Untuk pembuatan fase minyak, paraffin cair dicampur dengan span 80
kemudian dipanaskan di atas waterbath sampai suhu 70° C. dilakukan
hal yang sama untuk masing-masing HLB.
5. Setelah mencapai suhu 70° C Pemanasan dihentikan, dan fase minyak
dimasukkan kedalam fase cair sedikit demi sedikit lalu diaduk
menggunakan Thinky homogenizer . hal yang sama juga dilakukan
untuk masing-masing HLB yang lain
6. Dimasukkan emulsi kedalam gelas ukur 100 ml
7. Dilakukan pengamatan selama 5 hari dibawah kondisi Stress condition
8. Ditentukan emulsi berdasarkan parameter fase, perubahan warna dan
perubahan volume.

16
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Tabel Hasil Pengamatan

HLB Butuh Hasil Pengamatan


Emulsi
Hari Waktu Perubahan
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
dan masih berupa cairan
HLB butuh 1 16.00-16.00
kental. Untuk bagian bawah
12 (Suhu Ruangan)
sekitar 5-7,5 ml, sedangkan
untuk bagian atas sekitar 7,5-
23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
16.00-16.00 dan cairan sudah mulai encer.
2 (Suhu Kulkas) Untuk bagian bawah sekitar 5-
7,5 ml, sedangkan untuk
bagian atas sekitar 7,5-23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
3 16.00-16.00 dan cairan encer. Untuk bagian
(Suhu Ruangan) bawah sekitar 5-7,5 ml,
sedangkan untuk bagian atas
sekitar 7,5-23,5 ml

Terdapat pemisahan berupa

17
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
cairan encer, dan terbentuk
4 16.00-16.00 gelembung pada bagian batas
(Suhu Kulkas) atas emulsi. Untuk bagian
bawah sekitar 7,5 ml,
sedangkan untuk bagian atas
sekitar 7,5-23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
cairan encer, dan gelembung
5 16.00-16.00
pada bagian batas atas emulsi
(Suhu Ruangan)
lebih jelas. Untuk bagian
bawah sekitar 7,5 ml,
sedangkan untuk bagian atas
sekitar 7,5-23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
1 16.00-16.00 dan masih berupa cairan
(Suhu Ruangan) kental. Untuk bagian bawah
HLB butuh
sekitar 5-7,5 ml, sedangkan
13
untuk bagian atas sekitar 7,5-
23,5 ml
2 16.00-16.00 Terdapat pemisahan berupa
(Suhu Kulkas) warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
dan cairan menjadi encer.
Untuk bagian bawah sekitar 5-
7,5 ml, sedangkan untuk

18
bagian atas sekitar 7,5-23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
16.00-16.00 dan masih berupa cairan
3 (Suhu Ruangan) kental. Untuk bagian bawah

berada dibawah 5 ml,


sedangkan untuk bagian atas
sekitar 5-23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
4 16.00-16.00 dan masih berupa cairan
(Suhu Kulkas) kental. Untuk bagian bawah
berada dibawah 5 ml,
sedangkan pada bagian atas
sekitar 5-23,5 ml
Terdapat pemisahan berupa
warna putih dan bening pada
bagian atas dan bawah emulsi,
16.00-16.00 dan masih berupa cairan
5 (Suhu Ruangan) kental. Untuk bagian bawah

sekitar 7,5 ml, sedangkan


untuk bagian atas sekitar 7,5-
23,5 ml

4.2 Perhitungan
4.2.1 HLB 11

19
Menghitung gram dari tween dan span masing-masing HLB
Cara Aligasi
Tween 80 : 15 6,7
11 10,7
Span 60 : 4,3 4
6,7 3,13 gram
Tween 80 : x 5 = 3,13 gram = 0,78 gram = 780
10,7 4
mg
4 1,86 gram
Span 60 : x 5 = 1,86 gram = 0,46 gram = 460
10,7 4
mg
Aquadset : 25-11-0,78-0,46 = 12,76 ml
4.2.2 HLB 12
Menghitung gram dari tween dan span masing-masing HLB
Cara Aligasi
Tween 80 : 15 7,7

12 10,7
Span 60 : 4,3 3
7,7 3,59 gram
Tween 80 = x 5 = 3,59 gram = 0,89 gram = 890 mg
10,7 4
3 1,40 gram
Span 60 = ×5 = 1,40 → =0,35 gram=350 mg
10,7 4

Aquadset = 25-12-0,89-0,35 = 11,76 ml

4.2.3 HLB 13
Menghitung gram dari tween dan span masing-masing HLB
Cara Aligasi
Tween 80 : 15 8,7

13 10,7
Span 60 : 4,3 2
8,7 4,05 gram
Tween 80 = x 5 = 4,05 gram = 1,01 gram = 1010 mg
10,7 4

20
2 0,37 gram
Span 60 = × 5 = 0,37 → = 0,09 gram = 900 mg
10,7 4

Aquadset = 25-13-1,01-0,09 = 10,9 ml

21
BAB V
PEMBAHASAN
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok (Anief, 2004). Menurut Purwatiningrum (2012) emulsi
merupakan sediaan yang mengandung dua zat yang tidak tercampur biasanya
mengandung air dan minyak, dimana cairan yang saat terdispersi menjadi butir-
butir kecil dalam cairan lain. Sedangkan berdasarkan literatur Dirjen POM (1995)
emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
lain dalam bentuk tetesan kecil.
Oleh karena mengandung dua zat yang tidak saling bercampur maka
diperlukan suatu zat yang mampu menurunkan tegangan antar muka kedua zat
cair tersebut sehingga dapat bercampur. Surfaktan merupakan pilihan dalam
menurunkan tegangan antar muka sehigga energi bebas permukaannya rendah.
Surfaktan (surface active agent) merupakan molekul amfifatik yang
terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga dapat berada di antara
cairan dengan sifat polar dan ikatan hidrogen yang berbeda seperti minyak dan
air. Surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan membentuk
mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat larut di dalam air atau sebaliknya
(Desai and Banat, 1997). Sifat kimia surfaktan memiliki kemampuan untuk
mengemulsi komponen-komponen yang mempunyai kelarutan yang rendah.
Pada praktikum ini dilakukan percobaan emulsi minyak dalam air atau
(O/W) dengan variasi HLB butuh 11,12, dan 13 dengan menggunakan emulgator
golongan surfaktan yaitu Tween 80 dan Span 60 dimana Tween memiliki nilai
HLB 15 sedangkan Span HLBnya 4,3. Dalam pembuatan emulsi ini, dilakukan
pengamatan selama 5 hari untuk melihat perubahan yang terjadi. Emulsi ini
disimpan di suhu ruangan dan di kulkas untuk menguji kestabilasn fisis dari
emulsi yang dibuat. Hal ini berdasarkan literatur Sinala (2017) yang menyatakan
bahwa pengujian kestabilan fisis yaitu dengan pengujian pada sediaan emulsi
yang dikenal dengan kondisi yang dipercepat (stress condition) yaitu sediaan
ditempatkan pada dua suhu yang berbeda yakni 25oC dan 40oC.

22
Untuk pengamatan emulsi menggunakan HLB 11 tidak dilakukan karena
adanya kecerobohan dari kami sebagai praktikkan dalam mencampurkan tween
dan span. Kami mencampurkan span ke fase air yang dimana seharusnya span
tersebut dimasukkan ke fase minyak. Oleh karena itu pengamatan terhadap
emulsi dengan HLB 11 tidak dapat dilanjutkan karena keterbatasan waktu yang
ada.
Untuk hari pertama, emulsi dengan HLB 12 dan 13 disimpan di suhu
ruang/kamar selama 24 jam. Setelah di amati, pada HLB 12 mengalami
perubahan yaitu terjadi pemisahan fase antara cairan berwarna putih dan bening
tetapi konsistensinya masih kental. Pada emulsi dengan HLB 13 juga terjadi
pemisahan seperti emulsi HLB 12 yakni adanya cairan bening padabagian atas
dan bawah.untuk bagian bawah sekitar 6-7,5 ml dan untuk bagian atas sekitar
7,5-23,5 ml. Selanjutnya, emulsi disimpan di dalam kulkas selama 24 jam.
Pada hari kedua, emulsi HLB 12 dan 13 mengalami pemisahan berupa
adanya cairan bening pada bagian atas dan bawah pada masing-masing HLB dan
terdapat sedimentasi diantara lapisan bening yang terdapat pada emulsi serta
cairan mulai encer. Keduanya mengalami pemisahan sekitar 5-7,5 ml untuk
bagian bawah dan 7,5 ml-23,5 ml untuk bagian atas setelah didiamkan di dalam
kulkas selama 24 jam. Pada hari kedua ini dapat dilihat bahwa emulsi mengalami
cracking dimana berdasarkan literatur Madaan dkk (2014) yang menyatakan
bahwa cracking merupakan pemisahan fase dispersi dan fase terdispersi dari
suatu emulsi yang berhubungan dengan terjadinya coalescence yang dimana
coallescence itu sendiri merupakan penggabungan antar fase terdispersi atau
globul disebabkan oleh rusaknya lapisan pelindung (emulgator) Lalu, emulsi
disimpan kembali di suhu kamar/ruang.
Pada hari ketiga yakni setelah disimpan di suhu kamar, terdapat
pemisahan pada masing-masing emulsi dimana lapisan bening pada bagian atas
dan bawah,akan tetapi diameter dari lapisan bening tersebut berubah menjadi 5
ml dan untuk bagian atas menjadi 5-23,5 ml. tak hanya itu, emulsi berubah
menjadi lebih encer dibandingkan dengan sebelumnya. Selanjutnya emulsi
dimasukkan ke dalam kulkas.

23
Pengamatan hari keempat, pada masing-masing emulsi terjadi pemisahan
sama seperti pada hari kedua dan ketiga yakni berupa cairan bening di bagian
atas dan bawah dari emulsi serta adanya sedimentasi berwarna putih dibagian
tengahnya. Selain itu,cairan menjadi lebih encer. Namun terdapat perbedaan
antara kedua emulsi ini yakni pada emulsi HLB 12 terdapat gelembung dan
belum terlalu jelas. Selanjutnya, emulsi disimpan kembali di suhu ruang.
Hari kelima, penampilan fisik dari emulsi masih sama dengan hari-hari
sebelumnya yakni masih terjadi pemisahan dan adanya sedimentasi putih di
tengah-tengah lapisan bening. Namun tentunya ada perbedaan baik pada bentuk
dan tekstur setiap bertambahnya hari. Pada hari kelima ini, emulsi dengan HLB
12 terdapatgelembung yang terbentuk semakin jelas walaupun tidak terlalu
banyak. Untuk batas bawah pada HLB 12 dan 13 yaitu 7,5 ml dan untuk batas
atas yaitu 7,5-23,5 ml.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 5 hari dengan perubahan
suhu yang signifikan atau dalam kondisi yang dipaksakan (stress condition), dapat
diketahui bahwa seiring bertambahnya waktu, akan terjadi pemisahan yang cukup
besar pada emulsi baik di suhu ruang maupun di kulkas. Terjadinya penurunan
tegangan permukaan ditandai dengan terbentuknya misel (tetes dispersi yang
terbungkus surfaktan). Menurut Nonci, dkk (2016), suhu selama penyimpanan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu emulsi. Efek normal
penyimpanan suatu emulsi pada suhu yang lebih tinggi adalah mempercepat
koalesensi dan terjadinya creaming dan hal ini biasanya diikuti dengan perubahan
kekentalan. Pemberian stress condition ini menjadikan ketidakstabilan krim
nonionik dalam hal ini terbentuknya creming.

Perubahan yang mencolok yaitu pada hari ketiga dimana pada emulsi HLB
13 terjadi pemisahan dan saat dikocok sudah tidak bisa tercampur. Berbeda
dengan emulsi HLB 12 yang masih bisa dikocok. Hal ini menunjukkan bahwa
pada emulsi dengan HLB 12 terjadi flokulasi yakni ketidakstabilan emulsi namun
masih bisa diperbaiki dengan cara dikocok. Namun pada emulsi HLB 13 sudah
tidak bisa tercampur ketika dikocok. Tak hanya itu, pada hari keempat dan kelima,

24
munculnya gelembung pada emulsi dengan HLB 12 sedangkan pada emulsi HLB
13, gelembung muncul nanti di hari terakhir pengamatan yakni pada hari kelima.

Selama pengamatan juga dapat diketahui bahwa terjadi adanya pemisahan


dimana minyak sebagai fase terdispersi dalam emulsi O/W, memiliki densitas
lebih rendah dibandingkan dengan air sehingga menyebabkan droplet minyak
akan bergerak ke atas dan bergabung satu sama lain di permukaan emulsi.
Pembentukan lapisan di permukaan emulsi dikenal dengan istilah creaming
(Ghosh dan Rousseau, 2010).

Adapun kemungkinan kesalahan selama praktikum yaitu adanya


ketidaktelitian praktikkan dalam menghitung jumlah HLB dan bahan lain yang
dibutuhkan. Selain itu, ketidakhati-hatian dari praktikkan dapat meningkatkan
kemungkinan kesalahan pada hasil yang didapatkan.

25
BAB IV
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Emulgator golongan surfaktan yang dibutuhkan yakni untuk HLB 11,
tween 80 sebanyak 780 mg dan span 60 sebanyak 460 mg. Pada HLB 12,
tween 80 sebanyak 890 mg dan span 60 sebanyak 350 mg. pada HLB 13,
tween 80 dibutuhkan sebanyak 1010 mg sedangkan span 60 dibutuhkan
sebanyak 900 mg.
2. Pembuatan emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
dengan tween 80 dan span 60 yaitu dengan cara menghitung bobot dari
masing-masing HLB butuh dengan tween 80 dan span 60,
3. Ketidakstabilan suatu minyak paraffin dalam air apabila dalam jangka
waktu tertentu emulsi tersebut mengalami pemisahan antara fase
terdispersi dan pendispersinya sampai membentuk suatu batas dalam
larutan dan tidak dapat dihomogenkan kembali.
4. Cara penentuan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan
adalah dengan cara menghitung berat tween dan span setiap HLB yang
dibutuhkan/ditentukkan, dengan cara menggunakan rumus aligasi yaitu
penentuan bobot dari masing-masing tween dan span dari HLB butuh
6.2 Saran
Saran dalam praktikum ini khususnya untuk mahasiswa praktikan adalah
selalu teliti dalam melakukan percobaan dan sebisa mungkin menggunakan bahan
percobaan dengan cara yang efektif, serta perlu kehati-hatian dalam melakukan
percobaan agar tidak akan terjadi kecelakaan kerja dalam laboratorium.

26
DAFTAR PUSTAKA
Allen L, Prentice A. 2005. Encyclopedia of Human Nutrition Second Edition.
Elsevier Academic Press. Spain : 250
Ansel H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan Oleh Ibrahim
F. Universitas Indonesia. Jakarta.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke IV.
Diterjemahkan oleh Frida Ibrahim, Ansamanizer, Iis Aisyah. Jakarta:
Universitas Indonesia
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi diterjemahkan oleh
Farida Ibrahim, Edisi IV, Hal 576-595, Universitas Indonesia Press,
Jakarta
Aqib, Zainal, dkk. 2017. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2004. Peraturan Teknis
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk
Pangan. Jakarta: Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya.
Badan POM RI. 2004. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Republik Indonesia
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2009.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Bata
Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Cairns D. (2009). Essentials of Pharmaceutical Chemistry Second Edition
(Intisari Kimia Farmasi Edisi Kedua). Penerjemah : Puspita Rini. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Carstensen, J.T., dan Lesson, L.J. 1974. Dissolution Technology.Washington: Ind
Pharm Techn Section of the Academy of Pharm Sciences.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta. 6 - 8.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta. 4 - 6, 419 - 421 .
Djoko Pekik Irianto. 2006. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan.
Yogyakarta.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta
Effendi, Idris. 2003. Materi Kuliah Farmasi Fisika. Unhas : Makassar.
Fudholi, A. 2003. Metodologi Formulasi dalam Kompresi Direct. Majalah
Medika, No 7 th. 9 Grafiti Medika Press. Jakarta. 586-593
Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 20th Ed.Jakarta: EGC; 2002:406.
Gennaro, A.R.. 1990,. Remingtons Pharmaceuticals Sciences. 18th Ed.. Mack
Publ. Co. Easton.
Hardjadi.W. 1990. Ilmu Kimia Analitik dasar. PT Gramedia : Jakarta
Ilyas, Fitrah et all. 2012. Penuntun Praktikum Kimia Fisika. UIN Alauddin
Makassar.
Kementerian Kesehatan RI, 2015a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK 02.02/Menkes/320/2015 tentang Daftar Obat
Esensial Nasional 2015. Kementerian Kesehatan, Jakarta.
Khofkan. 2002. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta : EGC.
Kurniawan, D. H. dan Sulaiman, T. N. S. 2013. Teknologi Sediaan Farmasi.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Lachman, L., & Lieberman, H. A., 1994, Teori Dan Praktek Farmasi Industri,
Edisi Kedua, 1091-1098. Ui Press. Jakarta.
Lesson, L.J., dan Cartensen, J.T. 1997. Dissolution Technology. 3-22, the Ind
Pharm Techn Section of the Acad of Pharm Scrence. Washington
Martin, A., Swarbick, J., Dan Cammarata, A. 1990. Farmasi Fisik Dasar Dan
Kimia Fisik Diterjemahkan Oleh Yoshita, Edisi Ketiga. Hal 141-142.
Universitas Indonesia Pres. Jakarta
Martin, A., Swarbick, J., Dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2, Edisi Iii.
Jakarta: Ui Press. Pp. 940-1010, 1162, 1163, 1170.
Martin, A., Bustamante, P. and Chun, A.H.C., 1993. Physical Pharmacy. Fourth
Edition, 331-336, Lea & Febiger, Philadelphia, London.
Martin,A. 1990. Farmasi Fisik Jilid I.  Universitas Indonesia Press : Jakarta
Martin, Alfrel, dkk. 1993. Kimia Fisika. Jakarta : UI Press.
Martin, A., Swarbrick, J. & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik Edisi Ketiga.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Jakarta: UI Press. Pp. 940-1010, 1162, 1163, 1170
Margono. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Neldawati, Ratnawulan, & Gusnedi. (2013). Nilai Absorbansi dalam Penentuan
Kadar Flavonoid untuk Berbagai Jenis Daun Tanaman Obat. Pillar Of
Physics , 2, 76.
Oxtoby, D.W, dkk. 2007. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Jakarta : Erlangga.
Ramlawati. 2005. Buku Ajar Kimia Anorganik Fisik. Makassar : Jurusan Kimia,
FM IPA. UNM.
Pecsok, Robert. L, dkk. (1976). Modem Methods of Chemical Analysis. Edisi
Kedua. John Wiley and Sons Inc. New York
Roth,H.J.1994. Analisis Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press : Yogyakarta
Sastrohamidjojo,H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta Liberty :
Yogyakarta
Rowe, R.C. et Al. (2006). Handbook Of Pharmaceutical Excipients. 5th Ed. The
Pharmaceutical Press. London.
Salim, E. 2013. Kiat Cerdas Wirausaha Aneka Olahan Kedelai. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Samik, Wahab. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Shargel, L., Dan Yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika
Terapan Diterjemahkan Oleh Siti Sjamsiah, Edisi Kedua. Hal 85-99.
Airlangga University Press. Surabaya
Shargel, L., Yu, A., And Wu, S. 2005. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika
Terapan, Edisi Kedua. Airlangga University Press. Surabaya. 167 – 187.
Shargel, L & Andrew. 2012. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics.
New York: McGraw-Hill Companies.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta: EGC
Sinala, S., 2016. Farmasi Fisik. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakata.
Sinko, Patrick J. (2006). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika, Edisi 5.
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Sutopo.2006. Kimia Analisa. Exacta : Solo
Svehla, Basset. 1990. Buku Ajar Analisis Kimia. Jakarta : UGC.
Svehla,G. 1990.  Buku Teks Analisis Anorganik. PT Kalman Media : Jakarta
Sweetman S C. 2009. Martindal 36th Edition. London : Pharmaceutical Press
Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar
Dasar Praktis. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 54 – 55, 98 –
115.
Tjay, T. H., Dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan
Dan Efek Sampingnya, Edisi Kelima. 270-279. Efek Media Komputindo.
Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271,
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Word Health Organization, 2015, Essential List of Medicine. Word Healt
Organization,Geneva.http://www.who.int/medicines/publications/essentia
lmedicines/en/.Diakss tanggal 30 November 2015.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan Oleh
Soendani N. S. Ugm Press.Yogyakarta.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Hasil Pengamatan Pada Emulsi Selama 5 Hari
a. HLB 12 dan HLB 13

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3


Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar

Hari ke-4 Hari ke-5


Suhu Kamar Suhu Kamar

Anda mungkin juga menyukai