Anda di halaman 1dari 19

PERATURAN DESA ………………………

NOMOR…………… TAHUN 2020


TENTANG
GERAKAN PENCEGAHAN STUNTING TERINTEGRASI DI DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


KEPALA DESA……………..
Menimbang : a. Bahwa prevalensi stunting dapat menghambat upaya
peningkatan kesehatan masyarakat dan pembangunan
kualitas sumber daya manusia;
b. Bahwa kejadian stunting disebabkan oleh faktor yang
bersifat multidimensi, pencegahannya membutuhkan
peran serta berbagai pihak secara terintegrasi atau
konvergensi;
c. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat (1) Peraturan
Menteri Keunagan Nomor 61/PMK.07/2019 Tentang
Pedoman Penggunaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa
Untuk Mendukung Pelaksanaan Kegiatan Intervensi
Pencegahan Stunting Terintegrasi, menyatakan bahwa
koordinasi kegiatan intervensi pencegahan stunting terintegrasi
lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 sampai
dengan pasal 6 dilaksanakan secara berjenjang dan melalui
kelembagaan yang berjenjang pada tingkat nasional,
kabupaten/kota, dan desa.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
peraturan desa pencegahan stunting terintegrasi. Denpasar
Mengingat : 1. Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
2. Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 Tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi ( Lembaran Negara
Republik Tahun 2013 Nomor 100);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
22/Menkes/Per/XI/2011 Tentang Pedoman Pembinaan
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (Berita Negara Republik
Indonesia tahun 2011 Nomor 755);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013 Tentang
Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan bagi Bangsa
Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2013
Nomor 757);
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pembangunan Desa.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2091);
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016
tentang Kewenangan Desa (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 1037);
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018
tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat
Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
569);
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Noinor 20 Tahun 2018
Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
10. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2018 Tentang Rencana Aksi
Pangan dan Gizi;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2019
Tentang Pedoman Penggunaan Transfer Ke Daerah Dan
Dana Desa Untuk Mendukung Pelaksanaan Kegiatan
Intervensi Pencegahan Stunting Stunting Terintegrasi;
12. Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 1
Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Kemiskinan (Berita
Daerah Kabupaten Karangasem Tahun 2019 Nomor 1);
13. Peraturan Bupati Karangasem Nomor 67 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Penyususnan Peraturan di Desa (Berita
Daerah Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Nomor 68);
14. Peraturan Bupati Karangasem Nomor 19 Tahun 2018
Tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (Berita Daerah
Kabupaten Karangasem Tahun 2018 Nomor 19);
15. Peraturan Bupati Karangasem No. 35 Tahun 2019
Tentang Gerakan Penanggulangan Stunting Terintegrasi;
16. Peraturan Desa …….. No ……. Tahun ……. Tentang
Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa;
Dengan Persetujuan Bersama
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
Dan
KEPALA DESA ………….

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DESA ………… TENTANG


GERAKAN PENCEGAHAN STUNTING TERINTEGRASI DI TINGKAT DESA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Desa ini, yang dimaksud dengan :
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain,selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yangmemiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurusurusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki Desa meliputi
kewenangan di bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan
Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul dan adat istiadat Desa.
3. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan
NegaraKesatuan Republik Indonesia.
4. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
5. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.
6. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan
unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan
Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
7. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
8. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan
kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
9. Perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan
Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan desa.
10. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program,
kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan
11. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak-anak akibat dari kekurangan
gizi kronis, sehingga anak lebih pendek untuk seusianya.
12. Kegiatan Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi adalah aksi integrasi atau
konvergensi program dan kegiatan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/ atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dalam rangka pencegahan terjadinya
kondisi gagal tumbuh kembang pada anak di bawah lima tahun (stunting), yang
dilaksanakan secara sinergi, terpadu, tepat sasaran, dan berkelanjutan dengan
mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan.
13. Upaya perbaikan gizi adalah kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegritas dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan status gizi masyarakat dalam bentuk upaya promotive, preventif,
kuratif, maupun rehabilitative yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/ atau
masyarakat.
14. Intervensi Spesifik adalah intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000
(seribu) Hari Pertama Kehidupan, pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan
dan bersifat jangka pendek.
15. Intervensi Sensitif adalah intervensi yang ditujukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan di luar sektor kesehatan dengan sasaran masyarakat umum.
16. Surveilans gizi adalah proses pengamatan secara teratur dan terus menerus
yang dilakukan terhadap semua aspek penyakit gizi, baik keadaan maupun
penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak.
17. Air susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hidup yang
mengandung sel-sel darah putih, imunoglobuin, enzim dan hormone, serta protein
spesifik dan zat-zat gizi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak.
18. ASI ekslusif merupakan ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan, tanpa memberikan makanan/minuman pendamping
atau pengganti lain selain ASI.
19. Inisiasi Menyusui Dini adalah proses menyusui segera yang dilakukan dalam
satu jam pertama setelah bayi lahir.
20. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.
21. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan dan memiliki pengetahuan dan atau keterampilan
melalui pendidikan dan atau pelatihan di bidang kesehatan, memiliki
ijasah dan atau sertifikasi tertentu yang mengabdikan diri di bidang
kesehatan sesuai keahlian dan kompetensi yang dimiliki.
22. Tenaga Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita yang
selanjutnya disebut KIBBLA adalah setiap orang yang mempunyai
kompetensi dalam melakukan layanan KIBBLA baik secara langsung
maupun tidak langsung yang bekerja pada sarana pelayanan kesehatan
Pemerintah, swasta maupun mandiri.
23. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan dan dikelola oleh tenaga kesehatan.
24. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas
adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan yang bertanggungjawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
25. Pos Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disebut Posyandu adalah salah
satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat yang dikelola
dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam
memperoleh pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang selanjutnya disebut
KIA untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
26. Bidan Desa adalah bidan yang ditempatkan di desa dan diwajibkan
tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya.
27. Pengobatan adalah tindakan pengobatan yang diberikan oleh Dokter
atau jika berhalangan didelegasikan kepada perawat atau Bidan yang
ditunjuk untuk menjalankan pengobatan, perawatan dan lain-lainnya
yang ada hubungannya dengan kesehatan.
28. Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan
lahir atau jalan lain,dengan bantuan atau tanpa bantuan.
29. Masa nifas adalah masa paska persalinan sampai 42 hari.
30. Kehamilan adalah masa dimana seorang wanita membawa embrio atau
fetus didalam tubuhnya.
31. Ibu bersalin adalah wanita yang mengalami proses persalinan.
32. Ibu nifas adalah wanita yang mengalami proses pasca persalinan.
33. Ibu hamil resiko tinggi adalah ibu dengan kehamilan yang beresiko yang
ditentukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes.
34. Komplikasi kehamilan dan persalinan adalah kesakitan pada ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas yang dapat mengancam jiwa ibu dan / atau bayi.
35. Situasi kegawatdaruratan atau emergensi adalah situasi yang tidak
dikehendaki, mendadak,dan berkembang secara cepat,sehingga
menimbulkan bahaya yang mengancam keselamatan.
36. Neonatal adalah anak usia 0 hari sampai dengan 28 hari.
37. Bayi adalah anak usia 0 bulan sampai dengan 11 bulan 29 hari.
38. Anak balita adalah anak usia 12 bulan sampai dengan 59 bulan.

BAB II
PRINSIP, MAKSUD DAN TUJUAN
Bagian Satu
Prinsip
Pasal 2
Adapun Prinsip dalam pencegahan stunting terintegrasi :
(1) Optimal, artinya memanfaatkan sumber daya yang ada dan digerakan untuk
mencapai hasil yang optimal;
(2) Bertindak cepat dan akurat, artinya dalam upaya pencegahan stunting terintegrasi,
tenaga bidan, gizi dan tenaga kesehatan terlatih harus bertindak sesuai prosedur
tetap pelayanan gizi dan kode etik profesi dengan mengedepankan aspek
kemanusiaan;
(3) Penguatan kelembagaan dan kerja sama, artinya dalam upaya pencegahan stunting
tidak haya bisa dilakukan dengan cara sektoral, akan tetapi membutuhkan dukungan
sektor dan program lain;
(4) Transparasi, artinya menentukan bahwa dalam segala hal yang berhubungan
dengan pencegahan stunting terintegrasi harus dilakukan secara terbuka;
(5) Peka budaya, artinya menetukan bahwa dalam segala hal yang berhubungan
dengan pencegahan stunting terintegrasi harus memperhatikan sosio budaya gizi
daerah setempat; dan
(6) Akuntabilitas, artinya menentukan bahwa dalam segala hal yang berhubungan dalam
pencegahan stunting harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

Bagian kedua
Maksud
Pasal 3
Maksud ditetapkannya Peraturan Desa ini adalah untuk menurunkan prevalensi stunting
di Desa…………, sehingga berdampak positif pada peningkatan status gizi masyarakat
dan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Ketiga
Tujuan
Pasal 4
Tujuan ditetapkannya Peraturan Desa ini adalah:
(1) Mendorong upaya pencegahan stunting dengan pelayanan optimal pada 1.000 HPK
(hari pertama kehidupan) meliputi : ibu hamil, ibu melahirkan, bayi baru lahir dan bayi
berusia 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun;
(2) Untuk mensinergikan kegiatan lintas sektor yang berkaitan dengan upaya
pencegahan stunting di desa;
(3) Menghasilkan generasi sehat dan cerdas.

BAB III
PILAR PENCEGAHAN STUNTING TERINTEGRASI DI DESA
Bagian Kesatu
Pilar Pencegahan Stunting
Pasal 5
Pilar pencegahan stunting terintegrasi atau konvergensi dilaksanakan dengan aksi
bersama, terkoordinasi dan terpadu, meliputi :
a. Komitmen pimpinan desa;
b. Kampanye dengan fokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen
politik dan akuntabilitas;
c. Konvergensi, koordinasi dan konsolidasi program nasional, daerah dan desa;
d. Mendorong kebijakan ketahanan pangan dan gizi; dan
e. Pemantauan, evaluasi dan Pelaporan.

Bagian Kedua
Komitmen
Pasal 6

1) Pemerintahan Desa berkomitmen dan secara konsisten berupaya menurunkan


prevalensi stunting.
2) Komitmen dan konsistensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara
mendorong, mendukung, dan program pencegahan stunting menjadi program
prioritas di desa.
3) Upaya pencegahan stunting terintegrasi dijadikan komitmen bersama seluruh
pemangku kepentigan pembangunan lintas sektor di desa.

Bagian Ketiga
Kompanye
Pasal 7
(1) Kampanye dimaksudkan sosialisasi dan desiminasi pencegahan stunting
terintegrasi menggunakan berbagai bentuk media dan berbagai kegiatan
masyarakat yang inovatif;
(2) Komunikasi antar pribadi untuk mendorong perubahan perilaku di tingkat rumah
tangga;
(3) Advokasi secara berkelanjutan kepada para pembuat keputusan untuk berpihak
pada pencegahan stunting;
(4) Pengembangan kapasitas pengelola program dan kegiatan pencegahan stunting
terintegrasi.

Bagian Keempat
Konvergensi
Pasal 8
(1) Konvergensi merupakan pendekatan penyampaian intervensi yang dilakukan
secara terkoordinasi, terpadu, dan bersama-sama untuk mencegah stunting
kepada sasaran prioritas 1.000 HPK.
(2) Penyelenggaraan intervensi secara konvergen dilakukan dengan menyelaraskan
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian
kegiatan lintas sektor serta antartingkat pemerintahan dan masyarakat.
(3) Layanan 5 paket konvergensi pencegahan stunting di desa, meliputi;
a. Layanan kesehatan ibu dan anak (KIA)
b. Layanan konseling gizi terpadu
c. Ketersediaan air bersih dan sanitasi
d. Ketersediaan jaminan sosial
e. Ketersediaan Pendidikan anak usia dini (PAUD)
(4) Kinerja konvergensi pencegahan stunting berupa score card.

Bagian Kelima
Keamanan dan Ketahanan Pangan
Pasal 9
1. Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang di perlukan untuk
mencegah pangan dari cemaran biologis, kimia dan fisik (benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia).
2. Untuk menjamin keamanan pangan sesuai dengan ayat (1) di atas pemerintah
Desa memberikan dukungan kepada masyarakat melalui penguatan kepada
pedagang, kelompok pengolahan makanan, dapat membentuk kader ketahanan
panagn atau penguatan kepada LKD yang ada di Desa terkait ketahanan
pangan.
3. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi Desa sampai
dengan perseorangan yang tercermin dengan pangan yang cukup, aman,
beragam dan bergizi.
4. Untuk menjamin ketahanan pangan sesuai dengan ayat (2) di atas pemerintah
Desa memberikan dukungan kepada masyarakat melalui kelompok-kelompok
tani, kelompok pengolahan makanan yang ada di Desa.

Bagian Keenam
Edukasi Gizi
Pasal 10
(1) Edukasi gizi diselenggarakan dalam upaya menciptakan pemahaman yang sama
tentang hal-hal yang terkait dengan gizi dalam pencegahan stunting terintegrasi;.
(2) Edukasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pengertian gizi;
b. Masalah gizi;
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah gizi; dan
d. Praktik-praktik yang baik dan benar untuk memperbaiki keadaan gizi.
(3) Edukasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara
periodik oleh puskesmas atau Dinas Kesehatan dan pihak terkait.

Bagian Ketujuh
Pelatihan Gizi
Pasal 11
(1) Pelatihan gizi diselenggaralan dalam upaya peningkatan pengetahuan,
pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam upaya
penanggulangan stunting yang berkualitas.
(2) Pelatihan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
secara periodik oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan dan Pihak terkait.
Bagian Kedelapan
Penyuluhan Gizi
Pasal 12
(1) Penyuluhan gizi kepada masyarakat dalam upaya penanggulangan
stunting diselenggarakan di dalam gedung dan di luar gedung.
(2) Penyuluhan gizi di dalam gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui konseling gizi di Puskesmas dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya sebagai bagian dari upaya kesehatan perorangan.
(3) Penyuluhan gizi di luar gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di posyandu dan pertembuan kelompokan masyarakat.
(4) Penyuluhan gizi dalam upaya penanggulangan stunting juga dapat
dilakukan selain ditempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disesuai dengan kondisi masyarakat.

Bagian Kesembilan
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 13
(1) Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk:
a. memantau kesesuaian antara realisasi dana dan capaian output
kegiatan;
b. memantau terjadinya integrasi Intervensi pencegahan stunting tingkat
desa;
c. memperbaiki permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan
kegiatan Intervensi pencegahan stunting terintegrasi.
(2) Pemerintah Desa mendorong tenaga kesehatan di desa, para kader
termasuk kader pembengunan manusia (KPM) melakukan pencatatan,
pemantauan dan pelaporan.

(3) Desa di bantu KPM melaksanakan pencatatan, pemantauan, evaluasi


dan pelaporan pelaksanakaan layanan 5 paket kegiatan konvergensi
pencegahan stunting
(4) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk score
card konvergensi pencegahan stuntinbg di desa.

BAB IV
INTERVENSI SPESIFIK DAN INTERVENSI SENSITIF
Bagian Kesatu
Sasaran
Pasal 14
(1) Sasaran kegiatan penanggulangan stunting, meliputi :
a. Sasaran untuk intervensi spesifik; dan
b. Sasaran untuk intervensi sensitive.
(2) Sasaran untuk intervensi spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi :
a. Ibu hamil;
b. Ibu menyusui dan anak dibawah usia 6 (enam) bulan; dan
c. Ibu menyusui dan anak usia 6 (enam) bulan sampai dengan
23(dua puluh tiga) bulan.
(3) Sasaran untuk intervensi sensitive sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b yaitu masyarakat umum, khususnya keluarga.

Bagian Kedua
Kegiatan
Pasal 15
(1) Kegiatan intervensi spesifik dengan sasaran ibu hamil sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis;
b. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam float;
c. Mengatasi kekurangan iodium;
d. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil; dan
e. Melindungi ibu hamil dari malaria.
(2) Kegiatan intervensi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak
dibawah usia 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat
(2) huruf b, meliputi :
a. Mendorong inisiasi menyusui dini; dan
b. Mendorong pemberian ASI Ekslusif.
(3) Kegiatan intervensi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia
6 (enam) sampai dengan 23 (dua puluh tiga ) bulan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) huruf c, meliputi :
a. Mendorong melanjutkan pemberian ASI hingga usia 23 (dua puluh
tiga) bulan didampingi oleh pemberian makanan pendamping ASI;
b. Menyediakan obat cacing;
c. Menyediakan suplementasi zink;
d. Memberikan perlindungan terhadap malaria;
e. Memberikan imunisasi lengkap; dan
f. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
(4) Kegiatan intervensi gizi sensitive dengan sasaran masyarakat umum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3), meliputi :
a. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih;
b. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi;
c. Memfasilitasi akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB);
d. Memfasilitasi masyarakat mengakses Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN);
e. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua;
f. Memberikan pendidikan anak usia dini universal;
g. Memberikan pendidikan gizi masyarakat;
h. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi
pada remaja;
i. Menyediakan bantuan dan jamninan sosial bagi keluarga miskin;
j. Melaksanakan desa bersih narkoba ( desa bersinar);
k. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi;
l. Menyelenggarakan kelas ibu hamil, dan
m. Kegiatan pendukung lainnya yang dilakukan oleh seluruh elemen
masyarakat.

BAB V
PENCEGAHAN STUNTING TERINTEGRASI
Bagian Kesatu
Pemberdayaan dan Kemandirian Keluarga
Pasal 16
(1) Dalam upaya pencegahan stunting terintegrasi dilakukan dengan
menyelaraskan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan,
dan pengendalian kegiatan lintas sektor serta antar tingkat
pemerintahan dan masyarakat.
(2) Upaya pencegahan stunting terintegrasi dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terkait upaya promotive dan preventative melauli intervensi
spesifik dan intervensi sensitive dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat, perubahan prilaku individu dan masyarakat, serta
menyentuh sasaran yang paling utama yaitu keluarga.
(3) Pemberdayaan dan kemandirian keluarga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan melauli peningkatan kemampuan keluarga untuk
mengenali, menilai dan melakukan tindakan serta mandiri yang
didampingi oleh tenaga kesehatan secara berkala, kontinyu dan
terintergrasi.
(4) Kegiatan pencegahan stunting terintegrasi meliputi;
a. Gerakan peduli 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) ;
b. Gerakan masyarakat hidup sehat (Germas)
(5) Pemberdayaan dan kemandirian keluarga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilihat dari berbagai indikator, yang meliputi :
a. Keluarga menyadari pentingnya kesehatan pada gizi;
b. Keluarga mengetahui apakah anggota keluarganya mengalami
masalah kesehatan dan gizi;
c. Keluarga mengetahui apa yang harus dilakukan; dan
d. Keluarga memanfaatkan dan berupaya mengakses pelayanan
kesehatan yang disediakan.
Bagiang Kedua
Peran Pemerintah Desa, BPD dan Para Pihak.
Pasal 17
(1) Dalam memastikan efektivitas pelaksanaan intervensi pencegahan stunting
terintegrasi di Desa, perlu pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas
antara pemerintahDesa, BPD, LKD dan pihak terkait lainnya.
(2) Peranan Pemerintah Desa seperti yang dimaksud ayat (1);
a. Pemerintah desa melakukan sinkronisasi dalam perencanaan dan
penganggaran program dan kegiatan pembangunan desa untuk
mendukung pencegahan stunting.
b. Pemerintah desa memastikan setiap sasaran prioritas menerima dan
memanfaatkan paket layanan intervensi gizi prioritas. Implementasi
kegiatan dilakukan bekerja sama dengan Kader Pembangunan Manusia
(KPM), pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), petugas
Puskesmas dan bidan desa, serta petugas Keluarga Berencana (KB).
c. Pemerintah desa memperkuat pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
pelayanan kepada seluruh sasaran prioritas serta mengoordinasikan
pendataan sasaran dan pemutakhiran data secara rutin.
d. Pemerintahan Desa wajib membuat dan memproiritaskan kegiatan
pencegahan stunting dalam rencana kegiatan pemerinthan desa (RKP
Des) dan alokasi pendanaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes).
e. Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan desa dalam
pencegahan stunting secara konvergensi berbasis data yang
terumuskan dalam rembug stunting desa sebelum musrenbang desa.
f. Pemerintah Desa menoptimalkan peran kelembagaan masyarakat Desa
melalui Posyandu, PAUD, PKK, LPM dan lainnya dalam pencegahan
stunting di Desa.
g. Membentuk sekretariat bersama konvergensi penanggulangan stunting
di desa, dapat diberi nama rumah desa sehat (RDS). Pengelola harian
RDS ditetapkan dengan Keputusan Perbekel.
h. Pemerintah Desa memberikan dukungan mobilisasi dan penyedia
insentif bagi Kader Pembangunan Manusia (KPM) dan kader yang di
Desa guna mengoptimalkan kinerja pencegahan stunting terintegrasi..
i. Kader Pembanguna Manusia (KPM) adalah personil kader Desa seperti
Kader Posyandu/Kader PAUD/kader Kesehatan atau kader lainya, yang
sudah mendapat dukungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa dan ditugaskan dalam penanggulangan stunting di Desa melalui
keputusan Perbekel
j. Pemerintah Desa memberikan dukungan kampanye publik dan
komunikasi terkait perubahan prilaku di tingkat desa.
k. Pemerintah Desa melakukan koordinasi dengan Tim Penanggulangan
Stunting Terintegrasi Kabupaten, Perangkat Daerah terkait,
Puskesmas dan lainnya dalam penanggulangan stunting di Desa.
m. Melaksanakan evaluasi konvergensi penanggulangan stunting
triwulanan dengan mendayagunakan forum rumah desa sehat (RDS).
n. Melaporkan kegiatan konvergensi penanggulangan stunting sesuai
regulasi yang ada.
o. Guna kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan
stunting terintegrasi , Pemerintah Desa bersama BPD dapat membuat
Peraturan Desa tentang Pencegahan Stunting di Desa.
(3) Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) seperti yang dimaksud pada
ayat (1) melputi:
a. Menggali dan menampung aspirasi masyarakat dalam pencegahan
stunting
b. Mengkoordinasikan aspirasi masyarakat dalam pencegahan stunting
kepada Pemerintah Desa.
c. Memberi keberpihakan penganggaran dalam APBDes untuk pendanaan
kegiatan pencegahan stunting.
d. Merumuskan regulasi desa dalam pencegahan stunting
e. Mengevaluasi kinerja pemerintah desa dalam pencegahan stunting.

(4) Peranan Lembaga Kemasyarakatan (LKD)


a. Berperan aktif dalam mengagas dan merumuskan kegiatan pencegahan
stunting dalam tahapan pembangunan desa.
b. memfasilitasi pemberdayaan kesehatan masyarakat dengan pendekatan
kesehatan berbasis keluarga.
c. Bersama Pemerintah Desa melaksanakan kegiatan pencegahan stunting
d. memfasilitasi keswadayaan masyarakat dalam usaha kesehatan
bersumber daya masyarakat (UKBM) seperti posyandu.
(5) Peranan Masyarakat dan para Pihak.
a. Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta seluas-luasnya
dalam mewujudkan peningkatan status gizi individu, keluarga dan
masyarakat, dalam rangka pencegahan stunting.
b. Masyarakat berperan aktif dalam pemberdayaan kesehatan dan gizi
keluarga, rutin mengajak anaknya ke posyandu serta aktif dalam
perencanaan pembangunan desa .
c. Penyampaian aspirasi, masukan atau saran terkait pencegahan stunting
dapat langsung disampaikan ke Pemerintahan Desa saat musyawarah
desa, dapat juga melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
d. Para pihak Perguruan Tinggi, Pengusaha, LSM, termasuk Pemerintah
Daerah melakukan pembinaan, mendorong dan menggerakan swadaya
masyarakat di bidang gizi untuk pencegahan stunting agar dapat lebih
berdaya guna dan berhasil guna.

Bagian Ketiga
Gerakan Peduli Seribu Hari Pertama Kehidupan
Pasal 18
(1) Gerakan peduli Seribu Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK) merupakan
komitmen bersama antar Pemerintah Desa, BPD, LKD dan parapihak
sebagai gerakan partisipatif untuk percepatan penurunan angka
stunting.
(2) Gerakan peduli 1.000 HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
penggalangan partisipasi dan kepedulian para pemangku kepentingan
secara terencana dan terkoordinasi, terpadu dan bersama-sama pada
ibu hamil, ibu nifas, bayi 0- 2 tahun.
(3) Gerakan peduli 1.000 HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan antara lain :
a. Pendatangan deklarasi stunting oleh Pemerintah Desa, BPD, LKD
dan para pihak terkait;
b. Komunikasi, edukasi dan pemberian informasi baik formal
maupun informal;
c. Kampanye diberbagai media;
d. Pemberian penghargaan bagi masyarakat yang peduli terhadap
penanggulangan stunting;
e. Layanan 5 paket konvergensi pencegahan stunting di desa,
meliputi 1). kesehatan ibu dan anak (KIA), 2). konseling gizi
terpadu, 3). air bersih dan sanitasi, 4). jaminan sosial, 5).
pendidikan anak usia dini (PAUD).
f. Kegiatan lain yang mendukung.
Bagian Kedua
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)
Pasal 19
(1) Dalam upaya memercepat penaggulangan stunting dilakukakn gerakan
masyarakat hidup sehat.
(2) Gerakan masyarakat hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk mensinergikan tindakan/upaya promotive dan
preventif masalah stunting serta meningkatkan produktifitas
masyarakat.
(3) Gerakan masyarakat hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui :
a. Peningkatan aktivitas fisik;
b. Peningkatan prilaku hidup sehat;
c. Penyediaan pangan aman dan sehat serta percepatan perbaikan
gizi;
d. Peningkatan pencegahan dan deteksi dini penyakit;
e. Peningkatan kualitas lingkungan; an
f. Peningkatan edukasi hidup sehat.
(4) Gerakan masyarakat hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikampanyekan seluruh dusun atau Banjar.

BAB VI
PERENCANAAN KEGIATAN PENCEGAHAN STUNTING
Pasal 20
(1) Perencanaan kegiatan pencegahan stunting dilakukan dengan pendekatan
pembangunan partisipatif yang dimulai pada bulan Juni tahun berjalan.
(2) Kegiatan pencegahan stunting seperti dimaksud pada ayat (1) digagas
melalui rembug stunting desa dan berbasis data;
(3) Kegiatan pencegahan stunting merujuk pada pencapaian status desa
dalam indek desa membangun (IDM), khususnya indek ketahanan sosial
(IKS) yang diputuskan melalui musyawarah desa;
(4) Kegiatan pencegahan stunting masuk dalam rencana kegiatan pemerintah
desa (RKP Desa) tahun berjalan;

BAB VII
PENDANAAN
Pasal 21
(1) Upaya pencegahan stunting terintegrasi didukung pendanaan yang
memadai;
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara efektif
dan efisien dengan mengacu pada capaian hasil dan manfaat;
(1) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pembiayaan
kegiatan intervensi spesifik dan intervansi sensitif serta peningkatan
kapasitas kader, perangkat desa dan meningkatkan pemahaman
masyarakat;
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
kemampuan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa, dan/atau sumber lain yang sah sesuai peraturan perundang-
udangan;
(3) Kegiatan pencegahan stunting terintegrasi di desa yang didanai dari APB
Desa sesuai kewenangan Desa.

BAB VIII
PENUTUP
Pasal 22
(1) Peraturan Desa ini berlaku sejak diundangkan.
(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Desa ini dengan penempatanya dalam Berita Desa.

Ditetapkan di Desa……………..
pada tanggal : ….
Perbekel,

………………………..
Diundangkan di Desa………..
Tanggal :………………..

Sekretaris Desa,
…………………………………

Lembaran Desa ………. Nomor : ………………. Tahun 2020

Anda mungkin juga menyukai