Anda di halaman 1dari 8

A.

SUBJEK HUKUM
Subjek hukum berasal dari terjemahan rech subject (Belanda) dan law of subject
(Inggris). Subjek hukum dapat diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Menurut
Algra subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi
mempunyai wewenang hukum (recht bebevoeigheid). Wewenang hukum adalah
kewenangan untuk mempunyai hak dan kewajiban untuk menjadi sumber-sumber dari
hak.
Subjek hukum terdiri dari orang (naturliijk person) dan badan hukum (recht
persoon). Yang dimaksud dengan orang/manusia adalah subjek hukum dalam arti
biologis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya yang berakal dan lainnya
termasuk mempunyai keinginan kawin sebagai manusia pribadi ciptaan Tuhan.
Pengakuan sebagai subjek hukum juga dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 KUH Per
: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali
kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap
tidak pernah ada.” Dalam hal ini, dapat kita ketahui bahwasannya pengakuan atas subjek
hukum sudah ada sejak anak masih dalam kandungan, jika kepentingan anak
menghendaki. Contoh : menerima warisan, menerima hibah.
Badan hukum (recht persoon) adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi
berdasarkan hukum, yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi, namun tidak
memiliki akal, perasaan dan lainnya serta tidak dapat menerima warisan sebagaimana
manusia pribadi. Menurut Salim HS, mengatakan bahwa badan hukum adalah kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan
serta hak dan kewajiban. Adapun unsur-unsur dalam badan hukum:
1. Mempunyai perkumpulan
2. mempunyai tujuan tertentu
3. Mempunyai harta kekayaan
4. Mempunyai hak dan kewajiban
5. Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat

Pembagian badan hukum menurut pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas
3 macam:
1. Badan hukum yang “diadakan” oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Bank-bank yang didirikan oleh Negara dan
sebagainya.
2. Badan hukum yang “diakui” oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan
sebagainya.
3. Badan hukum yang “didirikan" untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti P.T., koperasi,
dan lain sebagainya.

Berdasarkan segi kewenangan hukum yang diberikan kepada badan hukum, maka
badan hukum dapat diklasifiksikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. Badan Hukum Publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh
pemerintah, diberi wewenang menurut Hukum Publik, misalnya departemen
pemerintah, lembaga negara seperti MPR, DPR.
2. Badan Hukum Privat (keperdataan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh
pemerintah atau swasta, diberi kewenangan menurut hukum perdata. Contoh
PT, Yayasan.
B. OBJEK HUKUM

Objek hukum menurut pasal 499 KUH perdata, yakni benda. Benda adalah segala

sesuatu yang berguna bagi subjek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok
permasalahan dan kepentingan bagi para subjek hukum atau segala sesuatu yang dapat

menjadi objek dari hak milik (eingdom)1

Pengertian benda dalam arti luas dianut oleh KUH Perdata, sebagai KUH mana

yang tercantum di dalam Pasal 499 KUH Perdata. Pasal 499 Perdata berbunyi:

"Kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik

Benda sebagai objek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam: benda yang berwujud,

1
Elsi Kartika Sari, Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2008, h.10
dan benda yang tidak dapat diraba. Benda yang berwujud adalah benda yang dapat

dilihat dan diraba dengan pancaindra, seperti tanah, rumah, binatang. dan lain-lain,

sedangkan benda yang tidak dapat diraba merupakan hasil pikiran dari seseorang, seperti

hak pengarang, hak octroi, dan semua hak-hak tagihan (piutang), dan sebagainya.

Namun, pengertian benda sebagai objek hukum yang dianut di dalam KUH Perdata

adalah benda berhubungan dengan hak-hak yang melekat pada barang, dan hak- hak

yang bersifat inmateriil (tak dapat diraba).

Macam-Macam Benda di dalam Pasal 503, 504 dan Pasal 505 KUH Perdata telah
entukan pembagian benda Benda di dalam ketentuan itu dibagi dua macam, yaitu:2

a. menjadi benda bertubuh dan tidak bertubuh

b. benda bergerak dan tidak bergerak

Di dalam berbagai literatur dikenal empat macam benda. Yaitu

a. benda yang dapat diganti (contoh uang) dan yang tidak dapat diganti contoh seekor

kuda

b. benda yang dapat diperdagangkan (praktis semua barang dapat diperdagangkan dan

yang tidak dapat diperdagangkan atau di luar perdagangan (contoh jalan dan

lapangan umum)

c. benda yang dapat dibagi (contoh beras) dan tidak dapat dibagi (contoh kerbau)

d. benda bergerak dan tidak bergerak (Subekti, 1984: 61: Vollmar, 1983)

Dari keempat pembagian itu, maka pembagian yang paling penting adalah

pembagian benda dalam benda bergerak dan tidak bergerak. Ada dua arti penting dari

pembagian antara benda bergerak, yaitu:3

a. penting untuk penyerahan; oleh karena untuk penyerahan benda tidak bergerak

biasanya diperlukan pendaftaran, seperti tanah haru didaftarkan di Kantor Badan

2
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafik, Jakarta, 2008, h. 97

3
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafik, Jakarta, 2008, h. 97-98
Pertanahan Nasional (BPN) tingkat Kabupaten/Kotamadya. Penyerahan untuk

benda bergerak biasanya dilakukan dengan penyerahan nyata.

b. penting untuk pembebanan atau jaminan

Perbedaan benda bergerak dan tidak bergerak

a. Benda Bergerak

Benda bergerak dibedakan menjadi sebagai berikut.

a) Benda bergerak karena sifatnya, menurut Pasal 509 KUH Perdata adalah

benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat
berpindah sendiri contohnya ternak.

b) Benda bergerakkarena ketentuan undang-undang, menurut Pasal 511

KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak

memungut hasil (vruchtgebrui atas benda-benda bergerak, hakpakai

(gebruik atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.4

b. Benda tidak bergerak

Benda Tidak Bergerak Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi, seperti

berikut.

a) Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu

yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan arca, dan

patung.

b) Benda tidak bergerak karena tujuannya,yakni mesin alat-alat yang dipakai

dalam pabrik Mesin benda bergerak, tetapi oleh yang pemakainya

dihubungkan atau dikaitkan pada benda tidak Benda yang merupakan

benda pokok

c) benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ini berwujud hak-

hak atas benda-benda yang tidak bergerak, misalnya hak memunggut hasil

4
Elsi Kartika Sari, Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2008, h.11
atas benda yang tidak bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak, dan

hipotik.

Dengan demikian, membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak ini

penting, artinya karena berhubungan dengan empat hal adalah pemilikan (Bezit),

penyerahan (levering), daluwarsa (verjaring), dan pembebanan (bezuwaring). 5

a) Pemilikan (Bezit)

Pemilikan (bezit) yakni, dalam hal benda bergerak berlaku asas yang tercantum

dalam pasal 1977 KUH Perdata yaitu beziter dari barang bergerak adalah
eigenaar (pemilik) dari barang tersebut, sedangkan untuk benda tidak bergerak

tidak demikian halnya.

b) Penyerahan (levering)

Penyerahan (levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan

secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda

tidak bergerak dilakukan balik nama.

c) Daluarsa (Verjaring)

Daluwarsa (verjaring), yakni untuk benda-benda bergerak tidak me ngenal

daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan eigendom (pemilikanya) atas benda

bergerak tersebut, sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak mengenal adanya

daluwarsa.

d) Pembebanan (Bezwaring)

Pembebanan (bezwaring), yakni terhadap benda bergerak dilakukan dengan pand

(gadai, fidusia), sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak

tanggungan untuk tanah serta benda – benda selain tanah digunakan fidusia.6

5
Elsi Kartika Sari, Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2008, h.12

6
Elsi Kartika Sari, Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2008, h.12
C. PERBUATAN HUKUM
Perbuatan Hukum adalah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan
sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum berarti setiap
perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh
hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum.

Adapun ciri hukum


1. Bersifat mengatur kehidupan masyarakat
2. Terdapat larangan maupun perintah
3. Mengandung konsekuensi atau sanksi bagi orang yang melanggar nya

 Perbuatan hukum, terdiri dari:


1. Perbuatan hukum sepihak
 Pembuatan surat wasiat (Pasal 875 KUHPer)
 Pemberian hibah sesuatu benda (Pasal 1666 KUHPer).
2. Perbuatan hukum dua pihak,
Persetujuan jual-beli (Pasal 1457 KUH Perdata), perjanjian sewa-
menyewa dan lain-lain.

 Bukan perbuatan hukum ini ada dua macam:


 Perbuatan hukum yang tidak dilarang oleh hokum
1. Zaakwaarneming
Pasal 1354 KUH Perdata “Jika seseorang dengan sukarela tanpa
ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu
orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang ia
wakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.”
2. Onverschuldigde betaling
Pasal 1359 KUH Perdata. “menyebutkan bahwa : Tiap-tiap
pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah
dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali.”

 Perbuatan yang dilarang oleh hukum (onrechtmatige daad)


Adalah sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada
orang lain dan mewajibkan si pelaku/pembuat yang bersalah untuk
mengganti kerugian yang ditimbulkannya (Pasal 1365 KUH Perdata).
Perbuatan melawan hukum tersebut diatur dalam Pasal 1365-1380 KUH
Perdata.
 Akibat hukum
Segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena
kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan
atau dianggap sebagai akibat hukum.

 Akibat hukum ini dapat berwujud:


1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
2. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih
subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak
dan kewajiban pihak yang lain.
3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

D. CAKAP MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM


Kecakapan atau cakap = sanggup melakukan sesuatu , mampu atau dapat
mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan sesuatu. Faktor-faktor yang
mempengarui kecapakan :

 Psikologis
 Fisiologis
 Lingkungan

Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan


perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belum seseorang tersebut dikatakan
dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam
menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk
pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk
dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga
kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan
sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum.
Hukum perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan zaman kolonial
dikaitkan dengan golongan penduduk sehingga berlaku bermacam macam patokan umur
dewasa bagi masing-masing golongan penduduk. Menurut pasal 2 KUH Perdata manusia
menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal.
Tetapi Undang-undang menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht)
adalah cakap.
Khusus terkait dengan ketidakcakapan anak yang belum dewasa dalam
melakukan perbuatan hukum, maka dalam hukum perdata telah ditentukan pihak-pihak
yang dapat dikatakan sebagai “anak yang telah dewasa dalam melakukan perbuatan
hukum” yaitu diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyebutkan orang yang belum
dewasa menurut hukum adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan
tidak kawin sebelumnya. Dari uraian pasal tersebut disimpulkan bahwa anak yang
dewasa adalah:
1. Sudah genap berumur 21 tahun,

2. Sudah kawin, meskipun belum genap 21 tahun,

3. Tidak berada di bawah pengampuan.

Adapun Undang-Undang No. I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Disebutkan


dalam pasal 47 ayat (1), anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan adalah
yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada
di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.
Maka dari bunyi ketentuan pasal 47 ayat (1) di atas, dapat di pahami bahwa
seseorang yang usianya belum sampai pada 18 tahun di anggap belum cakap hukum dan
tentunya belum bisa di bebani suatu tanggung jawab hukum. Namun menjadi ketentuan
lain apabila seseorang yang telah melangsungkan perkawinan meskipun secara usia
belum sampai pada 18 tahun, maka akan dianggap telah dewasa atau cakap hukum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan
dengan kecakapan bertindak dalam hukum, dapat disimpulkan, bahwa menurut KUH
Perdata, paling tidak menurut anggapan KUH Perdata, orang-orang yang disebutkan di
atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih sepanjang orang tersebut
tidak bercacat fisik maupun mental dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum
mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari akibat hukum
dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum.

DAFTAR PUSTAKA

HS, Salim. 2008.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafik.

Sari, Elsi Kartika, dan Advendi Simanunsong. 2008. Hukum Dalam Ekonomi.

Jakarta: PT Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai