Anda di halaman 1dari 74

1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Perwujudan ketahanan pangan secara nasional dimulai dari pemenuhan


pangan bagi rumahtangga di wilayah terkecil yaitu perdesaan sebagai basis
kegiatan sektor pertanian. Basis pembangunan perdesaan bertujuan sebagai
perwujudan ketahanan pangan pada suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan
sarana dan prasarana mulai dari aspek ketersediaan pangan sampai pada konsumsi
pangan untuk mencukupi dan mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga. Di
samping itu membangun wilayah perdesaan sangat penting terutama dalam hal
penyediaan bahan pangan untuk penduduk, penyediaan tenaga kerja untuk
pembangunan, penyediaan bahan baku untuk industri dan mengupayakan adanya
ekspor. Oleh karena itu desa merupakan sasaran program untuk masuknya
berbagai program yang mendukung terwujudnya ketahanan pangan.
Menurut Undang-Undang RI No.18 tahun 2012 tentang pangan, pasal 1
ayat 4 yang menyatakan bahwa, Ketahanan Pangan adalah suatu kondisi dimana
terpenuhinya pangan bagi suatu Negara sampai dengan perseorangan atau
rumahtangga, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik kuantitas
maupun mutunya, aman dari segala bahan yang membahayakan kesehatan,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sesuai dengan keyakinan dan budaya
masyarakat, untuk mendapatkan hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkesinambungan.
Solusi permasalahan kecukupan pangan di banyak negara dilakukan
dengan meningkatkan hasil produksi pertanian. Peningkatan produksi pangan
tidak selalu menjamin bahwa suatu negara akan terbebas dari kekurangan pangan.
Kekurangan pangan dan malnutrisi merupakan permasalahan yang sering timbul
pada negara tersebut, yang seringkali mengandalkan sektor pertanian (Committe
on World Food Security, 1998). Hasil temuan webb (2002) yang menyatakan
bahwa peningkatan penawaran makanan tidak dapat menghapuskan permasalahan
kelaparan. Produksi makanan yang cukup pada akhir abad dua puluh untuk
memenuhi permintaan minimum dari kebutuhan pangan dunia hanya akan
berhasil jika didukung dengan sistem distribusi yang baik. Pada tahun 1990 an
beban biaya sosio ekonomi dari pemaksimalan produksi pertanian menjadi
2

ancaman serius bagi tujuan ketersediaan pangan jangka panjang. Pertanian telah
menjadi suatu siklus penuh dan dilihat sebagai permasalahn kekurangan pangan
yang terus meningkat, dan bukan lagi solusi bagi kekurangan pangan. ketahanan
pangan tidak akan selesai hanya dengan menghasilkan produksi pangan yang
semakin meningkat seperti yang dilakukan tahun sebelumnya.
Memerangi permasalahan kekurangan pangan dan malnutrisi memerlukan
banyak perhartian tetapi juga memerlukan inventasi teknologi kapital yang
memungkinkan bagi masyarakat miskin untuk menjadi lebih produktif, dan
memerlukan kebijakan terintegrasi yang melibatkan banyak sektor. Data yang
dikaitkan dengan kekurangan pangan dan permasalahan malnutrisi merupakan hal
penting yang berkaitan dengan perencanaan yang baik, monitoring dan evaluasi.
Masalah-masalah dalam ketahanan pangan sebenarnya tidak lagi
sepenuhnya hanya bersumber dari masalah ketersediaan dan akses pasar, tetapi
juga termasuk akibat kurangnya kesadaran masyarakat terhadap konsumsi pangan
yang sehat. Oleh karena itu masalah penyediaan pangan bisa melalui pendekatan
program swasembada pangan, akan tetapi secara empiris masih menimbulkan
masalah yaitu sulitnya mempertahankan secara konsisten kebijakan swasembada
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Disamping itu sampai tahap tertentu
program swasembada pangan dapat menyebabkan terabaikannya prinsip
keunggulan komparatif dan kompetitif dari suatu komoditi tertentu. Oleh karena
itu program swasembada pangan dengan cara substitusi impor akan tetap
memerlukan biaya yang besar sehingga sulit untuk dilakukan bagi Negara
berkembang seperti Indonesia.
Mengingat konsep ketahanan pangan berdasarkan ketersediaan pangan
yang cukup, baik dalam jumlah, kualitas, aman, merata, dan terjangkau, maka
tantangan dalam penerapan konsep ketahanan pangan dalam kenyataannya masih
banyak kelompok masyarakat yang termasuk kondisi rawan pangan. Terjadinya
rawan pangan berdasarkan kelompok masyarakat maupun wilayah tertentu dapat
dikategorikan sebagai rawan pangan kronis dan rawan pangan akut. Masalah
rawan pangan kronis lebih disebabkan oleh faktor struktural seperti letak
geografis yang terisolasi atau faktor sosial-ekonomi-budaya. Sedangkan rawan
pangan akut lebih disebabkan oleh terjadinya bencana yang sulit diduga, seperti
3

bencana alam, gangguan keamanan dan keadaan darurat lainnya. Dengan


demikian prioritas penanganan pada kelompok masyarakat tertentu dan wilayah
tertentu yang termasuk rawan pangan merupakan suatu hal yang mutlak
dilakukan.
Strategi Badan Ketahanan Pangan dalam melaksanakan pembangunan
pembangunan ketahanan pangan tahun 2010-2014 diarahkan dalam pencapaian
tujuan dan sasaran dalam pemantapan ketahanan pangan (food security) tingkat
masyarakat dengan mengacu pada penerapan ketujuh (7) gema revitalisasi
pembangunan pertanian. Di samping itu, strategi untuk menuju ketahanan pangan
dan kemandirian pangan juga mengacu pada “Lima Prinsip Roma (Five Rome
Principles for Sustainable Global Food Security) yang dihasilkan melalui KTT
Pangan tahun 2009, yaitu (1) Memberikan dukungan dan bantuan internasional
kepada negara berkembang untuk menerapkan program-program secara nasional
yang bertujuan untuk membangunan sektor pertanian dan mencapai ketahanan
pangan; (2) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi di tingkat regional, nasional
dan internasional dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang
terkait dengan sektor pertanian dan ketahanan pangan; (3) Menerapkan strategi
comprehensive twin-track approach untuk ketahanan pangan dengan beberapa hal
yaitu: (a) segera mengambil langkah-langkah jangka pendek untuk membantu
kelompok rentan, dan (b) menerapkan kebijakan jangka menengah dan panjang
untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di sektor pertanian, mencapai
ketahanan pangan, dan mengatasi akar permasalahan dari masalah kelaparan dan
kemiskinan; (4) Sepakat untuk meningkatkan effiensi, koordinasi, dan effektifitas
badan-badan multilateral yang menangani pertanian dan ketahanan pangan; (5)
Meningkatkan investasi dan pendanaan untuk sektor pertanian dan ketahanan
pangan, termasuk dengan menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas dalam
anggaran belanja negara.
Berkaitan dengan program diversifikasi pangan seperti disebutkan di atas,
baik dari aspek konsumsi, ketersediaan maupun produksi pangan permasalahan
yang masih perlu diperhatikan adalah mengatasi masalah penduduk yang masih
mengalami resiko gizi sebesar (4,7%) serta gizi kurang dan gizi buruk sekitar
(14,6%). Demikian juga halnya dengan perencanaan dan pengelolaan penyediaan
4

pangan perlu memperhatikan keanekaragaman pangan, yang bertujuan untuk


mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan. Berdasarkan kelompok komoditas,
masalah ketersediaan pangan yang masih tertinggal berdasarkan norma pola
pangan harapan (PPH) adalah pangan dari hewani, sayur dan lemak yang masih
dalam kategori defisit. Permasalahan ini menggambarkan bahwa tantangan bagi
diversifikasi pangan masih bersumber dari keterbatasan di sektor produksi baik
karena adanya peralihan penggunaan lahan untuk non pertanian maupun masalah
yang ditimbulkan oleh skala ekonomi yang semakin kecil. Disamping itu,
permasalahan yang lain adalah masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat
terhadap pola konsumsi yang sehat.
Berkaitan dengan distribusi pangan, permasalahan yang ada bersumber
dari ketersediaan dan distribusi pangan yang ada belum merata antar daerah, dan
rumahtangga yang hingga saat ini masih terpusat pada ibu kota propinsi, kota
kabupaten dan belum terjangkau ke daerah pedesaan. Selain itu faktor geografis
seperti banyaknya kepulauan dan dengan akses sulit terjangkau, letak pasar yang
sangat jauh, ketersediaan infrastruktur yang masih sangat kurang (baik
infrastruktur sosial ekonomi maupun fisik terutama transportasi), akan
menyebabkan lambatnya arus barang untuk konsumsi maupun produksi.
Upaya mendorong terciptanya distribusi pangan nasional yang merata,
dalam rangka menciptakan ketahanan pangan kuat, sebenarnya merupakan tugas
lintas sektoral. Untuk itu diperlukan adanya hubungan yang lancar dan terpadu
antara lembaga pemerintah maupun dengan pelaku niaga. Keberhasilan suatu
sistem distribusi yang merata, juga dipengaruhi oleh teknologi transportasi dan
pemasaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
pemanfaatan inovasi teknologi di bidang transportasi maupun pemasaran harus
ditingkatkan secara terus-menerus.
Produksi pangan untuk keperluan rumahtangga sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain seperti; (1) pemilihan tanaman, (2) neraca uang dan tanaman
pangan, (3) sumberdaya produksi-produksi, tersedianya tanah untuk tanaman
pangan, (4) pembagian kerja dalam keluarga untuk pekerjaan usahatani, (5)
besarnya panen dan kualitas produksi, 6) penjualan hasil tanaman, (7) kerugian
ketika panen dan (8) kerugian ketika pasca panen. Demikian juga faktor
5

pengeluaran uang untuk pangan rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor


yaitu; (1) subsidi pangan oleh pemerintah, (2) pangan yang dibagi-bagikan
diantara anggota rumahtangga masyarakat pedesaan (3) jumlah dan ragam pangan
yang dibeli, (4) harga pangan di pasaran, (5) persediaan pangan yang dapat
diterima di pasaran, (6) jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta
(7) pendapatan rumahtangga dari berbagai sumber. Disamping dipengaruhi oleh
tujuh faktor besar tersebut, konsumsi pangan sehari-hari juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain yaitu : (1) cara menyimpan pangan, ( 2) tersedianya bahan
bakar, (3) beban pekerjaan, (4) waktu yang disediakan untuk menyiapkan dan
penyediaan pangan baik dari jumlah dan ragamnya serta kebiasaan makan
tradisional seperti pembagian makanan kepada anggota-anggota rumahtangga.
Kondisi ketahanan pangan Provinsi Sulawesi Selatan terlihat bahwa
pertumbuhan produksi pangan sumber pangan nabati mengalami peningkatan,
kecuali ubikayu mengalami penurunan 7,86 persen, kacang tanah 9,80 persen ,
kacang hijau 14,88 persen dan buah-buahan 0,99 persen. Komoditas yang
mengalami kenaikan adalah padi 9,11 persen, jagung 20,00 persen, ubi jalar 7,94
persen, kedelai 47,62 persen dan sayur-sayuran 16,08 persen. Sementara itu,
pangan sumber hewani yang mengalami kenaikan cukup tinggi yakni ikan sebesar
51,59 persen, telur 24,44 persen dan daging unggas 24,44 persen. Sedangkan
daging ruminansia mengalami penurunan sebesar 10,69 persen.
Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang memiliki beragam tipe
agroekosistem, sehingga permasalahan ketahanan pangan pada setiap
agroekosistem tersebut juga menunjukkan permasalahan yang berbeda. Untuk
tipe agroekosistem pesisir permasalahan utama yang ada yaitu ketersediaan
pangan yang kurang stabil, tingkat upah dan pendapatan rumahtangga juga sangat
rendah. Untuk tipe agroekosistem persawahan permasalahan yang muncul yaitu
penyerapan pangan yang rendah, dan status gizi rumahtangga masih rendah, serta
upah dan keragaan pekerjaan sangat rendah. Untuk tipe agroekosistem
pegunungan permasalahan yang muncul adalah akses dan ketersediaan pangan
yang rendah serta pendapatan rumahtangga yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas dipandang penting untuk melakukan penelitian
mengenai kondisi social ekonomi petani dan tingkat akses pangan rumahatngga
6

petani berdasarkan skala usahatani pada tipe agroekosistem persawahan di


Kabupaten Luwu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana kondisi akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu
b. Bagaimana tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian
ini adalah:
a. Mengetahui kondisi akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu
b. Menganalisis tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengembangkan wawasan dalam kegiatan penelitian sehubungan
dengan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi bagi dosen.
b. Bagi pemerintah Kabupaten Luwu, penelitian ini berguna sebagai sumbangan
pemikiran dan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan khususnya
yang berkaitan dengan akses pangan rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu.
c. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah
pengetahuan mengenai komponen dan tingkat akses pangan rumahtangga
petani pada Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu.
d. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
7

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Konsep Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan (food security) adalah suatu keadaan dimana pangan


bagi rumahtangga atau masyarakat terpenuhi secara berkelanjutan, yang tercermin
dari tersedianya bahan pangan yang cukup, baik kuantitasnya maupun mutunya,
aman, merata dan terakses oleh masyarakat (Deptan 2010). Pangan merupakan hal
yang penting dalam bidang pertanian, karena secara harfia, merupakan salah satu
kebutuhan paling substansial dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Permasalahan konsumsi pangan dalam pemenuhan kebutuhan manusia akan tetap
merupakan catatan penting dalam pembangunan perekonomi di Indonesia. Status
konsumsi pangan bagi penduduk Indonesia sering dipakai sebagai indikator
tingkat kesejahteraan masyarakat. Krisis penyediaan pangan sangat sensitif dalam
dinamika kehidupan sosial politik. Oleh karena itu, ketahanan pangan dalam
masyarakat menjadi sangat penting.
Undang-Undang Pangan No, 7 Tahun 1996 menjelaskan bahwa, pangan
merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar yang pemenuhannya
merupakan bagian dari Hak Manusia (Kantor Meneg pangan, 1997). Dari undang-
undang tersebut juga sejalan dengan salah satu pasal dalam Human Right
Declaration 1948 dan World Food Conference on Human Right 1993
(Hardinsyah, 1999). Pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM)
mempunyai arti bahwa negara ikut bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan
pangan seluruh masyarakat (Grafika, 2000). Selain itu alasan dari HAM adalah
bahwa pemenuhan kebutuhan pangan juga menentukan status gizi dan kualitas
sumberdaya manusia, serta sebagai tahanan sosial dan ekonomi serta politik suatu
bangsa. Oleh karena itu pembangunan pangan merupakan salah satu yang perlu
mendapat perhatian dari pelaksanaan pembangunan nasional.
Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang sangat krusial,
terutama bagi Negara-negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak
seperti Indonesia, dimana pada Tahun 2020 jumlah penduduk sebesar 220 juta
jiwa (Saragih, 1998) dan diperkirakan sebanyak 270 juta jiwa pada Tahun 2025
(Wibowo, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sejarah pembangaunan di
Indonesia memberikan indikasi bahwa masalah ketahanan pangan sangat erat
8

kaitannya dengan stabilitas perekonomi Negara (khususnya inflasi), biaya


produksi ekonomi agregat (biaya hidup) dan stabilitas politik nasional. Olehnya
itu, ketahanan pangan menjadi syarat mutlak dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional.
Ketahanan pangan menjadi fokus masalah yang telah dikenal luas di dalam
forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi yang penting
dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami banyak perubahan
sesuai kondisi sosial, ekonomi poitik, dan budaya. Pada tahun 1970-an, aspek
ketersediaan pangan menjadi perhatian utama dalam ketahanan pangan, namun
mulai Tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumahtangga dan
individu. Kemudian memasuki Tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai
memasukkan aspek kelestarian lingkungan dan keberlanjutan (Handewi dan
Ariani, 2002).
Demikian juga FAO (1997), mendefinisikan konsep ketahanan pangan
sebagai situasi dimana setiap rumahtangga atau masyarakat mempunyai akses
terhadap pangan, baik secara fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan
bagi seluruh anggota keluarganya, dan rumahtangga tidak beresiko untuk
mengalami kehilangan terhadap kedua akses tersebut. Konsep ini mencakup
Ketersediaan pangan yang cukup, adanya stabilitas pangan dan akses pangan
terhadap pangan utama. Ketersediaan pangan yang memadai mengandung
pengertian bahwa secara merata pangan tersedia dalam jumlah tertentu yang
mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Sedangkan stabilitas merujuk pada
kondisi sesulit apapun (misal musim paceklik) konsumsi pangan dapat terpenuhi
dengan baik dan berkelanjutan. Sementara itu akses pangan mengacu pada fakta
bahwa masih banyak masyarakat yang mengalami kelaparan karena ketiadaan
sumberdaya untuk memproduksi pangan atau ketidakmampuan untuk membeli
pangan sesuai kebutuhan (Nanga, M, 2006).
Mais Ilsan, 2015, bahwa akses pangan rumahtangga akan ditentukan oleh
daya beli rumahatngga untuk membeli pangan, dimana daya beli tersebut akan
tergantung pada pengahasilan total yang diperoleh rumahtangga. Penghasilan
rumahtangga terdiri dari pendapatan kepala rumahatngga, pendapatan istri dan
9

pendapatan anggota rumahtangga produktif yang telah bekerja dan memiliki


penghasilan untuk tambahan dari pendapatan rumahtangga.
Definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas adalah “setiap
orang di setiap saat memiliki aksesbilitas secara fisik dan ekonomi terhadap
pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka agar dapat hidup sehat
dan produktif” (World Bank, 1986, Von Braun et al, 1992 dan Chung et al, 1997).
Kalimat “setiap saat” dengan jelas menunjukkan bahwa “kontinyuitas” adalah
elemen yang penting dalam ketahanan pangan. Program ketahanan pangan tidak
hanya mementingkan kebutuhan orang saat ini dan periode terbatas, untuk waktu
dan generasi mendatang. Definisi ini secara implisit juga mencakup empat elemen
ketahanan pangan (Maxell, 1996) yang meliputi (a) ketersediaan, (b) aksesbilitas,
(c) keamanan, dan (d) keberlanjutan.
Aspek lain dari ketahanan pangan berkaitan dengan keragaman sumber
pendapatan. Analisis keragaman sumber pendapatan, ketahanan pangan dan
kemiskinan tidak terlepas dari permasalahan kerawanan pangan dan konsep
ketahanan pangan. Oleh karena itu tingkat pendapatan merupakan salah satu
dimensi dan ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan batas garis
kemiskinan. Selain itu tingkat pendapatan juga merupakan faktor yang penting
dalam upaya pemantapan ketahanan pangan dan upaya penanggulangan
kemiskinan (Maleha, 2008).
Dalam rangka mengatasi kondisi rawan pangan, umumnya rumahtangga
memiliki kemampuan dan pengalaman untuk mengatasinya yang disebut strategi
coping (coping mechanism). Penelitian Adi dkk (1999), mengatakan rumahtangga
dalam mengatasi kondisi rawan pangan yaitu melalui alat tukar fisik, biologi dan
benda (materi), dengan penggunaan alat tukar fisik ini sangat dominan yaitu
sebesar 95,80%. Sementara itu Hafera dkk (2001) menemukan bahwa, cara
rumahtangga dalam mengatasi rawan pangan (coping mechanism) dengan
penggunaan alat tukar berupa fisik (tenaga), benda hidup dan bersifat materi.
Selain itu juga diteliti tentang cara rumahtangga mengatasi kekurangan pangan
pada masa paceklik melalui pembelian makanan murah, membeli dengan cara
kredit, mendapatkan bantuan dari keluarga dan tetangga, mengurangi makanan
jajanan serta mengurangi frekuensi makanan. Coping mechanism yang paling
10

banyak digunakan adalah membeli dengan cara kredit serta mengurangi frekuensi
makan.
Anderson, et al (1996) dalam Maleha, et al (2003) mengatakan bahwa
perhatian dunia terhadap masalah ketahanan pangan mulai terlihat sejak kenaikan
harga bahan pangan utamanya beras dan gandum, yang sangat drastis terjadi pada
tahun 1995. Kegagalan panen akibat iklim yang tidak mendukung serta
pertumbuhan penduduk yang masih tergolong tinggi menyebabkan terjadinya
penurunan yang sangat drastis pada stok bahan pangan per kapita yaitu pada
periode tahun 1995-1996. Keadaan ini semakin diperburuk oleh tingkat erosi dari
sumberdaya lahan pertanian yang berakibat pada menurunnya produktivitas lahan
pangan di satu sisi serta peningkatan permintaan besar-besaran oleh negara yang
berpenduduk padat seperti Cina, India dan Indonesia. Kekhawatiran terhadap
ketahanan pangan ini juga dilontarkan oleh Barichello (2000) dalam Maleha, et al
(2003) yang mengatakan bahwa pangan sebenarnya diproduksi secara luas, oleh
karena itu dunia seharusnya terjadi surplus pangan, akan tetapi hingga saat ini
masih banyak orang yang kelaparan.
II.2 Sistem Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan secara umum terdiri dari 4 subsistem yaitu : subsistem
ketersediaan pangan (food availability), subsistem akses pangan (food access),
subsistem penyerapan pangan (food utilization) dan susbsustem stabilitas pangan
(food stability), sedangkan status gizi (nutritial status) merupakan outcome
ketahanan pangan (Gross, 2000 dan Weingartner, 2004, dalam Hanani Nuhfil,
2012), seperti disajikan pada gambar 1.
Ketersediaan pangan (food availability) merupakan subsistem ketahanan
pangan yang terkait dengan sistem produksi baik produksi sendiri atau hasil yang
diproduksi daerah setempat maupun pasokan dari luar wilayah atau impor. Selain
itu ketersediaan pangan suatu wilayah juga dapat dihasilkan dari cadangan pangan
rumahtangga dan bantuan dari pihak tertentu dalam bantuan pangan.
Badan Ketahanan Pangan Republik Indonesia mempunyai tugas untuk
melaksanakan pengkajian, pengembangan dan koordinasi di bidang pemantapan
ketahanan pangan wilayah dan rumahtangga, memiliki potensi dan peluang untuk
mendorong pemantapan ketersediaan pangan mulai pada tingkat regional sampai
11

pada tingkat nasional. Lembaga ini berperan untuk: (a) peningkatan koordinasi
dalam perumusan kebijakan yang terkait dengan produksi, ketersediaan dan
penanganan kerawanan pangan (b) penyempurnaan sistem pemantapan produksi
pangan dan ketersedian pangan dalam upaya mengantisipasi rawan pangan (c)
mengembangkan program kemandirian pangan pada desa rawan pangan serta (d)
pengembangan cadangan pangan oleh

Produksi sendiri, Ketersediaan pangan


I. pasokan luar,
(Food Availability)
cadangan pangan,
bantuan pangan
II.
Akses ekonomi, fisik, Akses Pangan Stabilitas
dan sosial
III. (Food Availability) (Stability)

Pemenuhan energi,
IV.air dan kesehatan Penyerapan Pangan
gizi,
V. lingkungan (Food Utilization)

Kerawanan pangan,
VI. Status gizi
tingkat gizi balita,
kematian
VII. bayi, harapan (Nutritional status)
hidup

Gambar 1. Subsistem Ketahanan Pangan (Sumber: Hanani Nuhfil, 2012)


Kebijakan ketahanan pangan secara nasional dalam aspek ketersediaan
pangan dan kerawanan pangan diarahkan pada berbagai kegiatan yaitu: (a)
meningkatkan dan menjamin kelangsungan produksi pangan dalam negeri menuju
kemandirian pangan secara sustainable; (b) mengembangkan kemampuan
pengelolaan cadangan pangan dari pemerintah dan masyarakat secara sinergis dan
partisipatif serta berkesinambungan; dan (c) mencegah dan menanggulangi
kondisi kerawanan pangan secara dinamis.
Aspek yang terkait dengan peningkatan sistem distribusi pangan dan
stabilitasi harga pangan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: (1)
mengembangkan sistem distribusi pangan dan pemasaran pangan yang sustainable
untuk menjamin stabilitas pasokan pangan sehingga harga pangan stabil; (b)
12

mengembangkan koordinasi sinergis lintas sektoral dalam pengelolaan distribusi,


akses dan harga pangan; dan (c) meningkatkan peran serta kelembagaan pangan
bagi masyarakat dalam kelancaran distribusi, kestabilan harga dan akses pangan.
Untuk mencapai arah pembangunan nasional dengan program-program
yang ditawarkan Badan Ketahanan Pangan Nasional maka diperlukan pendekatan
sistem untuk pembangunan ketahanan pangan, seperti ditampilkan pada Gambar
2.
Penganekaragaman Produksi Pangan
Kesempatan kerja

Pendapatan Masyarakat

Agroindustri pangan

Akses
Ketersediaan Pangan
Pangan

Penganekaragaman
Konsumsi pangan
Penganekaragaman
Kemandirian Pangan Konsumsi pangan

Candangan Pangan Stabilitas harga


Pangan

Penyerapan
Status Gizi Pangan
Rumah
Tangga

Bisnis Pangan

Gambar 2. Pendekatan Sistem Pembangunan Ketahanan Pangan di Indonesia


( Hanani, Nuhfil. 2012).
Gambar 2 menunjukkan bahwa pembangunan ketahanan pangan
rumahtangga harus memperhatikan 4 komponen penting yaitu ketersediaan
pangan, akses pangan, penyerapan pangan dan status gizi rumahtangga.
Disamping itu faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu peningkatan
keanekaragaman pangan, kemandirian pangan, cadangan pangan, peningkatan
13

kesempatan kerja, peningkatan pendapatan rumahtangga, stabilitas harga pangan


serta pengembangan agroindusri pangan dan bisnis pangan.
Berdasarkan pendekatan system pada gambar 2 terdapat enam pilar dalam
pembangunan ketahanan pangan yaitu: (1) pengembangan penganekaragaman
pangan dimana pilar ini bertujuan untuk kemandirian pangan, menjaga plasma
nutfah dan peningkatan pendapatan masyarakat, (2) pengembangan cadangan
pangan dan stabilitas harga dimana pilar ini bertujuan menjaga pasok pangan antar
waktu dan antar daerah serta menjamin stabilitas harga bagi produsen dan
konsumen, (3) pengembangan agroindustri pangan dimana pilar ini bertujuan
sebagai usaha industrialisasi perdesaan, peningkatan nilai tambah, kesempatan
kerja dan peningkatan pendapatan, (4) pengembangan penganekaragaman
konsumsi pangan, dimana pilar ini bertujuan meningkatkan mutu pangan
masyarakat agar dapat hidup sehat dan produktif, (5) peningkatan kecukupan
pangan dan status gizi masyarakat, dimana pilar ini bertujuan mengurangi rawan
pangan dan kemiskinan msyarakat dan (6) pengembangan bisnis pangan, dimana
pilar ini bertujuan untuk mendorong komoditas pangan yang berdaya saing global
sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia.
Gambar 2 menunjukkan bahwa komponen ketahanan pangan rumahtangga
terdiri dari 4 komponen yaitu: ketersediaan pangan, akses pangan, penyerapan
pangan dan status gizi rumahtangga. Namun dalam penelitian disertasi ini
keempat komponen ketahanan pangan tersebut digunakan sebagai rujukan
penelitian. Oleh karena itu dalam penelitian ini dikembangkan variabel yang
terkait dari masing-masing komponen ketahanan pangan rumahtangga Untuk
komponen ketersediaan pangan terdiri dari 4 variabel yaitu: pangan produksi
sendiri, pangan yang dibeli, bantuan pangan dan cadangan pangan. Untuk
komponen akses pangan terdiri dari 5 variabel yaitu pendapatan kepala keluarga,
istri dan keluarga lainnya serta pengalokasian pendapatan untuk pangan dan non
pangan. Untuk komponen penyerapan pangan terdiri dari 4 variabel yaitu: tingkat
kecukupan energi, protein dan vitamin A serta penganekaraagaman pangan.
Untuk komponen status gizi rumahtangga terdiri dari 5 variabel yaitu: status gizi
balita, mortaalitas balita, usia harapan hidup, pola konsumsi pangan serta
pengetahuan ibu rumahtangga.
14

II.3 Komponen Akses Pangan


Akses pangan merupakan salah satu komponen dari pengukuran ketahanan
pangan rumahtangga. Menurut Mais Ilsan, 2015 akses pangan rumahtangga
petani terdiri dari beberapa variable yaitu pendapatan kepala rumahtangga,
pendapatan istri, pendapatan anggota rumahtangga, pengeluaran untuk pangan
dan pengeluaran untuk non pangan. Kelima variabel ini digunakan untuk
menentukan tingkat akses pangan rumahtangga petani ( Mais Ilsan, 2015).
Suryana (2001) menyatakan bahwa subsistem distribusi pangan mencakup
aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik secara fisik maupun ekonomi.
Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata mencakup aspek fisik
dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga
menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan oleh harga dan daya beli
masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per
kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang
nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum
menjamin kecukupan pangan bagi individu.
Akses pangan bergantung pada daya beli rumah tangga, yang pada
akhirnya merupakan fungsi dari akses mata pencaharian. Akses terhadap
matapencaharian berarti terjaminnya penghasilan dalam jangka waktu yang
panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung
pada akses terhadap mata pencaharian yang tetap. Mereka yang tidak
berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin
merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif
terhadap mata pencaharian yang memadai. Kelompok tersebut juga mempunyai
akses yang relatif rendah terhadap infrastuktur dasar seperti jalan, listrik, dan
sebagainya. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula
akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin tinggi
tingkat kerawanan pangan di daerah tersebut (Departemen Pertanian 2006).
Rumahtangga dapat dilihat sebagai sekumpulan individu manusia yang
melakukan aktivitas produksi dan konsumsi. rumahtangga juga dapat dilihat
sebagai kelembagaan sosial terkecil yang mana terdapat hubungan atau interaksi
antara individu yang satu dengan yang lain baik secara ekonomi, sosial dan
15

budaya pada suatu rumah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya. Secara
umum; ada dua fungsi pokok yang harus dilakukan oleh suatu rumahtangga yaitu
yang dikelompokkan sebagai fungsi ekonomi dan sosial.Pada fungsi ekonomi;
sesuai dengan teori ekonomi, rumahtangga dalam upaya memaksimumkan
kepuasan diasumsikan selalu bertindak rasional dalam mengalokasikan
sumberdaya dan dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta senantiasa terkendala
dengan anggaran.Ada bermacam-macam rumahtangga sesuai dengan aktivitas
yang dilakukan seperti rumahtangga pertanian, rumahtanggapengrajin,
rumahtangga nelayan dan rumahtangga lainnya.
Dalam rumahtangga di sektor pertanian, terdapat dua istilah yang sering
digunakan dalam berbagai literatur yaitu rumahtangga pertanian (agricultural
household) dan rumahtangga petani (farm household) (Singh et al, 1986; Ellis,
1988; Fariyanti, 2008).Pada sektor pertanian; rumahtangga petani menghadapi
persoalan yang lebih kompleks dalam hubungannya dengan produksi, konsumsi
dan alokasi tenaga kerjanya.
Menurut Nakajima (1986) serta Sadoulet dan de Janvry (1995); adanya
persoalan ekonomi rumahtangga yang sifatnya khas terutama dalam
mengintegrasikan keputusan produksi, konsumsi dan alokasi tenaga kerja.
Walaupun senantiasa dihadapkan dengan adanya kendala terutama kendala
anggaran (budget constraint) pada proses pengambilan keputusan baik keputusan
produksi, konsumsi maupun tenaga kerja namun tujuan yang ingin dicapai
rumahtangga dari pengambilan keputusannya adalah untuk
memaksimumkanutilitas. Berdasar tujuannya yang memaksimumkanutilitas; maka
ekonomi rumahtangga sangatlah unik dan amat sangat berbeda dibandingkan
dengan organisasi ekonomi pada perusahaan.Perusahaan sebagai suatu unit
ekonomi diasumsikan hanya mengupayakan memaksimumkan keuntungan.
Ekonomi rumahtangga memandang rumahtangga sebagai pengambil
keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi serta hubungannya dengan
alokasi waktu sehingga terjadi hubungan simultan antara produksi dan konsumsi.
Menurut Kusnadi (2005); adanya hubungan simultan antara kegiatan produksi
dengan konsumsi sebagai perilaku ekonomi rumahtangga memerlukan landasan
teori ekonomi yang unik.Salah satu keunikan tersebut menyangkut konsep alokasi
16

tenaga kerja yang selanjutnya dikembangkan oleh para ahli menjadi konsep
perilaku ekonomi rumahtangga pertanian (Elly, 2008). Becker (1965) dalam
papernya mengenai alokasi waktu rumahtangga mengembangkan teori tentang
perilaku rumahtangga yang menjadi dasar dari New Household Economics (Ellis;
1988; Mendola, 2007).Becker memulai teorinya dengan menyoroti waktu yang
tersedia bagi rumahtangga.Waktu menurut Becker merupakan suatu sumberdaya
yang bersifat langka bagi suatu rumahtangga sehingga persoalan alokasi dan
efisiensi waktu menjadi penting dalam pelajari kesejahteraan rumahtangga.
Teorinya memandang bahwa rumahtangga sebagai pengambil keputusan
dalam aktivitas produksi dan konsumsi, sangat berhubungan dengan alokasi waktu
dan pendapatan rumahtangga yang hubungannya bersifat simultan.Konsumsi yang
digunakan adalah bahwa dalam mengkonsumsi, kepuasan rumahtangga bukan
hanya dari barang dan jasa yang diperoleh di pasar, tetapi juga dari berbagai
komoditi yang dihasilkan rumahtangga. Asumsi lainya yang digunakan yaitu : (1)
waktu dan barang atau jasa merupakan unsur kepuasan, (2) waktu dan barang atau
jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi produksi rumahtangga, dan (3)
rumahtangga bertindak sebagai produsen dan sebagai konsumen (Becker, 1965).
Pengukuran akses pangan rumahtangga sebagai salah satu komponen dari
ketahanan pangan rumahtangga terdiri dari 5 variabel yaitu pendapatan kepala
rumahtangga(X1), pendapatan istri (X2), pendapatan anggota rumahtangga (X3),
alokasi pendapatan untuk pangan (X4) dan alokasi pendapatan untuk non pangan
(X5). Kelima variabel ini djadikan dasar untuk menentukan tingkat akses pangan
sebuah rumahtangga sebagai salah satu komponen dalam penentuan ketahanan
pangan rumahtangga petani, (Mais Ilsan, 2014). Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Mais Ilsan, 2014 menunjukkan bahwa tingkat akses pangan
rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan berada pada kategori
agak rawan pangan.
II.4 Kerangka Pikir Penelitian
Potensi dan tantangan untuk mewujudkan ketahanan, secara umum masih
cukup tersedia potensi sumberdaya alam dan belum dimanfaatkan secara optimal
untuk peningkatan produksi pangan yang berkelanjutan. Sedangkan dari kapasitas
sumberdaya manusia dan sumberdaya teknologi, memiliki potensi untuk
17

ditingkatkan, untuk mendukung pengembangan ketersediaan dan distribusi


pangan serta perbaikan konsumsi pangan.
Kondisi ekstisting Provinsi Sulawesi Selatan yang terkait dengan sistem
ketahanan pangan yaitu surplus produksi untuk produksi pangan seperti padi dan
jagung, tetapi kondisi untuk pangan lainnya masih rendah terutama pada wilayah
tertentu seperti agroekosistem pesisir dan pegunungan. Secara umum konsumsi
energy yang telah dicapai di Sulawesi Selatan hanya 50 % sedangkan target yang
diharapkan adalah bisa mencapai 80 %. Selain itu pola pangan harapan (PPH)
yang dicapai tahun 2011 sebanyak 86 % berarti kondisi ini masih tergolong
rendah sebab PPH standar harus mencapai 100 %.
Pertumbuhan produksi pangan sumber pangan nabati mengalami
peningkatan, kecuali ubikayu mengalami penurunan 7,86 persen, kacang tanah
9,80 persen , kacang hijau 14,88 persen dan buah-buahan 0,99 persen. Komoditas
yang mengalami kenaikan adalah padi 9,11 persen, jagung 20,00 persen, ubi jalar
7,94 persen, kedelai 47,62 persen dan sayur-sayuran 16,08 persen. Sementara itu,
pangan sumber hewani yang mengalami kenaikan cukup tinggi yakni ikan sebesar
51,59 persen, telur 24,44 persen dan daging unggas 24,44 persen. Sedangkan
daging ruminansia mengalami penurunan sebesar 10,69 persen.
Menurut Data Susenas (2009) konsumsi jagung mengalami penurunan
cukup tajam yaitu hanya 3,36 kg/kapita/tahun bila dibandingkan dengan Susenas
tahun 2007 yang jumlahnya mencapai 7,64 kg/kapita/tahun, sehingga kebutuhan
konsumsi hanya sekitar 26.378 ton. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Sulawesi
Selatan mengalami surplus cukup besar mencapai 1.208.470 ton, mengalami
kenaikan sebesar 21,14 persen. Kelompok pangan padi-padian yaitu beras
mengalami penurunan konsumsi 10.423,41 ton atau 1,17 persen setelah pada
Tahun 2008 menurun konsumsinya 42.193 ton atau 4,98 persen.. Demikian juga
dengan jenis pangan jagung mengalami penurunan konsumsi 12.793 ton atau
32,66 persen. Berdasarkan Pola Pangan Harapan konsumsi beras dan jagung dari
kelompok pangan padi-padian seharusnya diturunkan karena telah mencapai skor
maksimum yaitu 25,0.
Konsumsi umbi-umbian Tahun 2009 mengalami penurunan konsumsi
masing-masing ubi kayu 21.148 ton atau 31,60 persen dan ubi jalar 12.41 ton atau
18

51,68 persen berarti sesuai Pola Pangan Harapan dengan skor 1,1 yang masih
memungkinkan untuk ditingkatkan konsumsinya dengan skor maksimun 2,5.
Demikian juga dengan kelompok pangan kacang-kacangan dengan skor PPH 3,5
masih memungkinkan untuk ditingkatkan dengan skor maksimum 10,0 kacang
hijau yang juga mengalami penurunan konsumsi 4.456 ton atau 24 persen dan
konsumsi kedelei menurun 341 ton atau 1,65 persen dan kacang tanah terjadi
penurunan konsumsi 4.223 ton atau 45,29 persen.
Berdasarkan gambar terlihat bahwa salah satu komponen ketahanan
pangan rumahtangga petani adalah akses pangan. Akses pangan rumahtangga
sangat terkait dengan aspek ekonomi rumahtangga dalam pemenuhan pangan bagi
anggota rumahtangganya. Dalam konsep ekonomi rumahtangga sumber
pendapatan rumahtangga petani yaitu on farm dan off farm. Sebagai sebuah
rumahtangga petani maka pangan utama yang menjadi sumber pendapatan yang
menjadi instrument dalam penentuan ketahanan pangan rumahtangga yaitu padi,
jagung, ubu kayu dan ubi jalar. Keempat pangan ini secara nasional tergolong
sebagai pangan utama yang menjadi sumber energi, protein, vitamin dan berbagai
macam kandungan pangan.
Konsep penelitian ini mengacu pada akses pangan rumahtangga yang
terdiri dari 5 variabel yang dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat akses
pangan rumahtangga petani. Kelima variabel itu yaitu pendapatan kepala
rumahtangga, pendapatan istri, pendapatan anggota rumahtangga, alokasi
pendapatan untuk pangan, dan alokasi pendapatan untuk non pangan, (Mais Ilsan,
2015).
19

Sistem
Ketahanan
Pangan

Ketahanan Pangan
Rumahtangga

Agroekosistem
Persawahan

Pangan Utama
(padi jagung, Ubi Kayu Ubi Jalar)

Akses Pangan

Pendapatan Kepala Rumahtanggaa


Pendapatan
Pendapatan
Istri Anggota Alokasi
Rumahtangga Alokasi
Pendapatan Untuk Pendapatam Untuk Non Pangan
Pangan

Peningkatan Akses Pangan Rumahttangga

Peningkatan Ketahanan Pangan Rumag Tangga

Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian Akses Pangan Rumahtangga Petani


20

II.5 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dan kerangka piker penelitian maka
hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Komponen yang menentukan akses pangan rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu adalah, pendapatan kepala
rumahtangga, pendapatan istri, pendapatan anggota rumahtangga, alokasi
pendapatan untuk pangan dan alokasi pendapatan untuk non pangan.
2. Tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu berada pada kategori agak rawan pangan.
21

III. METODE PENELITIAN

III.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi untuk objek penelitian ditentukan dengan menggunakan


Multistage Sampling. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan 2 tahap yaitu
penentuan kecamatan dan penentuan desa untuk lokasi penelitian.
Tahap pertama adalah pengambilan contoh kecamatan berdasarkan tingkat
ketahanan pangan tingkat kecamatan. Pemilihan kecamatan didasarkan pada
asumsi bahwa kecamatan yang terpilih adalah kecamatan yang memiliki areal
persawahan yang luas. Berdasarkan data sekunder maka kecamatan yang terplih
untuk Kabupaten Luwu kecamatan yang terplih adalah Kecamatan Bupon.
Tahap kedua akan dipilih 2 desa setiap kecamatan untuk mengukur
ketahanan pangan rumahtangga. Pemilihan desa didasarkan pada aksesibilitas
desa yaitu desa yang dekat dengan ibu kota kecamatan dan desa yang terjauh dari
ibu kota kecamatan. Untuk Kecamatan Bupon desa yang terpilih adalah Desa
Noling dan Desa Buntu Batu.
III.2 Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang berada tipe
agroekosistem di Sulawesi Selatan. Populasi target dalam penelitian adalah
rumahtangga petani yang memenuhi kriteria yaitu (1) rumahtangga tersebut
kepala rumahtangganya memiliki pekerjaan pokok sebagai petani, (2) memiliki
istri dan anak.
Jumlah sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus oleh Parrel et al (1973):
2 2
NZ σ
n=
Nd 2 + Z 2 σ 2
N = Jumlah sampel penelitian
N = Populasi rumahtangga petani padi
Z = Nilai sebaran normal Z dari tabel Z pada tingkat kepercayaan 95% (1,96)
σ 2 = Ragam populasi yang didekati dari luas lahan
d 2 = Penyimpanan yang dapat diterima 10%
22

Mula-mula dilakukan sensus terhadap luas lahan petani pada ketiga tipe
agroekosistem untuk menentukan ragam populasi. Ragam populasi didekati
dengan luas lahan yang dimiliki rumahtangga pada tiga tipe agroekosistem yaitu.
Selanjutnya menentukan keterwakilan responden tiap RT, diambil sampel
rumahtangga petani secara acak berproporsi (proportionate random sampling)
(Nasir. 2009). Pelaksanaan acak diawali dengan penyusunan kerangka contoh
yaitu membuat daftar nama kepala keluarga (KK) setiap rukum tetangga (RT)
yang memenuhi kriteria. Setelah diketahui jumlah KK masing-masing RT;
kemudian ditentukan jumlah sampel masing-masing RT dengan dihitung dengan
persamaan berikut.
Sd = (m/N x n)
Sd = Jumlah sampel tiap RT
m = Jumlah KK masing-masing RT
N = Populasi petani tanaman padi
n = Jumlah sampel penelitian yang diinginkan
III.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dimana
peneliti melakukan wawancara kepada sampel yang terpilih dengan menggunakan alat
wawancara atau questioner penelitian (lampiran 1) yang memuat instrument yang terdiri
dari identitas responden, keadaan sosial ekonomi, kondisi rumahtangga yang terkait
dengan komponen ketahanan pangan yang terkait dengan ketersediaan pangan yang
meliputi 5 komponen yaitu, (1) pendapatan kepala rumah tangga, (2) pendapatan istri,
(3)pendapatan anggota rumah tangga, (4) alokasi pendapatan untuk pangan (APUP), (5)
alokasi pendapatan non pangan (APNP)..
Data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer digunakan untuk menentukan derajat ketahanan pangan rumahtangga pada
tipe agroekosistem yang menjadi unit analisis, sedangkan data sekunder digunakan untuk
mengkaji hal-hal yang terkait dengan kebijakan untuk meningkatkan ketahanan pangan
rumahtangga.
Data sekunder dikumpulkan pada berbagai instansi yang terkait dengan kajian
dari penelitian ini seperti, potensi desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan, BKKBN, Biro Pusat Statistik. Data
sekunder ini diperoleh dengan melakukan pencatatan dokumen dan wawancara mendalam
(indepht interview) kepada setiap informan pada instansi yang terkait. Sedangkan data
23

primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada rumahtangga yang terpilih


dengan menggunakan pedoman wawancara (questioner) yang akan disiapkan
sebelumnya. Data primer ini diperoleh dari sampel yang mampu memberikan informasi
tentang indikator yang berhubungan ketahanan pangan rumahtangga.
III.4 Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan sesuai
dengan tujuan penelitian:
1. Deskripsi Komponen Akses Pangan (tujuan1)
Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah
analisis statistik deskriptif kuantitatif yaitu menjelaskan tentang kondisi
pendapatan yang diperoleh rumahtangga dari berbagai sumber, menjelaskan
komponen akses pangan. meliputi pendapatan kepala keluarga, pendapatan istri,
pendapatan anggota rumahtangga, alokasi pendapatan untuk pangan dan non
pangan.
2. Analisis Tingkat Ketersedian Pangan Rumahtangga Petani (tujuan2)
Tingkat akses pangan rumahtangga dianalisis dengan membandingkan
antara skor dan bobot dari masing-masing komponen akses pangan rumahtangga
khususnya tipe agroekosistem persawahan (Mais Ilsan, 2015). Adapun
pengukuran akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosiste persawahan
disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pengukuran Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Petani Pada Tipe
Agroekosistem Persawahan
No. Indikator Pengukuran Skor Bobot S X B
Akses Pangan (Bobot 20)
X1 Pendapatan > 90% (sangat tahan pangan) 6 5 30
Kepala > 80% - 90% (tahan pangan) 5 5 25
Keluarga > 70% - 80% (agak tahan pangan) 4 5 20
> 50% - 70% (agak rawan pangan) 3 5 15
> 30% - 50% (rawan pangan) 2 5 10
< atau = 30% (sangat rawan 1 5 5
pangan)
X2 Pendapatan > 50% (sangat tahan pangan) 6 5 30
Istri > 40% - 50% (tahan pangan) 5 5 25
> 30% - 40% (agak tahan pangan) 4 5 20
> 20% - 30% (agak rawan pangan) 3 5 15
> 10% - 20% (rawan pangan) 2 5 10
< atau = 10% (sangat rawan 1 5 5
pangan)
24

No. Indikator Pengukuran Skor Bobot S X B


X3 Pendapatan > 50% (sangat tahan pangan) 6 2 12
Anggota > 40% - 50% (tahan pangan) 5 2 10
Keluarga > 30% - 40% (agak tahan pangan) 4 2 8
> 20% - 30% (agak rawan pangan) 3 2 6
> 10% - 20% (rawan pangan) 2 2 4
< atau = 10% (sangat rawan 1 2 2
pangan)
X4 Alokasi > 50% (sangat rawan pangan) 1 5 5
Pendapatan > 40% - 50% (rawan pangan) 2 5 10
Untuk > 30% - 40% (agak rawan pangan) 3 5 15
Pangan > 20% - 30% (agak rawan pangan) 4 5 20
> 10% - 20% (tahan pangan) 5 5 25
< atau = 10% (sangat tahan pangan) 6 5 30
X5 Alokasi > 50 % (Sangat Tahan Pangan) 6 3 18
Pendapatan > 40-50 % (Tahan Pangan) 5 3 15
Untuk Non > 30- 40 % ( Agak Tahan Pangan) 4 3 12
Pangan > 20-30 % ( Agak Rawan Pangan) 3 3 9
> 10-20 % (Rawan Pangan) 2 3 6
< atau = 10% (Sangat Rawan 1 3 3
Pangan)
Perhitungan Persentasi Pendapatan
1. Pendapatan Kepala RT (Rp ……………/bulan) ( ….. %)
2. Pendapatan Istri (Rp ……..……../bulan) (……%)
3. Pendapatan Anggota Keluarga (Rp ….…...……/bulan) ( ….. %)
4. Total Pendapatan RT (Rp. …………../bulan) (100 %)
Perhitungan Persentasi Untuk Alokasi Pendapatan Untuk Pangan (APUP)
APUP/Tot Pendapatan RT X 100 %
Perhitungan Persentasi Untuk Alokasi Pendapatan Non Pangan (APNP)
APNP/Tot Pendapatan RT X 100 %
Perhitungan Komposit Akses Pangan
Bobot 20,00 – 36,66 ( Sangat Rawan Pangan)
Bobot 36,67 – 53,33 (Rawan Pangan)
Bobot 53,34 – 70,00 (Agak Rawan Pangan)
Bobot 70,01 – 86,67 (Agak Tahan Pangan)
Bobot 86,68 – 103,34 (Tahan Pangan)
Bobot 103,35 – 120,00 (Sangat Tahan Pangan)
Sumber: Mais Ilsan, 2015

III.5 Defenisi Operasional

Batasan operasional variabel merupakan konsep operasional yang


digunakan peneliti dalam menganalisis variable-variabel yang masuk dalam
model.
1. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
25

baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan


terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
2. Ketahanan pangan rumahtangga adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumahtangga petani berdasarkan komponen ketersediaan pangan, akses
pangan, penyerapan pangan dan status gizi rumahtangga.
3. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga adalah jumlah dari nilai komposit
dari komponen ketahanan pangan rumahtangga. Pengukuran tingkat
ketahanan pangan rumahtangga dihitung dari menjumlahkan nilai komposit
(bobot dikali skor) dari masing komponen ketahanan pangan rumahtangga.
4. Akses Pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk
mengakses pangan secara ekonomi, fisik dan sosial. Pengukuran akses
pangan dilihat dari pendapatan dan alokasi pendapatan untuk mengakses
pangan.
5. Pendapatan kepala keluarga (X1) adalah jumlah pendapatan yang diperoleh
kepala rumahtangga pada kegiatan farm, on farm maupun off farm yang
dinyatakan dalam Rp/bulan. Pendapatan kepala keluarga diukur dari jumlah
pendapatan yang diperoleh selama sebulan dari berbagai sumber yang
dinyatakan dalam satuan rupiah.
6. Pendapatan istri (X2) adalah jumlah pendapatan yang diperoleh istri pada
kegiatan farm, on farm maupun off farm.. Pendapatan istri diukur dari jumlah
penghasilan yang diperoleh istri dari berbagai sumber selama sebulan dalam
satuan rupiah.
7. Pendapatan anggota keluarga (X3) adalah jumlah pendapatan yang diperoleh
anggota keluarga yang bekerja pada kegiatan farm, on farm maupun off farm.
Pendapatan anggota keluarga diukur dari jumlah penghasilan yang diperoleh
semua anggota keluaraga yang bekerja selama sebulan yang dinyatakan
dalam satuan rupiah.
8. Pendapatan rumahtangga adalah jumlah keseluruhan pendapatan yang
diperoleh oleh kepala rumahtangga, istri, dan anggota keluarga yang bekerja
pada farm, on farm maupun off farm yang dinyatakan dalam Rp/bulan.
26

9. Alokasi Pendapatan Untuk Pangan (X4) adalah jumlah pendapatan yang


dialokasikan rumahtangga untuk membeli pangan, yang dinyatakan dalam
Rp/bulan. Alokasi pendapatan diukur dari jumlah pengeluaran rumahtangga
untuk mengkonsumsi pangan selama sebulan.
10. Alokasi pendapatan untuk non pangan (X5) adalah jumlah pendapatan yang
dialokasikan rumahtangga untuk membeli kebutuhan rumahtangga diluar
pangan, yang dinyatakan dalam Rp/bulan
11. Ukuran nilai komposit variabel ketahanan pangan rumahtangga dibedakan
atas 6 tingkatan dengan skala sebagai berikut:Perhitungan Komposit Akses
Pangan
a) Bobot 20,00 – 36,66 ( Sangat Rawan Pangan)
b) Bobot 36,67 – 53,33 (Rawan Pangan)
c) Bobot 53,34 – 70,00 (Agak Rawan Pangan)
d) Bobot 70,01 – 86,67 (Agak Tahan Pangan)
e) Bobot 86,68 – 103,34 (Tahan Pangan)
f) Bobot 103,35 – 120,00 (Sangat Tahan Pangan)
12. Pendapatan Pertanian adalah jumlah penghasilan kepala keluarga yang
bersumber dari sektor pertanian
13. Pendapatan non Pertanian adalah jumlah penhasilan kepala keluarga yang
bersumber dari sektor non pertanian.
27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Karakteristik Responden

Karanteristik responden yang berhubungan dengan tingkat akses pangan


pada Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu terdiri dari umur,
tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan sampingan, keragaan
pekerjaan istri dan keragaan pekerjaan anggota keluarga. Untuk mengetahui
komponen tersebut akan dianalisis pada beberapa tabel berikut.
Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Pada Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Keadaan Umur Kepala Jumlah Responden Persentase


Rumahtangga (orang) (%)
28 – 40 17 17
41 – 53 46 46
54 - 65 37 37
Total 100 100

Sumber : Lampiran 2

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa umur responden masih tergolong


produktif sehingga masih mendukung dalam melakukan aktivitasnya sebagai
petani. Sebaran responden yang terbesar adalah umur 41 sampai 53 tahun
sebanyak 46 % dimanaa umur tersebut masih sangat produktif sehingga dapat
menunjang petani dalam melakukan aktivitasnya sebagai petani padi. Namun
demikian sebaran responden lainnya yakni umur 28 sampai 40 tahun sebanyak 17
% dan sebaran 54 sampai 65 tahun sebanyak 37 %.
Identitas responden yang akan dianalisis yaitu tingkat pendidikan formal,
dimana variabel ini akan menunjang petani dalam proses penerimaan adopsi
teknologi baru khususnya pada usahatani padi dan tanaman pangan lainnya yang
dihasilkan oleh petani. Petani yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan
mempermuda dalam proses penerimaan teknologi baru sehingga tingkat
pendidikan dapat menunjang petani dalam melakukan aktivitasnya sebagai petani.
Untuk mengetahui keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan
pada Tabel 2.
28

Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada Tipe


Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Jumlah Responden Persentase


Keadaan Tingkat Pendidikan
(orang) (%)
Tidak Sekolah 2 2
Sekolah Dasar 53 53
Sekolah Menengah Pertama 29 29
Sekolah Menengah Atas 16 16
Total 100 100
Sumber : Lampiran 2

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa tingkat pendidikan petani pada tipe


agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu masih tergolong rendah yakni
secara rata-rata setara dengan tingkat sekolah dasar yakni sebesar 53 %. Sebaran
responden lainnya yakni pendidikan sekolah menengah pertama sebesar 29 %,
sekolah menangah atas 16% dan bahkan 2% yang tidak perna bersekolah. Untuk
itu upaya yang perlu dilakukan agar petani yang ada di tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu dapat mendukung dalam melakukan aktivitasnya
sebagai petani adalah pendidikan non formal, sehingga petani mampu mengadopsi
teknologi baru yang terkait dengan peningkatan produksi usahatani yang dikelola.
Tanggungan keluarga merupakan beban bagi kepala rumahtangga dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk mengetahui sebaran responden
berdasarkan jumlah tanggungan keluarga disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Umur
Pada Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Keadaan Jumlah Tanggungan Jumlah Responden Persentase


Keluaraga (orang) (%)
2–5 86 86
6–9 13 13
10 - 12 1 1
Total 100 100
Sumber : Lampiran 2
29

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa sebaran responden dengan jumlah


tanggungan keluarga 2 sampai 5 orang sebanyak 86%. Angka ini menunjukkan
bahwa jumlah tanggungan keluarga petani pada tipe agroekosistem di Kabupaten
Luwu tergolong tinggi. Hasil analisis statisik menunjukkan bahwa rata-rata
jumlah tanggungan keluarga petani di lokasi penelitian sebanyak 4 orang.
Sebaran responden lainnya yakni jumlah tanggungan 6 sampai 9 orang sebanyak
13% dan sebaran 10 sampai 12 orang sebanyak 1%.
Pekerjaan sampingan merupakan upaya yang dilakukan oleh kepala
keluarga dalam menambah pendapatan rumahtangganya. Sebaran responden
berdasarkan pekerjaan sampingan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Sampingan Pada Tipe
Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Keadaan Pekerjaan Sampingan Jumlah Responden Persentase


(orang) (%)
Tidak Ada 67 67
Buruh 9 9
Pegawai Swasta 11 11
Wiraswasta 11 11
Pedagang 2 2
Total 100 100
Sumber : Lampiran 2

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa kepala rumahtangga petani yang ada


di lokasi penelitian 67% tidak memiliki pekerjaan sampingan. Namun demikian
sebanyak 33 kepala rumahtangga yang memiliki pekerjaan sampingan. Sebaran
pekerjaan sampingan kepala rumahtangga responden adalah sebagai buruh 9%,
pegawai swasta dan wiraswasta masing-masing 11% dan pedagang sebanyak 2%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepala rumahtangga belum
mengoptimalkan waktu luang yang dimiliki untuk mencari pekerjaan sampingan
sebagai upaya untuk menambah pendapatan rumahtangganya.
Pekerjaan istri responden merupakan solusi rumahtangga dalam
pemenuhan kebutuhan hidup rumahtangganya sehingga rumahtangga mampu
30

bertahan hidup terhadap tingginya kebutuhan hidup. Untuk mengetahui sebaran


responden berdasarkan pekerjaan istri disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Istri Pada Tipe
Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Jumlah Responden Persentase


Keragaan Pekerjaan Istri
(orang) (%)
Tidak Ada 75 75
Buruh 2 2
Wiraswasta 11 11
Petani 8 8
Pedagang 1 1
Pegawai negeri/Swasta 3 3
Total 100 100
Sumber : Lampiran 2

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa istri petani pada tipe agroekosistem


perswahan 75% tidak memiliki pekerjaan sehingga pendapatan rumahtangga
hanya bersumber dari kepala rumahtangga atau anggota keluarga lain yang
produktif untuk bekerja untuk menambah pendapatan rumahtangga. Hasil
penelitian menunnjukkan bahwa 25% istri petani yang bekerja dengan berbagai
jenis pekerjaan yaitu sebagai wiraswasta 11%, sebagai petani 8%, pegawai
negeri/swsta 3%, buruh 2% dan pedagang 1%. Untuk itu upaya untuk
meningkatkan ketahanaan pangan rumahtangga dari komponen akses pangan,
maka istri harus berupaya untuk bekerja sehingga dapat memberikan kontribusi
terhadap peningkatan pendapatan rumahtangganya.
Anggota keluarga yang produktif dapat memberikan sumbangan terhadap
peningkatan pendapatan rumahtangganya. Sebaran responden berdasarkan jumlah
anggota keluarga yang bekerja disajaikan pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa 29% rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahan yang tidak ada anggota keluarga yang bekerja secara
produktif untuk menambah pendapatan rumahtangga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rumahtangga yang anggota rumahtangganye bekerja 1 orang
sebanyak 33%, bekerja 2 orang sebanyak 21% dan bekerja 3 orang sebanyak 17%.
31

Tabel 6. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Yang


Bekerja Pada Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu,
2016.

Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Responden Persentase


Yang Bekerja (orang) (%)
0 29 29
1 33 33
2 21 21
3 17 17
Total 100 100

Sumber: lampiran 2

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan anggota


rumahtangga terhadap total pendapatan rumahtangga masih rendah sehingga perlu
penciptaan lapangan pekerjaan yang memungkinkan dilaksanakan oleh anggota
rumahtangga yang produktif.

IV.2 Komponen Akses Pangan Rumahtangga

Komponen akses pangan rumahtangga terdiri dari 5 yaitu pendapatan


kepala rumahtangga, pendapatan istri, pendapatan anggota rumahtangga, alokasi
pendapatan untuk pangan dan alokasi pendapatan untuk non pangan. Untuk
melihat secara rinci komponen tersebut akan dijelaskan pada beberapa tabel
berikut.
Pendapatan kepala rumahtangga merupakan sumber pendapatan utama
dari sebuah rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan hidup seluruh anggota
rumahtangga. Untuk mengetahui keadaan pendapatan kepala rumahtangga petani
pada tipe agroekosistem perswahan di Kabupaten Luwu akan disajaikan pada
Tabel 7.
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa sebaran rumahtangga petani yang
memiliki pendapatan dari kepala rumahtangga tersebesar padaa kisaran lebih
besar Rp.5.000.000 sampai Rp.7.500.000 per bulan yakni sebesar 42%. Namun
demikian rumahtangga yang memiliki kisaran pendapatan antara Rp. 2.500.000
sampai Rp.5.000.000 per bulan sebanyak 31%. Bahkan rumahtangga petani yang
32

memiliki kisaran pendapatan lebih besar Rp 7.500.000 per bulan sebanyak 25 %.


Namun demikian masih ada sekitar 2% rumahtangga petani yang memiliki kisaran
pendapatan kurang dari Rp. 2.500.000 per bulan.
Tabel 7. Pendapatan Kepala Rumahtangga Per Bulan Pada Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Pendapatan Kepala Jumlah Responden Persentase


Rumahtangga (orang) (%)
< 2.500.000 2 2
2.500.000 – 5.000.000 31 31
>5.000.000 – 7.500.000 42 42
>7.500.000 25 25
Total 100 100

Sumber : Lampiran 3.

Pendapatan kepala rumahtangga merupakan komponen pokok yang


membentuk tingkat akses pangan rumahtangga. Semakin tinggi sumbangan
pendapatan kepala rumahtangga terhadap total pendapatan rumahtangga maka
rumahtangga tersebut tergolong tahan pangan, jika dilihat dari komponen akses
pangan, sebaliknya semakin rendah sumbangan pendapatan kepala rumahtangga
terhadap pendapatan rumahtangga maka rumahtangga tersebut akan tergolong
rawan pangan dari komponen akses pangan.
Pendapatan istri juga menjadi komponen dalam menentukan tingkat akses
pangan rumahtangga. Untuk mengetahui keadaan pendapatan istri rumahtangga
petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu disajikan pada
Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa istri petani yang tidak memiliki
penghasilan untuk mendukung penghasilan rumahtangga sebanyak 75%, artinya
isstri petani sangat kurang sumbangsihnya dalam membetuk pendapatan
rumahtangga. Dari 25% istri yang bekerja yang memberikan sumbangan terhadap
pendapatan rumahtangga maka kisaran pendapatan yang paling besar adalah lebih
besar Rp. 500.000 sampai Rp. 1.000.000 per bulan sebanyak 17%, pendapatan
istri dengan kisaran lebih besar Rp. 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000 sebanyak
33

6%, sedangkan yang kurang atau sama dengan Rp. 500.000 per bulan dan lebih
besar daro Rp. 2.000.000 per bulan hanya 1%.
Tabel 8. Pendapatan Istri Per Bulan Pada Tipe Agroekosistem Persawahan di
Kabupaten Luwu, 2016

Pendapatan Istri Jumlah Responden Persentase


(orang) (%)
Tidak Punya Penghasilan 75 75
< atau = 500.000 1 1
>500.000 – 1.000.000 17 17
>1.000.000 – 2.000.000 6 6
>2.000.000 1 1
Total 100 100

Sumber : Lampiran 3.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan istri sebagai


komponen yang menentukan akses pangan rumahtangga, memiliki kontribusi
yang sangat kecil. Untuk itu untuk meningkatkan akses pangan rumahtangga
maka istri petani perlu melakukan aktivitas yang mampu menambah pendapatan
rumahtangga. Pendapatan anggota rumahtangga yang produktif juga ikut
berperan dalam menentukan akses pangan rumahtangga petani. Keadaan
pendapatan anggota rumahtangga petani di sajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pendapatan Anggota Rumahtangga Pada Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Pendapatan Anggota Jumlah Responden Persentase


Rumahtangga (orang) (%)
Tidak Punya Penghasilan 29 29
< atau = 500.000 0 0
>500.000 – 1.000.000 9 9
>1.000.000 – 2.000.000 37 37
>2.000.000 25 25
Total 100 100

Sumber : Lampiran 3.
34

Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa anggota rumahtangga petani yang


tidak memiliki pendapatan sebesar 29%. Namun demikian sekitar 71% memiliki
pendapatan dengan kisaran yang berbeda. Anggota rumahtangga yang memiliki
pendapatan lebih besar dari Rp 500.000 sampai Rp. 1.000.000 per bulan sebanyak
9%, kisaran lebih besar dari Rp. 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000 sebanyak 37%
sedangkan kisaran pendapatan lebih besar dari Rp. 2.000.000 per bulan sebanyak
25%.
Pendapatan rumahtangga adalah gabungan dari pendapatan kepala
keluarga, istri dan anggota rumahtangga lainnya yang berada dalam rumahtangga
tersebut. Untuk mengetahui keadaan pendapatan rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahaan di Kabupaten Luwu, disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Pendapatan Rumahtangga Pada Tipe Agroekosistem Persawahan di
Kabupaten Luwu, 2016

Pendapatan Rumahtangga Jumlah Responden Persentase


(orang) (%)
< atau = 2.250.000 0 0
>2.250.000 – 5.000.000 19 19
>5.000.000 – 7.500.000 26 26
>7.500.000 – 10.000.000 31 31
>10.000.000 24 24
Total 100 100

Sumber : Lampiran 3.

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa semua rumahtangga petani memiliki


pendapatan lebih besar dari UMR di Kabupaten Luwu sebesar Rp. 2.250.000 per
bulan. Namun demikian nilai ini bukan merupakan income perkapita. Sebaran
responden dengan kisaran pendapatan rumahtangga lebih besar dari Rp. 2.225.000
sampai Rp. 5.000.000 per bulan sebanyak 19%, sebaran responden dengan kisaran
pendapatan lebih besar dari Rp. 5.000.000 sampai Rp. 7.500.000 perbulan
sebanyak 26%, sebaran responden dengan kisaran pendapatan lebih besar daro
Rp. 7.500.000 sampai Rp. 10.000.000 per bulan sebesar 31% dan kisaran
pendapatan rumahtangga responden lebih besar dari Rp. 10.000.000 per bulan
sebanyak 24%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara rata-rata
35

pendapatan rumahtangga petani dilokasi penelitian sebesar Rp. 7.796.178


(lampiran3), dengan jumlah tanggungan keluarga rata-rata sebanyak 4 orang maka
income perkapita sebesar Rp. 1.949.045 per bulan. Angka ini menunjukkan
bahwa income perkapita petani pada tipe agroekosistem pesisir di Kabupaten
Luwu masih berada di bawah UMR.
Pendapatan rumahtangga yang dihasilkan oleh seluruh anggota keluarga
yang bekerja akan dialokasikan untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Untuk
mengetahui alokasi kebutuhan rumahtangga untuk pangan disajikan pada Tabel
11.
Tabel 11. Alokasi Pendapatan Rumahtangga Untuk Pangan Pada Tipe
Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Alokasi Pendapatan Jumlah Responden Persentase


Rumahtangga Untuk Pangan (orang) (%)
< atau = 1.000.000 1 1
>1.000.000 – 2.000.000 45 45
>2.000.000 – 3.000.000 33 33
>3.000.000 – 4.000.000 12 12
>4.000.000 – 5.000.000 8 8
>5.000.000 1 1
Total 100 100

Sumber : Lampiran 3.
Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa sebaran responden yang memiliki
alokasi terbesar adalah kisaran pengeluaran untuk membeli pangan lebih besar
dari Rp. 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000 per bulan sebanyak 45%, kisaran alokasi
untuk membeli pangan lebih besar dari Rp. 2.000.000 sampai Rp. 3.000.000
sebanyak 33%. Namun demikian rumahtangga yang mengalokasikan pendapatan
yang dimiliki dengan kisaran lebih besar dari Rp. 5.000.000 dan kurang dari Rp.
1.000.000 hanya 1%. Sedangkan rumahtangga yang mengalokasikan pendapatan
untuk kebutuhan pangan dengan kisaran lebih besar Rp. Rp. 3.000.000 sampai Rp.
4.000.000 sebesar 12% dan kisaran lebih besar dari Rp. 4.000.000 sampai Rp.
5.000.000 sebesar 8 %.
36

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk pangan


yang dialokasikan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan di
Kabupaten Luwu sebanyak 2.352.829 atau 30,18% dari rata-rata pendapatan
rumahtangga. Untuk mengetahui alokasi pendapatan rumahtangga untuk non
pangan akan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Alokasi Pendapatan Rumahtangga Untuk Non Pangan Pada Tipe
Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016

Alokasi Pendapatan Jumlah Responden Persentase


Rumahtangga Untuk (orang) (%)
Non Pangan
< atau = 1.000.000 4 4
>1.000.000 – 2.000.000 86 86
>2.000.000 – 3.000.000 10 10
>3.000.000 – 4.000.000 0 0
>4.000.000 – 5.000.000 0 0
>5.000.000 0 0
Total 100 100

Sumber : Lampiran 3.
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa sebaran responden berdasarkan
pengeluaran untuk non pangan terbesar pada kisaran lebih besar dari Rp.
1.000.000 sampai Rp. 2.000.000 perbulan sebanyak 86%, sedangkan yang paling
kecil adalah sebaran kurang atau sama dengan Rp. 1.000.000 perbulan sebanyak
4%. Selebihnya sebanyak 10% rumahtangga yang mengalokasikan pendapatan
rumahtangganya untuk non pangan dengan kisaran lebih besar dari Rp. 2.000.000
sampai R. 3.000.000 per bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumahtangga
untuk non pangan sebesar Rp. 1.617.448 (lampiran 3) atau 20,75% dari rata-rata
pendapatan rumahtangga. Untuk itu rumahtangga petani dalam mengalokasikan
pendapatan yang dimiliki baik pangan maupun non pangan sebesar 50,93%, yang
selebihnya untuk pengeluaran untuk kegiatan usahatani dan saving rumahtangga.
37

IV.3 Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga

Tingkat akses pangan rumahtangga petani terdiri dari 5 variabel yaitu


pendapatan kepala rumahtangga, pendapatan istri, pendapatan anggota
rumahtangga, alokasi pendapatan untuk pangan dan alokasi pendapatan untuk non
pangan. Berikut adalah analisis berbagai variabel yang membentuk akses pangan
seperti disajikan pada beberapa tabel berikut. Untuk mengetahui tingkat akses
pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan kepala rumahtangga disajikan
pada Tabel 13.
Tabel 13. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Pendapatan Kepala
Rumahtangga, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 30 30
Tahan Pangan 5 23 23
Agak Tahan Pangan 4 25 25
Agak Rawan Pangan 3 20 20
Rawan Pangan 2 2 2
Sangat Rawan Pangan 1 0 0
Total 100 100
Skor rata-rata : 4,59 (Tahan Pangan)
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa skor untuk variabel pendapatan
kepala rumahtangga sebesar 4,59 atau berada pada kategori tahan pangan.
Sebaran tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan kepala
rumahtangga yaitu sangat tahan pangan sebanyak 30%, tahan pangan sebanyak
23%, agak tahan pangan sebanyak 25%, agak rawan pangan sebanyak 20%, dan
rawan pangan sebanyak 2%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan
kepala rumahtangga masih memiliki kontribusi yang besar dalam menentukan
tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem di Kabupaten
Luwu. Untuk itu diharapkan kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem
38

persawahan agar berupaya lebih meningkatkan pendapatan rumahtangganya yang


berssumber dari kepala rumahtangga.
Variabel kedua yang membentuk akses pangan rumahtangga adalah
pendapatan istri. Untuk mengetahui tingkat akses pangan rumahtangga petani
untuk variabel pendapatan istri disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Pendapatan Istri, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 0 0
Tahan Pangan 5 0 0
Agak Tahan Pangan 4 0 0
Agak Rawan Pangan 3 4 4
Rawan Pangan 2 13 13
Sangat Rawan Pangan 1 83 83
Total 100 100
Skor rata-rata : 1,21
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa skor untuk variabel pendapatan istri
sebesar 1,21 atau berada pada kategori sangat rawan pangan. Sebaran tingkat
ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan istri yaitu sangat tahan
pangan sampai agak tahan pangan tidak ada. Sedangkan agak rawan pangan
sebanyak 4%, rawan pangan sebanyak 13% dan sangat rawan pangan sebanyak
83%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan istri memiliki
kontribusi yang kecil dalam menentukan tingkat akses pangan rumahtangga petani
pada tipe agroekosistem di Kabupaten Luwu. Untuk itu diharapkan kepada petani
yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar berupaya lebih
meningkatkan pendapatan rumahtangganya yang berssumber dari istri. Implikasi
yang akan terjadi jika kepala rumahtangga dalam melakukan aktivitas
usahataninya dan mengalami kegagalan maka pendapatan istri tidak mampu untuk
mencukupi kebutuhan rumahtangga sehingga rumahtangga tersebut akan
mengalami rawan pangan.
39

Anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan keluarga juga memiliki


potensi untuk memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumahtangga untuk
mengakses pangan. Variabel ketiga yang membentuk akses pangan
rumahtangga adalah pendapatan anggota rumahtangga. Untuk mengetahui tingkat
akses pangan rumahtangga petani untuk variabel pendapatan anggota
rumahtangga disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Pendapatan Anggota
Rumahtangga, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 0 0
Tahan Pangan 5 2 2
Agak Tahan Pangan 4 11 11
Agak Rawan Pangan 3 24 24
Rawan Pangan 2 27 27
Sangat Rawan Pangan 1 36 36
Total 100 100
Skor Rata-rata : 2,16
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa skor untuk variabel pendapatan
anggota rumahtangga sebesar 2,16 atau berada pada kategori rawan pangan.
Sebaran tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan
anggota rumahtangga yaitu sangat tahan pangan tidak ada. Sebaran lain yaitu
tahan pangan sebanyak 2%, agak tahan pangan sebanyak 11%, agak rawan pangan
sebanyak 24%, rawan pangan sebanyak 27% dan sangat rawana pangan sebanyak
36%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan anggota keluarga
memiliki kontribusi yang kecil dalam menentukan tingkat akses pangan
rumahtangga petani pada tipe agroekosistem di Kabupaten Luwu. Untuk itu
diharapkan kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar
berupaya lebih meningkatkan pendapatan rumahtangganya yang berssumber dari
ianggota rumahtangga yang produktif. Implikasi yang akan terjadi jika kepala
rumahtangga dalam melakukan aktivitas usahataninya mengalami kegagalan maka
40

pendapatan anggota rumahtangga tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan


rumahtangga sehingga rumahtangga tersebut akan mengalami rawan pangan.
Pendapatan yang dihasilkan oleh anggota rumahtangga yang bekerja akan
dialokasikan untuk kebutuhan pangan. Untuk mengetahui tingkat akses pangan
rumahtangga untuk variabel alokasi pendapatan untuk pangan disajikan pada
Tabel 16.
Tabel 16. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Alokasi Pendapatan
Untuk Pangan, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 3 3
Tahan Pangan 5 15 15
Agak Tahan Pangan 4 28 28
Agak Rawan Pangan 3 20 20
Rawan Pangan 2 20 20
Sangat Rawan Pangan 1 14 14
Total 100 100
Skor Rata-rata : 3,19
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa skor untuk variabel alokasi
pendapatan untuk pangan sebesar 3,19 atau berada pada kategori agak rawan
pangan. Sebaran tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel alokasi
pendapatan untuk pangan yaitu sangat tahan pangan tidak ada. Sebaran lain yaitu
tahan pangan sebanyak 17%, agak tahan pangan sebanyak 28%, agak rawan
pangan sebanyak 20%, rawan pangan sebanyak 20% dan sangat rawan pangan
sebanyak 14%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi pendapatan
untuk pangan masih lebih besar sehingga rumahtangga hanya berupaya untuk
memenuhi pangan utama sehingga kebutuhan lain akan terabaikan. Untuk itu
diharapkan kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar
berupaya lebih mengurangi konsumsi untuk pangan sehingga petani akan menjadi
lebih sejahtera. Kebutuhan akan pangan utama bagi rumahtangga petani masih
menjadi prioritas sehingga upaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder yang
41

tergolong non pangan masih terabaikan. Implikasi yang akan terjadi jika alokasi
pendapatan untuk pangan lebih besar adalah rumahtangga tersebut masih
tergolong pra sejahtera.
Pendapatan yang dihasilkan oleh anggota rumahtangga yang bekerja akan
dialokasikan untuk kebutuhan non pangan. Untuk mengetahui tingkat akses
pangan rumahtangga untuk variabel alokasi pendapatan untuk non pangan
disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Alokasi Pendapatan
Untuk Non Pangan, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 0 0
Tahan Pangan 5 7 7
Agak Tahan Pangan 4 12 12
Agak Rawan Pangan 3 38 38
Rawan Pangan 2 43 43
Sangat Rawan Pangan 1 0 0
Total 100 100
Skor Rata-rata : 2,83
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa skor untuk variabel alokasi
pendapatan untuk non pangan sebesar 2,83 atau berada pada kategori agak rawan
pangan. Sebaran tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel alokasi
pendapatan untuk non pangan yaitu sangat tahan pangan tidak ada. Sebaran lain
yaitu tahan pangan sebanyak 7%, agak tahan pangan sebanyak 12%, agak rawan
pangan sebanyak 38%, rawan pangan sebanyak 43% dan sangat rawan pangan
tidak ada. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi pendapatan untuk non
pangan masih lebih kecil sehingga rumahtangga hanya berupaya untuk memenuhi
pangan utama sehingga kebutuhan non pangan akan terabaikan. Untuk itu
diharapkan kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar
berupaya lebih mengurangi konsumsi untuk pangan dan berupaya meningkatkan
42

kebutuhan non pangan sehingga petani akan menjadi lebih sejahtera. Kebutuhan
akan non pangan bagi rumahtangga petani masih sangat rendah prioritas sehingga
upaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder yang tergolong non pangan masih
terabaikan. Implikasi yang akan terjadi jika alokasi pendapatan untuk non pangan
lebih kecil adalah rumahtangga tersebut masih tergolong pra sejahtera.
Akses pangan rumahtangga merupakan gabungan dari 5 variabel yang
membentuk penilaian akses pangan. Untuk mengetahui tingkat akses pangan
rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu
disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor X Bobot Jumlah Persentase


Pangan Rumahtangga Responden (%)
(orang)
Sangat Tahan Pangan 103,35 – 120,00 0 0
Tahan Pangan 86,68 – 103,34 0 0
Agak Tahan Pangan 70,01 – 86,67 3 3
Agak Rawan Pangan 53,34 – 70,00 68 68
Rawan Pangan 36,67 – 53,33 29 29
Sangat Rawan Pangan 20,00 – 36,66 0 0
Total 100 100
Rata-rata BobotXSkor : 57,76
Sumber : Lampiran 4.

Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa tingkat akses pangan rumahtangga


petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu sebesar 57,76
atau berada pada kategori agak rawan pangan. Sebaran responden yang berada
pada kategori sangat tahan pangan dan tahan pangan tidak ada. Sebaran
responden yang agak tahan pangan sebanyak 3%, agak rawan pangan sebanyak
68% dan rawan pangan 29% serta sangat rawan pangan tidak ada. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa akses pangan rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu masih perlu ditingkatkan terutama
dalam peningkatan pendapatan istri dan anggota keluarga yang produktif.
43

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka kesimpulan dari penelitian ini


adalah sebagai berikut:
1. Kondisi akses pangan rumahtangga yang terdiri dari 5 komponen yang
membentuk akses pangan pada rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu adalah pendapatan kepala rumahtangga tahan
pangan, pendapatan istri sangat rawan pangan, pendapatan anggota
rumahtangga rawan pangan, alokasi pendapatan untuk pangan dan non pangan
agak rawan pangan.
2. Tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan
di Kabupaten Luwu berada pada kategori agak rawan pangan.
V.2 Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian disarankan untuk perbaikan akses

pangan rumahtangga adalah sebagai berikut;

1. Perlu diciptakan lapangan pekerjaan lain sehingga upaya untuk peningkatan

pendapatan rumahtangga tercapai sehingga mendukung pencapaian ketahanan

pangan rumahtangga untuk komponen akses pangan.

2. Perlu mengurangi alokasi pendapatan untuk pangan dan meningkatkan alokasi

untuk non pangan sehingga rumahtangga petani bisa meningkatkan akses

pangannya

3. Perlu menggalakkan program keluarga sejahtera (keluarga berencana) yang

mentargetkan jumlah anak cukup dua sehingga ketahanan pangan rumahtangga

dapat tercapai khususnya akses pangannya meningkat.


44

DAFTAR PUSTAKA

Adi, A.C., et al. 1999. Konsumsi dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut
Tipe Agroekologi di Wilayah Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Media
Gizi dan Keluarga, XXIII(I): 8-14.

Ariani, M., H.P. Dan Saliem, 2002. Ketahanan Pangan, Konsep, Pengukuran dan
Strategi, dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 20 No. 1. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Becker, Gary, S., 1965. A. Theory of The Allocation of Time. The Economic
Journal No. 299 Vol LXXV.

Baliwati, Y.F., 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani
(Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor). Disertasi. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan, 2012. Laporan Kinerja Ketahanan


Pangan Sulawesi Selatan Tahun 2011.

Chung, K., L. Haddad, J. Ramakrisna and F. Riely, 1997. Identifying the Food
Insecure, The Application on Mixed – Methode Approaches in India.
Washington DC: International Food Policy Research Institute.

Djauhari, 1988. Model Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumahtangga Untuk


Makanan Siap Konsumsi di Jawa Timur. Disertasi. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Departemen Pertanian, R.I., 2004. Rencana Strategic dan Program Kerja


Pemantapan Ketahanan Pangan Tahun 2001 – 2004. Badan Bimas
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Jakarta www.deptan.go.id.

Ellis, F., 1988. Peassant Economics, Farm Household and Agrarian Development.
Cambridge University Press.

Elly, F.H., 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi


Rumahtangga Usaha Ternak Sapi-Tanaman Di Sulawesi Utara. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.

Handewi, R., 2004. Identifikasi Wilayah Rawan Pangan di Propinsi D.I.


Yogyakarta. ICASERD WORKING PAPER No, 36.
45

Henri Ukoha, 2011. The Level of Food Security/Insecurity by Gender in Selected


Land Tenure System Among Cassava-Based Farmers in Abia State, South
East Nigeria: A Comparative Analysis. Internasional Journal of
Agrikulturan and Food Science, http://www.urpjournals.com ISSN 2249-
8516.

Hanani Nuhfil, 2014. Workshop Kedaulatan Pangan. Pokja Ahli Dewan


Ketahanan Pangan Nasional, Perhepi 18 Desember 2014.

Nuhfil, H., 2012 .Staretgi Enam Pilar Pembangunan Ketahanan Pangan. Pidato
Pengukuhan Guru besar Dalam Bidang Ilmu Ekonomi Pertanoan Pada
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Jellinek dan Rustanto, 1999. Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya. Nasional


Pangan dan Gizi VI. LIPI. Jakarta.

Jaya Putra, 2001. Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Di Daerah Kawasan


Pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara. Tesis Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Mais Ilsan, 2014. Food Security Performance of Famer Houshold at Three


Agroecosystem Types (Case Study in South Sulawesi). AENSI Journals
AEB (Advances in Enviromental Biology) 8(17)
http://www.aensiweb.com/AEB/ ISSN : 1995-0756 September 2014, Page
744-749.
Mais Ilsan, 2014. Factors Affecting the Improvement of Farmers Household Food
Security In South Sulawesi AENSI Journals AEB (Advances in
Enviromental Biology) http://www.aensiweb.com/AEB/ ISSN : 1995-
0756, April 2015, Pages: 540-550
Mais Ilsan, Comparative Analysis of Household Food Security at Three Agro-
Ecosystems Based on Farming Scale in South Sulawesi, Australian
Journal of Basic and Applied Sciences, 10(16) November 2016, Pages:
282-291, ISSN:1991-8178 EISSN: 2309-8414, Journal home page:
www.ajbasweb.com
Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Cetakan Ketujuh
November 2009.
Parel, C.P.P., P.L. Ferrer, G.C. Caldito, 1973. Sampling Design and Procedures.
The Agricultural Development Council, New York.
Sumarwan, Ujang dan Dadang Sukandar, 1998. Analisis Ketahanan Pangan
Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga. Media Gizi dan Keluarga, XXII(1).
Susanto, D., 1994. Meningkatkan Strategi Komunikasi, Informasi dan Edukasi
(KIE) dalam Pengentasan Masalah Gizi Kurang. Risalah Widyakarya
Pangan dan Gizi IV. LIPI. Jakarta.
Teki Surayya, 2010. Food Supply Chain Managemen: Chalelenger and Strategies.
Journal of Food
46

Lampiran 1. Questioner Penelitian

ANALISIS AKSES PANGAN RUMAHTANGGA PETANI PADA TIPE


AGROEKOSISTEM PERSAWAHAN DI KABUPATEN LUWU

Kecamatan : …………………………………………………………….
Desa/Kelurahan : …………………………………………………………….
Identitas Responden
Nama : …………………………………………………….
Umur : …………………………………………………….
Pendidikan : …………………………………………………….
Jml Tang. Keluarga : …………………………………………………….
Pekerjaan Utama K.RT : ……………………………………………………..
Pekerjaan Sampingan K.RT : ……………………………………………………..
Pekerjaan Istri : ……………………………………………………..
Pekerjaan Anggota RT : ……………………………………………………..
Susunan anggota keluarga
1. Jumlah anggota keluarga usia > 25 tahun atau sudah menikah: L =…. org
W = ….org
2. Jumlah anggota keluarga usia < 25 tahun atau sudah menikah: L =…. org
W = …org
3. Jumlah anggota keluarga usia 5 -15 tahun: L =…. org W = ….. org
4. Jumlah anggota keluarga usia 0 – 5 tahun: L =…. org W = ….. org
Akses Pangan:
1. Jumlah Pendapatan Kepala RT : Rp. ….………………/bln/thn
2. Jumlah Pendapatan Istri : Rp .…………………./bln/thn
3. Jumlah Pendapatan Anggota Keluarga 1 : Rp ………………../bln/thn
4. Jumlah Pendapatan Anggota Keluarga 2 : Rp,.………………./bln/thn
5. Jumlah Pendapatan Anggota Keluarga 3 : Rp, ………………./bln/thn
6. Jumlah Pendapatan RT : Rp………………../bln/thn
47

7. Alokasi Pendapatan untuk pangan


Tabel 1. Pengeluaran Pangan RT selama sebulan
Satuan (grm,
No. Pengeluaran Pangan Jumlah Nilai (Rp)
kg, butir, ikat
1 Beras
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Ubi Jalar
5 Daging
6 Ikan
7 Ayam
8 Telur Ayam
9 Telur Bebek
10 Kangkung
11 Daun Singkong
12 K.Panjang
13 Kol/Kubis
14 Wortel
15 Bayam
16 Kentang
17 Terong
18 Tahu
19 Tempe
20 Tomat
21 Pepaya
22 Pisang
23 Nenas
24 Minyak Kelapa
25 Gula Pasir
26 Mie Instan
27 Kopi
28 Terigu
29 Bawang Merah
30 Bawang Putih
31 Bumbu-Bumbu
Total Pengeluaran Pangan Selama Sebulan Rp.
………….
48

8. Alokasi Pendapatan Non Pangan


Tabel 2. Pengeluaran Pangan RT selama sebulan
No Pengeluaran Non Satuan Jumlah Nilai (Rp)
. Pangan
1 Bahan bakar
2 Rokok
3 Biaya Pendidikan
4 Biaya Kesehatan
5 Biaya Pesta
6 Transportasi
7 Listrik
8 Air
9 Pakaian
10 Peralatan Mandi
Total Pengeluaran Non Pangan Selama Sebulan Rp. ………….
49

Lampiran 2. Biodata Ketua Peneliti

A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap Dr. Ir. Mais Ilsan, M.P (L)
2 Jabatan Fungsional Lektor
3 Jabatan Struktural ---
4 NIP/NIK 108930596
5 NIDN 0918096801
6 Tempat dan Tanggal Lahir Bua, 10 September 1968
7 Alamat Rumah BTN. Minasa Upa Blok B2 No. 1 A,
Kelurahan Kanrunrung, Kecamatan
Rappocini, Kota Makassar
8 No. Telepon/Faks/HP Rumah : 0411-869016
HP :081245402306
9 Alamat Kantor Jl. Urip Sumoharjo KM.5 Makassar
Kampus II UMI Gedung M Lantai 1
10 No. Telepon/Faks 0411-440412
11 Alamat e-mail maisilsan@yahoo.com
12 Lulusan yang Telah Diluluskan S-1 = 25 orang
S-2 = 0
S-3 = 0
13 Mata Kuliah yang Diampu 1. Ekonomi Pertanian
2. Sistem Agribisnis
3. Ekonomi Mikro
4. Ekonomi Makro
5. Ekonometrika
6. Metode Penelitian Agribisnis
7. Pembangunan Pertanian

B. Riwayat Pendidikan
Uraian S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan UMI Makassar Univ. Brawijaya Univ. Brawijaya
Tinggi Malang Malang
Bidang Ilmu Sosial Ekonomi Ekonomi Ekonomi
Pertanian Pertanian Pertanian
Tahun Masuk- Masuk : 1987 Masuk : 1999 Proses
Lulus Lulus : 1991 Lulus : 2001 Penyelesaian
Judul Judul Skripsi:
Skripsi/Thesis/ Penentuan Pola Usahatani Hortikultura Dengan Konsep
Disertasi Maksimisasi Keuntungan
Judul Thesis:
Analisis Ekonomi Usahatani Padi Dalam Kaitannya Dengan
Upaya Peningkatan Ketahanan Pangan di Sulawesi Selatan.
Judul Disertasi:
Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Pada Tiga Tipe
Agroekosistem di Sulawesi Selatan.
50

Nama Pembimbing Skripsi:


Pembimbing/ 1. Prof.Dr.Ir. Sofyan Djamal, M.Sc
Promotor 2. Ir. M. Nasir Muin, M.S
3. Ir. M. Alihaq Mappaturung
Pembimbing Thesis :
1. Prof.Dr.Ir. M. Muslich Mustadjab, M.Sc
2. Dr. Fajri Ananda, SE, M.Sc
Promotor dan Ko-Promotor :
1. Prof.Dr.Ir. M. Muslich Mustadjab, M.Sc
2. Prof.Dr.Ir. Nuhfil Hanani, MS
3. Dr. Ir. Syafrial, M.S

C. Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

Pendanaan
No. Tahun Judul Penelitian
Sumber* Jumlah (Rp)
1. 2010 Pengembangan Tanaman DP2M 90.000.000
Hortikultura Berbasis Agroekologi DIKTI
pada lahan Kering di Hulu Das
Jeneberang
2. 2010 Kajian Penerapan Teknologi DP2M 50.000.000
Konservasi Dalam Usahatani DIKTI
Tanaman Hortikultura Berbasis
Agroekologi Di Hulu Das
Jeneberang
3. 2009 Penyusunan Indikator Rawan Pemda Kab. 87.000.000
Pangan di Kabupaten Gowa Gowa
4. 2009 Model Usahatani Berkelanjutan DP2M 50.000.000
Berbasis Agroekologi di Lahan DIKTI
Dataran Tinggi Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan
5. 2009 Kajian Komoditas Unggulan Pemda Kab. 50.000.000
Kabupaten Gowa Gowa
2007 Penyusunan Indikator Rawan Pemda Kab. 120.000.000
Pangan di Kabupaten Takalar Takalar
2007 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi DP2M 10.000.000
Tingkat Adopsi Paket Teknologi DIKTI
Berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) Budidaya
Kentang Di Kabupaten Gowa
2007 Analisis Tingkat Adopsi Paket UMI 10.000.000
Teknologi Berdasarkan Standar Makassar
Prosedur Operasional (SPO)
Budidaya Kentang Di Kabupaten
Gowa
2006 Inventarisasi Pemukiman Rawan Pemda Kab. 90.000.000
51

Banjir Di Kabupaten Wajo Wajo


2006 Model Pengelolaan Permukiman
Kumuh Menjadi Permukiman
Layak Huni Di Sulawesi Selatan
2005 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mandiri 5.000.000
Keberhasilan DPM-LUEP di
Kabupaten Gowa
2005 Evaluasi Pelaksanaan Program Mandiri 5.000.000
DPM-LUEP di Kabupaten Soppeng
2004 Model Konsumsi Pangan Mandiri 5.000.000
Masyarakat Miskin di Kabupaten
Gowa

D. Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir

E. Artikel Ilmiah Dalam Jurnal 5 Tahun Terakhir

1. Mais Ilsan, 2014. Food Security Performance of Famer Houshold at Three


Agroecosystem Types (Case Study in South Sulawesi). AENSI Journals AEB
(Advances in Enviromental Biology) 8(17) http://www.aensiweb.com/AEB/
ISSN : 1995-0756 September 2014, Page 744-749.
2. Mais Ilsan, 2014. Factors Affecting the Improvement of Farmers Household
Food Security In South Sulawesi AENSI Journals AEB (Advances in
Enviromental Biology) http://www.aensiweb.com/AEB/ ISSN : 1995-0756,
April 2015, Pages: 540-550
3. Mais Ilsan, Comparative Analysis of Household Food Security at Three
Agro-Ecosystems Based on Farming Scale in South Sulawesi, Australian
Journal of Basic and Applied Sciences, 10(16) November 2016, Pages:
282-291, ISSN:1991-8178 EISSN: 2309-8414, Journal home page:
www.ajbasweb.com

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hokum. Apabila kemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenaarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan Hibah Penelitian “Hibah Bersaing”

Makassar, 2 Februari 2016


Pengusul,

Ir. Mais Ilsan, M.P


52

CV. Anggota Peneliti

CURRICULUM VITAE

IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap dan Gelar : Dr.Ir. St. Subaedah, MS


Jenis Kelamin : Perempuan
Golongan : IV b
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Pekerjaan : Staf Dosen Fak. Pertanian UMI
Alamat Rumah : Jl. A.R. Hakim No 48. Makassar 90211
Tlp. (0411) 452043 Hp. 081524900400
Email: stsubaedah@yahoo.co.id.
Alamat Kantor : Fakultas Pertanian UMI
Jl. Urip Sumoharjo KM 5 Makassar
Tlp. (0411) 428142

RIWAYAT PENDIDIKAN

Universitas dan Gelar Tahun Bidang Studi Keahlian


Selesai
Lokasi

Universitas Ir. 1987 Pertanian Agronomi


Hasanuddin,
Makassar

Universitas MS. 1993 Sistem-sistem Kajian


Hasanuddin, Pertanian Tanaman
Makassar

Universitas Brawijaya, Dr. 2004 Ilmu-ilmu Ekologi


Malang Pertanian Tanaman
53

PENGALAMAN PELATIHAN

Tempat Bidang Pelatihan Tahun

Makassar Penataran AKTA V AA 1993

Makassar Pelatihan Pengembangan Keterampilan 1999


Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI)

BPPT, Serpong Teknik Perbanyakan Bibit Jarak Pagar Secara 2006


In-Vitro dan Ex-Vitro

Makassar UP-Grading Metode Penelitian 2006

Makassar Pelatihan Teknik Penulisan Artikel Ilmiah 2007

Makassar Pelatihan Teknik Penulisan Artikel Ilmiah 2008

PENGALAMAN KERJA

Institusi Jabatan Periode

Fak. Pertanian UMI Staf Pengajar:


1988– sekarang
MK.Dasar-dasar Agronomi
1990 – sekarang
MK.Rancangan Percobaan
2000 – sekarang
MK. Pembiakan Vegetatif
2004 – sekarang
MK. Ekologi Tanaman

Fak. Pertanian UMI Kepala Laboratorium 1994-1997


Tanaman

Pusat Studi Pengembangan Staf Peneliti 2000 - Sekarang


Pertanian Organik

Pasca Sarjana UMI Ketua Program Studi Magister 2010- Sekarang


Agroekoteknologi
54

PENGALAMAN PENELITIAN

Sumber
No Judul Tahun
Dana

1. Pertumbuhan dan Produksi Cabe Keriting LP2S UMI 1998


dan Kacang Hijau dengan Berbagai Pola
Tanam pada Lahan Sawah Tadah Hujan.
Ketua
2. Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah Dosen Muda 1999
pada Berbagai Dosis Kompos Jerami dan DIKTI
Metanol. Anggota
Efisiesi Pemupukan Fosfat Anorganik
3. dengan Penambahan Bahan Organik dan
Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan LP2S UMI 2000
Produksi Tanaman Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Selatan. Ketua

4. Pengaruh Bahan Organik terhadap LP2S UMI 2002


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung
di Lahan Kering. Ketua
Aplikasi Cover Crop sebagai Pengendali
5. Dosen Muda 2003
Gulma dan Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung. DIKTI
Ketua
Aplikasi Crotalaria juncea dalam
6. Dosen Muda 2004
meningkatkan ketersediaan n bagi
peningkatan hasil tanaman jagung .Ketua
7. Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah dan
Pengembalian Residu Tanaman Dalam DIKTI 2004
Meningkatkan Hasil Jagung Di Lahan
kering Suawesi Selatan. Disertasi Program
Doktor, UNIBRAW Malang

8. Peranan Mulsa Organik dalam DIKTI 2006


mempertahankan kadar air tanah bagi
peningkatan hasil tanaman jagung di lahan
kering. Ketua
9 Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Dosen Muda 2007
dalam meningkatkan hasil tanaman jagung DIKTI
di lahan kering dan pengaruhnya terhadap
sifat-sifat tanah. Ketua
55

10. Hibah Bersaing 2008-2009


Pengembangan Teknik Budidaya Tanaman DIKTI
Jarak Pagar di lahan kering Sulawesi
Selatan dalam upaya meningkatkan
ketersediaan bahan baku Biofuel. Ketua
11.
Pemanfaatan Bahan Organik Hibah Bersaing 2009
Chromolaena odorata dan Crotalaria DIKTI
juncea untuk Meningkatkan
Ketersediaan Fosfor bagi Peningkatan
Hasil Tanaman Kedelai di Lahan Kering,
Anggota.
Hibah Bersaing
12. Peningkatan Hasil Tanaman Jagung di DIKTI 2012-2013
Lahan Kering Marginal yang Mengalami
Cekaman Abiotis dengan Pemanfaatan
Tumbuhan Liar Setempat sebagai
Sumber Bahan Organik, Ketua Unggulan PT

Perakitan varietas padi local Sulawesi DIKTI 2013


Selatan (Ase lapang) berumur genjah dan
berdaya hasil tinggi dengan radiasi sinar
gamma. Ketua P

PUBLIKASI

Jenis
Publikasi /
No. Penulis Judul Artikel Status
Penerbit

1. Subaedah, St, Respon Tanaman Jagung dan Jurnal Akreditasi


B.Guritno, Perbaikan Sifat Kimia Tanah AGRIVITA
DIKTI
Syamsulbachri pada Berbagai Jenis Tanaman
Vol.26, No.3
dan Penutup Tanah di Lahan Kering. SK No.52/
A.Sastrosupadi 2004 Hal..222- DIKTI/
226 KEP.2002

2. Subaedah,St. Aplikasi Cover Crop Sebagai Prosiding, ISBN:979-25-


Pengendali Gulma dan Seminar 3320-6
Pengaruhnya Terhadap Nasional IX
Pertumbuhan & Hasil Tanaman Olah Tanah
Jagung. 2004 Konservasi.
Gorontalo,
SULUT
56

Hal.129-130

3. Subaedah, St. Respon Tanaman Jagung Prosiding, ISBN:979-25-


B.Guritno, terhadap pengolahan tanah dan Seminar 3320-6
Syamsulbachri pemberian N pd lahan bekas TPT Nasional IX
dan di lahan kering. 2004 Olah Tanah
A.Sastrosupadi Konservasi.
Gorontalo,
SULUT
Hal.131-141

4. Subaedah, St. Respon Tanaman Jagung pada Jurnal Akreditasi


B.Guritno, Berbagai Jenis Tanaman AGRIVITA
DIKTI
Syamsulbachri Penutup Tanah dan
Vol.27, No.1
dan Pengembalian Residu Tanaman SK No.52/
A.Sastrosupadi di Lahan Kering Hal..1-6 DIKTI/
KEP.2002
2005

5. Subaedah St. Aplikasi mikoriza dan hormone Jurnal ISSN:1007-


tumbuh jatrofert terhadap AGROTEK 574X
pertumbuhan bibit Jarak pagar
Vol.2 No.2
(Jatropha curcas). 2007

6 Subaedah, St. Aplikasi mikoriza terhadap Jurnal Akreditasi


ketersedian unsur hara fosfor AGRIVIGOR
DIKTI
dan pengaruhnya terhadap
Vol 6 No 2
pertumbuhan bibit jarak pagar SK No.20/
(Jatropha curcas). 2007 174-177. DIKTI/ KEP /
2005

7 Subaedah, St. Perbaikan hasil Tanaman Jagung Jurnal Akreditasi


Nur Alam, di lahan kering dengan AGRIVIGOR
DIKTI
Sutiyanti dan pengelolaan TPT, 2008
Vol 7 No 2
B.Ibrahim SK No.20/
Hal 122-129 DIKTI/ KEP /
2005

8 Subaedah, St. Viabilitas benih jarak Pagar Jurnal ISSN: 1907-


pada berbagai Tingkat Agrotek 574x.
57

Kemasakan Buah Vol.4 No.1


Januari
Tahun 2009 Tahun
2009

9 Subaedah, St. Pengembangan Teknik Jurnal No. ISSN:


Budidaya Tanaman Jarak Ilmiah 1907-6894
Pagar (Jatropha curcas L.) di Bertani
Lahan Kering Sulawesi Vol.V No. 2
Selatan. 2010 103-113

10 Subaedah, St. Komposisi Media Tanam yang Jurnal No. ISSN:


tepat bagi pertumbuhan daun Ilmiah 2085-3505
tanaman hias Aglaonema Aktualita
Donna-Carmen. 2010 Vol.II No.3
234-238

11 Subaedah, St. Modifikasi Lingkungan Mikro Jurnal ISSN: 1907-


bagi Perbaikan Agrotek 574x.
Pertumbuhanan Tanaman Vol.4 No.2
Bawang Merah Januari
Tahun
2009

12 Subaedah, St. Pemanfaatan mulsa organik BALITSERE Makalah


dalam meningkatkan kadar AL Maros, Seminar
air tanah di lahan kering dan Nasional,
pengaruhnya terhadap Oktober
pertumbuhan dan hasil 2011
tanaman jagung

13 Subaedah, St Respon tanaman jagung Vol IV/ Jurnal


terhadap berbagai frekuensi No.6/2012 Ilmiah
pemberian air dan pemberian Aktualita
bahan organik Vol.IV No.6
128-133

14 Subaedah St. Respon tanaman jagung Reviewed Jurnal


terhadap pemupukan N dan P Nasional
disertai pemberian bahan Agrivigor
organik Terakrediat
asi DIKTI
58

15 Subaedah, St. Pengaruh tingkat kematangan Reviewed Jurnal


buah terhadap kadar air, Industri
kadar lemak dan asam lemak Hasil
bebas biji jarak pagar sebagai Perkebunan
bahan baku biodiesel Terakredita
si LIPI

Makassar, April 2017

Dr. Ir. St. Subaedah, MS


59

Lampiran 3. Draf Jurnal

ANALISIS TINGKAT AKSES PANGAN RUMAHTANGGA PETANI


PADA TIPE AGROEKOSISTEM PERSAWAHAAN DI KABUPATEN LUWU
Mais Ilsan1) dan St. Subaeda2)

Ketua Peneliti dan 2)Anggota Peneliti


1)

ABSTRAK
Ketahanan pangan menurut UU.No 18 tahun 2012 menyatakan bahwa ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau sesuai dengan
keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif
secara berkesinambungan. Tujuan dari penelitian ini adalah:. (1) Mengetahui
kondisi akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan di
Kabupaten Luwu, dan (2) menganalisis tingkat akses pangan rumahtangga petani
pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu. Kondisi akses pangan
rumahtangga yang terdiri dari 5 komponen yang membentuk akses pangan pada
rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu
adalah pendapatan kepala rumahtangga tahan pangan, pendapatan istri sangat
rawan pangan, pendapatan anggota rumahtangga rawan pangan, alokasi
pendapatan untuk pangan dan non pangan agak rawan pangan. Tingkat akses
pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten
Luwu berada pada kategori agak rawan pangan.

Kata Kunci: Ketahanan Pangan, Akses Pangan, Tipe Agroekosistem Persawahan

ABSTRACT

Food security by UU.No 18 of 2012 states that food security is food for their fulfillment
of the conditions to the individual countries, which is reflected in the availability of
adequate food, both in quantity and quality, safe, diverse, nutritious, equitable and
affordable in accordance with the beliefs and culture communities to live healthy, active
and productive on an ongoing basis. The purpose of this study is :. (1) Determine the
condition of household food access of farmers in agro-ecosystem types paddy in Luwu,
and (2) to analyze the level of household food access of farmers in agro-ecosystem types
paddy in Luwu. Condition of food access of households consisting of five components
that make access to food at the farmer households on the type of agro-ecosystem paddy
in Luwu is income head of the household food security, revenue wife was so insecure,
income member household food insecurity, the allocation of revenues for food and non
food rather food insecurity. The level of household food access of farmers in agro-
ecosystem types paddy in Luwu in the category somewhat insecure.
60

Pendahuluan
Sektor pertanian akan terus memainkan peran penting untuk pengembangan
ekonomi secara keseluruhan dan memberikan keamanan pangan bagi masyarakat (Teki
Surayya, 2010). Basis pembangunan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan
pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana mulai
dari aspek ketersediaan sampai pada konsumsi pangan untuk mencukupi dan
mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga(A. Henri-Ukoha, 2011). Undang-Undang
RI No.18 tahun 2012 tentang pangan, pasal 1 ayat 4 yang menyatakan bahwa, Ketahatan
Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sesuai dengan keyakinan dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Deptan
2012). www.Deptan.go.id.
Kondisi ketahanan pangan Provinsi Sulawesi Selatan terlihat bahwa pertumbuhan
produksi pangan sumber pangan nabati mengalami peningkatan, kecuali ubikayu
mengalami penurunan 7,86 persen, kacang tanah 9,80 persen , kacang hijau 14,88 persen
dan buah-buahan 0,99 persen. Komoditas yang mengalami kenaikan adalah padi 9,11
persen, jagung 20,00 persen, ubi jalar 7,94 persen, kedelai 47,62 persen dan sayur-
sayuran 16,08 persen. Sementara itu, pangan sumber hewani yang mengalami kenaikan
cukup tinggi yakni ikan sebesar 51,59 persen, telur 24,44 persen dan daging unggas 24,44
persen. Sedangkan daging ruminansia mengalami penurunan sebesar 10,69 persen.
(Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan, 2012).
Aspek ketersediaan pangan komoditas padi menunjukkan bahwa dengan tingkat
kebutuhan konsumsi sebesar 111,88 kg/kapita/tahun atau 878.267 ton, dapat dicapai
surplus sebesar 1.552.708 ton atau mencapai 6,47 persen bila dibanding tahun 2008 yang
mencapai 1.452.264 ton.
Aspek ketersediaan energi rata-rata ketersediaan energi penduduk Sulawesi
Selatan mencapai 5.123 kkal/kapita/hari atau 232,86 persen diatas tingkat penyediaan
sebesar 2200 kkal/kapita/hari dan untuk ketersediaan protein sudah mencapai 154,90
gram/kapita/hari atau 271,75 persen diatas tingkat penyediaan sebesar 57
gram/kapita/hari. Namun demikian ada beberapa wilayah yang masih memiliki
ketersediaan energi yang dibawah standar terutama pada wilayah-wilayah yang terisolir
pada agroekosistem pesisir dan pegunungan.
Walaupun dari sisi ketersediaan energi, sudah diatas standar idealnya, akan tetapi
dari segi keragaman pangan (keseimbangan antar kelompok pangan) masih terjadi
ketimpangan. Kelompok pangan padi-padian yang idealnya hanya menyumbang sekitar
61

50 persen dari total energi, kenyataannya memberikan sumbangan yang cukup tinggi
yakni 83,43 persen, demikian pula kelompok pangan lainnya masih belum sesuai dengan
yang diharapkan. Disis lain skor PPH tingkat ketersediaan yang dicapai baru 86,31 atau
sekitar 86 persen dari skor PPH idealnya sebesar 100. Kelompok pangan yang sudah
mencapai skor ideal adalah padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan dan gula,
sedangkan kelompok pangan yang belum memenuhi skor PPH ideal adalah pangan
hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak serta sayur dan buah.
Landasan Teori
Ketahanan pangan secara umum terdiri dari 4 subsistem yaitu : ketersediaan
pangan (food availability), akses pangan (food access), penyerapan pangan (food
utilization) dan stabilitas pangan (food stability), sedangkan status gizi (nutritial status)
merupakan outcome ketahanan pangan (Gross, 2000 dan Weingartner, 2004, dalam
Hanani Nuhfil, 2012).Untuk mengetahui keterhubungan dari subsistem ketahanan pangan
dapat dilihat pada gambar 1.

Produksi sendiri, Ketersediaan pangan


pasokan luar,
(Food Availability)
cadangan pangan,
bantuan pangan
Stabilitas
Akses Pangan
Akses ekonomi, fisik, (Stability)
(Food Availability)
dan sosial

Pemenuhan energi, Penyerapan Pangan


gizi, air dan kesehatan
lingkungan (Food Utilization)

Kerawanan pangan,
tingkat gizi balita, Status gizi
kematian bayi, harapan
(Nutritional status)
hidup

Gambar 1. Subsistem Ketahanan Pangan (Sumber: Hanani Nuhfil, 2012)


Mais Ilsan, 2007 melakukan penelitian dengan Judul “Penyusunan Indikator
Pemetaan Rawan Pangan Kabupaten Takalar”, salah satu hasil analisis yang dilakukan
untuk 9 kecamatan dan 77 desa. Kecamatan Galesong sebagai salah satu kecamatan
menunjukkan bahwa ketersediaan pangan masih sangat rendah, akses pangan berada pada
kategori sedang dan penyerapan pangan berapa pada kategori tinggi. Berdasarkan ketiga
62

aspek tersebut maka Kecamatan Galesong derajat ketahanan pangannya berada pada
kategori agak rawan pangan.
Penelitian yang dilakukan Waspodo (2003) mengkaji pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan lautan terhadap ketahanan pangan rumah tangga nelayan di Kabupaten
Lombok Barat, dengan melihat tingkat produksi, pendapatan rumah tangga, konsumsi
pangan, harga pangan, pengetahuan pangan dan gizi dalam rumah tangga nelayan.
Adi dkk, (1999) yang mengamati Konsumsi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga
menurut Tipe ekologi di Wilayah Kabupaten Pasuruan Jawa Timur memberikan
kesimpulan bahwa tingkat konsumsi energi baru 68,1% AKE (Angka Kecukupan Energi)
dan tingkat konsumsi protein 96,91% AKP (Angka Kecukupan Protein). Sedangkan
masyarakat yang tinggal di lahan kurang subur tingkat konsumsi pangan relatif rendah
dimana konsumsi energi 60,1% dan tingkat konsumsi protein 78,3% ( AKP).
Ariani dan Rachman (2002), yang mengkaji Konsepsi dan Performa Ketahanan
Pangan, menyimpulkan bahwa ketahanan pangan rumahtangga secara umum dicirikan
oleh beberapa indikator yaitu kecukupan, ketersediaan dan akses pangan, serta kondisi
sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan dan
pengeluaran untuk pangan). Kondisi ketahanan pangan rumahtangga konsumsi energinya
hanya 84% dari norma kecukupan. Berdasarkan skor PPH, konsumsi pangan belum
seimbang, sebesar 70% dari skor ideal. Sedangkan sumber energi yang dikonsumsi oleh
rumah tangga masih dominan pada beras, dan konsumsi proteinnya terutama dari hewani
masih sangat rendah.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan
bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu lumbung pangan pada kawasan timur
Indonesia. Penentuan lokasi untuk objek penelitian ditentukan dengan menggunakan
Multistgae Sampling, dengan 4 tahap yaitu penentuan kabupaten, penentuan kecamatan,
penentuan desa dan penentuan rumahtangga.
Metode yang digunakan untuk menentukan rumahtangga responden adalah
metode purposive dengan ketentuan : (1) rumahtangga tersebut kepala rumahtangganya
memiliki pekerjaan pokok sebagai petani, (2) memiliki istri dan anak. Jumlah populasi
rumahtangga yang terpilih akan dilanjutkan dengan menggunakan metode acak
berstruktur untuk menentukan jumlah rumahtangga yang akan menjadi responden.
Jumlah responden terpilih yaitu 88 rumahtangga pada tipe agroekosistem pesisir, 100
rumahtangga pada tipe agroekosistem persawahan dan 67 rumahtangga pada tipe
63

agroekosistem pegunungan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif dan analisis tingkat ketahanan pangan rumahtangga.

Sistem
Ketahanan
Pangan

Ketahanan Pangan
Rumahtangga

Agroekosistem
Persawahan

Pangan Utama
(padi jagung, Ubi Kayu Ubi Jalar)

Akses Pangan

Pendapatan Kepala Rumahtanggaa


Pendapatan
Pendapatan
Istri Anggota Alokasi
Rumahtangga Alokasi
Pendapatan Untuk Pendapatam Untuk Non Pangan
Pangan

Peningkatan Akses Pangan Rumahttangga

Peningkatan Ketahanan Pangan Rumag Tangga

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian Akses Pangan Rumahtangga Petani Pada


Tipe Agroekosistem Persawahan di Kabupaten Luwu.
64

Hasil Penelitian

Komponen akses pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah


pendapatan kepala rumahtangga, pendapatan istri, pendapatan anggota
rumahtangga, alokasi pendapatan untuk pangan dan alokasi pendapatan untuk non
pangan. Hasil analisis tentang variabel akses pangan rumahtangga akan disajikan
pada beberapa tabel berikut.
Tabel 1. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem
Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Pendapatan Kepala
Rumahtangga, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 30 30
Tahan Pangan 5 23 23
Agak Tahan Pangan 4 25 25
Agak Rawan Pangan 3 20 20
Rawan Pangan 2 2 2
Sangat Rawan Pangan 1 0 0
Total 100 100
Skor rata-rata : 4,59 (Tahan Pangan)

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa skor untuk variabel pendapatan kepala


rumahtangga sebesar 4,59 atau berada pada kategori tahan pangan. Sebaran
tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan kepala
rumahtangga yaitu sangat tahan pangan sebanyak 30%, tahan pangan sebanyak
23%, agak tahan pangan sebanyak 25%, agak rawan pangan sebanyak 20%, dan
rawan pangan sebanyak 2%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan
kepala rumahtangga masih memiliki kontribusi yang besar dalam menentukan
tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem di Kabupaten
Luwu. Untuk itu diharapkan kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem
persawahan agar berupaya lebih meningkatkan pendapatan rumahtangganya yang
berssumber dari kepala rumahtangga.
Variabel kedua yang membentuk akses pangan rumahtangga adalah
pendapatan istri. Untuk mengetahui tingkat akses pangan rumahtangga petani
untuk variabel pendapatan istri disajikan pada Tabel 2.
65

Tabel 2. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem


Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Pendapatan Istri, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 0 0
Tahan Pangan 5 0 0
Agak Tahan Pangan 4 0 0
Agak Rawan Pangan 3 4 4
Rawan Pangan 2 13 13
Sangat Rawan Pangan 1 83 83
Total 100 100
Skor rata-rata : 1,21

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa skor untuk variabel pendapatan istri


sebesar 1,21 atau berada pada kategori sangat rawan pangan. Sebaran tingkat
ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan istri yaitu sangat tahan
pangan sampai agak tahan pangan tidak ada. Sedangkan agak rawan pangan
sebanyak 4%, rawan pangan sebanyak 13% dan sangat rawan pangan sebanyak
83%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan istri memiliki
kontribusi yang kecil dalam menentukan tingkat akses pangan rumahtangga petani
pada tipe agroekosistem di Kabupaten Luwu. Untuk itu diharapkan kepada petani
yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar berupaya lebih
meningkatkan pendapatan rumahtangganya yang berssumber dari istri. Implikasi
yang akan terjadi jika kepala rumahtangga dalam melakukan aktivitas
usahataninya dan mengalami kegagalan maka pendapatan istri tidak mampu untuk
mencukupi kebutuhan rumahtangga sehingga rumahtangga tersebut akan
mengalami rawan pangan.
Anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan keluarga juga memiliki
potensi untuk memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumahtangga untuk
mengakses pangan. Variabel ketiga yang membentuk akses pangan
rumahtangga adalah pendapatan anggota rumahtangga. Untuk mengetahui tingkat
akses pangan rumahtangga petani untuk variabel pendapatan anggota
rumahtangga disajikan pada Tabel 3.
66

Tabel 3. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem


Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Pendapatan Anggota
Rumahtangga, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 0 0
Tahan Pangan 5 2 2
Agak Tahan Pangan 4 11 11
Agak Rawan Pangan 3 24 24
Rawan Pangan 2 27 27
Sangat Rawan Pangan 1 36 36
Total 100 100
Skor Rata-rata : 2,16

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa skor untuk variabel pendapatan


anggota rumahtangga sebesar 2,16 atau berada pada kategori rawan pangan.
Sebaran tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel pendapatan
anggota rumahtangga yaitu sangat tahan pangan tidak ada. Sebaran lain yaitu
tahan pangan sebanyak 2%, agak tahan pangan sebanyak 11%, agak rawan pangan
sebanyak 24%, rawan pangan sebanyak 27% dan sangat rawana pangan sebanyak
36%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan anggota keluarga
memiliki kontribusi yang kecil dalam menentukan tingkat akses pangan
rumahtangga petani pada tipe agroekosistem di Kabupaten Luwu. Untuk itu
diharapkan kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar
berupaya lebih meningkatkan pendapatan rumahtangganya yang berssumber dari
ianggota rumahtangga yang produktif. Implikasi yang akan terjadi jika kepala
rumahtangga dalam melakukan aktivitas usahataninya mengalami kegagalan maka
pendapatan anggota rumahtangga tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan
rumahtangga sehingga rumahtangga tersebut akan mengalami rawan pangan.
Pendapatan yang dihasilkan oleh anggota rumahtangga yang bekerja akan
dialokasikan untuk kebutuhan pangan. Untuk mengetahui tingkat akses pangan
rumahtangga untuk variabel alokasi pendapatan untuk pangan disajikan pada
Tabel 4.
67

Tabel 4. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem


Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Alokasi Pendapatan
Untuk Pangan, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 3 3
Tahan Pangan 5 15 15
Agak Tahan Pangan 4 28 28
Agak Rawan Pangan 3 20 20
Rawan Pangan 2 20 20
Sangat Rawan Pangan 1 14 14
Total 100 100
Skor Rata-rata : 3,19
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa skor untuk variabel alokasi pendapatan
untuk pangan sebesar 3,19 atau berada pada kategori agak rawan pangan. Sebaran
tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel alokasi pendapatan untuk
pangan yaitu sangat tahan pangan tidak ada. Sebaran lain yaitu tahan pangan
sebanyak 17%, agak tahan pangan sebanyak 28%, agak rawan pangan sebanyak
20%, rawan pangan sebanyak 20% dan sangat rawan pangan sebanyak 14%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi pendapatan untuk pangan masih
lebih besar sehingga rumahtangga hanya berupaya untuk memenuhi pangan utama
sehingga kebutuhan lain akan terabaikan. Untuk itu diharapkan kepada petani
yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar berupaya lebih mengurangi
konsumsi untuk pangan sehingga petani akan menjadi lebih sejahtera. Kebutuhan
akan pangan utama bagi rumahtangga petani masih menjadi prioritas sehingga
upaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder yang tergolong non pangan masih
terabaikan. Implikasi yang akan terjadi jika alokasi pendapatan untuk pangan
lebih besar adalah rumahtangga tersebut masih tergolong pra sejahtera.
Pendapatan yang dihasilkan oleh anggota rumahtangga yang bekerja akan
dialokasikan untuk kebutuhan non pangan. Untuk mengetahui tingkat akses
pangan rumahtangga untuk variabel alokasi pendapatan untuk non pangan
disajikan pada Tabel 5.
68

Tabel 5. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem


Persawahan di Kabupaten Luwu Untuk Variabel Alokasi Pendapatan
Untuk Non Pangan, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor Jumlah Responden Persentase


Pangan Rumahtangga (orang) (%)
Sangat Tahan Pangan 6 0 0
Tahan Pangan 5 7 7
Agak Tahan Pangan 4 12 12
Agak Rawan Pangan 3 38 38
Rawan Pangan 2 43 43
Sangat Rawan Pangan 1 0 0
Total 100 100
Skor Rata-rata : 2,83
Sumber : Lampiran 4.
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa skor untuk variabel alokasi pendapatan
untuk non pangan sebesar 2,83 atau berada pada kategori agak rawan pangan.
Sebaran tingkat ketahanan pangan rumahtangga untuk variabel alokasi pendapatan
untuk non pangan yaitu sangat tahan pangan tidak ada. Sebaran lain yaitu tahan
pangan sebanyak 7%, agak tahan pangan sebanyak 12%, agak rawan pangan
sebanyak 38%, rawan pangan sebanyak 43% dan sangat rawan pangan tidak ada.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi pendapatan untuk non pangan
masih lebih kecil sehingga rumahtangga hanya berupaya untuk memenuhi pangan
utama sehingga kebutuhan non pangan akan terabaikan. Untuk itu diharapkan
kepada petani yang berada pada tipe agroekosistem persawahan agar berupaya
lebih mengurangi konsumsi untuk pangan dan berupaya meningkatkan kebutuhan
non pangan sehingga petani akan menjadi lebih sejahtera. Kebutuhan akan non
pangan bagi rumahtangga petani masih sangat rendah prioritas sehingga upaya
untuk memenuhi kebutuhan sekunder yang tergolong non pangan masih
terabaikan. Implikasi yang akan terjadi jika alokasi pendapatan untuk non pangan
lebih kecil adalah rumahtangga tersebut masih tergolong pra sejahtera.
Akses pangan rumahtangga merupakan gabungan dari 5 variabel yang
membentuk penilaian akses pangan. Untuk mengetahui tingkat akses pangan
rumahtangga petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu
disajikan pada Tabel 6.
69

Tabel 6. Analisis Tingkat Akses Pangan Rumahtangga Tipe Agroekosistem


Persawahan di Kabupaten Luwu, 2016.

Tingkat Ketahanan Skor X Bobot Jumlah Persentase


Pangan Rumahtangga Responden (%)
(orang)
Sangat Tahan Pangan 103,35 – 120,00 0 0
Tahan Pangan 86,68 – 103,34 0 0
Agak Tahan Pangan 70,01 – 86,67 3 3
Agak Rawan Pangan 53,34 – 70,00 68 68
Rawan Pangan 36,67 – 53,33 29 29
Sangat Rawan Pangan 20,00 – 36,66 0 0
Total 100 100
Rata-rata BobotXSkor : 57,76
Sumber : Lampiran 4.

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa tingkat akses pangan rumahtangga


petani pada tipe agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu sebesar 57,76
atau berada pada kategori agak rawan pangan. Sebaran responden yang berada
pada kategori sangat tahan pangan dan tahan pangan tidak ada. Sebaran
responden yang agak tahan pangan sebanyak 3%, agak rawan pangan sebanyak
68% dan rawan pangan 29% serta sangat rawan pangan tidak ada. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa akses pangan rumahtangga petani pada tipe
agroekosistem persawahan di Kabupaten Luwu masih perlu ditingkatkan terutama
dalam peningkatan pendapatan istri dan anggota keluarga yang produktif.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka kesimpulan dari penelitian ini adalah1):.
Kondisi akses pangan rumahtangga yang terdiri dari 5 komponen yang
membentuk akses pangan pada rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu adalah pendapatan kepala rumahtangga tahan
pangan, pendapatan istri sangat rawan pangan, pendapatan anggota rumahtangga
rawan pangan, alokasi pendapatan untuk pangan dan non pangan agak rawan
pangan, 2) Tingkat akses pangan rumahtangga petani pada tipe agroekosistem
persawahan di Kabupaten Luwu berada pada kategori agak rawan pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, A.C., et al. 1999. Konsumsi dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut
Tipe Agroekologi di Wilayah Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Media
Gizi dan Keluarga, XXIII(I): 8-14.
70

Ariani, M., H.P. Dan Saliem, 2002. Ketahanan Pangan, Konsep, Pengukuran dan
Strategi, dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 20 No. 1. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Becker, Gary, S., 1965. A. Theory of The Allocation of Time. The Economic
Journal No. 299 Vol LXXV.
Baliwati, Y.F., 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani
(Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor). Disertasi. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan, 2012. Laporan Kinerja Ketahanan
Pangan Sulawesi Selatan Tahun 2011.
Chung, K., L. Haddad, J. Ramakrisna and F. Riely, 1997. Identifying the Food
Insecure, The Application on Mixed – Methode Approaches in India.
Washington DC: International Food Policy Research Institute.
Djauhari, 1988. Model Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumahtangga Untuk
Makanan Siap Konsumsi di Jawa Timur. Disertasi. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Departemen Pertanian, R.I., 2004. Rencana Strategic dan Program Kerja
Pemantapan Ketahanan Pangan Tahun 2001 – 2004. Badan Bimas
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Jakarta www.deptan.go.id.
Ellis, F., 1988. Peassant Economics, Farm Household and Agrarian Development.
Cambridge University Press.
Elly, F.H., 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi
Rumahtangga Usaha Ternak Sapi-Tanaman Di Sulawesi Utara. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Handewi, R., 2004. Identifikasi Wilayah Rawan Pangan di Propinsi D.I.
Yogyakarta. ICASERD WORKING PAPER No, 36.
Henri Ukoha, 2011. The Level of Food Security/Insecurity by Gender in Selected
Land Tenure System Among Cassava-Based Farmers in Abia State, South
East Nigeria: A Comparative Analysis. Internasional Journal of
Agrikulturan and Food Science, http://www.urpjournals.com ISSN 2249-
8516.
Hanani Nuhfil, 2014. Workshop Kedaulatan Pangan. Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Nasional, Perhepi 18 Desember 2014.
Nuhfil, H., 2012 .Staretgi Enam Pilar Pembangunan Ketahanan Pangan. Pidato
Pengukuhan Guru besar Dalam Bidang Ilmu Ekonomi Pertanoan Pada
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Jellinek dan Rustanto, 1999. Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya. Nasional
Pangan dan Gizi VI. LIPI. Jakarta.
Jaya Putra, 2001. Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Di Daerah Kawasan
Pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara. Tesis Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Mais Ilsan, 2014. Food Security Performance of Famer Houshold at Three
Agroecosystem Types (Case Study in South Sulawesi). AENSI Journals
AEB (Advances in Enviromental Biology) 8(17)
http://www.aensiweb.com/AEB/ ISSN : 1995-0756 September 2014, Page
744-749.
71

Mais Ilsan, 2014. Factors Affecting the Improvement of Farmers Household Food
Security In South Sulawesi AENSI Journals AEB (Advances in
Enviromental Biology) http://www.aensiweb.com/AEB/ ISSN : 1995-
0756, April 2015, Pages: 540-550
Mais Ilsan, Comparative Analysis of Household Food Security at Three Agro-
Ecosystems Based on Farming Scale in South Sulawesi, Australian
Journal of Basic and Applied Sciences, 10(16) November 2016, Pages:
282-291, ISSN:1991-8178 EISSN: 2309-8414, Journal home page: http://
www.ajbasweb.com
Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Cetakan Ketujuh
November 2009.
Parel, C.P.P., P.L. Ferrer, G.C. Caldito, 1973. Sampling Design and Procedures.
The Agricultural Development Council, New York.
Sumarwan, Ujang dan Dadang Sukandar, 1998. Analisis Ketahanan Pangan
Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga. Media Gizi dan Keluarga, XXII(1).
Susanto, D., 1994. Meningkatkan Strategi Komunikasi, Informasi dan Edukasi
(KIE) dalam Pengentasan Masalah Gizi Kurang. Risalah Widyakarya
Pangan dan Gizi IV. LIPI. Jakarta.
Teki Surayya, 2010. Food Supply Chain Managemen: Chalelenger and Strategies.
Journal of Food
72

Lampiran 3. Rincian Biaya Penelitian

Item Honor Volume Satuan Honor/harga Total (Rp)


satuan
3. Honor OutputKegiatan

Honor Ketua 1 orang 2.500.000 2.500.000

Honor Anggota 1 orang 1.000.000 1.000.000

2. Belanja Bahan

Bahan habis Pakai 1 paket 1.500.000 1.500.000

3. Belanja Brang Non Operasional lainnya

Penginapan 1 3 hari 450.000 1.350.000

Penginapan 2 15 hari 450.000 6.750.000

4. Belanja Perjalanan lainnya

Perjalanan 1 3 hari 300.000 900.000

Perjalanan 2 30 hari 50.000 1.500.000

Total Biaya 15.500.000

Terbilang: Lima Belas Juta Lima Ratus Ribu Rupiah

Lampiran 4. Time Skedul Pelaksanaan Penelitian

Bulan I Bulan II Bulan II Bulan IV


Tahapan 2016 2016 2016 2016
Kegiatan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

Persiapan
Proposal
73

Bulan I Bulan II Bulan II Bulan IV


Tahapan 2016 2016 2016 2016
Kegiatan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

Seminar
Proposal
Pengurusan
Surat Izin
Pelaksanaan
Survei
Tabulasi Data
Hasil Penelitian
Analisis Data
Hasil Penelitian
Perampungan
Hasil Penelitian
Seminar Hasil
Penelitian
Perbaikan
Laporan Hasil
Penelitian
Penyerahan
Laporan Hasil
Penelitian

Lampiran 5. Susunan Organisasi

Nama Peneliti Jabatan Uraian Tugas


74

Ir. Annas Boceng, MS Dekan Fak. Memonitoring pelaksanaan


Pertanian UMI penelitian
Dr. Ir. Mais Ilsan, M.P Ketua Peneliti Bertanggunga jawab dalam
pelaksanaan penelitian dengan
rincian tugas:
1. Membuat proposal
2. Pengurusan izin peneltian
3. Melakukan Survei
4. Menganalisis Data
5. Membuat Laporan
Dr.Ir. St. Subaedah, MS Anggota Bertanggungjawab dalam survey
Peneliti dengan rincian tugas:
1. Melakukan survey
2. Melakukan Tabulasi Data
3. Membahas Hasil Penelitian
Muh. Vikram Tenaga Sebagai tenaga lapangan bertugas
(Mahasiswa S1) Lapangan dalam wawancara ke responden

Anda mungkin juga menyukai