Anda di halaman 1dari 36

STATUS KEPANITERAAN KLINIK

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Nama mahasiswa : Puteri Rahmia Tanda tangan:

NIM : 030.09.187

Dokter pembimbing : dr. Sukaenah S, Sp.P

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. P

No. RM 912105

Umur : 58 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Status pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Tukang Las

Alamat : Jl. Gotong Royong, Dukuh Kramat Jati Rt13/04 Jakarta Timur

Bangsa : WNI

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tanggal masuk RS : 8 Januari 2014 pukul 13.10

1
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis (istri pasien) pada tanggal
17 Januari 2014 jam 13.00

Keluhan Utama
Pasien datang ke UGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan utama demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke UGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan utama demam sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan suhu nya naik turun dan
munculnya tidak menentu. Ketika demam sering disertai menggigil. Pasien
mengaku tidak mengukur suhu dengan thermometer, hanya diraba tangan saja.
Pasien hanya mengobati demam nya dengan obat warung.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk sejak sebulan yang lalu. Sifat batuk
berdahak berwarna putih. Bila batuk terus-menerus dadanya sesak dan perutnya
sampai sakit. Pasien juga lemas dan kurang nafsu makan sehingga merasa
badannya lebih kurus. Mual dan muntah disangkal pasien. Bak dan Bab dalam
batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak mempunyai riwayat flek paru dan berobat selama 6 bulan
menggunakan obat berwarna merah. Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit
sebelumnya. Pasien tidak mempunyai riwayat kencing manis dan hipertensi.
Riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat kencing manis, asthma, dan keganasan pada keluarga
pasien. Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai keluhan yang sama dengan
pasien, namun ada teman di tempat kerja yang menderita batuk-batuk lama dan
keluhan batuk pada pasien timbul setelah menjenguk teman kerjanya itu.

2
Riwayat Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai tukang las, dan sering terkena debu las. Jika sedang
bekerja pasien tidak memakai masker. Merokok disangkal pasien, namun di
sekitar lingkungan kerja pasien rata-rata adalah perokok. Konsumsi alkohol dan
obat-obatan terlarang disangkal oleh pasien. Pasien memiliki kebiasaan suka tidur
di lantai dan tidak memakai baju. Pasien juga suka makan-makanan sembarangan
di sekitar tempat kerjanya.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai tukang las. Pasien tinggal di lingkungan padat


penduduk, namun ventilasi dan penerangan di rumah pasien baik.

Riwayat Pengobatan

Pasien biasa megkonsumsi obat-obatan warung saat ada keluhan seperti


demam dan sakit kepala.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 38º C
Pernapasan : 26x/menit
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 55 kg
Kesan Gizi : normal (BMI = 19)
Sianosis : (-)
Ikterik : (-)
Oedema anasarka : (-)
Habitus : astenikus
Mobilitas (aktif/pasif) : aktif
Umur menurut taksiran : sesuai dengan usia sebenarnya

3
Kulit
Warna : Sawo Efloresensi : (-)
matang Jaringan parut : (-)
Ptechiae : (-) Pertumbuhan rambut: Merata
Pigmentasi : (-) Suhu raba : Hangat
Lembab/kering : Kering Turgor : Baik
Keringat : Umum Ikterus : (-)
Lapisan lemak :
Merata Oedem : (-)

Kelenjar Getah Bening


Preaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Submental : tidak teraba membesar
Retroaurikuler : tidak teraba membesar
Sepanjang M. Sternokleidomastoideus : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Infraklavikula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak dilakukan pemeriksaan

Kepala
Ekspresi wajah : tampak sakit sedang
Simetri muka : simetris
Rambut : distribusi merata, warna hitam
Mata
Exophthalmus : (-) Lensa : jernih
Endophthalmus : (-)
Kelopak : oedem
(-)
Konjungtiva : anemis (+)
Sklera : ikterik (-)
Lapangan penglihatan : baik
Nistagmus : (-)

4
Visus : normal
Gerak bola mata : aktif
ke segala arah
Tekanan bola mata: normal

5
Telinga
Daun telinga : normotia/normotia
Liang telinga : lapang/lapang
Serumen : +/+
Sekret : -/-
Membran timpani : intak/intak (inspeksi)

Hidung
Deformitas : tidak ada
Cavum nasi : lapang/lapang
Concha : eutrofi/eutrofi
Septum deviasi : -/-
Sekret : -/-

Mulut
Bibir : kering
Lidah : normoglossia, tidak terdapat kelainan
Mukosa : tidak hiperemis, tidak terdapat kelainan
Gigi geligi : caries (+), oral hygiene cukup baik
Tonsil : T2-T2, tidak hiperemis, detritus -/-, kripta melebar -/-
Dinding faring posterior : tidak hiperemis, tidak terdapat massa
Bau pernapasan : halitosis (-)
Trismus : (-)

Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5+2 cmHg
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak teraba membesar

6
Paru-Paru
Inspeksi
Simetris lapang paru kanan dan kiri pada keadaan statis maupun dinamis, efloresensi
bermakna (-), jejas (-), retraksi sela iga (-), gerak nafas tidak ada yang tertinggal, sela
iga tidak melebar. Tulang iga dan sternum tidak terlalu cekung atau cembung.
Palpasi
Simetris lapang paru kanan dan kiri pada saat keadaan statis maupun dinamis, nyeri
tekan (-), vocal fremitus melemah pada basal kanan.
Perkusi
Sonor pada hemithoraks paru kiri. Redup pada basal paru hemithoraks kanan. Batas
paru dan hepar setinggi ICS 5 garis midklavikularis kanan dengan suara pekak.
Peranjakan hepar teraba 2 jari pemeriksa. Batas paru dan jantung kanan setinggi ICS
3 – ICS 5 garis sternalis kanan dengan suara redup. Batas bawah paru dan lambung
setinggi ICS 6 garis axillaris anterior kiri dengan suara timpani. Batas paru dan
jantung kiri setinggi ICS 5 1 cm medial garis midklavikularis kiri dengan suara redup.
Batas atas jantung setinggi ICS 3 garis parasternal kiri dengan suara redup.
Auskultasi
Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, wheezing -/-, ronkhi -/-

Jantung
Inspeksi
Ictus cordis terlihat di ICS V 1 cm dari garis midklavikularis kiri
Palpasi
Ictus cordis teraba pada ICS 5 + 1 cm medial garis midklavikularis kiri. Tidak teraba
thrill pada keempat area katup jantung. Besar sudut angulus subcostae > 90°
Perkusi
Batas kanan jantung setinggi ICS 3 – ICS 5 garis sternalis kanan dengan suara redup.
Batas kiri jantung setinggi ICS 5, 1 cm medial garis midklavikularis kiri dengan suara
redup. Batas atas jantung setinggi ICS 3 garis parasternal kiri dengan suara redup.
Auskultasi
BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

7
Abdomen
Inspeksi
Abdomen rata, sagging of the flank (-), smiling umbilicus (-), caput medusae (-),
spider navy (-), hernia umbilikalis (-).
Auskultasi
BU (+) 3 x/menit
Palpasi
Supel, nyeri tekan (-), defans muscular (-), organomegali (-), ascites (-).
Perkusi
Timpani di seluruh lapang abdomen.

Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normal normal
Massa : normal normal
Sendi : ke segala arah ke segala arah
Gerakan : ke segala arah ke segala arah
Kekuatan : 5 5
Oedem : (-) (-)
Lain-lain
Ptechiae : (-) (-)
Palmar eritema : (-) (-)

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri


Luka : (-) (-)
Varises : (-) (-)
Otot
Tonus : normal normal
Massa : normal normal
Sendi : ke segala arah ke segala arah

8
Gerakan : ke segala arah ke segala arah
Kekuatan : 5 5
Oedem : (-) (-)
Lain-lain
Ptechiae : (-) (-)
Hematoma : (-) (-)

Refleks

Pemeriksaan Kanan Kiri

Refleks tendon + +

Refleks Bisep + +

Refleks Trisep + +

Refleks Patella + +

Refleks Achilles + +

Refleks patologis - -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


I. Pemeriksaan Laboratorium
 Hematologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Leukosit 12.000 3.8-10.6 ribu/uL
Eritrosit 5.4 4.4 – 5.9 juta/uL
Hb 10 13,2-17.3 g/dL
Ht 36 40-52%
Trombosit 426.000 150-440 ribu/uL
MCV 67 80-100 µ

9
MCH 18.7 26-34 pg

 Imunoserologi
Imunoserologi Typhoid Fever
Widal Salmonella Titter
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
S Typhi O Negatif Negatif
S Typhi AO Negatif Negatif
S Typhi BO Negatif Negatif
S Typhi CO Negatif Negatif
S Typhi H 1/160 Negatif
S Typhi AH Negatif Negatif
S Typhi BH Negatif Negatif
S Typhi CH Negatif Negatif

II. EKG

1
Kesan : Suspek hipertrofi ventrikel kanan, sinus takikardi, deviasi axis ke kanan, ST
segmen depresi ( anterior ) dan ST segmen elevasi (anterior).

Rontagen

Jenis : Foto Thoraks PA


Deskripsi : CTR sulit dinilai.
Tampak perselubungan yang mengawan di daerah basal paru kanan.
Tampak Infiltrat di apex pulmo. Corakan Bronkovaskular meningkat
Kesan : Koch Pulmonale, Efusi Pleura Dextra

Jenis : Foto Thoraks Lateral

1
Deskripsi : Tampak penebalan pleura yang berbatas tegas di anterior dextra di ½
basal hemithoraks. Tampak Infiltrat di apex pulmo
Kesan : Efusi Pleura Incapsulated

III. DIAGNOSIS KERJA

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang selama


dirawat, diagnosis kerja pada pasien ini adalah Efusi Pleura hemithoraks dextra ec Tb
Paru dan anemia.

Efusi Pleura Hemithoraks dextra ec Tb Paru


 Anamnesis
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan tambahan pasien adalah batuk sejak
sehari yang lalu. Sifat batuk berdahak berwarna putih. Bila batuk terus-menerus
dadanya sesak dan perutnya sampai sakit. Pasien juga lemas dan kurang nafsu makan
sehingga merasa badannya lebih kurus. Ada teman di tempat kerja pasien yang
menderita batuk-batuk lama dan keluhan batuk pada pasien timbul setelah menjenguk
teman kerjanya itu. Pasien juga memiliki kebiasaan suka tidur di lantai dan tidak
memakai baju. Lingkungan rumah pasien berada di lingkungan padat penduduk.
 Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pada perkusi paru ditemukan suara redup
pada basal hemithoraks dextra. Vocal fremitus melemah pada basal hemithoraks
dextra.
 Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan penunjang yaitu dari pemeriksaan darah lengkap adalah
leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri. Pada foto rontagen PA dan
Lateral adalah terdapat efusi pleura di daerah basal paru kanan dan terdapat infiltrate
di apex pulmo yang mengindikasikan adanya Koch pulmonale.

Anemia

 Anamnesis

1
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien merasa lemas. Pasien juga mengaku kurang
nafsu makan.
 Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pasien anemis.
 Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan pada hasil pemeriksaan darah lengkap,
kadar Hb pasien adalah 10.

IV. RESUME
Seorang laki-laki berinisial Tn. P usia 58 tahun datang ke UGD RSUD Budhi
Asih dengan keluhan utama demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
dirasakan suhu nya naik turun dan munculnya tidak menentu. Ketika demam sering
disertai menggigil. Pasien mengaku tidak mengukur suhu dengan thermometer, hanya
diraba tangan saja. Pasien hanya mengobati demam nya dengan obat warung.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk sejak sehari yang lalu. Sifat batuk
berdahak berwarna putih. Bila batuk terus-menerus dadanya sesak dan perutnya
sampai sakit. Pasien juga lemas dan kurang nafsu makan sehingga merasa badannya
lebih kurus. Di tempat kerja pasien ada teman yang menderita batuk-batuk lama dan
keluhan batuk pada pasien timbul setelah menjenguk teman kerjanya itu. Pasien
bekerja sebagai tukang las, dan sering terkena debu las. Jika sedang bekerja pasien
tidak memakai masker. Di sekitar lingkungan kerja pasien rata-rata adalah perokok.
Pasien memiliki kebiasaan suka tidur di lantai dan tidak memakai baju. Pasien juga
suka makan-makanan sembarangan di sekitar tempat kerjanya. Pasien tinggal di
lingkungan padat penduduk.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang. Pasien subfebris dengan
suhu 38 º C . Pasien tampak agak sesak dengan RR 26x/menit. Konjungtiva pasien
anemis. Pada perkusi paru ditemukan suara redup pada basal hemithoraks dextra.
Pada hasil pemeriksaan darah lengkap, kadar Hb pasien adalah 10 yang
mengindikasikan adanya anemia dan terdapat juga leukositosis. Pada pemeriksaan
imonuserologi (tes widal) didapatkan positif 1/160 untuk Salmonella Thypi H . Pada

1
pemeriksaan EKG didapatkan Suspek hipertrofi ventrikel kanan, sinus takikardi,
deviasi axis ke kanan, ST segmen depresi ( anterior ) dan ST segmen elevasi
(anterior). Pada pemeriksaan Rontagen tampak penebalan pleura yang berbatas tegas
di anterior dextra di ½ basal hemithoraks dan tampak Infiltrat di apex pulmo.

Jadi, diagnosa kerja pada Tn.P adalah Efusi Pleura ec suspek Tb Paru dan anemia.

V. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
9/01/2014 Batuk kering TD : 110/70 Demam Tifoid Asering/ 8jam
N : 85x/min Anemia DMP 3x2
S : 37 °C PCT 3x1
RR : 20x/min Imboost F 2x1
Ceftriaxon 1x2
Lab 8/01/2014 Pumpisel 1x1
L : 12ribu/uL
Hb : 10 g/dl
Ht : 36 %

Tes Widal
S Thyphi H 1/160
10/01/2014 Batuk kering TD : 120/80 Demam Tifoid Asering/ 8 jam
Sesak nafas N : 80x/min ISPA Levopron Syr
Nyeri perut kanan S : 35,4 °C 3x1C
atas RR : 20x/min DMP 3x2
Imboost F 2x1
Lab 09/01/2014 Ceftriaxon 1x2
Kimia Klinik Hati Pumpisel 1x1
SGPT : 57

1
11/01/2014 Batuk kering TD : 120/80 Demam Tifoid Asering/8jam
Sesak bertambah, N : 96x/min Suspek TBC Levopron Syr
Nyeri perut kanan S : 37 °C 3x1C
atas berkurang RR : 20x/min DMP 3x2
Imboost F 2x1
Foto Thorax 09/01/2014 Ceftriaxon 1x2
- KP Pumpisel 1x1
- Pleuropnemonia
dextra

12/01/2014 Batuk dan sesak TD : 140/90 Demam Tifoid Asering/ 8 jam


N : 84x/min Anemia Levopron Syr
S : 36,3 °C Suspek TBC 3x1C
RR : 24x/min DMP 3x2
Imboost F 2x1
Lab 11/01/2014 Ceftriaxon 1x2
L : 10.8 ribu/uL Pumpisel 1x1
Hb : 8,9 g/dL
Ht : 29 %
Trombosit : 521 ribu/uL

13/01/2014 Batuk dan sesak TD : 120/90 Demam Tifoid Transfusi PRC


bila berbicara N : 78x/min Anemia 500 cc
terlalu banyak S : 36,5 °C Suspek TBC BK III 3x1
RR : 20x/min Ambroxol Syr
3x1
Cefixin 2x500
Lasal 3x1/2C
RMD:Aminoflui
d + Lasal

1
2cc/8jam
14/01/2014 Batuk dan sesak TD : 130/80 Demam Tifoid Aminofluid : RD
bertambah N : 78x/min Anemia + Lasal 2cc/8jam
S : 36 °C Efusi Pleura
RR : 20x/min incapsulated ec
Suspek TBC
Lab 13/01/2014
Hb : 8.9 g/dL
Ht : 28 %
Trombosit : 524ribu/uL

Foto Thorax 13/01/2014


Kesan : penebalan
pleura di anterior kanan
½ basal hemithorax
Infiltrat di apex Pulmo

15/01/2014 Batuk kering dan TD : 120/70 Demam Tifoid Maltofes 1x1


sesak nafas N : 84x/min Anemia def Fe Hepa Q 2x1
S : 36 °C Efusi Pleura Aminofluid : RD
RR : 20x/min incapsulated ec + Lasal 2cc/8jam
Suspek TBC
Lab 14/01/2014
L : 11.3 ribu/uL
Hb : 10,6 g/uL
Ht : 34 %
T : 525 ribu/uL

SADT 14/01/2014
Anemia mikrositik
hipokrom

1
defisiensi FE atau
hemoglobinopathi

16/01/2104 Batuk, sesak TD : 130/80 Demam Tifoid Aminofluid : RD


nafas belum ada N : 96x/min Anemia def Fe + Lasal 2cc/8jam
perbaikan S : 35 °C Efusi Pleura
RR : 24x/min incapsulated ec
Suspek TBC
Lab 15/01/2014
Kimia klinik hati
SGOT : 28
SGPT : 41

17/01/2014 Batuk mengalami TD : 130/90 Demam Tifoid Pungsi Pleura


perbaikan, Sesak N : 96x/min Anemia def Fe Rif 1x450
nafas berkurang S : 36 °C Efusi Pleura INH 1x 300
RR : 18x/min incapsulated ec ETB 2x500
Suspek TBC Pirazinamid
2x500
Bloc 2x1
18/01/2014 Batuk berkurang TD : 120/80 Demam Tifoid Rif 1x450
dan sesak nafas N : 84x/min Anemia def Fe INH 1x 300
mengalami S : 36,2 °C Efusi Pleura ETB 2x500
perbaikan RR : 18x/min incapsulated ec Pirazinamid
Analisis cairan pleura Suspek TBC 2x500
Kejernihan : Keruh Bloc 2x1

1
VI. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi pleura pada
umumnya, yaitu dengan melakukan torakosentesis (mengeluarkan cairan pleura) agar keluhan
sesak penderita menjadi berkurang, terutama untuk efusi pleura yang berisi penuh. Beberapa
peneliti tidak melakukan torakosentesis bila jumlah efusi sedikit, asalkan terapi obat anti
tuberkulosis diberikan secara adekuat.
Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pada prosedur
juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih
banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding thoraks.

Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,


Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian
obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat
diserap kembali, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan
torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan
kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis
diturunkan).

Pengobatan pada pasien :

Non medika mentosa

- Torakosentesis
- KIE
Medika mentosa
- Rif 1x450
- INH 1x 300
- ETB 2x500
- Pirazinamid 2x500

1
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanantionam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI FISIOLOGI PLEURA


Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini
membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis:

1. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, yang melekat pada permukaan paru.
2. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan dinding dada.

Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel (yang memproduksi cairan),
membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe.

Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus merembes keluar
dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini diserap oleh pembuluh darah
pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali kedarah.

2
Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20 mm, berisi
sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein < 1,5 gr/dl dan ± 1.500
sel/ml. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel
mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah yang sangat
kecil didalam cairan pleura.

Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar nilai normal
cairan pleura dapat dipertahankan

2.2. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum
pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau
cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-
20 ml.

2.3. ETIOLOGI
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang
pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau
eksudat.

Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor
lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi
pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :

1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di dalam
serum.

2
Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

Efusi pleura berupa:

a) Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terjadinya
perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein yang
terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura eksudat dapat
disebabkan oleh :

1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi
biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan
keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan
efusi.

2
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal
dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat
merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium,
dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan
metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.

3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi


timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hematogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus
subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya
masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang masif. Pada
pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan
nyeri dada pleuritik.

5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada.
Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran
kapiler.
 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik
sirkulasi.
 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural,
sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan
kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam

2
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan
pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau
bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada
beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus
efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang
diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:

 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura


 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH
bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir
bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma

8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b). Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler
sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan koloid osmotic
dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat dapat terjadi pada :

1. Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah


perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler

2
pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru
meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa
efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya.
Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga
segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.

2. Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan
tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang ada
pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup
besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat
mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt,
torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa
dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4. Meig’s Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor
ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah
tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya
dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di
diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal

2
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui
celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan
cairan dialisa.

Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

2
c). Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada hemothoraks
selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak
membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya
darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

2.4. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura berfungsi untuk
melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling bergerak karena pernapasan.
Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler
pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan
yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses


pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam
rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

2
Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks. Bila
proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses
terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk
ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru
dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal
dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang
paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif.

2.5. MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala dan Tanda.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu.
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau
dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau
nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan

2
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis
hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
 Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil pada
sisi yang sakit
 Perkusi. Redup pada perkusi
 Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada pada
pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat
oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura
parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya
dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :

1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.

2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan
nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah
dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

2
c. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul. Pada
pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi.

2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah
paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).Bila


agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan adanya
kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan
empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena amuba.

3
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel :
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel-sel tertentu.
 Sel neutrofil: pada infeksi akut
 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).
 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
 Sel giant: pada arthritis rheumatoid
 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
 Sel maligna: pada paru/metastase.

4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung mikroorganisme
berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering Pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.

5. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada
dinding dada.

3
2.6. DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.

2.7. PENATALAKSANAAN
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat
dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam posisi
tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit
medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan
redup.

3
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena
penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam
sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena
jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

Gambar Metode torakosentesis

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus yang
dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat
terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum
diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex
vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.. Komplikasi
torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan laserasi pleura
viseralis.
4. Pemasangan WSD.

3
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan dengan
WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman. Pemasangan WSD
dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang lebih
2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura
parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa dan
plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk
ke dalam rongga pleura.

Gambar Pemasangan jarum WSD

3
h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan
terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa,
bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang
waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil,
akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam
keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam faal,
kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan
garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk
mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum
pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama
6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian
rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toraks dapat
dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri
pleuritik atau demam.

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal 25 Januari 2014

2. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition.

The McGraw-Hill Companies, Inc : New York. 2008

3. Guyton & Hall. 1999. buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 9. EGC. Jakarta.

4. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2007.

Balai Penerbit FK UI Jakarta.

5. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta : 2008.

6. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua. EMS. Jakarta :

2008.

7. Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 25 Januari 2014

8. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009.Rachmatullah, P. 1997. Seri Ilmu

Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi), Semarang, Undip

Anda mungkin juga menyukai