Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pendidikan Kesehatan

2.1.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan menjadi salah satu yang dapat menunjang program-

program kesehatan serta dapat menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan.

Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada

perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Dengan kata lain pendidikan

kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok atau masyarakat mempunyai

pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku secara terencana pada diri

individu, kelompok ataupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai

tujuan hidup sehat (Suliha, 2006).Pendidikan kesehatan merupakan suatu usaha atau

kegiatan untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan

kemampuan baik itu pengetahuan, sikap, maupun keterampilan agar tercapai hidup sehat

secara optimal (Nasution, 2004).

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan

merupakan proses belajar baik itu individu, kelompok, masyarakat dari tidak tahu

menjadi tahu, dan dari tidak mampu menjadi mampu mengatasi masalah kesehatan

sendiri secara mandiri.

2.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan

Pada dasarnya tujuan utama pendidikan kesehatan adalah peningkatan pengetahuan

atau sikap masyarakat, peningkatan perilaku masyarakat, peningkatan status kesehatan

8
masyarakat. Menurut suliha (2002), secara umum tujuan dari pendidikan kesehatan

adalah mengubah perilaku individu/masyarakat dalam bidang kesehatan. Sedangkan

secara operasional tujuan pendidikan kesehatan yaitu :

1. Agar melakukan langkah positif dalam melakukan pencegahan terhadap penyakit.

2. Agar memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi perubahan system dan

cara memanfaatkannya dengan efektif dan efisien.

3. Agar mempelajari apa yang akan dilakukannya secara mandiri

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan

pendidikan kesehatan diantaranya yaitu :

1. Faktor predisposisi

Pendidikan kesehatan bertujuan untuk menggugah kesadaran, memberikan atau

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakatnya. Disamping itu dalam konteks

pendidikan kesehatan juga memberikan pengertian tentang tradisi kepercayaan

masyarakat dan sebagainya, baik yang merugikan maupun menguntungkan kesehatan.

Bentuk promosi ini dilakukan dengan penyuluhan, pameran, iklan layanan kesehatan, dan

sebagainya.

2. Faktor-faktor enabling (penguat)

Bentuk pendidikan kesehatan dilakukan agar dapat memberdayakan masyarakat dan

mampu mengadakan sarana dan prasarana kesehatan dengan cara bantuan teknik,

memberikan arahan, dan cara-cara mencari dana untuk pengadaan sarana dan prasarana.

9
3. Faktor reinforcing (pemungkin)

Pendidikan kesehatan ini ditujukan untuk mengadakan pelatihan bagi tokoh agama,

tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan sendiri dengan tujuan agar sikap dan perilaku

petugas dapat menjadi teladan, contoh atau acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat.

2.1.4 Sasaran Pendidikan Kesehatan


Sasaran pendidikan kesehatan adalah masyarakat yang sangat heterogen, baik dilihat

dari kelompok umur, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan

pendidikan kesehatan, biasanya sasaran pendidikan kesehatan ini dikelompokkan

menjadi 3 yakni :

1. Sasaran Primer

Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung segala upaya pendidikan

kesehatan atau promosi kesehatan. Upaya pendidikan kesehatan yang dilakukan

terhadap sasaran primer sejalan dengan strategi pemberdayaan masyarakat.

2. Sasaran Sekunder

Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan sebagainya adalah sasaran

sekunder. Sasaran sekunder diharapkan akan memberikan pendidikan kesehatan

kepada masyarakat.

3. Sasaran Tersier

Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik ditingkat pusat, maupun

daerah adalah sasaran tersier. Dengan kebijakan yang dikeluarkan akan memiliki

dampak terhadap perilaku para sasaran sekunder dan sasaran primer terhadap perilaku

kesehatan.

10
2.1.5 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan berdasarkan aspek pelayanan kesehatan

menurut Notoatmodjo (2010), meliputi :

1. Pendidikan kesehatan pada tingkat promotif. Sasaran pendidikan kesehatan pada

tingkat pelayanan promotif adalah pada kelompok orang sehat, dengan tujuan agar

mereka mampu meningkatkan kesehatannya.

2. Pendidikan kesehatan pada tingkat preventif. Sasaran pendidikan kesehatan pada

tingkat ini selain pada orang yang sehat juga bagi kelompok yang beresiko. Misalnya

ibu hamil, para perokok, para pekerja seks, keturunan diabetes dan sebagainya. Tujuan

utama dari pendidikan kesehatan pada tingkat ini adalah untuk mencegah kelompok-

kelompok tersebut agar tidak jatuh sakit (primary prevention).

3. Pendidikan kesehatan pada tingkat kuratif. Sasaran pendidikan kesehatan pada tingkat

ini adalah para penderita penyakit, terutama yang menderita penyakit kronis. Tujuan-

tujuan dari pendidikan kesehatan pada tingkat ini agar kelompok ini mampu mencegah

penyakit tersebut tidak lebih parah (secondary prvention).

4. Pendidikan kesehatan pada tingkat rehabilitatif. Sasaran pokok pada pendidikan

kesehatan tingkat ini adalah pada kelompok penderita atau pasien yang baru sembuh

dari suatu penyakit. Tujuan utama dari pendidikan kesehatan pada tingkat ini adalah

mengurangi kecacatan seminimal mungkin. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan

pada tahap ini adalah pemulihan dan mencegah kecacatan akibat dari suatu penyakit

(tertiary prevention) (Notoatmodjo, 2010).

2.1.6 Alat Bantu/Media Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012), alat abantu pendidikan kesehatan adalah alat-alat

yang digunakan oleh petugas dalam menyampaikan bahan, materi atau pesan kesehatan.

11
Alat bantu ini lebih sering disebut sebagai alat peraga karena berfungsi untuk

membantu dan memperagakan sesuatu didalam proses pendidikan kesehatan.

Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada

setiap manusia diterima atau ditangkap melalui pancaindra. Semakin banyak indra yang

digunakan untuk menerima sesuatu makan semakin banyak dan semakin jelas pula

pengertian dan pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain alat peraga ini

dimaksudkan untuk mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada suatu atau pesan

sehingga mempermudah pemahaman. Seseorang atay masyarakat didalam memperoleh

pesan atau pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu media. Tetapi masing-

masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda didalam membantu pemahaman

pesan.

Edgar Dale membagi alat peraga/media menjadi 11 macam dan sekaligus

menggambarkan tingkat intensitas tiap-tiap alat tersebut dalam sebuah kerucut, dapat di

lihat pada gambar di bawah ini (Notoatmodjo,2012):

Gambar 2.1 kerucut Edgar Dale

Dari kerucut tersebut dapat dilihat bahwa lapisan yang paling dasar adalah benda

asli dan paling atas adalah kata-kata. Hal ini berarti bahwa dalam proses penerimaan

pesan, benda asli mempunyai intensitas yang paling tinggi untuk mempersepsikan

12
pesan atau informasi sedangkan penyampaian bahan yang hanya dengan kata-kata saja

sangat kurang efektif atau intensitasnya paling rendah.

Secara umum ada tiga alat bantu atau bahan media pendidikan :

1. Alat bantu lihat (visual) yang berguna dalam membantu menstimulasi indra mata

2. Alat bantu dengar (Audio) yang berguna dalam membantu menstimulasi indra

pendengaran

3. Alat bantu lihat-dengar (AVA) yang berguna dalam membantu menstimulasi indra

mata dan pendengaran, misalnya video dan televisi.

Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesan-pesan kesehatan, media dibagi

menjadi 3, yaitu :

1. Media cetak : Booklet, Leaflet, Flyer, Flipchart, Rubrik, Poster dan foto.

2. Media elektronik : televisi, radio, video, slide, dan film strip.

3. Media papan (Bilboard), biasanya dipasang ditempat umum dengan berisikan

informasi kesehatan.

2.1.7 Metode Dan Teknik Pendidikan Kesehatan

Menurut Suliha (2002), metode pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan

pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan untuk menyampaikan pesan

kepadan sasaran pendidikan kesehatan. Metode pembelajaran dapat berupa metode

pendidikan individu, kelompok/keluarga dan metode pendidikan massa.

Menurut Notoatmodjo (2010), metode dan teknik pendidikan kesehatan adalah suatu

kombinasi antara cara-cara atau metode alat-alat bantu dan media yang digunakan dalam

setiap pelaksanaan promosi kesehatan. Berdasarkan sasarannya, metode dan teknik

pendidikan kesehatan dibagi menjadi 2 yaitu :

13
1. Metode pendidikan kesehatan individual

Metode ini digunakan apabila antara promoter kesehatan dengan sasaran atau

kliennya dapat berkomunikasi langsung, baik bertatap muka (face to face) maupun

melalui sarana komunikasi lainnya, misal telepon. Cara paling efektif karena antara

petugas kesehatan dengan klien dapat saling berdialog, saling merespon dalam waktu

yang bersamaan. Dalam menjelaskan masalah kesehatan bagi kliennya petugas

kesehatan dapat menggunakan alat bantu atau peraga yang relevan dengan

masalahnya. Metode dan teknik pendidikan kesehatan yang individual ini yang

terkenal adalah “councelling”.

2. Metode pendidikan kesehatan kelompok

Teknik dan metode pendidikan kesehatan kelompok ini digunakan untuk sasaran

kelompok. Sasaran kelompok dibedakan menjadi 2 yaitu kelompok kecil, jika sasaran

kelompok terdiri antara 6-15 orang dan kelompok besar, jika sasaran tersebut diatas

15-50 orang. Oleh karena itu metode pendidikan kesehatan kelompok juga dibedakan

menjadi 2 yaitu :

a. Metode dan teknik pendidikan kesehatan untuk kelompok kecil, misalnya diskusi

kelompok, metode curah pendapat (brain storming), bola salju (snow ball),

bermain peran (role play), metode permainan simulasi (simulation game), dan

sebagainya. Untuk mengefektifkan metode ini perlu dibantu dengan alat alat

bantu dan media misalnya lembar balik (flip chart), alat peraga, slide, dan

sebagainya.

b. Metode dan teknik pendidikan kesehatan untuk kelompok besar, misalnya metode

ceramah yang diikuti atau tanpa diikuti dengan tanya jawab, seminar, loka karya,

dan sebagainya. Untuk memperkuat metode ini perlu dibantu pula dengan alat

14
bantu misalnya overhead projector, slide projector, film, sound system, dan

sebagainya.

3. Metode dan teknik pendidikan kesehatan massa

Apabila sasaran pendidikan kesehatan massa atau publik, maka metode-metode dan

teknik pendidikan kesehatan tersebut tidak akan efektif, karena itu harus digunakan

metode pendidikan massa. Metode dan teknik pendidikan kesehatan untuk massa yang

sering digunakan adalah ceramah umum misalnya dilapangan terbuka dan tempat

umum, penggunaan media massa elektronik (radio dan televisi) yang dimana

penyampaian pesan melalui radio atau TV ini dapat dirancang dengan berbagai bentuk

seperti (talkshow, dialog interaktif, simulasi), penggunaan media cetak (koran,

majalah, buku, leaflet, selebaran poster, dan sebagainya) yang dimana bentuk sajian

dalam media cetak ini juga bermacam-macam (artikel tanya jawab, komik dan

sebagainya), penggunaan media diluar ruang seperti (billboard, spanduk, umbul-

umbul, dan sebagainya)

2.2 Konsep Kekerasan Seksual (sex abuse) Pada Anak


2.2.1 Pengertian Kekerasan Seksual (sex abuse)
Kekerasan seksual (sex abuse) terdiri dari dua kata yaitu kekerasan dan seksual

yang memiliki arti yang berbeda. Secara teoritis “kekerasan” terhadap anak (child abuse)

dapat didefenisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang

umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap

kesejahteraan anak. semua itu diindikasikan dengan kerugian serta ancaman terhadap

kesehatan dan kesejahteraan anak (suyantu, 2013).

Pengertian kekerasan seksual (sex abuse) juga dapat diartikan sebagai sebuah

tindakan atau intimidasi yang berhubungan dengan keintiman atau hubungan seksualitas

yang dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya dengan cara memaksa, berakibat korban

15
menderita secara fisik, materi, mental maupun psikis. Kejahatan kesusilaan secara umum

merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang sengaja merusak kesopanan

dimuka umum atau dengan kata lain tidak atas kemauan si korban melalui ancaman keras

(Soedarsoni dalam Anggraini, 2017) . Sedangkan menurut (Wahyuni, 2016) kekerasan

seksual (sex abuse) terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak dimana orang

dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.

Menurut Ricard J. Gelles dalam (Hurairah, 2010), kekerasan terhadap anak

merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-

anak(baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat

diklasifikasikan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan

kekerasan secara sosial. Kekerasan seksual (sex abuse) Ini terjadi karena Posisi anak

yang di pandang lemah dan tidak berdaya, serta rendahnya kontrol orang tua. (Erlinda,

2010) juga menyatakan bahwa faktor penyebab lainnya seperti rendahnya kesadaran

masyarakat akan hak dari anak, pendidikan karakter di rumah, kemiskinanan, rendahnya

pengetahuan, perilaku jahat antar generasi, ketegangan seksual, serta lemah hukum yang

berlaku. kekerasan seksual dapat terjadi kapan pun, di manapun dan oleh siapapun. Bisa

dalam bentuk pemerkosaan ataupun pencabulan (Sari, 2009). Perbuatan ini dilakukan

dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan.

Terdapat dua bentuk aktivitas seksual pada anak yaitu aktivitas seksual kontak

dan non kontak. Aktivitas seksual kontak berupa mencium anak dengan intim, membelai

anak untuk mendapatkan kepuasan seksual, memasukkan jari kedalam vagina dan anus

anak. sedangkan aktivitas seksual non kontak berupa tindakan masturbasi dihadapan

anak, mengintip anak ketika berpakaian atau saat mandi, serta berbicara mengenai topik-

topik seksual pada anak dengan tujuan menimbulkan gairah dan rangsangan menurut

WHO dalam (justicia, 2016).

16
Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual (sex

abuse) pada anak merupakan perbuatan yang dilakukan orang dewasa dimana anak

dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seksual. Keterlibatan anak dalam aktivitas seksual

yang dilakukan oleh orang terdekat dan orang asing dengan menggunakan ancaman.

2.2.2 Penyebab Kekerasan Seksual (sex abuse)


Menurut ketua KOMNAS perlindungan anak Sirait A.M (2016), menyatakan ada empat

faktor yang menyebabkan kekerasan seksual (sex abuse) pada anak, yaitu:

1. Anak yang berpotensi adalah anak yang cenderung penakut, berpakaian ketat, dan

hiperaktif.

2. Akibat meniru orang tua, televisi, video game, dan film.

3. Adanya peluang untuk melakukan pelecehan seksual. Kondisi ini dapat terjadi

antara lain anak hanya tinggal dengan pembantu atau pamannya saja.

4. Yang terakhir adalah para pencetus dari korban dan pelaku. Anak yang biasanya

menjadi pencetus adalah yang sering dipeluk, dipangku, dan dicium tetapi berani

menolak.

Wahyuni (2016), mengatakan penyebab terjadinya kekerasan seksual (sex abuse) adalah :

1. Riwayat kekerasan seksual masa lalu yaitu adanya tindakan yang pernah dialami

orang lain.

2. Keluarga yang tidak harmonis yang menimbulkan rasa kurang kasih sayang

sehingga melampiaskan permasalahan kepada orang lain.

3. Benci terhadap anak-anak.

4. Kelainan seksual dari pelaku yang menyebabkan selalu ingin melakukan

perbuatan untuk menyalurkan hasrat seksualnya.

17
5. Kontrol dan pengawasan terhadap anak yang sangat kurang baik dalam bermain

dirumah, diluar rumah atau disekolah.

6. Penggunaan media televisi, internet dan buku yang tidak terkontrol dan

berlebihan khusunya yang menampilkan beberapa tayangan gambar dan akses

yang tidak boleh dilihat oleh anak-anak.

7. Pola dan bentuk permainan yang mempengaruhi untuk berperilaku menyimpang.

8. Pendidikan seksualitas yang tidak tepat.

9. Pengaruh lingkungan yaitu berada ditengah-tengah kehidupan serba bebas, baik

dalam perilaku, bergaul, dan berpakaian.

10. Kurangnya pendidikan moral dan agama.

2.2.3 Faktor Risiko Kekerasan Seksual (sex abuse) Pada Anak


Menurut Franziska, (2015) Faktor risiko terhadap kejadian kekerasan seksual (sex

abuse) pada anak dapat ditinjau dari 3 aspek yaitu :

1. Faktor masyarakat/sosial, seperti lingkungan dengan tingkat kriminalitas yang tinggi,

layanan sosial yang rendah, angka kemiskinan yang tinggi, banyaknnya para

pengangguran, adat istiadat mengenai pola asuh anak, stress pada para pengasuh,

budaya memberikan hukuman badan kepada anak/kekerasan fisik, dan pengaruh

media massa.

2. Faktor orang tua atau situasi keluarga, yaitu riwayat orang tua dengan kekerasan

fisik atau seksual pada masa kecil, orang tua menikah pada usia dini, imaturitas

emosi, kepercayaan diri orang tua rendah, kemiskinan, kepadatan hunian (rumah

tinggal), kekerasan dalam rumah tangga, kurangnya pengetahuan orang tua tentang

pendidikan seksual, riwayat penggunaan zat/ obat-obatan terlarang (NAPZA) atau

alkohol, kurangnya dukungan sosial bagi keluarga kurang persiapan menghadapi

stress saat kelahiran anak, kehamilannya disangkal, orang tua tunggal seperti

18
bercerai atau kematian, pola mendidik anak yang kurang efektif, dan kurang

pengertian mengenai perkembangan anak.

3. Faktor anak yaitu cacat, dan anak dengan masalah psikososial seperti retardasi

mental dan autis.

2.2.4 Bentuk Kekerasan Seksual (sex abuse) Pada Anak


NCTSN (2009) mengatakan bahwa pelaku sering tidak menggunakan kekuatan fisik,

tetapi dapat menggunakan bermain, penipuan, ancaman atau lainnya. Bentuk paksaan

dengan melibatkan anak dalam menjaga rahasia mereka. Sementara itu, menurut Lyness

dalam Maslihah (2006) menjelaskan bahwa kekerasan seksual (sex abuse) pada anak

meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, memperlihatkan media

porno, memperlihatkan alat kemaluan pada anak, dan tibdakan seksual pemerkosaan atau

pencabulan.

Menurut Lyness dalam Ambarawati, (2018) kekerasan seksual (sexual abuse)

merupakan jenis penganiyaan dibagi dalam beberapa kategori berdasarkan identitas

pelaku, yaitu :

1. Familial Abuse
Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual (sex abuse) yang

terjadi antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam

keluarga inti. Hal ini, termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya

ayah tiri, kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak.

Mayer dalam Ambarawati, (2018) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan

mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama, penganiyaan (sexual

molestation), hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan

voyeurism, semual hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual.

19
Kategori kedua, permerkosaan (sexual assault), berupa oral dan hubungan dengan alat

kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis (fellatio), serta stimulasi oral pada klitoris

(cunnilingus). Kategori terakhir yang paling fatal disebut pemerkosaan secara paksa

(forcible rape), meliputi kontak seksual. Rasa takut , kekerasan, dan ancaman menjadi

sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir

yang menimbulkan trauma berat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya

tidak mengatakan demikian.

2. Extra Familial Abuse

Kekerasan seksual (sex abuse) ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain

diluar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual diluar keluarga, pelaku biasanya

orang dewasa yang tidak dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan

anak tersebut, kemudian membujuk sang anak kedalam situasi dimana pelecehan seksual

tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan

oleh sang anak dirumahnya. Anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui

mereka takut akan memicu kemarahan dari orang tua mereka. Beberapa orang tua kadang

kuranh peduli tentang dimana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan

waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami

kejadian ini dan harus diwaspadai. Kekerasan seksual dengan anak sebagai korban yang

dilakukan oleh orang dewasa dikenal sebagai pedophile, dan yang menjadi korban

utamanya adalah anak-anak. Pedophilia dapat diartikan “menyukai anak-anak” (Tower

dalam Ambarawati, 2018).

Kekerasan seksual (sex abuse) mencakup kegiatan atau tindakan yang mengarah

kepada ajakan maupun desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, atau

melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban

20
untuk menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki

korban, (poerwandari dalam Ambarawati, 2018). Secara spesifik bentuk-bentuk

kekerasan seskual (sex abuse) pada anak berdasarkan bentuknya terdapat empat macam

yaitu :

1. Perkosaan atau pencabulan


Baik perkosaan maupun pencabulan merupakan dua bentuk kekerasan seksual (sex

abuse) yang melanggar norma hukum bentuk perkosaan atau pencabulan merupakan dua

istilah yang saling bersatu padu. Namun terdapat kesamaan makna yaitu memaksa

seseorang untuk dijadikan objek hasrat seksual. Peristiwa ini sering terjadi seperti

perkosaan oleh seorang yang lebih tua kepada yang lebih muda umurnya (anak) untuk

melakukan kontak fisik (memasukkan alat kelamin anak) atau menggunakan penetrasi

seksual berbeda seperti sodomi atau sejenisnya.

2. Pelecehan seksual
Dalam pelecehan seksual terhadap anak, biasanya pelaku lebih menggunakan cara-

cara halus dan tidak ekstrem namun barakibat fatal kepada kondisi psikis anak. bentuk

pelecehan seksual anak seperti meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan

aktivitas seksual.

3. Percobaan perkosaan
Untuk memenuhi hasrat seksualnya, seringkali percobaan perkosaan pada anak sering

terjadi. Percobaan perkosaan bisa berbentuk seperti melakukan hal-hal yang tidak

senonoh (mencium, meraba, dan sejenisnnya) tanpa sepengetahuan korban.

21
4. Menampilkan pornografi
Pada bentuk ini, seorang anak dipaksa untuk memberikan paparan yang tidak senonoh

dari alat kelamin anak seperti menampilkan bentuk fisik tubuh, tak lain untuk

mengundang hubungan seksual terhadap anak.

2.2.5 Pelaku Kekerasan Seksual (sex abuse)


Anak seringkali diposisikan menjadi korban karena anak dipihak yang lemah dan

tidak berdaya dalam membela dirinya. Kematangan dalam berpikir dan emosi yang

belum siap membuat anak bergantung kepada orang yang dipercayainya, terutama orang

tua.Berdasarkan hasil penelitian yayasan KAKAK di ekskaresidenan surakarta selama

2005-2008 dalam hertinjung (2012), bahwa peristiwa kekerasan seksual (sex abuse) pada

anak biasa terjadi ditempat-tempat yang seharusnya aman untuk anak dan dilakukan

orang dewasa yang tidak asing bagi anak. Sebanyak 38% kasus pelaku adalah tetangga

18%, teman 12%, guru, 11% pelaku adalah pacar dan keluarga.

2.2.6 Tanda Dan Gejala Korban Kekerasan Seksual (sex abuse)


Meilia dalam Indriati (2014) menjelaskan bahwa terdapat tanda dan gejala pada anak

korban kekerasan seksual (sex abuse) berupa tanda fisik dan psikososial yaitu :

1. Tanda dan Gejala Fisik

a. Berkembang problem kesehatan yang tidak dapat diterangkan: sering pusing, sakit

perut, sakit otot dan tulang (psikomatik).

b. Mengeluh nyeri saat buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) karena

adanya luka pada anus (kasus sodomi).

c. Adanya robekan, memar, perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan

(lecet) pada jaringan lunak hymen (selaput darah).

22
d. penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), terdapat penggumpalan atau

perlengketan rambut pubis dirasa akibat adanya cairan mani pelaku atau terdapat

rambut pubis yang mungkin berasal dari pelaku.

e. Tanda-tanda infeksi : keluarnya nanah. Berbau, kemerahan, dan anak mengalami

demam.

f. Pelebaran anus.

g. pembesaran liang vagina pada kasus digitasi vagina (orang dewasa memasukkan

jarinya kevagina anak).

2. Tanda dan Gejala Psikososial

a. Keadaan emosi, biasanya merasa takut, sedih dan gelisah.

b. Bersikap agresif terhadap anggota keluarga, teman, mainan, dan binatang


peliharaan.

c. Mimpi buruk, dapat berteriak dan meronta dalam mimpi.

d. Merasa sangat takut pada seseorang atau bagian dari rumah secara tiba-tiba, seolah
telah terjadi pengalaman buruk disana.

e. Menarik diri secara tiba-tiba dilingkungan.

2.2.7 Dampak Kekerasan Seksual (sex abuse) Pada Anak


Dampak kekerasan seksual (sex abuse) yang dimiliki anak menimbulkan efek

yang berkepanjangan bagi diri anak. proses tumbuh kembang anak menjadi terganggu.

Hal ini dilakukan penelitian oleh Hertinjung (2012) bahwa dampak kekerasan seksual

(sex abuse) pada anak ialah anak tidak mampu menentukan batas-batas ruang personal

yang wajar sehingga anak tidak berani menjalin relasi dengan jarak intim dengan orang

lain. Anak cenderung menarik diri dan tidak percaya pada orang lain, dan biasa terjadi

23
gangguan kecemasan serta depresi. Internsitas diri positif anak juga mengalami

hambatan, biasanya anak berperilaku dependen.

Dampak jangka panjang bagi korban kekerasan seksual (sex abuse) ini adalah anak

berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual (sex abuse) dikemudian hari.

Umumnya anak mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dengan gejala-

gejala berupa kecemasan tinggi, emosi yang kaku dan ketakutan.Anak membutuhkan

waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka dengan orang lain setelah anak mengalami

kejadian terebut (Tower, 2002).

Menurut Faller dalam Noviana (2015) dampak kekerasan seksual (sex abuse) pada
anak dapat mengakibatkan :

1. Traumatis seksual

Traumatis seksual yang dimaksud adalah anak dapat “bermusuhan” atau menghindar

dari tentang seks, bermasalah dalam menentukan identitas pasangan yang seharusnya

atau bahkan bisa berperilaku menjadi hiperseks.

2. Stigmatisasi

Stigmatisasi ialah dimana anak merasa dirinya sudah “buruk” dan sudah tidak bermutu.

Rasa bersalah, malu akibat tidak berdayaan yang dirasa anak tidak memiliki kekuatan

untuk mengontrol dirinya. Beberapa korban marah terhadap tubuhnya sendiri. Perasaan

ini dicerminkan dengan merusak diri seperti narkoba, mutilasi diri, hingga tindakan

percobaan bunuh diri.

3. Penghianatan

Anak akan merasa kepercayaan dirinya terhadap orang lain sebagi pelindung dan

pemelihara melemah. Hal ini membuat anak menjadi pemarah, merusak hal disekitar dan

membatasi dirinya.

24
4. Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan dapat membuat anak melemah dan menghindar, seperti disosiasi

dan melarikan diri. Tanda perilaku terjadi seperti rasa cemas berkepanjangan terjadi

masalah pada tidur, makan dan eliminasi.

5. Gangguan jiwa lainnya

a. Stres yaitu reaksi tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan atasnya

misalnya, mengalami trauma kejahatan atau kekerasan seksual

b. Kecemasan yaitu gangguan alam perasaan (cemas, takut) sebagai dampak beban

kehidupan atasnya yaitu mengalami kejahatan atau kekerasan seksual.

c. Depresi yaitu gangguan alam perasaan (sedih, murung, putus asa, dan ingin bunuh

diri) sebagai akibat beban kehidupan yang menimpa dirinya yaitu mengalami

kejahatan atau kekerasan seksual

d. Gangguan jiwa skizofreni akibat beban kehidupan yang dirasakan terlampau berat

akibat mengalami kekerasan seksual, jiwanya tidak kuat mengatasinya sehingga

kepribadiannya retak (splitting peronality). Yang bersangkutan mengalami

kepribadian ganda, menunjukkan perilaku, perasaan dan pikiran yang tidak wajar.

6. Penyakit kelamin

Penyakit kelamin (veneral diseases) di sebut pula dengan istilah penyakit menular

seksual (sexually transmitted diseases), artinya jenis penyakit ini ditularkan melalui

hubungan seksual diluar nikah (perzinahan) misalnya, pelacuran, seks bebas,

perselingkuhan, homoseksual, perkosaan pada anak dan lain sejenisnya. Jenis penyakit

ini tidak saja merusak alat kelamin dan organ reproduksi tetapi juga menimbulkan

komplikasi dibidang medis, misalnya kemandulan, kecacatan, gangguan kehamilan,

gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian.

25
Selain itu dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan

seksual (sex abuse) biasanya kurangnya motivasi/harga diri, problem kesehatan mental

(misalnya kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan dan susah tidur), problema

kesehatan seksual (misalnya kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tidak

diinginkan, ketularan penyakit menular seksual), mengembangkan perilaku agresif (suka

menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka

menarik diri dari pergaulan, mimpi buruk dan serba ketakutan, kehilangan nafsu makan,

tumbuh dan belajar lebih lamban, dan tidak jarang tindak kekerasan seksual (sex abuse)

terhadap anak juga berujung kepada kematian (suyanto, 2016).

2.2.8 Pencegahan Kekerasan Seksual (sex abuse) Anak


Mengingat besarnya dampak yang di timbulkan akibat kekerasan seksual (sex

abuse) pada anak maka diperlukan usaha preventif agar anak terhindar dari hal tersebut.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan anak tentang

seksualitas adalah dengan memberikan pendidikan seksual kepada anak (justicia, 2016).

Pada Roqib dalam (Ambarawati, 2018) menyatakan bahwa pendidikan seks yang

dapat diberikan untuk anak usia sekolah dasar sebagai berikut:

1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya.

2. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan

didepan umum seperti anak selesai mandi harus mengenakan baju kembali didalam

kamar mandi atau didalam kamar.

3. Mengajarkan anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan

perempuan.

4. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap bagian tubuh

dan fungsinya.

26
5. Memberikan dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada

orang tua.

6. Mengajarkan anak bahwa tubuhnya hanya milik dirinya dan tidak ada seorangpun

boleh menyentuh tanpa izin dari dirinya.

7. Sentuhan yang baik dan sentuhan yang buruk. Anak tidak selalu mengetahui sentuhan

yang pantas dan sentuhan yang tidak pantas.

Berikut yang harus dilakukan anak untuk menghidar dari kekerasan seksual :
1. Apabila tidak ada orang tua tidak boleh menerima barang dari orang yang tidak

dikenal.

2. Anak pintar jangan ikut orang yang tidak di kenal.

3. Apabila ada orang mau mendekati kamu ditempat sepi tidak boleh, juga kalau ada

orang mau memegang tubuh kamu bagian dada, perut, pantat, dan celana itu tidak

boleh.

4. Kalau ada yang memaksa, maka kamu harus berteriak yang keras dan katakan “Tidak

mau”, lalu langsung lari ke tempat ramai dan teriak “Tolong” dan tidak usah takut atau

malu untuk segera lapor ke orang tua atau guru yang kita sayangi.

5. Tidak boleh ada yang memaksa kita untuk melakukan hal yang tidak kita sukai,

bahkan orang yang paling dekat sekalipun seperti orang tua, kakak, paman, kakek,

guru, teman atau orang yang tidak kita kenal. Jika anak-anak mendapatkan perlakuan

yang tidak menyenangkan, orang tua harus segera membawa mereka untuk

berkonsultasi dengan para ahli, agar anak-anak dapat ceria kembali.

6. Lalu sesegera mungkin untuk laporkan

Berikut untuk mencegah kekerasan seksual pada anak :


1. Mengenal bagian tubuh. Bagian yang tidak boleh dilihat dan disentuh orang lain

seperti mulut, dada, kemaluan, sekitar paha dan pantat.

27
2. Sentuhan boleh yaitu kepala, tangan, kaki. Hal ini boleh di lakukan karena sayang dan

tidak ada maksud lebih.

3. Sentuhan tidak boleh yaitu yang tertutup baju dalam.

4. Jika ada yang ingin menyentuh “katakan tidak boleh” atau lebih baik menghindar lalu

segera berbicara kepada ayah dan ibu.

5. Orang lain tidak boleh menyentuh tubuh, kecuali ibu dan dokter yang memeriksa

waktu sakit.

6. Jika ada orang lain mengajak pergi, memberi permen atau mainan jangan mau. Kita

harus izin terlebih dahulu pada ibu.

7. Kalau ada orang yang mau cium-cium ditempat sepi tidak boleh, juga jika orang mau

pegang badan tidak boleh, dan jika ada yang memaksa harus teriak yang keras

“tolong”.

8. Jangan takut dan malu, cepat kasih tahu orang tua atau guru yang kita sayangi. Dan

kita harus berhati-hati dan menjaga diri tetap aman.

2.2.9 Undang Undang Kekerasan Seksual Pada Anak

Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberkangsungan hidup manusia

dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab

dalam keberlangsungan bangsa dan Negara setiap anak perlu mendapat kesempatan yang

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial. Untuk itu perlu dilakukuan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan

anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa diskriminatif.

Maka dari itu dalam UU No.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak

didalamnya sudah jelas tercakup tentang larangan perilaku kekerasan seksual pada anak

dan sanksi yang didapatkan bila melanggar :

28
1. Pasal 76 yang berbunyi komisi perlindungan anak Indonesia bertugas melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak,

memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi

mengenai perlindungan anak, menerima dan melakukan penelaahan atas

pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak, melakukan mediasi atas

sengketa pelanggaran hak anak, melakukan kerja sama dengan lembaga yang

dibentuk masyarakat dibidang perlindungan anak, dan yang terakhir memberikan

laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap

undang-undang ini.

2. Pasal 76A berbunyi setiap orang dilarang memperlakukan anak secara

diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik material

maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya, jika melanggar maka akan

dikenakan sanksi pasal 77 yang berbunyi setiap orang yang melanggar ketentuan

sebagaiman dimaksud dalam pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta

rupiah)

3. Pasal 76D berbunyi setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Jika

melanggar maka akan dikenakan sanksi pasal 81 yang berbunyi setiap orang yang

melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

4. Pasal 76E berbunyi setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian

29
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul. Jika melanggar maka akan dikenakan sanksi pasal 82 yang

berbunyi setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud dalam

pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah)

5. Pasal 76I setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,

menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan

atau seksual terhadap anak. Jika melanggar maka akan dikenakan sanksi pasal 88

yang berbunyi setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud

dalam pasal 76I dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah)

2.3 Konsep Pengetahuan

2.3.1 Pengertian Pengetahuan


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. segenap apa yang diketahui tentang suatu

objek tertentu (Suriasumantri dalam Nurroh, 2017). Pengindraan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimiliki (mata, hidung, telinga, dan sebagainya)

(Notoatmodjo dalam Yuliana, 2017). Pengetahuan merupakan hasil mengingat suatu hal,

30
termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun

tidak sengaja dan terjadi setelah melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek

tertentu (Wahit dalam Mubarak dkk, 2007).

Jadi dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah

berbagai macam hal yang diperoleh oleh seseorang melalui panca indera.

2.3.2. Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan mempunyai enam tingkatan yang tercakup

dalam domain kognitif antara lain :

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah meningat kembali (recall) sesuatu

yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata

kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang di pelajari antara lain

menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang di ketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara

benar. Orang yang telag paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek

yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan

31
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih

ada kuantitasnya satu sama lain. kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan

kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan

kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi.

2.3.3 Cara-Cara Memperoleh Pengetahuan


Menurut Kholid (2014), pengetahuan dapat diperoleh dengan beberapa cara yaitu:
1. Cara tradisional atau non ilmiah

a. Cara coba salah (trial and eror)

Cara ini telah dipakai sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebekum

adanya peradaban. Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam

memecahkan dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, maka akan dicoba

dengan yang lain.

32
b. Cara kekuasaan atau otoritas

Prinsip cara ini yaitu orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh

seorang tanpa terlebih dahulu menguji kebenaran, baik fakta empiris atau penalaran

sendiri. Ini disebabkan karena yang menerima pendapat tersebut menganggap

bahwa yang dikemukakan adalah benar.

a. Berdasarkan pengalaman pribadi

Dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam

memecahkan permasalahan pada masa lalu. Perlu diperhatikan tidak semua

pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang menarik kesimpulan dari

pengalaman dengan benar, diperlukan pikiran kritis dan logis. Sumber pengetahuan

dengan cara ini didapat dari pemimpin, baik formal maupun informal dan diperoleh

berdasarkan otoritas atau kekuasaan baik otoritas tradisi, pemerintah, pemimpin

agama, maupun ahli agama.

b. Melalui jalan pikiran

Manusia menggunakan jalan pikirannya melalui induksi dan deduksi. Induksi

adalah proses pembuatan kesimpulan melalui pernyataan-pernyataan khusus pada

umum. Deduksi kebalikan dari induksi.

2. Cara modern atau ilmiah


Lebih sistematik, logis dan ilmiah. Dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan

cara mengadakan observasi langsung dan membuat pencatatan terhadap semua fakta

sehubungan dengan objek penelitiannya (Kholid, 2014).

33
2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Mubarak (2011) faktor yang mempengaruhi Pengetahuan ada 7 yaitu :
1. Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima

informasi dan pada akhirnya pengetahuan yang mereka miliki semakin banyak.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh pengalaman dan

pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik

dan psikologi. Pada aspek psikologi atau mental, taraf berpikir seseorang menjadi

matang dan dewasa.

4. Minat

Minat adalah suatu kecenderungan atau keinginan terhadap sesuatu. Minat

menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal, sehingga seseorang

memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang. Orang

cenderung melupakan pengalaman yang kurang baik ketimbang pengalaman baik.

Pengalaman baik ini akhirnya membentuk sikap positif dalam hidupnya.

6. Kebudayaan lingkungan sekitar

Kebudayaan lingkungan tempat kita hidup atau dibesarkan mempunyai pengaruh

yang besar.

7. Informasi

Kemudahan memperoleh informasi dapat mempercepat seseorang memeperoleh

pengetahuan yang baru.

34
2.3.5 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan angket (kuesioner) atau wawancara

yang menanyakan isi materi yang akan diukur dari responden. Kedalaman pengetahuan

yang ingin kita ketahui dapat disesuaikan dengan tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2010).

Cara mengukur pengetahuan dengan memberikan pertanyaan dan dilakukan penilaian

nilai 1 untuk jawaban benar sedangkan nilai 0 untuk jawaban salah. Total skor

pengetahuan tertinggi adalah 10 dan terendah adalah 0. Pengukuran pengetahuan ini

berkaitan dengan pengetahuan tentang pencegahan kekerasan seksual pada anak.

2.4 Konsep Anak Sekolah Dasar

2.4.1 Pengertian Anak Sekolah Dasar

Anak sekolah dasar adalah mereka yang berusia antara 6-12 tahun yang merupakan

pengalaman inti anak (Wong, 2008). Dimana mereka belajar bertanggung jawab baik itu

dari segi perilaku ataupun hubungan sosial baik itu dengan orang tua, teman sebaya

maupun orang lain serta mendapatkan dasar pengetahuan sebagai bentuk untuk

menyesuaikan diri dan mendapatkan keterampilan tertentu. Sedangkan menurut yusuf

(2011) anak usia sekolah dasar merupakan anak usia 6-12 tahun yang sudah dapat

mereaksikan rangsang intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut

kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan

menghitung).

2.4.2 Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar

Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat sel,

organ, maupun individu yang biasa diukur dengan berat (gram, pon, kilogram), ukuran

panjang (cm, meter), umur tulang, kesinambungan metabolic (retensi kalsium dan

nitrogen tubuh) (Adriana, 2011).

35
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh

yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari

pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi sel-sel tubuh, jaringan tubuh,

organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-

masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan

tingkah laku sebagi hasil dari interaksi dan lingkungannya (Adriana, 2011). Pertumbuhan

mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan

pematangan fungsi organ/individu (Adriana, 2011). Anak sekolah dasar akan mengalami

perkembangan baik fisik maupun kognitifnya yakni :

1. Perkembangan fisik dan kognitif

Masa sekolah dasar berlangsung antara usia 6-12 tahun. Masa ini sering disebut juga

masa sekolah, yaitu masa matang untuk belajar atau sekolah. Pada masa ini anak-anak

lebih mudah diarahkan, diberi tugas yang harus diselesaikan, dan cenderung mudah

untuk bejalar berbagai kebiasaan seperti makan, tidur, bangun, belajar pada waktu dan

tempatnya dibandingkan dengan masa pra sekolah. Dilihat dari karakteristik anak

pertumbuhan fisik dan psikologisnya anak mengalami pertumbuhan jasmaniah maupun

kejiwaannya. Pertumbuhan dan perkembangan fisik anak berlangsung secara teratur dan

terus menerus kearah kemajuan. “Anak SD merupakan anak dengan kategori banyak

mengalami perubahan yang sangat drastis baik mental maupun fisik serta memiliki rasa

ingin tahu yang tinggi tentang banyak hal” (Sugianto, 2010).

Pada fase ini pertumbuhan fisik anak tetap berlangsung. Anak menjadi lebih tinggi,

lebih berat, lebih kuat, dan juga lebih banyak belajar berbagai keterampilan. Pada masa

ini juga perkembangan kemampuan berpikir anak bergerak secara sekuensial dari

berpikir konkrit ke berpikir abstrak. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh

36
(Jean Piaget dalam Crain, 2004) bahwa anak usia sekolah dasar berada pada tahapan

operasi konkrit. Pada tahap ini anak sudah mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi

belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Dalam tahap ini anak mulai berkurang

egosentrisnya dan lebih sosiosentris (mulai membentuk per-group). Akhirnya pada tahap

operasi formal anak telah mmpunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk yang

lebih kompleks.

a. Reaksi Terhadap Penyakit

Anak usia sekolah dasar menganggap kekuatan dari luar sebagai penyebab

penyakit. Mereka menyadari perbedaan tingkat keparahan penyakit, misalnya sakit

kanker lebih serius dibandingkan sakit flu.

b. Reaksi Terhadap Hospitalisasi

Dalam Reaksi terhadap hospitalisasi Mekanisme pertahanan utama anak usia

sekolah yakni reaksi formasi, suatu mekanisme pertahaanan yang tidak disadari,

anak menganggap suatu tindakan adalah berlawanan dengan dorongan hati yang

mereka sembunyikan. Biasanya anak menyatakan bahwa mereka berani saat anak

merasa sangat ketakutan. Anak bereaksi terhadap perpisahan dengan menunjukkan

kesendirian, kebosanan, dan depresi. Mereka mungkin juga memperlihatkan agresi,

iribilitas, dan ketidakmampuan dalam berhubungan dengan saudara dan teman

sebaya.

Berikut ini adalah karakteristik anak usia sekolah berdasarkan motorik, mental,

adaptif dan personal-sosial (Erna, 2017).

37
2.4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

Menurut Noordiati, (2018) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak

yaitu:

1. Faktor Internal

a. Ras/etnik atau bangsa

Anak yang dilahirkan dari ras/bangsa amerika maka ia tidak memiliki

faktor herediter ras bangsa Indonesia atau sebaliknya.

b. Keluarga

Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek,

gemuk, atau kurus.

c. Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal tahun

pertama kehidupan dan masa remaja.

d. Jenis kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat dari

pada anak laki-laki, tetapi melewati masa puberbatas pertumbuhan anak laki-laki

lebih cepat.

e. Genetik

Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi anak

yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang

berpengaruh pada tumbuh kembang anak seperti kerdil.

f. Kelainan kromosom

Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan

pada sindroma Down,s Sindroma Turner,s.

40
2. Faktor Eksternal

a. Gizi

Untuk tumbuh kembang diperlukan zat makanan yang adekuat

b. Penyakit kronis/kelainan congenital

Tuberkolosis, anemia, kelainan jantung bawaan mengakibatkan retradarsi

pertumbuhan jasmani.

c. Lingkungan fasis dan kimia

Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan sinar

matahari, paparan sinar radioaktif, zat kimia tertentu (mencuri, rokok, dll)

mempunyai dampak yang negatif terhadap pertumbuhan anak.

d. Psikologis

Hubungan anak dengan orang disekitarnya, dimana anak yang merasa tertekan

akan mengalami hambatan didalam pertumbuhan dan perkembangannya.

e. Endokrin

Gangguan hormon, misalnya penyakit hipoteroid akan menyebabkan anak

mengalami hambatan pertumbuhan.

f. Sosio-ekonomi

Sosio- ekonomi berkaitan dengan keadaan ekonomi keluarga dalam pemenuhan

kebutuhan akan makanan.

g. Linkungan pengasuhan

Interaksi ibu dan anak sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak.

h. Stimulasi

Perkembangan memerlukan rangsangan/stimulasi khususnya dalam keluarga,

misalnya penyediaan alat mainan, sosialisai anak, keterlibatan ibu dan anggota

keluarga lain terhadap kegiatan anak.

41
i. Obat-obatan

Pemakaian obat dalam jangka waktu lama akan menghambat pertumbuhan.

2.5 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sex Abuse Terhadap Pengetahuan

Anak

Hasil penelitian yang dilakukan sari dan Putri Minas, (2021) membuktikan terdapat

pengaruh pendidikan kesehatan dengan media video terhadap pengetahuan anak sekolah

dasar tentang empat bagian tubuh penting yang tidak boleh disentuh di koto Tangah Kota

Padang. Penelitian Nurbaya, Siti, (2018) membuktikan terdapat pengaruh penerapan

pendidikan seksual (Underwear Rules) Terhadap pencegahan kekerasan seksual pada

anak dan orang tua di SD Negeri 52 Welonge Kabupaten Soppeng. Penelitian Endra,

Amalia, (2018) juga menyatakan ada pengaruh yang signifikan pemberian Pendidikan

kesehatan seksual terhadap kejadian kekerasan seksual pada anak sekolah dasar di SD

Negeri 4 Balai Rupih Simalanggang Payakumbuh. Penelitian Pratiwi, Eka, (2020)

membuktikan Media video animasi lebih efektif digunakan dalam promosi kesehatan

terhadap pengetahuan dan sikap tentang pencegahan kekerasan seksual pada anak di SD

Negeri 5 Kota Bengkulu. Penelitian Mira, putri marisa, (2017) membuktikan bahwa Ada

pengaruh pemberian pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap dalam

pencegahan kekerasan seksual pada anak sekolah TK Pertiwi VI padang.

42

Anda mungkin juga menyukai