Anda di halaman 1dari 24

Pendidikan masyarakat

Arti masyarakat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia masyarakat dibagi


menjadi beberapa bagian yang mempunyai arti antara lain :
 Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan manusia yang hidup
bersama dalam sesuatu tempat dengan aturan ikatan-ikatan yang tentu.
 Bermasyrakat adalah merupakan masyarakat yang bersekutu.
 Permasyarakatan adalah lembaga yang mengurus orang hukuman.
 Kemasyarakatan adalah mengenai masyarakat, sifat-sifat atau hal masyarakat.
Dalam pengertian sehari-hari, masyarakat berarti, sekelompok manusia
yang hidup dan mempunyai hubungan antar yang satu dengan yang lainnya disatu
daerah1.
Masyarakat, dalam arti yang luas, berarti sekelompok manusia yang
memiliki kebiasaan, ide dan sikap yang sama, hidup di daerah tertentu,
menganggap kelompoknya sebagai kelompok sosial dan berinteraksi.2
Namun pengertian yang paling sederhana menurut Al Syaibany (1975:165),
bahwa masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh
kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Termasuk jalinan hubungan timbal
balik, kepentingan bersama, adat kebiasaan, pola-pola, teknik-teknik, sistem hidup,
undang-undang, institusi dan segala segi dan fenomena yang dirangkum oleh
masyarakat dalam pengertian yang luas dan baru3.
Arti dan beberapa pendapat di atas memberikan pemahaman, bahwa
sebenarnya kehidupan manusia itu bersifat kemasyarakatan, artinya bahwa secara
fitri, manusia bersifat kemasyarakatan.
Bila dihubungkan semua ini dengan pendidikan, maka segala pengalaman
yang berlangsung dalam lingkungan dan sepanjang hidup bersama, dengan
berbagai keterikatannya itu, dapat dikatakan pendidikan kemasyarakatan.4
Ag. Soejono (1980:23-24) mengemukakan bahwa, pendidikan
kemasyarakatan itu adalah tindakan atau pendidikan yang pada pokoknya
menanamkan pengertian, pengetahuan, dan keinsyafan, bahwa setiap orang tentu
hidup dalam suatu kelompok, - pemupukkan rasa senang pada kehidupan
1
Kusumamihardja, Supan, dkk. 1985. Studia Islamica, Jakarta: Girimukti Pasaka.
2
Arifin, Tajul, 2008, “Ilmu Sosial Dasar”, Bandung: Gunung Djati Press.
3
Al-Syaibany, Al-Tomy Omar Muhammad. 1975. Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan:
Hasan Langgulung, Judul asli : Falsafah Al Tarbiyah Al Islamiyah, Jakarta : Bulan Bintang.
4
http://tarbiyahiainib.ac.id/dosen/artikel-dosen/499-studi-al-quran-tentang-pendidikan-
kemasyarakatan
masyarakat dengan peraturan dan tujuannya, bimbingan kemauan kuat dan sikap
tepat untuk berbuat demi kehidupan bersama dan tidak berbuat hal-hal yang
merugikan kebahagiaan hidup bersama atau sosial5.
Menurut Ismail R.Al-Faruqi, (1994: 172) Islam memandang masyarakat
sebagai pranata Ilahi, suatu pola Allah, yang diperlukan manusia untuk memenuhi
tujuan penciptaannya sebagai hamba atau pengabdi. Oleh karena itu lanjut Al
Faruqi, - masyarakat sangat perlu bagi pengetahuan (Q.S. al-Hujurat 49: 6), -
masyarakat diperlukan bagi moralitas, - dan masyarakat diperlukan bagi sejarah
(sebagai panggung kewajiban moral)6.
Sebagai suatu pola Allah, tujuan pendidikan-Nya (al-Qur’n) membina
manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan
konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata lain lebih disingkat dan sering
digunakan oleh al-Qur’an, “untuk bertakwa kepada-Nya.7
Dari paparan di atas dapat difahami, bahwa pendidikan masyarakat di
samping berhadapan dengan kelompok orang, juga pemeliharaan dengan berbagai
aktivitas dan aturan secara timbal balik, sangatlah penting keberadaannya.

Konsep Pendidikan masyarakat


Diatas telah memberikan penjelasan bahwa masyarakat mencakup sekelompok
orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan
norma yang dipatuhi bersama, serta pada umumnya bertempat tinggal di wilayah
tertentu, dan ada kalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan
bersama.
Pendidikan dalam pendidikan masyarakat ini boleh dikatakan pendidikan
secara tidak langsung, pendidikan yang dilaksanakan secara tidak sadar oleh
masyarakat. Dan anak didik sendiri secara sadar atau tidak, ia telah mendidiknya
sendiri, mempertebal keimanan serta keyakinan sendiri akan nilai-nilai kesusilaan
dan keagamaan di dalam masyarakat.

5
Soejono, Ag. 1980. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung: CV. Ilmu.
6
Al-Faruqi, Ismail R. 1993. Islam dan Kebudayaan, terjemahan Yustiono, judul asli: Islam
and Culture, Bandung: Mizan.
7
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan A, Qur’an- Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
Corak ragam pendidikan yang diterima anak didik dalam masyarakat ini
sangat banyak sekali. Diantaranya yaitu meliputi segala bidang, baik pembentukan
kebiasaan, pembentukan pengetahun, sikap dan minat, maupun pembentukan
kesusilaan dan keagamaan.
Berdasarkan undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sisitem pendidikan
nasional, peristiwa pendidikan yang berlangsung pada lingkungan masyarakat,
tergolong pada pendidikan non formal. Lembaga pendidikan non formal atau
pendidikan luar sekolah (LPS) ialah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan
dengan sengaja, tertib, dan berencana, dilaksanakan di luar kegiatan persekolahan.
Jadi pada hakikatnya, pendidikan di lingkungan masyarakat merupakan
pendidikan lanjutan dari sekolah, dengan kata lain pendidikan di lingkungan
masyarakat menekankan/memperkuat dalam aspek pembiasaan, penguatan materi
pembelajaran, dan biasanya pendidikan yang ada pada masyarakat lebih
mengutamakan praktek dari pada teori.
Petunjuk Al-Qur’an dan Hadits
a. Gambaran Surat Al_Hujurat
Sebelum diuraikan lebih jauh perihal ayat 10-13 surat al-Hujurat (49), ada
baiknya pemakalah lebih dulu memberikan informasi tentang jati diri surat al-
Hujurat itu sendiri. Surat al-Hujurat, atau surat ke-49, adalah terdiri atas 18 ayat,
343 kalimat dan 1.476 huruf. Diturunkan setelah surat al-Mujadilah, dan tergolong
ke dalam kelompok surat-surat Madaniah8.
Dinamakan surat al-Hujurat, yang berarti kamar-kamar, diambil dari
perkataan “al-Hujurat” yang terdapt dalam ayat ke-4 dalam surat tersebut. Ayat
keempat ini mencela sebagian sahabat yang memanggil-manggil Nabi Muhammad
SAW yang sedang berada di dalam kamar rumahnya bersama isteri beliau.
Memanggil-manggil Nabi dengan cara dan dalam keadaan demikian menunjukkan
sifat yang kurang baik dan kurang hormat kepada beliau karena mengganggu
ketenangan dan ketenteran beliau.
Beberapa isi pokok yang terkandung dalam surat al-Hujurat ialah meliputi
persoalan:
1. Keimanan
Terutama menyangkut ketentuan bahwa masuk agama Islam harus
disempurnakan dengan muatan iman yang sebenar-benarnya.
2. Hukum-hukum
Terutama menyangkut soal larangan mengambil keputusan yang menyimpang
dari ketetapan Allah dan Rasul-Nya, keharusan meneliti suatu perkabaran yang
disampaikan oleh orang-orang fasik, dan kewajiban mengadakan islah antara
orang-orang muslimin yang bersengketa karena sesame muslimin itu adalah
bersaudara.
3. Akhlak
Terutama tentang etika sopan santun berbicara dengan Rasul Allah SAW,
bekerjasama antar kelompok masyarakat dan lain sebagainya.
Itulah gambaran singkat tentang surat al-Hujurat yang di dalamnya
terdapat beberapa ayat yang membahas hubungan manusia dengan Allah, manusia
kepada sesama dan perilaku manusia.

8
Materi pokok Qur’an dan Hadits, Midul 1-6, Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan
agama islam dan universitas terbuka, 1997, hlm. 1210
Kini tibalah waktunya pemakalah mengkaji surat al-Hujurat (49) ayat 10
s/d 13, yang dalam hal ini meliputi kajian tentang; Makna kosa kata (Makna
mufradat), Sebab nuzul, Penjelasan ayat dan Pengambilan kesimpulan tiap ayat
yang telah dikaji tersebut. Perihal kosa kata dalam pembahasan al-Qur’an surat al-
Hujurat (49) ayat 10-13 nantinya sangat diperlukan karena sering dijumpai dalam
Kitab Suci itu kata-kata yang mengandung pengertian lebih dari satu. Disamping itu
juga ditemukan kata yang berkonotasi metaforis atau dalam ilmu balaghah disebut
majaz. Apabila hanya mengetahui satu konotasi saja, sedangkan yang dimaksud
ialah makna yang lain, kemungkinan untuk tergelincir ke pemahaman yang keliru
besar sekali, karenanya, pemakalah menampilkan kajian kosa kata dalam
pembahasan tersebut.

b. Surat al-Hujurat (49) ayat 10

‫ِإَّنَم ا ٱْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِإْخ َو ٌة َفَأْص ِلُحو۟ا َبْيَن َأَخ َو ْيُك ْم ۚ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّلل َلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم وَن‬

'Innamā Al-Mu'uminūna 'Ikhwatun Fa'aşliĥū Bayna 'Akhawaykum ۚ Wa Attaqū Al-


Laha La`allakum Turĥamūna
49:10. “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Tafsir Al
Misbah, Vol. 13, hal. 246-247) Jo. (9:11, 30:30, 42:23)

1. Makna Kosa Kata (Makna Mufradat)

‫ َأْص َلَح‬: Terambil dari kata “ashlaha” yang berakar kata “shalaha
atau shaluha – yashluhu – shalahan wa shalahiyatan”
yang secara harfiyah berarti baik, sesuai, cocok dan bagus.
Lawan katanya adala fasad, yang berarti rusak, jelek dan
tidak cocok atau hancur. Yang dimaksud dengan “ishlah
disini ialah perdamaian antara dua orang (kelompok) yang
berseteru atau yang terlibat peperangan”. 9 Dengan melihat
redaksi ayat sebelumnya surta ke 9 akan nampak jelas kisah

9
Ibid, 1214
dari kedua ayat secara berurutan.

‫ َفَأْص ِلُحوا‬pada surat Al-Hujuraat


Kajian kata ayat ke 10

Bacaan dalam tulisan arab


faashlichû
latin
Jenis kata kata perintah atau kata seru
maka (kalian) damaikanlah
Arti kata ‫َفَأْص ِلُحوا‬
(mereka[lk])
kata ‫ َفَأ ْص ِلُحوا‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 3 kali (hujuraat)
Kata ‫ َفَأ ْص ِلُحوا‬tersusun dari
‫صلح‬
kata dasar dengan suku kata
180 kali, yang terdiri dari dipakai kata
Jumlah pemakaian pola dasar
benda sebanyak 150 kali, dipakai kata
‫ ص ل ح‬dalam AlQuran
kerja sebanyak 30 kali

2. Sebab Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW naik
keledai pergi ke rumah Abdullah bin Ubay, seorang munafik yang suka
melontarkan ejekan. Ka itu Ibn Ubay berkata: “Eyahlah engkau daripadaku!
Demi Allah aku telah terganggu karena bau busuk himarmu ini (Muhammad)”
berkatalah salah seorang Anshar: “Demi Allah keledainya (Muhammad) lebih
harum daripada kamu (Abdullah bin Ubay)”. Kemudian sesudah itu marahlah
anak buah Abdullah bin Ubay kepada orang Anshar tadi, lalu terjadilah
kemarahan yang menimbulkan kedua pihak berkelahi dengan menggunakan
pelepah kurma, sandal dan lain-lain.
Berkenaan dengan peristiwa diatas maka turunlah ayat ini (al-Hujurat
(49):9) yang memerintahkan penghentian peperangan, untuk kemudian
menciptakan perdamaian (diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari
Anal).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dua orang dari kaum muslimin
bertengkar satu sama lain. Maka marahlah pengikut kedua kaum tersebut
hingga terjadilah “peperangan” dengan menggunakan tangan dan sandal. Ayat
ini (al-Hujurat (49):9) tutun sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian
dan menciptakan perdamaian (diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibn
Jarir yang bersumber dari Abi Malik).
3. Penjelasan
Tersebab pertarungan antara sesama kelompok mukmin itu dilarang,
diantara alasannnya seperti maksud ayat ke 10 surat al-Hujurat. Hal ini
mengingatkan sesama mukmin itu adalah bersaudara. Itulah alasan mendasar
yang menyebabkan pihak ketiga yang seharusnya juga adalah orang-orang
mukmin harus berlaku bebas dan aktif dalam mendamaikan pihak yang terlibat
persengketaan, maksud ayat ke 9.
Mewujudkan perdamaian, oleh Allah dipandang sebagai salah satu
wujud ketaqwaan kepadaNya yang memiliki lingkup sangat luas.
Firman Allah (dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat)
adalah mengisyaratkan hal itu.

4. Kesimpulan
Bahwa perdamaian yang adil merupakan cara terbaik untuk
mengakhiri persengketaan yang terjadi di tengah masyarakat. Lebih-lebih jika
persengketaan itu terjadi antara sesama kelompok mukmin. Sebab, menurut al-
Qur’an antara orang mukmin dengan orang mukmin pada hakikatnya adalah
bersaudara (ikhwah).

c. Surat al-Hujurat (49) ayat 11

‫ْن ِّنَس ۤا ٍء َع ٰٓس ى َاْن َّيُك َّن َخْيًرا ْنُهَّۚن‬ ‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َيْسَخْر َقْو ٌم ِّم ْن َقْو ٍم َع ٰٓس ى َاْن َّيُك ْو ُنْو ا َخْيًرا ِّم ْنُهْم َو اَل ِنَس ۤا ٌء‬
‫ِّم‬ ‫ِّم‬
‫ٰۤل‬
‫َّلْم َيُتْب َفُاو ِٕىَك ُهُم الّٰظ ِلُم ْو َن‬ ‫َو اَل َتْلِم ُزْٓو ا َاْنُفَس ُك ْم َو اَل َتَناَبُز ْو ا ِباَاْلْلَقاِۗب ِبْئَس ااِل ْس ُم اْلُفُسْو ُق َبْع َد اِاْل ْيَم اِۚن َو َم ْن‬

Yā 'Ayyuhā Al-Ladhīna 'Āmanū Lā Yaskhar Qawmun Min Qawmin `Asá 'An


Yakūnū Khayrāan Minhum Wa Lā Nisā'un Min Nisā'in `Asá 'An Yakunna
Khayrāan Minhunna ۖ Wa Lā Talmizū 'Anfusakum Wa Lā Tanābazū Bil-'Alqābi ۖ
Bi'sa Al-Aismu Al-Fusūqu Ba`da Al-'Īmāni ۚ Wa Man Lam Yatub Fa'ūlā'ika Humu
Až-Žālimūna
49:11. Wahai orang-o r a n g yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-
olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-
olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula
perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh
jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang
mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan
jagnlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan
barang siapa tidak bertobat, maka mereka iutlah orang-orang yang
zalim. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 250) Jo. (3:118, 3:162, 5:50)
1. Makna Kosa Kata (Makna Mufradat)
‫ َيْسَخْر‬pada surat Al-Hujuraat ayat ke 11
Kajian kata
Bacaan dalam tulisan arab
yaskhar
latin
kata kerja aktif bentuk sedang atau akan
Jenis kata
terjadi
Arti kata ‫َيْسَخْر‬ memperolok-olok
kata ‫ َيْسَخ ْر‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 1 kali
Kata ‫ َيْسَخ ْر‬tersusun dari
‫سخر‬
kata dasar dengan suku kata
42 kali, yang terdiri dari dipakai kata
Jumlah pemakaian pola
benda sebanyak 8 kali, dipakai kata
dasar ‫ س خ ر‬dalam AlQuran
kerja sebanyak 34 kali

‫ َتْلِم ُز وا‬pada surat Al-Hujuraat ayat ke 11


Kajian kata
Talmizû, Yang dimaksud talmizû disini
Bacaan dalam tulisan arab
ialah mencela diri sendiri.
latin
kata kerja aktif bentuk sedang atau
Jenis kata akan terjadi

Arti kata ‫َتْلِم ُز وا‬ mencela


kata ‫ َتْلِم ُز وا‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 1 kali
Kata ‫ َتْلِم ُز وا‬tersusun dari
‫لمز‬
kata dasar dengan suku kata
4 kali, yang terdiri dari dipakai kata benda
Jumlah pemakaian pola dasar
sebanyak 1 kali, dipakai kata kerja
‫ ل م ز‬dalam AlQuran
sebanyak 3 kali

..
Kajian kata

‫ ِباَأْلْلَقاِب‬pada surat Al-


Hujuraat ayat ke 11
Bacaan dalam tulisan arab
bi(a)l-alqâbi
latin
Jenis kata kata benda atau sifat
dengan julukan, Yang maksudnya
Arti kata ‫ِباَأْلْلَقاِب‬ adalah panggilan yang bukan nama asli
berupa panggilan buruk.
Jumlah pemakaian kata ‫ ِباَأْلْلَقاِب‬dalam AlQuran dipakai
sebanyak 1 kali
‫َق‬ ‫ْل‬‫َأْل‬
Kata ‫ ِبا اِب‬tersusun dari
‫لقب‬
kata dasar dengan suku kata
Jumlah pemakaian pola dasar 1 kali, yang terdiri dari dipakai kata benda
‫ ل ق ب‬dalam AlQuran sebanyak 1 kali
dalam AlQuran hanya dipakai untuk
Pola dasar ‫ل ق ب‬
bentuk kata benda saja, dala
AlQuran untuk pola dasar ini tidak digunakan sebagai kata kerja ..

Kajian kata ‫ َيْغ َتب‬pada surat Al-Hujuraat ayat ke


12
Bacaan dalam tulisan arab
yaghtab
latin
kata kerja aktif bentuk sedang atau
Jenis kata
akan terjadi
(dia[lk]) mengumpat, dalam artian
Arti kata ‫َيْغ َتب‬
menceritakan aib orang lain.
kata ‫ َيْغ َتب‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 1 kali
Kata ‫ َيْغ َتب‬tersusun dari kata
‫غيب‬
dasar dengan suku kata
60 kali, yang terdiri dari dipakai kata
Jumlah pemakaian pola dasar
benda sebanyak 59 kali, dipakai kata
‫ غ ي ب‬dalam AlQuran
kerja sebanyak 1 kali

d. Surat al-Hujurat (49) ayat 12

‫ِّۖن‬
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنوا اْج َتِنُبْو ا َك ِثْيًرا ِّم َن الَّظ ِاَّن َبْع َض الَّظِّن ِاْثٌم َّو اَل َتَج َّسُسْو ا َو اَل َيْغ َتْب َّبْعُض ُك ْم َبْعًض ۗا َاُيِح ُّب َاَح ُد ُك ْم َاْن َّيْأُك َل َلْح َم‬
‫َاِخ ْيِه َم ْيًتا َفَك ِر ْهُتُم ْو ُۗه َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َتَّواٌب َّر ِح ْيٌم‬

Yā 'Ayyuhā Al-Ladhīna 'Āmanū Ajtanibū Kathīrāan Mina Až-Žanni 'Inna Ba`đa


Až-Žanni 'Ithmun ۖ Wa Lā Tajassasū Wa Lā Yaghtab Ba`đukum Ba`đāan ۚ
'Ayuĥibbu 'Aĥadukum 'An Ya'kula Laĥma 'Akhīhi Maytāan Fakarihtumūhu ۚ Wa
Attaqū Al-Laha ۚ 'Inna Al-Laha Tawwābun Raĥīmun
49:12. “Hai orang-orang yang b e r i m a n , jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
(Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 253). Jo. (2:275, 3:130, 6:120)

‫ الَّظِّن‬pada surat Al-Hujuraat ayat


Kajian kata ke 12

Bacaan dalam tulisan arab latin a(l)dhdhanni


Jenis kata kata benda abstrak atau sifat
Arti kata ‫الَّظِّن‬ Menyangka
kata ‫ الَّظ ِّن‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 3 kali
Kata ‫ الَّظ ِّن‬tersusun dari kata dasar
‫ظنن‬
dengan suku kata
69 kali, yang terdiri dari dipakai
Jumlah pemakaian pola dasar ‫ظ ن‬
kata benda sebanyak 24 kali,
‫ ن‬dalam AlQuran
dipakai kata kerja sebanyak 45 kali

‫ َتَج َّسُسوا‬pada surat Al-Hujuraat ayat


Kajian kata ke 12

Bacaan dalam tulisan arab latin tajassasû


kata kerja aktif bentuk sedang atau
Jenis kata
akan terjadi
Arti kata ‫َتَج َّسُسوا‬ (kalian) supaya mencari kesalahan
kata ‫ َتَج َّسُسوا‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 1 kali
Kata ‫ َتَج َّسُسوا‬tersusun dari kata
‫جسس‬
dasar dengan suku kata
Jumlah pemakaian pola dasar ‫ج س‬ 1 kali, yang terdiri dari dipakai kata
‫ س‬dalam AlQuran kerja sebanyak 1 kali
Dalam AlQuran hanya dipakai untuk
bentuk kata kerja saja, dalam
Pola dasar ‫ج س س‬
AlQuran untuk pola dasar ini tidak
digunakan sebagai kata benda

‫ َيْغ َتب‬pada surat Al-Hujuraat ayat


Kajian kata ke 12

Bacaan dalam tulisan arab latin yaghtab


Jenis kata kata kerja aktif bentuk sedang atau
akan terjadi
Arti kata ‫َيْغ َتب‬ (dia[lk]) mengumpat
kata ‫ َيْغ َتب‬dalam AlQuran dipakai
Jumlah pemakaian
sebanyak 1 kali
Kata ‫ َيْغ َتب‬tersusun dari kata dasar
‫غيب‬
dengan suku kata
60 kali, yang terdiri dari dipakai
Jumlah pemakaian pola dasar ‫غ ي‬
kata benda sebanyak 59 kali,
‫ ب‬dalam AlQuran
dipakai kata kerja sebanyak 1 kali

2. Sebab Nuzul (11-12)


Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki mempunyai
dua atau tiga nama, dan dipanggil dengan nama tertentu agar orang itu tidak
senang dengan panggilan itu. Ayat ini (surat al-Hujurat (49):11) turun sebagai
larangan untuk menggelari orang dengan nama-nama yang tidak
menyenangkan (diriwayatkan oleh imam empat dari Abi Jubai Ibnu Dhahhak).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama-nama gelaran di zaman
Jahilyyah sangat banyak. Ketika Nabi SAW. Memanggil seseorang dengan
gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada Nabi bahwa gelar itu tidak
disukainya. Maka turunlah ayat ini ini (surat al-Hujurat (49):11) yang melarang
memanggil orang dengan gelaran yang tidak disukai (diriwayatkan oleh Al-
Hakim dan yang lainnya yang berkata: “Ya Rasulallah! Sesungguhnya ia
marah dengan panggilan itu”).
Bunyi redaksi ayat “Wa Lā Tanābazū Bil-'Alqābi” (surat al-Hujurat
(49):11) turun sebagai larangan mengenai orang dengan sebutan yang tidak
disukainya (diriwayatkan oeh Ahmad yang bersumber dari Abi Jubai Ibnu
Dhahhak).
Kemudian, beralih ke ayat 12 surat al-Hujurat, dalam satu riwayat
dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus Salman Al-Farisi.
Kisah ringkasnya demikian: Manakala selesai makan, Al-Farisi terus beranjak
tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang lain yang
menggunjingkannya. Maka turunlah ayat di atas yang pada intinya melarang
seseorang mengumpat dan menceritakan aib orang lain (diriwayatkan oleh Ibn
Al-Mundzir dari Ibnu Juraij).
3. Penjelasan
Dengan penjelasan berurutan yakni, surat al-Hujurat (49) ayat 13
memerintahkan umat manusia supaya bekerjasama serta mempertahankan
persatuan dan kesatuan.
Pada ayat 9 dan 10 surat al-hujurat (49) Allah mengingatkan beberapa
faktor yang menyebabkan persatuan dan kesatuan suatu masyarakat atau
bangsa menjadi terganggu dan bahkan retak dan kemudian terpecah belah.
Diantara faktor yang dimaksudkan ialah perlakuan olok-olok baik yang
dilakukan oleh kaum pria atau wanita, bahkan mungkin keduanya. Al-Qur’an
melarang perbuatan mengolok-olok dan sekaligus mengingatkan bahwa boleh
jadi orang-orang atau kelompok yang diolok-olokkan itu malahan lebih baik
daripada yang mengolok-olok.
Faktor lain yang cukup besar pengaruhnya bagi gangguan persatuan
dan persaudaraan ialah pemberian gelar yang jelek kepada orang lain, atau
dengan kalimat memanggil orang/kelompok lain dengan gelar-gelar yang tidak
baik. Allah menyamakan jukukan buruk dengan perbuatan fasik yang jika tidak
bertobat pelakunya tergolong ke dalam perbuatan aniaya.
Masih dalam kalimat ini, hal lain yang dapat menimbulkan
persaudaraan menjadi renggang dan persatuan menjadi pecah ialah prasangka
yang berlebihan. Banyak atau paling tidak sebagian prasangka dapat
menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat semisal isu-isu yang keluar dari
orang/kelompok lain yang tidak bertanggung jawab dalam kehidupan sekarang
ini.
Menggunjing orang atau lain juga merupakan faktor perusak persatuan
dan persaudaraan. Sebab, dari gunjing-menggunjing sangat mengkin timbul
pertengkaran yang kenudian mengarah pada kekerasan dan bahkan bias
menjadi pertempurat hebat. Lalu jika terjadi saling membunuh maka seakan
manusia yang bersaudara itu memakan daging saudaranya yang lain.
Tersebab itu maka al-Qur’an melalui ayat 12 surat al-Hujurat dan
beberapa ayat yang senada ayat 6 surat al-Fath, mengingatkan agar
menghindari berburuk sangka atau su’udzdzan. Dan Allah SWT mengingatkan
kita semua untuk untuk selalu bertaqwa kepadaNya. Di antara wujud taqwa
dalam lingkupnya yang luas ialah menghindarkan dir dari kemungkinan terlibat
dengan prasangka buruk dang menggunjing.
4. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat 11 dan 12 surat
al-Hujurat, diantaranya ialah bahwa Allah melarang orang-orang beriman
terlibat olok-olok dengan sesame mu’minin bahkan dengan sesama manusia
pada umumnya.
Orang-orang mukmin juga dilarang memberikan atau memanggil orang
lain dengan julukan-julukan jelek yang tidak menyenangkan, dan
mengidentikkan perbuatan itu degan perlakuan dzalim.
Allah juga melarang berprasangka buruk kepada sesame orang beriman
bahkan kepada orang yang berbeda agama sekalipun; dan menyatakan bahwa
prasangka buruk adalah perbuatan dosa.
e. Surat al-Hujurat (49) ayat 13

‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس ِاَّنا َخ َلْقٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّو ُاْنٰث ى َو َجَع ْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤا ِٕىَل ِلَتَع اَر ُفْو اۚ ِاَّن َاْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ِهّٰللا َاْتٰق ىُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا َع ِلْيٌم‬
‫َخ ِبْيٌر‬
Yā 'Ayyuhā An-Nāsu 'Innā Khalaqnākum Min Dhakarin Wa 'Unthá Wa Ja`alnākum
Shu`ūbāan Wa Qabā'ila Lita`ārafū ۚ 'Inna 'Akramakum `Inda Al-Lahi 'Atqākum ۚ
'Inna Al-Laha `Alīmun Khabīrun
49:13. “Hai m a n u s i a , Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 260).
Jo. (4/1, 6/133, 30/22)
1. Makna Kosa Kata (Makna Mufradat)

   : Menurut umumnya ahli tafsir klasik, yang dimaksud
dengan kata-kata “Min Dhakarin Wa 'Unthá” pada ayat
ini adalah Adam dan Isterinya.

 : Kata tunggalnya adalah sya’bun yaitu kehidupan


kelompok besar yang dinisbahkan kepada asal
(rumpun) yang satu.

Misalnya sya’ban Rabi’ah dan sya’ab Mudhar. Dalam


istilah sekarang tampak identik dengan suku bangsa.

Kelompok masyarakat (sosial) yang jumlahnya lebih


sedikit daripada sya’bun. Dalam istilah sekarang biasa
disamakan dengan suku, seperti istilah kabilah Tamim
dari suku Mudhar dan kabilah Bakar dari suku Rabi’ah,
dan begitu seterusnya.

Dari kalangan bangsa arab dahulu, hubungan keturunan


(al-nasl) itu di bedakan ke dalam 7 kelompok :

1) sya’bun, 2) kabilah, 3) imarah, 4) al-bathnu, 5) al-


fakhdz, 6) al-fashilah, 7) al-‘asyirah.

2. Sebab Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika terjadi fathu Makkah
(pembebasan kota Makkah) oleh kaum muslimin, Bilal naik Ka’bah dengan
maksud untuk melantunkan adzan, lalu ada beberapa orang mengatakan:
“Pantaskah seorang budak hitam melakukan adzan di atas Ka’bah?” Maka
berkatalah yang lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang itu, niscaya Allah
akan menggantinya”. Ayat diatas turun sebagai penegasan bahwa dalam
Islam sama sekali tidak ada diskriminasi. (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dari Ibnu Abi Mulaikah).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat di atas turun bertalian
dengan kasus Abi Hindin yang berhak dikawinkan oleh Rasul Allah SAW
kepada seorang wanita dari kalangan Bani Bayadhah. Bani Bayadhah
bertanya: “wahai Rasul Allah! Pantaskah kalau kami menikahkan petera-
puteri kami dengan budak-budak kami?” Lalu turunlah ayat di atas.
Satu lagi periwayatan disebutkan bahwa ayat 13 surat al-Hujurat (49)
di atas diturunkan berkenaan dengan dua orang Anshar yang terlibat tawar-
menawar dalam memperoleh haknya. Salah seorang di antara mereka berkata:
“Aaku akan mengambilnya dengan kekerasan, karena aku banyak memiliki
kawan; sementara yang lain mengajak untuk menyerahkan keputusannya
kepda Nabi SAW. Orang tersebut lalu menolaknya, sehingga terjadilah pukul
memukul dengan tangan dan sandal; akan tetapi tidak terjadi pertumpahan
darah. Ayat diatas memerintahkan supaya melawan rang yang menolak
perdamaian (diriwayatkan oeh Ibn Jarif dan Qatadah).”
3. Penjelasan
Lepas dari perbedaan sebab nuzul diatas, yang pasti ayat 13 surat al-
Hujurat ini memberikan landasan dasar tentang prinsip dasar kesamaan
manusia anatara yang satu dengan yang lain. Perbedaan jenis kelamin, warna
kulit, suku, agama dan lain-lain, sama sekali tidak boleh dijadikan alas an
untuk membeda-bedakan perstasi seseorang atau dengan kalimat lain, al-
Qur’an tidak membenarkan diskriminasi karena ras, suku, bansa dan lain-lain.
Al-Qur’an hanya membedakan anatara orang yang satu dengan orang
lain berdasarkan prestasi amal kerjanya yang dalam istilah al-Qur’an dikenal
dengan taqwa. Menurut pandangan Allah SAW, hanya taqwallah-lah yang
bias membedakan antara manusia yang satu dari manusia yang lain.
Hal lain yang juga ditegaskan dalam ayat 13 surat al-Hujurat diatas
ialah bahwa perbedaan suku bangsa dan lain-lain tidak harus menjadikan
panghalang untuk memupuk kerjasama antara orang yang satu dengan orang
lain, atau antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Sebanya,
karean masing-masing kelompok masyarakat manusia itu pada dasarnya
saling membutuhkan bantuan.
Kerjasama yang demikian pada dasarnya mutlak perlu dilakukan oleh
setiap bangsa kapan dan di manapun, lebih-lebih oleh bangsa yang
penduduknya bersifat majemuk atau heterogin seperti hanya Indonesia.
Malahan sebaliknya harus diusahakan kerjasama yang adil dan saling
menguntungkan semua pihak, demi persatuan dan kesatuna bangsa yang telah
lama dinikmati bangsa Indonesia.
4. Kesimpulan
Dari ayat 13 surat al-Hujurat diatas, dapatlah disimpulkan bahwa
manusia itu pada dasarnya adalah sama. Karena itu maka asas persamaan
antar sesama manusia harus dijunjung tinggi, terutama dalam kaitannya
dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam pandangan Allah SWT, manusia itu hanya dapat dibedakan
berdasarkan ketaqwaannya, tidak didasarkan pada yang lain seperti bahasa,
suku, bangsa dan lain-lain. Segala perbedaan yang ada ditengah-tengah
masyarakat, tidak boleh menjadikan penghalang bagi kerjasama anatar
kelompok yang ada, dan sekaligus tidak boleh mengusik persatuan dan
kesatuan.

A. Kisah-kisah dalam al-Qur’an


Di dalam makalah ini, pemakalah kiranya perlu sekali memberikan
uraian perihal kisah, yang memang ada pertalian antara kisah dengan hajat
hidup manusia pada lingkungan masyarakat, tersebab adanya muatan
pendidikan dan pengajaran.
1. Pengertian kisah
Dalam buku karya Prof. Dr. Nashruddin Baidan “Wawasan Baru
Ilmu Tafsir”10, Lafal “kisah” berasal dari bahasa Arab qishshat jamanya
qishash yang menurut Muhammad Ismail Ibrahim, berarti “hikayat [dalam
bentuk] prosa yang panjang.”11
Adapun qashash adalah akar kata (mashdar) dari qashsha yaqushshu,
secara lughawi konotasinya tak jauh berbeda dari yang disebutkan diatas,
yang dipahami sebagai “ceritera yang ditelusuri”

10
Nasruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, cetakan II, 2011, hlm.223-246
11
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazh wa A’lam al-Qur’aniyyat, Dar al-Fikr al-‘Arabi,
1969, h.140
Dari pengerian lughawi itu dan setelah memperhatian kisah yang
diungkapkan oleh al-Qur’an maka kita dapat menerima pengertian yang
dikemukkan oleh manna al-Qaththan bahwa yang dimaksud dengan kisah
Al-Qur’an ialah “Informasi Alqur’an tentang umat-umat yang silam para
Nabi, dan peristiwa yang terjadi”.
2. Macam-macam kisah
Apabila diamati ksah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an maka
paling tidak ditemukan tida kategori. 12
Pertama mengenai para Nabi, diantaranya mengenai dakwah
terhadap suatu kaum, mukjizat, pendurhaka dll. Kedua, kisah yang terjadi
dimasa lampau, yang bukan kisah Nabi, seperti Qabil dan Habil,
Zulkarnain, Maryam dan lain-lain. Ketiga, kisah yang terjadi di masa Rasul
Allah sepeti perang Badar dan perang Uhud, Hujrah, Isra’ dan sebagainya.
Jika diperhatikan ketiga macam kisah yang terdapat dalam qur’an itu
maka tampak dengan jesa semuanya bertujuan memberikan pelajaran
memanggil umat kejalan yang benar agar mereka selamat hidup di duni dan
berbahagi sampai ke akhirat.
3. Tujuan kisah
Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi umat
manusia bahwa al-Qur’an sanat sesuai dengan kondisi mereka karena sejak
kecil smapai dewasa dan tua Bangka, tiak ada orang yang tak suka kepada
kisah, apalagi kisah itu mempunyai tujuan ganda, yakni disamping
pengajaran dan pendidikan juga berfungsi sebagai hiburan.
4. Pertalian kisah dengan hajat hidup manusia
Dari uraian diatas kita mendapatkan gambaran bahwa kisah dalam
al-Qur’an mempunyai multifungsi, selain berisa pelajaran yang amat
berharga, juga berfungsi mengokohkan akidah tauhim; dan sekaligus
menenteramkan jiwa ,serta menetapkan pendidirian dalam berjuang; bahkan
dapat pula kisah itu berfungsi sebagai penghibur jiwa dan pelipur lara,
terutama bila berhadapan dengan tantangan yang keras dari umat dan
penolakan mereka.
Maka eksistensi kisah dalam al-Qur’an mempunyai kaitan yang
sangat erat dengan hajat hidup umat manusia. Dengan demikian, bukanah
12
Lebih lanjut bandingkan Manna’ al-Qaththan, op.cit., hh. 306-307
hal yang aneh, bila kisah-kisah dalam al-Qur’an sangat menarik dan cocok
dengan kebutuhan hidup umat dimuka bumi ini karena yang
menurunkannya ialah Allah sendiri pencipta manusia, dialah yang
mengetahui kebutuhan dan perkembangan jiwa mereka.
5. Kandungan kisah
Kisah-kisah dalam al-Qur’an diungkapkan dalm rangkan mendidik
umat tentang bagaimana cara hidup sebagai khalifah yang deserahi amanah
memakmurkan dan membangun kehidupan yang layak bagi umat manusia
di muka bumi ini. Dari itu kisah tersebut berisi materi anatara lain: tahid,
akhlak, dan mu’amalah. Ketiga unsur ini amat penting dalam kehidupan
umat.
Lebih jelasnya, pemakalah akan memberikan gambaran nilai-nilai
yang terkandung dalam kisah al-Qur’an khususnya dalam surat al-Hujurat
(49) : 10-13, pada pokok bahasan berikut ini.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Kemasyarakata dalam Surat Hujurat 10-13
Pendidikan sangatlah penting dalam kehidupan. Didalam al-Qur’an
surat al-Hujurat ayat 11-13 memiliki makna yang sangat luas, didalamnya
membahas cara berhubungan sesama manusia dengan baik, khususnya etika
kepada sesama Muslim.
1. Pendidikan menjunjung tinggi kehormatan sesama muslim
Menjunjung tinggi kehormatan sesama muslimim merupakan
kewajiban setiap muslimin terhadap muslimin yang lainnya. Dalam al-
Qur’an banyak memuat kisah-kisah yang menggambarkan tentang ayat-
ayat saling menghormati. Ada beberapa sifat tercela yang harus
dihindari dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ini untuk dihindari oleh
setiap muslim, berikut uraiannya :
a. Mengolok-olok
Mengolok-olok atau mengejek adalah perbuatan yang
dilarang dan diharamkan. Pada QS. . Al-Hujurat ayat 11 dijelaskan
larangan supaya jangan menghina atau merendahkan orang lain, karena
manusia tidak ada yang sempurna. Setiap kelebihan pasti akan ada
kekurangan, begitu juga sebaliknya.
Rasulullah sangat menjaga supaya seseorang jangan
menghina atau atau mengejek orang lain karena kekurangan-
kekurangan yang terdapat pada orang yang bersangkutan.13
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad
diceritakan bahwa pada suatu hari, Abdullah bin Mas’ud berkumpul
dengan para sahabat. Bertepatan pada waktu itu kain yang menutupi
kain Abdullah bin Mas’ud tersingkap, sehingga kelihatan betisnya
yang kecil dan kurus. Sebagian sahabat menertawakan Abdullah bin
Mas’ud itu karena betisnya yang sangat kecil itu. Secara spontan
Rosulullah SAW meegur sikap sahabat-sahabat yang menghina atau
meredahkan Abdullah bin Mas’ud itu seraya berkata:“apakah kamu
tertawa karena betisnya yang kecil itu? Demi Tuhan yang menguasai
diriku, kedua betis (Abdullah bin Mas’ud) lebih berat timbangannya
dari gurun Uhud.” (HR. Ahmad).
Dari ungkaapan diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa
seseorangyang mempunyai kekurangan, pasti memiliki kelebihan.
Kita tidak dapat menilai seseorang hanya dilihat dari satu sisi.
Kekurangan seseorang dapat ditutupi dengan beberapa kelebihan yang
dimilikinya.
b. Mencela.
Dalam potongan ayat 11 QS. . Al-Hujurat dijelaskan
“..Janganlah kamu mencela dirimu sendiri..” kata (‫ )َتْلِم ُز وا‬terambil dari
kata al- lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini.
Ibnu Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang
langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir,
tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman.14
Ayat diatas melarang melakukan lamz terhadap diri sendiri,
sedangkan maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebutdipilih
untuk mengisyaratkan masyarakat dan bagaimana seseorang
merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain,
maka menimpa dirinnya sendiri.15
Ketika seseorang mencela orang lain, maka orang tersebut
adalah mencela dirinya sendiri. Kekurangan orang lain bisa ada pada

13
Zainuddin, BahayaLidah, (Jakarta: BumiAksara, 1992), hal. 170
14
M.QuraishyShihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: LenteraHati, 2002), hal 251
15
Ibid, 125
diri orang yang mencela tanpa disadari.
c. Memanggil dengan gelar yang buruk
Wa la Tanabazu (‫ )َتَناَبُز وا َو ال‬Tanabazu berasal dari akar kata
nabaza- yanbazu-nabzan yang berarti memberikan julukan dengan
maksud mencela. Bentuk jamaknya adalah anbaz. Tanabazu melibatkan
dua pihak yang saling memberikan julukan. Tanabuz lebih sering
digunakan untuk pemberian gelar yang buruk. Maksud dari Tanabuz
hampir sama dengan lamz yaitu mencela, hanya dalam Tanabuz ada
makna keterus terangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan
lamz belum tentu dihadapan orang yang dicelanya, tetapi kalau
tanabuz dilakukan dengan terag- terangan dihadapan orang yang
bersangkutan.16
d. Az-zann (berperasangka).
Kata az-zann adalah bentuk masdar dari kata zanna-
yazunnu yang berarti menduga, menyangka dan memperkirakan.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan agar menjauhi zann (prasangka)
karena sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa. Prasangka
yang tidak berdasar tentu meresahkan kehidupan bermasyarakat
karena satu sama lainnya saling mencurigai dan akan mengakibatkan
perpecahan.17
Perasangka yang dimaksud disini adalah perasangka jelek.
Dari kata ‫ ﻣﻦ‬yang artinya dari/sebagian. Artinya adalah sebagian yang
jelek, karena perasangka ada dua, yaitu perangka yang baik dan
perasangka yang buruk. Allah melarang kita berprasangka buruk
karena perasangka buruk akan membawa kita pada perpecahan. Akan
tetapi Allah memerintahkan kepada kita akan senantiasa
berperasangka yang baik agar senantiasa terjalin hubungan yang
harmonis dengan sesame manusia terutama sesama Muslim.
e. Tajassus
Wala tajassasu (dan janganlah kamu saling mencari-cari
kesalahan/ memata- matai). Biasanya tajassus dilakukan untuk tujuan
yang tidak baik atau bahkan untuk keburukan. Orang yag melakukan

16
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an danTafsirnya, (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 408
17
Ibid, 412
tajassus disebut jasus (mata-mata). Lain dengan tahassus (mencari
berita), yang biasanya digunakan untuk tujuan baik,
sebagaimanadisebutkan Allah SWT dalam megisahkan Ya’qub.18

‫ٰي َبِنَّي اْذ َهُبْو ا َفَتَح َّسُسْو ا ِم ْن ُّيْو ُسَف َو َاِخ ْيِه َو اَل َت۟ا ْئَـُسْو ا ِم ْن َّرْو ِح ِهّٰللاۗ ِاَّنٗه اَل َي۟ا ْئَـُس ِم ْن َّرْو ِح ِهّٰللا ِااَّل اْلَقْو ُم اْلٰك ِفُرْو َن‬

Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf


dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir".(QS. Yusuf: 87).

f. Ghibah
Allah SWT berfirman : “Sukakah salah seorang diantara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya (QS. . AL-Hujurat: 12).”
Ghibah atau menggunjing yaitu membicarakan kejelekan
orang di belakang orangnya. Kejelekan orang yang dibicarakan itu
baik tentang keadaan dirinya sendiri atau keluarganya, badannya
atau akhlaknya. Menggunjing itu dilarang, baik dengan kata-kata,
isyarat atau lain sebagainya.19
Islam melarang pemeluknya untuk menyakiti saudaranya yang
sesama Muslim, dengan sarana apapun, baik itu dengan tindakan
maupun ucapan.20

ࣖ‫َو اَّلِذ ْيَن ُيْؤ ُذ ْو َن اْلُم ْؤ ِمِنْيَن َو اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت ِبَغْيِر َم ا اْك َتَس ُبْو ا َفَقِد اْح َتَم ُلْو ا ُبْهَتاًنا َّو ِاْثًم ا ُّم ِبْيًنا‬

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan


mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka
Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata. (QS. . Al-Ahzab:58)

Jika Islam telah mengharamkan bagi seorag Muslim untuk


mempergunjungkan saudaranya sesama Muslim, atau
membicarakannya dengan sesuatu yang nyata ada padanya ataupun
yang tidak nyata dengan maksud untuk mengurangi kehormatan dan
kemuliaannya, maka Islampun menegaskan seruannya untuk
18
Penyakit-PenyakitHati (Bandung: PustakaHidayah, 1995), hal. 72
19
Zainuddin, BahayaLidah, (Jakarta: BumiAksara, 1992), hal. 64
20
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah, (Yogyakarta: MitraPustaka, 2004). hal.541
membantu orang-orang yang teraniaya.
Barangsiapa menghinakan seorang Muslim, maka Allah akan
menghinakannya dan siapa yang membantu sudaranya sesama
Muslim, maka Allah juga akan membantunya.21
g. Pendidikan Berperasangka baik (Husnudzon)
Hubungan baik antara manusia yang satu dengan yang
lainnya, dan khususnya antara Muslim yang satu dengan Muslim
yang lainnya, merupakan sesuatu yang harus diupayakan dan dijaga
dengan sebaik- baiknya. Oleh karena itu kita harus berperasangka
baik.22
Allah melarang kita untuk berburuk sangka. Buruk sangka
biasanya berupa tudingan seseorag tanpa didasarkan pada bukti yang
mendukung kebenarannya.
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنوا اْج َتِنُبْو ا َك ِثْيًرا ِّم َن الَّظِّۖن ِاَّن َبْع َض الَّظِّن ِاْثٌم َّو اَل َتَج َّسُسْو ا َو اَل َيْغ َتْب َّبْعُض ُك ْم َبْعًض ۗا‬
‫َاُيِح ُّب َاَح ُد ُك ْم َاْن َّيْأُك َل َلْح َم َاِخ ْيِه َم ْيًتا َفَك ِرْهُتُم ْو ُۗه َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َتَّواٌب َّر ِح ْيٌم‬

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka


(kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. . Al-Hujurat: 12)

2. Pendidikan Ta’aruf
Ta’aruf adalah saling mengenal, untuk menjadikan
keharmonisan dalam hubungan menjadi lebih baik, maka harus
dilestarikan dengan adanya silaturrahmi.
Menurut Imam Nawawi silaturrahmi adalah ungkapan berbuat
baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung atau
yang disambungkadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan,
salam dan lain-lain.23
ۚ ‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس اَّتُقْو ا َر َّبُك ُم اَّلِذ ْي َخ َلَقُك ْم ِّم ْن َّنْفٍس َّواِحَدٍة َّو َخ َلَق ِم ْنَها َز ْو َجَها َو َبَّث ِم ْنُهَم ا ِر َج ااًل َك ِثْيًرا َّوِنَس ۤا ًء‬
‫َو اَّتُقوا َهّٰللا اَّلِذ ْي َتَس ۤا َء ُلْو َن ِبٖه َو اَاْلْر َح اَم ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع َلْيُك ْم َرِقْيًبا‬

21
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim KaffahBerdasarkan Al-Qur’an danSunnahNAbi
saw, (Yogyakarta: MitraPustaka, 2007), hal. 542
22
Musa Turoichan, Ketajaman Mata Hati, (Surabaya: AmpelMulia, 2009), hal. 114
23
Musa Turoichan, Ketajaman Mata Hati, hal. 115
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allahmenciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasikamu.
(QS. . An-Nisa’: 1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi saw, (Yogyakarta: MitraPustaka, 2007)
Al-Faruqi, Ismail R. 1993. Islam dan Kebudayaan, terjemahan Yustiono, judul asli:
Islam and Culture, Bandung: Mizan.
Arifin, Tajul, 2008, “Ilmu Sosial Dasar”, Bandung: Gunung Djati Press.
Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama islam dan universitas terbuka
Materi pokok Qur’an dan Hadits, Midul 1-6, 1997
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pusataka Bandung, 1978.
Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada
http://quran.bblm.go.id/
http://taqwimislamy.comkonsep-pendidikan-islam-dalam-terapan-masyarakat-madani-
menurut-al-qur-an-dan-sunnah
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an danTafsirnya, (Jakarta: WidyaCahaya, 2011)
Kusumamihardja, Supan, dkk. 1985. Studia Islamica, Jakarta: Girimukti Pasaka.
M.Quraishy Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: LenteraHati, 2002)
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazh wa A’lam al-Qur’aniyyat, Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1969.
Musa Turoichan, Ketajaman Mata Hati, (Surabaya: Ampel Mulia, 2009).
Nasruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, cetakan II, 2011.
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan A, Qur’an- Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
Soejono, Ag. 1980. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung: CV. Ilmu.
Syed Muhammad al Naquib al Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,
(Bandung: Mizan, 2003).
Yusuf al Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami
A.Gani,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Zainuddin, BahayaLidah, (Jakarta: BumiAksara, 1992).
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992).

Anda mungkin juga menyukai