Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

AKUNTABILITAS BIROKRASI SEKTOR PUBLIK


Untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah
Birokrasi dan Governansi Publik
Dosen Pengajar : M. Noor Fuadi, S.Sos, M.AP

Di Susun:
KELOMPOK 4
Alpina (18.20.06485)
Gina Aulia (18.20.06491)
Muhaimin (18.20.06506)
Muhammad Fauzan (18.20.06508)
Muhammad Riyadi gabau (18.20.06511)
Nor Syifa Aulia (18.20.06515)
Siti Faridah (18.20.06527)
Syahida Hayati (18.20.06531)
LOKAL 8B Non Reguler

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA) AMUNTAI

PROGRAM STUDI S1 ADMINISTRASI PUBLIK

2022
KATA PENGANTAR

Kami Panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"Akuntabilitas Birokrasi Sektor Publik" dengan tepat waktunya.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Birokrasi dan
Governansi Publik. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
Akuntabilitas Birokrasi Sektor Publik bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapa M. Noor Fuadi, S.Sos, M.AP
selaku dosen Mata Kuliah Birokrasi dan Governansi Publik. yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
.
Penyusun

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
C. Tujuan ................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
A. Akuntabilitas ...................................................................................... 5
1. Akuntabilitas ............................................................................... 5
2. Pentingnya Akuntabilitas ............................................................ 6
3. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas ...................................................... 7
B. Birokrasi............................................................................................. 8
1. Pengertian Birokrasi ................................................................... 8
2. Sejarah Birokrasi ...................................................................... 10
3. Karakteristik Birokrasi.............................................................. 13
C. Akuntabilitas Birokrasi Sektor Publik ............................................. 14
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22
A. Kesimpulan ...................................................................................... 22
B. Saran ................................................................................................ 23
1. Pembaca .................................................................................... 23
2. Pemakalah ................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akuntabilitas birokrasi dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat (Sektor Publik). Seperti yang kita ketahui, setiap warga negara
tidak akan pernah bisa menghindar dari hubungan dengan birokrasi
pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah adalah satu-satunya
organisasi yang memiliki legitimasi untuk memaksakan berbagai peraturan
dan kebijakan menyangkut masyarakat dan setiap warga negara. Itulah
sebabnya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah menuntut
tanggungjawab moral yang tinggi, Kumorotomo (Dwiyanto, 2009 : 95). Oleh
karena itu, setiap instansi baik itu pemerintahan maupun non pemerintahan
harus bertanggungjawab dengan apa yang mereka kerjakan. Menurut
Manggaukang Raba (Mukhilda, 2013: 1) akuntabilitas merupakan syarat
terhadap terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, demokratis
dan amanah (good governance). Kelembagaan pemerintahan yang
berakuntabilitas publik berarti lembaga tersebut senantiasa mau
mempertanggungjawabkan segala kegiatan yang diamanati oleh rakyat.
Sebagaimana yang dinyatakan Denhardt (Kumorotomo, 2008 : 5)
berkenaan dengan upaya menjamin akuntabilitas di dalam birokrasi publik,
menyatakan bahwa pada umumnya literatur mengenai akuntabilitas di satu
pihak menyebutkan tentang pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa
tanggungjawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang
menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin
pertanggungjawaban tersebut. Dengan demikian akuntabilitas birokrasi
terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas
utamanya adalah melayani masyarakat harus dipertanggungjawabkan secara
langsung maupun tidak langsung.

1
Dari banyak contoh yang terjadi di lapangan, seringkali aparatur
pemerintah yang melayani kepentingan publik masih belum menyadari apa
fungsi mereka sebagai pelayan masyarakat. Dimana ketentuan bahwa
pegawai pemerintahan mempunyai kewajiban melayani masyarakat
menjadi terbalik sehingga bukan melayani masyarakat tetapi masyarakat yang
melayani birokrasi. Ini terlihat jelas dari sikap para birokrat yang tidak
melayani masyarakat secara efisien, adil dan transparan.
Hal ini di perkuat dengan pendapat Robert Prethus (Santosa 2009 : 50)
misalnya, “mengecam pemikiran- pemikiran akuntabilitas tersebut sebagai
formalistik dan menyesatkan. Di dalam praktek, akuntabilitas legal hanyalah
sebagai pajangan. Ia sama sekali tidak berbeda dengan kepentingan publik,
yang lebih sering digunakan sebagai pemanis bibir. Aparatur, dalam praktek
justru lebih sering bertindak untuk meneguhkan kelompok- kelompoknya
sendiri”.
Dengan kedudukan dan potensi yang mungkin dapat dikembangkan
tersebut maka perlu diciptakan kecamatan yang mempunyai kapabilitas
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu kapabilitas yang
harus dimiliki kecamatan adalah akuntabilitas (accountability) yaitu suatu
ukuran yang yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian
penyelenggaran pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal
yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para “stakeholders”.
Akuntabilitas birokrasi pelayanan public yang dilaksanakan aparatur
pemerintah masih dirasakan belum sesuai dengan tuntutan dan harapan
masyarakat. Hal ini terlihat dari adanya keluhan masyarakat dalam media
masa Tanjungpinang Pos tanggal 23 maret 2015, mengenai kinerja pegawai di
Kantor kecamatan Tanjungpinang Timur dalam memberikan pelayanan
publik. Masyarakat ini mempertanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
yang sudah dibuat setahun lebih tetapi tidak kunjung selesai. Kurangnya
kesadaran tentang kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan dinilai
menjadi faktor penyebab tingkat kinerja yang buruk. Menurut penelitian

2
Armunanto Anang dalam tesis nya yang berjudul akuntabilitas pelayanan
publik di HSU bahwa masalah lain yang sering muncul bahwa keikhlasan
aparat untuk semata-mata menjalankan tugas demi kepentingan masyarakat
masih rendah. Kepentingan masyarakat bukan merupakan prioritas tetapi
justru sebaliknya. Pelayanan akan diberikan dengan baik apabila ada sesuatu
yang menguntungkan bagi aparat pemberi pelayanan.
Secara internal, buruknya akuntabilitas pelayanan publik tersebut
disebabkan lemahnya etika pelayanan pejabat birokrasi. “Etika sebagai
aplikasi dari prinsip-prinsip moral yang mengatur perilaku pejabat atau
pegawai dalam organisasi” Thomson (Armunanto, 2005 : 20), akan menuntun
para penyelenggara pelayanan publik bersikap sopan dan ramah kepada
pengguna jasa serta bertindak sesuai dengan moralitas yang berlaku universal.
Seperti rasional, obyektif, tanpa pamrih dan netral.
Makalah mengenai akuntabilitas pada sektor publik pernah dilakukan
oleh Armunanto (2005) dengan judul Akuntabilitas Pelayanan Publik. Dalam
penelitian tersebut Armunanto melihat akuntabilitas dari sisi penyelenggaraan
pelayaanan publik. Armunanto menggunakan metode pendekatan
fenamologis. Hasil penelitian Armunanto mengungkapkan bahwa
akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan public masih dalam kondisi
yang buruk. Hal ini terlihat dari indikatornya yaitu penggunaan acuan
pelayanan yang tidak konsisten.
Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan diatas, maka kami
tertarik untuk melakukan penelitian kedalam sebuah usulan penelitian dengan
memilih judul makalah “Akuntabilitas Birokrasi Pelayanan Publik.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Akuntabilitas
Birokrasi Sektor Publik?

3
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah bagaimana Akuntabilitas
Birokrasi Sektor Publik.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akuntabilitas
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kata yang seringkali kita dengar, tetapi tidak
mudah untuk dipahami. Ketika kita mendengar kata akuntabilitas, yang
terlintas adalah sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak mengetahui
bagaimana cara mencapainya. Dalam banyak hal, kata akuntabilitas
sering disamakan dengan responsibilitas atau tanggung jawab. Namun
pada dasarnya, kedua kata konsep tersebut memiliki arti yang berbeda.
Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab, sedangkan
Akuntabilitas adalah kewajiban pertanggungjawaban yang harus dicapai.
“ Accountabiity is not just about the right thing but doing it well”
Birokrasi publik sebagai pelaku kebijakan dan pelayanan publik,
seharusnya tidak hanya sekedar netral terhadap partai politik dan
golongan tertentu, tapi juga harus bertanggungjawab (responsible)
terhadap apa yang menjadi sikap, perilaku, dan sepak terjangnya kepada
publik (rakyat) dalam kerangka menjalankan tugas, fungsi, dan
kewenangan yang diberikan kepadanya. Pertanggungjawaban tentang
sifat, sikap, perilaku, dan kebijakan dalam kerangka melaksanakan apa
yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya kepada publik tadi daam studi
administrasi negara disebut dengan akuntabilitas (accountability).
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah
aktivitas birokrasi pubik atay pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah
sudah sesuai dengan norma dan nilai – nilai yang dianut oleh rakyat dan
apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan
rakyat yang sesungguhnya.
Akuntabilitas, merupakan bentuk kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi

5
organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik. Mardiasmo ( 2006 : 3 ).
Akuntabilitas merujuk pada kewajiban setiap individu, kelompok
atau institusi untuk memenuhi tanggung jawab yang menjadi amanahnya.
Amanah bagi pejabat/ PNS adalah menjamin terwujudnya nilai-nilai
akuntabilitas publik.

2. Pentingnya Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan hal yang prinsip dan dasar bagi organisasi
yang berlaku pada setiap level/unit organisasi sebagai suatu kewajiban
jabatan dalam memberikan pertanggungjawaban laporan kegiatan kepada
atasannya.

Akuntabilitas dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan


yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik
siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban
tersebut antara lain; apa yang harus dipertanggungjawabkan; mengapa
pertanggungjawaban harus dibuat dan disampaikan; kepada siapa
pertanggungjawab tersebut diserahkan; siapa yang bertanggungjawab
terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat; apakah
pertanggungjawaan berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai;
dan hal terkait lainnya. Melihat pada fungsinya,
Akuntabilitas kinerja publik memiliki tiga fungsi utama yaitu,
Untuk; (Bovens, 2007),
1. Menyediakan kontrol demokratis (peran demokrasi); dengan
membangun suatu sistem yang melibatkan stakeholders dan users
yang lebih luas (termasuk masyarakat, pihak swasta, legislatif,
yudikatif dan di lingkungan pemerintah itu sendiri baik di tingkat
kementrian, lembaga maupun daerah);

6
2. Mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (peran
konstitusional);
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas (peran belajar).
Dari penjelasan diatas tergambar pentingnya akuntabilitas pada
sektor publik, karena dalam kinerja pemerintahan, yang merupakan
keluaran/ hasil dari kegiatan/pogram yang telah atau hendak dicapai
sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas
yang terukur untuk kepentingan publik. Akuntabilitas pada sektor publik
terkait erat dengan kinerja sektor publik dengan fokus tidak hanya pada
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tetapi juga lebih
kepada bagaimana mencapai outcomes dengan efisien dan efektif.
Dengan demikian Akuntabilitas Kinerja merupakan perwujudan
kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggung jawabkan
keberhasilan dan/atau kegagalan pelaksanaan Program dan Kegiatan
yang telah diamanatkan para pemangku kepentingan dalam rangka
mencapai misi organisasi secara terukut dengan sasaran/target kinerja
yang telah ditetapkan, melalui laporan kinerja instansi pemerintah yang
disusun secara periodik dan menjadi wadah bagi pertanggung jawaban
seluruh instansi pemerintah.
3. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas
Prinsip akuntabilitas menuntut dua hal yaitu kemampuan dalam
menjawab, dan konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula
dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para
aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan- pertanyaan
yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang
mereka, kemana sumber daya yang telah

dipergunakan, dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan


sumber daya tersebut.

7
Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi
pemerintah, seperti dikutip oleh LAN dan BPKP perlu memperhatikan
prinsip- prinsip sebagai berikut :
1. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk
melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.
2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan
sumber daya-sumber daya secara konsisten dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Harus dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan.
4. Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan
manfaat yang diperoleh.
5. Harus jujur, objektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator
perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk
pemutakhiran metode dan pengukuran kinerja dan penyusunan
laporan akuntabilitas.

B. Birokrasi
1. Pengertian Birokrasi
Jika mendengar kata birokrasi, yang ada dalam benak pikiran
bahwasanya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-- belit,
dari meja satu ke meja lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang
serba mahal (hight cost). Pendapat demikian tidak dapat disalahkan
seluruhnya. Akan tetapi, apabila orang-orang yang duduk dibelakang
meja taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan
tugasnya, birokrasi akan berjalan lancar dan "biaya tinggi" akan dapat
dihindarkan.
Untuk mengeliminasi pemikiran yang demikian, mari sejenak
mencerna pendapat para ahli mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
dengan birokrasi.

8
a. Birokrasi yang dalam bahasa Inggris, bureaucracy, berasal dari kata
bureau (berarti meja) dan cratein (berarti kekuasaan), artinya
kekuasaan berada pada orang-orang yang di belakang meja. Di
Indonesia, birokrasi cenderung dikonotasikan sebagaimana telah
digambarkan seperti di atas.
b. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984), birokrasi dimaksudkan
untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus
dilakukan oleh banyak orang. Dengan demikian, tujuan dari adanya
birokrasi agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan
terorganisasi. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya
harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang
tindih di dalam penyelesaiannya, dan inilah yang sebenarnya
menjadi tugas dari birokrasi.
c. Blau dan Page (1956) mengemukakan birokrasi sebagai tipe dari
suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas
administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara
sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Jadi, menurut Blau
dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip
organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
administratif, meskipun kadang dalam pelaksanaannya birokratisasi
sering mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
d. Dengan mengutip pendapat Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan
bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur
organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan
efisiensi yang setinggi- tingginya. Dari pandangan demikian, tidak
sedikit pun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak
efisien.
e. Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro
Tjokroamidjojo (1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah tipe
organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk

9
pelaksanaan berbagai tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan
dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur
pemerintahan.
f. Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan
bahwa birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan
kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial
terhadap hal-hal yang baik dan buruk dalam keberadaannya sebagai
instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar.
Selanjutnya, dikemukakan bahwa di dalam masyarakat modern, yang
terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya
organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam
praktik dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan


bahwa birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan efisien, yang
didasari oleh teori dan aturan yang berlaku serta memiliki spesialisasi
sesuai tujuan yang telah disepakati dalam sebuah
organisasi/instansi/lembaga Pemerintah.
2. Sejarah Birokrasi
Istilah birokrasi diperkenalkan oleh Baron de Grimm dan
dimunculkan oleh Vincent de Gourney melalui suratnya tertanggal 1 Juli
1764 yang ditulis Baron de Grim, merujuk gagasan Gourney yang
mengeluh tentang pemerintahan yang melayani dirinya sendiri. De
Gourney menyebutkan kecenderungan itu sebagai penyakit yang
disebutnya bureaumania.
Ide tentang birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan
kekeliruan kalau mengira konsep ini baru muncul. Keluhan atas
pemerintah pun bukan hal baru, yaitu setua usia pemerintahan itu sendiri.
Juga, prinsip pemerintah harus dijalankan orang-orang yang baik dan

10
cakap merupakan ide yang sudah lama berkembang dilingkungan filsuf,
baik Barat maupun Timur.
Machiavelli, misalnya, dalam nasihatnya kepada Raja, minta Raja
memilih menteri yang cakap dan menggaji mereka agar tidak mencari
penghasilan dari sumber lain. Bahkan, ide pemerintahan yang efisien,
sangat akrab di Cina jauh sebelum masehi. Di antaranya ide tentang
senioritas, sistem "merit" statistik resmi dan laporan tertulis dipraktikan
secara luas. Sementara pada 337 SM, Shen Pu- Hai menulis serangkai
prinsip sangat erat terkait dengan prinsip yang dikembangkan dalam
administrasi abad 20.
Sejak kemunculan gagasan de Gourney, istilah birokrasi diadopsi
secara luas dalam kamus politik di Eropa selama abad 18. Istilah Prancis,
bureaucratic ini, dengan cepat diadopsi dalam makna yang sama di
Jerman dengan sebutan kureaukukratie (kemudian menjadi burokratie),
di Italia menjadi burocrazia dan Inggris menjadi bureaucracy.
Derivasi dari istilah birokrasi juga berkembang secara luar biasa
selepas periode de Gourney. Muncul istilah birokrat, birokratisme,
birokratik, dan birokratisasi. Kamus Prancis mendefinisikan birokrasi
sebagai kekuasaan, pengaruh dari pemimpin dan staf biro pemerintahan
(governmental beureaux). Adapun Kamus Jerman edisi 1813
merumuskan birokrasi sebagai kewenangan atau kekuasaan, tempat
aneka departermen pemerintahan dan cabang merebutnya dari warga
negara bagi diri mereka sendiri. Padahal, istilah dasarnya adalah bureau
artinya meja tulis, yang bermakna tempat pejabat bekerja.
Meskipun demikian, penggunaan awal sekaligus penyebaran luasan
istilah birokrasi justru dilakukan novelis, Balsac, salah seorang yang
paling bertanggung jawab dan konsisten dalam penyebaran istilah ini
lewat novelnya, Les Employes (1836).
Kemudian, diadopsi sebagai konsep yang serius oleh Frederic Le
Play pada 1864, ketika ia membicarakan tentang birokratisme yakni

11
tingkah laku dan sepak terjang dari pejabat profesional yang merugikan
warga negara. Karenanya, Le Play sosialis besar Prancis harus meminta
maaf atas penggunaan istilah hibrida diciptakan dalam novel ringan.
Tema ini (birokratisme) dielaborasi secara terperinci oleh Josef
Oldszenki (1904), seorang pembela Polandia yang berutang pada
pemikiran dalam esai Mohl yang banyak membicarakan penyalahgunaan
yang dilakukan birokrasi. Hingga 1896, birokrasi dalam Kamus Politik
Prancis disebutkan berasal dari Jerman dipopulerkan oleh Balzac.
Konsep birokrasi ini meluas ke Inggris melalui terjemahan karya
berbahasa Jerman. Karya Gorres "Germany And The Revolution" (1819)
diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam dua versi yang berbeda pada
1820. Istilah bureau-kratisch dihindari untuk diterjemahkan sebagai
bureaucratic. Sementara terjemahan surat perjalanan seorang pangeran
(1832) menyebutkan, birokrasi telah menggantikan tempat dari
aristokrasi dan kemungkinan akan segera menjadi sama posisinya. Pada
perkembangan selanjutnya, kamus berikutnya mulai menyebutkan istilah
ini. Spencer, juga mulai menulis di bukunya tentang birokrasi dengan
mengacu pada Prancis.
Mills dalam karyanya Principal of Political Economy (1848),
menempatkan diri sebagai penentang dari konsentrasi semua
keterampilan dan pengalaman serta kekuasaan dari tindakan yang
terorganisasi di tangan manajemen kepentingan yang luas. la
menyebutnya sebagai dominant bureaucracy yang muncul dalam
masyarakat Inggris.
Mills menegaskan, kecenderungan itu merupakan a main cause of
the inferior capacity for political life yang menandai karakteristik dari
negara yang over governed saat itu. Mills, dalam Considerations on
Representative Government (1861) membandingkan, di luar
pemerintahan perwakilan, bentuk pemerintahan yang memiliki
keterampilan politik yang tinggi adalah birokrasi. Bahkan, birokrasi

12
berjalan dengan nama monarki atau aristokrasi. Di sini Mills
menggambarkan esensi birokrasi sebagai pemerintahan yang
dikendalikan oleh yang profesional (governors by profession), (Pembina
Kagama Kalsel, Banjarmasin).
3. Karakteristik Birokrasi
Seperti halnya telah diuraikan di atas, bahwa birokrasi
dimaksudkan sebagai kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang berada
di belakang meja karena segala sesuatunya diatur secara legal dan formal
oleh para birokrat. Diharapkan pelaksanaan kekuasaan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dengan jelas karena setiap jabatan diurus oleh
orang (petugas) yang khusus.
Sebagaimana dinyatakan oleh Blau dan Page, bahwa birokrasi
dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang besar,
hal itu hanya dapat berlaku pada organisasi besar seperti organisasi
pemerintahan. Karena pada organisasi pemerintahan, segala sesuatunya
diatur secara formal, sedangkan pada organisasi kecil hanya diperlukan
hubungan informal. Selama ini, banyak pakar yang meneliti dan menulis
tentang birokrasi bahwa fungsi staf pegawai administrasi harus memiliki
cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efisien, sebagaimana
dirumuskan berikut (Syafiie, 2004: 90):
a. Kerja yang ketat pada peraturan (rule);
b. Tugas yang khusus (spesialisasi);
c. Kaku dan sederhana (zakelijk);
d. Penyelenggaraan yang resmi (formal);
e. Pengaturan dari atas ke bawah (hierarkhis) yang telah ditetapkan
oleh organisasi/institusi;
f. Berdasarkan logika (rasional);
g. Tersentralistik (otoritas);
h. Taat dan patuh (obedience);
i. Tidak melanggar ketentuan (discipline);

13
j. Terstruktur (sistematis);
k. Tanpa pandang bulu (impersonal).
Hal tersebut merupakan prinsip dasar dan karakteristik yang ideal
dari suatu birokrasi. Karakteristik tersebut idealnya memang dimiliki
oleh para birokrat (pegawai negeri sipil) agar tugas-tugas administrasi
yang besar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai sesuai yang direncanakan. Dengan demikian,
pendapat sebagian masyarakat selama ini yang cenderung negatif, paling
tidak dapat diluruskan.

C. Akuntabilitas Birokrasi Sektor Publik


Candler dan Plano mengartikan akuntabilitas sebagai “refers to the
institution of check and balances in an administrative system”. Memiliki arti
yaitu Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “check and balance”
dalam sistem administrasi. Dengan kata lain, akuntabilitas merupakan bentuk
pelaporan tanggungjawab birokrasi publik kepada masyarakat. Sedangkan
menurut The Oxford Advance Leaner’s Dictionary yang dikutip Lembaga
Administrasi Negara (2000) mengartikan akuntabilitas sebagai “required or
expected to give an explanation for one’s action”. Akuntabilitas diperlukan
atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan.
Degan demikian, akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan
seseorang/badan hukum/ pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang
memiliki haka tau kewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban.
Arifin Tohir mengutarakan bahwa transparansi berarti jelas, dapat
dilihat secara menyeluruh dalam arti kata keterbukaan. Dengan demikian,
transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan dalam melaksanakan suatu
proses kegiatan. Transparansi bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses serta
dimengerti oleh semua pihak yang membutuhkan secara memadai.

14
Transparansi tidak hanya penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
tetapi juga dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Konsep transparansi
menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses
penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan
mudah oleh para pengguna dan stakeholder yang membutuhkan.
Sedarmayanti mengemukakan tujuan transparansi untuk membangun rasa
saling percaya antara pemerintah dengan publik dimana pemerintah harus
memberikan informasi yang akurat, terutama berkaitan dengan permasalahan,
serta mekanisme dalam mengakses informasi yang relevan.
Prinsip akuntabilitas menuntut dua hal yaitu kemampuan dalam
menjawab, dan konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula dari
responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk
menjawab secara periodik setiap pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan
dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber
daya yang telah dipergunakan, dan apa yang telah tercapai dengan
menggunakan sumber daya tersebut.
Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah,
seperti dikutip oleh LAN dan BPKP perlu memperhatikan prinsip- prinsip
sebagai berikut :
1. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk
melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.
2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber
daya-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Harus dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan.
4. Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat
yang diperoleh.

15
5. Harus jujur, objektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator
perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran
metode dan pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.
Prinsip akuntabilitas menuntut dua hal yaitu kemampuan dalam
menjawab, dan konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula dari
responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk
menjawab secara periodik setiap pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan
dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber
daya yang telah dipergunakan, dan apa yang telah tercapai dengan
menggunakan sumber daya tersebut.
Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan
yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era- reformasi merupakan
seluruh masyarakat, namun dalam perjalanannya, ternyata tidak mengalami
perubahan yang signifikan.
Berbagai tanggapan justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai
jenis pelayanan publik. Mengalami kemunduran yang sebagai di tandai
dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan
prosedur layanan yang berbeblit-belit dan sumber daya manusia yang lamban
dalam memberikan pelayanan publik juga merupakan aspek layanan publik
yang banyak disoroti. Hal yang membuat birokrasi lemah kinerja dalah
mekanismenya yang sangat hirarkis. Ini terlihat dari budaya kerja bahwa
setiap pekerjaan/urusan harus menunggu petunjuk, perintah, dan perseujuan
dari atasan. Akibat dari kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrat
yang kurang berkembang.
Akuntabilitas publik menjadi salah satu prinsip dari 10 prinsip dalam
good governance. “Akuntabilitas Publik” itu sendiri dapat dipahami sebagai
setiap aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan publik/luar organisasi
dimana organisasi perlu atau wajib mempertanggungjawabkan, melaporkan,
menjelaskan, memberikan alasan, menjawab, memikul tanggung jawab,

16
kewajiban untuk memberikan perhitungan, dan tunduk kepada penilaian
(judgement) dari publik/luar. Dalam bahasa yang lebih ringkas, akuntabilitas
publik menyangkut bagaimana suatu organisasi mempertanggungjawabkan
kinerjanya ke publik untuk mendapatkan penilaian dari publik organisasi
tersebut. Dari definisi seperti ini maka kita dapat mengidentifikasi elemen-
elemen dari prinsip akuntabilitas publik, yaitu: pertama, adanya kewajiban
bagi birokrasi untuk mempertanggungjawabkan tindakan maupun
keputusannya kepada publik. Kedua, yang melakukan penilaian tersebut
adalah institusi sosial politik atau tepatnya publik yang berada di luar
birokrasi.
Sementara itu, dari berbagai pengalaman empiris yang ditemukan di
lapangan, implementasi akuntabilitas publik yang dilakukan oleh pemerintah,
ternyata dalam kondisi nyata di lapangan menimbulkan rasa ketidakpuasan di
kalangan masyarakat. Ketidakpuasan tersebut menyangkut berbagai bidang
seperti akuntabilitas kebijakan, peraturan maupun tindakan yang dilakukan
oleh para penyelenggara pemerintahan dalam pembangunan, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Bukti dari ketidakpuasan tersebut, tercermin dari
maraknya berbagai demo yang digelar oleh berbagai elemen masyarakat
terhadap berbagai kebijakan, peraturan maupun tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Namun demikian, walaupun prinsip akuntabilitas ini masih menyisakan
banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat, tetapi kita tidak boleh
berhenti. Kita harus menyadari bahwa perwujudan good governance secara
umum dan prinsip akuntabilitas secara khusus adalah merupakan proses yang
panjang dan tidak berkesudahan.
Untuk menyempurnakan sistem ini di masa yang akan datang,
pemerintah harus mengembangkan suatu sistem standar akuntansi dan ini
harus disebarluaskan kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan
mempunyai pemahaman yang baik mengenai hal tersebut, sehingga sistem ini
akan berjalan secara efektif. Oleh karenanya harus dihindarkan

17
kecenderungan yang mungkin terjadi dimana masing-masing instansi
mempunyai standart akuntabilitas sendiri, sehingga penerapannya di tingkat
nasional mengalami kesulitan. Di samping itu, ketiadaan standart baku akan
mengacaukan sistem secara keseluruhan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintahan, birokrasi pemerintah dituntut untuk dapat memenuhi harapan-
harapan ideal masyarakat. Karena

eksistensi birokrasi pemerintah pada dasarnya diadakan dalam rangka


memenuhi tujuan masyarakat, tujuan demokrasi dan tujuan negara pada
umumnya, sehingga birokrasi memang seharusnya memerlukan ciri-ciri ideal
dan mekanisme pertanggungjawaban kepada masyarakat. Aktualisasi dari
pertanggungjawaban tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang ada dengan komitmen politik maupun mekanisme
pertanggungjawabannya. Sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya
adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara
pemerintahan serta sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
Dengan demikian, prinsip akuntabilitas pelayanan publik seharusnya merujuk
pada ada atau tidaknya prosedur, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang secara hukum dapat diandalkan dalam rangka
menjamin berjalannya prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagai
instrumen dasar akuntabilitas publik.
Selain itu juga perlu adanya komitmen politik yang kuat untuk
terselenggaranya akuntablitas itu sendiri dan mekanisme
pertanggungjawabannya. Sebab tanpa adanya komitmen politik, seindah
apapun model akuntabilitas publik dikembangkan, maka model tersebut tetap
tidak akan pernah berjalan efektif. Di sisi yang lain, kemauan masyarakat
untuk turut mengoreksi setiap tindakan pemerintah juga menjadi elemen
kunci bagi suksesnya pelaksanaan akuntabilitas pelayanan publik ini, karena

18
akuntabilitas publik menyangkut pula dimensi masyarakat sebagai pihak yang
paling utama dalam proses tersebut.
Nilai akuntabilitas sangat penting diadopsi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa eksistensi atau
keberadaan sebuah negara, tergantung pada masyarakatnya. Oleh sebab itu,
sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memberikan pelayanan dengan
baik dan bertanggung jawab. Semakin kompleks dan berkembangnya
kebutuhan masyarakat dewasa ini, menjadikan penyelenggaraan pelayanan
publik tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,

melainkan juga melibatkan sektor swasta di dalamnya. Dalam konteks


pemerintah, istilah akuntabilitas kinerja sudah tidak asing lagi didengar
seiring dengan disusunnya Road Map Reformasi Birokrasi. Road map
tersebut mengamanatkan 3 (tiga) sasaran utama reformasi birokrasi, yaitu (1)
birokrasi yang bersih dan akuntabel; (2) birokrasi yang efektif dan efisien;
serta (3) birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas.
Karena itu, birokrasi bisa dipahami melalui peran dan kemampuannya,
menunjang pelaksanaan sistem pemerintah baik dalam merespon berbagai
permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Inti salah satu birokrasi yang profesional adlah memberikan pelayanan publik
terhadap masyarakat, sehingga cita-cita, inisitaif dan upaya-upaya birokrasi
perlu diarahkan guna memilki wawasan pelayanan publik. Birokrasi hadir
sebagai kreasi dari penguasa untuk memberikan pelayanan kepada penguasa
dengan tujuan untuk memperluas dan memperbesar serta mempertahankan
kekuasaan. Dengan reformasi birokrasi dilakukan konsep pelayanan pun
dilakukan perubahan dari orientasi pelayanan penguasa sampai saatnya
menuju orientasi pelayanan publik.
Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik
terdiri atas beberapa dimensi. Menurut Ellwood (1993) menjelaskan terdapat

19
empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor
publik, yaitu :
a. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for
Probity and Legality). Akuntabilitas kejujuran (accountability for
probity) terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of
power), sedangkan akuntabilitas hukum (legal accountability) terkait
dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain
yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.
b. Akuntabilitas Proses. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah
prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik
dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi
manajemen dan prosedur administrasi. Akuntabilitas proses
termanifestasikan melalui pemberian pelayanan publik yang cepat,
responsif, dan murah biaya. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan
memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain di luar
yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan yang
menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam
pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait
dengan pemeriksaan terhadap proses tender untuk melaksanakan proyek-
proyek publik. Yang harus dicermati dalam kontrak tender adalah apakah
proses tender telah dilakukan secara fair melalui Compulsory
Competitive Tendering (CCT), ataukah dilakukan melalui korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN).
c. Akuntabilitas Program. Akuntabilitas program terkait dengan
pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak,
dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.
d. Akuntabilitas Kebijakan. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan
pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas

20
kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan
masyarakat luas.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akuntabilitas merupakan salah satu prasyarat terlaksananya proses
pelaksanaan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Akuntabilitas
yang merupakan prinsip utama terselenggaranya pemerintahan yang baik
menjadi salah satu acuan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Dalam beberapa pengertian, akuntabilitas pada umumnya dikaitkan
pada proses pertanggungjawaban terhadap serangkaian bentuk pelayanan
yang diberikan atau yang telah dilakukan. Akuntabilitas merujuk kepada
pertanggungjawaban seseorang kepada pihak yang memiliki hak untuk
meminta pertanggungjawaban.
Seperti yang dikemukakan Sedarmayanti (2003:69) bahwa:
“Akuntabilitas dapat dinyatakan sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
seseorang atau suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.“
Adanya pertanggungjawaban tersebut merupakan bentuk transparansi
kegiatan yang dilakukan maupun segala kebijakan yang dilaksanakan.
Akuntabilitas tidak hanya sebatas mempertanggungjawabkan hasil secara
tulisan melalui laporan secara periodik, namun pelaksanaannnya secara nyata.
Akuntabilitas merupakan wujud tanggungjawab penerima amanah kepada
pemberi amanah.
Akuntabilitas merupakan aktivitas pemerintah sebagai bentuk
pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat terlihat dari sejauh mana
transparansi penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah mengambil peran
penting dari terlaksananya pelayanan yang akuntabel oleh karena
akuntabilitas terkait dengan segala aktivitas pemerintah.

22
Hambatan dalam pelaksanaan akuntabilitas pelayanan publik yaitu
pemerintah yang belum teliti dalam mencari penyebabnya apakah dalam
rumusan bentuk pertanggungjawaban atau mekanisme pertanggungjawaban
serta komitmen pelaksananya. Artinya, pemerintah harus terus mencari suatu
formula yang baik, sehingga akuntabilitas publik ini dapat berjalan efektif,
dan ketidakpuasan masyarakat yang muncul dalam bentuk aksi-aksi
demonstrasi dapat diredam atau setidaknya diminimalkan.
Problematika dalam akuntabilitas publik di Indonesia adalah
Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang
diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era- reformasi merupakan seluruh
masyarakat, namun dalam perjalanannya, ternyata tidak mengalami
perubahan yang signifikan.
Upaya dalam meningkatkan pelaksanaan dan mengembangkan
akuntabilitas pelayan publik adalah political will yang kuat dari para
pelaksananya termasuk dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah agar
bersedia mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada publik,
pemerintah harus memegang teguh prinsip yang merujuk ada atau tidaknya
prosedur prinsip.
Untuk menyempurnakan sistem ini di masa yang akan datang,
pemerintah harus mengembangkan suatu sistem standar akuntansi dan ini
harus disebarluaskan kepada masyarakat dan mewujudkan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi pemerintah dituntut untuk dapat
memenuhi harapan-harapan ideal masyarakat.

B. Saran
1. Pembaca
Saya berharap agar pembaca dapat menambah ilmu dan memahami
lebih dalam pengetahuan tentang birokrasi. Sehingga kelak ilmu tersebut

23
berguna dan membantu mahasiswa dalam memahami tentang
akuntabilitas birokrasi sector publik
2. Pemakalah
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan. Penulis
akan memperbaiki makalah terseebut dengan berpedoman pada banyak
sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca. Kami berharap
kepada pemakalah selanjutnya agar dalam pembuatan makalah lebih baik
dari makalah yang kami buat atau mungkin lebih sempurna daripada
makalah yang kami.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2011. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta :
Sinar Grafika
BicaraFakta.com. 2016. Hambatan Perizinan Usaha diIndonesia.
http://www.bicarafakta.com/hambatan- perizinan-usaha-di-
indonesia/(diakses pada 25 mei 2022 Pukul 12.13 WIB)
DAgus. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik Edisi
Ketiga. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis
Jamal, Yenni, Ahmad Mustanir, and Adam Latif. 2020. “Penerapan Prinsip Good
Governance Terhadap Aparatur Desa Dalam Pelayanan Publik Di Desa
Ciro- Ciroe Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang.”
PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan 8(3): 207–12.
Mustanir, Ahmad, S Fitriani, et al. 2020. “Sinergitas Peran Pemerintah Desa Dan
Partisipasi Masyarakat Terhadap Perencanaan Pembangunan Di
Kabupaten
Mustanir, Ahmad, and Partisan Abadi. 2017. “Partisipasi Masyarakat Dalam
Musyawarah Rencana Pembangunan Di Kelurahan Kanyuara Kecamatan
Watang Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal Politik Profetik
5(2): 247–61
Mustanir, Ahmad, Partisan Abadi, and Nasri A. 2017. “Participation of Ethnic
Community Towani Tolotang in Deliberation of Development Plan.”
84(Iconeg 2016): 356–59.
Mustanir, Ahmad, and Irfan Jaya. 2016. “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya
Politik Terhadap Perilaku Pemilih Towani Tolotang Di Kecamatan
Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal Politik Profetik 4(1):
84–97

25
Mustanir, Ahmad, Adam Latif, and Irwan Irwan. 2019. “Analisis Kepemimpinan
Terhadap Optimalisasi Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan Di
Enrekang.” Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik (JAKPP) 5(2):
1–20.
Mustanir, Ahmad, and Akhmad Yasin. 2018. “Transect Pada Perencanaan
Pembangunan Partisipatif.” 8(2): 21–31.

26

Anda mungkin juga menyukai