Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KORUPSI DAN PELAYANAN PUBLIK

Dosen Pengampu :

Helfi Rahmawati, S.Pd

DisusunOleh :

Tiya LeksmiDewenti

NPM. 202332004

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAITURAHIM JAMBI

JURUSAN RPL S1 GIZI


TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang membahas mengenai Korupsi dan Pelayanan
Publik.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Saya sadar makalah ini belum sempurna dan
memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak. Terima Kasih

Kuala Tungkal ,15 Desember 2023

Tiya Leksmi Dewenti


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i


DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG...............................................................................1
1.2. TUJUAN....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................3


2.1. PENGERTIAN KORUPSI ......................................................................3
2.2. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
NORMATIF..............................................................................................3
2.3. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KORUPSI …………………………...5
2.4. JENIS JENIS KORUPSI ………………………………………………..7
2.5. PENGERTIAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK ….…………….9
2.6. PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK ……………………10
2.7. PRINSIP- PRINSIP PENYELENGGARAAN …………………………13
2.8. STANDAR PELAYANAN PUBLIK ………………………………….15

BAB IV PENUTUP.........................................................................................17
3.1.KESIMPULAN...........................................................................................17
3.2.SARAN.......................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai
negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Selain pengertian tersebut, korupsi juga
dapat diartikan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat merugikan suatu
bangsa. Korupsi dalam praktiknya, memiliki beragam makna. Sejumlah pakar dari
berbagai disiplin ilmu bersilang pendapat untuk merumuskan pengertian yang
paling memadai. Seorang pejabat dikatakan korupsi apabila ia menerima hadiah
dari seseorang agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan
sang pemberi hadiah. Meminta hadiah atau balas jasa karena terlaksananya suatu
tugas yang sebenarnya adalah kewajiban, istilah korupsi kadang juga dikenakan
pada pejabat yang menggunakan uang negara yang berapa di bawah
pengawasannya untuk kepentingan pribadi.
Pelayanan publik merupakan pelayanan dasar penyelenggaraan pemerintah.
Pelayanan publik sebagai indikator penting dalam penilaian kinerja pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Penyelenggaraan pemerintah dikatakan baik
jika pelayanan publik yang dilakukan berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Pelayanan yang baik dan berkualitas memberikan implikasi kepuasan kepada
masyarakat, karena masyarakat secara langsung menilai terhadap kinerja pelayanan
yang diberikan. Pelayanan yang berkualitas tentunya dilakukan oleh aparatur yang
mempunyai kinerja yang baik melalui peningkatan efektivitas, efisien,
profesionalisme, dan akuntabilitas dari pelayanan itu sendiri. Profesionalitas kinerja
dibangun berdasarkan kemampuan dan soft skill yang dimiliki aparatur. Ketika
profesionalitas dibangun dalam diri aparatur pelayanan publik, yang diikuti oleh
pemberian pelayanan secara optimal dan prima, maka disitulah kinerja pelayanan
publik tampak optimal. Ciri masyarakat maju ialah keinginan untuk berpartisipasi
dan sekaligus berkompetisi, sehingga tuntutan peningkatan kualitas pelayanan
umum dan kepuasan masyarakat dalam pelayanan yang diberikan menjadi tidak
terelakkan. Oleh sebab itu indikator kepuasan masyarakat itulah yang menjadi tolak
ukur keberhasilan pemerintah dalam memberikan pelayanan.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rajardjo mengatakan,


pertumbuhan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia paling tinggi
dibandingkan negara-negara lain di dunia. Pada awalnya, Agus terlebih dulu
memaparkan IPK Indonesia yang terendah di ASEAN pada tahun 1998. Agus
memaparkan, IPK Indonesia waktu itu sebesar 20, Filipina sebesar 33, Thailand
sebesar 30 dan Malaysia mencapai skor 53. Sementara IPK Singapura, lanjut Agus,
sudah meningkat lebih jauh dari negara kawasan. Namun seiring perkembangan,
Agus melihat, IPK Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi meskipun belum
ideal. Menurut Agus, capaian IPK Indonesia saat ini tak lepas dari kerja keras
seluruh pihak sejak pemerintahan Indonesia mulai dari era mantan Presiden BJ
Habibie hingga Presiden Joko Widodo saat ini (Kompas,2018).
Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah suatu
tindakan mengambil uang negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri.
Akan tetapi menurut buku yang menjadi reverensi bagi penulis pengertian korupsi
sendiri yang juga dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian korupsi
sebagai berikut :”penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan,
dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain)”. Ditemukannya
berbagai macam kasus korupsi yang menyeret pejabat publik dalam instansi
pemerintahan menjadikan citra Indonesia menurun dalam dunia internasional.
Terbukti dengan terungkapnya kasus korupsi yang terjadi di dalam pemerintahan,
negara mengalami kerugian yang tidak sedikit. Keterlibatan pejabat publik dalam
melakukan tindakan korupsi membuat pelayanan negara dalam melayani
masyarakatnya tidak dapat berjalan dengan maksimal.
Fraud atau kecurangan merupakan penipuan yang disengaja dilakukan yang
menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan
memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan umumnya terjadi
karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk
memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara
umum) terhadap tindakan tersebut. Kecurangan itu sendiri secara umum merupakan
suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang
Praktik korupsi saat ini terjadi di seluruh sektor publik dan telah menjalar
menjadi lingkaran yang melibatkan banyak orang, melembaga mulai dari bawah
sampai tingkat atas, dan acapkali berhimpitan dengan pelaksanaan tugas-tugas
publik telah menimbulkan inefisiensi dan merosotnya kualitas pelayanan publik.
Praktik korupsi tersebut telah membebani masyarakat dan para pelaku bisnis,
karena mereka harus mengeluarkan uang di luar biaya resmi dan tambahan ongkos
produksi, ketika berhadapan dengan birokrasi pemerintahan dan sektor pelayanan
publik. Dalam skala lebih luas, praktik korupsi telah menjadikan ekonomi biaya
tinggi (high cost economy) dan membuat harga barang dan jasa lebih mahal dari
ongkos produksi yang sesungguhnya, yang kesemuanya itu pada akhirnya
ditanggung dan dibebankan pada masyarakat selaku konsumen.
Praktik korupsi tersebut pada secara filosofis bertentangan dengan tujuan
negara yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Di samping itu, dampak praktik korupsi yang
luar biasa dan meresap dalam setiap lapisan masyarakat maka keinginan negara
Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana sila ke 5 (lima) Pancasila tidak akan tercapai.
Jeremy Pope mensinyalir korupsi makin mudah ditemukan di berbagai
bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan
pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan
benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial
sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem
integritas publik.1 Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah
merasuk di seluruh lini kehidupan dan sepertinya telah menyatu dengan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah.
Meningkatnya aktivitas korupsi tersebut, menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin
dan Moises Naim, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di
beberapa negara, hal tersebut terjadi karena perubahan politik yang sistematik,
sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik,
tetapi juga hokum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KORUPSI
2.1. Pengertian Korupsi secara teoritis

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutar balik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono,
korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mencari keuntungan, dan merugikan kepentingan umum. Menurut saya sendiri tindakan
korupsi merupakan tindakan dimana para pejabat public menggelapkan uang untuk
kepentingan pribadi sebagai pemuas kebutuhan dalah kehidupannya.Jadi korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi,
salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatas namakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Hal itu akan masuk dalam dalam
pembahasan saya mengenai tindak korupsi Masyarakat Pancasila Dalam Persepektif
Paradigma Konflik Dan Sruktural Fungsional

2.2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif


Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20
tahun 2001,maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif
dan Korupsi Pasif, Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

 Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
 Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan
Negara,atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999)
 Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999)
 Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana
Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara
Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001)
 Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor
20 Tagun 2001)
 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6
ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)

2.3. Sebab-sebab Terjadinya Korupsi


Pelaku korupsi Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab sebab
seseorang melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang
dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan.
Sebab-sebab seseorang terdorong untuk melakukan korupsi antara lain sebagai
berikut:

1) Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah


orang yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila
dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Dalam hal seperti ini, berapapun
kekayaan dan penghasilan sudah diperoleh oleh seseorang tersebut, apabila ada
kesempatan untuk melakukan korupsi, maka akan dilakukan juga.
2) Moral Yang Kurang Kuat Menghadapi Godaan Seseorang yang moralnya tidak
kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karena adanya
godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal
dari atasannya, teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang
dilayani.
3) Penghasilan Kurang Mencukupi Kebutuhan Hidup Yang Wajar Apabila
ternyata penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang
wajar, maka mau tidak mau harus mencari tambahan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan
tersebut sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya korupsi waktu, korupsi
pikiran, tenaga, dalam arti bahwa seharusnya pada jam kerja, waktu, pikiran,
dan tenaganya dicurahkan untuk keperluan dinas ternyata dipergunakan untuk
keperluan lain.
4) Kebutuhan Hidup Yang Mendesak Kebutuhan yang mendesak seperti
kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membayar hutang, kebutuhan untuk
membayar pengobatan yang mahal, kebutuhan untuk membiayai sekolah
anaknya, merupakan bentukbentuk dorongan seseorang yang berpenghasilan
kecil untuk berbuat korupsi.
5) Gaya Hidup Konsumtif Gaya hidup yang konsumtif di kota-kota besar,
mendorong seseorang untuk dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah,
pakaian yang mahal, hiburan yang mahal, dan sebagainya. Gaya hidup yang
konsumtif tersebut akan menjadikan penghasilan yang sedikit semakin tidak
mencukupi. Hal tersebut juga akan mendorong seseorang untuk melakukan
korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.
6) Malas Atau Tidak Mau Bekerja Keras Kemungkinan lain, orang yang
melakukan korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang
banyak, tetapi malas untuk bekerja keras guna meningkatkan penghasilannya.
7) Ajaran-Ajaran Agama Kurang Diterapkan Secara Benar Para pelaku korupsi
secara umum adalah orangorang yang beragama. Mereka memahami ajaran-
ajaran agama yang dianutnya, yang melarang korupsi. Akan tetapi pada
kenyataannya mereka juga melakukan korupsi. Ini menunjukkan bahwa banyak
ajaran-ajaran agama yang tidak diterapkan secara benar oleh pemeluknya.

2.4. Jenis-jenis Korupsi


Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam tujuh jenis
yang berlainan, yaitu:
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya
kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan
kedua belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan
kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang
sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan
yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang tidak
sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara
bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan
oleh seseorang seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang dilakukan
untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.

Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan


dalam tiga bentuk:

1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal. Korupsi ini terjadi karena mereka
mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya
para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya.
2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang melibatkan
orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini dilakukan dengan maksud
agar dapat mempengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan atau
membuat keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap atau
penyogok.
3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan
keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional, tapi
didasarkan atas pertimbangan “nepotis” dan “kekerabatan”.

B. PELAYANAN PUBLIK
2.5. Pengertian Kualitas Pelayanan Publik
Kualitas pelayanan publik merupakan inti dari sebuah kinerja pelayanan. Kualitas
merupakan suatu hal yang menentukan akan keberhasilan suatu pelayananan yang
dilaksanakan baik itu berupa barang atau jasa, sesuai dengan apa yang diharapkan
masyarakat. Keberhasilan dan kepuasan masyarakat dalam suatu organisasi yang
dipengaruhi oleh tingkat kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Kualitas
pelayanan tersebut dijadikan sebagai ukuran mengenai bagus atau tidaknya pelayanan yang
telah diberikan terhadap masyarakat.
Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 memberikan defenisi pelayanan
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Lahirnya kebijakan UU No. 25 Tahun
2009 tentang pelayanan publik merupakan langkah dan harapan besar akan terwujudnya
pelayanan publik yang berkualitas. Pelayanan yang berkualitas tentu saja pelayanan yang
dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak, mulai dari penyelenggaraan pelayanan
itu sendiri hingga kepada masyarakat yang dilayani.
Pengertian Kualitas Pelayanan menurut Trigono (dalam Nurdin, 2019:16) ialah
“standar yang ingin dicapai oleh seseorang/kelompok/lembaga organisasi mengenai
kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang
berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani atas
tuntutan/persyaratan pelanggan atau masyarakat”.
Menurut Zethami dan Haywood Farmer (dalam Pasolong, 2019:153), mengatakan
ada tiga karakteristik utama dalam pelayanan publik yaitu sebagai berikut :

1. Intangibility, berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat performance dan hasil
pengamatan dan bukannya objek. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung,
diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda
dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya
sebelum disampaikan pada pelanggan.
2. Heterogeneity, berarti pemakai jasa atau klien atau pelanggan memiliki kebutuhan
yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin
mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula perfomance sering bervariasi dari
suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.

3. Inseparability, berarti produksi dan konsumen suatu pelayanan tidak terpisahkan.


Konsekuensinya di dalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam
produksi di sektor pabrik dari kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas
terjadi selama interaksi antara klien dan penyedia jasa.
Di era Globalisasi ini yang penuh tantangan dan peluang, Keberadaan sumber daya
aparatur dititikberatkan pada unsur-unsur utama dalam pemberian pelayanan yang sebaik-
baiknya. Aparaturlah yang bersentuhan secara langsung dari masyarakat sebagai penerima
layanan.

2.6. Penyelenggaraan Pelayanan Publik


Penyelenggaraaan pelayanan publik merupakan upaya Negara untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga Negara atas barang, jasa dan pelayanan
adminstrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sebagai Warga Negara
Indonesia, masyarakat berhak menerima layanan publik yang maksimal tanpa harus
membayar lebih dari standar kewajiban bayar. Ini berlaku pada semua warga negara
dengan pelayanan publik seperti mengurus layanan administrasi, perizinan, dan pelayanan
lainnya. Bahkan masyarakat bisa mendapat kesempatan memberikan pengaduan bila
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan layanan.
Dalam pelaksanaan pelayanan, jangan membuat urusan, mekanisme atau prosedur
yang berbelit-belit. Berikan kemudahan, prosedur yang jelas, dapat dipahami oleh
masyarakat sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan berhubungan dengan pelaku
birokrasi yang memberikan layanan. Berikan pemahaman dan pengertian kepada
masyarakat tentang prosedur, meksnidme yang tidak jelas atau memang pelaku birokrasi
yang membuat urusan menjadi berbelit-belit dan tidak sesuai dengan seharusnya dengan
motif tertentu untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itu pelaku birokrasi harus senantiasa
berorientasi pada mekanisme kerja yang tidak berbelit-belit serta harus berorientasi pada
kepentingan masyarakat bukan pada kepentingan birokrat, serta birokrasi pemerintah harus
banyak mendengar apa kebutuhan, keinginan masyarakat sebagai penerima layanan dan
senantiasa mendengar apa yang tidak disukai masyarakat.
2.7. Prinsip- Prinsip Penyelenggaraan
Pelayanan Publik Tujuan penyelenggaraan pelayanan publik adalah
memuaskan kebutuhan masyarakat dalam pelayan pada umumnya. Untuk mencapai
hal itu diperlukan penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakat. Kemudian Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayaan Aparatur Negara
No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan pelayanan publik,
kesepuluh prinsip-prinsip adalah sebagai berikut:

a) Kesederhanaan, dalam arti prosedur pelayanan publik tidak berbelitbelit, mudah


dipahami dan mudah dilaksanakan.

b) Kejelasan, kejelasan ini mencakup kejelasan yaitu :

 Persyaratan teknisi dan administratif pelayanan publik

 Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam


memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan atau sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan public

 Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c) Kepastian waktu, yaitu pelaksana pelayanan publik harus dapat diselesaikan


dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

d) Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.

e) Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.

f) Tanggungjawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang


ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggara pelayanan dan penyelesaian
pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan
publik.

g) Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja,


peralatan kerja, dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan
sarana teknologi komunikasi dan informatika (telematika).

h) Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memenfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.

i) Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, pemberi layanan harus bersikap disiplin,


sopan dan santun, ramah serta memberi pelayanan yang ikhlas.

j) Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu


yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi
dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parkir, toilet, tempah ibadah, dan
lain-lain.

2.8. Standar Pelayanan Publik


Setiap penyelenggara pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan sebagai
jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksana tugas dan fungsinya dan bagi
penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Sebagai barometer
tercapainya tujuan pelayanan publik yang baik adalah adanya standarisasi dari pelayanan
yang diberikan. Standar tersebut adalah ukuran minimal atau standar pelayanan minimal,
bahwa penyelenggaraan pelayanan dalam memberikan unsur-unsur standar minimal yang
ditentukan, jika dimungkinkan untuk bisa memberikan pelayanan secara lebih baik.
Dengan kata lain standar pelayanan publik sebagai tolak ukur dalam mengukur kinerja
penyelenggara pelayanan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Defenisi Standar pelayanan publik menurut LAN (dalam Hayat, 2017:41) ialah
“bahwa standar pelayanan dalam bentuk konkret dari akuntabilitas. Standar pelayanan
secara parsial seharusnya sudah terpenuhi pada lembaga-lembaga negara. Sebagai bagian
paling penting dalam pelayanan publik, standar pelayanan harus sudah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, mudah dipenuhi dan rasional”.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 36 tahun 2012 bab II point berbunyi “dalam penyusunan, menetapkan dan
menerapkan standar pelayanan dilakukan dengan memperhatikan prinsip:

a. Kesederhanaan, standar pelayanan yang mudah dimengerti. mudah diikuti, mudah


dilaksanakan, mudah diukur, dengan prosedur yang jelas dan biaya terjangkau bagi
masyarakat maupun penyelenggara.

b. Konsisten, dalam penyusunan dan penerapan standar pelayanan harus


memperhatikan ketetapan dalam mentaati waktu, prosedur, persyaratan dan
penetapan biaya layanan yang terjangkau.
c. Partisipatif, penyusunan standar pelayanan dengan melibatkan masyarakat dan
pihak terkait untuk membahas bersama dan mendapatkan keselarasan atas dasar
komitmen atau hasil kesepakatan.

d. Akuntabel, hal-hal yang diatur dalam standar pelayanan harus dapat dilaksanakan
dan dipertanggungjawabkan secara konsisten kepada pihak yang berkepentingan.

e. Berkesinambungan, standar pelayanan harus dapat berlaku sesuai perkembangan


kebijakan dan kebutuhan peningkatan kualitas pelayanan.

f. Transparansi, harus dapat dengan mudah diakses dan diketahui oleh seluruh
masyarakat.

g. Keadilan, standar pelayanan harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan


dapat menjangkau semua masyarakat yang berbeda status ekonomi, jarak lokasi
geografis, dan perbedaan kapabilitas dan mental.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan pada kinerja pelayanan publik setiap
organisasi atai pemerintah mempunyai standar-standar tertentu dalam kinerja dan
pencapaian tujuan organisasi. Standar menjadi indikator untuk mengukur sejauhmana
pelaksanaan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Standar maksimal harus
dilakukan oleh setiap instansi maupun aparatur negara untuk mencapai tujuan pelayanan
yang prima. Standar pelayanan dimuat dalam SOP pelayanan maupun maklumat pelayanan
sebagai dasar bagi aparatur kinerja pelayanan publik dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara
langsung merugikan negara atau perekonomian negara.Jadi, unsur dalam perbuatan
korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan
kekuasaannya dan aspek penggunaan uang Negara untuk kepentingannya.Adapun
penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran
dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya
hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi,
rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan. Dampak korupsi
dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan
kesejahteraan negara.

3.2. Saran
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan
pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Ada 3 hal menurut saya yang
harus dilakukan guna mengurangi sifat dan perilaku masyarakat sebagai pelayan
public untuk untuk tidak korupsi, antara lain;
(1) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah,
(2) menaikkan moral pegawai tinggi, serta
(3) legislasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
DAFTAR PUSTAKA

Erika, Revida. 2003. Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Fakultas Sosial Dan
Politik Universitas Sumatera Utara

Hamzah, Andi. 2007. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. Gramedia.


Jakarta.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Lallana, E. 2004. eGovernment for Development, M-Government Definitions and Models.


www.egov4dev.org/mgovdefn. htm. di akses (20 Mei 2007)

Zalesak, Mischal. “Overview and Opportunities of Mobile Government”. www.develop m


e n t g at ew a y. o r g/ do w n lo a d / 218309/mGov.doc., di akses (24 Juni 2010)

Nugroho, Rino A., 2008. “Model Pelayanan Publik Menggunakan M-Governement (Studi
Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo dan Karanganyar)”. Jurnal Dinamika, Vol 8 : No. 2.

Anda mungkin juga menyukai