Hama
Hama
Pengertian Hama
Menurut Nas (1978) bahwa serangga dikatakan hama apabila serangga tersebut mengurangi kualitas dan kuantitas
bahan makanan, pakan ternak, tanaman serat, hasil pertanian atau panen, pengolahan dan dalam penggunaannya
serta dapat bertindak sebagai vektor penyakit pada tanaman, binatang dan manusia, dapat merusak tanaman hias ,
bunga serta merusak bahan bangunan dan milik pribadi lainnya.
Dalam Pengendalian Hama Terpadu bahwa hama bukan hanya pada serangga tetapi bisa pada vertebrata,
tungau, virus, bateri, gulma an organisme pengganggu tanaman lainnya.
Menurut Smith (1983) hama adalah semua rganisme atau agens biotik yang merusak tanaman dengan
cara yang bertentangan dengan kepentingan manusia.
Dalam arti yang luas bahwa hama adalah makhluk hidup yang mengurangi kualitas dan kuantitas
beberapa sumber daya manusia yang berupa tanaman atau binatang yang dipelihara yang hasil dan
seratnya dapat diambil untuk kepentingan manusia.
Hama adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-
hari manusia. Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktik istilah ini
paling sering dipakai hanya kepada hewan.
Suatu hewan juga dapat disebut hama jika menyebabkan kerusakan pada ekosistem alami atau
menjadi agen penyebaran penyakit dalam habitat manusia. Contohnya adalah organisme yang
menjadi vektor penyakit bagi manusia, seperti tikus dan lalat yang membawa berbagai wabah,
atau nyamuk yang menjadi vektor malaria.
Dalam pertanian, hama adalah organisme pengganggu tanaman yang menimbulkan kerusakan
secara fisik, dan ke dalamnya praktis adalah semua hewan yang menyebabkan kerugian dalam
pertanian.
Istilah "suci hama" juga digunakan sebagai padanan kata "steril" dalam pengertian bebas dari
penyebab kontaminasi
Posted by crew_cerianet
HAMA TANAMAN
Untuk mengenal berbagai jenis binatang yang dapat berperan sebagai hama, maka sebagai
langkah awal dalam kuliah dasar - dasar Perlintan akan dipelajari bentuk atau morfologi,
khususnya morfologi luar (external morphology) binatang penyebab hama. Namun demikian,
tidak semua sifat morfologi tersebut akan dipelajari dan yang dipelajari hanya terbatas pada
morfologi “penciri” dari masing-masing golongan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
melakukan identifikasi atau mengenali jenis - jenis hama yang dijumpai di lapangan.
Dunia binatang (Animal Kingdom) terbagi menjadi beberapa golongan besar yang masing-
masing disebut Filum. Dari masing-masing filum tersebut dapat dibedakan lagi menjadi
golongan - golongan yang lebih kecil yang disebut Klas. Dari Klas ini kemudian digolongkan
lagi menjadi Ordo (Bangsa) kemudian Famili (suku), Genus (Marga) dan Spesies (jenis).
Beberapa filum yang anggotanya diketahui berpotensi sebagai hama tanaman adalah
Aschelminthes (nematoda), Mollusca (siput), Chordata (binatang bertulang belakang), dan
Arthropoda (serangga, tunggau, dan lain - lain). Dalam uraian berikut akan dibicarakan secara
singkat tentang sifat-sifat morfologi luar anggota filum tersebut.
A. FILUM ASCHELMINTHES
Anggota filum Aschelminthes yang banyak dikenal berperan sebagai hama tanaman (bersifat
parasit) adalah anggota klas Nematoda. Namun, tidak semua anggota klas Nematoda bertindak
sebagai hama, sebab ada di antaranya yang berperan sebagai nematoda saprofag serta sebagai
nematoda predator (pemangsa), yang disebut terakhir ini tidak akan dibicarakan dalam uraian -
uraian selanjutnya.
Secara umum ciri - ciri anggota klas Nematoda tersebut antara lain adalah :
Ditinjau dari susunannya, maka bentuk stylet dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe
stomatostylet dan odonostylet. Tipe stomatostylet tersusun atas bagian - bagian conus (ujung),
silindris (bagian tengah) dan knop stylet (bagian pangkal). Tipe stylet ini dijumpai pada
nematoda parasit dari ordo Tylenchida.
Tipe odonostylet dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Dorylaimida, yang styletnya tersusun
atas conus dan silindris saja. Beberapa contoh dari nematoda parasit ini antara lain adalah :
* Meloidogyne sp. yang juga dikenal sebagai nematoda “puru akar” pada tanaman tomat,
lombok, tembakau dan lain - lain.
B. FILUM MOLLUSCA
Dari filum Mollusca ini yang anggotanya berperan sebagai hama adalah dari klas Gastropoda
yang salah satu jenisnya adalah Achatina fulica Bowd atau bekicot, Pomacea ensularis
canaliculata (keong emas). Binatang tersebut memiliki tubuh yang lunak dan dilindungi oleh
cangkok (shell) yang keras. Pada bagian anterior dijumpai dua pasang antene yang masing-
masing ujungnya terdapat mata. Pada ujung anterior sebelah bawah terdapat alat mulut yang
dilengkapi dengan gigi parut (radula). Lubang genetalia terdapat pada bagian samping sebelah
kanan, sedang anus dan lubang pernafasan terdapat di bagian tepi mantel tubuh dekat dengan
cangkok/shell.
Bekicot atau siput bersifat hermaprodit, sehingga setiap individu dapat menghasilkan sejumlah
telur fertil. Bekicot aktif pada malam hari serta hidup baik pada kelembaban tinggi. Pada siang
hari biasanya bersembunyi pada tempat-tempat terlindung atau pada dinding-dinding bangunan,
pohon atau tempat lain yang tersembunyi.
C. FILUM CHORDATA
Anggota Filum Chordata yang umum dijumpai sebagai hama tanaman adalah dari klas
Mammalia (Binatang menyusui). Namun, tidak semua binatang anggota klas Mammalia
bertindak sebagai hama melainkan hanya beberapa jenis (spesies) saja yang benar - benar
merupakan hama tanaman. Jenis - jenis tersebut antara lain bangsa kera (Primates), babi
(Ungulata), beruang (Carnivora), musang (Carnivora) serta bangsa binatang pengerat (ordo
rodentina). Anggota ordo Rodentina ini memiliki peranan penting sebagai perusak tanaman,
sehingga secara khusus perlu dibicarakan tersendiri, yang meliputi keluarga bajing dan tikus.
1. Keluarga Bajing (fam. Sciuridae)
Ada dua jenis yang penting, yaitu Callossciurus notatus Bodd. dan C. nigrovittatus yang
keduanya dikenal dengan nama “bajing”. Jenis pertama dijumpai pada daerah - daerah di
Indonesia dengan ketinggian sampai 9000 m di atas permukaan laut. Sedang jenis C.
nigrovittatus dapat dijumpai di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera pada daerha dengan ketinggian
sampai 1500 m.
Jenis bajing ini umumnya banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa namun beberapa
jenis tanaman buah kadang - kadang juga diserangnya. Gejala serangan hama bajing pada buah
kelapa tampak terbentuknya lubang yang cukup lebar dan tidak teratur dekat dengan ujung buah,
sedang jika yang menyerang tikus maka lubang yang terbentuk lebih kecil serta tampak lebih
teratur / rapi.
Ada beberapa jenis yang diketahui banyak menimbulkan kerusakan antara lain, tikus rumah
(Rattus - rattus diardi Jent); tikus pohon (Rattus - rattus tiomanicus Muller), serta tikus sawah
(Rattus-rattus argentiver_Rob.&Kl).
Tikus rumah dikenal pula sebagai tikus hitam karena warna bulunya hitam keabu - abuan atau
hitam kecoklatan. Panjang tubuh sampai ke kepala antara 11 - 20 cm dan panjang ekor biasanya
lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah puting susunya ada 10 buah.
Tikus pohon memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan tikus rumah. Bulu tubuh bagian
ventral putih bersih atau kadang - kadang agak keabu-abuan. Panjang ekor biasanya lebih
panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah putting susunya ada 10 buah.
Tikus sawah memiliki ciri - ciri tubuh antara lain bulu - bulu tubuh bagian ventral berwarna
keabu-abuan atau biru keperakan. Panjang ekor biasanya sama atau lebih pendek daripada
panjang tubuh + kepala. Pada pertumbuhan penuh panjang tubuhnya antara 16 - 22 cm serta
jumlah puting susu ada 12 buah.
D. FILUM ARTHOPODA
Merupakan filum terbesar di antara filum - filum yang lain karena lebih dari 75 % dari binatang-
binatanag yang telah dikenal merupakan anggota dari filum ini. Karena itu, sebagian besar dari
jenis-jenis hama tanaman juga termasuk dalam filum Arthropoda.
Anggota dari filum Arthropoda yang mempunyai peranan penting sebagai hama tanaman adalah
klas Arachnida (tunggau) dan klas Insecta atau Hexapoda (serangga).
1. Klas Arachnida
Tanda - tanda morfologi yang khas dari anggota klas Arachnida ini adalah:
- Tubuh terbagi atas dua daerah (region), yaitu cephalothorax (gabungan caput dan thorax) dan
abdomen.
Dalam klas Arachnida ini, yang anggotanya banyak berperan sebagai hama adalah dari ordo
Acarina atau juga sering disebut mites (tunggau).
Morfologi dari mites ini antara lain, segmentasi tubuh tidak jelas dan dilengkapi dengan bulu -
bulu (rambut) yang kaku dan cephhalothorax dijumpai adanya empat pasang kaki.
Alat mulut tipe penusuk dan pengisap yang memiliki bagian - bagian satu pasang chelicerae
(masing - masing terdidi dari tiga segmen) dan satu pasang pedipaalpus. Chelicerae tersebut
membentuk alat seperti jarum sebagai penusuk.
- Tetranychus cinnabarinus Doisd. atau hama tunggau merah / jingga pada daun ketela pohon.
Anggota beberapa ordo dari klas Insekta dikenal sebagai penyebab hama tanaman, namun ada
beberapa yang bertindak sebagai musuh alami hama (parasitoid dan predator) serta sebagai
serangga penyerbuk.
- Tubuh terdiri atas ruas - ruas (segmen) dan terbagi dalam tiga daerah, yaitu caput, thorax dan
abdomen.
- Biasanya bersayap dua pasang, namun ada yang hanya sepasang atau bahkan tidak bersayap
sama sekali.
Memahami pengetahuan morfologi serangga tersebut sangatlah penting, karena anggota serangga
pada tiap - tiap ordo biasanya memiliki sifat morfologi yang khas yang secara sederhana dapat
digunakan untuk mengenali atau menentukan kelompok serangga tersebut. Sifat morfologi
tersebut juga menyangkut morfologi serangga stadia muda, karena bentuk-bentuk serangga muda
tersebut juga memiliki ciri yang khas yang juga dapat digunakan dalam identifikasi.
Bentuk-bentuk serta ciri serangga stadia muda tersebut secara khusus kakan dibicarakan pada
uraian tentang Metamorfose serangga, sedang uraian singkat tentang morfologi “penciri” pada
beberapa ordo penting klas Insekta akan diberikan pada uraian selanjutnya.
Berdasarkan sifat morfologinya, maka larva dan pupa serangga dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Tipe larva
a. Polipoda, tipe larva ini memiliki ciri antara lain tubuh berbentuk silindris, kepala berkembang
baik serta dilengkapi dengan kaki abdominal dan kaki thorakal. Tipe larva ini dijumpai pada
larva ngengat / kupu (Lepidoptera)
b. Oligopoda, tipe larva ini dapat dikelompokkan menjadi : Campodeiform dan Scarabaeiform,
c. Apodus (Apodous), tipe larva ini memiliki badan yang memanjang dan tidak memiliki kaki.
Kepala ada yang berkembang baik ada yang tidak. Tipe larva ini dijumpai pada anggota ordo
Diptera dan familia Curculionidae (Coleoptera).
2. Tipe pupa
Perbedaan bentuk pupa didasarkan pada kedudukan alat tambahan (appendages), seperti calon
sayap, calon kaki, antene dan lainnya. Tipe pupa dikelompokkan menjadi tiga tipe :
a. Tipe obtecta, yakni pupa yang memiliki alat tambahan (calon) melekat pada tubuh pupa.
Kadang-kadang pupa terbungkus cocon yang dibentuk dari liur dan bulu dari larva.
b. Tipe eksarat, yakni pupa yang memiliki alat tambahan bebas (tidak melekat pada tubuh pupa )
dan tidak terbungkus oleh cocon.
c. Tipe coartacta, yakni pupa yang mirip dengan tipe eksarat, tetapi eksuviar tidak mengelupas
(membungkus tubuh pupa). Eksuviae mengeras dan membentuk rongga untuk membungkus
tubuh pupa dan disebut puparium.
Tipe pupa obtecta dijumpai pada anggota ordo Lepidoptera, pupa eksarat pada ordo
Hymenoptera dan Coleoptera, sedang pupa coartacta pada ordo Diptera.
Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya
yang bertindak sebagai predator pada serangga lain.
Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada
sayap belakang dengan vena - vena menebal / mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang
membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang
melipat di bawah sayap depan.
Alat - alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang
antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat
pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang
disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap - tiap
segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen
(segmen terakhir abdomen).
Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang
mandibula, sepasang maxilla dengan masing - masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium
dengan palpus labialisnya.
Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur ---
> nimfa ---> dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan
ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.
Ordo ini memiliki anggota yang sangat besar serta sebagian besar anggotanya bertindak sebagai
pemakan tumbuhan (baik nimfa maupun imago). Namun beberapa di antaranya ada yang bersifat
predator yang mingisap cairan tubuh serangga lain.
Umumnya memiliki sayap dua pasang (beberapa spesies ada yang tidak bersayap). Sayap depan
menebal pada bagian pangkal (basal) dan pada bagian ujung membranus. Bentuk sayap tersebut
disebut Hemelytra. Sayap belakang membranus dan sedikit lebih pendek daripada sayap depan.
Pada bagian kepala dijumpai adanya sepasang antene, mata facet dan occeli.
Tipe alat mulut pencucuk pengisap yang terdiri atas moncong (rostum) dan dilengkapi dengan
alat pencucuk dan pengisap berupa stylet. Pada ordo Hemiptera, rostum tersebut muncul pada
bagian anterior kepala (bagian ujung). Rostum tersebut beruas - ruas memanjang yang
membungkus stylet. Pada alat mulut ini terbentuk dua saluran, yakni saluran makanan dan
saluran ludah.
Anggota ordo Homoptera memiliki morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan
pokok antara keduanya antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan
rostumnya.
Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang homogen, bisa keras semua atau
membranus semua, sedang sayap belakang bersifat membranus.
Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari bagian posterior kepala.
Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax umumnya sama dengan anggota Hemiptera.
Tipe metamorfose sederhana (paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur --->
nimfa ---> dewasa. Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama
tanaman.
Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-kutuan, seperti :
Anggota - anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang
bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain.
Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena
sayap dan disebut elytra.
Apabila istirahat, elytra seolah - olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian
dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan.
Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada
beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang
terbentuk di depan kepala.
Metamorfose bertipe sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur --->
larva ---> kepompong (pupa) ---> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal (tipe
oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong tidak memerlukan
pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas / libera.
Dari ordo ini, hanya stadium larva (ulat) saja yang berpotensi sebagai hama, namun beberapa
diantaranya ada yang predator. Serangga dewasa umumnya sebagai pemakan/pengisap madu
atau nektar.
Sayap terdiri dari dua pasang, membranus dan tertutup oleh sisik - sisik yang berwarna - warni.
Pada kepala dijumpai adanya alat mulut seranga bertipe pengisap, sedang larvanya memiliki tipe
penggigit. Pada serangga dewasa, alat mulut berupa tabung yang disebut proboscis, palpus
maxillaris dan mandibula biasanya mereduksi, tetapi palpus labialis berkembang sempurna.
Metamorfose bertipe sempurna (Holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur ---
> larva ---> kepompong ---> dewasa. Larva bertipe polipoda, memiliki baik kaki thoracal
maupun abdominal, sedang pupanya bertipe obtekta.
Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator
dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap
belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter. Pada
kepalanya juga dijumpai adanya antene dan mata facet.
Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-
pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap.
Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :
- bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc.
Kebanyakan dari anggotanya bertindak sebagai predator / parasitoid pada serangga lain dan
sebagian yang lain sebagai penyerbuk.
Sayap terdiri dari dua pasang dan membranus. Sayap depan umumnya lebih besar daripada sayap
belakang. Pada kepala dijumpai adanya antene (sepasang), mata facet dan occelli.
Tipe alat mulut penggigit atau penggigit-pengisap yang dilengkapi flabellum sebagai alat
pengisapnya.
Metamorfose sempurna (Holometabola) yang melalui stadia : telur-> larva--> kepompong --->
dewasa. Anggota famili Braconidae, Chalcididae, Ichnemonidae, Trichogrammatidae dikenal
sebagai tabuhan parasit penting pada hama tanaman.
Memiliki anggota yang cukup besar dan mudah dikenal. Sayap dua pasang dan bersifat
membranus. Pada capung besar dijumpai vena - vena yang jelas dan pada kepala dijumpai
adanya mata facet yang besar.
Metamorfose tidak sempurna (Hemimetabola), pada stadium larva dijumpai adanya alat
tambahan berupa insang dan hidup di dalam air.
Anggota-anggotanya dikenal sebagai predator pada beberapa jenis serangga keecil yang
termasuk hama, seperti beberapa jenis trips, wereng, kutu loncat serta ngengat penggerek batang
padi.
RANGKUMAN
Mengenal sifat - sifat morfologi luar dari binatang penyebab hama merupakan hal yang penting
untuk mempermudah mengenali jenis - jenis hama yang ada di lapangan. Ada beberapa filum
dalam dunia binatang yang sebagian dari anggotanya berpotensi menjadi hama tanaman, yakni
Filum Aschelminthes, Mollusca, Chordata dan Athropoda.
Dalam filum Aschelminthes, anggota klas nematoda banyak yang berperan sebagai hama
tanaman, misalnya anggota dari ordo Tylenchida, “Giantsnail”, Achatina fulica merupakan salah
satu anggota filum Mollusca yang diketahui sering merusak berbegai jenis tanaman, baik
tahunan maupun tanaman semusim.
Anggota ordo Rodentia, yakni tikus dan bajing merupakan anggota filum Chordata yang menjadi
hama penting pada beberapa jenis tanaman. Anggota filum Chordata lain yang juga berpotensi
menjadi hama tanaman adalah kera (Primates) dan babi (Ungulata).
Arthropoda merupakan filum terbesar dalam jumlah anggotanya, sehingga sebagian besar jenis
hama tanaman merupakan anggota filum ini. Namun demikian, anggota filum ini khususnya
dalam klas Arachida sebagian besar bertindak sebagai musuh alami hama, sedang dari klas
Insekta sebagian dari anggotanya menjadi hama penting pada berbagai jenis tanaman dan yang
lain ada pula yang berperan sebagai musuh alami hama.
Pembicaraan mengenai cara merusak dan gejala merusak yang diakibatkan oleh serangan hama
khususnya dari serangga tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai morfologi alat mulut
serangga hama. Dengan tipe alat mulut tertentu, serangga hama dalam merusak tanaman akan
mengakibatkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman yang diserangnya. Karena itu, dengan
mempelajari berbagai tipe gejala ataupun tanda serangan akan dapat membantu dalam mengenali
jenis - jenis hama penyebab yang dijumpai di lapangan. Bahkan lebih jauh dari itu dapat pula
digunakan untuk menduga cara hidup ataupun untuk menaksir populasi hama yang bersangkutan.
Berdasarkan pada cara merusak dan gejala kerusakan yang ditimbulkannya, maka hama-hama
penyebab kerusakan pada tanaman dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu hama
penyebab gejala puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung,
hama penyebab busuk buah, dan hama pengorok (miner)
RANGKUMAN
Jenis - jenis serangga dapat dikelompokkan berdasarkan tipe alat mulutnya. Dengan tipe alat
mulut tertentu, perusakan tanaman oleh serangga akan meninggalkan gejala kerusakan yang khas
pada tanaman. Oleh karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala serangan akan
memepermudah untuk mengetahui jenis hama penyebab kerusakan yang dijumpai di lapangan.
Gejala kerusakan dalam bentuk intensitas serangan hama dapat juga digunakan untuk menduga
tingkat populasi hama di lapangan.
Berdasarkan cara merusak dan tipe gejala, ada tujuh tipe yaitu hama penyebab puru (gall), hama
pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah dan
hama penggorok (miner).
3. TAKTIK PENGENDALIAN
Pada dasarnya, pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies hama
agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak
dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan
populasinya sampai pada aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu,
taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.
Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian hama
Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik
pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan berikut ini mengacu pada buku
karangan Metcalf (1975) dan Matsumura (1980) yang terdiri dari :
A. PENGENDALIAN MEKANIK
Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga
yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual.
Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan
melibakan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini.
Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah - daerah yang
upah tenaga kerjanya masih relatif murah.
Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput
secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama
dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk
mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan
mengumpulkan ulat - ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu
kemudian dibakar atau dimusnahkan. Rogesan sering dipraktekkan oleh petani tebu (di Jawa)
untuk mencari ulat penggerek pucuk tebu (Scirpophaga nivella) dengan mengiris sedikit demi
sedikit pucuk tebu yang menunjukkan tanda serangan. Lelesan dilakukan oleh petani kopi untuk
menyortir buah kopi dari lapangan yang terserang oleh bubuk kopi (Hypotheneemus hampei)
B. PENGENDALIAN FISIK
Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor - faktor fisik yang dapat mempengaruhi
perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk
hidup.
Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian fisik; karena cara -
cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok bagi pertumbuhan serangga.
Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan penggenangan karena tanah yang
mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya
kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat hidup lebih lama.
C. PENGENDALIAN HAYATI
Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain
(predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua
serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh - musuh alami. Tersedianya banyak makanan
dan tidak adanya agen - agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama.
Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat
sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi
tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
Dua jenis organisme yang digunakan untuk pengendalian hayati terhadap serangga dan tunggau
adalah parasit dan predator. Parasit selalu berukuran lebih kecil dari organisme yang
dikendalikan oleh (host), dan parasit ini selama atau sebagian waktu dalam siklus hidupnya
berada di dalam atau menempel pada inang. Umumnya parsit merusak tubuh inang selama
peerkembangannya. Beberapa jenis parasit dari anggota tabuhan (Hymenoptera), meletakkan
telurnya didalam tubuh inang dan setelah dewasa serangga ini akan meninggalkan inang dan
mencari inang baru untuk meletakkan telurnya.
Sebaliknya predator mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar sari serangga yang dikendalikan
(prey), dan sifat predator secara aktif mencari mangsanya, kemudian memakan atau mengisap
cairan tubuh mangsa sampai mati. Beberapa kumbang Coccinella merupakan predator aphis atau
jenis serangga lain yang baik pada fase larva maupun dewasanya. Contoh lain serangga yang
bersifat sebagai predator adalah Chilocorus, serangga ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai
agensia pengendali hayati terhadap hama kutu perisai (Aspidiotus destructor) pada tanaman
kelapa.
Agar predator dan tanaman ini sukses sebagai agen pengendali biologis terhadap serangga, maka
harus dapat beradaptasi dulu dengan lingkungan tempat hidup serangga hama. Predator dan
parasit itu harus dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang baru. Parasit dan predator
juga harus bersifat spesifik terhadap hama dan mampu mencari dan membunuhnya.
Parasit harus mempunyai siklus hidup yang lebih pendek daripada inangnya dan mampu
berkembang lebih cepat dari inangnya. Siklus hidup parasit waktunya harus sinkron dengan
inangnya sehingga apabila saat populasi inang meningkat maka saat peningkatan populasi parasit
tidak terlambat datangnya. Predator tidak perlu mempunyai siklus hidup yang sama dengan
inangnya, karena pada umumnya predator ini mempunyai siklus hidup yang lebih lama daripada
inangnya dan setiap individu predator mampu memangsa beberapa ekor hama.
Baik parasit maupun predator mempunyai ratio jantan dan betina yang besar, mempunyai
keperidian dan kecepatan hidup yang tinggi serta memiliki kemampuan meenyebar yang cepat
pada suatu daerah dan serangga - serangga itu secara efektif mampu mencari inang atau
mangsanya.
Beberapa parasit fase dewasa memerlukan polen dan nektar, sehingga untuk pelepasan dan
pengembangan parasit pada suatu daerah, yang perlu diperhatikan adalah daerah tersebut banyak
tersedia polen dan nektar yang nanti dapat digunakan sebagai pakan tambahan.
Parasit yang didatangkan dari suatu daerah, mula - mula dipelihara dahulu di karantina selama
beberapa saat agar serangga ini mampu beradaptasi dan berkembang. Selama pemeliharaan di
dalam karantina, serangga-serangga ini dapat diberi pakan dengan pakan buatan atau mungkin
dapat pula digunakan inangnya yang dilepaskan pada tempat pemeliharaan. Setelah dilepaskan di
lapangan populasi parasit ini harus dapat dimonitor untuk mengetahui apakah parasit iru sudah
mapan, menyebar dan dapat berfungsi sebagai agen pengendali biologis yang efektif; dan bila
memungkinkan serangga ini mampu mengurangi populasi hama relatif lebih cepat dalam
beberapa tahun.
Contoh pengendalian biologis yang pernah dilakukan di Australia adalah pengendalian Aphis
dengan menggunakan tabuhan chalcid atau pengendalian kutu yang menyerang jeruk dengan
menggunakan tabuhan Aphytes.
Selain menggunakan parasit dan predator, untuk menekan populasi serangga hama dapat pula
memanfaatkan beberapa pathogen penyebab penyakit pada serangga. Seperti halnya dengan
binatang lain, serangga bersifat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri,
cendawan, virus dan protozoa. Pada kondisi lingkungan yang cocok beberapa jenis penyakit akan
menajdi wabah epidemis. Penyakit tersebut secara drastis mampu menekan populasi hama hanya
dalam beberapa hari.
Beberapa jenis bakteri, misal Bacillus thuringiensis secara komersial diperdagangkan dalam
bentuk spora, dan bakteri ini dipergunakan untuk menyemprot tanaman seperti halnya
insektisida. Yang bersifat rentan terhadap bahan ini adalah fase ulat, dan bilamana ulat-ulat itu
makan spora, maka akhirnya bakteri akan berkembang di dalam usus serangga hama, akhirnya
bakteri itu menembus usus dan masuk ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya larva akan mati.
Jamur dapat pula digunakan untuk mengendalikan serangga hama, sebagai contoh Entomorpha
digunakan untuk mengendalikan Aphis yang menyerang alfafa; spesies Beauveria untuk
mengendalikan ulat dan Metarrhizium anisopliae sekarang sudah dikembangkan secara masal
dengan medium jagung. Jamur ini digunakan untuk mengendalikan larva Orycetes rhinoceros
yang imagonya merupakan penggerek pucuk kelapa.
Lebih dari 200 jenis virus mampu menyerang serangga. Jenis virus yang telah digunakan untuk
mengendalikan hama adalah Baculovirus untuk menekan populasi Orycetes rhinoceros; Nuclear
polyhidrosis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama Heliothis zeae pada tongkol
jagung, bahan tersebut telah banyak digunakan di AS, Eropa dan Australia. Virus tersebut masuk
dan memperbanyak diri dalam sel inang sebelum menyebar ke seluruh tubuh. Inti dari sel - sel
yang terserang menjadi besar, kemudian virus tersebut menuju ke rongga tubuh akhirnya inang
akan mati.
1. Introduksi, yakni upaya mendatangkan musuh alami dari luar (exotic) ke wilayah yang baru
(ada barier ekologi).
2. Konservasi, yakni upaya pelestarian keberadaan musuh alami di suatu wilayah dengan antara
lain melalui pengelolaan habitat.
3. Augmentasi, parasit dan predator lokal yang telah ada diperbanyak secara massal pada kondisi
yang terkontrol di laboratorium sehingga jumlah agensia sangat banyak, sehingga dapat dilepas
ke lapangan dalam bentuk pelepasan inundative.
Beberapa varietas tanaman tertentu kuran dapat diserang oleh serangga hama atau kerusakan
yang diakibatkan oleh serangan hama relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan varietas lain.
Varietas tahan tersebut mempunyai satu atau lebih sifat-sifat fisik atau fisiologis yang
memungkinkan tanaman tersebut dapat melawan terhadap serangan hama.
Mekanisme ketahanan tersebut secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Toleransi
Tanaman yang memiliki kemampuan melawan serangan serangga dan mampu hidup terus serta
tetap mampu berproduksi, dapat dikatakan sebagai tanaman yang toleran terhadap hama.
Toleransi ini sering juga tergantung pada kemampuan tanaman untuk mengganti jaringan yang
terserang, dan keadaan ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dan kerapatan hama yang
menyerang pada suatu saat.
2. Antibiosis
Tanaman - tanaman yang mengandung toksin (racun) biasanya memberi pengaruh yang kurang
baik terhadap serangga. Tanaman yang demikian dikatakan bersifat antibiosis. Tanaman ini akan
mempengaruhi banyaknya bagian tanaman yang dimakan hama, dapat menurutkan kemampuan
berkembang biak dari hama dan memperbesar kematian serangga. Tanaman kapas yang
mengandung senyawa gossypol dengan kadar tinggi mempunyai ketahanan yang lebih baik bila
dibandingkan dengan yang mengandung kadar yang lebih rendah, karena bahan kimia ini bekerja
sebagai antibiosis terhadap jenis serangga tertentu.
3. Non prefens
Jenis tanaman tertentu mempunyai sifat fisik dan khemis yang tidak disukai serangga. Sifat -
sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa dan banyaknya rambut sehingga
menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Pada satu spesies tanaman
dapat pula terjadi bahwa satu tanaman kurang dapat terserang serangga dibanding yang lain. Hal
ini disebabkan adanya perbedaan sifat yang ada sehingga dapat lebih menarik lagi bagi serangga
untuk memakan atau meletakkan telur. Contoh pengendalian hama yang telah memanfaatkan
varietas tahan adalah pengendalian terhadap wereng coklat pada tanaman padi, pengendalian
terhadap kutu loncat pada lamtoro, pengendalian terhadap Empoasca pada tanaman kapas.
Pada dasarnya pengendalian ini merupakan pengendalian yang bekerja secara alamiah, karena
sebenarnya tidak dilakukan pembunuhan terhadap hama secara langsung. Pengendalian ini
merupakan usaha untuk mengubah lingkunagn hama dari keadaan yang cocok menjadi
sebaliknya. Dengan mengganti jenis tanaman pada setiap musim, berarti akan memutus
tersedianya makanan bagi hama-hama tertentu.
Sebagai contoh dalam pengendalian hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) diatur pola
tanamnya, yakni setelah padi - padi, pada periode berikutnya supaya diganti dengan palawija.
Cara ini dimaksudkan untuk menghentikan berkembangnya populasi wereng. Cara di atas dapat
pula diterapkan pada hama lain, khususnya yang memiliki inang spesifik. Kebaikan dari
pengendalian hama dengan mengatur pola tanam adalah dapat memperkecil kemungkinan
terbentuknya hama biotipe baru. Cara - cara pengaturan pola tanam yang telah diterapkan pada
pengendalian wereng coklat adalah :
a. Tanam serentak meliputi satu petak tersier (wikel) dengan selisih waktu maksimal dua minggu
dan selisih waktu panen maksimal 4 minggu, atau dengan kata lain varietas yang ditanam relatif
mempunyai umur sama. Dengan tanam serentak diharapkan tidak terjadi tumpang tindih generasi
hama, sehingga lebih mudah memantau dan menjamin efektifitas pengendalian, karena
penyemprotan dapat dilakukan serentak pada areal yang luas.
b. Pergiliran tanaman meliputi areal minimal satu WKPP dengan umur tanaman relatif sama.
c. Pergiliran varietas tahan. Untuk daerah-daerah yang berpengairan baik, para petani pada
ummnya akan menanam padi - padi sepanjang tahun. Kalau pola demikian tidak dapat diubah
maka teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pergiliran varietas
yang ditanam. Pada pengendalian ini diusahakan supaya digunakan varietas yang mempunyai
tetua berbeda, dengan demikian dapat menghambat terbentuknya wereng biotipe baru.
Beberapa jenis hama mempunyai makanan, baik berupa tanaman yang diusahakan manusia
maupun tanaman liar (misal rumput, semak - semak, gulam dan lain - lain). Pada pengendalian
dengan cara sanitasi eradikasi dititikberatkan pada kebersihan lingkungan di sekitar pertanaman.
Kebersihan lingkungan tidak hanya terbatas di sawah yang ada tanamannya, namun pada saat
bero dianjurkan pula membersihkan semak-semak atau turiang-turiang yang ada. Pada musim
kemarau sawah yang belum ditanami agar dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Hal ini
dimaksudkan untuk membunuh serangga-serangga yang hidup di dalam tanah, memberikan
pengudaraan (aerasi), dan membunuh rerumputan yang mungkin merupakan inang pengganti
suatu hama tertentu.
Contoh pengendalian dengan eradikasi terhadap serangan hama wereng coklat adalah :
a. Pada daerah serangan wereng coklat tetapi bukan merupakan daerah serangan virus, eradikasi
dilakukan pada tanaman padi yang telah puso. Pada daerah serangan berat eradikasi hendaknya
diikuti pemberoan selama 1 - 2 bulan atau mengganti dengan tanaman selain padi.
b. Pada daerah serangan hama wereng yang juga merupakan daerah serangan virus, eradikasi
dilakukan sebagai berikut :
1). Eradikasi selektif dilakukan pada padi stadia vegetatif yang terserang virus dengan intensitas
sama dengan atau kurang dari 25 % atau padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus
kurang dari 75 %.
2). Eradikasi total dilakukan terhadap pertanaman statdia vegetatif dengan intensitas serangan
virus lebih besar dari 25 % atau pada padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus lebih
besar sama dengan 75 %.
Cara melakukan eradikasi adalah dengan membabat tanaman yang terserang hama, kemudian
membakar atau membenamkan ke dalam tanah.
G. PENGENDALIAN KIMIA
Bahan kimia akan digunakan untuk mengendalikan hama bilamana pengendalian lain yang telah
diuarikan lebih dahulu tidak mampu menurunkan populasi hama yang sedang menyerang
tanaman.
Kelompok utama pestisida yang digunakan untuk mengendalikan serangga hama dengan tunggau
adalah insektisida, akarisida dan fumigan, sedang jenis pestisida yang lain diberi nama masing-
masing sesuai dengan hama sasarannya. Dengan demikian penggolongan pestisida berdasar jasad
sasaran dibagi menjadi :
a. Insektisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa
serangga. Contoh : Bassa 50 EC Kiltop 50 EC dan lain - lain.
b. Nematisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa
cacing - cacing parasit yang biasa menyerang akar tanaman. Contoh : Furadan 3 G.
c. Rodentisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas binatang - binatang mengerat,
seperti misalnya tupai, tikus. Contoh : Klerat RM, Racumin, Caumatatralyl, Bromodoiline dan
lain - lain.
e. Fungisida : digunakan untuk memberantas jasad yang berupa cendawan (jamur). Contoh :
Rabcide 50 WP, Kasumin 20 AB, Fujiwan 400 EC, Daconil 75 WP, Dalsene MX 2000.
f. Akarisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang berupa
tunggau. Contoh : Mitac 200 EC, Petracrex 300 EC.
g. Bakterisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan penykit tanaman yang
disebabkan oleh bakteri. Contoh : Ffenazin - 5 - oksida (Staplex 10 WP).
Insektisida dapat pula dibagi menurut jenis aktivitasnya. Kebanyakan insektisida bersifat racun
bilamana bersentuhan langsung atau tertelan serangga. Namun ada pula jenis lain yang bersifat
sebagai repelen (jenis ini digunakan untuk mencegah serangga yang akan menyerang tanaman),
atraktan (bahan yang dapat menarik serangga, dengan demikian serangga yang terkumpul akan
lebih mudah terbunuh), anti feedan (senyawa ini dapat menghindarkan dari serangan suatu
serangga) dan khemosterilan (yang dapat menyebabkan kemandulan bagi serangga yang
terkena).
1. Racun kronis : yaitu racun yang bekerjanya sangat lambat sehingga untuk mematikan hama
membutuhkan waktu yang sangat lama. Contoh : racun tikus Klerat RMB.
2. Racun akut : adalah racun yang bekerjanya sangat cepat sehingga kematian serangga dapat
segera diketahui setelah racun tersebut mengenai tubuhnya. Contoh : Bassa 50 EC, Kiltop 50 EC,
Baycarb 50 EC dan lain - lain.
Racun ini terutama digunakan untuk mengendalikan serangga yang mempunyai tipe alat mulut
pengunyah (ulat,belalang dan kumbang), namun bahan ini dapat pula digunakan terhadap hama
yang menyerang tanaman dengan cara mengisap dan menjilat. Bahan insektisida ini
disemprotkan pada bagian yang dimakan serangga sehingga racun tersebut akan tertelan masuk
ke dalam usus, dan di sinilah terjadi peracunan dalam jumlah besar.
a. Insektisida diaplikasikan pada makanan alami serangga sehingga bahan tersebut termakan oleh
serangga sasaran. Bahan makanan itu dapat berupa daun, bulu-bulu / rambut binatang. Dalam
aplikasinya, bahan - bahan makanan serangga harus tertutup rata oleh racun pada dosis lethal
sehingga hama yang makan dapat mati.
b. Insektisida dicampur dengan bahan atraktan dan umpan itu ditempatkan pada suatu lokasi
yang mudah ditemukan serangga.
c. Insektisida ditaburkan sepanjang jalan yang bisa dilalui hama. Selagi hama itu lewat biasanya
antene dan kaki akan bersentuhan dengan insektisida atau bahkan insektisida itu tertelan.
Akibatnya hama mati.
d. Insektisida diformulasikan dalam bentuk sistemik, dan racun ini diserap oleh tanaman atau
tubuh binatang piaraan kemudian tersebar ke seluruh bagian tanaman atau badan sehingga
apabila serngga hama tersebut mengisap cairan tanaman atau cairan dari tubuh binatang
(terutama hama yang mempunyai tipe mulut pengisap, misal Aphis) dan bila dosis yang diserap
mencapai dosis lethal maka serangga akan mati.
2. Racun kontak
Insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui permukaan tubuhnya khususnya bagian
kutikula yang tipis, misal pada bagian daerah perhubungan antara segmen, lekukan-lekukan yang
terbentuk dari lempengan tubuh, pada bagian pangkal rambut dan pada saluran pernafasan
(spirakulum). Racun kontak itu dapat diaplikasikan langsung tertuju pada jasad sasaran atau pada
permukaan tanaman atau pada tempat - tempat tertentu yang biasa dikunjungi serangga. Racun
kontak mungkin diformulasikan sebagai cairan semprot atau sebagai serbuk. Racun kontak yang
telah melekat pada serangga akan segera masuk ke dalam tubuh dan disinilah mulai terjadi
peracunan.
b. Senyawa sintesis organik, misal BHC, DDT, Chlordan, Toxaphene, Phosphat organik.
3. Racun pernafasan
Bahan insektisida ini biasanya bersifat mudah menguap sehingga masuk ke dalam tubuh
serangga dalam bentuk gas. Bagian tubuh yang dilalui adalah organ - organ pernafasan seperti
misalnya spirakulum. Oleh karena bahan tersebut mudah menguap maka insektisida ini juga
berbahaya bagi manusia dan binatang piaraan. Racun pernafasan bekerja dengan cara
menghalangi terjadinya respirasi tingkat selulair dalam tubuh serangga dan bahan ini sering
dapat menyebabkan tidak aktifnya enzim-enzim tertentu. Contoh racun nafas adalah : Hidrogen
cyanida dan Carbon monoksida.
4. Racun Syaraf
Insektisida ini bekerja dengan cara menghalangi terjadinya transfer asetikholin estrase yang
mempunyai peranan penting dalam penyampaian impul. Racun syaraf yang biasa digunakan
sebagai insektisida adalah senyawa organo klorin, lindan, carbontetraclorida, ethylene diclorida :
insektisida-insektisida botanis asli seperti misalnya pirethin, nikotin, senyawa organofosfat
(parathion dan dimethoat) dan senyawa karbanat (methomil, aldicarb dan carbaryl).
5. Racun Protoplasmik
Racun ini bekerja terutama dengan cara merusak protein dalam sel serangga. Kerja racun ini
sering terjadi di dalam usus tengah pada saluran pencernaan.Golongan insektisida yang termasuk
jenis ini adalah fluorida, senyawa arsen, borat, asam mineral dan asam lemak, nitrofenol,
nitrocresol, dan logam - logam berat (air raksa dan tembaga).
Racun ini bekerja dengan cara menghambat terbentuknya khitin. Insektisida yang termasuk jenis
ini biasanya bekerja secara spesifik, artinya senyawa ini mempunyai daya racun hanya terhadap
jenis serangga tertentu. Contoh : Applaud 10 WP terhadap wereng coklat.
8. Racun sistemik
Insektisida ini bekerja bilamana telah terserap tanaman melalui akar, batang maupun daun,
kemudian bahan-bahan aktifnya ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bilamana
serangga mengisap cairan atau memakan bagian tersebut akan teracun.
Pestisida adalah merupakan racun, baik bagi hama maupun tanaman yang disemprot.
Mempunyai efek sebagai racun tanaman apabila jumlah yang disemprotkan tidak sesuai dengan
aturan dan berlebihan (overdosis), karena keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya kebakarn
tanaman. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang memadai namun pertumbuhan tanaman
tidak terganggu, pemakaian pestisida hendaknya memperhatikan kesesuaiannya, baik tepat jenis,
tepat waktu maupun tepat ukuran (dosis dan konsentrasi). Dosis adalah banyaknya pestisida yang
digunakan untuk mengendalikan hama secara memadai pada lahan seluas 1 ha. Konsentrasi
adalah banyaknya pestisida yang dilarutkan dalam satu liter air.
Untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat serta memperoleh efektifitas pengendalian yang
tinggi maka oleh perusahaan pestisida, satu bahan aktif dibuat dalam bermacam-macam
formulasi.
1. Mempermudah penyimpanan.
2. Mempermudah penggunaan.
Pestisida terbuat dari campuran antara dua bahan, yaitu bahan aktif (bahan pestisida yang
mempunyai daya racun) dan bahan pembawa / inert (bahan pencampur yang tidak mempunyai
daya racun).
Macam-macam formulasi yang banyak dibuat oleh perusahaan pembuat pestisida adalah :
Biasanya ditandai dengan kode EC (Emulsifeable Concentrate) yaitu cairan yang diemulsikan.
Pestisida ini dalam bentuk asli berwarna bening setelah dicampur air akan membentuk emulsi
yang berwarna putih susu. Contoh : Dharmabas 50 EC, Bassa 50 EC dan lain - lain.
Formulasi ini biasanya ditandai dengan kode WSC atau SCW yaitu kependekan dari Soluble
Concentrated in Water. Pestisida ini bila dilarutkan dalam air tidak terjadi perubahan warna
(tidak membentuk emulsi sehingga cairan tersebut tetap bening). Contoh : Azodrin 15 WSC.
2. Bentuk Padat
a. Berupa tepung yang dapat dilarutkan, dengan kode SP (Soluble Powder). Penggunaannya
disemprotkan dengan sprayer. Contoh : Sevin 85 SP.
b. Berupa tepung yang dapat dibasahi dengan merek dagang WP (Weatable Powder). Pestisida
ini disemprotkan dengan dicampur air. Karena sifatnya tidak larut sempurna, maka selama
menyemprot seharusnya disertai dengan pengadukan secara terus-menerus.Contoh: Aplaud 10
WP.
c. Berupa butiran dengan kode G (Granulair). Aplikasi pestisida ini adalah dengan menaburkan
atau membenamkan dekat. Contoh : Furadan 3 G, Dharmafur 3 G.
d. Campuran umpan (bait). Pestisida ini dicampur dengan bahan makanan yang disukai hama,
kemudian diumpankan. Contoh : Klerat RMB.
RANGKUMAN
Pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak
bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat tertentu
saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggungjawabkan.
Falsafah pengendalian hama yang digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). PHT tidak pernah mengandalkan satu taktik pengendalian saja dalam memcahkan
permasalahan hama yang timbul, melainkan dengan tetap mencari alternatif pengendalian yang
lain.
Beberapa taktik pengendalian hama yang dikenal meliputi : taktik pengendalian secara mekanis,
fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan eradikasi, dan cara
kimiawi.
Beranda
Tentang saya
Pustaka Biologi
Aturan pakai weblog ini
Perkuliahan
Majalah SERANGGA online
Beranda > Bahan kuliah > Tentang hama tanaman
Secara umum, hama atau pest diartikan sebagai jasad pengganggu (jasad renik, tumbuhan, dan
hewan). Pada perkembangannya, istilah hama didefinisikan dengan lebih khusus, yaitu hewan
yang mengganggu manusia, dan dipersempit lagi menjadi hewan yang mengganggu tanaman
(tumbuhan yang diupayakan manusia), maka dikenal istilah Hama Tanaman (Pests of Crops).
Tetapi sekali lagi, jangan salah bahwa pengertian hama itu sebenarnya lebih luas dari sekedar
Hama Tanaman, karena ada juga Hama Rumah Tangga (misalnya, kecoa, kutu busuk, nyamuk
dan sebagainya), Hama Ternak (misalnya, serangga vektor penyakit pada ternak), dan
sebagainya. Jasad lain, yaitu tumbuhan dan jasad renik kemudian diberi label gulma dan
penyakit. Kemudian, jika ketiga kelompok jasad pengganggu tersebut mengganggu tanaman,
maka disebut sebagai Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Penasbihan satu jenis hewan pengganggu sebagai hama bersifat antroposentrik, sehingga sangat
relatif. Misalnya, di daerah transmigran di Sumatra, gajah dan kera dianggap sebagai hama
karena menyerang dan merusak tanaman. Namun, di daerah lain, jika gajah dan kera hidup di
habitat aslinya dan tidak merusak usaha manusia, maka mereka tidak dianggap sebagai hama.
Sebaliknya, hewan yang pada mulanya tidak dianggap sebagai hama, jika pada suatu saat
populasinya meningkat dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi manusia, maka dapat dianggap
sebagai hama. Contoh, wereng coklat yang populasinya masih di bawah Ambang Ekonomi, dan
tentunya tidak menimbulkan kerugian pada tanaman padi, maka tidak akan dianggap sebagai
hama. Setelah populasinya meledak dan menimbulkan dampak ekonomis, barulah dianggap
sebagai hama.
Sebagai “perusak”, bagaimanapun juga, hama mempunyai arti yang sangat penting. Kerusakan
yang diakibatkan oleh hama dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Kerusakan kualitatif
terjadi jika aktivitas makan (maupun reproduksi) hama mengakibatkan penurunan mutu hasil.
Sebagai contoh, buah jambu biji atau air yang diserang larva lalat buah (Diptera: Tephritidae)
mungkin tidak akan terpengaruh secara kuantitas, namun secara kualitas (mutu) konsumen
enggan mengkonsumsi buah yang dihuni oleh larva (set atau sindat) tersebut. Contoh lain,
lembaran daun tembakau yang terlubangi, meskipun kecil, oleh larva Heliothis armigera akan
ditolak oleh pabrik cerutu. Sementara itu, kerusakan kuantitas terjadi jika serangan hama mampu
menurunkan hasil panen secara nyata.
Oleh karena itu, arti penting satu jenis hama sebagai hama bersifat relatif juga jika dilihat dari
segi nilai ekonomis tanaman atau bagian tanaman. Misalnya, H. armigera tidak dianggap
merusak tembakau secara kualitatif jika hama ini makan pada daun tembakau yang tidak
digunakan sebagai pembungkus cerutu, artinya daun tembakau tidak mempunyai nilai ekonomis
yang amat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang yang lain, yaitu seberapa besar mereka
merusak bagian tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Tungau mungkin tidak dianggap sebagai
hama ketela pohon, karena aktivitas makan dan berbiak mereka pada daun tidak akan mampu
menurunkan hasil umbi ketela secara nyata.
Ada empat filum yang menyumbang peran sebagai hama, yaitu nemathelminthes (golongan
cacing renik), moluska (golongan hewan lunak semacam siput dan bekicot), artropoda (tungau
dan serangga), dan chordata (hewan bertulang belakang misalnya kera, tikus, dan sebagainya).
Masing-masing kelompok mempunyai ciri tanda serangan yang khas, yang biasanya
dihubungkan dengan jenis alat mulut dan perilaku khas, dan sering digunakan untuk
mengidentifikasi kehadiran mereka (ada ilmu “peramalan” juga lho di sini, meramal jenis hama
tanpa kehadiran mereka ^-^).
Pada galibnya, seperti halnya pada jasad yang lain, dinamika populasi hama dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu faktor abiotik (tak hidup) dan biotik (hidup). Faktor abiotik, misalnya kesuburan
tanah, suhu dan kelembaban, dan curah hujan, sedangkan faktor biotik, misalnya musuh alami
dan pesaing. Kedua faktor tersebut akan berjalin-kelindan mempengaruhi dan menentukan
populasi hama melalui suatu mekanisme yang rumit. Oleh karena itu, tidak mudah untuk
menentukan faktor penyebab dinamika populasi hama.
Lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan populasi hama berkembang drastis dan
menjadi sebuah “ledakan hama” yaitu:
Masalah terbesar yang diakibatkan oleh hama adalah jika populasinya meningkat sangat tajam
dan menimbulkan kerusakan yang amat parah, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi
(melampaui nilai Ambang Ekonomi). Jadi, sebenarnya, keberadaan mereka pada tanaman sah-
sah saja dan bukan menjadi ancaman berarti jika populasinya di bawah Ambang Ekonomi.
Namun, kebanyakan petani menganggap bahwa keberadaan hewan pada tanaman selalu
dianggap sebagai “ancaman” yang mesti ditangkal, dilawan, dan kalau perlu dienyahkan! Walah,
kayak perang saja ya…. Coba bayangkan, jika di lahan Anda terdapat beberapa ekor wereng
coklat saja, apakah layak mereka dianggap sebagai hewan “jahat” yang harus dilenyapkan?
Hmmm…kayaknya kok berlebihan ya??
Tanaman dikatakan sakit jika ada perubahan seluruh atau sebagian organ-organ tanaman yang
menyebabkan terganggunya kegiatan fisiologisnya. Misalnya tanaman tomat yang semula segar
tiba-tiba menjadi layu. Daun kedelai yang awalnya berwarna hijau segar, sekarang tibatiba
kelihatan bercak-bercak cokelat. Tanaman-tanaman tersebut menyimpang dari keadaan normal
dan biasanya orang mengatakan sakit. Penyebab sakit ini bermacam-macam, seperti BAKTERI,
CENDAWAN, VIRUS, KEKURANGAN ATAU KELEBIHAN AIR, KEKURANGAN ATAU
KELEBIHAN UNSUR HARA ATAU KARENA TANAMAN MENDAPATKAN STRESS
LINGKUNGAN misalnya suhu lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
Penyakit tanaman dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu PENYAKIT PARASIT dan
PENYAKIT NON-PARASIT atau PENYAKIT FISIOLOGIS. Penyebab penyakit parasit sudah
diantaranya adalah bakteri, virus dan cendawan. Sedangkan penyakit non-parasit yaitu penyakit
yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan terhadap unsur hara (mineral), air, inar
matahari dan temperatur.
HAMA adalah binatang perusak tanaman budidaya. Tanaman yang dirusak tersebut misalnya
kol, sawi, selada, tomat, terung, jagung, jeruk, mangga. Sementara itu, binatang yang merusak
atau hama diantaranya adalah
Wereng menyerang tanaman padi dan menyebarkan virus yang juga menyerang tanaman
padi.
Kutu loncat merusak tanaman lamtoro
Belalanng sexava, merusak tanaman kelapa
Ulat kupu artona, merusak tanaman kelapa
Tindakan yang dilakukan agar tanaman terlindung dari serangan penyakit dan hama disebut
PROTEKSI TANAMAN. Pengendalian hama yang baik yaitu dengan cara BIOLOGIS.
Pengendaliannya meliputi PENGGUNAAN PREDATOR, binatang pemakan hama atau
penggunaan parasit dan bakteri yang dapat menyebabkan sakit pada hama tetapi tidak pada
tumbuhan. Pemberantasan secara biologis ini hanya akan mematikan hama. Sementara itu,
serangga lain yang bukan hama akan terhindar dari kematian.
Penyakit ini menyerang biji yang sedang tumbuh, sehingga BIJI MENJADI KEROPOS dan
akhirnya mati. Penyebabnya adalah CENDAWAN PERONOSPORA PARASITICA. Cendawan
ini kadang-kadang juga menyerang biji yang sudah mempunyai daun pertama. Tumbuhan
menjadi kerdil dan daunnya bercak-bercak hitam, sehingga produksinya rendah.
- PENYAKIT CVPD
Penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) adalah penyakit yang menyerang pembuluh
tapis pada BATANG JARAK. Gejalanya, kuncup-kuncup daun menjadi kecil, akhirnya
berwarna kuning sehingga menjadi buah berwarna kuning. Penyakit ini disebabkan oleh
BAKTERI.
Penyakit ini menyerang ruas-ruas batang dan butir padi. Penyakit ini disebabkan oleh
CENDAWAN PYRICULARIA ORYZAE. Akibatnya ruas-ruas batang mudah patah dan tanaman
padi akhirnya mati.
- Penyakit bulai biasanya menyerang tanaman jagung. Penyebabnya adalah jamur dengan
penyebaran menggunakan spora yang diterbangkan oleh angin.
- Penyakit virus belang biasanya menyerang tanaman kedelai. Penyebabnya adalah virus dengan
penyebaran melalui perantaraan angin.
- Penyakit kerdil rumput biasa menyerang tanaman padi. Penyebabnya adalah virus dengan
penyebaran melalui perantaraan hama wereng.
Hama Tumbuhan
Walang sangit
Walang sangit menyerang biji padi yang masih muda dan lunak. Akibatnya biji padi menjadi
kosong, kadang berisi tetapi isinya tidak sempurna.
Ulat penggerek
Ulat penggerek merupakan fase larva dari metamorfosis kupu-kupu Scirpophaga innotata. Ulat
ini menggerek dan merusak batang padi kemudian menyerbu titik tumbuh padi yang sedang
disemai. Ulat tersebut dapat pindah dari satu batang ke batang yang lain. Serangga ulat pada
pucuk padi mengakibatkan daun baru tidak terbentuk dan pucuk daun menjadi kuning dan
akhirnya mati.
1. Secara kimiawi
Yaitu dengan menggunakan pestisida (zat kimia pembasmi hama tanaman). Pestisida terdiri dari:
1. Secara biologi
Yaitu upaya pengendalian pertumbuhan hama tanaman menggunakan makhluk hidup pemangsa
hama tanaman. Contohnya;
Home
About
Contact
Privacy Policy
Sitemap
Butuh uang?
Penyakit pada tumbuhan – Salah satu faktor pembatas dalam usaha menaikkan produksi
tanaman adalah adanya serangan hama. Kerugian yang disebabkan oleh serangan hama di dunia
diperkirakan 13% dan produksi total. Di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 10 ribu juta
dolar digunakan untuk mengatasi persoalan hama (Gatehouse et a/., 1994). Di Indonesia, pada
tahun 1976-1977 lebih dari 450.000 ha sawah yang ditanami padi diserang oleh hama wereng
coklat dan kerugian yang disebabkan oleh hama tersebut mencapai 100 juta dolar (Oka dan
Bahagiawati, 1982). Hama yang menyerang suatu jenis tanaman adalah suatu kompleks hama.
Misalnya tanaman padi sering didatangi oleh hama, tidak hanya wereng coklat tetapi hama Iain
seperti penggerek batang, ulat pemakan daun, wereng punggung putih dan hijau, aphid, dan lain
sebagainya. Tanaman kapas juga mempunyai kompleks hama yang berbeda dengan tanaman
padi. Hama-hama kapas adalah penggerek daun, penggerek batang, penggerek buah, dan Iain
sebagainya. Demikian pula dengan jagung, kedelai, dan tanaman lain yang juga mempunyai
beberapa hama utama dan hama minornya.
Teknologi yang sampai saat ini sering dipakai untuk pengendalian hama adalah pemakaian
insektisida. Teknologi ini merupakan teknologi yang populer karena efeknya dapat dilihat dalam
waktu tidak lama setelah aplikasi dan mudah diperoleh bila diperlukan. Namun teknologi ini
relatif mahal terutama bagi petani di negara yang sedang berkembang. Di samping itu, teknologi
insektisida berbahaya bagi manusia, hewan, dan spesies bukan sasaran serta lingkungan jika
dilakukan tidak sesuai dengan prosedur. Penggunaan pestisida secara tidak bijaksana dapat
menimbulkan persoalan (1) hama resisten, (2) petani keracunan pestisida, (3) residu pestisida
pada hasil pertanian, (4) pengrusakan pada agen pengendali hayati dan serangga polinator, (5)
polusi pada air tanah, dan (6) menurunkan biodiversitas serta mempunyai pengaruh negatif pada
hewan bukan target termasuk mamalia, burung, dan ikan (Agne et a/., 1995).
Teknologi lain yang dapat dipakai untuk pengendalian hama adalah pemakaian varietas tahan.
Di Indonesia, varietas tahan yang telah digunakan untuk pengendalian hama wereng coklat
adalah varietas unggul tahan wereng (VUTW). Namun demikian, tidak semua hama
mempunyai varietas tahan dan jika ada sumber plasma nutfah yang mengandung gen tahan
terhadap hama tertentu jumlahnya sangat terbatas. Misalnya pada tanaman padi, hanya gen tahan
wereng coklat dan wereng hijau yang telah diidentifikasi dan dapat digunakan dalam proses
perbaikan tanaman untuk tahan hama, sedangkan hama lainnya seperti penggerek batang dan
hama pemakan daun, sampai saat ini belum ditemukan gen tahan yang dapat dipakai dalam
proses pemuliaan. Demikian juga dengan tanaman lain seperti jagung, kapas, dan kedelai.
Dengan berkembangnya teknologi rekombinan DNA telah membuka pintu untuk merakit
tanaman tahan hama dengan rekayasa genetika. Teknologi ini mempunyai beberapa kelebihan
jika dibandingkan dengan teknologi konvensional, yaitu
(1) memperluas pengadaan sumber gen resistensi karena dengan teknologi ini kita dapat
menggunakan gen resisten dari berbagai sumber, tidak hanya dari tanaman dalam satu spesies
tetapi juga dari tanaman yang berbeda spesies, genus atau famili, dari bakteri, fungi, dan
mikroorganisme lain,
(2) dapat memindahkan gen spesifik ke lokasi yang spesifik pula di tanaman,
(3) dapat menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksi ke tanaman dalam
setiap generasi tanaman,
(4) dapat mengintroduksi beberapa gen tertentu dalam satu event transformasi sehingga dapat
memperpendek waktu perakitan tanaman multiple resistant, dan
(5) perilaku dari gen yang diintroduksi di dalam lingkungan tertentu dapat diikuti dan dipelajari,
seperti kemampuan gen tersebut di dalam tanaman tertentu untuk pindah ke tanaman lain yang
berbeda spesiesnya (outcrossing), dan dampak negatif dari gen tersebut di dalam tanaman
tertentu terhadap lingkungan dan organisme bukan target (Bahagiawati, 2000a).
Tanaman transgenik Bt mengalami kemajuan komersial yang sangat nyata. Pertama dilepas
secara komersial pada tahun 1996 hanya meliputi luas areal 1,1 ha. Pada tahun 1999 luas
pertanamannya sudah mencapai 11,7 juta ha yang ditanam di USA, Kanada, Australia, Cina,
Afrika Selatan, Spanyol, Perancis, Argentina, dan Meksiko (James, 1999).
Dari pengalaman selama lima tahun, ternyata tanaman transgenik tahan hama dapat menurunkan
ketergantungan petani pada pestisida. Dengan demikian, menurunkan polusi lingkungan dan
keracunan pada hewan dan manusia, misalnya petani kapas Bt di Arizona, USA. Penanaman
kapas Bt pada tahun 1997 menurunkan 5,4 kali semprot untuk hama target pink bollworm dan
penghematan tersebut jika diuangkan mencapai US$ 80 per acre (Carriere et ai, 2001). Secara
umum, penanaman kapas Bt secara global menurunkan pemakaian pestisida sebesar 10-15%
(Roush, 1994).
Pengendalian dengan pestisida maupun varietas tahan (tradisional maupun transgenik)
mengalami permasalahan, yaitu resistensi serangga hama terhadap bahan aktif baik di pestisida
maupun dalam tanaman (Bahagiawati, 2000b; 2001a; 2001b). Resistensi adalah suatu proses di
rnana populasi hama terseleksi dan setelah beradaptasi, dapat hidup dan berkembang biak jika
dihadapkan pada suatu jenis pestisida atau tanaman tahan di mana terjadinya proses seleksi dan
adaptasi tersebut. Untuk mengendalikan populasi hama tanaman yang telah resisten terhadap
pestisida maupun varietas tahan, selain sulit, juga memerlukan biaya yang besar. Resistensi hama
mempunyai basis genetik, lingkungan, dan faktor ekologi yang mempengaruhi perkembangan
resistensi tersebut. Resistensi ini seyogyanya dapat dikendalikan dengan manajemen resistensi
yang sesuai.
Pada saat ini, lebih dari 40 tanaman transgenik telah dilepas secara komersial di dunia. Jumlah
ini akan terus meningkat pada tahun-tahun rnendatang (Whalon dan Norris, 1999). Pengalaman
membuktikan bahwa hama serangga dapat beradaptasi dengan faktor resisten, sehingga perhatian
akan perkembangan serangga menjadi resisten dan cara untuk mengontrol resistensi tersebut
harus diperhatikan secara serius. Masalah yang disebabkan oleh daya adaptasi serangga terhadap
pestisida dan varietas tahan, baik yang dibuat secara konvensional maupun dengan rekayasa
genetika dapat menyebabkan biaya yang tinggi. Biaya ini dapat berupa hilangnya kepercayaan
masyarakat petani pada pemerintah/perusahaan penghasil benih dan lembaga terkait lainnya dan
dapat menyebabkan masa pakai/jual yang pendek terhadap produk yang dihasilkan.
Secara umum penyakit tumbuhan dapat dapat diklasifikasikan atau dikelompokan sebagai
berikut :
Interaksi ketiga komponen tersebut telah umum digambarkan sebagai suatu segitiga, umumnya
disebut segitiga penyakit (disease triangle). Setiap sisi sebanding dengan total jumlah sifat-sifat
tiap komponen yang memungkinkan terjadinya penyakit. Sebagai contoh, jika tumbuhan bersifat
tahan, umumnya pada tingkat yang tidak menguntungkan atau dengan jarak tanam yang lebar
maka segitiga penyakit – dan jumlah penyakit – akan kecil atau tidak ada, sedangkan jika
tuimbuhan rentan, pada tingkat pertumbuhan yang rentan atau dengan jarak tanam rapat, maka
sisi inangnya akan panjang dan jumlah potensial penyakit akan bertambah besar. Dengan cara
yang sama, patogen lebih virulen, dalam jumlah berlimpah dan dalam keadaan aktif, maka sisi
patogen akan bertambah panjang dan jumlah potensial penyakitnya lebih besar. Juga keadaan
lebih menguntungkan yang membantu patogen, sebagai contoh suhu, kelembaban dan angin
yang dapat menurunkan tingkat ketahanan inang, maka sisi lingkungan akan menjadi lebih
panjang dan jumlah potensial penyakit lebih besar.
2. Sudut EKONOMI yang berarti penghasil bahan yang berguna bagi manusia
seperti buah, biji, bunga, daun, batang dan lain-lain.
4. Periode (masa) infeksi adalah waktu antara permulaan infeksi sampai reaksi
tanaman yang terakhir, untuk inipun biasanya dihitung mulai saat
inokulasi.
2. Pertofit apabila parasit itu mengisap makanan dari sel inang yang
dibunuhnya lebih dahulu.
1. Tahan apabila dalam keadaan biasa tanaman tersebut tidak dapat diserang
oleh patogen.
2. Rentan apabila dalam keadaan biasa tanaman tersebut dapat diserang oleh
patogen, jadi merupakan lawan dari tahan.
Pada tahun seribuan di Eropa timbul penyakit pada manusia yang banyak
menyebabkan kematian. Penyakit itu disebut Ergotisme. Penyakit ini ternyata
disebabkan karena penderita memakan roti yang terbuat dari tepung rogge
atau rye (Secale coreale), yang terserang oleh jamur Clavicopes purpurea.
Jamur ini menghasilkan racun pada tepung yang tidak rusak meskipun sudah
dimasak menjadi roti, hingga masih tetap menyebabkan kematian bagi
manusia yang memakannya.
Pada tahun 1845 timbul penyakit pada kentang yang disebut bercak daun
(late blight) yang disebabkan oleh jamur Phytophtora infestans di Eropa dan
Amerika. Penyakit ini di Irlandia selama tahun 1845-1860 menyebabkan
bahaya kelaparan dan kematian sebanyak satu juta penduduk yang meliputi
1/8 dari seluruh jumlah penduduk negara tersebut sedang yang 1,5 juta
terpaksa mengadakan emigrasi ke negara lain.
Pada tahun 1880 timbul penyakit pada kopi yang disebut penyakit karat
daun disebabkan oleh jamur Homileia vastatrix. Jamur ini memusnahkan kopi
jenis Arabica yang juga dikenal sebagai kopi Jawa. Untuk mengatasi penyakit
ini perkebunan kopi di Philipina diganti menjadi kebun kelapa sedang di
Srilangka diganti menjadi perkebunan teh. Di Indonesia perkebunan kopi
tetap dipertahankan, sebagai ganti jenis Arabica mula-mula ditanam kopi
Liberica, tetapi jenis ini hancur juga lalu diganti dengan jenis Robusta. Jenis
yang terakhir ini meskipun mutu bijinya lebih rendah tapi produksinya lebih
tinggi sehingga nilai ekonominya hampir sama saja. Sekarang ini jenis kopi
Arabica hanya terdapat di daerah yang tinggi saja seperti di Ijen dan Toraja.
Sekarang dicoba menanam hibrida antara kopi Arabica dengan Robusta untuk
menaikkan mutu biji dan mempertahankan produksi, yang disebut kopi jenis
Arabusta. Tetapi usaha ini banyak mengalami kesukaran.
Pada tahun 1850-an timbul penyakit pada padi yang disebut penyakit
mentek yang penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini
menyerang ribuan hektar sawah dan menimbulkan kerugian ribuan ton, tetapi
akhirnya ditemukan jenis yang tahan. Penyakit tersebut sekarang diduga sama
dengan penyakit tungro yang disebabkan oleh virus.
Pada abad terakhir ini timbul penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem
Degeneration) yang disebabkan oleh makhluk semacam bakteri. Penyakit ini
sangat merugikan karena selain memperkecil ukuran buah jeruk juga
mengurangi jumlahnya, bahkan akhirnya dapat mematikan tanaman jeruk.
Penyakit ini belum dapat diatasi dengan cara apapun. Salah satu usaha untuk
memperpanjang umur ekonomi adalah dengan cara infus menggunakan
antibiotika Oxy tetracicline, sebab cara eradikasi tidak dapat dilaksanakan di
Indonesia ini.
Beberapa tahun terakhir ini timbul penyakit cacar daun cengkeh (CDC)
yang disebabkan oleh jamur Phylosticta sp. Di Lampung meskipun baru
beberapa tahun boleh dikata hampir memusnahkan perkebunan cengkeh di
sana. Dalam tahun 1982/1983 saja di propinsi tersebut menghabiskan biaya
pengendalian sebesar 9 milyar rupiah. Penyakit ini sudah terdapat di propinsi-
propinsi yang lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan lain-lain.
RANGKUMAN.
Penyakit tumbuhan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu sudut biologi dan
sudut ekonomi, demikian juga penyakit tanamannya. Di samping itu untuk
mempelajari Ilmu Penyakit Tumbuhan perlu diketahui beberapa istilah dan
definisi yang penting.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit tumbuhan dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat. Kerusakan ini
selain disebabkan oleh karena hilangnya hasil ternyata juga dapat melalui cara
lain yaitu menimbulkan gangguan terhadap konsumen dengan adanya racun
yang dihasilkan oleh jamur dalam hasil pertanian tersebut.
5. Busuk : gejala ini sebenarnya sama dengan gejala nekrosis tetapi lazimnya
istilah busuk ini digunakan untuk jaringan tumbuhan yang tebal.
Berdasarkan keadaan jaringan yang membusuk, dikenal istilah busuk basah
(soft rot) dan busuk kering (dry rot). Bila pada jaringan yang membusuk
menjadi berair atau mengandung cairan disebut busuk basah, sebaliknya
bila bagian tersebut menjadi kering disebut busuk kering.
6. Damping off atau patah rebah : rebahnya tumbuhan yang masih muda
(semai) karena pembusukan pangkal batang yang berlangsung ssangat
cepat. Dibedakan menjadi dua yaitu :
10. Mati Ujung : kematian ranting atau cabang yang dimulai dari ujung dan
meluas ke batang.
2. Fasiasi (Fasciasi, Fasciation) : suatu organ yang seharusnya bulat dan lurus
berubah menjadi pipih, lebar dan membelok, bahkan ada yang membentuk
seperti spiral.
3. Intumesensia (intumesoensia) : sekumpulan sel pada daerah yang agak luas
pada daun atau batang memanjang sehingga bagian itu nampak
membengkak, karena itu gejala ini disebut gejala busung (cedema).
4. Kudis (scab) : bercak atau noda kasar, terbatas dan agak menonjol. Kadang-
kadang pecah-pecah. Di bagian tersebut terdapat sel-sel yang berubah
menjadi sel-sel gabus. Gejala ini dapat dijumpai pada daun, batang, buah
atau umbi.
b. Enasi : pembentukan anak daun yang sangat kecil pada sisi bawah tulang
daun.
9. Rontoknya alat-alat : rontoknya daun, bunga atau buah yang terjadi sebelum
waktunya dan dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya. Rontoknya alat
tersebut karena terbentuknya lapisan pemisah (abcission layar) yang terdiri
dari sel-sel yang berbentuk bulat dan satu sama lain terlepas.
Hama dan Penyakit adalah musuh utama bagi para petani. Padahal petani sendiri yang dengan
seenaknya memberi predikat hama kepada hewan yang merusak tanamn budidaya mereka.
Timbulnya hama sesungguhnya disebabkan oleh para petani yang tidak menerapkan pertanian
yang berkelanjutan. Di dalam penanggulangannya ada berbagai cara yaitu kultur teknis, fisika,
mekanik, biologi, dan kimia. Saya menyediakan penanggulangan hama penyakit secara biologi
pada tanaman budidaya yaitu dengan musuh alami.
Hama adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-hari
manusia. Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam prakteknya istilah ini paling
sering dipakai hanya kepada hewan. Suatu hewan juga dapat disebut hama jika menyebabkan
kerusakan pada ekosistem alami atau menjadi agen penyebaran penyakit dalam habitat manusia.
Penyakit adalah gangguan terhadap tumbuhan yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur.
Secara biologis tumbuhan dikatakan sakit bila tidak mampu melakukan kegiatan fisiologis secara
normal, yang meliputi respirasi, fotosintesis, penyerapan gizi yang diperlukan dan lain-lain.
Selain itu tanaman sakit juga tidak dapat menunjukkan kapasitas genetiknya, seperti berdaya
hasil tinggi, morfologi yang normal dan lain-lain.
Jika tanaman kita terserang hama atau penyakit tanaman, maka hal pertama yang terfikir di
dalam benak kita yaitu membasminya menggunakan pestisida. Namun aplikasi penggunaan
pestisida dalam kehidupan sehari-hari. seringkali tidak tepat guna. Seringkali penggunaan
pestisida dilakukan dengan kadar pestisida yang berlebih sehingga tanpa disadari dapat
menyebabkan kerusakan pada tanah, dan menjadi salah satu penyebab kekebalan pada hama dan
penyakit tanaman.
Untuk itulah, pada artikel ini saya akan mencoba memberikan beberapa cara alternatif
pembasmian hama dan penyakit tanaman tanpa menggunakan pestisida.
Adapun contoh cara pembasmian hama dan penyakit tanaman secara mekanik pada beberapa
kasus seperti:
a) mengatasi serangan hama tikus dengan cara Membongkar dan menutup lubang tempat
bersembunyi para tikus dan menangkap tikusnya, selain itu dapat dengan cara menanam
tanaman secara bersamaan agar dapat menuai dalam waktu yang bersamaan pula sehingga tidak
ada kesempatan bagi tikus untuk mendapatkan makanan setelah tanaman dipanen.
b) Mengatasi hama wereng, dengan pengaturan pola tanam, yaitu dengan melakukan
penanaman secara serentak maupun dengan pergiliran tanaman. Pergiliran tanaman dilakukan
untuk memutus siklus hidup wereng dengan cara menanam tanaman palawija atau tanah
dibiarkan selama 1 – 2 bulan.
c) Mengatasi hama ulat, yaitu dengan menggenangi tempat persemaian dengan air dalam
jumlah banyak sehingga ulat akan bergerak ke atas sehingga mudah untuk dikumpulkan dan
dibasmi, atau dengan membuang telur – telur kupu – kupu yang melekat pada bagian bawah
daun.
d) Mengatasi hama tungau, Hama ini dapat diatasi dengan cara mengumpulkan daun – daun
yang terserang hama pada suatu tempat dan dibakar.
e) Penyakit pada ruas batang dan butir padi disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzea,
penyakit yang menyebabkan daun pedi menguningb disebabkan oleh jamur Magnaporthegrisea,
Penyakit yang disebabkan oleh jamur Peronospora parasitica yang kadang – kadang menyerang
biji yang sedang berkecambah sehingga biji menjadi keropos dan akhirnya mati, semuanya dapat
dibasmi dengan cara memisahkan tanaman yang terserang penyakit. Namun hal ini harus
dilakukan sejak dini sebelum penyakit menyebar ketanaman yang da disekitarnya.
f) Selain bakteri dan jamur, dalam kondisi yang sehat, tumbuhan dapat terserang oleh virus.
Penyakit yang disebabkan oleh virus cukup berbahaya karena dapat menular dan menyebar ke
seluruh tumbuhan dengan cepat. Tumbuhan yang sudah terlanjur diserang sulit untuk
disembuhkan. Penanaman menggunakan bibit unggul akan membantu tanaman untuk bertahan
dari segala penyakit tanaman.
g) Mengusahakan tanaman selalu dalam kondisi prima atau sehat dengan cara tercukupi
segala kebutuhan zat haranya, sebagia salah satu cara menghindarkan tanaman dari penyakit
h) Memperhatikan tumbuhan sesering mungkin sehingga penyakit dapat terdeteksi sedini
mungkin.
Adapun pengendalian hama dan penyakit secara biologis yaitu pada beberapa kasus
seperti:
a) membasmi hama tikus dengan menggunakan musuh alami tikus, yaitu ular, elang, dan lain-
lain.
b) Pengandalian hayati hama wereng dengan menggunakan musuh alami nya, misalnya laba –
laba predator Lycosa Pseudoannulata, kepik Microvelia douglasi dan Cyrtorhinuss lividipenis,
kumbang Paederuss fuscipes, Ophinea nigrofasciata, dan Synarmonia octomaculata
c) Pengendalian hayati hama walang sangit dengan cara melepaskan predator alami beruba
laba – laba dan menanam jamur yang dapat menginfeksi walang sangit.
d) Memelihara burung, semua burung taman kecil berkontribusi untuk menjaga kebun Anda
dari siput dan ulat. Burung tidak cocok untuk daerah persawahan.
e) Katak dan kodok adalah pengendali yang sangat baik – terutama semut, tetapi jika Anda
meletakkan ke kebun anda, ingatlah bahwa, mereka amfibi dan memerlukan akses ke air bersih
dan lingkungan yang lembab, dan dengan kulit berpori mereka, sangat rentan terhadap bahan
kimia
f) Menanam bawang putih akan melindungi tanaman lainnya yang ada disampingnya. Hama
dari segala jenis akan menjauh. Namun Jangan tanam kacang berdekatan dengan bawang putih
g) Menanam tomat dekat dengan Basil akan mengusir cacing dan lalat.
h) Untuk melindungi kubis, kembang kol, brokoli, dan kubis Brussel dari ngengat kubis,
gunakan mint, sage, dill, dan thyme. Pengecualian, Jangan dekatkan tanaman kubis dengan
stroberi.
Pada dasarnya akan ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melindungi tanaman anda dari
hama dan penyakit tanaman tanpa harus menggunakan Pestisida. Gunakan Pestisida sebagai cara
terakhir untuk membasmi hama dan penyakit tanaman. Serta patuhi tata cara penggunaan
pestisida itu sendiri.
STATUS PENYAKIT PADA TANAMAN NILAM DAN TEKNOLOGI
PENGENDALIANNYA
Oleh: S u k a m t o, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jl. Tentara Pelajar No.
3 Bogor 16111
ABSTRAK
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) cukup penting peranannya diberbagai daerah
produksi, sehingga animo masyarakat untuk berusahatani nilam tetap tinggi. Akhir-akhir ini
terjadi outbreak penyakit budok, layu bakteri atau nematoda di daerah sentra produksi di Jawa
dan Sumatera. Berbagai macam jenis penyakit dapat menyerang, tetapi terdapat 3 jenis penyakit
yang merugikan secara ekonomis yaitu 1) penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum, 2) penyakit budok/buduk yang disebabkan jamur Synchtrium sp. dan 3)
penyakit daun kuning atau daun merah yang disebabkan oleh nematoda parasit Pratylenchus spp
(Pratylenchus coffeae, P. brachyurus), Meloidogyne spp. (Meloidogyne incognita, M. hapla) dan
Radopholus similis. Selain itu, kini penyakit yang disebabkan oleh virus dengan gejala mosaik
dan klorotik tampaknya mulai sering muncul pada pertanaman maupun bibit nilam dan
tampaknya berpotensi akan menjadi kendala dalam produksi nilam dimasa datang. Perbanyakan
tanaman nilam yang dilakukan secara vegetatif juga akan sangat mempermudah penyebaran
penyakit bila tidak dilakukan dengan hati-hati pada penggunaan kebun induk sebagai sumber
benih. Pengelolaan penyakit perlu dilakukan secara terpadu dengan mengetahui jenis penyebab
penyakit, dan menentukan teknik pengendalian yang tepat. Pengendalian penyakit dilakukan
sejak penyiapan bahan tanaman, persemaian, dilapang sampai masa panen. Beberapa teknik
pengendalian penyakit pada tanaman nilam dapat dilakukan secara mekanis, biologi, penggunaan
pestisida nabati, dan kimiawi.
PENDAHULUAN
Minyak nilam merupakan salah satu komoditi minyak atsiri andalan Indonesia, setiap tahun
Indonesia memasok 70-90% kebutuhan dunia. Sebagai komoditi ekspor, minyak nilam
mempunyai prospek yang baik karena dibutuhkan secara kontinyu dalam industri parfum,
kosmetik, sabun dan lain-lain. Hal ini telah menimbulkan minat petani untuk mengembangkan
tanaman secara. Daerah-daerah sentra produksi nilam di Indonesia semula terbatas di Propinsi
DI. Aceh (Tapaktuan, Sidikalang, Lhokseumawe), Sumatera Utara (Dairi, Pakpak Bharat) dan
Sumatera Barat (Pasaman), kemudian saat ini berkembang ke beberapa daerah lainnya, seperti
Lampung, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat (Sukabumi), Jawa Tengah (Purwokerto), Kalimantan
Timur (Kutai Timur), Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat.
Namun dalam pengembangannya, banyak kendala yang diantaranya adalah adanya serangan
beberapa penyakit. Pengembangan areal pertanaman nilam ke luar daerah/propinsi bahkan pulau
salah satunya disebabkan adanya endemik penyakit di daerah produksi sebelumnya. Sentra
produksi nilam di Indonesia pada mulanya terdapat di Propinsi Aceh, Sumut dan Jabar. Akibat
penyakit yang berjangkit didaerah tersebut, maka tanaman nilam berkembang ke Sumbar. Begitu
seterusnya, penyakit tersebut terus berkembang dan menyebar keluar daerah, propinsi dan
bahkan pulau ditempat dimana nilam dibudidayakan. Berbagai macam jenis penyakit dapat
menyerang, tetapi terdapat 3 jenis penyakit yang merugikan secara yaitu : 1) penyakit layu
bakteri yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum, 2) penyakit budok/buduk yang
diduga disebabkan oleh jamur dan 3) penyakit daun kuning atau daun merah yang disebabkan
oleh nematoda parasit Pratylenchus spp (Pratylenchus coffeae, P. brachyurus), Meloidogyne spp.
(Meloidogyne incognita, M. hapla) dan Radopholus similis (Djiwanti dan Momota, 1991;
Mustika et al. 1995). Selain itu, kini penyakit virus mosaik dan klorotik tampaknya mulai sering
muncul pada pertanaman maupun bibit nilam. Tulisan inimencoba memberikan informasi
tentang penyakit-penyakit nilam yang dapat berpotensi menjadi kendala dalam budidaya nilam,
status perkembangan dan status teknologi pengendaliannya.
Gambar 1. Gejala serangan penyakit: a) layu bakteri, b) nematoda, c) budok dan d) virus
Penyebab penyakit layu pada tanaman nilam adalah bakteri Ralstonia solanacearum. Penyakit ini
sering timbul terutama karena terbawa oleh benih yang telah terkontaminasi atau pada tanaman
nilam yang ditanam pada kebun yang sudah terkontaminasi/lahan bekas serangan penyakit layu.
Penyakit layu bakteri sudah lama ditemukan pada tanaman nilam di D.I. Aceh (sejak ± 35 tahun
yang silam). Selanjutnya penyakit ini menyebar ke pertanaman nilam di Sumatera Barat (Asman
et al., 1998). Pada tahun 2007, penyakit ini sudah banyak dilaporkan terdapat di Jawa dan di
Kalimantan. Gejala serangan penyakit layu bakteri adalah sebagai berikut : Kelayuan terjadi
pada tanaman muda dan tua (dari cabang ke cabang secara tidak teratur) (Gambar 1a). Tanaman
akan mengalami kelayuan dalam waktu 2 – 5 hari setelah terinfeksi. Pada saat bersamaam ada
cabang yang layu dan sehat, pada perkembangan lebih lanjut seluruh bagian tanaman layu dan
mati. Pada tanaman berumur 1 -3 bulan kematian terjadi 6 hari setelah terlihat gejala serangan.
Pada tanaman berumur 4 -5 bulan kematian terjadi 1 -2 minggu setelah gejala terlihat. Jaringan
batang dan akar tanaman yang terserang membusuk sedang kulit akar sekundernya mengelupas.
Irisan melintang batang terserang memperlihatkan warna hitam sepanjang jaringan yang layu
sampai kambium. Bila cabang yang layu dipotong akan tampak lendir seperti susu, begitu pula
bila direndam di dalam air bersih.
Nematoda menyerang akar tanaman nilam, kerusakan akar menyebabkan berkurangnya suplai air
ke daun, sehingga stomata menutup, akibatnya laju fotosintesa menurun. Beberapa jenis
nematoda yang menyerang tanaman nilam antara lain Pratylenchus brachyurus, Meloidogyne
incognita, Radhopolus similis (Djiwanti dan Momota, 1991). Gejala serangan nematoda daun
berwarna kuning kemerahan, akar membusuk atau terdapat benjolan- benjolan akar (Gambar 1b).
Gejala kuning pada daun nilam yang terserang nematoda nampak seperti gejala kekurangan
unsur N, P, dan K.
Penyakit Budok
Penyakit budog disebabkan oleh jamur Synchytrium sp. (Sukamto et al., 2008). Penyakit tersebut
ditemukan dipertanaman nilam di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Jamur tersebut didapatkan
pada daun, tangkai daun dan batang tanaman nilam. Penyakit ini dapat merusak mutu daun
sehingga menurunkan produksi. Gejala penyakit terlihat pada batang yang membengkak,
menebal dan daun yang berkerut dan tebal, dengan daun berwarna merah keunguan (Gambar 1c).
Penyakit Budog sering muncul bersamaan dengan penyakit layu bakteri atau serangan Potyvirus
sp. Penyakit budok juga menyerang pertanaman nilam di India, dan patogen penyebabnya
diidentifikasi sebagai jamur Synchrytrium pogostemonis f.sp. patchouli. Gejala serangan awal
dapat dilihat sedini mungkin baik pada persemaian maupun di lapang, dengan ditandai adanya
benjolan-benjolan kecil pada permukaan atas dan bawah daun, serta batang. Pada serangan
lanjut, akan menghambatan pertumbuhan vegetatif sehingga rumpun tanaman tidak bertambah
besar, permukaan batang menebal, ruas batang memendek, pada ketiak cabang tumbuh tunas-
tunas berdaun keriput dan kerdil. Rumpun tanaman yang terserang pertumbuhannya terhenti,
bahkan kanopinya cenderung mengecil.
Virus
Penyakit yang disebabkan virus pada tanaman nilam belum dianggap menjadi masalah karena
tidak mematikan dan tanaman masih berproduksi. Namun serangan yang disebabkan oleh virus
dapat mengurangi produksi dan kandungan (persentasi) minyak nilam (Kadotami and Ikegami,
2002). Tanaman nilam yang terserang virus menunjukkan gejala mosaik kekuningan (Gambar
1d). Tanaman nilam di Jepang dan Brazil telah dilaporkan diserang oleh virus dari spesies
Patchouli mild mosaic virus (PaMMV) genus Fabavirus, Patchouli mottle virus (PaMoV) genus
Potyvirus, dan Patchouli virus X (PatVX) genus Potexvirus (Filho et al., 2002; Natsuaki et al.,
1994). Hasil pengujian ELISA sampel tanaman nilam dari Bogor dan Cianjur menunjukkan
reaksi positif terhadap potyvirus dan CMV (Sukamto et al., 2007).
Penanggulangan penyakit pada tanaman nilam telah dilakukan secara terpadu yaitu dengan
memanfaatkan berbagai komponen pengendalian dari penyiapan bahan tanaman,
pesemaian/pembibitan, penanaman dilapang sampai panen. Dari data yang telah terkumpul,
diketahui bahwa intensitas serangan dapat menurun dengan perlakuan teknik budidaya (pupuk
organik, mulsa), pestisida nabati, agensia hayati/musuh alami, dan pestisida/kimiawi. Beberapa
teknik pengendalian penyakit pada tanaman nilam disajikan pada Tabel 1.
Secara umum strategi pengendalian penyakit layu bakteri pada nilam dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Sanitasi dan eradikasi untuk mengurangi inokulum. Memberakan lahan yang sudah terinfeksi
bakteri selama 2-3 tahun dan mencabut tanaman terserang serta membakar atau menguburnya
b. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang bakteri layu seperti padi, jagung
c. Memperbaiki saluran drainase pada waktu curah hujan tinggi
d. Menggunakan bibit yang berasal dari tanaman sehat pada kebun yang belum terserang
penyakit layu
e. Menggunakan pestisida untuk mencegah penularan
Penyakit nematoda pada tanaman nilam dapat dikendalikan dengan cara terpadu meliputi :
a. Pemberian pupuk lengkap NPK, Urea dan TSP dengan dosis dan interval teratur (setiap bulan)
b. Pada tanah dengan pH lebih kecil dari 5.5, diberikan dolomit (CaCO3 atau MgCO3) yang
mengandung 19% MgO dan CaO dengan dosis 25-50 g/tanaman/tahun
c. Pemberian pupuk kandang (kotoran sapi, 1-2 kg/tanaman sebelum tanam dengan tujuan untuk
meningkatkan populasi mikroorganisme antagonis (musuh alami) nematoda
d. Pemberian mulsa daun akar wangi atau lalang setebal 10 cm pada saat tanam untuk
memelihara kelembaban tanah
e. Penggunaan bungkil jarak 250 g/tanaman/6 bulan sebagai bahan organik dan pestisida nabati
untuk menekan populasi nematoda.
f. Penggunaan musuh alami nematoda yaitu bakteri Pasteuria penetrans dengan dosis 2
kapsul/tanaman/6 bulan, atau jamur Arthrobotrys sp. Sebanyak 125 g/tanaman/6 bulan, untuk
menekan populasi nematoda di dalam tanah.
g. Pemberian nematisida Furadan 3G dengan dosis 3-5 g/tanaman, bakterisida (Agrimycin) 2
g/tanaman dan fungisida (Benlate) 2 g/tanaman.
Penelitian penyakit budok belum banyak dilakukan, namun beberapa hal dapat dilakukan untuk
menekan perkembangan penyakit pada tanaman nilam sebagai berikut :
a. Pengolahan tanah yang baik serta budidaya nilam secara menetap
b. Menggunakan bibit yang sehat
c. Menggunakan mulsa (jerami padi, amaps nilam atau alang-alang)
d. Pemberian pupuk kandang dan abu sekam (10 ton/ha)
e. Pengendalian secara kimia menunjukkan bahwa Synchytrium dapat dikendalikan dengan
fungisida seperti benomyl (Kusnata, 2005). Di India, fungsida dengan bahan aktif PCNB atau
bubur Bordeaux yang dicampur dengan tembaga sulfat dianjurkan untuk mencegah serangan
Synchytrium (Anonymous, 2007).
Pengelolaan penyakit perlu dilakukan secara terpadu dengan mengetahui jenis penyebab
penyakit, dan menentukan teknik pengendalian yang tepat. Pengendaliaan dengan agensia hayati
atau pestisida nabati perlu terus digali untuk mengantisipasi permintaan pasar dunia terhadap
produk nilam organik (organic patchouli). Penggunaan bahan tanaman/kebun induk yang bebas
penyakit, serta peran Karantina Pertanian perlu diperhatikan untuk pembatasan lalu lintas bahan
tanaman yang masuk ke propinsi serta daerah-daerah lain yang masih bebas penyakit
DAFTAR PUSTAKA
Asman, A.; E.M. Adhi dan D. Sitepu. 1998. Penyakit layu, budok dan penyakit lainnya serta
strategi pengendaliannya. Monograf No.5: Nilam, Balittro: 84-88.
Djiwanti, S.R. dan Y. Momota. 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli disease in
West Java. Indust. Crops Res. J. 3 (2): 31-34.
Filho PEM., Resende RDO., Lima MI., Kitajima EW. 2002. Patchouli virus X, a new potexvirus
from Pogostemon cablin. Annals of Applied Biology 141 (3): 267-274.
Kadotani N., and Ikegami M. 2002. Production of patchouli mild mosaic virus resistance
patchouli plants by genetic engineering of coat protein precursor gene. Pest management Science
58:1137-1142.
Kusnata, A. 2005. Identifikasi dan pengendalian penyakit karat palsu pada nilam (Pogostemon
cablin) dengan fungsida Thesis Pasca Sarjana, Univ Gadjah Mada.
Mustika, I., A. Rachmat S. Dan Suyanto. 1995. Pengaruh pupuk, pestisida dan bahan organik
terhadap pH tanah, populasi nematoda dan produksi nilam. Media Komunikasi Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri No. 15: 70-74
Nasrun, Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri
nilam menggunakan Pseudomonas fluorescens. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11(1): 19−24.
Sukamto, Dono Wahyuno, D., Hartono, S., Christanti. 2008. Inokulasi jamur Synchytrium sp.
pada tanaman nilam. 4 p. Seminar Pengendalian Terpadu OPT jahe dan Nilam, Bogor 4
November 2008.
Sukamto, IB. Rahardjo, and Y. Sulyo. 2007. Detection of potyvirus on patchouli plant
(Pogostemon cablin Bent.) from Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil.
Jakarta 7-9 November 2007. 72-77.