Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TEORI KEBENARAN DALAM KONTES PENDIDIKAN


Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu sesi tugas
mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dibuat oleh : Nursidik

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
KOTA TASIKMALAYA
2019

i
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ………………….................................................................................................... 1
C. Tujuan ................................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Korespondensi ....................................................................................................... 3
B. Teori Koherensi ............................................................................................................... 4
C. Teori Pragramatisme ....................................................................................................... 5
D. Teori Integralisme ........................................................................................................... 5
E. Teori
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 9

i
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫الّسالم عليكم و رحمة هللا و بركاته‬
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Teori Kebenaran Dalam Konteks Pendidikan”.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam dan yang lebih pentingnya yakni untuk menambah ilmu pengetahuan
kepada kita sebagai mahasiswa tentang ajaran dan kaidah hidup yang Islami.

Makalah ini tentunya tak luput dari kesalahan dan kekurangan, baik dari segi isinya,
bahasa, analisis maupun yang lainnya.Maka dari itu, komentar maupun kritik dan saran sangat
dibutuhkan oleh penulis untuk memperbaiki hasil karya kedepannya.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
terutama kepada dosen pembimbing bapak Doni Nugraha, M.Pd.I yang telah memberikan
bimbingan dalam pembuatan makalah ini.

‫الّسالم عليكم و رحمة هللا و بركاتهو‬


Tasikmalaya, 11 Oktober 2019
Penyususn

Nursidik

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Seandainya manusia mengerti dan
memahami kebenaran, maka, sifat asasinya yang berada didalam lubuk hati terdalam akan
terdorong untuk melaksankan kebenaran itu.
Dalam perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu pendidikan
hakikat-hakikat kebenaran sangat penting dan berperan sekali terhadap pencarian kebenaran
tersebut. Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari
pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang terus dikaji
oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini manusia akan
mengalami pertentangan batin yakni konflik pikologis.
Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan
menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris.
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat
penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Dari sini
muncullah teori-teori secara umum kebenaran seperti teori korespondensi, koherensi,
pragramatisme dan Integralisme.
Membahas tentang kebenaran tidak akan ada habisnya. Karena kebenaran sendiri
bersifat falsibilitas. Artinya akan mengalami degradasi karena adanya teori yang baru.
Sementara kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang dari Maha Yang Paling Benar.
Oleh karena itu selain menggunakan rasio penemuan kebenaran yang terakhir adalah
kebenaran yang bersumber dari wahyu.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang kami ambil berdasarkan latar belakang diatas yaitu sebagai berikut :
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teori korespondensi?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teori koherensi?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teori pragramatisme?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teori integralisme?

1
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui sekilas apa yang dimaksud dengan teori korespondensi.
2. Mengetahui sekilas apa dimaksud dengan teori koherensi.
3. Mengetahui sekilas apa dimaksud dengan teori pragramatisme.
4. Mengetahui sekilas apa dimaksud dengan teori Integralisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebenaran Korespondensi
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan
bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang
ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar
jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini
seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh
responden.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern)
mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat
diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan
dengan kenyataan yang menjadi objek, teori ini dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional
karena Aristoteles sejak awal sebelum abad modern mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai
dengan kenyataan yang diketahuinya.
Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek
yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus
didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang
benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
1. Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana
mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan.
Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar
belakang kepercayaannya masing-masing.
2. Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus
melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya
atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit
untuk dilakukan.
3. Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya
penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran
tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori
kebenaran korespondensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas
tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus
dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.

3
B. Kebenaran Koherensi
Koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi
suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.
Teori kebenaran koherensi ini digunakan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya
perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengan arti lain, teori kebenaran koherensi merupakan teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar
bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis.
Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan
bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-
pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam
aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan
sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita
menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan
yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai
sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya
terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-
pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan
pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a. Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada
suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu
kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku
mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan
kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang
berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya
karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b. Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita
juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak
sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan
atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk
dipertanggungjawabkan.

4
C. Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Kata
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat
dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama
William James di Amerika Serikat.
Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran
atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan manusia.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang
memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi
itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu
berlaku atau memuaskan.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah
yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah
“berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran
yang tetap atau mutlak.

D. Kebenaran Integralisme
Sebelum mengenal integralisme ada baiknya kita melihat dulu sejarah munculnya integralisme.
sejarah munculnya integralisme tidak terlepas dari dikotomi ilmu pengetahuan. dikotomi ilmu
pengetahuan itu adalah masalah yang selalu diperdebatkan dalam dunia Islam, mulai zaman
kemunduran Islam sampai sekarang. Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai konsep yang holistis.
Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai.
Selanjutnya jika dikaji lebih lanjut bagaimana Islam memandang ilmu pengetahuan maka akan
ditemui bahwa Islam mengembalikan kepada fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan. Dalam
Al-Qur‘an banyak ditemukan ayat yang menjelaskan tentang sains, dan mengajak umat Islam untuk
mempelajarinya. Seperti dikutip dalam al-qura’an surat Al-Alaq ayat 1-5

5
‫) اْقَر ْأ َو َرُّبَك اَأْلْك َر ُم‬2( ‫) َخ َلَق اِإْل ْنَس اَن ِم ْن َع َلٍق‬1( ‫اْقَر ْأ ِباْس ِم َر ِّبَك اَّلِذ ي َخ َلَق‬
(3) )5( ‫) َع َّلَم اِإْل ْنَس اَن َم ا َلْم َيْع َلْم‬4( ‫اَّلِذ ي َع َّلَم ِباْلَقَلِم‬
Yang artinya :

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,


2. Dia telah menciptakan manusia dari 'Alaq,
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah,
4. Yang mengajar manusia dengan pena,
5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya,

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur‘an adalah sumber ilmu pengetahuan . al-Qur‘an diturunkan
bagi manusia sebagai pedoman bagi manusia dan petunjuk dalam menganalisis setiap kejadian di
alam ini yang merupakan inspirasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara historis dapat diketahui bahwa dunia Islam pernah menggapai kejayaan dan
kemegahan yang ditandai dengan maraknya ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga menjadi
mercusuar baik di Barat maupun di Timur. Pada abad pertengahan, telah bermunculan para saintis
dan filsuf caliber dunia di berbagai lapangan keilmuan. Dalam bidang fikih terdapat Imam Malik,
Imam Syafi‘I, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah, dalam bidang filsafat muncul Al-Kindi, Al-
Farabi, dan Ibnu Sina, sedang dalam bidang sains muncul Ibnu Hayyan, Al-Khawarizmi dan Al-
Razi.2 Para filsuf dan saintis muslim tersebut tidak pernah mengaggap ada dikotomi ilmu
pengetahuan dan agama. Mereka meyakini ilmu pengetahuan dan agama sebagai suatu totalitas dan
integralitas Islam yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Namun, nampaknya masih ada anggapan yang sangat kuat dimasyarakat muslim bahwa
agama dan ilmu adalah dua hal yang tidak bisa dijodohkan, karena dianggap masing-masing punya
sumber yang berbeda, di mana agama berasal dari wahyu Ilahi yang suci dan abadi, sehingga
pengamalan agama lebih diutamakan karena menjadi penentu di kehidupan ukhrawi. Sedangkan
ilmu pengetahuan berasal dari penalaran akal, yang kedudukannya lebih rendah dari wahyu,
sehingga menguasainya adalah kefanaan. Sehingga munculah istilah dikotomi agama dan sains.

Tidak hanya di dunia islam saja dikotomisasi pada hakikatnya merupakan upaya pembagian atas
dua konsep yang saling bertentangan. Dikotomisasi pengetahuan ini muncul bersamaan atau
beriringan dengan masa renaissance di Barat. Sebelumnya, kondisi sosio-religius maupun sosio-
intelektual di Barat dikendalikan gereja. Ajaran- ajaran kristen dilembagakan dan menjadi penentu
kebenaran ilmiah. Semua temuan ilmiah bisa dianggap sah dan benar bila sesuai dengan doktrin-
doktrin gereja. Sebaliknya, bila temuan -temuan ilmiah yang tidak sesuai atau bertentangan dengan

6
doktrin tersebut harus dibatalkan demi supremasi gereja. Maka tidak jarang kemudian, banyak para
ilmuwan yang tetap mempertahankan kebenarannya, menjadi korban kekejaman gereja. Untuk
merespon hal tersebut, para ilmuwan mengadakan koalisi dengan raja untuk menumbangkan
kekuasaan gereja. Usaha tersebut berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja, kemudian muncul
Renaissance. Masa Renaissance ini melahirkan sekulerisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat)
dan dari sekulerisasi ini lahirlah dikotomisasi pengetahuan. Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan
penulis memadang dari perspektif seorang filsup islam asal indonesia Armahedi Mahzar, seorang
iteknosof dan pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa Islam sendiri telah memiliki konsep
kesepaduan. Konsepsi kesepaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan
muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam,
kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung
perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau Al-Hikmah
Al-Wahdatiyah.27

Dalam intergralisme Islam terdapat kesatuan hierarkis yang disebut Armahedi Mahzar sebagai
integralitas. Integralitas mempunyai dua sumbu yang saling tegak lurus yaitu:
1. Sumbu vertikal
disebut Sumbu vertikal sebagai dimensi-dimensi internalitas, mempunyai lima dimensi,
yaitu materialitas, energisitas, informasitas, normativitas, dan originitas yang secara
popular dikenal dengan dimensi-dimensi materi, energy, informasi, nilai dan sumber atau
yang oleh Imam Al-Ghazali disebut jism, nafs, ‘aql, qalb, dan ruh.
Yang jelas jal-jala integralitas itu sebenarnya lebih mudah dipahami oleh seorang
muslim, soalnya dimensi-dimensi vertical dalam tataran individu bersesuaian dengan
tingkat-tingkat kesadaran yang dalam tradisi tasawuf, sebagai implimentasi dari ihsan,
diidentifikasi denga jism, nafs, ‘aql, qalb, dan ruh individu.
2. Sumbu horizontal
disebut sebagai dimensi-dimensi ekstrnal. eksternalitas mempunyai dimensi-dimensi yang
bermula dari manusia sebagai individualitas atau mikrokosmik, masyarakat sebagai
sosialitas atau mesokosmis, alam semesta sebagai naturalitas atau makrokosmis, dan
berakhir pada Tuhan sebagai metakosmis.
Dimensi horizontal dalam tataran sumber, teridentifikasi dengan keempat rukun
iman tentang Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul, sedangkan dimensi-
dimensi horizontalitas dalam tataran materi mencerminkan rukun-rukun iman kelima dan
keenam, yaitu iman akan hari kiamat dan akhirat, serta iman tentang takdir Ilahi yang
dicerminkan oleh perjalanan hidup manusia dari dunia kembali ke haribaan Ilahi di akhirat

7
Sementara itu dimensi-dimensi horizontal yang menghubungkan individu dan peradaban melalui
lima tahap mencerminkan rukun Islam yang lima sebagai intisari proses islamisasi peradaban yang
disebut Armahedi dengan tazkiyah al- madaniyah yang selalu diawali dengan tazkiyah al-nafsi
yaitu proses islamisasi individu. Proses ini dimulai dengan tazkiyah al-nafsi yang intinya adalah
tauhid dengan mengucapkan kalimat syahadat, diikuti tazkiyah al-jamaati atau islamisasi kelompok
yang intinya dicerminkan oleh perintah shalat. Kemudian proses ini diikuti oleh islamisasi
masyarakat atau tazkiyah al-ijtima’i yang intinya dicerminkan oleh perintah shaum. Lalu diikuti
pula oleh perintah zakat yang merupakan inti dari islamisasi peradaban global.

E. Teori Pendidikan Islam


Ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang
wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur hidup sejak dari buaian
hingga ke liang lahat. Kedudukan hukum tersebut secara tidak langsung telah
menempatkan pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan
kehidupan umat manusia, dalam hal ini hubungannya antara manusia dengan Tuhannya,
hubungannya antara manusia dengan alam, dan hubungannya antara manusia dengan
manusia lain.
Berikut ini akan membahas mengenai Pendidikan Islam sebagai Ilmu yang meliputi
Tinjauan Teori Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi :
a) Ontologi Pendidikan Islam
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud
dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang
ada. Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan yang
tidak nampak (metafisis). Metafisika sebagai cabang filsafat mengenai kenyataan (realitas) berusaha
mencari hakikat sesuatu. Karena usahanya mencari hakikat, maka timbullah ilmu-ilmu keagamaan atau
ketuhanan, dan yang berhubungan dengan masalah apa. Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat
substansi dan pola organisasi pendidikan Islam.
Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk berakal
dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai
usaha pengembangan diri manusia, dijadikan alat untuk mendidik. Kajian ontologi ini tidak dapat
dipisahkan dengan Sang Pencipta. Allah telah membekalkan beberapa potensi kepada kita untuk
berfikir. Pertanyaan selanjutnya apakah sebenarnya hakekat pendidikan Islam itu? Apakah pendidikan
mesti diadakan dan diyakini sebagai sesuatu hal yang penting bagi hidup manusia?
Tiga kata kunci tentang pendidikan Islam yaitu :
1. Ta’lim, kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Mengacu
pada pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap segenap nama-nama atau

8
benda ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai
Ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
2. Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb, mengandung arti memelihara, membesarkan dan
mendidik yang kedalamannya sudah termasuk makna mengajar.
3. Ta’dib, Syeh Muhammad Naquib al-Attas mengungkapkan istilah yang paling tepat untuk
menunjukan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan
dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan Islam ditujukan pada terbentuknya
kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni menjadi Pengabdi Allah.

b) Epistemologi Pendidikan Islam


Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Dengan kata
lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik,
atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan. Dunia manusia nyaris selalu menjadi dunia pendidikan.
Dalam pengertian ini, dunia senantiasa mengakui pendidikan adalah sesuatu hal yang penting. Hal ini
didasarkan pada beragam tujuan nilai, termasuk salah satunya yang utama adalah tujuan-tujuan etis:
untuk membuat manusia manjadi lebih baik. Pandangan ini kemudian dilengkapi dengan berbagai
penjelasan bahwa pendidikan kemudian mempercayai instrument utama guna mendidik manusia.
Pendidikan mempercayai bahwa dengan membuat manusia menjadi berpengetahuan akan menjadi baik.
Dari pendapat tersebut, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa tanpa pengetahuan, dunia manusia
tidak akan pernah sungguh-sungguh mampu berdiri menjadi dunia.
Sebaliknya ia akan menjadi ruang lengang, tempat ribuan pasang mata hidup dalam situasi yang
begitu mati dan tanpa nyala apapun. Hanya saja sepanjang itu kita nyaris tidak pernah menelisik lebih
jauh dan mencoba kritis, dengan bertanya benarkah pengetahuan dapat membuat manusia menjadi baik?
Benarkah pengetahuan dapat membentuk manusia menjadi spesies yang bermoral? Jika memang
pengetahuan mampu melakukan keajaiban itu, apa sebenarnya yang dimiliki oleh pengetahuan hingga
ia dapat mengubah manusia yang jahat menjadi manusia baru yang baik? Epistemologi disebut juga
sebagai teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh
pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Menyimak dari pernyataan tersebut maka
dalam pendidikan Islam harus mengetahui pendekatan dan metode yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan.
Dengan demikian kita juga harus mengetahui metode yang dapat digunakan untuk membangun
pengetahuan tentang pendidikan Islam diantaranya sebagai berikut:

9
a. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan
menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti
sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini
berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
b. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi
ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan ada
kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan
pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangkap
pengembangan pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan “cinta”
atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
c. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun
pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan
antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.
d. Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini
pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam
dengan pendidikan lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan
maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari
permasalahan pendidikan.
e. Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam
degnan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan,
kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya.
Manusia yang pada mulanya hidup dengan pola apa adanya, karena pengetahuan, kemudian memulai
hidupnya dengan cara serta kesadaran-kesadaran baru. Meskipun di era-era awal peran pengetahuan
berkisar pada aspek-aspek yang begitu pragmatis, terkait dengan berbagai pengubahan sisi pragsis
keberkangsungan hidup semata, lahirnya pengetahuan telah menjadi era baru yang sepenuhnya berbeda
dari sebelumnya. Dalam fashion misalnya, manusi pada mulanya hidup seperti binatang tanpa pakaian
apapun, di era ini mulai mengalami gejala fashion, tertarik menggunakan pakaian-pakaian ala kadarnya.
Dalam pemikiran manusia yang baru inilah munculah pengetahuan-pengatahun baru, yang dapat
bermanfaat bagi perkembangan manusia menjadi lebih baik.

10
c) Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau
wajar dan logos yang berarti ilmu.Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang masalah
nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan
(estetika).
Menurut Notonegoro, nilai dibedakan menjadi tiga macam, yaitu nilai material, nilai vital, dan nilai
kerohanian.

1. Nilai material adalah segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau
kebutuhan ragawi manusia.
2. Nilai vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
3. Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian meliputi:
4. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia;
nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan manusia;
5. Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa) manusia;
6. Nilai religius (agama) yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak yang bersumber
pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Didalam ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami, sesuai
dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan
target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum
pendidikan Islam, diantaranya:

 Mengandung petunjuk Akhlak


 Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi dan kebahagiaan di
akherat.
 Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.
 Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.
Tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. Dengan
pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga
bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan ummat manusia secara keseluruhan. Meraih
kebahagiaan dunia dan akherat.

11
Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi menjadi tiga tujuan mendasar,
yaitu:

1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan
intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah orang lain yang
membutuhkannya.
2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan emosional, sehingga
tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah
dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan mengejawantahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah
puasa, menunaikan zakat, dan menunaikan haji ke Baitullah.
Memberi label “penting “ pada sesuatu hal tentu saja bukan sesuatu hal yang sulit dilakukan, terutama
jika pemberian itu dilakukan tanpa pertimbangan etika. Kita bahkan dapat memberi label “ penting”
padahal yang paling sepele dan paling remeh atau sebaliknya memberi label pada sesuatu hal yang
teremeh sebagai sesuatu hal yang kemudian dianggap penting. Dalam pemberian label ini kualifkasi
apapun sesungguhnya tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau tanpa didasarkan pada
pemahaman-pemahaman menyeluruh dan mendasar pada kualitas-kualitas situasi-situasi yang meliputi
sesuatu yang dikualifikasikan tersebut.
Dalam pengertian ini jika kita menganggap sesuatu hal sebagai sesuatu yang demikian, secara serta
merta kita mesti pula telah memahami dengan baik apa, mengapa, dan bagaimananya suatu hal tersebut
dapat kita anggap sebagai sesuatu hal yang begitu penting. Hal ini tidak hanya berlaku pada satu hal,
tetapi berlaku pada apapun, termasuk salah satunya pada pendidikan.

12
BAB III
KESIMPULAN

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Seandainya manusia mengerti dan


memahami kebenaran, maka, sifat asasinya yang berada didalam lubuk hati terdalam akan
terdorong untuk melaksankan kebenaran itu.
Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan
menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-
pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran
rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Dari sini muncullah
teori-teori secara umum kebenaran antara lain :
a. Teori Korespondensi
Kebenaran atau suatu pernyataan-pernyataan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta yang ada dialam dan teori ini dapat diidentifikasi
dengan Panca Indra saja.
b. Teori Koherensi
Koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi
suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya. Untaian yang
logis itu harus sistematis dan saling terikat kepada objek.
c. Teori Pragramatisme
Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat/utility. Suatu
kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan manusia.
d. Teori Integralisme.
Dalam intergralisme Islam terdapat kesatuan hierarkis yang disebut Armahedi Mahzar
sebagai integralitas. Integralitas mempunyai dua sumbu yang saling tegak lurus. Sumbu
vertikal disebut sebagai dimensi-dimensi internalitas, sedangkan sumbu horizontal disebut
sebagai dimensi-dimensi ekstrnal. Internalitas mempunyai lima dimensi, yaitu materialitas,
energisitas, informasitas, normativitas, dan originitas yang secara popular dikenal dengan
dimensi-dimensi materi, energy, informasi, nilai dan sumber atau yang oleh Imam Al-Ghazali
disebut jism, nafs, ‘aql, qalb, dan ruh.

13
e. Teori Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai Ilmu yang meliputi Tinjauan Teori Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi :
1. Ontology
dalam pendidikan Islam terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau
teori tentang wujud hakikat yang ada meliputi substansi dan pola organisasi pendidikan Islam.
2. Epistemologi
dalam pendidikan Islam Epistemologi berasal dari kataepisteme yang berarti pengetahuan
dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan
dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang
menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan
keilmuan dalam pendidikan Islam.
3. Aksiologi
dalam Pendidikan Islam sebagai suatu pemikiran tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai
tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika).

14
DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri [2004] Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer], Jakarta : Yayasan Sinar Harapan
W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

15

Anda mungkin juga menyukai