Anda di halaman 1dari 26

HAKIKAT MANUSIA DALAM KONTEKS PENDIDIKAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Doni Nugraha M.Pd.I

Disusun Oleh:

Asep Zidan Bulkini


NIM : 1605041

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TASIKMALAYA
TASIKMALAYA
2019
K AT A P E N G A N T A R

Puji dan syukur saya panjatkan kehadlirat Alloh SWT yang melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini
dengan baik dan lancar. Kesejahtraan dan keselamatan semoga dilimpahkan
kepada Nabi yang berakhlak mulia yaitu Nabi Besar Muhammad SAW, begitu
pula kepada seluruh keluarga, sahabatnya, dan kita semua, amin.
Pembuatan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Tentu saja pembuatan makalah ini jauh dari
kesempurnaan, hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang saya miliki
serta minimnya referensi yang didapatkan.
Terlepas dari itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
teman-teman saya atas bantuan dan dorongan dalam pembuatan makalah ini,
semoga mendapat imbalan yang setimpal dari Alloh SWT.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amin.

Tasikmalaya, 02 Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujaun Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN

A Hakikat Fitrah Manusia


B Manusia sebagai Kholifatullah dan Abdullah
C Manusia sebagai Makhluk Indivudu Sosial Kebudayaan dan
Spiritual

BAB III PENUTUP

A Kesimpulan

B Saran-saran

DAFTAR PUSTAKA.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Selain
menyembah Allah SWT, tugas manusia adalah mengelola alam beserta isinya. Dalam
menjalankan peran dan fungsinya itu, manusia diberikan bekal berupa potensi atau fitrah.
Oleh karena itu manusia harus mampu menggunakan potensi itu agar pengelolaan bumi,
alam, dan kekayaan yang ada di dalamnya, dapat berjalan sesuai dengan irodat Allah SWT.
Bekal potensi yang dimiliki oleh manusia berupa kelengkapan jasmaniyah (fisiologis)
dan bekal ruhaniah (psikologis). Secara fisik manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan
dengan bentuk sebaik-baiknya. Firman Allah dalam Surrat At-Tiin ayat 4 yang
artinya: “Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.” Jika
diperbandingkan dengan makhluk-makhluk kasat mata lainnya, seperti hewan dan tumbuh-
tumbuhan, manusia memiliki bentuk yang paling baik. Keindahan itu masih dilengkapi
dengan akal dan budi yang sengaja diberikan oleh Allah agar manusia bisa
menjadi khalifah di muka bumi.
Bekal akal dan budi yang dimiliki manusia, merupakan potensi yang paling penting
dalam kehidupan manusia. Potensi itu juga yang dapat menentukan level kualitas dan
kemuliaan manusia. Secara fisik, bisa jadi tidak semua manusia memiliki bentuk yang
sempurna. Tetapi, akal dan budi yang dimiliki oleh manusia dapat melengkapi sehingga ia
bisa tetap menjalankan peran dan fungsinya sebagai khalifah. Sebaliknya bentuk fisik yang
sempurna tidak menjamin seseorang menjadi manusia yang mulia. Apalagi jika akal dan
budinya tidak baik atau tidak selaras dengan tujuan penciptaannya. Oleh karena itu,
keterpaduan dalam menggunakan dua macam potensi itu sangat diperlukan, agar manusia
benar-benar menjadi makhluk Allah SWT yang mulia dihadapanNya.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalah yang akan di rumusakan dalam makalah yang berjudul Hakikat
Manusia dalam Konteks Pendidikan adalah

1 Apa hakikat fitrah manusia ?


2 Bagaimana manusia sebagai kholifullah dan abdullah ?
3 Bagaimana manusia sebagai makhluk individu, sosial, kebudayaan,dan spiritual ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan yang kami lakukan dalam penulisan makalah yang berjudul
Hakikat Manusia dalam Konteks Pendidikan ini untuk dijadikan penjelasan adalah :
1. Untuk menjelaskan hakikat fitrah manusia
2. Untuk menjelaskan manusia sebagai kholifatullah dan abdullah
3. Untuk menjelaskan manusia sebagai makhluk individu, sosial, kebudayaan, dan
spiritual

2
BAB II
PEMBAHASAN

A Hakikat Fitrah Manusia

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt.
Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas
mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal
dari tanah.
Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung
metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari.
Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk
berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki prilaku interaksi
antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan social (superego). Di dalam diri
manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).
Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia
mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa
jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang
alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang Nampak
saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses
pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek.
Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia
berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi
secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif
mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak
tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan
sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.
Dalam al-quran istilah manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan makna
manusia, akan tetapi memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar, insan dan al-nas.
Kata basyar dalam al-quran disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : innama anaa basyarun
mitlukum (sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Kata basyar selalu
dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung kering
(al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), manusia makan dan minum (al-mu’minuum : 33).

3
Kata insan disebutkan dalam al-quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5),
yaitu allamal insaana maa lam ya’ (dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).
Konsep islam selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai
makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah
makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-zumar : 27 walakad dlarabna linnaasi
fii haadzal quraani min kulli matsal (sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia dalam
al-quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia
sebagai makhluk social atau secara kolektif.
Dengan demikian al-quran memandang manusia sebagai makhluk biologis,
psikologis, dan social. Manusia sebagai basyar, diartikan sebagai makhluk social yang tidak
biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau makhluk lain.
Sebenarnya maniusia itu terdiri dari 3 unsur yaitu:
1. Jasmani.
Terdiri dari air, kapur, angin, api dan tanah.
2. Ruh
Terbuat dari cahaya (nur). Fungsinya hanya untuk menghidupkan jasmani saja.
3. Jiwa (an nafsun/rasa dan perasaan.
Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi yaitu kelengkapan yang diberikan pada
saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat di kelompokkan pada dua hal
yaitu potensi fisik dan potensi rohania.
Ibnu sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia adalah
makhluk social dan sekaligus makhluk ekonomi. Manusia adalah makhluk social untuk
menyempurnakan jiwa manusia demi kebaikan hidupnya, karena manusia tidak hidup
dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain manusia baru bisa mencapai kepuasan
dan memenuhi segala kepuasannya bila hidup berkumpul bersama manusia.
Secara etimologi fitrah berasal dari kata fathara yang artinya ‘menjadikan’, secara
terminologi fitrah adalah mencipta/menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan
merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Menurut Shanminan Zain (1986) bahwa
fitrah adalah potensi laten atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia
dibawah sejak lahir. Menurut Al Auzal (1976) fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan
rohani. Menurut Ramayulis : fitrah adalah : kemampuan dasar bagi perkembangan manusia
yang dianugrahkan oleh Allah SWT yang tidak ternilai harganya dan harus dikembangkan
agar manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
4
Dalam Al-Qur’an, dalam surat Ar-Rum ayat 30 dijelaskan, yaitu :
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai
dengan kecenderungan asli) itulah fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia diatas fitrah
itu tak ada perubahan atas fitrah ciptaannya. Itulah agama yang lurus namun kebanyakan
mereka tidak mengetahuinya.”
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa fitrah adalah suatu perangkat yang diberikan
oleh Allah yaitu kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkarya yang disebut
dengan potensialitas dan manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling tinggi, yaitu
memiliki struktur jasmaniah dan rohaniah yang membedakannya dengan makhluk lain.
Jadi menurut permakalah fitrah adalah suatu kemampuan dasar yang ada pada tiap-tiap
diri manusia yang perlu dikembangkan untuk mencapai perkembangan yang sempurna
melalui bimbingan dan latihan.
Makna fitrah menurut Hasan Langgulung (1986 : 5) menyatakan bahwa, ketika Allah
menghembuskan/meniupkan ruh pada dirinya manusia (pada proses kejadian manusia secara
fisik maupun nonfisik) maka pada saat itu pula manusia (dalam bentuk sempurna)
mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan yang tertuang dalam Al-Asmahusna. Hanya saja
kalau Allah serba maha, sedangkan manusia hanya diberi sebagiannya, sebagian sifat-sifat
ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang disebut
fitrah.
Misalnya, Al-Alim (maha mengetahui), manusia hanya diberi kemampuan untuk
mendapatkan pengetahuan. Al-Rahman dan Al-Rahim (maha pengasih maha penyayang)
manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi dan menyayangi, Al-Afuw Al-Ghafar
(maha pema’af maha pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk mema’afkan dan
mengampuni kesalahan orang lain. Al Khalik (maha pencipta) manusia juga diberi
kemampuan untuk mengkrerasikan sesuatu, membudayakan alam.

Allah SWT telah menciptakan manusia di dunia kecuali bertugas pokok untuk
menyembah khaliknya, juga bertugas untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan yang
terdapat di bumi agar mereka dapat hidup sejahtera dan makmur lahir batin. Untuk
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah Allah membekali manusia dengan seperangkat
potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal. Sehingga dapat diwujudkan
dalam bentuk konkrit, dalam artian berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermanfaat

5
bagi dirinya, masyarakat dan lingkungan. Sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya
sebagai khalifah.

Walaupun berfikir dan bernalar diakui sebagai salah satu kemampuan dasar manusia,
namun kemampuan untuk menemukan jalan kebenaran tidaklah mutlak tanpa petunjuk Ilahi,
pikiran dan penalaran dalam perkembangannya memerlukan pengarahan dan latihan yang
bersifat kependidikan yang sekaligus mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya dalam
pola keseimbangan dan keserasian yang ideal.
Oleh karena itu pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada pengajaran. Dimana
orientasinya hanya kepada intelektualisasi penalaran, tetapi lebih menekankan pada
pendidikan dimana sasarannya adalah pembentukan kepribadian yang utuh dan bulat maka
pendidikan Islam pada hakekatnya adalah menghendaki kesempurnaan kehidupan yang
tuntas sesuai dengan firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an yang Artinya : “Wahai orang
mukmin, masuklah ke dalam Islam secara total menyeluruh dan berkebulatan. (QS. Al-
Baqarah : 208)

Adapun macam-macam fitrah manusia;


1. Potensi Fisik (Psychomotoric)
Merupakan potensi fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya
untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.

2. Potensi Mental Intelektual (IQ)


Merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya : untuk merencanakan
sesuatu untuk menghitung, dan menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.

3. Potensi Mental Spritual Question (SP)


Merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia
yang berhubungan dengan jiwa dan keimanan dan akhlak manusia.
6
4. Potensi Sosial Emosional
Yaitu merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya mengendalikan
amarah, serta bertanggung jawab terhadap sesuatu.

Adapun hubungan Fitrah dangan pendidikan yaitu:


Sebelum kita melihat hubungan fitrah dengan pendidikan maka dilihat dulu dari segi
pengertian.

1. Fitrah adalah : kemampuan dasar yang ada pada diri seseorang yang harus
dikembangkan secara optimal.
2. Pendidikan adalah : usaha sadar orang dewasa untuk mengembangkan kemampuan
hidup secara optimal, baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat serta
memiliki nilai-nilai religius dan sosial sebagai pengarah hidupnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan fitrah dengan pendidikan adalah potensi yang
ada atau kemampuan jasmani dan rohaniah yang dapat dikembangkan tersebut. Pendidikan
merupakan sarana (alat) yang menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-
kemampuan tersebut untuk mencapainya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda
yang artinya : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya yang
menjadikan dirinya beragama Yahudi atau Nasrani dan Majusi”
Keutuhan terhadap pendidikan bukan sekedar untuk mengembangkan aspek-aspek
individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga mengarahkan perkembangan kemampuan
dasar tersebut kepada pola hidup yang ukhawi. Oleh karena itu diperlukan atau keharusan
pendidikan.

Dengan demikian proses pendidikan Islam demi mencapai tujuan yang total, menyeluruh
dan meliputi segenap aspek kemampuan manusia diperlukan landasan falsafah pendidikan
yang menjangkau pengembangan potensi kemanusiannya, falsafah pendidikan yang demikian
itu bercorak menyeluruh dimana iman melandasarinya. Sehingga proses pendidikan yang
berwatak keagamaan mampu mengarahkan kepada pembentukan manusia yang mukmin, atau
dengan filsafat pendidikan Islam bisa memikirkan perkembangannya secara mendasar,
sistematik, dan rasional yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits agar berkembang secara
optimal dan bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.

7
Karena pendidikan yang mengarahkan ke arah perkembangan yang optimal maka
pendidikan dalam mengembangkannya harus memperhatikan aspek-aspek kepentingan yang
antara lain :

1. Aspek Pedagogis
Dalam hal ini manusia dipandang sebagai makhluk yang disebut ‘Homo Educondum’
yaitu makhluk yang harus didik. Inilah yang membedakannya dengan makhluk yang lain.
Jadi disini pendidikan berfungsi memanusiakan manusia tanpa pendidikan sama sekali,
manusia tidak dapat menjadi manusia yang sebenarnya.

2. Aspek Psikologis
Aspek ini memandang manusia sebagai makhluk yang disebut ‘Psychophyisk Netral’
yaitu makhluk yang memiliki kemandirian (selftandingness) jasmaniahnya dan rohaniah.
Didalam kemandirian itu manusia mempunyai potensi dasar yang merupakan benih yang
dapat tumbuh dan berkembang.

3. Aspek Sosiologis Dan Kultural


Aspek ini memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berwatak dan
berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.

4. Aspek Filosofis
REPORT THIS AD

Aspek ini manusia adalah makhluk yang disebut ‘Homo Sapiens’ yaitu makhluk yang
mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan.

B. Manusia Sebagai Kholifullah Dan Abdullah

1. Manusia sebagai kholifullah

Kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan
melanjutkan”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan khalifah adalah person yang
menggantikan person lain. Ini menjelaskan bagaimana kepemimpinan dalam rumusan Islam
diberi titel kahlifah. Abu Bakar r.a telah menggantikan Nabi saw setelah beliau meninggal

8
dunia, maka Abu Bakar telah disebut sebagai Khalifah Rasulullah. Dengan mengambil
contoh ini maka arti kedua, “melanjutkan” tidak dipakai dan istilah khalifah memberi
pengertian “pengganti” kedudukan Rasulullah saw.[4]
Fungsi yang kedua adalah sebagai Khalifah fi al-ard. Sedangkan sebagai khalifah, dia
harus berusaha untuk mengolah dan membudidayakan bumi ini untuk kesejahteraan umat dan
memelihara serta menjaga kelestariannya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-an’am:165;

Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ard, maka ia harus memiliki
pengetahuan berkaitan dengan tugasnya itu. Untuk itulah manusia diciptakan dilengkapi
dengan akal dan kemampuan untuk berfikir, dengan demikian ia dapat menjadi wakil Allah di
muka bumi, dengan bekal akal yang dapat di gunakan untuk mengetahui bentuk dan sifat
berbagai ciptaan Allah di muka bumi. Sebagai khalifah di muka bumi berarti sebagai wakil
Allah di bumi. Allah yang telah menciptakan bumi dan segala isinya, maka sebagai wakil
Allah tugas manuisalah untuk menjaganya.
Sebagai khalifah manusia diperintahkan untuk menjaga kelestarian dan bukan
melakukan kerusakan di muka bumi. Pengangkatan manusia sebagai khalifah ini difirmankan
Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 30;
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:” Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engaku dan
mensucikan Engkau?” Tuhaan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.[5]
Khalifah dalam ayat di atas dapat di artikan sebagai penguasa, artinya Allah
menjadikan manusia sebagai penguasa di bumi. Penguasa dalam hal ini adalah mereka yang
berhak memanfaatkan dan membuat tatanan kehidupan di muka bumi dan bertanggung jawab
atas kesejahteraan dan kelestarian alam semesta.
Manusia diciptakan sebagai khalifah adalah sebagai wakil Allah di muka bumi, Allah
yang telah menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya dan manusia sebagai khalifah
9
bertugas untuk melestarikan dan menjaganya dari kerusakan. Manusia berhak untuk menggali
manfaat yang terkandung di alam ini dan menggunakannya untuk kesejahteraan penghuni
alam semesta ini.
Sebagai seorang khalifah manusia bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan dan
kemaslahatan makhluk-makhluk Allah yang lain di bumi, baik yang bernyawa maupun tidak.
Dengan demikian manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai
karakteristik alam yang menjadi tanggung jawabnya tersebut.
Untuk dapat menjalankan tugas kekhalifahannya dengan baik, manusia memerlukan
ilmu pengetahuan alam untuk memanfaatkan alam dan menjaga kelestarianya. Fisika
merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang sangat penting untuk dipelajari,
karena mengkaji gejala-gejala alam dan karakteristik benda-benda alam.
Penguasaan terhadap Fisika menjadi sangat penting ketika manusia akan menjalankan
tugas kekhalifahannya di muka bumi. Karena sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa
manusialah yang bertanggung jawab atas kemaslahatan dan kelestarian alam ini. Untuk itu
manusia harus benar-benar mamahami karakteristik alam yang menjadi tanggung jawabnya
itu.
Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi yang membantu penemuan, perkembangan
dan pemeliharaan baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam,[6] merupakan alat bagi
manusia untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya.
Pengembangan iptek adalah satu contoh dari kesempurnaan makhluk Tuhan yang
bernama manusia.[7] Dengan menggunakan akal pikiran yang telah dianugerahkan
kepadanya, menyebabkan manusia mampu untuk mengembangkan iptek. Dengan demikian
manusia dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi secara produktif dan
matang.
Pendidikan Islam harus memperhatikan konsep abdullah dan khalifatullah ini sebagai
sesuatu yang simultan, sehingga tidak boleh diabaikan atau diberi perioritas yang satu
mlebihi yang lain, atau berat sebelah bahkan hanya terfokus kepada salah satu saja.[8]
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan
penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama,
memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan
yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).[9]
1. Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus
mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka
10
sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap
menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan
eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak
manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu
merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia
yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu
dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai
tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi.
Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai
dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).
Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi
dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang dibanding
yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk berbuat kerusakan,
hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW dimana umat para
nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum
bani Israil, seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yang
berbunyi :
Artinya : dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu:
“Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu
akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4)

Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan
fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam
yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS AL Qashash : 77)

11
2. Manusia sebagai abdullah
Manusia diciptakan dengan dua fungsi, yang keduanya harus dapat terlaksana dengan
baik, tanpa ada salah satu yang terlupakan. Fungsi pertama adalah sebagai ‘Abdullah (sebagai
hamba Allah), dan sebagai khalifatullah. Oleh karena itu, sebagai hamba Allah, maka ia harus
selalu patuh dan taat atas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya maka manusia
harus menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkang kepada-Nya. Dalam hal ini,
manusia mempunyai dua tugas yaitu: pertama ia harus beribadah kepada Allah baik dalam
pengertian sempit (shalat, puasa, haji, dsb.) maupun luas (melaksanakan semua aktifitas baik
dalam hubungan secara vertikal kepada Allah SWT maupun bermuamalah dengan sesama
manusia untuk memperoleh keridhaan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT
dan Hadist.
Sebagai seorang hamba, manusia harus melaksanakan tugas penghambaan diri kepada
Allah SWT, dalam keadaan bagaimanapun dan di manapun. Ia harus senantiasa beribadah
kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharapkan rida Allah. Ia harus selalu
menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya, sebagai wujud syukur kepada-Nya atas nikmat
yang telah diberikan.
Di dalam Al-Qur’an S. Ad-Dzariat ayat 56 disebutkan “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan untuk menyembah Ku”.[2] Ayat ini menjelaskan mengenai tujuan
utama diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk menyembah dan beribadah kepada Allah
SWT sebagai Khalik. Tujuan tersebut juga mengandung arti bahwa manusia harus senantiasa
taat dan patuh kepada segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Ini
merupakan tugas manusia sebagai seorang hamba.
Tanggung jawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki
dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi Saw dikatakan yazidu
wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).
Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggung jawab terhadap
diri sendiri. Oleh karena itu, dalam alquran dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum
naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).
Allah dengan ajaranNya Al-Quran menurut sunah rasul, memerintahkan hambaNya
atau Abdullah untuk berlaku adil dan ihsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah
adalah menegakkan keadilan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan
berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan
kemungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus
senantiasa melaksanakan shalat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan
12
kemungkaran (Fakhsyaa’i wal munkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari umat yang
senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan
mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang
senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Islam memang menghendaki keseimbangan kehidupan dunia dan ukhrawi, tidak berat
sebelah dengan mengutamakan salah satunya saja. Hal ini digambarkan oleh Firman Allah
pada surah al-Qashash: 77, yang menjelaskan bahwa kita diperintahkan mencari kebahagiaan
di akhirat dengan memanfaatkan apa yang telah dianugerahkan kepada kita berupa kekayaan
duniawi, akan tetapi jangan sampai lupa sama sekali terhadap kehidupan dunia karena kita
tinggal dan hidup di dunia ini.[3]

C. Manusia Sebagai Makhluk Individu Sosial Kebudayaan Dan Spiritual

1. Manusia sebagai Makhluk Individu


Sebagaimana Anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri.
Kesadaran manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia.
Manusia sebagai individu atau sebagai pribadi merupakan kenyataan yang paling riil dalam
kesadaran manusia. Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi,
memiliki Rene Descrates 1.8 Pengantar Pendidikan  perbedaan dengan manusia yang
lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan subjek yang otonom. Sebagai individu,
manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Setiap
manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik.
Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya,
minat dan bakatnya, dunianya, serta cita-citanya. Pernahkah Anda menemukan anak kembar
siam? Manusia kembar siam sekalipun, tak pernah memiliki kesamaan dalam
keseluruhannya. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri.
Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya
sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing mampu
menyatakan "inilah aku" di tengah-tengah segala yang ada. Setiap manusia mampu
menempati posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki, memikirkan, bebas mengambil sikap,
dan bebas mengambil tindakan atas tanggung jawabnya sendiri (otonom). Oleh karena itu,
manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek. Berkenaan dengan hal ini,
Theo Huijbers menyatakan bahwa "manusia mempunyai kesendirian yang ditunjukkan

13
dengan kata pribadi" (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983); adapun Iqbal menyatakannya
dengan istilah individualitas atau khudi (K.G. Syaiyidain, 1954).

2. Manusia sebagai Makhluk Sosial


Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati
kedudukan (status) tertentu. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan
hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama
dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran sosial pada
manusia.
Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya.
Sehubungan dengan ini, Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987). Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara
individu dengan masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: manusia takkan menemukan
diri, manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan
sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa dunia hidupku Kembar siam 
MKDK4001/MODUL 1 1.9 dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa sehingga demikian
mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu (Soerjanto P. dan K. Bertens,
1983). Sebaliknya, terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya. Masyarakat
terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan ditentukan oleh
individu-individu yang membangunnya.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh
timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara
individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek,
melainkan subjek dengan subjek. Martin Burber menyebut situasi hubungan yang terakhir itu
sebagai hubungan I-Thou (Maurice S. Friedman, 1954). Berdasarkan hal itu dan karena
terdapat hubungan timbal-balik antara individu dengan sesamanya dalam rangka
mengukuhkan eksistensinya masingmasing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara
individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.

3. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya


Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup
berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya,
kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia.

14
Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena
bersama kebudayaannya (C. A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini, Ernst Cassirer
menegaskan bahwa "manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya,
seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya,
kebudayaannya.
Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia" (C.A. Van Peursen, 1988).
Sebagaimana dinyatakan di atas, kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan
eksistensi manusia, namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam
mengembangkannya, kebudayaanpun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang
mengancam eksistensi manusia. Contoh: dalam perkembangan kebudayaan yang begitu
cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis.
Martin Buber, antara lain Sekolah merupakan salah satu bentuk interaksi sosial 1.10
Pengantar Pendidikan  mengemukakan keterhukuman manusia oleh karyanya sendiri.
Manusia menciptakan mesin untuk melayani dirinya, tetapi akhirnya manusia menjadi
pelayan mesin. Demikian pula dalam bidang ekonomi, semula manusia berproduksi untuk
memenuhi kebutuhannya, tetapi akhirnya manusia tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald
Gregor Smith, 1959). Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika
pada diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaharuan kebudayaan. Hal
ini tentu saja didukung pula oleh pengaruh kebudayaan masyarakat atau bangsa lain terhadap
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan
negatif dari kebudayaan terhadap manusia, masyarakat kadang-kadang terombang-ambing di
antara dua relasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk
lama (tradisi), sedangkan yang lain terdorong untuk menciptakan hal-hal baru (inovasi). Ada
pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan inovasi. Hal ini meliputi semua
kehidupan budaya (Ernst Cassirer, 1987).

4. Manusia Sebagai Makhluk Spiritual

Manusia adalah satu kata yang sangat bermakna dalam dimana makhluk yang sangat
sempurna dari makhluk makhluk lainya, makhluk yang sangat spesial dan berbeda dari
makhluk yang ada sebelumnya ,makhluk yang bersifat nyata dan mempunyai akal fikiran dan
nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir,mecari kebenaran,mencari Ilmu Pengetahuan,
membedakan mana yang baik atau buruk, dan hal lainya.karena begitu banyak kesempurnaan
yang di miliki manusia tidak terlepas dari tugas mereka sebagai khalifah di Bumi ini Karena

15
itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada
makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu.
Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah
itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut
mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat
seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada tantangan moral yang
saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan
jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia
berkualitas.
Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah
pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan
mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan
mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai sarana
untuk mencapai “spirituality progress”. Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima
kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling
penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau
didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian
meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat
kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada di bawahnya.

Lima (5) kebutuhan dasar Maslow – disusun berdasarkan kebutuhan yang paling
penting hingga yang tidak terlalu krusial :
a. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan,
papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil,
bernafas, dan lain sebagainya.
b. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti : Bebas dari penjajahan,
bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
c. Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga,
kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
16
d. Kebutuhan Penghargaan. Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak
lagi lainnya.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri. Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak
sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya

Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow menyadari dan menemukan adanya


kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yaitu yang disebut sebagai :
kebutuhan transcendental. Berbeda dengan kebutuhan lainnya yang bersifa horizontal
(berkaitan hubungan antara manusia dengan manusia), maka kebutuhan transcendental lebih
bersifat vertikal (berakaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Muthahhari,
Seorang filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak karya filosofis berharga– pernah
menyatakan bahwa manusia itu sejati dan senyatanya adalah sosok makhluk spiritual.
Untuk Apa Beragama ? Sebagaimana kita fahami, agama merupakan sebuah jalan
bagi manusia untuk mencari kebahagiaan. Agama menjadi pedoman dan ajaran yang dikuti
oleh banyak manusia, sebagai upaya untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang beragama pada
dasarnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan.
Menurut Karl Marx (1818-1883), seorang ahli filsafat kelahiran Jerman. Menurut
Marx, agama sebagai candu masyarakat Dalam pandangan Marx, agama memang pantas
disebut sebagai candu masyarakat karena seperti candu, ia memberikan harapan-harapan
semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya.
Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan
masalah yang sedang dihadapinya. Ketika orang sedang masuk dalam penderitaan yang
dibutuhkan tidak lain adalah candu yang dapat membantu melupakan segala penderitaan
hidup, kendati hanya sesaat saja.
Bagi Marx, agama merupakan medium dari ilusi sosial.Dalam agama tidak ada
pendasaran yang real-obyektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan
supranatural. Hal ini bisa dijelaskan dari bagaimana agama berkembang. Agama
berkembang karena diwartakan oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh
masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang didukung oleh orang-
orang yang memiliki kekuasaan itu. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari
manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena ada keasadaran dari manusia akan
pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang
memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan

17
oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni
masyarakat. (Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi?, 2003)
Pernyataan Marx bahwa agama sebagai candu masyarakat, muncul tatkala dia
mengamati realitas empiris di sekitarnya pada saat itu, dimana orang beragama dan
melakukan ritualitas karena menghindari realitas hidup yang dihadapinya dan agama
mampu meninabobokan para penganut agama tersebut. Juga masalah penyebaran agama yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh agama untuk melanggengkan kekuasaan bisa dimaklumi, karena
memang demikian kenyataan saat itu. Dan ini terjadi pada agama Kristiani, yang menjadi
fokus kritik Marx pada fungsi politik agama, khususnya yang menjadikan agama sebagai
ideologi Negara. Agama telah dijadikan alat pukul oleh Negara untuk membungkam para
pemeluknya yang memprotes sikap otoriter para pemimpin politik dan ekonomi Prussia.
Pandangan Marx tersebut tak bisa digunakan untuk menggeneralisir semua agama.
Juga keterbatasan kemampuan Marx dalam memahami tentang agama secara hakekat,
maksud dan tujuan-lah yang mengantarkannya pada pengetahuan tersebut.
Menurut mukhsin Qiraty, Karl Maax terlalu prematur untuk memandang agama
sebagai Candu, Karna dalam hal ini Mark berada dalam kondisi atau berada pada zaman yang
tidak tepat,dimana agama (Nasrani) pada waktu itu merupakan phobia bagi masyarakat
Eropa. Hal ini disebabkan karena keterlibatan agama yang melampaui batas terhadap sistem
pemerintahan yang ada pada waktu itu. Bahkan ruang-ruang untuk berbeda hampir tidak ada
tempatnya waktu itu.
Hubungan Manusia dengan Agama Tujuan penciptaan manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan
memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar
dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan
rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut
hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya
kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju
kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan
manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual
belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka
memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama
mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah
18
dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut
biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang
fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh
kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan
mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta
pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya
berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham
dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-
bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan
syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman.
Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah
luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak
kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam
dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh
pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842)
mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap:
(a) tahap teologik,
(b) tahap metafisik, dan
(c) tahap positif;

pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu


pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar,
sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini
(tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali
kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan
agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan
malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama,
karena:
(1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai
pegangan hidup yang sesungguhnya, dan
(2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di
masa lalu tidak terwujud.
19
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan
yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan
manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan
agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai
pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah
Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan
akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan
ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan
akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia
akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan
bahagia.

20
BAB III
PENUTUP

A Kesimpulan

Landasan Al-Qur’an Tentang Manusia yaitu firman dalam Q.S.At-tin ayat 4. ada 3
kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia yaitu: Al-Basyar, Al-
Insan, dan An-Nas. Meskipun ketiga kata tersebut menunjuk pada makna manusia,
namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.

Dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan


manusia dalam dua tahapan yang berbeda yaitu: pertama, disebut dengan tahapan
primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Adapun tugas Manusia yaitu tugas
Kekhalifahan dan tugas kehambaan (‘Abd Allah).

Ada 2 implikasi konsep manusia dalam pendidikan Islam, yaitu:

1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen
(materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu
ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut.

2. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah


sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali
manusia dengan seperangkat potensi.

B.Saran-saran

Karena keterbatasan pengetahuan kami dalam menyusun makalah ini. Kami


meminta khususnya kepada Bapak Dosen dan umumnya kepada para pembaca yang
budiman untuk dapat mengoreksi isi makalah yang telah disusun, demi meningkatkan
pola piker dan cara menyusun yang baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: PT Ciputat Press.

Al-Rasyidin. 2008. Falsafat Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Daulay, Haidar Putra. 2014. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Jalaluddin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Kalam Mulia.

Ramayulis dan Samsul Nizar. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.

22
23

Anda mungkin juga menyukai