Anda di halaman 1dari 3

CRITICAL REVIEW

Judul
Sosiologi Produksi Sebagai Sub Dari Sosiologi Ekonomi

Penulis Hastarini Dwi Atmanti


Publikasi
Sosiologi Ekonomi, Edy Siswoyo, and M Si, “Sosiologi Produksi
Sebagai Sub Dari Sosiologi Ekonomi,” n.d., 1–37.
preview Suci faradilla, yusrini
Nim 11.21.023, 11.21.025

Pada jurnal utama menjelaskan bahwa ekonomi setelah klasik yaitu telah mengubah
pandangan tentang ekonomi baik dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak
lagi didasarkan pada nilai tenaga kerja atau biaya produksi, tetapi telah beralih pada kepuasan
marjinal (marginal utility). Pendekatan ini merupakan pendekatan yang baru dalam teori
ekonomi dan tindakan-tindakan ekonomi menjadi destruktif ketika hal tersebut “disembedded”
atau tidak ditata oleh otoritas sosial atau nonekonomi. Masalah riil dengan kapitalisme ialah
bahwa alih- alih masyarakat menentukan ekonomi, ekonomi yang menentukan masyarakat; alih-
alih sistem ekonomi melekat dalam hubungan sosial, hubungan tersebut kini melekat dalam
sistem ekonomi (1947; 1971: 70). Untuk menata orang-orang dengan benar, Polanyi
berkesimpulan ekonomi harus dilekatkan kembali (reembedded) dan kontrol politik atas ekonomi
dibangun kembali.1hal ini sejalan dengan2 penelitian Urbanus ura weruin dan Febiana rima
kainama mengemukakan ada Tiga pemikir utama yang pendapatnya dikaitkan dengan konsep
embededdness economics adalah Polanyi, Granovetter, dan Callon. Berikut ini, berturut-turut
diuraikan pemikiran ketiga tokoh tersebut untuk kemudian menarik implikasinya bagi
pemahaman tentang karakteristik rasionalitas ekonomi. Pemikiran embededdness ekonomi pada
awalnya dikaitkan dengan Karl Polanyi. Polanyi adalah „bapak‟ embededdness dan
disembeddedness ekonomi (Machado, 2011). Sejarahwan ekonomi ini menyelidiki lembaga-
lembaga non-ekonomi dan ekonomi dari perspektif sosiologi ekonomi. Hasil penelusuran
Polanyi menunjukkan bahwa aktivitas-aktivitas ekonomi pada mulanya dibatasi oleh insititusi-
insititusi non-ekonomi. Dalam masyarakat non-pasar, tidak ada institusi-institusi murni ekonomi
dimana model ekonomi formal diterapkan. Pada masyarakat ini aktivitas-aktivitas ekonomi
„tertanam‟ atau „embedded‟ dalam kekerabatan dan institusi-institusi non-ekonomi, institusi-
institusi religius, dan institusi politik (Wikipedia, 2021). Sementara dalam masyarakat pasar
(market society), aktivitas-aktivitas ekonomi dirasionalisasi, dan „tercerabut ("disembedded")
dari masyarakat dan bekerja menurut logikanya sendiri.

1
Sosiologi Ekonomi, Edy Siswoyo, and M Si, “Sosiologi Produksi Sebagai Sub Dari Sosiologi Ekonomi,” n.d., 1–37.
2
Urbanus Ura Weruin and Febiana Rima Kainama, “Mempertimbangkan Kembali Rasionalitas Ekonomi Dari
Perspektif Embededdness Economics,” SERINA IV UNTAR 2022: Pemberdayaan Dan Perlindungan Konsumen Di Era
Ekonomi Digital, 2022, 69–78.
Berbicara tentang merespon keragaman tersebut embededness muncul dalam berbagai
argumentasi, dan perbedaan tingkat. Pada masyarakat tradisional embededness muncul dalam
wujud pengorbanan terhadap budaya dan kebudayaan, masyarakat rela berkorban untuk tradisi
atau “ritual sosial”. Sementara, pada masyarakat post-modern muncul argumen stratifikasi,
simbol dan peran sosial. Kritik muncul ketika embededness di Indonesia lebih dimaknai untuk
mengeneralisasi ragam variasi dan kondisi riil masyarakat, sehingga sifat embededness-nya
dinilai tidak cukup kritis melihat perbedaan. Asumsi tersebut mendorong pengkonstruksian
peristiwa ekonomi secara seragam.3 Sebagaimana dalam jurnal Muhammad chabibimenjelaskan
bahwa Dalam ekonomi industri modern, negara pasar menjelma sebagai spektrum lengkap dari
konfigurasi pasar yang memainkan praktik monopoli secara utuh atau parsial, kartel dan kolusi,
serta oligopoli yang dapat bersaing (Stiglitz dan Mathewson, 1986). Harapan besar dari negara
pasar adalah kekuasaan penuh bagi pasar untuk meregulasi dirinya dan privatisasi. 4 Setelah hal
tersebut terealisasikan Implikasinya, negara menjadi deregulasi sekaligus delegitimasi sementara
pasar semakin kuat dengan privatisasi dan monopoli dari persaingan murni yang diciptakannya. 5
Penelitian pius Suratman kartasasmita mengungkapakan bahwalabel 'globalisasi ekonomi'
tersebut mengubah paradigma serta relasi-relasi ekonomi internasional secara mendasar. Para
pelaku dagang internasional, baik individu, korporasi bisnis, maupun pemerintah tidak lagi
cukup berdagang dengan prinsip melakukan business as usual dan mengidentifikasi i ada empat
kekuatan yang mentransfer kota-kota di dunia menjadi kota-kota global sebagai bagian dari
proses globalisasi ekonomi, yaitu: proses tertiarisasi, informasionalisasi, disartikulasi lokasi, dan
inovasi yang tanpa henti. Proses tertiarisasi adalah proses transfonnasi ekonomi industri
manufaktur ke industri bidang jasa sebagai tranformasi dasyat kedua setelah revolusi industri
yang mampu menggusur ekonomi agraris. Proses informasionalisasi ditandai dengan semakin
tingginya kegiatan ekonomi yang berbasis pada penguasaan informasi dan teknologinya
Kontributor lain padajumal yang sama (Wilheim, 1996: 11-13) menggambarkan lebih spesifik
tentang apa yang terjadi dalam eragloba/isasi ekonomi. Sistem produksi industrial makin
mengandalkan elemen-elemen yang diproduksi di tempat lain. Hal tersebut tentu menuntut
sistem transportasi yang teratur dan handal serta standarisasi yang amat ketat. Robotisasi dan
informasionisasi mengubah rancangan produk, manajemen pabrik, keahlian tenaga kerja dan
struktur ketenaga-kerjaan, serta ukuran dan lokasi unit produksi hal ini berdasarkan menurut Karl
Polanyi pada jurnal yang berjudul strategi baru pengentasan kemiskinan.6
Polanyi dalam The Great Transformation dan istilah ’tangan gaib’ (invisible hand) dalam
demikian pula Polanyi tidak menggunakan istilah ’tertanam’ sebagai konsep kunci yang me-
nyangga bangunan teorinya. Kata itu tidak tercantum dalam Indeks, dan secara verbatim Polanyi
hanya memakainya lima kali dalam buku The Great Trans- formation (selanjutnya disingkat GT).
Yang paling dikenal adalah ketika Polanyi memakainya untuk melukiskan bagaimana ekonomi
pasar swatata (mar- ket economy) akhirnya menciptakan organisasi masyarakat yang sepenuhnya
3
Alejandro Portes, “The Sociology Economy, A Systematic Inquiry,” Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , Mei
2012 1, no. 1 (2012).
4
Muhammad Chabibi, “PASAR ( Studi Analisis Ekonomi Politik Menurut John Rawls ),” Indonesian Interdisciplinary
Journal of Sharia Economics (IIJSE) 1, no. 2 (2019): 16–28.
5
Chabibi.
6
X-ray Diffraction Crystallography, “済無 No Title No Title No Title,” 2016, 1–23.
didasarkan pada pasar (market society): ”Ekonomi tidak lagi tertanam dalam relasi-relasi sosial,
tetapi relasi-relasi sosial tertanam dalam sistem ekonomi dan Polanyi berpandangan bahwa
masyarakat (society) adalah organisme sosial alamiah, termasuk di da- lamnya dinamika organik
pemenuhan kebutuhan material warganya. Di sini terletak pentingnya tiga modus koordinasi
sosial, termasuk bagaimana produk- si dan distribusi dilakukan. Tiga modus itu adalah prinsip
resiprositas (reci- procity), redistribusi (redistribution), dan tata-rumahtangga (householding).34
Pengadaan produksi/distribusi melalui ’pasar’ (market) berperan penting seba- gai salah satu
instrument yang dikemukakan oleh B. Herry Priyono pada jurnal “Karl Polanyi Menanam
Ekonomi”.7
Penelitian Yustinus prastowo mengemukakan pendapat yaitu Karl Polanyi tidak
mengabaikan bahwa dalam semua tipe masyarakat faktor ekonomi senantiasa berperan.
Sepanjang sejarah peradaban manusia - entah komunitas relijius atau non relijius, materialis
ataupun spiritualis - eksistensi mereka selalu dipengaruhi dan dibatasi kondisi-kondisi material.
Sistem pasar melahirkan sistem pasar swatata. Ekonomi pasar adalah sistem ekonomi yang
dikendalikan, diatur, dan diarahkan oleh pasar semata. Tata produksi dan distribusi dipercayakan
pada mekanisme swatata. Yang diasumsikan oleh sistem ini adalah pasokan barang (dan jasa)
dan permintaan akan barang (dan jasa) berada pada tingkat harga yang setara. Produksi dan
distribusi dikendalikan oleh harga. 8
Penelitian Oki Rahadianto Sutopo dan Nanda Harda Pratama Meiji mengungkapkan di
era neoliberalisme, privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi justru semakin menenggelamkan alih-
alih mensejahterakan rakyat. Pasar tidak lagi mampu mempertahankan ikatan-ikatan di dalamnya
dan menyebabkan relasi sosialperlahan mulai hilang (Polanyi, 2003), pemuda hanya menjadi
komoditas.Pada konteks Indonesia, angka partisipasi sekolah bagi pemuda berumur 16-18 tahun
yang rendah menunjukkan hambatan objektif untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggii,perjalanan transisi pemuda tidak berjalan mulus namun diwarnai fragmentasi dan
ketidakpastian (Threadgold & Nilan, 2009). Hal tersebut ditambah lagi dengan tingkat
pengangguran di Indonesia. kehidupan sosial menjadi semakin terindividualisasi, atau dengan
kata lain meskipun distribusi risiko terkait dengan kelas sosial namun risiko yang ditanggung
justru semakin mengerucut pada tanggung jawab individu, fenomena ini oleh Beck and Beck-
Gernsheim (2002) disebut sebagai individualization thesis.Pada konteks masyarakat risiko,
individu dituntut untuk merencanakan dan membangun trajektori biografisnya sendiri dalam hal
pendidikan maupun pekerjaan.Beck and Beck-Gernsheim (2002) menjelaskan bahwa
perencanaan digunakan sebagai mekanisme untuk mencegah risiko yang akanmenimpa individu
di masa depan.

7
B H Priyono, “Karl Polanyi Menanam Ekonomi,” Respons: Jurnal Etika Sosial 15, no. 02 (2010): 137–217,
http://mx2.atmajaya.ac.id/index.php/respons/article/view/568.
8
Yustinus Prastowo, “Membongkar Nalar Dan Menakar Masa Depan Kapitalisme,” 2010, 1–14.

Anda mungkin juga menyukai