‘Seperti terlukls pada judulnya, buku ini pe-tamartama menggambarkan
eksistensi hukum adat yang merupakan fakt. Disingkapkan pula berbagal
‘aspek serta fungsinya dengan menggunakan tinjauan para sarjana yang
diakui umum autoritas ilmiahnya dalam bidang ini. Maksud semua itu ialat
untuk memprediks| kedudukan hukum adst' pada masa mendatang, se:
hubungan dengan proses pemodernan masyarakat Indonesia, terutama
pemodernan dan unifikasi hukum nasional. Apakah hukum adat mem
punyai landasan eksistensinya. Apa pula esensi eksistensinya di dalam
hukum nasiona! yang modern? Itulah, antara lain, yang menjadi perma-
salahannya.
Pendekatan yang digunakan oleh penulis, selain — tentu saja —
pendekatan yuridis, ialah pendekatan sos ologis dan antropologis.
Penulis, Solenan B. Taneko, S.H., lahir di Sangihe-Talaud, Sulawesi
Utara, pada 30 Maret 1947. Kini fa lektor madya pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung, mengajar dalam mata kuliah sostologi dan hukum
adat.
Selain mengajai, ia juga aktit menulis. Karya tulisannya yang sudah
diterbitkan sebagai buku ialah Dasardasar Hukum Adat dan limu Hukum
‘Adat (1981), Hukum Adat Indonesia (sersama Prof.Dr. Soerjono Soekan-
to, SH.M.A., 1981), Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosio:
Jogi Pembangunan (1984), dan Konsepsi Sistem Sosial Indonesia (1986),
Disetak oleh : ROSDA OFFSET -
ISBN 979-8020-40-5.
EE
SOL! MAN B. TANEKO, S.H.
‘HUKUMA ADAT
SUATU aa CONN Na
rNN)
ast =) WN MENDATANG
Kata Pengantar:
Prof.Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A.3323 /u/rl/2ue
SOLEMAN B. TANEKO, S.H. ~~
HUKUM ADAT
SUATU PENGANTAR AWAL
DAN
PREDIKSI MASA MENDATANG
Kata Pengantar:
Prof.Dr. SOERJONO SOEKANTO, S.H,M.A.
PENERBIT PT. ERESCO BANDUNG 1987Kata Pengantar ...
Prakata
oO
D.
E
F
3, Masyarakat dan Hukum Adat ....
AL
D.
4, Pembidangan Hukum Adat Bidang-Bidang Kehidupan, dan
Pendahulan :
G) komseps Hukurn Ada
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar
Hukum kebiasoan dan hukum adat .
Hukum adat dan adat ....
Sifat dan unsur hukum adat
a. Sifat hukum adat
b. Unsur hukum adat
Teori ceceptio in complexu
Pelembagaan hukum adat
Pengentar ....
— Kelompok sosiat
— Lembaga-lembaga sosial
Hukum (adat) dalam sistem sosial
— Keyakinan (pengetahuan) .
— Perasaan (sentimen) . ae
— Cita-cita, tujuan, atau sasaran ....
= Norma... :
Kedudukan — peranan
— Kekuasaan (power) ..
Tingkatan atau peringkat ...
— Sanksi (senetion)
Sarana (fecellity)
‘Tekanan — ketegangan
Masyarakat hukum adat
— Dasar dan susunan (bentuk) masyarakel hum adat 39
Wilayah hukum adat
Pendekatan Pengertian Dasar Sistem Hukum ........ 52
ixA. Pembidangan hukum adat dan bidang-t Sidans ke kehidupan 52
— Hukum politik adat : 7
— Hukum ekonomi adat ......... See 38
— Hukum sosial adat 66
B. Pengertian dasar sistem hukum cee O
1, Subjek hukum .......+.. : 70
2. Peranan (kewafiban/hak) dalam hukum .......... 70
3. Peristiwa hUKUM .....sscsseeeesesesseeeeesseee TL
4, Hubungan hukum R
$. Objek hukum . n
Eksistensi Hukum Adat dalam Kehidupan Sosial . 4
‘Hukum Adat Sebagai Pola Budaya 80
A. Pengantar ... 80
B. Nilainilai budaya dan hukum adat . 82
C. Corak dan sistem huxum adat : tet ay
— Corak magis-religius (religio-magis) .......... 88
— Corak komunal (kebersamaan — commune trek) .. 89
— Corak kontan ...... 89
— Corak visual... 90
— Sistem hukum adat . 90
. Perusahaan Sosial dan Hukum Adat 93
A. Perusahaan sosial ...... ieaesererHt Eos
B.. Perubahan hukum adat 98
C. Perkembangan masyarakat dan hukum adat’. 100
. Perspektif' Hukum Adat ............ 103
A, Pengamtar 2... .cc.seceeceseteeeeeceeeees 103
B. Modernisasi dan nilai-nilat sosial budaya .. 106
C. Peranan hukumn adat dalam pembangunan hukum ..... 111
a. Aturan-aturan hUKUM ........c0esceeeeseeseeees 6
b. Pengaturan kelembagaan dan teknik-teknik untuk men-
jalankan aturan itu. a7
¢, Hubungan antara perundang- randangan dengan kekua-
saan poli ...eee ce eeeeeeeeeeeeeeeeeseees UB
. Hukum Adat di Persimpangén ot
|. Penutup ... 1282. KONSEPSI HUKUM ADAT
A. Pengantar
A.M. Bos (tanpa tahun) menyatakan bahwa "we count as law all rules.
that have came into being in certain ways,
a. by legislation (statute law, code lav). In this case there is a govermental
‘organ especially charged with the duty of making laws,
b. by administration of justice (judgemade law, case law). In this case
as well law is made by a governmental organ, this time the judicature,
¢. by custom (customary law, common law). In this case there is no
Tawmaking by governmental organ. Custom come some into being
in a group of people (for instance, a village or tribe) as the group follow
always the same line of behavior in a certain situation.”
Sesuai dengan pernyataan A.M. Bos tersebut di atas, kita dapat menya-
takan bahwa hukum itu antara lain datang dari kebiasaan, Hukum yang
demikian itu dapat dinamakan hukum kebiasaan,
B. Hukum kebiasaan dan hukum adat
Dari kepustakaan (van Vollenhoven, 1981; Bushar Muhammad, 1961; van
Dijk, 1960) kita dapat mengetahui bahwa istilah hukum adat merupakan
terjemahan dari istilah bahasa asing, yaitu Belanda adatrecht, Istilah ini
diperkenalkan oleh Snouck Hurgronye yang kemudian dipopulerkan oleh
van Vollenhoven dan murid-muridnya. [stilah hukum adat menurut para
sarjana di atas tidak dikenal didalam masyarakat. Otch karena itu, Hilman
Hadikusuma (1977) mengatekan bahwa istilah tersebut hanyalah
‘merupakan istilah teknis ilmiah,
Di dalam masyarakat hanya dikenal kata *adat” saja. Tetapi, istila
ini pun becasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab. Isilah adat ini dapat
dikatakan telah diserapi ke dalam bahasa Indonesia dan hampir semua
bahasa daerah di Indonesia, Adat, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, berarti Aebiasaan.
eesJadi, secara sederhana istilah adatrecht dapat dialihkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi hukum Kebiasaan,
Van Dijk kelihatannya tidak sependapat untuk menggunakan istilah
hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adatrecht, untuk menggantikan
hukum adat. Alasan yang dikemukakan oleh van Dijk adalah sebagai
berikut:
‘Tidaklah tepat menerjemahkan adatrecht menjadi hukum kebiasaan
untuk menggantikan hukum adat Karena yang dimaksud dengan
hukum Kebiasean adalah kompleks peraturan hukum yang timbul
arena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa
bertingkah laku menurut suatu cara tertentu schingga timbullah suatu
peraturan Kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh
‘masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari
mana peraturan ini berasal, maka hampir senantiasa akan
diketemukan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam
lingkungan besar atau kecil sebagai pangkainya.””
Selanjuinya oleh van Dijk dinyatakan bahwa:
‘Walaupun benar hukum adat itu tidak dikodifikasikan, ada sebagian
yang terdapat di dalam peraturan-peraturan yang berasal dari raja-
raja di Indonesia dan dari kepala-kepala desa (misainya di Bali) dan
di antaranya ada yang berupa hukum tertulis.”
Dengan demikian van Dijk ingin mengemukakan bahwa sebenarnya an-
lapat perbedaan. Letak
iasaan itu adalah pada
adatjada yang bersumber dari ala:
hal ini, menurut van Dijk, tidak ditemukan pada hukum kebiasaan.
Akan tetapi, apabila konseosi van Dijk ini ditelaah lebih lanjut, maka
kelihatannya tidak konsisten karena pada uraian selanjutnya dinyatakan
bahwa:
. . justru Karena pada hukum adat terdapat sifat hukum yang tidak
tertulis dan tidak dikodifikasikan, maka hukum adat (pada masya-
rakat yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi dan dengan cepat
berkembang modern) mi@mperlihatkan kesanggupan untuk
menyesuaikan diri dan elastisitet yang luas”” (kursif dari penulis).Berbeda dengan van Dijk tentang hal itu, Soerjono Soekanto (1976)
menulis bahwa:
""Hlukum adat pade hakikatnya merupakan bukum keb
yang sama yang menuju pada "re
ing”.
Dari Konsepsi di atas, secara sederhana kita melihat bahwa sebenarnya
tidak terdapat perbedaan yang berarti antara hukum adat dengan hukum
kebiasaan. Senada dengan konsep ini adalah konsep dari Soepomo.
Soepomo (1966) menyatakan bahwa:
* Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam, Hukum adat pun
melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim
yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, di mana ia
memutuskan perkara. Hukum adat berurat-berakar pada kebudayaan
tradisional.”
Dengan tidak mempertentangkan kedua pendapat tersebut datas, di sini
akan dinyatakan bahwa hukum adat pada dasamya sama dengan hukum
kebiasaan_ karen:
(GZ) Istilah atau kata adat, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-
nesia, adalah kebiasaan sehinega adatrecht dapat saja diterjemahkan
menjadi hukum adat dan kebiasaan,
Dalam hal proses pelak um sering dikuatkan oleh dan atau
melalui alat-alat perlengkapan masyarakat, namun tidak semua aturan
hhukum adat itu bersumber pada alat-alat perlengkapan masyarakat.
C. Hukum adat dan adat
Dari konstatasi A.M. Bos yang telah dipaparkan terdahulu, kita melihat
bahwa pada dasarnya hukum adat hanyalah merupakan sebagian dati
adat-istiadat masyarakat. Adat-istiadat dengan demikian méncakup
konsep yang luas. Schubungan dengan itu, dalam penelaahan hukum adat,
kita harus mampu membedakan antara adat-istiadat (nonhukum) di satu
5pihak dengan hukum adat di pihak lain, Soekanto (1955) telah menyitir
bahwa secara teoretis telah dirasakan sulit untuk melakukannya. Sebab-
nya jalah Karena adat-istiadat di dalam lapangan hukum (hukum adat)
dengan adat-istiadat nonhukum (adat) berkaitan dengan eratnya.
‘Namun, hukum adat harus dibedakan.dari adat mengingat bahwa
telah yang dilakukan adalah terhadap hukum adat, Lagipula, hal ini juga
menyangkut eksistensi hukum adat sebagai disiplin ilmu.
Dengan demikian, tercampuraduknya gejala itu tidak harus menjadi
penghalang, sebagaimana dinyatakan oleh van Vollenhoven bahwa "ter-
‘cumpuraduknya Kebiasaan dan hukum kebiasean itu tentu saja tidak usah
menghalang-halangi kita untuk mengadakan suatu pemisah antara ke-
duanya, sebab dalam banyak hal sangatlah mungkin dilakukan usaha
mengenali adat dengan akibat hukurm dan memisahkannya deri adat-adat
tanpa akibat hukum (seperti larangan adat di Aceh bagi orang laki-laki
untuk mengambil padi dari lumbung persediaan; atau larangan adat di
Batak bagi orang-orang yang disunat untuk menampakkan diti di muka
‘mum selama tujuh hari pertama sesudahnya; atau aturan adat di Jawa
‘untuk memakai beras ketan kuning pada berbagai kesempatan; atau di
‘mana-mana adat istiadat berkabung).”” (van Vollenhoven, 1981)
Pada dasarnya, dalam usaha untuk dapat membedakan adat dengan
hukum adat tentunya kita membutuhkan kriteria yang dapat dijadikan
pedoman, Kriteria yang dapat digunakan antara lain adalah batasan dan
atribut yang diberikan kepada gejala hukum (adat) itu
Pernyataan van Vollenhoven tersebut di atas sekaligus menunjukkan
bahwa untuk membedakan hukum adat dari adat, dapat digunakan kri-
teria “akibat hukum” atau "hanya adat yang ada sanksinya, yang disebut
bukum adat”” (tetapi jika ada sanksinya yang mengandung paksaan,
bbagaimana kita menyebutkan dengan nama itu?). Lebih lanjut van
Vollenhoven (1981) mengemukakan bahws
""Hlimpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang Pri-
bbumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karenanya
bersifat "hukum’) dan pada pinak lain berada dalam keadaan yang
tidak dikodifikasikan (karenanya ’adat’);....””
Ter Haar (dikutip dari Soekanto dan Soerjono Sockanto, 1978) yang ter
Kenal dengan beslissingenleer-aya mengatakan bahwa hukum adatmeneakup Keseluruhan peraturan yang menjelma di dalam putusan-
putusan para pejabat hukum, yang mempunyai wibawa dan pengaruh,
serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta-merta dan dipatubi
dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh putusan itw, Putusan
tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, tetapi dapat diambil ber-
dasarkan kerukunan dan musyawarah. Di dalam tulisan sebelumnya, Ter
Haar juga mengatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari putusan
warga masyaraket.
Dari pernyataan ter Haar tersebut dapat kita menentukan Kriteria yang,
dapat digunakan untuk membedakan adat dengan hukum adat, bahwa
yang termasuk hukum adat ialah apabila ada "putusan”, baik yang
diberikan olch pemegang kekuasaan maupun oleh para warga masyarakat.
Jadi, untuk menemukan hukum adat perks kita menelaah, apakah
ada putusan yang pernah atau telah ditetapkan oleh para pemegang kekua-
saan dan atau dari para warga masyarakat. Apabila ada, maka gejala itu
adalah hukum adat, sedangkan bila tidak ada, maka gejala itu merupakan,
adat saja.
Sehubungan dengan konsepsi ter Haar tersebut di atas, Koentjaraning-
rat (1974) mengemukakan bahwa pendirian ter Haar itu mempunyai dasar
kebenaran, namun kurang lengkap untuk membatasi dengan jelas ruang
lingkup konsep hukum adat. Hal ini disebabkan karena konsepsi ter Haar
hanya memberikan satu ciri saja, yaitu cil otoritas kepada hukum ada.
‘Untuk melengkapi konsep yang diajukan oleh ter Haar, Koentjaraning-
rat mengajukan pendapat seorang antropolog, yaitu L. Pospisil, dengan me-
ngemukakan bahwa batas hukum adat dengan adat adalah sebagai berikut:
1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang
mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu ak-
livitas itu dari aktivitas dalam suatu masyaraket, seorang penelti harus
mencari akan adanya empat ciri hukum atau attributes of law.
2. Auribut yang pertama disebut attribute of authority (sampai di-sini
teori Pospisit tak berbeda dengan teori ter Haar). Atribut otoritas
menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu
adalah putusan-putusan melalui suatt mekanisme yang diberi kuasa
dan pengaruh di dalam masyarakat. Putusan-putusan ity memberi
pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan oleh karenaadanya, misalnya, (i) serangan-serangan terhadap diri individu, (ii)
serangan-serangan terhadap hak orang, (ii) serangan-serangan
terhadap yang berkuasa, (iv) serangan-serangan terhadap keamanan
umum,
3. Atribut yang kedua disebut attribute of intension of universal applica-
tion. Atribute ini menentukan bahwa putusan-putusan dari pihak yang
‘berkuasa itu dimaksudkan sebagai putusan-putusan yang mempunyai
jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap
peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan datang.
4. Atribut yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menen-
‘ukan bahwa putusan-putusan pemegang kuasa itu harus mengandung
rumusan-rumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua,
tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak
kesatu. Dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri atas,
individu-individu yang masih hidup. Kalau putusan itu tidak mengan-
dung kewajiban maupun hak tadi, maka putusan tidak akan
merupakan putusan hukum, dan kalau pihak kedua, misalnya, nenek-
moyang yang sudah meninggal, maka putusan hukum tadi hanyalah
sualu putusan yang merumuskan stiatu kewajiban keagamaan.
5. Atribut keempat disebut atiribute of sanction, dan putusan pihak yang
berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Sanksi
itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi
dari milik (misalnya, amat penting dalam sistem-sistem hukum bangsa-
bbangsa Eropa), tetapi juga berupa sanksi rohani, seperti misalnya
‘menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa benci, dan sebagainya,
Dengan demikian, menurut Koentjaraningrat (dengan mengikuti pen-
dapat L. Pospisil), uniuk membedakan hukum adat dengan adat harus
dilihat pada ciri-ciri hukum, yaitu:
SS authority,
2. intention of universal application,
3. obligation (rumusan dari hak dan kewajiban),
4.__sanetion (imbalan).. al
ja Kecenderungan yang umum untuk menetapkan “sanksi
‘atau akibat hukum’” sebagai "atribut”” hukum (adat), seperti terlihat pada
batasan makna (definisi) hukum adat yang diberikan oleh Soepomo danSoekanto, Soepomo (dikutip dari Soerojo Wignjodipuro, 1971)
mienyatakan bahwa hukum adat adalah "hukum yang sida tertulis dalam
pératuran-peraturan legisatf(unstatutory law), meliputi peraturan hidup
didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan bahwasanya peraturan-
peraturan tersebut mempunya epee eee eee
Sockanio (1955) mengemukakan baba “bukum ada sdaleh Kom
pleks‘adat-adat yang tidak dikitabkan, tidak dikodifisir dan bersifat pak-
saan, jadi mempunyai akibat hukum’* Seer
“Dengan dilakukannya inventarisasi terhadap beberapa kriteria untuk
membedakan hukum adat dengan adat, maka kita dapat menggunakan
salah satu atau beberapa kriteria sekaligus dalam studi kita. Dalam menen-
tukan kriteria tersebut, kita juga harus dapat memperhitungkan dan
mempertimbangkannya karena mungkin saja kriteria itu mengandung
kelemahan-kelemahan tertentu.
Sébagal contoh, Kelemahan kriteria mengenai "atas dasar keputusan
para pejabat hukum’’. Biasanya hal ini bersangkut paut dengan sengketa.
‘Untuk memperoleh gejala (fenomena) hukum adat, kita harus bertanya
‘tentang “apakah telah terjadi persengketaan tentang hal ini atau hal itu’’.
‘Apabila tidak pernah terjadi persengketaan tentang hal tersebut, maka
kita harus menyatakan bahwa hal itu bukan merupakan gejala hukum
adat, tetapi hanya adat belaka.
Dari suatu penelitian yang dilakukan pada masyarakat Lampung
Pepadon (laporan penelitian Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1980)
tidak ditemui persengketaan mengenai waris. Jadi, apabila kita meng-
gunakan kriteria di atas, dan tidak ditemui adanya sengketa, maka kita
harus menyimpulkan bahwa waris bukanlah merupakan bidang, hukum
dat.
Demikian pula halnya dengan kriteria sanksi, dan sanksi yang
dimaksud adalah sanksi dalam arti luas, Kemungkinan untuk menemukan
gejala adat adalah lebih besar bila dibandingkan dengan hukum adat.
Membentangkan kelemahan kriteria tersebut tidaklah bermaksud
supaya kriteria itu tidak digunakan di dalam stu kita, namun merupakan
suatu gambaran bahwa mungkin saja tiap kriteria itu mempunyai
kelemahan-Kelemaban tertentu.Dengan tidak mengurangi keabsahan berbagai kriteria tersebut di atas,
‘mungkin kita dapat mempertimbangkan pula penggunaan konsepsi ten-
tang (a) pembidangan hukum dan (b) pengertian dasar sistem hukum
sebagai kriteria yang dapat digunakan dalam studi tentang hukum adat.
Kedua hal ini akan mendapat pembahasan yang memadai pada bagian
Iain dari buku ini.
D. Sifat dan unsur hukum adat
Dengan maksud untuk lebih memberikan gambaran yang memadai ten-
tang hukum adat, perlu disajikan suatu deskripsi yang menyangkut unsur-
unsur dan sifat hukum adat.
a, Sifat hukum adat
Kelihatannya terdapat kecenderungan yang kuat di kalangan para sarjana
untuk menyatakan bahwa hukum adat itu pada hakikatnya bersifat tidak
fertulis. Oleh Karena itu, para abli dan serjana hukum adat selalu
mengemukakan bahwa hukum adat bukanlah hukum statuta, Hukum
statuta adalah hukum yang dikodifikasikan, jadi, bersifat tert
Permasalahannya adalah, bagaimana apabila dijumpai hukum adat,
seperti dikonstatasi oleh van Dijk itu, bahwa hukum adat itu ada yang
berasal dari raja-raja dan di antaranya ada yang bersifat fertuls, atau
kkonstatasi dari Bushar Muhammad (1961) bahwa di samping bagian yang
tidak tertulis Gari hukum (adat) asi itu ada pula bagian yang tertulis, yaitu
piagam-piagam, perintah-perintah raja, patokan-patokan pada daun lot
tar, awig-awig (Bali), walaupun bagian ini tidak berarti (sangat sedikit)
yang, menurut Bushar Muhammad, tidak berpengaruh dan sering dapat
diabaikan.
Anjuran Soerjono Sockanto (1979) kiranya perlu dipertimbangkan.
Dengan mengikuti anjuran itu, maka apabila ada hal-hal yang seperti
disebutkan oleh van Dijk dan Bushar Muhammad, itu adalah lebih baik
dinyatakan sebagai hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerd
adatrecht) atau sebagai hukum adat tercatat (beschreven adatrech
Hal ini dipandang cukup tepat katena pengertian tertulis seperti
ungkapkan oleh van Dijk tidak sama maknanya dengan hukum tertulis
10