Hakim Agung Terjerat Korupsi
Hakim Agung Terjerat Korupsi
Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 10 orang
dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, semakin mencoreng
dunia peradilan. Dari sepuluh orang tersebut, satu di antaranya merupakan Hakim Agung,
yakni Sudrajad Dimyati. Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan
kehakiman benar-benar mengkhawatirkan.
Kasus ini juga setidaknya menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Bisa
dibayangkan, berdasarkan data KPK, sejak lembaga antirasuah itu berdiri tak kurang 21
hakim terbukti melakukan praktik lancung. Ada sejumlah poin yang penting untuk diurai
guna menunjukkan mengapa kondisi tersebut bisa terjadi.
Pertama, rekam jejak hakim Sudrajad Dimiyati memang bermasalah. Hal terlihat sejak
tahun 2013, dimana Sudrajad diduga berusaha menyuap anggota komisi III DPR RI dalam
proses fit and proper test calon hakim agung. Setelah diperiksa oleh Komisi Yudisial, ia
akhirnya gagal menjadi hakim agung pada tahun 2013, namun setahun kemudian ia dipilih
menjadi hakim agung kamar perdata.[1] Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa proses
seleksi calon hakim agung tidak mengedepankan nilai-nilai integritas.
Kedua, lemahnya proses pengawasan lembaga baik oleh Badan Pengawas MA maupun
Komisi Yudisial, semakin membuka celah terjadinya korupsi di sektor peradilan. Kondisi
tersebut memungkinkan masih banyaknya oknum hakim dan petugas pengadilan yang
korup namun tidak teridentifikasi oleh penegak hukum.
Di saat yang sama, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kinerja MA justru mendapat
banyak sorotan dari masyarakat. Beberapa di antaranya adalah pengenaan hukum ringan
terhadap pelaku korupsi yang berulang. Berdasarkan data tren vonis yang dikeluarkan oleh
ICW, tercatat pada tahun 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan.
Tak hanya itu, alih-alih melakukan perbaikan untuk memaksimalisasi pemberian efek jera,
MA justru banyak mengobral diskon pemotongan masa hukuman melalui proses
Peninjauan Kembali (PK). Masih berdasarkan data tren vonis ICW, pada tahun 2021
tercatat ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui upaya hukum luar
biasa tersebut.
Melihat kondisi pengadilan yang demikian, maka perlu ada langkah luar biasa untuk
membersihkan praktik korupsi di sektor peradilan dan sekaligus untuk mengembalikan
citra lembaga kekuasaan kehakiman di mata publik. Maka dari itu, ICW mendesak agar:
1. MA segera melakukan evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan integritas,
terutama untuk hakim baik di Mahkamah Agung maupun lembaga peradilan di
bawahnya;
2. MA bersama KY dan KPK berkoordinasi untuk melakukan pemetaan terhadap
potensi korupsi di lembaga pengadilan agar dapat dijadikan rujukan pembentukan
kebijakan pengawasan;
3. KPK mengembangkan perkara dan menindak seluruh pihak yang diduga terlibat
dalam perkara ini, untuk memastikan pemberantasan mafia peradilan berjalan
optimal