Anda di halaman 1dari 17

Referat

Kejang dan Epilepsi

Disusun Oleh:

Mutiara Rajany

112019207

Pembimbing:
Dr. Nadia Husein, Sp.S

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA
PERIODE 19 APRIL – 22 MEI 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf menahun yang bersifat kronik dan
dapat mengenai siapa saja tanpa memandang jenis kelamis, ras, usia, dan status sosial
ekonomi. Penyakit ini adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan gejala yang
khas berupa kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara
berlebihan dan paroksismal. Epilepsi merupakan salah satu penyakit tertua di dunia dan
menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran darah.1-3
Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global, dimana 80%
beban tersebut berada di negara berkembang. Pada negara berkembang, di beberapa
tempat 80%-90% kasus tidak menerima pengobatan sama sekali. Di Indonesia sendiri
belum ada data pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi diperkirakan ada 1-2 juta
penderita epilepsi.2
Masyarakat Indonesia telah mengenal secara luas dan sejak lama mengenai
epilpesi. Hal ini terbukti dengan terdapat istilah – istilah bahasa daerah untuk penyakit
ini, seperti sawan, ayan, sekalor dan celengan. Walapun telah dikenal luas, tingkat
pengetahuan masyarakat mengenai penyakit ini masih tergolong rendah dimana timbul
stigma yang mengakibatkan diskriminasi terhadap penderita epilepsi, dimana penderita
epilepsi sering digolongkan dengan penyakit gila, kutukan, dan turunan sehingga
penderita tidak diobati bahkan disembunyikan oleh keluarganya. Hal ini menyebabkan
banyak penderita epilepsi tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan tepat
sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial bagi penderita dan keluarganya.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Sistem saraf merupakan jaringan kompleks yang memungkinkan organisme berinteraksi


dengan lingkungannya. Komponen sensorik yang mendeteksi rangsangan lingkungan, dan
komponen motorik yang memberikan kontrol jantung, otot polos, serta sekresi kelenjar,
dikoordinasikan dalam sistem untuk mendorong respon motorik yang sesuai terhadap
rangsangan atau masukan sensorik yang telah diterima, disimpan dan diolah.4

Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat (terdiri dari otak dan sumsum
tulang belakang) dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat sendiri bertanggung jawab dalam
hal menerima, memproses, serta menanggapi informasi sensorik. Otak merupakan organ
jaringan saraf yang bertanggung jawab untuk merespon, sensasi, gerakan, emosi, komunikasi,
pemrosesan pikiran, serta memori. Otak sendiri dilindungi oleh tengkorak, lapisan meninges,
dan LCS. Jaringan saraf sangat halus dan dapat mengalami kerusakan dengan kekuatan sekecil
apapun. Selain itu, jaringan saraf memiliki sawar darah-otak yang berfungsi mencegah otak
dari zat berbahaya apa pun yang berada di dalam darah.5

Otak terdiri dari beberapa bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, diencephalon dan batang
otak. Cerebrum merupakan bagian otak terbesar dan terdiri dari dua hemisperium cerebri yang
dihubungkan oleh massa substantia alba yang disebut corpus callosum. Masing-masing
hemisphere terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, yaitu pada bagian superior
fossa cranii anterior dan media di bagian posterior, cerebrum terletak di atas tentorium
cerebelli. Hemispherium dipisahkan oleh celah yang dalam, yaitu fissura longitudinalis
cerebri, di mana ke dalamnya menonjol falx cerebri. Lapisan permukaan masing-masing
hemispherium, cortex terbentuk dari substantia grisea. Cortex cerebri berlipat-lipat, disebut
gyri, yang dipisahkan oleh fissura atau sulci. Dengan adanya lipatan-lipatan tersebut, daerah
permukaan cortex menjadi lebih luas. Beberapa sulcus yang besar digunakan untuk membagi
masing-masing permukaan hemispherium menjadi lobus-lobus. Lobus-lobus diberi nama
sesuai dengan tulang tengkorak yang menutupinya.6
Korteks cerebrum merupakan lapisan terluar yang mengelilingi otak yang terdiri dari
materi abu – abu (gray matter) dan berisi milyaran neuron yang digunakan dalam
menjalankan fungsi eksekutif tingkat tinggi. Korteks terbagi menjadi empat lobus, yaitu lobus
frontal, parietal, oksipital dan temporal. Lobus frontal terletak di bagian anterior sulkus
central, bertanggung jawab dalam fungsi motorik voluntary, pemecahan masalah (problem-
solving), perhatian, memori dan Bahasa. Korteks motorik (memungkinkan gerak voluntary
yang tepat dari otot rangka) dan area Broca (mengontrol fungsi motorik yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bahasa) terletak di lobus frontalis ini. Lobus parietal dipisahkan
oleh sulkus parieto-oksipital dari lobus oksipital dan berada di belakang sulkus central,
bertanggung jawab untuk memproses informasi sensorik dan berisi korteks somatosensorik.
Lobus oksipital, dikenal dengan pusat pemrosesan visual, berisi korteks visual. Lobus oksipital
menerima informasi dari retina, kemudian menggunakan pengalaman visual masa lalu untuk
menafsirkan dan mengenali rangsangan. Lobus temporal, berfungsi untuk memproses
rangsangan pendengaran melalui korteks pendengaran. Mekanoreseptor yang terletak di sel
rambut yang melapisi koklea diaktifkan oleh energi suara, kemudian mengirimkan impuls ke
korteks pendengaran. Impuls ini diproses dan disimpan berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Area Wernicke berada di lobus temporal dan berfungsi dalam pemahaman ucapan.5

2.2 Definisi Epilepsi


Epilepsi didefinisikan oleh the International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 2005 sebagai gangguan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
kejang epilepsi dan konsekuensi dari neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial dari
kondisi ini. Dimana definisi epilepsi membutuhkan paling tidak satu kali kejang epilepsi.
Kejang epilepsi adalah kejadian sementara dari tanda dan atau gejala akibat aktivitas neural
abnormal yang berlebihan atau serentak di otak.7
Definisi di atas bersifat konseptual (teoritis) dan tidak cukup rinci untuk menujukkan
apakah seseorang memiliki epilepsi atau tidak. Untuk itu, ILAE memperluas definisi epilepsi
menjadi definisi praktis (operasional). Definisi epilesi secara praktis (operasional) adalah
penyakit pada otak yang ditentukan oleh salah satu kondisi yaitu setidaknya dua kejang tanpa
sebab (atau refleks) yang terjadi dengan jarak >24 jam, satu kejang tanpa sebab (refleks) dan
kemungkinan terjadinya kejang lebih lanjut yang serupa dengan risiko kekambuhan umum
(setidaknya 60%) setelah dua kejang tanpa sebab, yang terjadi selama 10 tahun mendatang,
serta diagnosa sindrom epilepsi. 7
2.3 Etiologi8
Epilepsi memiliki 6 etiologi, yaitu struktural, genetik, infeksius, metabolik, imun, dan
kelompok yang tidak diketahui.

Struktural
Kelainan struktural memiliki risiko yang meningkat secara substansial terkait
dengan epilepsi. Etiologi struktural mengacu pada kelainan yang terlihat pada pencitraan saraf
struktural dimana penilaian elektroklinis bersama dengan temuan pencitraan mengarah pada
kesimpulan bahwa kelainan pencitraan adalah kemungkinan penyebab kejang pada pasien.
Etiologi struktural dapat diperoleh seperti stroke, trauma, infeksi atau genetik seperti banyak
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural halus membutuhkan studi MRI
yang sesuai dengan menggunakan protokol epilepsi spesifik.
Yang mendasari kelainan struktural mungkin genetik atau didapat atau keduanya.
Contoh, polymicrogyria mungkin sekunder dari mutasi gen seperti GPR56, atau didapat,
sekunder dari infeksi cytomegalovirus intrauterine. Penyebab struktural yang didapat
termasuk ensefalopati hipoksia-iskemik, trauma, infeksi, dan stroke. Etiologi stuktural
memiliki dasar genetik yang terdefinisi dengan baik seperti tuberous sclerosis complex, yang
disebabkan oleh mutai pada gen TSC1 dan TSC2 yang mengkode hamartin dan tuberin.

Genetik
Epilepsi yang melibatkan etiologi genetik cukup beragam dan dalam banyak kasus, gen
yang mendasari belum diketahui. Etiologi genetik mungkin didasarkan pada riwayat keluarga
dari kelainan autosom dominan. Misalnya, pada sindrom benign familial neonatal epilepsy
dan sindrom epilepsi lobus frontal nocturnal dominan autosomal.
Etiologi genetik mungkin disarankan oleh penelitian klinis pada populasi pada sindrom
yang sama seperti Childhood Absen Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy. Adanya bukti
untuk dasar genetik berasal dari suatu studi seperti Lennox’s twin studies tahun 1950an dan
familial aggregation studies.

Infeksi
Infeksi merupakan etiologi paling umum. Konsep dari etiologi ini adalah bahwa
epilepsi secara langsung disebabakan oleh infeksi dimana kejang merupakan gejala inti.
Metabolik
Konsep dari etiologi ini adalah hasil langsung dari gangguan metabolik yang diketahui
atau diduga dimana kejang merupakan gejala inti. Penyakit metabolik mengacu pada defek
metabolik yang jelas dengan manifestasi atau perubahan biokimia di seluruh tubuh seperti
porfiria, uremia, aminoasidopati atau kejang yang bergantung pada piridoksin. Dalam banyak
kasus, kelainan metabolisme akan memiliki kelainan genetik. Kemungkinan sebagian besar
epilepsi metabolik akan memiliki dasar genetik, tetapi beberapa dapat diperoleh seperti
defisiensi folat otak. Identifikasi penyebab metabolik spesifik epilepsi sangat penting karena
implikasi untuk terapi dan potensi pencegahan gangguan intelektual.
Imun
Epilepsi karena imun berarti hasil langsung dari gangguan kekebalan dimana kejang
merupakan gejala inti. Etiologi imun dapat dikonsepkan sebagai bukti adanya inflamasi sistem
saraf pusat yang dimediasi oleh autoimun.
Tidak Diketahui
Pada kelompok etiologi ini artinya penyebab dari epilepsi masih belum diketahui. Masih
banyak pasien epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui. Sejauh mana penyebab dapat
ditemukan tergantung pada sejauh mana evaluasi yang tersedia untuk pasien.

2.4 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyait tertua di dunia dan menempati urutan kedua dari
penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur,
gender, dan ras. Data WHO menunjukkan bahwa terdapat 50 juta kasus epilepsi di seluruh
dunia. WHO juga menyebutkan bahwa angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar
antara 4-10 per 1.000 jumlah penduduk, yang berarti jika jumlah penduduk di Indonesia
berkisar 220 juta, maka jumlah penderita epilepsi baru diperkirakan sebesar 250.000 per tahun
dan diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami kejang atau
membutuhkan pengobatan berkisar 1.8 juta.

2.5 Klasifikasi8
Klasifikasi baru epilepsi merupakan klasifikasi bertingkat yang dirancang untuk
memenuhi klasifikasi epilepsi di lingkungan klinis yang berbeda. Klasifikasi ini terdiri dari 3
tingkat, yaitu tipe kejang, tipe epilepsi, dan epilepsy sindrome.
Tipe Kejang
Tipe kejang merupakan awal dari kerangka klasifikasi epilepsi. Kejang diklasifikasikan
menjadi onset fokal, generalized (umum), dan onset yang tidak diketahui. Pada beberapa hal,
klasifikasi menurut tipe kejang merupakan tingkat maksimum untuk mendiagnosis karena
tidak adanya akses ke EEG, studi pencitraan, serta terlalu sedikit informasi yan tersedia,
contoh saat pasien hanya mengalami kejang tunggal.

Tipe Epilepsi
Tingkat kedua adalah tipe epilepsi, dimana dibedakan menjadi epilepsi fokal, epilepsi
generalized (umum), epilepsi gabungan antara epilepsi umum dan fokal, serta kategori yang
tidak diketahui.
Untuk mendiagnosis epilepsi generalized (umum), biasanya pasien akan menunjukkan
aktivitas generalized spike-wave pada EEG. Individu dengan epilepsi umum mungkin
memiliki beberapa jenis kejang temasuk kejang absen, mioklonik, atonik, tonik dan tonik-
klonik. Diagnosis epilepsi umum dibuat atas dasar klinis, serta didukung dengan temuan
pelepasan EEG interiktal yang khas. Pada pasien dengan kejang tonik-klonik umum dan EEG
normal, perlu bukti pendukung untuk membuat diagnosis epilepsi umum, seperti adanya
myoclonic jerks atau riwayat keluarga.
Epilepsi fokal mencakup gangguan unifokal dan multifokal serta kejang yang melibatkan
satu hemisfer. EEG interictal biasanya menunjukkan adanya pelepasan epileptiform fokal,
tetapi diagnosis dibuat atas dasar klinis dan didukung oleh temuan EEG.
Pada epilepsi gabungan, diagnosis ditegakkan atas dasar klinis, dan temuan pada EEG.
Rekaman ektal sangant membantu tetapi tidak penting. EEG interictal dapat menunjukkan
pelepasan generalized spike-wave dan epileptiform fokal, tetapi aktivitas epileptiform tidak
diperlukan untuk diagnosis.
Jenis epilepsi juga dapat menjadi tingkat diagnosis akhir yang dicapai oleh seorang
dokter. Sebagai contoh, situasi umum anak atau orang dewsa dengan epilepsi lobus temporal
non-lesi yang menderita epilepsi fokal tanpa etiologi yang diketahui, seorang anak 5 tahun
dengan gejala tonik-klonik umum dan aktivitas generalized spike-wave pada EEG yang tidak
dapat diklasifikasikan ke dalam sindrom epilepsi tetapi memilik diagnosis yang jelas dari
epilepsi umum, atau pasien 20 tahun dengan kejang fokal kesadaran yang terganggu dan
kejang absen dengan pelepasan fokal dan generalized
spike-wave pada EEG dan hasil MRI normal, sehingga ditegakan diagnosis epilepsi gabungan
umum dan fokal.
Untuk tipe epilepsi dengan kategori “tidak diketahui” digunakan apabila pasien
menderita epilepsi tetapi dokter tidak dapat menentukan jenis epilepsi bersifat fokal atau
umum karena informasi yang tersedia tidak mencukupi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
hal seperti tidak ada akses ke EEG, atau hasil EEG tidak informatif misalnya normal. Jika
jenis kejang tidak diketahui, maka jenis epilepsi mungkin tidak diketahui karena alasan yang
sama meskipun keduanya mungkin tidak selalui sesuai.

Epilepsy Syndome
Sindrom epilepsi mengacu pada sekelompok hal yang menggabungkan tipe kejang, hasil
EEG, serta fitur pencitraan yang cenderung terjadi bersamaan. Hal ini sering bergantung pada
usia seperti usia saat onset dan remisi, pemicu kejang, variasi diurnal dan kadang prognosis.
Selain itu, juga terdapat penyakit penyerta yang berbeda seperti disfungsi intelektual dan
kejiwaan, serta temuan khusus pada EEG dan pencitraan. Terdapat berbagai macam sindrom
epilepsi, meskipun belum pernah ada klasifikasi sindrom oleh ILAE yaitu seperti Childhood
absence epilepsy, West epilepsy, Dravet epilepsy.

Gambar 1. Klasifikasi epilepsy berdasar


ILAE 2017.8
2.6 Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi paroksimal dari korteks serebral. Kejang terjadi akibat
ketidakseimbangan tiba – tiba antara daya eksitatori dan inhibitor dalam jaringan neuron
kortikal. Fisiologi dasar dari episode kejang terdeteksi pada membran sel yang tidak stabil atau
sel pendukung di sekitarnya (yang berdekatan). Kejang berasal dari gray matter di area
kortikal atau subkortikal. Pada mulanya, sejumlah kecil neuron bekerja secara tidak normal.
Konduktansi membran normal dan kerusakan arus sinaptik inhibitor serta eksitabilitas yang
berlebihan menyebar baik secara lokal untuk menghasilkan kejang fokal atau lebih luas untuk
menghasilkan kejang umum. Serangan ini menyebar melalui jalur fisiologis untuk melibatkan
daerah yang berdekatan dengan daerah yang jauh. 9
Karena kelainan konduktansi kalium, kerusakan pada saluran ion yang mengaktifkan
tegangan, atau kekurangan ATPase membran yang terkait dengan transportasi ion dapat
menyebabkan membran saraf tidak stabil dan menyebabkan kejang. Neurotransmitter tertentu
seperti glutamate, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, corticotropin releasing factor,
purin, peptida, sitokin dan hormon steroid dapat meningkatkan rangsangan dan penyebaran
aktivitas saraf, sedangkan ã-amino butyric acid (GABA) dan dopamin menghambat aktivitas
saraf. 9
Selama terjadi kejang, permintaan aliran darah ke otak meningkat untuk membawa CO2
dan membawa substrat untuk aktivitas metabolik neuron, saat kejang berkepanjangan, otak
lebih menderita dari iskemia yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan kerusakan otak.9
Mutasi pada beberapa gen mungkin terkait dengan beberapa jenis epilepsi. Gen yang
mengkode subunit protein dari saluran ion yang sensitif terhadap voltase telah dikaitkan
dengan epilepsi umum dan sindrom kejang infantile.9
Salah satu mekanisme berspekulasi untuk beberapa bentuk epilepsi yang diturunkan
adalah mutasi gen yang mengkode protein saluran natrium. Saluran natrium yang rusak ini
tetap terbuka untuk waktu yang lama dan menyebabkan neuron lebih dapat dirangsang sebagai
akibatnya glutamat, sebuah neurotransmitter dapat dilepaskan dalam jumlah besar dari neuron
yang terikat dengan neuron glutamanergik terdekat-memicu pelepasan kalsium (Ca+) yang
berlebihan di post sel sinaptik yang mungkin merupakan neurotoxin pada sel saraf yang
terkena.9
2.7 Penegakkan Diagnosis
Epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung oleh pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang. Terdapat 3 langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu
menentukan apakah terdapat bangkitan epilepsi, menentukan tipe bangkitan, serta menentukan
adanya sindrom epilepsi.10

Anamnesis10
Anamnesis dapat dilakukan secara autoanamnesis (anamnesis terhadap pasien langsung)
dan alloanamnesis (dilakukan kepada orang tua atau orang-orang yang mengetahui kejadian
tersebut). Beberapa hal yang perlu digali oleh seorang dokter dalam melakukan anamnesis,
yaitu
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan
 Sebelum bangkitan (gejala prodromal)
- Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan terjadinya bangkitan, seperti
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif.
 Selama bangkitan (iktal)
- Apakah terdapat aura pada awal bangkitan ?
- Bagaimana pola/bentuk bangkita, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala,
gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan
sebagainya.
- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan ?
- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya ?
- Aktivitas penderita saat terjadi bangkitan.
 Pasca bangkitan (post-iktal)
- Apakah pasien merasa bingung, langsung tersadar, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, dan alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antarbangkitan, kesadaran antarbangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respons terhadap OAE sebelumnya
e. Penyakit yang diderita sekarang, Riwayat penyakit neurologis, psikiatrik, serta
sistemik yang dapat menjadi penyebab maupun komorbiditas
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat dalam kandungan, kelahian, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP.

Pemeriksaan Fisik10
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan
neurologis. Pada pemeriksaan fisik umum, harus dicari adanya tanda – tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, tanda – tanda infeksi, kelainan kongenital,
kecanduan alkohol ataupun napza, kelainan pada kulit, serta adanya tanda – tanda keganasan.
Pada pemeriksaan neurologis, harus dicari tanda – tanda adanya deficit neurologis fokal atau
difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Apabila dilakukan beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama tanda fokal yang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti Paresis Todd, gangguan kesadaran post-iktal, serta adanya afasia
post-iktal.

Pemeriksaan Penunjang
 EEG (Elektro-ensefalografi)
Pemeriksaan EEG merupakan suatu pemeriksaan yang sangat berguna
dalam mendiagnosa berbagai gangguan kejang. Pada beberapa pasien dengan
diagnosis klinis epilepsi, hasil pemeriksaan EEG dapat normal bahkan banyak
orang yang tidak memiliki epilepsi menunjukkan beberapa aktivitas otak yang
tidak biasa pada EEG. Pemeriksaan ini berguna untuk membantu menunjang
diagnosis, menentukkan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukkan
prognosis, serta membantu menentukkan perlu atau tidaknya pemberian OAE.9,10
 Pencitraan Otak
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi adanya lesi epileptogenic di
otak. Pemeriksaan yang paling umum digunakan yaitu CT-Scan, MRI, PET,
SPECT, dan MRS. MRI (Magnetic Resonance Imaging) beresolusi tinggi dapat
mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik seperti mesial
temporal sclerosis, glioma, ganglioma, dan malformasi kavernosus. Indikasi
pemeriksaan neuroimaging (CT-Scan kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang
yaitu bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa. CT-Scan
kepala
dilakukan lebih untuk kasus kegawatdaruratan, karena pemeriksaannya yang
cepat, sedangkan MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari
segi sensitivitas, MRI lebih sensitif daripada CT-Scan kepala dalam menentukkan
lesi struktural. PET (Positron Emission Tomography) dan MRI, SPECT (Single
Photon Emission Computed Tomography), dan MRS (Magnetic Resonance
Spectroscopy) dapat memberi informasi tambahan mengenai dampak perubahan
metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan
bangkitan.10
 Pemeriksaan Hematologis
Pemeriksaan ini mencakup pemeriksaan hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektroit (natrium, kalium, kalsium,
dan magnesium), kadar gula sewaktu, gungsi hati (SGOT/SGPT), ureum,
kreatinin albumin. Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan sebagai
salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE,
dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE, serta
dilakukan secara rutin setiap setahun sekali untuk memonitor efek samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.10

2.7 Tatalaksana
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menentukan terapi obat antiepilepsi
(OAE) adalah berapa besar kemungkinan terjadi bangkitan berulang, berapa besar
kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat
bangkitan selanjutnya dan pertimbangan untung rugi antara pengobatan dan efek samping
yang ditimbulkan. Ketepatan diagnsosi merupakan dasar terapi, diagnosis yang kurang tepat
dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat juga.10
Prinsip dalam pengobatan epilepsi adalah mengobati faktor penyebab epilepsi seperti
neoplasma otak, pasien harus diedukasi mengenai penyakitnya, lama perawatan dan kebutuhan
kepatuhan dalam pengobatan, faktor pencetus seperti alkohol, kurang tidur dan stress
emosional harus dihindari, serta OAE sebaiknya diberikan berdasarkan tipe kejang dan
diberikan apabila terjadi minimun 2 kali dalam setahun. Obat antiepilepsi dapat bekerja
terutama dengan salah satu dari tiga mekanisme utama, yaitu mengurangi rangsangan listrik
dari membran sel, khususnya saluran natrium yang bergantung pada tegangan yang
bertanggung jawab untuk arus masuk yang menghasilkan potensial aksi; meningkatkan
penghambatan sinaps yang dimediasi GABA dengan menghambat transaminase GABA atau
dengan obat – obatan dengan sifat agonis GABA langsung,
hasilnya adalah peningkatan permeabilitas membran terhadap ion klorida, yang mengurangi
rangasangan sel; menghambat saluran kalsium tipe-T (penting dalam mengendalikan kejang
absen) atau dengan menghambar neurotransmitter rangsang, misalnya glutamat.9
Tabel 1. Klasifikasi obat dalam pengobatan epilepsi.9

Seizure drug Conventional Recently


anti- developed
seizure drug anti-seizure drug
I. Partial Seizure
Simple partial Carbamazepine Gabapentin
Phenytoin Lamotrigine
Phenobarbital
Primidone
Valproate
Complex partial Carbamazepine Gabapentin
Phenytoin Lamotrigine
Phenobarbital
Primidone
Valproate
Partial with secondly Carbamazepine Gabapentin
generalized
tonic clonic seizure
Phenytoin Lamotrigine
Phenobarbital
Primidone
Valproate
II. Generalized Seizure
Absence seizure Clonazepam
Ethosuiximade
Valproate
Myoclonic seizure Valproate
Tonic-clonic seizure Carbamazepine
Phenytoin
Phenobarbital
Primidone
Valproate

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi farmakologis kepada pasien
epilepsi, yaitu OAE diberikan bila :10
 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
 Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
 Penderita dan atau keluarga sudah menerima penjelasan mengenai tujuan
pengobatan serta efek samping yang timbul dari OAE
 Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari, seperti
alkohol, stress, dan kurang tidur)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
 Pemberian obat dimulai dengan dosis terendah dan dinaikan secara bertahap
sampai dosis efektif tercapai
 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila : bangkitan tidak terkontrol dengan
dosis efektif, diduga ada perubahan farmakokinetik OAE, pasien tidak patuh
dalam pengobatan, setelah penggantian dosis/regimen OAE, dan untuk melihat
interaksi antar OAE atau obat lainnya.
 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengkontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Hal ini dilakukan bila OAE kedua
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering
off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap
diberikan. Bila respons yang didapatkan buruk, kedua OAE harus diganti dengan
OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga dilakukan bila terdapat respons dengan
OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE
pertama sudah optimal.
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama
 Penderita dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG; pada CT-Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan, seperti meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak dan ensefalitis
herpes; pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak; wiwayat epilepsi pada saudara kandung; Riwayat
bangkitan simptomatis; terdapat sindrom epilepsy yang berisiko kekambuhan
tinggi; riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke
dan infeksi SSP; serta bangkitan pertama berupa status epilepticus
 Efek samping OAE perlu diperhatikan, serta profil farmakologis tiap OAE dan
interakaksi farmakokinetik antar OAE
Tabel. Dosis OAE pada orang dewasa.10

OAE Dosis Awal Dosis Jumlah Dosis


(mg/hari) Rumatan /hari
(mg/hari)
Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x
Phenytoin 200-300 200-400 1-2x
Phenobarbital 50-100 50-200 1
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x

2.8 Prognosis

60%-70% pasien dengan epilepsi tergantung pada pengobatan. Risiko kekambuhan


setelah kejang pertama bervariasi antara 27%-71%. Sekitar 70% anak mencapai masa remisi
min. 2 tahun tanpa kejang. Pasien tanpa etiologi yang teridentifikasi memiliki hasil lebih baik
daripada pasien dengan etiologi struktural, metabolik/ genetik.11

2.9 Kesimpulan

Epilepsi merupakan penyakit neurologi tertua yang dapat menyerang semua orang tanpa
memandang usia, ras, ekonomi, sosial. Terdapat 3 tingkatan untuk diagnosis epilepsy berdasar
ILAE 2017 yaitu jenis kejang, jenis epilepsi dan sindrom epilepsi. Pengobatan diberikan
berdasar jenis kejang pada pasien.
Daftar Pustaka

1. Syakina L, Hawari I. Pengaruh fungsi kognitif terhadap kualitas hidup orang dengan
epilepsi pada komunitas peduli epilepsi di Indonesia di Depok periode November
2017- Maret 2018. Tarumanagara Med J. 2020;2(2):314-20.
2. Gunawan DP, Winifred K, Maja J. Gambaran tingkat pengetahuan masyarakat tentang
epilepsi di kelurahan mahena kecamatan tahuna kabupaten sangihe.ECL. 2014;2(1).
https://doi.org/10.35790/ecl.2.1.2014.3856
3. Yolanda NGA, Sareharto TP, Istiadi H. Faktor faktor yang berpengaruh pada kejadian
epilepsi intraktabel anak di rsup dr kariadi semarang. JKD. 2019;8(1):378-89.
http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
4. Ludwig PE, Reddy V, Varacallo M. Neuroanatomy, central nervous system (CNS)
[Internet]. NCBI. 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK442010/.
5. Thau L, Reddy V, Singh P. Anatomy, central nervous system [internet]. NCBI. 2020
[24 Mei 2020]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542179/.
6. Misbach J, Lamsudin R, Aliah A, Basyiruddin A, Suroto, Rasyid Al, et al. Guideline
Stroke tahun 2011. Jakarta: Pokdi Stroke PERDOSSI; 2011.
7. Fisher RS. The 2014 definition of epilepsy: a perspective for patients and caregivers
[Internet]. International League Against Epilepsy. 2014. Available from:
https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification/the-2014-definition- of-
epilepsy-a-perspective-for-patients-and-caregivers.
8. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, et al. ILAE
classification of the epilepsies: position paper of the ILAE commission for
classification and terminology. ILAE. 2017;58(4):512-21. https:// doi:
10.1111/epi.13709.
9. Mukhopadhyay HK, Kandar CC, Das SK, Ghosh L, Gupta BK. Epilepsy and its
management: a review. Journal of pharmascitech. 2012;1(2):20-6.
10. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman tatalaksana epilepsi. Surabaya:
Airlangga University Press. 2014. h. 11-4, 23-9.
11. Stafstrom CE, Carmant L. Seizures and epilepsy: an overview for neuroscientists. Cold
spring harb persepct med. 2015;5(5). https://doi:10.1101/cshperspect.a022426

Anda mungkin juga menyukai