Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Pemeriksaan Fisik Neurologi pada Anak

Dokter Pembimbing:
dr. Jeanne Laurensie S, Sp.A
dr. Adi Sentosa, Sp.A

Penyusun:
Mira Nur Indah
112019049

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT FAMILY MEDICAL CENTER BOGOR
PERIODE 8 FEBRUARI – 17 APRIL 2021
BAB 1
Pendahuluan

Pemeriksaan fisik diagnostik neurologi pada anak berbeda dengan dewasa, ada beberapa hal
yang tidak boleh diabaikan dan cara pemeriksaan harus disesesuaikan dengan umur anak/bayi.
Suasana harus tenang dan nyaman karena jika anak ketakutan, kemungkinan dia akan menolak
untuk diperiksa. Untuk anak usia 1 – 3 tahun, kebanyakan diperiksa dalam pelukan ibu.
Tata cara dan urutan pemeriksaan fisik pada anak tetap dimulai dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.

Sebelum dilakukan pemeriksaan neurologis, perlu dilakukan pemeriksaan fisik umum terlebih
dahulu, yang mencakup:1
• Berat dan tinggi badan, suhu badan dan tekanan darah
• Lakukan pemeriksaan seluruhnya mulai dari kepala sampai anggota gerak
• Kepala : bentuk, ukuran, sutura, ubun-ubun besar
• Rambut : warna, distribusi
• Mata : kelopak mata, sklera, konjungtiva, pupil, iris, jarak kedua pupil. Pada
konjungtiva apakah terdapat telangiektasia. Kalau ada kemungkinan pasien menderita
ataxia telangiectasia.
• Telinga : bentuk, posisi, lubang, dan pendengarannya.
• Hidung, rongga mulut dan farings: pergerakan lidah, langit-langit, gigi
• Muka: penampilan muka (sindrom Down, hipotiroidi, penyakit metabolik)
• Leher: pergerakannya
• Dada, abomen dan genitalia apakah ada kelainan
• Tulang belakang: bentuk dan fleksibilitas
• Anggota gerak atas: lengan, tangan, jari, posisi
• Anggota gerak bawah: tungkai, kaki, bentuk, posisi

Adapun prosedur pemeriksaan fisik diagnostik neurologis pada anak meliputi pemeriksaan
inspeksi, refleks, tanda rangsang meningeal, uji kekuatan dan tonus otot, uji sensibilitas,
pemeriksaan saraf kranialis, dan pemeriksaan fungsi luhur.1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Inspeksi

Pada inspeksi dilakukan pengamatan berbagai adanya kelainan neurologis seperti kejang,
tremor, twiching, dan korea. Selain itu diamati pula adnya defisit neurologis berupa
paresis dan paralisis.

Kejang harus dipandang sebagai gejala penyakit, dan bukan diagnosis. Pada setiap kejang
harus diperhatikan jenisnya (klonik atau tonik), bagian tubuh yang terkena (fokal atau
umum), lamanya kejang berlangsung, frekuensinya, selang atau interval antara serangan,
keadaan saat kejang dan setelah kejang (post-iktal), apakah kejang disertai demam atau
tidak, dan apakah anak pernah kejang sebelumnya.

Tremor atau gemetaran ialah gerakan halus yang konstan. Tremor ada yang timbul pada
waktu istirahat akibat lesi di sistem ekstrapiramidal dan ada pula yang timbul pada waktu
pergerakan akibat lesi di serebelum. Tremor otot juga dapat terjadi pada hipertiroidisme,
hipotermia, hipertermia, atau degenerasi medula spinalis.

Twitching adalah gerakan spasmodik yang berlangsung singkat, dapat terlihat pada otot
yang lelah, nyeri setempat, atau menyertai korea. Twitching dapat merupakan
manifestasi psikologis (ansietas dan lain-lain) yang biasanya bersifat periodik.

Gerakan korea adalah gerakan involunter kasar, tanpa tujuan, cepat dan tersentak-sentak,
tidak teratur, tidak terkoordinasi dan berhubungan dengan tonus otot yang tinggi.
Gerakan ini menghilang pada waktu tidur, dan bertambah apabila pasien diminta
melakukan gerakan volunter.

Paresis adalah kelumpuhan otot yang tidak sempurna (incomplete paralysis), sedang
paralisis ialah kelumpuhan otot yang sempurnya (complete paralysis). Baik paresis dan
paralisis dapat bersifat flaksid atau spastik.1
2. Refleks Fisiologis

a. Refleks dinding abdomen diperiksa dengan cara menggores kulit abdomen dengan 4
goresan yang membentuk segi empat dengan titik-titik sudut di bawah xifoid, di atas
simfisis dan di kanan kiri umbilikus. Umbilikus akan bergerak pada setiap goresan.
Pada anak dengan poliomielitis atau anak dengan lesi sentral atau piramidal, refleks
ini negatif.1

Gambar pemeriksaan refleks dinding abdomen

b. Refleks kremaster dilakukan dengan menggores kulit paha bagian dalam. Dalam
keadaan normal testis akan naik. Refleks kremaster yang negatif terdapat pada lesi
medula spinalis misalnya poliomielitis. Pada anak di atas 12 tahun refleks ini dapat
negatif.1
Gambar pemeriksaan refleks kremaster

c.
Refleks tendon dalam biasanya diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela dan
Achilles. Pada refleks biseps terjadi fleksi sendi siku bila tendon biseps diketuk. Pada
refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon triseps diketuk. Refleks patela
(knee jerk) diperiksa dengan mengetuk tendon patela; normal akan terjadi ekstensi
sendi lutut. Pada refleks tendon Achilles terjadi fleksi plantar kaki apabila tendon
Achilles diketuk. Pada anak besar, ketukan dapat menggunakan palu refleks. Perlu
dibandingkan refleks kanan dan kiri. Refleks tendon akan meninggi pada lesi upper
motor neuron, hipertiroidisme, hipokalsemia atau tumor batang otak. Hiporefleksi
terjadi pada lesi lower motor neuron, sindrom Down, malnutrisi, atau beberapa
kelainan metabolik.1

Gambar pemeriksaan refleks tendon bisceps dan triseps


Gambar pemeriksaan refleks patela dan tendon achilles

3. Refleks Patologis

a. Refleks Babinski dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki, mulai dekat
tumit ditarik ke atas sepanjang sisi lateral telapak kaki dan menyilang ke medial dengan
alat yang sedikit runcing. Bila positif akan terjadi reaksi berupa ekstensi ibu jari kaki
disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain. Bila refleks ini terdapat pada anak
besar, mungkin terdapat lesi piramidal.1

Gambar pemeriksaan refleks babinski

b. Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan tulang kering dengan jari-jari dan
digeser ke arah bawah, dan apabila positif akan terjadi reaksi seperti refleks Babinski.
Refleks Chaddock dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, dan reaksi positif
seperti refleks Babinski. Refleks Gordon dilakukan dengan memencet betis, dan reaksi
positid seperti refleks Babinski.1

Gambar pemeriksaan refleks patologis

c. Refleks Hoffmann dilakukan dengan menyentil kuku (falang terakhir) jari kedua atau
ketiga pasien ke bawah. Bila positif akan terjadi feksi ibu jari dan jari ketiga atau kedua.
Tanda Hoffmann juga menunjukkan terjadinya lesi piramidal (upper motor neuron),
tetapi tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.

d. Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki pasien dengan
cepat dan kuat, ditahan sebentar sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan lain
pemeriksa yang diletakkan pada fosa poplitea. Bila klonus positif terjadi gerakan fleksi
dan ekstensi kaki secara terus menerus dan cepat.

e. Klonus patela adalah gerakan patela naik turun dengan cepat, timbul bila patela ditekan
kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan ekstensi dan lemas. Klonus
patela juga dapat ditimbulkan dengan cara fleksi pada lutut, satu tangan pemeriksa
memegang tungkai di atas lutut, tangan lain di bawah lutut (distal lutut), kemudian
tangan yang distal digerakkan secara cepat ke arah proksimal, maka akan teraba atau
terlihat kontraksi dan relaksasinya tungkai. Klonus sering menyertai setiap keadaan
dengan hiperrefleksi dan refleks patologis.1

4. Tanda Rangsang Meningeal

Terdapatnya rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa perasat, antara lain
pemeriksaan kaku kuduk, tanda Brudzinki I, Brudzinki II, dan Kernig.2

a. Pada pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity), pasien dalam posisi telentang. Bila
lehetnya ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel
pada dada, maka dikatakan kaku kuduk positif. Tahanan juga dapat terasa bila leher
dibuat hiperekstensi, diputar, atau digerakkan ke samping. Kadang-kadang kaku
kuduk disertai hiperekstensi tulang belakang; keadaan ini disebut opistotonus. Di
samping menunjukkan adanya rangsang meningeal (meningitis), kaku kuduk juga
terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar, ensefalitis virus,
keracunan timbal, dan artritis rheumatoid.2

Gambar pemeriksaan kaku kuduk

b. Pada pemeriksaan perasat Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign), letakkan satu tangan
pemeriksa di bawah kepala pasien yang terlentang, dan tangan lain diletakkan di dada
pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien
difleksikan ke dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat rangsang meningeal
maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.2
Gambar pemeriksaan Brudzinki I

c. Pada pemeriksaan perasat Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral sign), pasien


telentang, fleksi pasif tungkai atas pada sendi panggul akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan snedi lutut. Hasil lebih jelas bila waktu fleksi ke
pangul sendi lutut dalam keadaan ekstensi.2

d. Pada pemeriksaan perasat Kernig ada bermacam-macam cara; yang biasa


dipergunakan ialah pada pasien dalam posisi telentang dilakukan fleksi tungkai atas
tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Dalam
keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135o terhadap
tungkai atas. Pada iritasi meningeal ekstensi lutut secara pasif tersebut akan
menyebabkan rasa sakit dan terdapat hambatan.2

Gambar pemeriksaan Kernig


5. Uji Kekuatan dan Tonus Otot

Uji ini dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa
dan kooperatif. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan tungkai bawah
tergantung. Ia diminta untuk menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa
menahan gerakan-gerakannya (kekuatan kinetik), dan setelah itu disuruh menahan
anggota badan yang dites tetap di tempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan
yang dilakukan pemeriksa (kekuatan statik).1

Gambar pemeriksaan kekuatan otot

Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai
100% sampai 0%, ada yang menggunakan kode huruf :
• N : normal
• G : good
• F : fair
• P : poor
• T : trace
• O : zero

Ada pula yang menilai dengan angka 5 sampai 0 :


• 5 : normal
• 4 : dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan
tekanan secara simultan
• 3 : dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak dapat
menggerakkan anggota badan untuk melawan tekanan pemeriksa
• 2 : dapat menggerakkan anggota gerak tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak
dapat melawan tekanan pemeriksa
• 1 : terlihat atau teraba gerakan kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan anggota
gerak sama sekali
• 0 : paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali

Pemeriksaan kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak, misalnya disuruh
mengangkat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama, kemudian ditekan bahunya dan
anak disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak diajak berjabat tangan dan disuruh
pronasi dan supinasi sambil ditahan. Demikian pula dengan anggota gerak yang lain.
Pada uji suatu kekuatan otot harus selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya
yang kontralateral.3

Tonus otot diperiksa dengan manipulasi sendi besar dan ditentukan derajat tahanannya.
Uji hipotonia yang sensitif pada anggota gerak atas ialah dengan tanda pronator, yaitu
pasien diminta angkat tangan, maka akan terjadi hiperpronasi ke arah luar telapak tangan
yang hipotonia disertai fleksi pada siku.3

6. Uji Sensibilitas

Pada anak yang berumur 6 tahun ke atas baru dapat dilakukan uji sensibilitas yang
sebenarnya. Sebelum dilakukan pemeriksaan yang sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu
cara yang akan dikerjakan kepada pasien.1

Uji Sentuhan
Sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa dan anak disuruh
menjawab apakah terasa sentuhan.

Uji Rasa Nyeri


Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan jarum yang tajam dan tumpul.
Ditunjukkan lebih dahulu caranya dengan mata pasien terbuka dan anak diminta
membedakan ujung jarum tajam dan tumpul. Setelah itu anak disuruh menutup mata,
kemudian uji dilakukan di kulit tangan, kaki, pipi, rahang, dan anak kembali disuruh
membedakan ujung jarum yang tajam dan tumpul.

Uji Rasa Vibrasi


Uji dilakukan dengan garpu tala yang bergetar yang ditempelkan pada sendi jari, ibu jari
kaki, serta maleolus lateral dan medial. Pasien boleh membuka mata, tetapi tidak boleh
melihat, kemudian ditanya apakah terasa ada getaran.

Gambar pemeriksaan uji rasa vibrasi

Uji Posisi
Sambil menutup mata, anak disuruh mengatakan apakah jari tangan atau kakinya
digerakkan ke atas atau ke bawah.

Gambar pemeriksaan uji posisi


Uji Stereognosis
Dengan mata tertutup pasien diminta menebak benda yang sudah dikenal yang diletakkan
di tangannya, misalnya kain, kancing baju, kunci atau peniti. Pasien mengenal benda
tersebut dari ukurannya, kelenturannya, atau bentuknya. Kalau stereognosis negatif
disebut astereognosis yang biasanya berhubungan dengan adanya lesi di daerah lobus
parietalis.

Gambar pemeriksaan uji stereognosis

Uji Grafestesia
Setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian pasien disuruh menutup
mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol yang dikenal pasien di telapak
tangan atau lengan bawah pasien, dan pasien diminta menebaknya. Apabila tidak dapat
menebak disebut disgrafestesia.
Gambar pemeriksaan uji graphesthesia

7. Pemeriksaan Saraf Kranialis

Saraf otak I (N. Olfaktorius)


Uji penciuman (sensasi bau) dilakukan pada anak yang sudah berumur lebih dari 5-6
tahun, dengan melakukan uji pada setiap lubang hidung secara terpisah (salah satu lubang
hidung ditutup), dengan mata tertutup. Bahan uji yang paling baik ialah bahan uji yang
menimbulkan bau yang tidak merangsang dan yang sudah dikenal oleh pasien. Fungsi n.
Olfaktorius hilang pada trauma cribriform atau tumor di daerh bulbus olfaktorius.4

Saraf otak II (N. Optikus)


Uji saraf otak II terdiri dari uji ketajaman penglihatan, perimetri, dan pemeriksaan fundus
(funduskopi). Uji ketajaman penglihatan pada anak besar sudah dapat dilakukan dengan
menggunakan snellen chart. Refleks kedip dan memejamkan mata bila ada benda yang
mendadak bergerak ke arah mata menunjukkan visus baik. Uji perimetri dilakukan oleh
ahli mata.

Pemeriksaan funduskopi memerlukan oftalmoskop yang baik, ruang gelap, serta


kesabaran pemeriksa. Untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap sinar, pasien
diminta melihat gambar di dinding yang berlawanan dengan pasien. Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan tanpa midriatikum untuk melihat reaksi pupil. Kalau terpaksa (pupil
pasien dalam keadaan miosis), dapat dipergunakan midriatikum setelah reaksi pupil
diperiksa terlebih dahulu. Mula-mula dipergunakan sinar redup pada oftalmoskop sambil
dijelaskan kepada pasien mengenai cara pemeriksaan. Setelah itu mulai dipergunakan
lensa + 20 untuk memeriksa kornea dan lensa apakah ada ulserasi, opasitas, dan katarak.
Kemudian dipergunakan lensa 0 pada oftalmoskop untuk memeriksa retina dan papila N.
Optikus. Fokuskanlah pada makula dan perhatikanlah kelainan-kelaianan pada makula
dan sekitarnya. Perhatikanlah ukuran, pulsasi, dan distribusi pembuluh darah retina, serta
terdapatnya deposit abnormal, pigmentasi abnormal dan adanya perdarahan.

Diperiksa papila N. Optikus mengenai ukurannya, warna, batas, dan keadaan sekitarnya.
Papila normal berbentuk oval-elips, berwarna merah muda. Daerah temporal lebih pucat
daripada daerah nasal. Batasnya tegas, tetapi daerah temporal lebih tegas dan kadang-
kadang di daerah nasal sedikit kabur. Pada papiledema batas papil menjadi kabur, mula-
mula di daerah nasal dan superior, bila lanjut baru di daerah temporal. Papil menjadi
menonjol, hiperemik, dengan dilatasi vena yang berkelok-kelok disertai dengan
menghilangnya pulsasi vena, konstriksi arteri dan perdarahan. Perdarahan yang terjadi
mula-mula di sekitar papil, berbentuk linear atau flame-shaped dan menyebar ke luar
papil. Papiledema harus dibedakan dengan kelainan kongenital yang menyerupai
papiledema dengan batas kabur, akan tetapi tidak disertai dengan dilatasi vena dan tidak
hiperemik. Papiledema juga harus dibedakan dengan neuritis optika. Pada neuritis optika
terdapat banyak eksudat pada papil dan terdapat gangguan visus yang jelas.

Pada atrofi optik primer, papil tampak pucat berbatas tegas, kapiler berkurang dan ukuran
pembuluh darah menjadi lebih kecil. Pada atrofi optik sekunder, bentuk papil hampir
sama dengan atrofi optik primer, tetapi tampak bekas-bekas kelainan semula, misalnya
batasannya masih kabur dan terdapat sisa-sisa eksudat.4

Saraf otak III, IV, VI (Nn. Okulomotorius, Troklearis, dan Abdusen)


Uji yang cukup sederhana dan mudah dilakukan ialah uji gerakan kedua mata, uji
akomodasi, dan refleks cahaya. Uji gerakan bola mata dilaksanakan dengan cara meminta
anak untuk mengikuti gerakan benda atau jari pemeriksa ke samping atas kiri, atas kanan,
bawah kiri, bawah kanan, serta garis tengah tegak lurus.
Uji akomodasi dilakukan dengan meminta pasien melihat benda yang digerakkan
mendekat dan menjauh, perhatikanlah pupil pasien apakah mengecil bila melihat dekat
serta membesar bila melihat jauh. Uji diplopia dilakukan dengan menanyakan kepada
pasien apakah melihat satu atau lebih benda yang digerakkan di depan pasien ke atas kiri,
atas kanan, bawah kiri, dan bawah kanan.

Paralisis saraf otak III akan menyebabkan mata yang terkena akan deviasi ke arah lateral
bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta hilangnya refleks cahaya dan
akomodasi. Paralisis saraf otak IV jarang terjadi; pada keadaan ini waktu melihat ke
bawah terjadi sedikit strabismus konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat
ke arah bawah sehingga mengalami kesukaran waktu menuruni tangga. Paralisis saraf
otak VI paling sering terjadi, yang ditandai oleh strabismus konvergens dan diplopia.
Ptosis kongenital sering ditemukan, dan diturunkan secara dominan.4

Saraf otak V (N. Trigeminus)


Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini adalah uji perasaan (sensasi) dengan cara
mengusapkan kapas, menggoreskan jarum, atau benda-benda hangat atau dingin di
daerah wajah; uji lain ialah terhadap refleks kornea dan rahang. Uji refleks kornea
dilakukan dengan kain kasa atau kapas yang bersih yang disentuhkan pada kornea pasien,
bila saraf otak V intak maka mata akan berkedip.

Refleks rahang (jaw jerk) dilakukan dengan menyuruh pasien membuka mulut sedikit,
kemudian letakkan jari ditengah-tengah dagu pasien. Ketuklah jari tersebut dengan jari
tangan lainnya atau dengan pengetuk refleks, dalam keadaan normal dagu akan terangkat.
Lesi saraf otak V unilateral menyebabkan rahang miring ke sisi paretik. Perlu diingat
bahwa uji perasaan (sensasi) sulit dilakukan pada anak; yang mudah dilakukan adalah uji
refleks kornea.4

Saraf otak VII (N. Fasialis)


Pemeriksaan untuk saraf otak VII dilakukan dengan menyuruh pasien tersenyum,
meringis, bersiul, membuka dan menutup mata, serta uji refleks kornea serta uji pengecap
(sensasi pengecap). Bila terdapat paresis unilateral N. VII, akan terlihat mulut pasien
mencong ke sisi sehat, dan mata pada sisi lesi tidak dapat menutup dengan rapat
(lagoftalmos). Uji pengecap dilakukan dengan cara meminta pasien menjulurkan lidah,
pemeriksa memegang ujung lidah dengan kain kasa dan meletakkan bahan uji, kemudian
meminta pasien untuk menyebut bahan uji yang digunakan dengan mata tertutup (bahan
yang dipakai berupa gula, garam, asam sitrat, dan kina). Lidah harus tetap di luar sampai
uji sensori pengecap selesai, dan pasien diminta menyebutkan bahan uji yang digunakan
dengan mata tertutup.

Saraf otak VIII (N. Akustikus)


Saraf otak ini terdiri dari N. Koklearis untuk pendengaran dan N. Vestibularis untuk
keseimbangan. Uji ketajaman pendengaran dilakukan dengan menutup satu telinga
kemudian memperdengarkan suara detik arloji atau suara bisikan di telinga yang diuji;
ini dikerjakan bergantian pada kedua telinga. Uji lainnya dilakukan oleh ahli THT,
demikian pula uji keseimbangan.

Saraf otak IX (N. Glosofaringeus)


Pemeriksaan saraf otak ini ditujukan untuk menilai kelainan – kelainan yang timbul,
berupa :
• Hilangnya refleks muntah
• Disfagia ringan
• Hilangnya sensasi mengecap (dengan uji pengecap)
• Deviasi uvula ke sisi yang sehat
• Hilangnya sensasi pada faring, tonsil, tenggorok bagian atas dan lidah bagian
belakang
• Hilangnya konstriksi dinding posterior faring ketika mengeluarkan suara “ah”
• Hipersalivasi

Saraf otak X (N. Vagus)


Gangguan saraf otak ini dapat berupa gangguan motorik, sensorik, dan vegetatif.
Gangguan motorik berupa afonia (suara menghilang), disfonia (gangguan suara),
disfagia (kesukaran menelan, biasanya bila anak minum muntah kembali melalui hidung),
spasme esofagus, dan paralisisi palatum mole (refleks muntah negatif). Gangguan
sensorik berupa nyeri dan parestesia pada faring dan laring, batuk, dan sesak napas.
Gangguan vegetatif terdiri dari bradikardia, takikardia dan dilatasi lambung.
Saraf otak XI (N. Aksesorius)
Pemeriksaan untuk kelainan saraf aksesorius ini berupa uji kemampuan untuk
mengangkat bahu dan memutar kepala melawan tahanan. Pada gangguan saraf otak ini
pasien tidak dapat mengangkat bahu pada sisi yang terkena dan tidak mampu memutar
kepala ke arah sisi yang sehat. Perhatikan bahwa bahu yang terkena berada dalam posisi
lebih rendah daripada yang sehat, serta terdapat atrofi m. Sternokleidomastoideus.

Saraf otak XII (N. Hipoglosus)


Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji menilai kekuatan lidah dengan menyuruh
pasien menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri melawan tahanan jari
pemeriksa. Perhatikan deviasi lidah pada waktu dijulurkan; bila terdapat paralisis lidah
akan deviasi ke sisi lesi dan lidah juga tampak atrofik disertai dengan tremor

8. Pemeriksaan Fungsi Luhur

Fungsi luhur yang khas bagi manusia mencakup aktivitas yang memiliki hubungan
dengan kebudayaan, bahasa, ingatan, dan pengertian. Fungsi luhur berkembang pada
manusia melalui mekanisme neuronal yang memungkinkan penyadaran dan pengenalan
segala sesuatu yang berasal dari dunia di luar dirinya, sehingga menjadi pengalaman dan
miliknya, yang dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan dirinya kepada dunia luar.5

Salah satu pemeriksaan yang penting dalam bidang neurologi adalah pemeriksaan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan tingkat kesadaran berguna dalam mengakkan diagnosis maupun
menentukan prognosis penderita.

Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian


impuls eferen dan aferen. Dalam menilai kesadaran harus dibedakan antara tingkat
kesadaran dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran menunjukkan kewaspadaan atau reaksi
seseorang dalam menanggapi rangsangan dari luar yang ditangkap oleh panca indera.
Sedangkan isi kesadaran berhubungan dengan fungsi kortikal seperti membaca, menulis,
bahasa, intelektual, dan lain-lain.
Tingkat kesadaran yang menurun biasanya diikuti dengan gangguan isi kesadaran.
Sedangkan gangguan isi kesadaran tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat
kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran diukur dengan Glasgow Coma Scale. Adapun
untuk pasien anak-anak pemeriksaan tingkat kesadaran dapat menggunakan modifikasi
GCS yang disebut dengan Pediatric Coma Scale (PCS). Perbedaan penilaiannya adalah
pada unsur verbalnya karena biasanya anak kecil belum dapat berbicara dengan jelas.
Unsur penilaian PCS adalah sebagai berikut:5

Pediatric Coma Scale (PCS)


Membuka Mata Spontan membuka mata 4
Terhadap rangsang suara membuka mata 3
Terhadap rangsang nyeri membuka mata 2
Menutup mata terhadap terhadap semua jenis 1
rangsang
Respon Verbal Terorientasi 5
Kata-kata 4
Suara 3
Menangis 2
Tidak ada suara sama sekali 1
Respon Motorik Menurut perintah 5
Lokalisasi nyeri 4
Fleksi terhadap nyeri 3
Ekstensi terhadap nyeri 2
Tidak ada gerakan sama sekali 1

Penilaian tingkat kesadaran pada anak dengan PCS juga masih dibedakan menurut
rentang umur, yaitu :
Umur Nilai Normal
Lahir – 6 bulan 9
6 – 12 bulan 11
1 – 2 tahun 12
2 – 5 tahun 13
Lebih dari 5 tahun 14
DAFTAR PUSTAKA

1. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak.
Edisi-3. Jakarta: Sagung Seto. 2017. Hal. 135-146
2. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI. 2017. Hal. 28-
32
3. Fenderson CB, Ling WK. Pemeriksaan neuromuskular seri panduan klinis. Jakarta:
Erlangga. 2014. Hal. 86
4. Sukanti, Sri, dkk. Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak. Jakarta: Trans Info Media.
2015.
5. Suharso D, Herjana AY, Emy. Lokakarya tumbuh kembang anak: Pemeriksaan
neurologi pada bayi dan anak. Surabaya: FK Unair. 2014.

Anda mungkin juga menyukai