PF Neurologi Pada Anak Word
PF Neurologi Pada Anak Word
Dokter Pembimbing:
dr. Jeanne Laurensie S, Sp.A
dr. Adi Sentosa, Sp.A
Penyusun:
Mira Nur Indah
112019049
Pemeriksaan fisik diagnostik neurologi pada anak berbeda dengan dewasa, ada beberapa hal
yang tidak boleh diabaikan dan cara pemeriksaan harus disesesuaikan dengan umur anak/bayi.
Suasana harus tenang dan nyaman karena jika anak ketakutan, kemungkinan dia akan menolak
untuk diperiksa. Untuk anak usia 1 – 3 tahun, kebanyakan diperiksa dalam pelukan ibu.
Tata cara dan urutan pemeriksaan fisik pada anak tetap dimulai dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Sebelum dilakukan pemeriksaan neurologis, perlu dilakukan pemeriksaan fisik umum terlebih
dahulu, yang mencakup:1
• Berat dan tinggi badan, suhu badan dan tekanan darah
• Lakukan pemeriksaan seluruhnya mulai dari kepala sampai anggota gerak
• Kepala : bentuk, ukuran, sutura, ubun-ubun besar
• Rambut : warna, distribusi
• Mata : kelopak mata, sklera, konjungtiva, pupil, iris, jarak kedua pupil. Pada
konjungtiva apakah terdapat telangiektasia. Kalau ada kemungkinan pasien menderita
ataxia telangiectasia.
• Telinga : bentuk, posisi, lubang, dan pendengarannya.
• Hidung, rongga mulut dan farings: pergerakan lidah, langit-langit, gigi
• Muka: penampilan muka (sindrom Down, hipotiroidi, penyakit metabolik)
• Leher: pergerakannya
• Dada, abomen dan genitalia apakah ada kelainan
• Tulang belakang: bentuk dan fleksibilitas
• Anggota gerak atas: lengan, tangan, jari, posisi
• Anggota gerak bawah: tungkai, kaki, bentuk, posisi
Adapun prosedur pemeriksaan fisik diagnostik neurologis pada anak meliputi pemeriksaan
inspeksi, refleks, tanda rangsang meningeal, uji kekuatan dan tonus otot, uji sensibilitas,
pemeriksaan saraf kranialis, dan pemeriksaan fungsi luhur.1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Inspeksi
Pada inspeksi dilakukan pengamatan berbagai adanya kelainan neurologis seperti kejang,
tremor, twiching, dan korea. Selain itu diamati pula adnya defisit neurologis berupa
paresis dan paralisis.
Kejang harus dipandang sebagai gejala penyakit, dan bukan diagnosis. Pada setiap kejang
harus diperhatikan jenisnya (klonik atau tonik), bagian tubuh yang terkena (fokal atau
umum), lamanya kejang berlangsung, frekuensinya, selang atau interval antara serangan,
keadaan saat kejang dan setelah kejang (post-iktal), apakah kejang disertai demam atau
tidak, dan apakah anak pernah kejang sebelumnya.
Tremor atau gemetaran ialah gerakan halus yang konstan. Tremor ada yang timbul pada
waktu istirahat akibat lesi di sistem ekstrapiramidal dan ada pula yang timbul pada waktu
pergerakan akibat lesi di serebelum. Tremor otot juga dapat terjadi pada hipertiroidisme,
hipotermia, hipertermia, atau degenerasi medula spinalis.
Twitching adalah gerakan spasmodik yang berlangsung singkat, dapat terlihat pada otot
yang lelah, nyeri setempat, atau menyertai korea. Twitching dapat merupakan
manifestasi psikologis (ansietas dan lain-lain) yang biasanya bersifat periodik.
Gerakan korea adalah gerakan involunter kasar, tanpa tujuan, cepat dan tersentak-sentak,
tidak teratur, tidak terkoordinasi dan berhubungan dengan tonus otot yang tinggi.
Gerakan ini menghilang pada waktu tidur, dan bertambah apabila pasien diminta
melakukan gerakan volunter.
Paresis adalah kelumpuhan otot yang tidak sempurna (incomplete paralysis), sedang
paralisis ialah kelumpuhan otot yang sempurnya (complete paralysis). Baik paresis dan
paralisis dapat bersifat flaksid atau spastik.1
2. Refleks Fisiologis
a. Refleks dinding abdomen diperiksa dengan cara menggores kulit abdomen dengan 4
goresan yang membentuk segi empat dengan titik-titik sudut di bawah xifoid, di atas
simfisis dan di kanan kiri umbilikus. Umbilikus akan bergerak pada setiap goresan.
Pada anak dengan poliomielitis atau anak dengan lesi sentral atau piramidal, refleks
ini negatif.1
b. Refleks kremaster dilakukan dengan menggores kulit paha bagian dalam. Dalam
keadaan normal testis akan naik. Refleks kremaster yang negatif terdapat pada lesi
medula spinalis misalnya poliomielitis. Pada anak di atas 12 tahun refleks ini dapat
negatif.1
Gambar pemeriksaan refleks kremaster
c.
Refleks tendon dalam biasanya diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela dan
Achilles. Pada refleks biseps terjadi fleksi sendi siku bila tendon biseps diketuk. Pada
refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon triseps diketuk. Refleks patela
(knee jerk) diperiksa dengan mengetuk tendon patela; normal akan terjadi ekstensi
sendi lutut. Pada refleks tendon Achilles terjadi fleksi plantar kaki apabila tendon
Achilles diketuk. Pada anak besar, ketukan dapat menggunakan palu refleks. Perlu
dibandingkan refleks kanan dan kiri. Refleks tendon akan meninggi pada lesi upper
motor neuron, hipertiroidisme, hipokalsemia atau tumor batang otak. Hiporefleksi
terjadi pada lesi lower motor neuron, sindrom Down, malnutrisi, atau beberapa
kelainan metabolik.1
3. Refleks Patologis
a. Refleks Babinski dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki, mulai dekat
tumit ditarik ke atas sepanjang sisi lateral telapak kaki dan menyilang ke medial dengan
alat yang sedikit runcing. Bila positif akan terjadi reaksi berupa ekstensi ibu jari kaki
disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain. Bila refleks ini terdapat pada anak
besar, mungkin terdapat lesi piramidal.1
b. Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan tulang kering dengan jari-jari dan
digeser ke arah bawah, dan apabila positif akan terjadi reaksi seperti refleks Babinski.
Refleks Chaddock dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, dan reaksi positif
seperti refleks Babinski. Refleks Gordon dilakukan dengan memencet betis, dan reaksi
positid seperti refleks Babinski.1
c. Refleks Hoffmann dilakukan dengan menyentil kuku (falang terakhir) jari kedua atau
ketiga pasien ke bawah. Bila positif akan terjadi feksi ibu jari dan jari ketiga atau kedua.
Tanda Hoffmann juga menunjukkan terjadinya lesi piramidal (upper motor neuron),
tetapi tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.
d. Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki pasien dengan
cepat dan kuat, ditahan sebentar sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan lain
pemeriksa yang diletakkan pada fosa poplitea. Bila klonus positif terjadi gerakan fleksi
dan ekstensi kaki secara terus menerus dan cepat.
e. Klonus patela adalah gerakan patela naik turun dengan cepat, timbul bila patela ditekan
kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan ekstensi dan lemas. Klonus
patela juga dapat ditimbulkan dengan cara fleksi pada lutut, satu tangan pemeriksa
memegang tungkai di atas lutut, tangan lain di bawah lutut (distal lutut), kemudian
tangan yang distal digerakkan secara cepat ke arah proksimal, maka akan teraba atau
terlihat kontraksi dan relaksasinya tungkai. Klonus sering menyertai setiap keadaan
dengan hiperrefleksi dan refleks patologis.1
Terdapatnya rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa perasat, antara lain
pemeriksaan kaku kuduk, tanda Brudzinki I, Brudzinki II, dan Kernig.2
a. Pada pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity), pasien dalam posisi telentang. Bila
lehetnya ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel
pada dada, maka dikatakan kaku kuduk positif. Tahanan juga dapat terasa bila leher
dibuat hiperekstensi, diputar, atau digerakkan ke samping. Kadang-kadang kaku
kuduk disertai hiperekstensi tulang belakang; keadaan ini disebut opistotonus. Di
samping menunjukkan adanya rangsang meningeal (meningitis), kaku kuduk juga
terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar, ensefalitis virus,
keracunan timbal, dan artritis rheumatoid.2
b. Pada pemeriksaan perasat Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign), letakkan satu tangan
pemeriksa di bawah kepala pasien yang terlentang, dan tangan lain diletakkan di dada
pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien
difleksikan ke dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat rangsang meningeal
maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.2
Gambar pemeriksaan Brudzinki I
Uji ini dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa
dan kooperatif. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan tungkai bawah
tergantung. Ia diminta untuk menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa
menahan gerakan-gerakannya (kekuatan kinetik), dan setelah itu disuruh menahan
anggota badan yang dites tetap di tempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan
yang dilakukan pemeriksa (kekuatan statik).1
Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai
100% sampai 0%, ada yang menggunakan kode huruf :
• N : normal
• G : good
• F : fair
• P : poor
• T : trace
• O : zero
Pemeriksaan kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak, misalnya disuruh
mengangkat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama, kemudian ditekan bahunya dan
anak disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak diajak berjabat tangan dan disuruh
pronasi dan supinasi sambil ditahan. Demikian pula dengan anggota gerak yang lain.
Pada uji suatu kekuatan otot harus selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya
yang kontralateral.3
Tonus otot diperiksa dengan manipulasi sendi besar dan ditentukan derajat tahanannya.
Uji hipotonia yang sensitif pada anggota gerak atas ialah dengan tanda pronator, yaitu
pasien diminta angkat tangan, maka akan terjadi hiperpronasi ke arah luar telapak tangan
yang hipotonia disertai fleksi pada siku.3
6. Uji Sensibilitas
Pada anak yang berumur 6 tahun ke atas baru dapat dilakukan uji sensibilitas yang
sebenarnya. Sebelum dilakukan pemeriksaan yang sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu
cara yang akan dikerjakan kepada pasien.1
Uji Sentuhan
Sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa dan anak disuruh
menjawab apakah terasa sentuhan.
Uji Posisi
Sambil menutup mata, anak disuruh mengatakan apakah jari tangan atau kakinya
digerakkan ke atas atau ke bawah.
Uji Grafestesia
Setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian pasien disuruh menutup
mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol yang dikenal pasien di telapak
tangan atau lengan bawah pasien, dan pasien diminta menebaknya. Apabila tidak dapat
menebak disebut disgrafestesia.
Gambar pemeriksaan uji graphesthesia
Diperiksa papila N. Optikus mengenai ukurannya, warna, batas, dan keadaan sekitarnya.
Papila normal berbentuk oval-elips, berwarna merah muda. Daerah temporal lebih pucat
daripada daerah nasal. Batasnya tegas, tetapi daerah temporal lebih tegas dan kadang-
kadang di daerah nasal sedikit kabur. Pada papiledema batas papil menjadi kabur, mula-
mula di daerah nasal dan superior, bila lanjut baru di daerah temporal. Papil menjadi
menonjol, hiperemik, dengan dilatasi vena yang berkelok-kelok disertai dengan
menghilangnya pulsasi vena, konstriksi arteri dan perdarahan. Perdarahan yang terjadi
mula-mula di sekitar papil, berbentuk linear atau flame-shaped dan menyebar ke luar
papil. Papiledema harus dibedakan dengan kelainan kongenital yang menyerupai
papiledema dengan batas kabur, akan tetapi tidak disertai dengan dilatasi vena dan tidak
hiperemik. Papiledema juga harus dibedakan dengan neuritis optika. Pada neuritis optika
terdapat banyak eksudat pada papil dan terdapat gangguan visus yang jelas.
Pada atrofi optik primer, papil tampak pucat berbatas tegas, kapiler berkurang dan ukuran
pembuluh darah menjadi lebih kecil. Pada atrofi optik sekunder, bentuk papil hampir
sama dengan atrofi optik primer, tetapi tampak bekas-bekas kelainan semula, misalnya
batasannya masih kabur dan terdapat sisa-sisa eksudat.4
Paralisis saraf otak III akan menyebabkan mata yang terkena akan deviasi ke arah lateral
bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta hilangnya refleks cahaya dan
akomodasi. Paralisis saraf otak IV jarang terjadi; pada keadaan ini waktu melihat ke
bawah terjadi sedikit strabismus konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat
ke arah bawah sehingga mengalami kesukaran waktu menuruni tangga. Paralisis saraf
otak VI paling sering terjadi, yang ditandai oleh strabismus konvergens dan diplopia.
Ptosis kongenital sering ditemukan, dan diturunkan secara dominan.4
Refleks rahang (jaw jerk) dilakukan dengan menyuruh pasien membuka mulut sedikit,
kemudian letakkan jari ditengah-tengah dagu pasien. Ketuklah jari tersebut dengan jari
tangan lainnya atau dengan pengetuk refleks, dalam keadaan normal dagu akan terangkat.
Lesi saraf otak V unilateral menyebabkan rahang miring ke sisi paretik. Perlu diingat
bahwa uji perasaan (sensasi) sulit dilakukan pada anak; yang mudah dilakukan adalah uji
refleks kornea.4
Fungsi luhur yang khas bagi manusia mencakup aktivitas yang memiliki hubungan
dengan kebudayaan, bahasa, ingatan, dan pengertian. Fungsi luhur berkembang pada
manusia melalui mekanisme neuronal yang memungkinkan penyadaran dan pengenalan
segala sesuatu yang berasal dari dunia di luar dirinya, sehingga menjadi pengalaman dan
miliknya, yang dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan dirinya kepada dunia luar.5
Salah satu pemeriksaan yang penting dalam bidang neurologi adalah pemeriksaan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan tingkat kesadaran berguna dalam mengakkan diagnosis maupun
menentukan prognosis penderita.
Penilaian tingkat kesadaran pada anak dengan PCS juga masih dibedakan menurut
rentang umur, yaitu :
Umur Nilai Normal
Lahir – 6 bulan 9
6 – 12 bulan 11
1 – 2 tahun 12
2 – 5 tahun 13
Lebih dari 5 tahun 14
DAFTAR PUSTAKA
1. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak.
Edisi-3. Jakarta: Sagung Seto. 2017. Hal. 135-146
2. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI. 2017. Hal. 28-
32
3. Fenderson CB, Ling WK. Pemeriksaan neuromuskular seri panduan klinis. Jakarta:
Erlangga. 2014. Hal. 86
4. Sukanti, Sri, dkk. Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak. Jakarta: Trans Info Media.
2015.
5. Suharso D, Herjana AY, Emy. Lokakarya tumbuh kembang anak: Pemeriksaan
neurologi pada bayi dan anak. Surabaya: FK Unair. 2014.