LAPORAN
LAPORAN
REFERAT
Disusun oleh :
Pembimbing :
Dr. dr. Burhanuddin Ichsan, M.Med. Ed
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Kepaniteraan Klinik FK UMS
REFERAT
Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Kedokteran Keluarga Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Menyetujui,
Pembimbing
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
ABSTRAK................................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................3
D. Manfaat penelitian..........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5
A. Definisi DBD.................................................................................................................5
B. Etiologi...........................................................................................................................5
C. Epidemiologi..................................................................................................................6
D. Klasifikasi......................................................................................................................7
E. Faktor Penyebab.............................................................................................................8
F. Patofisiologi....................................................................................................................9
G. Diagnosis......................................................................................................................11
H. Tatalaksana...................................................................................................................12
BAB III GERAKAN MASYARAKAT.................................................................................15
A. ABJ...............................................................................................................................15
B. Jumantik.......................................................................................................................17
C. PSN...............................................................................................................................23
D. PHBS............................................................................................................................24
E. Peran Remaja dalam pencegahan DBD di lingkungan masyarakat.............................28
F. Germas pencegahan DBD di Polokarto........................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................31
CEGAH DBD BERSAMA (GEMPI) GERAKAN MASYARAKAT PENJARAKAN
JENTIK
Akbar Wardhana, Alvina Wijaya Kusuma, Amalia Salsabela, Dwi Atika, Muchamad Iqbal Zainury
ABSTRAK
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi salah
satu dari empat tipe virus dengue. gejala DBD berupa demam, mual, nyeri otot, sakit kepala.
Berdasarkan data kementrian kesehatan pada tahun 2022 kasus dengue mencapai 131.265, data dinas
kesehatan provinsi Jawa Tengah kasus DBD bulan oktober 2022 mencapai 10.289 dan untuk
kabupaten Sukoharjo mencapai 2587 kasus. DBD dapat disebakan oleh vektor
nyamuk,virus,keberadaan populasi nyamuk dan faktor lingkungan. Terapi DBD yang diberikan
bersifat simtomatis. Program GEMPI diharapkan dapat berjalan dengan baik dimasyarakat untuk
membantu menurunkan jumlah jentik dan membantu menurunkan kasus DBD.
Kata kunci : dengue, DBD, GEMPI
Abstract
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a disease caused by the bite of an Aedes mosquito infected with
one of the four types of dengue viruses. Symptoms of DHF include fever, nausea, muscle aches,
headaches. based on data from the ministry of health in 2022 DHF cases reached 131,265, data from
the Central Java provincial health office for DHF cases in October 2022 reached 10,289 and for
Sukoharjo district reached 2587 cases. DHF can be caused by mosquito vectors, viruses, the
existence of mosquito populations and environmental factors. Symptomatic treatment of DHF. The
GEMPI program is expected to run well in the community to help reduce the number of larvae and
help reduce dengue cases.
Keyword : dengue, DBD, GEMPI
BAB 1
PENDAHUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis atau sering disebut juga TB merupakan penyakit
infeksi yang diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang
menjangkit jaringan paru-paru dan mudah menular melalui droplet seperti batuk,
bersin, berbicara terlalu dekat dengan penderita. penyakit TB dapat menyebar ke
sebagian tubuh seperti meningen, nodus limfe, tulang, dan ginjal (WHO., 2018;
Kemenkes RI, 2018). Sekitar 87% dari tiga puluh negara pada tahun 2018 menjadi
penyumbang kasus terjadinya tuberkulosis. Sebanyak 2/3dari delapan negara
menjadi penyumbang kasus tuberkulosis baru dimana India peringkat pertama,
China di peringkat kedua dan diikuti negara lainya seperti Indonesia, Filipina,
Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan (Sritatih et al., 2021).
Penyakit tuberkulosis masih menjadi suatu masalah penyakit yang tersering
dari 10 besar masalah penyakit yang dapat menyebabkan kematian di dunia,
dimana sebanyak 95% kasus baru dan kasus meninggal akibat terjangkit penyakit
tuberkulosis ini banyak terdapat di negara berkembang (Sritatih et al., 2021).
Indonesia sendiri menempati posisi ketiga dalam kasus tertinggi penyakit TB di
dunia tentu akan mengancam kelangsungan hidup penduduk dan generasi penerus
bangsa. Menurut data badan pusat statistik provinsi jawa tengah tahun 2021, di
Kabupaten Sukoharjo terdapat jumlah angka penemuan TB per 100.000 penduduk
sebanyak 75,60 dan jumlah angka keberhasilan
pengobatan TB (%) sebanyak 92,80% (Dinkes, 2021).
Kelompok rentan yang dapat terjangkit penyakit TB ialah usia produktif
antara 15-45 tahun dan di ikuti kelompok resiko lainya seperti bayi dan balita
menjadi kelompok yang rentan terjangkit penyakit TB. Rantai penyebaran
penyakit TB yang meningkat tidak lepas dari beberapa faktor perilaku rantai
masyarakat sendiri seperti faktor perilaku hidup bersih yang kurang, perilaku
hidup yang kurang sehat, lingkungan yang kumuh, kepadatan penduduk, kondisi
ekonomi keluarga, dan faktor pendidikan (Aidillah et al., 2022)
Pembangunan kesehatan nasional hakikatnya merupakan suatu upaya yang
dilakukan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang memiliki motivasi untuk
meningkatkan kemauan, kesadaran, dan kemampuan hidup yang sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang luas dan tinggi. Untuk
mencapai tujuan masyarakat yang memiliki derajat yang tinggi dan luas dalam
aspek kesehatan maka perlu diadakannya suatu program yang menunjang
masyarakat agar dapat memenuhi kewajibannya dalam upaya pemberantasan
penyakit yang menitikberatkan pada upaya pencegahan terjangkitnya penyakit,
menurunkan angka kesakitan, dan kematian dari penyakit yang menular maupun
tidak menular (Wikurendra, 2010; Kemenkes RI, 2022).
Suspek TB adalah orang yang diduga sedang menderita TB, dikarenakan
sebagian besar penderita TB mengalami permasalah dalam organ pernapasan
seperti batuk yang terjadi secara terus-menerus selama 2-3 minggu atau bahkan
lebih dan juga dapat disertai batuk berdahak, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan yang menurun, berat badan yang menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), demam meriang lebih dari 1 bulan. Penjaringan pasien dengan
suspek TB dapat memegang peranan yang penting pada upaya pemberantasan
penyakit TB di Indonesia dalam upaya untuk memutus rantai penyebaran penyakit
TB (Anggrahenny et al, 2022).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
masalah kesehatan.
2. Bagi Masyarakat
terutama para orang tua yang mempunyai anak tentang pentingnya penanganan
kasus Tuberkulosis.
D. Manfaat penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis (TB)
1. Definisi TB
Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika (25%)
dan regio Pasifik Barat (18%). Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak
yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu India (26%), Indonesia
(8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%),
dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak 8,2% kasus TB adalah HIV positif. Pada tahun
2019, diperkirakan sebanyak 3,3% dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru
secara global sebanyak 10,6 juta kasus atau naik sekitar 600.000 kasus dari tahun 2020,
terdapat 6,4 juta (60,3%) orang yang dilaporkan menjalani pengobatan dan 4,2 juta
(39,7%) belum terdiagnosis. Kematian akibat TB mencapai 1,6 juta orang dan angka ini
meningkat sekitar 1,3 juta orang dari tahun sebelumnya dan terdapat 187.000 orang yang
mati akibat TB dan HIV (PDPI, 2020) Indonesia memiliki posisi kedua setelah India
dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia, pada tahun 2019 terdapat 845.000
(770.000 – 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak 19.000 kasus baru di antaranya
merupakan kasus TB-HIV positif. Diperkirakan terdapat 92.000 kematian pada kasus
TB-HIV negatif dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV positif. Angka kematian TB di
indonesia tahun 2021 mencapai 150.000 kasus, naik 60% dari tahun 2020 sebanyak
93.000 kasus kematian akibat TB dengan tingkat kematian sebesar 55 per 100.000
penduduk. Menurut data badan pusat statistik provinsi jawa tengah tahun 2021, di
sebanyak 75,60 dan jumlah angka keberhasilan pengobatan TB (%) sebanyak 92,80%
(Dinkes, 2021).
4. Klasifikasi
Tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi, jenis kuman penyebab, dan
tingkat keparahan penyakit. Berikut adalah beberapa klasifikasi tuberkulosis yang umum:
1) Tuberkulosis paru: infeksi terjadi di paru-paru dan merupakan jenis tuberkulosis yang
paling umum.
2) Tuberkulosis ekstra paru: infeksi terjadi di organ tubuh lain selain paru-paru, seperti tulang,
kulit, ginjal, dan otak.
1) Tuberkulosis laten: infeksi terjadi tetapi tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda
penyakit.
2) Tuberkulosis aktif: infeksi menunjukkan gejala dan tanda-tanda penyakit yang dapat
menyebar ke orang lain.
Klasifikasi tuberkulosis ini penting untuk menentukan jenis pengobatan yang tepat dan
memastikan pasien mendapatkan perawatan yang sesuai (Wahdi, 2021).
5. Patofisiologi
1. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal ini
biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB anak.
Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang belum pernah
terpapar M.Tb sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus superior
atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian mengalami terfagosistosis oleh
makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid yang
dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam
makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan
bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini
kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari
Ghon focus melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks
(Ghon) primer (WHO, 2020).
Respon inflamasi menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam
nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi
makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini
mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area
inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi,
yang didalamnya terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika
sistem imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya
bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu
setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah
dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan.
TB primer progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer,
sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer
(American Lung Association, 2020).
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang sebelumnya
pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang memakan waktu
bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman
laten atau karena reinfeksi. Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di
jaringan selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun host
oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi
primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif.
Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah
terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering
terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat
memperlihatkan gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB
post-primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ
tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas pada lobus
superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan
hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal (Kemenkes RI,
2019).
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik tetapi
progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas.
Biasanya keluhan yang muncul adalah:
a) Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b) Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang atau mengeluarkan
produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
c) Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
d) Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e) Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat di waktu di malam hari (Budiartani, 2020).
7. Diagnosis
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala apabila terdapat batuk lebih dari 2
atau 3 minggu dengan produksi sputum dan penurunan berat badan. Gejala klinis pada pasien
dengan TB paru terbagi 2, yaitu gejala respirasi dan konstitusi. Gejala respirasi diantaranya
sakit dada, hemoptisis dan sesak nafas. Gejala konstitusi (sistemik) seperti demam, keringat
malam, cepat lelah, kehilangan nafsu makan, amenore sekunder. Tidak ada kelainan spesifik
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik TB paru (Kemenkes RI, 2022).
1. Anamnesis
Gejala umum adalah batuk berdahak kronis dapat disertai darah, demam, takikardi, jari
clubbing.
2. Pemeriksaan Fisik
Didapatkan suara crackles, mengi, suara nafas bronkial dan amforik.
3. Pemeriksaan Penunjang
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk
mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan
apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan
identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO. Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui
sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada daerah dengan
laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif bila
paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif (WHO, 2020).
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal terhadap
rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien berikut (WHO, 2020):
a. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. TB resistan obat banyak
ditemukan terutama yang memiliki riwayat gagal pengobatan sebelumnya.
b. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif.
c. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.
d. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
e. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir fase
intensif.
Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih
digunakan sebagai baku emas atau gold standard (WHO, 2020).
1. Definisi
2. Tujuan
Lima komponen dalam strategi DOTS menurut Kemenkes RI yaitu (1). Komitmen
politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB nasional. (2) Diagnosis TB
melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (3). Pengobatan TB dengan OAT, (4).
Kesinambungan ketersediaan OAT, (5). Pencatatan dan pelaporan secara baku dalam
pelaksanaan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. (Kemenkes RI,
2011).
b) Penemuan Kasus
Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak bertujuan untuk mendapatkan pasien TB.
serangkaian kegiatan pemeriksaan dimulai dengan dari penjaringan pasien suspek TB,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan
diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah diagnosis
ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai sembuh, sehingga tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien
yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas
kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan
terhadap gejala dan keluhan tersebut (Permenkes, 2016).
Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana
pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji
dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP). Adapun strategi penemuan
pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif, dan masif (Permenkes, 2016).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (Kemenkes RI, 2014). Pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya adalah:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) 4)
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bukanlah obat tunggal, melainkan kombinasi antara
beberapa jenis, yaitu isoniazid, rifampisin, pyrazinamide, dan etambutol pada tahap
intensif; dan isoniazid, rifampisin pada tahap lanjutan. Pada kasus tertentu,
ditambahkan suntikan streptomisin (Laban 2012).
Pengawas Minum Obat sendiri mempunyai peran yang sangat penting yaitu
mengawasi pasien Tuberkulosis agar menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara
teratur sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh dokter dan dinyatakan sembuh oleh
dokter. Penderita Tuberkulosis dapat dinyatakan sembuh apabila jika dilakukan
pengecekkan BTA didapatkan hasil negatif (Kemenkes RI, 2011).
Terapi OAT berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan,
dengan durasi total pada kategori I adalah enam bulan dan untuk kategori II adalah
delapan bulan. OAT lini pertama terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol
(E), pirazinamid (Z), dan streptomisin (S). Kategori I terdiri dari dua bulan kombinasi
dosis tetap (KDT) HRZE dan empat bulan KDT HR+S yang diberikan pada pasien
baru. Kategori II terdiri dari dua bulan KDT HRZE+S, satu bulan KDT HRZE, dan
lima bulan HR+E yang diberikan pada pasien yang pernah diobati sebelumnya.
(Kurniawati et al, 2019)
Berdasarkan kondisi pengobatan TB yang memiliki durasi pemberian obat yang lama
serta jenis obat yang banyak, akan muncul risiko tinggi timbulnya efek samping atau
toksisitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan frekuensi kejadian
efek samping OAT kategori I dan II pada pasien TB paru dewasa yang menjalani
terapi di Klinik DOTS RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode Juli 2015 sampai Juni
2016. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam proses pengobatan
TB untuk mengantisipasi munculnya efek samping TB (Kurniawati et al, 2019).
KESIMPULAN
Strategi DOTS bertujuan untuk menanggulangi kasus tuberkulosis dengan melibatkan seluruh
sarana dan prasarana serta tenaga kesehatan. Sehingga dibutuhkan binaan kemitraan antar sektor
agar tujuan dari pelaksanaan DOTS tercapai, namun upaya dari pelaksanaan DOTS belum
terlaksana secara maksimal. Dilaporkan tenaga kesehatan dan masyarakat umum belum
memahami pelaksanaan strategi DOTS secara menyeluruh. Selanjutnya, dibutuhkan pemantauan
dan evaluasi dari pelaksanaan DOTS sebagai penilaian keberhasilan penanggulangan TB.
Pemantauan pelaksanaan dan evaluasi DOTS telah sesuai dengan aturan dalam Kemenkes RI
mengenai Pedoman Nasional Pengendalian TB. Diharapkan penelitian selanjutnya dengan sistem
DOTS dapat meliputi output dan outcome sehingga kegiatan DOTS dapat dijadikan sebagai upaya
utama untuk pengendalian kasus tuberkulosis.
DAFTAR PUSTAKA
Aidillah, Muhammad Rafli, Sumarni Sumarni, and Dwi Ida Puspita Sari.
"Sosialisasi Upaya Eliminasi Tuberculosis Melalui Peran Komunitas."
Abdimas Medika 3.1 (2022): 52-55.
American Lung Association. (2022). Tuberculosis (TB).
Anggraheny, Hema Dewi, and Aisyah Lahdji. "Edukasi Pentingnya Skrining
Pemeriksaan Dahak Bagi Pasien Suspek Tuberculosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Pegandan." Prosiding Seminar Nasional Unimus. Vol. 5. 2022
Bachtiar, N. A., Asriyani, S., Murtala, B., Latief, N., Djaharuddin, I., & Zainuddin,
A. A. (2020). Penyerupa dan Penyerta Tuberkulosis Paru yang Terdiagnosis
Berdasarkan Gambaran CT-scan Toraks Pada Rumah Sakit Rujukan Tersier.
Majalah Kesehatan Pharmamedika, 12(2).
Chalmers, J. D., Chang, A. B., Chotirmall, S. H., Dhar, R., & McShane, P. J. (2018).
Bronchiectasis. Nature reviews Disease primers, 4(1), 45.
Dinas Kesehatan. 2021. Jumlah Kasus Penyakit Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis
Penyakit di Jawa Tengah tahun 2021. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah.
Kemenkes RI. (2018). Tuberkulosis (TB). Tuberkulosis, 1(april), 2018.
Kemenkes RI. (2019). Apa Itu TOSS TBC dan Kenali Gejala TBC. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. 2020. “Strategi Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Di Indonesia 2020-2024.”
Kementrian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
TataLaksana Tuberkulosis tahun 2020. Jakarta: Kemenkes RI
Kemenkes, RI. 2022. Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis Tahun 2021.
Siddiqui, F., and A. H. Siddiqui. "Lung Cancer. StatPearls." (2021).
Sriratih, Eldrajune Agnes, Suhartono Suhartono, and Nurjazuli Nurjazuli. "Analisis
Faktor Lingkungan Fisik Dalam Ruang Yang Berhubungan Dengan Kejadian
4445
Tuberkulosis Paru di Negara Berkembang." Jurnal Kesehatan Masyarakat
(Undip) 9.4 (2021): 473-482.
WHO (2018) Global tuberkulosis report 2018.France: WHO. Available at:
http://www.who.int/tb/publications /global_report/en/.
Wikurendra, E.A., 2010. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru Dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), pp.1340-1346.
World Health Organization (WHO). 2020. Tuberculosis. 2023 April.
Budiartani, N. (2020). Konsep Dasar Tuberkulosis Paru. Repository Poltekkes Denpasar, 7–29.
Dinata, M. T. S., Subkhan, M., & Ghufron, M. (2020). Hubungan Luas Ventilasi dan
Pencahayaan Alami Rumah terhadap Tingkat Kepositifan Sputum BTA pada Penderita TB Paru
di Puskesmas Tlogosadang. MAGNA MEDICA Berkala Ilmiah Kedokteran Dan Kesehatan, 7(1),
23.
Fretes, F. de, Tauho, K.D. and Mayopu, B.E. (2022) ‘Analisis Program Pengendalian
Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Puskesmas Manutapen Kupang’, Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 7(2), pp. 482–489.
Marlinae, L., Syamsul, A., Hazairin, N., Rahayu, Zubaidah, & Waskito. (2019). Desain
Kemandirian Pola Perilaku Tuberculosis. In Penerbit Cv Mine (Vol. 13, Issue 1).
Mayopu, B. E., de Fretes, F., & Tauho, K. D. (2022). Analisis Program Pengendalian
Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Puskesmas Manutapen Kupang. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 7(2), 482-489.
Yanti, S., Syamsualam, S., & Ahri, R. A. (2022). Efektifitas Strategi Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) Dalam Penanggulangan Penyakit Tubercolosis: Effectiveness of Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) Strategy in Tuberculosis Treatment. Journal of Muslim
Community Health, 3(1), 33-42.
Kurniawati F, Azhar S, Sulaiman S, Gillani SW. Adverse drug reactions of primary anti-
tuberculosis drugs among tuberculosis patients treated in chest clinic. Int J Pharm Life Sci.
2019;3(1):1331–8.
Tondong, M. A. P., Mahendradhata, Y., Ahmad, R.A., Mada, U. G., Antonius, S., & Kartini, B.P.
2018. Evaluasi Implementasi Publik Private Mix di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2012. Jurnal Kebijakan kesehatan Indonesia, 3(1): 37–42.