Anda di halaman 1dari 23

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

REFERAT

CEGAH TBC BERSAMA (GEMPI) GERAKAN MASYARAKAT PENJARAKAN JENTIK

Disusun oleh :

Akbar Wardhana, S.Ked J510225012


Alvina Wijaya Kusuma, S. Ked J510225127
Amalia Salsabella, S. Ked J510225018
Dwi Atika, S. Ked J510225039
Muchamad Iqbal Zainury, S. Ked J510225079

Pembimbing :
Dr. dr. Burhanuddin Ichsan, M.Med. Ed

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN

KEDOKTERAN KELUARGA PROFESI KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS

MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2023
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Kepaniteraan Klinik FK UMS

REFERAT

Judul : CEGAH DBD BERSAMA (GEMPI) GERAKAN MASYARAKAT


PENJARAKAN JENTIK
Penyusun :
Akbar Wardhana, S.Ked J510225012
Alvina Kusuma W, S. Ked J510225127
Amalia Salsabella, S. Ked J510225018
Dwi Atika, S. Ked J510225039
Muchamad Iqbal Zainury, S. Ked J51022507
9

Pembimbin : Dr. dr. Burhanuddin Ichsan, M.Med.


g Ed

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Kedokteran Keluarga Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari ………, 2023

Menyetujui,

Pembimbing

Dr.dr. Burhanuddin Ichsan, M.Med. Ed


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
ABSTRAK................................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................3
D. Manfaat penelitian..........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5
A. Definisi DBD.................................................................................................................5
B. Etiologi...........................................................................................................................5
C. Epidemiologi..................................................................................................................6
D. Klasifikasi......................................................................................................................7
E. Faktor Penyebab.............................................................................................................8
F. Patofisiologi....................................................................................................................9
G. Diagnosis......................................................................................................................11
H. Tatalaksana...................................................................................................................12
BAB III GERAKAN MASYARAKAT.................................................................................15
A. ABJ...............................................................................................................................15
B. Jumantik.......................................................................................................................17
C. PSN...............................................................................................................................23
D. PHBS............................................................................................................................24
E. Peran Remaja dalam pencegahan DBD di lingkungan masyarakat.............................28
F. Germas pencegahan DBD di Polokarto........................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................31
CEGAH DBD BERSAMA (GEMPI) GERAKAN MASYARAKAT PENJARAKAN

JENTIK

Akbar Wardhana, Alvina Wijaya Kusuma, Amalia Salsabela, Dwi Atika, Muchamad Iqbal Zainury

ABSTRAK

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi salah
satu dari empat tipe virus dengue. gejala DBD berupa demam, mual, nyeri otot, sakit kepala.
Berdasarkan data kementrian kesehatan pada tahun 2022 kasus dengue mencapai 131.265, data dinas
kesehatan provinsi Jawa Tengah kasus DBD bulan oktober 2022 mencapai 10.289 dan untuk
kabupaten Sukoharjo mencapai 2587 kasus. DBD dapat disebakan oleh vektor
nyamuk,virus,keberadaan populasi nyamuk dan faktor lingkungan. Terapi DBD yang diberikan
bersifat simtomatis. Program GEMPI diharapkan dapat berjalan dengan baik dimasyarakat untuk
membantu menurunkan jumlah jentik dan membantu menurunkan kasus DBD.
Kata kunci : dengue, DBD, GEMPI

Abstract

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a disease caused by the bite of an Aedes mosquito infected with
one of the four types of dengue viruses. Symptoms of DHF include fever, nausea, muscle aches,
headaches. based on data from the ministry of health in 2022 DHF cases reached 131,265, data from
the Central Java provincial health office for DHF cases in October 2022 reached 10,289 and for
Sukoharjo district reached 2587 cases. DHF can be caused by mosquito vectors, viruses, the
existence of mosquito populations and environmental factors. Symptomatic treatment of DHF. The
GEMPI program is expected to run well in the community to help reduce the number of larvae and
help reduce dengue cases.
Keyword : dengue, DBD, GEMPI
BAB 1

PENDAHUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis atau sering disebut juga TB merupakan penyakit
infeksi yang diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang
menjangkit jaringan paru-paru dan mudah menular melalui droplet seperti batuk,
bersin, berbicara terlalu dekat dengan penderita. penyakit TB dapat menyebar ke
sebagian tubuh seperti meningen, nodus limfe, tulang, dan ginjal (WHO., 2018;
Kemenkes RI, 2018). Sekitar 87% dari tiga puluh negara pada tahun 2018 menjadi
penyumbang kasus terjadinya tuberkulosis. Sebanyak 2/3dari delapan negara
menjadi penyumbang kasus tuberkulosis baru dimana India peringkat pertama,
China di peringkat kedua dan diikuti negara lainya seperti Indonesia, Filipina,
Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan (Sritatih et al., 2021).
Penyakit tuberkulosis masih menjadi suatu masalah penyakit yang tersering
dari 10 besar masalah penyakit yang dapat menyebabkan kematian di dunia,
dimana sebanyak 95% kasus baru dan kasus meninggal akibat terjangkit penyakit
tuberkulosis ini banyak terdapat di negara berkembang (Sritatih et al., 2021).
Indonesia sendiri menempati posisi ketiga dalam kasus tertinggi penyakit TB di
dunia tentu akan mengancam kelangsungan hidup penduduk dan generasi penerus
bangsa. Menurut data badan pusat statistik provinsi jawa tengah tahun 2021, di
Kabupaten Sukoharjo terdapat jumlah angka penemuan TB per 100.000 penduduk
sebanyak 75,60 dan jumlah angka keberhasilan
pengobatan TB (%) sebanyak 92,80% (Dinkes, 2021).
Kelompok rentan yang dapat terjangkit penyakit TB ialah usia produktif
antara 15-45 tahun dan di ikuti kelompok resiko lainya seperti bayi dan balita
menjadi kelompok yang rentan terjangkit penyakit TB. Rantai penyebaran
penyakit TB yang meningkat tidak lepas dari beberapa faktor perilaku rantai
masyarakat sendiri seperti faktor perilaku hidup bersih yang kurang, perilaku
hidup yang kurang sehat, lingkungan yang kumuh, kepadatan penduduk, kondisi
ekonomi keluarga, dan faktor pendidikan (Aidillah et al., 2022)
Pembangunan kesehatan nasional hakikatnya merupakan suatu upaya yang
dilakukan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang memiliki motivasi untuk
meningkatkan kemauan, kesadaran, dan kemampuan hidup yang sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang luas dan tinggi. Untuk
mencapai tujuan masyarakat yang memiliki derajat yang tinggi dan luas dalam
aspek kesehatan maka perlu diadakannya suatu program yang menunjang
masyarakat agar dapat memenuhi kewajibannya dalam upaya pemberantasan
penyakit yang menitikberatkan pada upaya pencegahan terjangkitnya penyakit,
menurunkan angka kesakitan, dan kematian dari penyakit yang menular maupun
tidak menular (Wikurendra, 2010; Kemenkes RI, 2022).
Suspek TB adalah orang yang diduga sedang menderita TB, dikarenakan
sebagian besar penderita TB mengalami permasalah dalam organ pernapasan
seperti batuk yang terjadi secara terus-menerus selama 2-3 minggu atau bahkan
lebih dan juga dapat disertai batuk berdahak, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan yang menurun, berat badan yang menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), demam meriang lebih dari 1 bulan. Penjaringan pasien dengan
suspek TB dapat memegang peranan yang penting pada upaya pemberantasan
penyakit TB di Indonesia dalam upaya untuk memutus rantai penyebaran penyakit
TB (Anggrahenny et al, 2022).

Tuberkulosis merupakan salah satu ancaman kesehatan yang mematikan dan


masih memiliki kelemahan dalam metode deteksi yang efektif. Hal tersebut
berkontribusi terhadap masalah TB di seluruh dunia, karena pasien TB yang tidak
mendapat pengobatan tepat dapat menjadi sumber infeksi di komunitas. Kasus TB
yang tidak diobati juga meningkatkan mortalitas (Kemenkes RI, 2015). Strategi
DOTS di Indonesia digunakan untuk pengendalian TB yang sudah
direkomendasikan oleh WHO dari tahun 1995 dan strategi DOTS adalah usaha
penanggulangan tuberkulosis yang telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun
1995, dan TB tetap menjadi salah satu penyakit global (Samhatul, 2018). WHO
telah menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course)
yaitu pengawasan langsung pengobatan jangka pendek, yang salah satu diantaranya
adalah penyediaan obat lini pertama TB secara teratur, yang bila dijabarkan
pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program
tuberkulosis untuk direct attention dalam usaha menemukan penderita dengan kata
lain mendeteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskop (WHO, 2012).

Strategi DOTS berfokus pada penemuan kasus dan penyembuhan sehingga


kesuksesan strategi ini dilihat dari angka Case Notification Rate (CNR) yang
kemudian strategi ini akan memutuskan penularan TB dan menurunkan insidensi
TB di masyarakat (Kemenkes, 2011). Adapun lima komponen DOTS yakni: 1)
Komitmen politis, berkaitan dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan,
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya, 3) Pengobatan yang standar, dengan melibatkan Pengawas Minum Obat
(PMO) sebagai supervisi dan dukungan bagi penderita, 4) Sistem pengelolaan dan
ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang efektif, 5) Sistem monitoring,
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan penderita dan kinerja program (Fretes, 2022).

Berdasarkan maka dari itu perlu Gerakan identifikasi lanjutan kasus TB


dengan memanfaatkan potensi (program terpadu rutin screening Tuberkulosis)
agar dapat memotong cepat rantai penularan TB dengan mengetahui terlebih
dahulu pasien yang terjaring suspek TB.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penanggulangan tuberkulosis paru dengan Strategi DOTS.

C. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis program penanggulangan tuberkulosis paru dengan strategi


DOTS.

D. Manfaat

1. Bagi Mahasiswa

Dapat mengetahui cara penyusunan dan penerapan manajemen pemecahan

masalah kesehatan.

2. Bagi Masyarakat

Hasil program ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat

terutama para orang tua yang mempunyai anak tentang pentingnya penanganan

kasus Tuberkulosis.

D. Manfaat penelitian

Dengan adanya strategi DOTS dapat mempermudah menemukan dan


mengendalikan pasien TB paru, dan juga dapat memutuskan penularan penyakit
TB paru, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis (TB)

1. Definisi TB

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit kronik menular yang disebabkan


oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. bakteri ini memiliki bentuk seperti batang dan
bersifat tahan asam sehingga dapat dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). kuman TB
sering menginfeksi pada bagian parenkim paru sehingga akan menyebabkan TB paru, akan
tetapi bakteri ini juga dapat menginfeksi bagian tubuh lainnya seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang dan organ ekstra paru lainnya (Kemenkes RI, 2020)
2. Etiologi

Infeksi TB dapat disebabkan oleh 5 bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis,


Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti and
Mycobacterium cannettii. M. tuberculosis (M.TB) yang masih dapat ditemukan hingga kini
dan penularannya melalui rute udara. Organisme ini memiliki beberapa ciri unik
dibandingkan dengan bakteri lain seperti adanya beberapa lipid di dinding sel termasuk
mycolic acid, cord factor, dan Wax-D. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel
memungkinkan bakteri TB akan memiliki sifat-sifat infeksi seperti resistensi terhadap
beberapa antibiotik, kesulitan pada saat pewarnaan dengan pewarnaan Gram, dan memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi ekstrim seperti keasaman ekstrim atau
alkalinitas, situasi oksigen rendah, dan kelangsungan hidup intraseluler (dalam makrofag)
(Kemenkes RI, 2020).
Penularan TB dapat terjadi dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui
percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seseorang yang terinfeksi
TB paru atau TB laring melakukan batuk, bersin atau bicara kemudian bakteri TB akan
bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Selain itu, percik renik dapat disebarkan melalui
prosedur pemeriksaan yang berdarah dengue. DEN-3 merupakan serotipe virus terbanyak
yang ditemukan di indonesia (Arif Putera et al., 2014). virus tersebut ditularkan oleh gigitan
vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus ke tubuh manusia dengan masa inkubasi
4-10 hari. tempat perkembangan vektor nyamuk adalah air, terutama pada penampungan
seperti ember bekas, bak mandi dan sebagainya. biasanya nyamuk Aedes menggigit pada
siang hari (Arif Putera et al., 2014).
3. Epidemiologi

Berdasarkan Global Tuberkulosis Report 2020 yang diterbitkan oleh WHO,

diperkirakan pada tahun 2019 terdapat :

1. Insidens kasus : 10 juta (8,9 – 11 juta)

2. Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,2 juta (1,1 – 1,3 juta)

3. Kasus meninggal (HIV positif) : 208.000(177.000- 242.000)

Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika (25%)

dan regio Pasifik Barat (18%). Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak

yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu India (26%), Indonesia

(8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%),

dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak 8,2% kasus TB adalah HIV positif. Pada tahun

2019, diperkirakan sebanyak 3,3% dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru

dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau

rifampicin-resistant (TB MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak 465.000 (400.000 –

535.000) kasus TB MDR/RR baru (WHO, 2020).

WHO melaporkan bahwa estimasi orang yang terdiagnosis TB tahun 2021

secara global sebanyak 10,6 juta kasus atau naik sekitar 600.000 kasus dari tahun 2020,

terdapat 6,4 juta (60,3%) orang yang dilaporkan menjalani pengobatan dan 4,2 juta

(39,7%) belum terdiagnosis. Kematian akibat TB mencapai 1,6 juta orang dan angka ini

meningkat sekitar 1,3 juta orang dari tahun sebelumnya dan terdapat 187.000 orang yang

mati akibat TB dan HIV (PDPI, 2020) Indonesia memiliki posisi kedua setelah India

dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia, pada tahun 2019 terdapat 845.000

(770.000 – 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak 19.000 kasus baru di antaranya

merupakan kasus TB-HIV positif. Diperkirakan terdapat 92.000 kematian pada kasus

TB-HIV negatif dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV positif. Angka kematian TB di

indonesia tahun 2021 mencapai 150.000 kasus, naik 60% dari tahun 2020 sebanyak
93.000 kasus kematian akibat TB dengan tingkat kematian sebesar 55 per 100.000

penduduk. Menurut data badan pusat statistik provinsi jawa tengah tahun 2021, di

Kabupaten Sukoharjo terdapat jumlah angka penemuan TB per 100.000 penduduk

sebanyak 75,60 dan jumlah angka keberhasilan pengobatan TB (%) sebanyak 92,80%

(Dinkes, 2021).
4. Klasifikasi

Tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi, jenis kuman penyebab, dan
tingkat keparahan penyakit. Berikut adalah beberapa klasifikasi tuberkulosis yang umum:

a) Berdasarkan lokasi infeksi:

1) Tuberkulosis paru: infeksi terjadi di paru-paru dan merupakan jenis tuberkulosis yang
paling umum.

2) Tuberkulosis ekstra paru: infeksi terjadi di organ tubuh lain selain paru-paru, seperti tulang,
kulit, ginjal, dan otak.

b) Berdasarkan jenis kuman penyebab:

1) Tuberkulosis primer: disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang baru


masuk ke dalam tubuh.

2) Tuberkulosis sekunder: disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang sudah


ada dalam tubuh dan kemudian aktif kembali.

c) Berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

1) Tuberkulosis laten: infeksi terjadi tetapi tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda
penyakit.

2) Tuberkulosis aktif: infeksi menunjukkan gejala dan tanda-tanda penyakit yang dapat
menyebar ke orang lain.

Klasifikasi tuberkulosis ini penting untuk menentukan jenis pengobatan yang tepat dan
memastikan pasien mendapatkan perawatan yang sesuai (Wahdi, 2021).

5. Patofisiologi

1. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal ini
biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB anak.
Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang belum pernah
terpapar M.Tb sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus superior
atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian mengalami terfagosistosis oleh
makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid yang
dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam
makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan
bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini
kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari
Ghon focus melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks
(Ghon) primer (WHO, 2020).
Respon inflamasi menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam
nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi
makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini
mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area
inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi,
yang didalamnya terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika
sistem imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya
bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu
setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah
dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan.
TB primer progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer,
sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer
(American Lung Association, 2020).
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang sebelumnya
pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang memakan waktu
bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman
laten atau karena reinfeksi. Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di
jaringan selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun host
oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi
primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif.
Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah
terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering
terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat
memperlihatkan gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB
post-primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ
tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas pada lobus
superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan
hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal (Kemenkes RI,
2019).
6. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik tetapi
progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas.
Biasanya keluhan yang muncul adalah:

a) Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.

b) Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang atau mengeluarkan
produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).

c) Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.

d) Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

e) Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat di waktu di malam hari (Budiartani, 2020).

7. Diagnosis

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala apabila terdapat batuk lebih dari 2
atau 3 minggu dengan produksi sputum dan penurunan berat badan. Gejala klinis pada pasien
dengan TB paru terbagi 2, yaitu gejala respirasi dan konstitusi. Gejala respirasi diantaranya
sakit dada, hemoptisis dan sesak nafas. Gejala konstitusi (sistemik) seperti demam, keringat
malam, cepat lelah, kehilangan nafsu makan, amenore sekunder. Tidak ada kelainan spesifik
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik TB paru (Kemenkes RI, 2022).
1. Anamnesis
Gejala umum adalah batuk berdahak kronis dapat disertai darah, demam, takikardi, jari
clubbing.
2. Pemeriksaan Fisik
Didapatkan suara crackles, mengi, suara nafas bronkial dan amforik.
3. Pemeriksaan Penunjang
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk
mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan
apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan
identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO. Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui
sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada daerah dengan
laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif bila
paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif (WHO, 2020).
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal terhadap
rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien berikut (WHO, 2020):
a. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. TB resistan obat banyak
ditemukan terutama yang memiliki riwayat gagal pengobatan sebelumnya.
b. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif.
c. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.
d. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
e. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir fase
intensif.
Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih
digunakan sebagai baku emas atau gold standard (WHO, 2020).

B. DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)

1. Definisi

Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) adalah pengawasan


langsung pengobatan jangka pendek dengan keharusan setiap pengelola program
tuberkulosis untuk memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita
dengan pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus diobservasi dalam
menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas.
Pasien juga harus menerima pengobatan yang tertata dalam sistem pengelolaan,
distribusi dengan penyediaan obat yang cukup, kemudian setiap pasien harus
mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek (short course) standar
yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, mutlak dibutuhkan dukungan dari
pemerintah untuk menjadikan program penanggulangan tuberkulosis prioritas tinggi
dalam pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2014).

Pelaksanaan strategi DOTS di Puskesmas sangat bergantung kepada sarana dan


prasarana serta peran serta petugas kesehatan agar penemuan kasus dan pengobatan
kepada pasien dengan TB paru dapat segera diatasi. Ada lima komponen dalam
strategi DOTS, yaitu: Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program
TB nasional. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung
oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT. Pencatatan dan
pelaporan menggunakan buku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program
penanggulangan TB Paru (Kemenkes, 2014).

Strategi DOTS dilakukan di sarana-sarana Kesehatan Pemerintah dengan Puskesmas


sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Walaupun ada komitmen dari lembaga
swadaya masyarakat dan beberapa organisasi profesi, namun belum seluruh dokter dan
masyarakat umum mempunyai pemahaman yang seragam dan melaksanakan strategi
DOTS secara utuh. Pemahaman tentang DOTS juga masih perlu dikembangkan
dengan membina kemitraan antar sektor, agar semua dapat berjalan bersama untuk
melaksanakan strategi DOTS pada penanggulangan TB paru di Indonesia (Kemenkes
RI, 2019).

2. Tujuan

Penerapan strategi DOTS diperlukan untuk pengobatan TB dan mencegah resistensi


kuman M. tuberculosis. Setelah diagnosis TB, terutama TB paru-paru melalui
pemeriksaan bakteriologi mikroskopik dahak mengandung Basil Tahan Asam (BTA).
BTA positif bila hasil pemeriksaan sedikitnya 2 dari 3 spesimen Sewaktu-Pagi-
Sewaktu hasilnya positif, hasil penegakan diagnosis menjadi dasar terapi DOTS
dengan OAT yang sesuai. Pemantauan dan evaluasi berfungsi untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan strategi penanggulangan TB. Pemantauan yang dilakukan
secara berkala dan kontinu berguna untuk mendeteksi masalah secara dini dalam
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, agar dapat dilakukan tindakan
perbaikan segera. Selain itu evaluasi berguna untuk menilai sejauh mana tujuan dan
target yang telah ditetapkan sebelumnya telah tercapai pada akhir suatu periode waktu.
Evaluasi dilakukan setelah suatu periode waktu tertentu, biasanya setiap 6 bulan
hingga 1 tahun. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator dan
standar. Hasil evaluasi berguna untuk kepentingan perencanaan strategi dan perbaikan
kebijakan strategi penanggulangan TB. Hasil evaluasi akan menjadi sumber informasi
pencapaian target, sumber keberhasilan dan atau dapat diketahui faktor kegagalan
strategi pengendalian TB paru.

3. Komponen Strategi DOTS


a) Komitmen Politisi

Lima komponen dalam strategi DOTS menurut Kemenkes RI yaitu (1). Komitmen
politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB nasional. (2) Diagnosis TB
melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (3). Pengobatan TB dengan OAT, (4).
Kesinambungan ketersediaan OAT, (5). Pencatatan dan pelaporan secara baku dalam
pelaksanaan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. (Kemenkes RI,
2011).

Strategi DOTS merupakan pengawasan pengobatan langsung kepada pasien TB


selama enam bulan dengan melibatkan perawat dan PMO sehingga diperlukan
komitmen politis (Mayopu et al, 2022). Komitmen Politis dari pemerintah ditandai
dengan adanya program nasional khusus TB dan dukungan pendanaan dalam hal
sarana dan prasarana, peralatan serta tenaga kesehatan yang terlatih. (Yanti et al,
2022). Kurangnya komitmen politis terkait pendanaan dalam penjaringan TB dapat
mengakibatkan kurangnya pemantauan pengobatan pasien TB.

b) Penemuan Kasus

Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak bertujuan untuk mendapatkan pasien TB.
serangkaian kegiatan pemeriksaan dimulai dengan dari penjaringan pasien suspek TB,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan
diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah diagnosis
ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai sembuh, sehingga tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien
yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas
kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan
terhadap gejala dan keluhan tersebut (Permenkes, 2016).

Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana
pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji
dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP). Adapun strategi penemuan
pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif, dan masif (Permenkes, 2016).

c) Pengobatan dan Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengobatan TB paru membutuhkan waktu 6 sampai 8 bulan untuk mencapai


penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat. Bagi penderita
tuberkulosis, ada satu hal penting yang harus diperhatikan dan dilakukan, yaitu
keteraturan dalam minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sampai dinyatakan sembuh.
WHO menerapkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short course) dalam
manajemen penderita TB untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO).

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (Kemenkes RI, 2014). Pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya adalah:

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

2) Diberikan dalam dosis yang tepat.

3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) 4)
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bukanlah obat tunggal, melainkan kombinasi antara
beberapa jenis, yaitu isoniazid, rifampisin, pyrazinamide, dan etambutol pada tahap
intensif; dan isoniazid, rifampisin pada tahap lanjutan. Pada kasus tertentu,
ditambahkan suntikan streptomisin (Laban 2012).

Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah strategi untuk pengawasan kepatuhan


penderita Tuberkulosis dalam minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Keberadaan
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah suatu hal yang penting bagi kesehatan
penderita Tuberkulosis. Kepatuhan penderita Tuberkulosis dalam meminum obat dapat
membuat bakteri dalam tubuh tidak aktif dan dapat mengurangi angka penularan
Tuberkulosis itu sendiri. Pengawas Menelan Obat (PMO) sendiri bisa berasal dari
tenaga kesehatan maupun anggota keluarga. Keluarga yang diberikan tugas sebagai
Pengawas Menelan Obat (PMO) harus dikenal, dipercaya dan disetujui, baik itu bagi
petugas kesehatan maupun penderita. (Jufrizal, 2016)

Pengawas Minum Obat sendiri mempunyai peran yang sangat penting yaitu
mengawasi pasien Tuberkulosis agar menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara
teratur sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh dokter dan dinyatakan sembuh oleh
dokter. Penderita Tuberkulosis dapat dinyatakan sembuh apabila jika dilakukan
pengecekkan BTA didapatkan hasil negatif (Kemenkes RI, 2011).

d) Sistem pengelolaan dan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Terapi OAT berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan,
dengan durasi total pada kategori I adalah enam bulan dan untuk kategori II adalah
delapan bulan. OAT lini pertama terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol
(E), pirazinamid (Z), dan streptomisin (S). Kategori I terdiri dari dua bulan kombinasi
dosis tetap (KDT) HRZE dan empat bulan KDT HR+S yang diberikan pada pasien
baru. Kategori II terdiri dari dua bulan KDT HRZE+S, satu bulan KDT HRZE, dan
lima bulan HR+E yang diberikan pada pasien yang pernah diobati sebelumnya.
(Kurniawati et al, 2019)

Berdasarkan kondisi pengobatan TB yang memiliki durasi pemberian obat yang lama
serta jenis obat yang banyak, akan muncul risiko tinggi timbulnya efek samping atau
toksisitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan frekuensi kejadian
efek samping OAT kategori I dan II pada pasien TB paru dewasa yang menjalani
terapi di Klinik DOTS RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode Juli 2015 sampai Juni
2016. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam proses pengobatan
TB untuk mengantisipasi munculnya efek samping TB (Kurniawati et al, 2019).

e) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan

Faktor-faktor yang dapat menghambat program pengendalian TB dalam public private


mix adalah keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, logistik TB dan sarana
prasarana unit DOTS serta ketergantungan sumber daya terhadap pihak investasi, tidak
adanya pedoman operasional yang mengatur mekanisme kerjasama, kurangnya
komitmen pemerintah dan mitra dalam implementasi pengendalian TB, kurangnya
komunikasi dan koordinasi antara jejaring PPM dalam menjaga pengobatan penderita
(Tondong, 2018)

Mengevaluasi Program adalah melaksanakan segala upaya untuk mengumpulkan dan


menggali data mengenai kondisi nyata terhadap pelaksanaan suatu program, kemudian
membandingkan dengan kriteria agar dapat diketahui seberapa jauh ada dan tidaknya
kesenjangan antara kondisi nyata pelaksanaan program dengan kriteria yang
ditentukan sebelumnya. (Tondong, 2018).
BAB III

KESIMPULAN
Strategi DOTS bertujuan untuk menanggulangi kasus tuberkulosis dengan melibatkan seluruh
sarana dan prasarana serta tenaga kesehatan. Sehingga dibutuhkan binaan kemitraan antar sektor
agar tujuan dari pelaksanaan DOTS tercapai, namun upaya dari pelaksanaan DOTS belum
terlaksana secara maksimal. Dilaporkan tenaga kesehatan dan masyarakat umum belum
memahami pelaksanaan strategi DOTS secara menyeluruh. Selanjutnya, dibutuhkan pemantauan
dan evaluasi dari pelaksanaan DOTS sebagai penilaian keberhasilan penanggulangan TB.
Pemantauan pelaksanaan dan evaluasi DOTS telah sesuai dengan aturan dalam Kemenkes RI
mengenai Pedoman Nasional Pengendalian TB. Diharapkan penelitian selanjutnya dengan sistem
DOTS dapat meliputi output dan outcome sehingga kegiatan DOTS dapat dijadikan sebagai upaya
utama untuk pengendalian kasus tuberkulosis.

DAFTAR PUSTAKA
Aidillah, Muhammad Rafli, Sumarni Sumarni, and Dwi Ida Puspita Sari.
"Sosialisasi Upaya Eliminasi Tuberculosis Melalui Peran Komunitas."
Abdimas Medika 3.1 (2022): 52-55.
American Lung Association. (2022). Tuberculosis (TB).
Anggraheny, Hema Dewi, and Aisyah Lahdji. "Edukasi Pentingnya Skrining
Pemeriksaan Dahak Bagi Pasien Suspek Tuberculosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Pegandan." Prosiding Seminar Nasional Unimus. Vol. 5. 2022
Bachtiar, N. A., Asriyani, S., Murtala, B., Latief, N., Djaharuddin, I., & Zainuddin,
A. A. (2020). Penyerupa dan Penyerta Tuberkulosis Paru yang Terdiagnosis
Berdasarkan Gambaran CT-scan Toraks Pada Rumah Sakit Rujukan Tersier.
Majalah Kesehatan Pharmamedika, 12(2).
Chalmers, J. D., Chang, A. B., Chotirmall, S. H., Dhar, R., & McShane, P. J. (2018).
Bronchiectasis. Nature reviews Disease primers, 4(1), 45.
Dinas Kesehatan. 2021. Jumlah Kasus Penyakit Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis
Penyakit di Jawa Tengah tahun 2021. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah.
Kemenkes RI. (2018). Tuberkulosis (TB). Tuberkulosis, 1(april), 2018.
Kemenkes RI. (2019). Apa Itu TOSS TBC dan Kenali Gejala TBC. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. 2020. “Strategi Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Di Indonesia 2020-2024.”
Kementrian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
TataLaksana Tuberkulosis tahun 2020. Jakarta: Kemenkes RI
Kemenkes, RI. 2022. Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis Tahun 2021.
Siddiqui, F., and A. H. Siddiqui. "Lung Cancer. StatPearls." (2021).
Sriratih, Eldrajune Agnes, Suhartono Suhartono, and Nurjazuli Nurjazuli. "Analisis
Faktor Lingkungan Fisik Dalam Ruang Yang Berhubungan Dengan Kejadian
4445
Tuberkulosis Paru di Negara Berkembang." Jurnal Kesehatan Masyarakat
(Undip) 9.4 (2021): 473-482.
WHO (2018) Global tuberkulosis report 2018.France: WHO. Available at:
http://www.who.int/tb/publications /global_report/en/.
Wikurendra, E.A., 2010. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru Dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), pp.1340-1346.
World Health Organization (WHO). 2020. Tuberculosis. 2023 April.

Budiartani, N. (2020). Konsep Dasar Tuberkulosis Paru. Repository Poltekkes Denpasar, 7–29.

Dinata, M. T. S., Subkhan, M., & Ghufron, M. (2020). Hubungan Luas Ventilasi dan
Pencahayaan Alami Rumah terhadap Tingkat Kepositifan Sputum BTA pada Penderita TB Paru
di Puskesmas Tlogosadang. MAGNA MEDICA Berkala Ilmiah Kedokteran Dan Kesehatan, 7(1),
23.

Fretes, F. de, Tauho, K.D. and Mayopu, B.E. (2022) ‘Analisis Program Pengendalian
Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Puskesmas Manutapen Kupang’, Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 7(2), pp. 482–489.

Kemenkes Ri, (2019), Strategi Nasional Pengendalian Tb Di Indonesia Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Kemenkes. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kemenkes. 2016. Peraturan Menteri
Kesehatan RI No 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan RI Noor 67


Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes Ri, (2019), Strategi Nasional Pengendalian Tb Di Indonesia Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

Marlinae, L., Syamsul, A., Hazairin, N., Rahayu, Zubaidah, & Waskito. (2019). Desain
Kemandirian Pola Perilaku Tuberculosis. In Penerbit Cv Mine (Vol. 13, Issue 1).

RI, M. K. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.

Mayopu, B. E., de Fretes, F., & Tauho, K. D. (2022). Analisis Program Pengendalian
Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Puskesmas Manutapen Kupang. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 7(2), 482-489.

Samhatul, I. and Bambang, W. (2018) ‘Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi


DOTS’, Higeia J Public Heal Res Dev, 2(2), pp. 331–341.

Wahdi, A., & Puspitosari, D. R. (2021). Mengenal Tuberkulosis. Angewandte Chemie


International Edition, 6(11), 951–952., 23–24.

Yanti, S., Syamsualam, S., & Ahri, R. A. (2022). Efektifitas Strategi Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) Dalam Penanggulangan Penyakit Tubercolosis: Effectiveness of Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) Strategy in Tuberculosis Treatment. Journal of Muslim
Community Health, 3(1), 33-42.

Zanita. (2019). Penatalaksanaan TB Paru. Jurnal Kesehatan, 53(9), 1689–1699.


http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1362/4/BAB II.pdf

Kurniawati F, Azhar S, Sulaiman S, Gillani SW. Adverse drug reactions of primary anti-
tuberculosis drugs among tuberculosis patients treated in chest clinic. Int J Pharm Life Sci.
2019;3(1):1331–8.

Tondong, M. A. P., Mahendradhata, Y., Ahmad, R.A., Mada, U. G., Antonius, S., & Kartini, B.P.
2018. Evaluasi Implementasi Publik Private Mix di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2012. Jurnal Kebijakan kesehatan Indonesia, 3(1): 37–42.

Anda mungkin juga menyukai