Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KEPERAWATAN DEWASA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN FRAKTUR DAN TERAPI KOMPLEMENTERNYA

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2

EFRANTO MC (23142019011P)
ELLY YULIANTI (23142019005P)
SILATUR RAHMI ELDAINI (23142019014P)

STIKES BINA HUSADA PALEMBANG


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur dan
Terapi Komplementernya” guna memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan
Dewasa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
mungkin masih terdapat banyak kesalahan, baik dari segi materi maupun teknik
penulisan dan penyusunan, untuk itu masukan, saran, serta kritik sangat
diharapkan guna kesempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa kita kembalikan semua urusan dan semoga dapat memberikan manfaat
dan kebaikan bagi banyak pihak dan bernilai ibadah dihadapan Allah SWT.

Palembang, 16 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG...............................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH..........................................................................3
1.3. TUJUAN...................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4
2.1. KONSEP DASAR FRAKTUR...............................................................4
2.2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR.........................................................................................................16
2.3. PENERAPAN TERAPI KOMPLEMENTER PADA PASIEN
FRAKTUR.........................................................................................................26
BAB III PENUTUP..............................................................................................30
3.1. KESIMPULAN.......................................................................................30
3.2. SARAN...................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Fraktur atau biasa dikenal sebagai patah tulang, terjadi apabila suatu tulang
mendapat kelebihan beban mekanis, sehingga tekanan pada tulang melebihi beban
yang mampu ditanggungnya (Black & Hawks, 2014). Fraktur sebagian besar
terjadi pada orang yang mengalami trauma atau cedera dengan penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan lalu lintas (Pan et al., 2014), trauma, jatuh
dari ketinggian (Ghaffari-Fam et al., 2015), osteoporosis (Weisenfluh et al., 2012)
kecelakaan kerja dan cedera olahraga (Amako et al., 2018).
Menurut WHO, trauma atau cedera akibat kecelakaan lalu lintas
menyebabkan 20 sampai 50 juta orang di dunia mengalami luka dan cacat fisik,
serta 1,35 juta orang meninggal dunia. Kejadian kecelakaan lalu lintas terbesar
terjadi di negara-negara berkembang yang berpenghasilan rendah hingga
menengah (Ivers et al., 2017).
Berdasarkan Riskesdas, prevalensi cedera di Indonesia menunjukan trend
kenaikan tiap tahun yaitu tercatat dari tahun 2013 hingga 2018 mengalami
kenaikan dari 8,2 % menjadi 9,2 %. Kasus cedera sebanyak 32,7 % pada
ekstremitas atas dan 67,9 % pada ekstremitas bawah (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2019).
Tipe fraktur berdasar atas hubungan tulang dengan jaringan di sekitarnya
dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur terbuka adalah fraktur
yang merusak jaringan kulit sehingga terdapat hubungan fragmen tulang dengan
dunia luar, sedangkan fraktur tertutup merupakan fraktur tanpa hubungan antara
fragmen tulang dan dunia luar. Masalah yang sering muncul pada klien fraktur
yang berada di rumah sakit yaitu edema atau bengkak, nyeri, kurangnya defisit
perawatan diri dan penurunan kekuatan otot (Nurarif Huda, 2015).
Tulang yang mengalami fraktur harus ditangani dengan segera Masalah
keperawatan yang dialami pasien fraktur salah satunya adalah nyeri (Black &
Hawks, 2014). Nyeri merupakan salah satu masalah keperawatan yang dialami

1
pasien fraktur, dan jika tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan perubahan
sementara tanda vital, terhambatnya ambulasi dini, waktu pemulihan yang
memanjang, penurunan fungsi sistem, terhambatnya discharge planing serta
lamanya hari rawat di rumah sakit (Black & Hawks, 2014; Maher et al., 2002).
Manajemen nyeri memerlukan kombinasi terapi farmakologi dan
nonfarmakologi. Peran perawat sangat penting dalam multimodal terapi
farmakologi dengan kombinasi terapi nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
(Maher et al., 2002).
Pasien-pasien yang mengalami nyeri bisa mencoba berbagai macam terapi,
termasuk pendekatan konvensional dan alternatif untuk menghilangkan nyeri.
Penghilangan nyeri merupakan alasan yang paling sering dikemukakan oleh
orang-orang yang mencari obat-obatan komplementer dan alternatif atau
complementary and alternative medicines (CAM). CAM meliputi tindakan-
tindakan terapeutik seperti relaksasi, meditasi, biofeedback, hypnosis, imagery,
chiropractic, akupuntur, pijat, aromatherapy dan terapi herbal (Wirth, Hudgins, &
Paice, 2005) yang popuper sebagai penghilang nyeri secara natural antara lain
yaitu: capsaicin (derivat dari merica), ginger (jahe), feverfew, turmeric (kunyit)
dan Devil’s Claw. Selain itu, American Pain Foundation juga membuat daftar
jenis-jenis herbal yang digunakan untuk manajemen nyeri yaitu: Ginseng untuk
fibromyalgia, Kava Kava untuk sakit kepala dan nyeri neuropatik, St. John Wort
untuk sciatica, arthritis, dan nyeri neuropatik, dan akar Valerian untuk spasme dan
kram otot (Bhatia, 2015).
Peran perawat dalam melakukan tindakan keperawatan pada kasus fraktur
adalah melalui tindakan keperawatan yang telah direncanakan secara cepat dan
tepat mengingat kasus fraktur dapat menjadi berat dan berujung pada perdarahan
hingga kematian apabila tidak segera ditangani. Kolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain baik dalam tindakan pemberian obat-obatan secara farmakologi dan
nonfarmakologi untuk mengatasi masalah sekunder yang muncul akibat fraktur,
dan juga perencanaan untuk proses rehabilitasi dapat dilakukan, agar perawatan
yang diberikan dapat berjalan dengan komprehensif dan maksimal demi
kesembuhan klien yang dirawat.

2
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Konsep Dasar Fraktur?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur?
3. Apa saja contoh-contoh penerapan terapi komplementer pada kasus
fraktur?

1.3. TUJUAN
1. Mengetahui Konsep Dasar fraktur.
2. Mengetahuai Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur.
3. Mengetahui contoh penerapan terapi komplementer pada kasus Fraktur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONSEP DASAR FRAKTUR


2.1.1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan
yang disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik).Fraktur adalah
patah atau retak pada tulang yang utuh.Biasanya fraktur disebabkan oleh
trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang,baik berupa
langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2012)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung,
gerakan puntir mendadak, gaya remuk dan bahkan kontraksi otot eksterm
(Brunner &Suddarth, 2002 dalam Wijaya & Putri, 2013).
Fraktur merupakan rusaknya kontinuitas struktur tulang yang
menyebabkan pergeseran fragmen tulang hingga deformitas. Pada luka
fraktur dan luka insisi dapat terjadi edema dan nyeri yang mengakibatkan
keterbatasan lingkup gerak sendi, dan keterbatasan klien dalam menumpu
berat badannya sehingga seringkali klien mengalami gangguan mobilitas fisik
(Çelik et al., 2018).

2.1.2. Klasifikasi Fraktur


Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok menurut (Suriya & Zurianti,
2019) yaitu:
1. Berdasarkan tempat fraktur
Femur, humerus, tibia, clavicula, ulna, radius, cruris dan yang lainnya.
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur
a. Fraktur komplit yaitu, garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.

4
b. Fraktur tidak komplit yaitu, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah
a. Fraktur komunitif yaitu, fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
b. Fraktur segmental yaitu, fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan
c. Fraktur multiple yaitu, fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) yaitu, garis patah lengkap
tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser) yaitu, terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang di timbulkan)
a. Fraktur tertutup (closed) yaitu, bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartemen.

5
b. Fraktur terbuka (open/compound) yaitu, bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
1) Grade I: dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya,
kerusakan jaringan lunak minimal, biasanya tipe fraktur
simpletransverse dan fraktur obliq pendek.
2) Grade II: luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang da nada
kontaminasi.
3) Grade III: yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak yang esktensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan
struktur neurovascular. Grade III ini dibagi lagi kedalam:
a) III A: fraktur grade III, tapi tidak membutuhkan kulit untuk
penutup lukanya.
b) III B: fraktur grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga
tampak jaringan tulang, dan membutuhkan kulit untuk
penutup (skin graft).
c) III C: fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harus
diperbaiki, dan berisiko untuk dilakukan amputasi.
6. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungannya dengan
mekanisme trauma
a. Fraktur tranversal yaitu, fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur oblik yaitu, fraktur yang arah garis patahannya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
c. Fraktur spiral yaitu, fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur kompresi yaitu, fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fieksi yang mendorong tulang arah permukaan lain.

6
e. Fraktur avulsi yaitu, fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya
a. Tidak adanya dislokasi
b. Adanya dislokasi
1) At axim: membentuk sudut.
2) At lotus: fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal: berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum: berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi fraktur yaitu, satu batang tulang menjadi tiga
bagian 1/3 proksimal, 1/3 medial dan 1/3 distal
9. Fraktur kelelahan yaitu, fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
10. Fraktur patologis yaitu, fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.

2.1.3. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan
suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang
dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi
pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio,
Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010) dapat
dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.

7
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang
mendadak.

2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan:
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali.
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul salah satu proses yang progresif.
c. Rakhitis secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus
menerus.

2.1.4. Manifestasi Klinis


Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna
(Brunner &Suddarth, 2002 dalam Wijaya & Putri, 2013).
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupkan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.

8
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya (uji krepitus dapat merusakkan jaringan lunak yang
lainnnya lebih berat).
5. Pembengkakan akan mengalami perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai trauma dan pendarahan akibat fraktur.

Menurut (Wahid, 2013) komplikasi fraktur dibedakan menjadi


komplikasi awal dan lama yaitu:
1. Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergency splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
b. Kompartemen syndrom.
Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh odema atau peredaran arah yang
menekan otot, tulang, saraf dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom (FES)
Kompilasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang.
FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
yang ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi,
takipneu dan demam.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk

9
kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena pengunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AV) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau
terganngu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman Ischemia.
f. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebakan menurunnya oksigenasi.

2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
terjadinya fraktur pada pasien yang telah menjalani proses pembedahan.
Menurut kutipan dari (Smeltzer dan Bare, 2013), komplikasi ini dapat
berupa:
a. Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap dan
penyakit degeneratif sendi pasca trauma.
b. Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang tidak
normal (delayed union, mal union, non union).
c. Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan rupture tendon lanjut.
d. Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf menebal
akibat adanya fibrosis intraneural.

2.1.5. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur menurut (Black, Joyce, & Hawks, 2014) fraktur
biasanya disebabkan karena cedera, trauma atau ruda paksa dimana penyebab
utamanya adalah trauma langsung yang mengenai tulang seperti kecelakaan
mobil, olah raga, jatuh atau latihan berat. Keparahan dari fraktur bergantung
pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya

10
sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Selain
itu fraktur juga bisa akibat stress fatique (kecelakaan akibat tekanan berulang)
dan proses penyakit patologis.
Perubahan fragmen tulang yang menyebabkan kerusakan pada
jaringan dan pembuluh darah mengakibatkan pendarahan yang biasanya
terjadi disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang
tersebut, maka dapat terjadi penurunan volume darah dan jika COP menurun
maka terjadilah perubahan perfusi jaringan. Selain itu perubahan perfusi
perifer dapat terjadi akibat dari edema di sekitar tempat patahan sehingga
pembuluh darah di sekitar mengalami penekanan dan berdampak pada
penurunan perfusi jaringan ke perifer.
Akibat terjadinya hematoma maka pembuluh darah vena akan
mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan
leukosit yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan inflamasi atau
peradangan yang menyebabkan pembengkakan di daerah fraktur yang
menyebabkan terhambatnya dan berkurangnya aliran darah ke daerah distal
yang berisiko mengalami disfungsi neuromuskuler perifer yang ditandai
dengan warna jaringan pucat, nadi lemah, sianosis, kesemutan di daerah
distal.
Nyeri pada fraktur juga dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau
tertutup yang mengenai serabut saraf sehingga menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi
neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Kerusakan pembuluh darah kecil atau besar pada waktu terjadinya
fraktur mengakibatkan terjadinya perdarahan hebat yang menyebabkan
tekanan darah menjadi turun, begitu pula dengan suplai darah ke otak
sehingga kesadaran pun menurun yang berakibat syok hipovolemik.
Ketika terjadi fraktur terbuka yang mengenai jaringan lunak sehingga
terdapat luka dan kman akan mudah masuk sehingga kemungkinan dapat
terjadi infeksi dengan terkontaminasinya dengan udara luar dan lama

11
kelamaan akan berakibat delayed union dan mal union sedangkan yang tidak
terinfeksi mengakibatkan non union.
Selain itu akibat dari kerusakan jaringan lunak akan menyebabkan
terjadinya kerusakan integritasa kulit. Sewaktu tulang patah, perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak sekitar
tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel- sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patahan terbentuk fibrin (hematoma
fraktur) yang berfungsi sebagai jala- ala untuk melakukan aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Andra & Yessie, 2013).

2.1.6. Pathway Fraktur


Gambar 1
(Sumber: Nurarif & Hardhi, 2015)

12
2.1.7. Penatalaksanaan Medis
 Reduksi (manipulasi).

Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi


fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi
seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula. Reduksi fraktur dapat dilakukan
dengan reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
pendarahan (Muttaqin, 2008).
Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka
bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan
menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi
sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal
tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut
dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali (Istianah, 2017).
Klasifikasi Reduksi yaitu:
a. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF)
ORIF dilakukan untuk mengimmobilisasi fraktur dengan
memasukkan paku, kawat, plat, sekrup, batangan logam, atau
pin ke dalam tempat fraktur dengan tujuan mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang
baik (Smeltzer & Bare, 2013).
b. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal (OREF)
OREF digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang
melibatkan kerusakan jaringan lunak. Metode fiksasi eksternal
meliputi pembalutan, gips, traksi kontinu, bidai, atau pin.
Ekstremitas dipertahankan sementara dengan gips, bidai, atau

13
alat lain oleh dokter. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi
dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat
ini akan memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur
comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan lunak yang
hancur dapat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare, 2013).
c. Graft tulang
Graft tulang yaitu penggantian jaringan tulang untuk
menstabilkan sendi, mengisi defek atau perangsangan dalam
proses penyembuhan. Tipe graft yang digunakan tergantung
pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah tulang
yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang
pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft)
(Smeltzer & Bare, 2013).

 Retensi (immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optiomal. Setelah fraktur
reduksi,fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran tulang sampai penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan
teknik gips atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai untuk
mengimobilisasi fraktur (Muttaqin, 2008).

 Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
Setelah pembedahan pasien memerlukan bantuan untuk melakukan
latihan. Menurut (Kneale dan Davis, 2011) latihan rehabilitasi dibagi
menjadi tiga kategori yaitu:

14
a. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau
kontraktur jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada
otot yang diperbaiki post bedah.
b. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat.
c. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan
memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4-6
minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang
mengalami
gangguan ekstremitas atas.

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Muttaqin, 2008), pemeriksaan pemeriksaan penunjang pada
fraktur yaitu:
1. Anamnesa/ pemeriksaan umum
2. Pemeriksaan radiologi : Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan
menggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga
dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
3. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
4. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
5. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan laboratorium yang lazim
digunakan untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi :
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang.

15
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5),
aspratat aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
6. Pemeriksaan lain-lain :
a. Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
b. Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
d. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
e. Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
padatulang.

2.2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


FRAKTUR
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi lima tahap yaitu
pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015) yaitu:
2.2.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalahmasalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Data Subjektif
1) Anamnesa
a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.

16
b) Keluhan Utama Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami
nyeri saat beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut
c) Riwayat Penyakit Sekarang Pada klien fraktur / patah tulang
dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan, degeneratif dan
pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan
sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat /
perubahan warna kulit dan kesemutan
d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada klien fraktur pernah mengalami
kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan ada / tidaknya
klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita
osteoporosis sebelumnya
e) Riwayat Penyakit Keluarga Pada keluarga klien ada / tidak yang
menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau penyakit
lain yang sifatnya menurun dan menular.
2) Pola-pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur
akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus
mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal

17
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani
rawat inap
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien
fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image)
h) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera
yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
i) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien
tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani

18
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya
j) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas
tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada
diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.
b. Data obyektif
1) keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
3) pemeriksaan fisik :
a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

19
h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
j) Paru
I. Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
II. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
III. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
IV. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
I. Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
II. Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
III. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur
l) Abdomen
I. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
II. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
III. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
IV. Auskultasi: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit. m)
Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran
lymphe, tak ada kesulitan BAB.

2.2.2. Diagnosis Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien
yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan fraktur meliputi :

20
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,
kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan
gangguan pola tidur
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak
nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan
penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan keterb1atasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

21
2.2.3. Perencanaan (Intervensi)
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1. Lakukan pendekatan pada 1. Hubungan yang baik
agen injury fisik keperawatan klien dan keluarga membuat klien dan keluarga
Tujuan : 2. Kaji tingkat intensitas dan kooperatif
frekwensi nyeri 2. Tingkat intensitas nyeri dan
Nyeri dapat berkurang atau
3. Jelaskan pada klien penyebab frekwensi menunjukkan skala
hilang. dari nyeri nyeri
Kriteria Hasil : 4. Observasi tanda-tanda vital. 3. Memberikan penjelasan akan
 Nyeri berkurang atau hilang 5. Melakukan kolaborasi dengan menambah pengetahuanklien
 Klien tampak tenang tim medis dalam pemberian tentang nyeri.
analgesik. 4. Untuk mengetahui
perkembangan klien
5. Merupakan tindakan
dependent perawat, dimana
analgesik berfungsi untuk
memblok stimulasi nyeri.
Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Rencanakan periode istirahat 1. Mengurangi aktivitas yang
dengan kelemahan keperawatan yang cukup. tidak diperlukan, dan energi
Tujuan: 2. Berikan latihan aktivitas terkumpul dapat digunakan
secara bertahap. untuk aktivitas seperlunya
Pasien memiliki cukup energi
3. Bantu pasien dalam memenuhi secar optimal.
untuk beraktivitas. kebutuhan sesuai kebutuhan. 2. Tahapan-tahapan yang
Kriteria hasil: 4. Setelah latihan dan aktivitas diberikan membantu proses
 perilaku menampakan kaji respons pasien. aktivitas secara perlahan
kemampuan untuk memenuhi dengan menghemat tenaga
kebutuhan diri namun tujuan yang tepat,
 pasien mengungkapkan mobilisasi dini.
mampu untuk melakukan 3. Mengurangi pemakaian
beberapa aktivitas tanpa energi sampai kekuatan

22
dibantu. pasien pulih kembali
 Koordinasi otot, tulang dan 4. Menjaga kemungkinan
anggota gerak lainya baik. adanya respons abnormal dari
tubuh sebagai akibat dari
latihan
Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kulit dan identifikasi pada 1. Mengetahui sejauh mana
berhubungan dengan trauma keperawatan tahap perkembangan luka. perkembangan luka
Tujuan: 2. Kaji lokasi, ukuran, warna, mempermudah dalam
bau, serta jumlah dan tipe melakukan tindakan yang
Mencapai penyembuhan luka
cairan luka. tepat.
pada waktu yang sesuai. 3. Pantau peningkatan suhu 2. Mengidentifikasi tingkat
Kriteria Hasil : tubuh. keparahan luka akan
 tidak ada tanda-tanda infeksi 4. Berikan perawatan luka mempermudah intervensi.
seperti pus. dengan tehnik aseptik. 3. Suhu tubuh yang meningkat
 luka bersih tidak lembab dan 5. Balut luka dengan kasa kering dapat diidentifikasikan
tidak dan steril, gunakan plester sebagai adanya proses
 kotor. kertas. peradangan.
 Tanda-tanda vital dalam 6. Jika pemulihan tidak terjadi 4. Tehnik aseptik membantu
batas normal atau dapat kolaborasi tindakan lanjutan, mempercepat penyembuhan
ditoleransi. misalnya debridement. luka dan mencegah terjadinya
7. Setelah debridement, ganti infeksi.
balutan sesuai kebutuhan. 5. Agar benda asing atau
8. Kolaborasi pemberian jaringan yang terinfeksi tidak
antibiotik sesuai indikasi. menyebar luas pada area kulit
normal lainnya.
6. Balutan dapat diganti satu
atau dua kali sehari
tergantung kondisi parah/
tidak nya luka, agar tidak
terjadi infeksi.
7. Antibiotik berguna untuk

23
mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang
berisiko terjadi infeksi.
Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kebutuhan akan 1. mengidentifikasi masalah,
berhubungan dengan nyeri, Keperawatan pelayanan kesehatan dan memudahkan intervensi.
kelemahan Tujuan : kebutuhan akan peralatan. 2. mempengaruhi penilaian
2. Tentukan tingkat motivasi terhadap kemampuan
pasien akan menunjukkan tingkat
pasien dalam melakukan aktivitas apakah karena
mobilitas optimal. aktivitas. ketidakmampuan ataukah
Kriteria hasil : 3. Ajarkan dan pantau pasien ketidakmauan.
 penampilan yang seimbang. dalam hal penggunaan alat 3. menilai batasan kemampuan
 Melakukan pergerakkan dan bantu. aktivitas optimal.
perpindahan. 4. Ajarkan dan dukung pasien 4. mempertahankan
 Mempertahankan mobilitas dalam latihan ROM aktif dan /meningkatkan kekuatan dan
optimal yang dapat pasif. ketahanan otot.
ditoleransi. 5. Kolaborasi dengan ahli terapi 5. sebagai suaatu sumber untuk
fisik atau okupasi. mengembangkan perencanaan
dan mempertahankan/
meningkatkan mobilitas
pasien.
Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau tanda-tanda vital. 1. Mengidentifikasi tanda-tanda
dengan tidak adekuatnya Keperawatan 2. Lakukan perawatan luka peradangan terutama bila
pertahanan tubuh primer, Tujuan : dengan teknik aseptik. suhu tubuh meningkat.
3. Lakukan perawatan terhadap 2. Mengendalikan penyebaran
procedure invasif infeksi tidak terjadi /
prosedur inpasif seperti infus, mikroorganisme patogen.
terkontrol. kateter, drainase luka, dll. 3. Untuk mengurangi risiko
Kriteria hasil : 4. Jika ditemukan tanda infeksi infeksi nosokomial.
 tidak ada tanda-tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan 4. Penurunan Hb dan
seperti pus. darah, seperti Hb dan leukosit. peningkatan jumlah leukosit
 luka bersih tidak lembab dan 5. Kolaborasi untuk pemberian dari normal bisa terjadi akibat
tidak antibiotik. terjadinya proses infeksi.

24
kotor. 5. Antibiotik mencegah
Tanda-tanda vital dalam perkembangan
batas normal atau dapat mikroorganisme patogen.
ditoleransi.
Kurang pengetahuan tentang Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat pengetahuan klien 1. Mengetahui seberapa jauh
penyakit berhubungan dengan keperawatan dan keluarga tentang pengalaman dan pengetahuan
kurang terpaparnya informasi Tujuan : penyakitnya. klien dan keluarga tentang
2. Berikan penjelasan pada klien penyakitnya.
tentang penyakit pasien mengutarakan pemahaman
tentang penyakitnya dan 2. Dengan mengetahui penyakit
tentang kondisi, efek prosedur kondisinya sekarang. dan kondisinya sekarang,
dan proses pengobatan. 3. Anjurkan klien dan keluarga klien dan keluarganya akan
Kriteria Hasil : untuk memperhatikan diet merasa tenang dan
 melakukan prosedur yang makanan nya. mengurangi rasa cemas.
diperlukan dan menjelaskan 4. Minta klien dan keluarga 3. Diet dan pola makan yang
alasan dari suatu tindakan. mengulangi kembali tentang tepat membantu proses
 memulai perubahan gaya materi yang telah diberikan. penyembuhan
hidup yang diperlukan dan 4. Mengetahui seberapa jauh
ikut serta dalam regimen pemahaman klien dan
perawatan. keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan
yang dilakukan.

25
2.2.4. Pelaksanaan (Implementasi)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini perawat
menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar manusia
(komunikasi) dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada
pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan
sistem tubuh, pemantapan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi
pesan tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan
klien.

2.2.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana
mengenai kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan
secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya. Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

2.3. PENERAPAN TERAPI KOMPLEMENTER PADA PASIEN


FRAKTUR
Tulang merupakan kerangka kerja tubuh manusia dan fraktur (patah
tulang) dapat terjadi pada tulang manapun yang membentuk tubuh. Suatu fraktur
dapat menimbulkan nyeri yang ekstrim atau ringan pada area yang cedera.
Walaupun obat-obat nonsteroid efektif untuk menghilangkan nyeri, obat-obat
herbal dan suplemen diet bisa memberikan alternatif pengobatan untuk
menghilangkan nyeri yang lebih aman.
Adapun terapi komplementer yang dapat diterapkan untuk asuhan
keperawatan pada pasien fraktur antara lain:
2.3.1 Pemberian campuran kunyit dan jahe untuk mengurangi
tingkat nyeri pada pasien fraktur

26
Menurut Fitria, Hasballah,Mutiati (2016) “Pemberian campuran kunyit
dan jahe dengan tingkat nyeri pada pasien fraktur”. Pada saat ini
penggunaan obat-obatan tradisional yang sebagian besarnya berbasis
tumbuhan semakin meningkat dari hari kehari karena ke efektifannya, efek
samping yang lebih sedikit dan harga yang lebih murah. Berdasarakan
pada hasil penelitian ini, peneliti menemukan data bahwa sebaran 48 orang
responden menurut tingkat nyeri sebelum dan sesudah pemberian ramuan
herbal campuran kunyit dan jahe yang dievaluasi dalam 2 minggu
didapatakan hasil terjadinya penurunan rasa nyeri yang dialami oleh
responden. Hal ini dikarenakan kunyit mengandung tiga kelompok
curcuminoid yaitu Curcumin (diferuloylmethylmethane),
demethoxycurcum dan bichemethoxycurcumin Zat berkhasiat yang
terdapat dalan kunyit yaitu curcumin memiliki efek anti inflamasi.
Curcumin merupakan juga merupakan anti oksidan yang kuat. Molekul
anti oksidan dalam tubuh melawan radikal bebas yang merusak membran
sel tubuh, dan bahkan menyebabkan kematian sel, sedangkan jahe
(Zingeber Officinale Rosc) merupakan keluarga Zingeberaceae. Jahe
mengandung zat antioksidan dan antiinflamasi yaitu Gingerol. Suatu
phytochemical yang membantu mengurangi inflamasi. Sejak dahulu jahe
telah digunakan untuk penghilang nyeri otot.

2.3.2 Pemberian terapi music dan aromaterapi untuk mengurangi


nyeri pada pasien post op fraktur
Menurut hasil penelitian dari Rizqi Hardhanti, Ambar Relawati
(2023) “ Implementasi terapi music dan aromaterapi lavender untuk
mengurangi nyeri pada pasien fraktur post orif”. salah satu tatalaksana non
farmakologi yang bisa digunakan untuk mengurangi rasa nyeri adalah
tekhnik relaksasi menggunakan aromaterapi lavender (Astuti & Aini,2020)
dan tekhnik distraksi yang menggunakan music, pemberian terapi ini
efektif diberikan dalam waktu 10-30 menit pasca pembedahan, pra latihan
ambulasi atau pasca pelatihan ambulasi. Peneliti melakukan penelitian

27
kepada salah satu pasien rumah sakit yaitu Ny S, sebelumnya pasien
mengalami nyeri post op praktur dengan skala nyeri 6, terapi ini dilakukan
selama 3 hari dan dilakukan 30 menit sehari, setelah dilakukan kombinasi
terapi standar (pemberian analgesic) dengan terapai music dan aromaterapi
selama 3 hari didapatkan penurunan skala nyeri yang semula pasien
mengalami skala nyeri 6 dan setelah diberikan terapi menjadi skala nyeri
4, skala nyeri tersebut menurun dikarenakan terapi menggunakan music
dan aromaterapi dapat membuat pasien mengalihkan pikiran menjadi
berfokus pada hal-hal yang membahagiakan dan menenangkan sehingga
akan memicu rasa rileks dan menenangkan otot-otot yang mengalami
ketegangan.

2.3.3 Terapi kompres dingin untuk menurunkan skala nyeri pasien


fraktur
Menurut Trias Eka,Hennyy suzana, Urip Rahayu (2023) pada
jurnal ilmiah keperawatan dengan judul “ Terapi kompres dingin untuk
menurunkan skala nyeri akut pasien fraktur : systemic review” peneliti
melakukan terapi kompres dingin kepada pasien post op fraktur dengan
memberikan kompres dingi selama 10 s/d 15 menit dengan suhu 5-10◦C
dapat menurunkan rasa nyeri dikarenakan kompres dingin dapat
meningkatkan pelepasan endorphin yang memblok transmisi stimulus
nyeri dan juga menstimulasi saraf sehingga menurunkan rasa nyeri dan
mengurangi edema.

2.3.4 Penurunan skala nyeri pada pasien fraktur dengan relaksasi


napas dalam
Berdasarkan jurnal kesehatan dari lela aini, Reza Reskita (2018)
dengan judul “Pengaruh tekhnik nafas dalam terhadap penurunan nyeri
pada pasien fraktur”. Penelitian ini dilakukan di RSI Siti Khodijah
Palembang pada tahun 2017 dan dilakukan kepada 30 responden. Sebelum
dilakukan teknik relaksasi napas dalam skala nyeri responden rata-rata 4

28
dan setelah dilakukan teknik relaksasi napas dalam skala nyeri responden
menjadi 2, Hal ini disebabkan dengan teknik relaksasi nafas dalam mampu
merangsang tubuh untuk melepaskan opoid endogen yaitu endorphin dan
enkafalin. Hormon endorphin merupakan substansi sejenis morfin yang
berfungsi sebagai penghambat transmisi impuls nyeri ke otak. Sehingga
pada saat neuron nyeri mengirimkan sinyal ke otak, terjadi sinapsis antara
neuron perifer dan neuron yang menuju otak tempat seharusnya subtansi p
akan menghasilkan impuls. Pada saat tersebut endorphin akan memblokir
lepasnya substansi p dari neuron sensorik, sehingga sensasi nyeri menjadi
berkurang.

29
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Fraktur atau biasa dikenal sebagai patah tulang, terjadi apabila suatu tulang
mendapat kelebihan beban mekanis, sehingga tekanan pada tulang melebihi beban
yang mampu ditanggungnya. Fraktur sebagian besar terjadi pada orang yang
mengalami trauma atau cedera dengan penyebab terbanyak adalah insiden
kecelakaan lalu lintas, trauma, jatuh dari ketinggian, osteoporosis, kecelakaan
kerja dan cedera olahraga.
Tulang yang mengalami fraktur harus ditangani dengan segera Masalah
keperawatan yang dialami pasien fraktur salah satunya adalah nyeri. Nyeri
merupakan salah satu masalah keperawatan yang dialami pasien fraktur, dan jika
tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan perubahan sementara tanda vital,
terhambatnya ambulasi dini, waktu pemulihan yang memanjang, penurunan
fungsi sistem, terhambatnya discharge planing serta lamanya hari rawat di rumah
sakit.
Manajemen nyeri memerlukan kombinasi terapi farmakologi dan
nonfarmakologi. Pasien-pasien yang mengalami nyeri bisa mencoba berbagai
macam terapi, termasuk pendekatan konvensional dan alternatif untuk
menghilangkan nyeri. Penghilangan nyeri merupakan alasan yang paling sering
dikemukakan oleh orang-orang yang mencari obat-obatan komplementer dan
alternatif atau complementary and alternative medicines (CAM). CAM meliputi
tindakan-tindakan terapeutik seperti relaksasi, meditasi, biofeedback, hypnosis,
imagery, chiropractic, akupuntur, pijat, aromatherapy dan terapi herbal.

3.2. SARAN
Diharapkan pada Mahasiswa PSIK Bina Husada Palembang dapat
mengetahui dan memahami konsep dasar fraktur, konsep Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Fraktur dan mengetahui contoh-contoh penerapan terapi
komplementer pada kasus Fraktur.

30
DAFTAR PUSTAKA

Lukman dan Ningsih, N.


(2013). Asuhan
Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta :
Salemba Medikaia
Brunner dan Suddarth. (2008). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Nurarif & Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional. Yogyakarta : Mediaction Jogja.

Wijaya, A.S & Putri Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan


Dewasa) Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.

Smeltzer & Bare (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Jakarta:
EGC.

Aini, Lela & Reza Reskita. (2018). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam
terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Fraktur. Jurnal Keperawatan.

Nurlela, Trias Eka & Henny Suzana M. (2023). Terapi Kompres Dingin Untuk

31
Menurunkan Skala Nyeri Akut Pasien Fraktur: Systematic Review. Jurnal
Keperawatan.

Fitria, Nanda & Kartini Hasballah. (2016). Pemberian Campuran Kunyit dan Jahe
dengan Tingkat Nyeri pada Pasien Fraktur. Jurnal Keperawatan.

Hardhanti, Rizqi & Ambar Relawati. (2023). Implementasi Terapi Musik dan
Aromaterapi Lavender untuk Mengurangi Nyeri pada Pasien Fraktur Post
ORIF. Jurnal Keperawatan.

Lukman dan Ningsih, N.


(2013). Asuhan
Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta :
Salemba Medikaia
Lukman dan Ningsih, N.
(2013). Asuhan
Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta :
Salemba Medikaia
32

Anda mungkin juga menyukai