Anda di halaman 1dari 18

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

SEBAGAI PELINDUNG SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA


Fridha Yuanskha Setiawan
6211211120

Abstrack
The Witness and Victim Protection Agency (LPSK) is an institution that has the
duty and authority to provide protection and assistance to witnesses and victims.
The Witness and Victim Protection Agency (LPSK) protects at all stages of the
criminal process so that witnesses and victims feel safe in giving information. This
study uses a qualitative method where this method uses methods, steps and
procedures with more data and information obtained from respondents as
subjects who can provide answers and their own feelings to get a comprehensive
picture of a matter being studied. Data collection techniques used were literature
studies and interviews. This study aims to find out the role of the Witness and
Victim Protection Agency (LPSK) as a protector of witnesses and victims in
Indonesia. In this way it was found that since the formation of the Witness and
Victim Protection Agency (LPSK) in 2006, the Witness and Victim Protection
Agency (LPSK) has been considered successful in protecting witnesses and
victims in Indonesia.

PENDAHULUAN

Hak Asasi manusia adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang melekat
pada individu sejak ia lahir secara kodrat yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya dan wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
(Eko, 2016). Sudah seharusnya Indonesia sebagai negara hukum memperhatikan
dan memahami tentang hak asasi manusia. HAM yang melekat pada masyarakat
Indonesia tidak dapat dirampas dan tentunya dilindungi oleh negara, hukum dan
pemerintah.
Pada era sekarang ini banyak sekali perubahan kebijakan yang membahas
permasalahan hak asasi manusia sebagai hak warga negara. Di Indonesia sudah
banyak sekali peraturan atau hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak-
hak, seperti perlindungan anak, perlindungan perempuan dan perlindungan
terhadap korban KDRT (kekerasan rumah tangga). Akan tetapi, perlindungan
untuk saksi dan korban ini seakan terlupakan dalam agenda reformasi. (Komariah,
2015).
Mewujudkan dan menjamin hak atas rasa aman untuk melindungi saksi
dan korban dalam perkara pidana merupakan sebuah syarat penting bagi
berjalannya proses peradilan yang optimal. Saksi adalah orang yang mengetahui
secara langsung apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan tentang dugaan tindak
pidana. Berdasarkan pengertian tersebut, saksi dapat juga disebut sebagai korban
atau pihak yang dirugikan dari suatu peristiwa. Saksi diharapkan dapat
menggambarkan jalannya peristiwa dan menjelaskan secara rinci apa yang sedang
diselidiki di pengadilan. Selain saksi, alat bukti juga bisa mambantu hakim
mengambil keputusan secara adil dan tidak subjektif. (Panjaitan & Putri, 2017)
Peran para saksi sangat penting terutama dalam perkara pidana,
diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa dan terdaftar sebagai alat bukti dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Namun, hal ini sangat
bertolak belakang dengan bentuk perhatian atau perlindungan yang diberikan
kepada saksi oleh negara atau lembaga penegak hukum. Perlindungan tersebut
berupa perlindungan hukum dan atau perlindungan khusus lainnya. (Saksi &
Korban, 2006). Melihat pentingnya saksi dalam suatu perkara pidana, saksi sering
kali mendapatkan ancaman dan perlakuan tidak mengenakan agar mereka tidak
berbicara atau memberitahu apa yang sebenarnya mereka para saksi ini lihat,
dengar dan rasakan.
Perlindungan saksi sangat mendesak pada saat ini karena dilakukan pada
semua tingkat penyidikan dalam hal-hal yang memerlukan perhatian dan
penjagaan khusus. Indonesia saat ini memiliki aturan melindungi hak saksi yaitu
Undang Undang No. 13 Tahun 2006 yang merupakan cikal bakal terbentuknya
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang memiliki kewenangan
untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Selain itu, ada
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindugan Terhadap
Korban dan Saksi Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (PP No. 22 Tahun
2002). Dalam PP ini ditambah kata "korban" dengan kata "saksi". Yang dimaksud
dengan “perlindungan” dalam PP ini adalah pelayanan yang diberikan oleh
penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental kepada korban dan saksi terhadap ancaman terorisme dan
kekerasan dari kedua belah pihak. atau diberikan selama fase inspeksi. (Saksi &
Korban, 2006).
Perlindungan hukum tergolong penting bagi semua masyarakat bernegara
dan menjadi cikal bakal lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
No. 13 Tahun 2006 yang mulai berlaku pada 11 Agustus 2006. Undang undang
tersebut juga mengatur tentang badan yang bertanggung jawab atas perlindungan
hak hak saksi dan korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki tugas dan wewenang
untuk memberikan perlindungan dan pendampingan kepada saksi dan korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi di semua tahapan
proses pidana agar saksi dan/atau korban merasa aman dalam memberikan
keterangan. (Jayadi, 2020).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi semua
rangkaian proses sidang korban maupun saksi terhindar dari ancaman dalam
memberikan kesaksiannya. Peran antara korban dan saksi sangat penting terkait
dengan keterangan saksi ini yang bisa mempengaruhi dan menentukan arah
keputusan hakim. Masalah yang terkadang muncul dalam persidangan
permasalhan ini adalah banyak sekali saksi yang tidak mau menjadi saksi atau
takut untuk bersaksi. Karena tidak ada jaminan perlindungan yang memadai atau
mekanisme pembuktian khusus. Saksi, termasuk wartawan, sering mengalami
ancaman atau tuntutan hukum berdasarkan kesaksian atau laporannya. (Komariah,
2015).
Dengan demikian, jelaslah dengan adanya perlindungan hak saksi dan
korban sangat krusial demi menjamin kebenaran materiil dan rasa keadilan bagi
semua, termasuk saksi dan korban. Berdasarkan latar belakang yang sudah
dipaparkan, maka penulis mengambil rumusan masalah berupa “Bagaimana cara
LPSK menjalankan perannya sebagai pelindung saksi dan korban di Indonesia?”
dan memilih judul: “Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Lpsk)
sebagai Pelindung Saksi dan Korban di Indonesia”. Tentu juga penelitian ini
memiliki tujuan, yaitu untuk mengetahui bagaimana cara LPSK menjalankan
perannya sebagai pelindung saksi dan korban di Indonesia.

TEORI DAN INDIKATOR


Teori Perlindungan Hukum
Secara terminology, perlindungan hukum merupakan gabungan dari
“perlindungan” dan “hukum”. KBBI mendefinisikan perlindungan sebagai hal
atau kegiatan yang melindungi. Dalam hal ini, hukum dapat diartikan sebagai
aturan atau praktik yang mengikat secara hukum yang disetujui oleh penguasa
atau pemerintah. Dalam pengertian tersebut, perlindungan hukum dapat diartikan
sebagai upaya untuk melindungi apa yang dilakukan pemerintah atau instansi
dengan berbagai peraturan yang ada. Singkatnya, perlindungan hukum adalah
fungsi dari hukum itu sendiri; memberikan perlindungan.
Konsep perlindungan hukum berasal dari teori hukum alam atau doktrin.
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Plato, Aristoteles dan Zeno. Menurut
doktrin, hukum berasal dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, dan
moralitas tidak dapat dipisahkan dari hukum. Para pendukung doktrin itu percaya
bahwa hukum dan moral mencerminkan aturan internal dan eksternal kehidupan
manusia, yang tercermin dalam hukum dan moral.
Kepentingan hukum adalah mengurus hak dan kepentingan manusia,
sehingga hukum mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menentukan dan
melindungi kepentingan manusia. Dari berbagai konsep hukum yang dipaparkan,
dapat dilihat bahwa hukum bukan hanya tentang peraturan tertulis dan penegakan
hukum sebagaimana yang dipahami oleh orang awam yang tidak memahami
hukum. Namun, hukum juga mencakup aspek kehidupan sosial masyarakat yang
sudah ada.
Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai upaya
untuk melindungi martabat dan hak asasi manusia, serta mengakui hak-hak yang
dimiliki oleh subyek hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku tanpa
pengecualian.
Ada dua indikator dalam penelitian ini yang berjaitan dengan pengertian
perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon mengenai melindungi mertabat
dan hak asasi manusia, serta mengakui hak-hak yang dimiliki oleh subyek hukum
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku tanpa pengecualian.
a. Perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan
mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk
yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
b. Perlindungan hukum refrensif yang bertujuan menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh Negara
kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan
hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara atau jalan untuk menemukan solusi bagi setiap
masalah. Penyusunan penelitian “Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(Lpsk) sebagai Pelindung Saksi dan Korban di Indonesia” memerlukan informasi
yang akurat untuk mendapatkan bahan yang diperlukan bagi penyusunan karya
ini, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga metode penelitian pasti akan
digunakan.
Metode penelitian kali ini menggunakan metode kualitatif dimana metode ini
menggunakan cara, langkah dan prosedur dengan lebih banyak data dan informasi
yang diperoleh dari responden sebagai subjek yang dapat memberikan jawaban
dan perasaannya sendiri untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang
suatu hal yang diteliti. (Creswell & Creswell, 2018). Penelitian ini merupakan
penelitian yang bersifat deskriptif untuk mengeksplorasi atau memotret situasi
sosial yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi literatur dan
wawancara. Proses dari teknik analisis terdiri dari merekam hasil wawancara
secara utuh, mentranskripnya dan mengklasifikasikannya sesuai dengan
kebutuhan jawaban atas pertanyaan dan tujuan penelitian yang dilakukan.
Tujuannya agar mudah menarik kesimpulan dari setiap informasi. Kemudian
dianalisis setiap kutipan dalam konteks isi pembahasan penelitian.

PEMBAHASAN
Mewujudkan dan menjamin hak atas rasa aman untuk melindungi saksi
dan korban dalam perkara pidana merupakan prasyarat penting bagi berjalannya
proses peradilan yang optimal. Dalam UU No. 13 Tahun 2006 diatur bahwa
pelindung dari saksi dan korban adalah LPSK, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan lembaga
yang mandiri namun mempunyai legitimasi karena dibuat berdasarkan Undang-
undang. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bertanggung jawab
langsung kepada presiden.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibuat berdasarkan
Undang-undang No. 13 Tahun 2006. Sebenarnya, pembentukan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini sudah diajukan dari tahun 2002. Akan
tetapi persoalan pembentukan lembaga baru ini masih harus mendapatkan waktu
yang lama. Pengajuan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) ini terus dibahas oleh presiden dan DPR. Maka pada tahun 2006 lah terbit
Undan-undang No. 13 Tahun 2006 tentang apa itu Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) dan mulai berlaku pada 11 Agustus 2006 dengan
nomenklatur Undang -Undang tentang perlindungan saksi dan korban.
Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini juga
berdasarkan pertimbangan bahwa dalam KUHAP kitab Undang -Undang Hukum
Acara Pidana pada tahun 1981, ternyata lebih banyak pembahasan mengenai
perlindungan hak-hak pelaku, tersangka, terdakwa dan terpidana dari bentuk-
bentuk pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), jika mereka disiksa atau
dirundung didalam penjara. Ini dimuat dalam KUHAP kitab Undang -Undang
Hukum Acara Pidana, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Bab VI yang membahas
mengenai Tersangka dan Terdakwa Pasal 50 sampai 83. Pasal yang mengatur
mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban ini hanya terdapat dalam Pasal
156 KUHAP. (KITAB UNDANG-UNDANG, n.d.).
Pasal 156 KUHAP memberikan beberapa hak bagi saksi dan korban.
Pertama, mereka memiliki hak untuk tampil secara anonim di pengadilan.
Artinya, nama, alamat, dan informasi pribadi lainnya tidak akan dipublikasikan.
Kedua, saksi dan korban berhak mendapatkan perlindungan oleh pihak yang
berwenang, seperti kepolisian. Kepolisian harus memastikan bahwa mereka aman
dan tidak mendapatkan ancaman yang bisa membahayakan keselamatan mereka.
Ketiga, saksi dan korban berhak untuk menjaga kerahasiaan informasi yang
diberikan. (Pemerintah.co.id, 2023).
Karena terlalu minimnya perlindungan hukum untuk melindungi hak-hak
saksi dan korban inilah, para masyarakat sipil mengusungkan perlu adanya
payung hukum atau norma hukum untuk melindungi para saksi agar para saksi ini
mau bersaksi pada saat tahapan proses pidana. Dalam kasus korupsi dan
permasalahan mengenai pelanggaran HAM berat biasanya tidak bisa diungkap
karena ketiadaan saksi dan jika pun ada, sakti tersebut tidak ingin bersaksi.
Sebenarnya ada beberapa alasan mengapa saksi tidak ingin bersaksi atau tidak
datang saat dipanggil.
Yang pertama, saksi yang dipanggil ke peradilan merasa takut untuk
datang. Masyarakat Indonesia cenderung berpikir bahwa mereka menjadi saksi
adalah sesuatu yang menyeramkan. Yang kedua mengapa masyarakat tidak mau
bersaksi itu karena ada kecenderungan tidak tahu. Mereka tidak tahu bagaimana
proses dan caranya. Dan yang ketiga, karena adanya ancaman yang
membahayakan saksi. Biasanya saksi mendapatkan tekanan atau ancaman agar
saksi takut dan baerakhir tidak datang ke peradilan. Di Indonesia, posisi saksi ini
sangatlah penting, saksi masuk kedalam lima alat bukti dalam KUHAP yang harus
ada atau hadir dan belum tergantikan sampai saat ini. Tidak seperti di Eropa yang
sudah tidak terlalu memerlukan saksi karena menggunakan scientific.
Scientific crime investigation sendiri memiliki arti bahwa penyidikan
kriminal yang berbasis ilmiah merupakan representasi keberhasilan dalam proses
pidana. Hasil yang diperoleh melalui scientific crime investigation (SCI) dapat
menjadi alat pengumpul bukti yang ampuh ketika saksi tidak dapat ditemukan dan
tersangka sulit dilacak. Sampai saat ini pembuktian dengan metode scientific
crime investigation (SCI) telah berhasil dan dianggap sebagai tulang punggung
penyidikan. (Setiana, 2016).
Ketiga alasan itulah yang membuat Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) ini harus mendampingi para saksi. Para saksi ini harus diberitahu
bagaimana caranya menjadi saksi dan dilindungi, terlebih jika memang saksi
tersebut mendapatkan tekanan atau ancaman. Akan tetapi, jika dilihat dari mandat
Undang-undang Perlindung Saksi dan Korban No. 31 Tahun 2006 atau No. 31
Tahun 2014, perlindungan ini bersifat voluntary, bukan mandatori. Voluntary
berarti para saksi dan korban tersebut mengajukan untuk mendapatkan
perlindungan. Saksi ini merasa membutuhkan bimbingan atau perlindungan dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sedangkan mandatori
sebaliknya, jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melihat adanya
kasus yang megang harus ditangani, makan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) akan mengajukan diri untuk membimbing kasus itu atau
melindungi saksi maupun korbannya. Walaupun negara atau Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini bisa mengambil kasus tersebut, maka
harus diapat izin dari pihak saksi. Jika saksi tidak mau dilindungi, maka pihak
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun tidak bisa membimbing
ataupun melindungi saksi tersebut. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) hanya menawarkan perlindungan. Keputusan tetap ada ditangan saksi
atau orang yang ditawarkan perlindungan tersebut, tidak ada paksaan dari negara.
Orang yang bisa mengajukan untuk mendapatkan perlindungan ini selain
orangnya langsung (saksi dan korban). Itu karena dalam Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban ada beberapa kategori yang dapat mengajukan perlindungan
tersebut. Ada saksi, korban, saksi pelaku dan ahli. Mereka bisa mengajukan secara
mandiri atau diwakili oleh pihak ketiga, seperti keluarga. Bisa juga mendapatkan
rekomendasian dari penegak hukum atau instansi lain, misalnya jika pihak
kepolisian mengajukan perlindungan terhadap seseorang ke Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan negara juga
tidak sembarangan untuk menyetujui permohonan perlindungan hukum kepada
masyarakat. Ada syarat-syarat atau ketentuan dari pihak Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) dan negara yang memang harus terpenuhi. Selain
mengajukan secara mandiri, diwakili oleh pihak ketiga dan rekomendasian dari
penegak hukum atau instansi lain, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) juga memantau pemberitaan di media, seperti saat ada pemberitaan yang
sedang ramai. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharuskan untuk
mengambil langkah yang proaktif dan datang untuk menawarkan perlindungan.
Jadi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) langsung turun tangan dan
tidak menunggu ada pihak yang mengajukan. Akan tetapi tetap saja, keputusan
untuk mau atau tidaknya mereka dilindungi, ada pada masyarakat itu sendiri.
Seperti yang terjadi saat tragedi Kanjuruhan. Tragedi Kanjuruhan
merupakan peristiwa yang memakan banyak korban akibat tembakan gas air mata
petugas di tribun Stadion Kanjuruhan usai pertandingan sepak bola Arema FC
melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022. Gas air mata kemudian
menyebabkan kepanikan. Penonton yang panik tersebut berlarian dan berebut
untuk keluar terlebih dahulu. Karena adanya kerumunan yang memaksa keluar
secara bersamaan, banyak dari para penonton yang akhirnya terhimpit dan terinjak
oleh penonton lain dan menyebabkan kematian massal. Sedikitnya 135 orang
tewas. (Wiryono, 2023).
Pada tanggal 2 Oktober 2022 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) sudah bergerak ke lapangan untuk mendatangi dan menawarkan
perlindungan hukum bagi para saksi dan korban dari peristiwa tragedi Kanjuhuran
tersebut. Pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah
melakukan pemetaan, mencari tahu ada berapa banyak korban, korbannya dikirim
ke rumah sakit mana saja, melanjutkan untuk bertemu dengan penyidik, dan
menawarkan bahwa negara punya mekanisme perlindungan hukum. Perlindungan
hukum yang dimaksud oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
merupakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan.
Pemenuhan hak yang dimaksud adalah seperti yang tertera didalam pasal 5
UU No. 13 Tahun 2006 mengenai hak apa saja yang memang seharusnya
didapatkan oleh korban dan saksi. Seperti hak untuk jaminan keselamatan diri
sendiri, keluarga, sampai hak kepemilikan harta benda. Ada juga hak untuk
identitas baru dan hak untuk mendapatkan penerjemah. Sementara untuk
pemberian bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
mempunyai banyak sekali macam-macam bantuan yang bisa diberikan.
Yang pertama ada bantuan secara medis. Bentuan ini diberikan jika korban
mendapatkan luka fisik dan apapun yang melibatkan kesehatan fisik. Jika korban
yang dilindungi ini meninggal dunia, maka pihak Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) akan mengurus proses awal jenazah sampai pemakaman.
Yang kedua ada bantuan untuk konseling psikologis, disebut juga dengan
rehabilitasi psikologis. Rehabilitasi psikologis ini diberikan untuk memulihkan
kejiwaan korban atau saksi yang mungkin terganggung karena terlibat dengan
suatu peristiwa. Yang selanjutnya ada rehabilitasi psikososial. Jika rehabilitasi
psikologis untuk memulihkan kejiawaan korban atau saksi, maka rehabilitasi
psikososial ini memberikan pelayanan dan pendampingan psikologis bagi saksi
atau korban untuk meringankan dan melindungi kondisi fisik, psikis, sosial dan
spiritual korban atau saksi. Sehingga dapat kembali menjalankan tugas dan fungsi
sosialnya secara normal bahkan meningkatkan kualitas hidupnya. Misalkan jika
yang mendapatkan rehabilitasi psikososial ini adalah korban akibat peristiwa
terorisme yang menjadi cacat fisik dan tidak bisa bekerja karena kehilangan
anggota tubuhnya, maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan
jejaringnya akan membantu dan mengupayakan agar korban ini mendapatkan
pendidikan, pelatihan dan bagaimana korban ini bisa berusaha untuk kembali
menjadi orang yang produktif.
Kemudian ada juga fasilitasi perhitungan kompensasi. Merupakan bantuan
yang menghitung biaya ganti rugi yang harus diganti oleh negara. Misalkan pada
korban terorisme yang kehilangan anggota tubuh. Pihak Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) akan menghitung jika semua itu dinominalkan. Jika
sudah dinominalkan, maka itu semua bisa dituntutkan kepada negara, maka nanti
negara akan membayar kerugian tersebut. Dan selanjutnya ada perhitungan
restitusi. Perhitungan restitusi sebenarnya hampir sama dengan perhitungan
kompensasi, yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban akan membantu
menghitung kerugian yang dialami korban dan menuntut atas kerugian tersebut.
Akan tetapi, tuntukan ini tidak diajukan kepada negara, melainkan kepada pelaku.
Seperti saat korban tersebut mengalami luka fisik. Maka akan dihitung biaya
pengobatan dan pemulihan. Nominal itu akan diberikan kepada penuntut umum
untuk diajukan ganti rugi. Ini juga berlaku untuk kerugian imaterial, kerugian
yang tidak bisa dibuktikan secara tak kasat mata.
Akan tetapi, jika syarat dan ketentuan yang diberikan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tidak terpenuhi, maka pengajuan
permohonan perlindungan ini tidak akan disetujui atau ditolak. Sama seperti yang
tertera di UU No. 13 Tahun 2006 pasal 28 mengenai syarat dan tata cara
pemberian perlindungan dan bantuan. Dalam pasal tersbut disebutkan apa saja
syarat dan tata cara dalam pemberian perlindungan dan bantuan, maka dari itu jika
tidak sesuai, permohonan tersebut akan ditolak.
Yang pertama dilihat dari sifat pentingnya sebuah keterangan saksi atau
korban yang bersangkutan. Keterangan yang diberikan nanti penting atau tidak,
dapat berguna bagi penyidik atau tidak untuk pengungkapan suatu perkara. Yang
kedua, adanya ancaman. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan
melihat ada atau tidaknya ancaman. Jika tidak ada ancaman, maka Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan membiarkan semuanya berjalan
dengan sebagaimana mestinya, sesuai dengan prosedur yang sudah ada. Yang
ketiga, rekam jejak pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
akan melihat pernah atau tidaknya orang yang mengajukan permohonan ini
terlibat proses hukum. Kalaupun memang sudah pernah atau ada, maka Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus mengetahui apa yang terjadi. Dan
yang terakhir adalah melihat rekam medis. Rekam medis disini dimaksudkan
untuk melihat hasil analisis dari tim medis dan psikologis mengenai korban.
Untuk pelapor dan ahli, lebih dilihat dari sifat pentingnya keterangan dan adanya
ancaman. Sedangkan untuk saksi pelaku, saksi pelaku ini adalah pelaku yang
merupakan bagian dari suatu kejahatan, akan tetapi dia ingin bekerja sama demi
mengungkap siapa dalang atau pelaku sebenarnya. Jadi dinamakan status justice
collaborator. Justice collaborator ini memiliki dua peran sekaligus. Ia menjadi
tersangka sekaligus menjadi saksi selama sidang itu berjalan. Untuk menjadi
justice collaborator juga tidak bisa sembarangan. Ia harus mengakui bahwa dia
memang melakukan kejahatan tersebut, jika ada keuntungan materi yang dia dapat
dari kejahatan tersebut maka keuntungan tersebut harus dikembalikan dan yang
terakhir adalah harus memberikan keterangan atau kesaksian yang penting bagi
penegak hukum.
Setelah pemohon mengajukan permohonannya pun, pihak Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini akan menurunkan tim untuk
memverifikasi kebenaran mengenai pemohon tersebut. Dan setelah itu dilihat pula
tindak pidananya, masuk kedalam prioritas Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) atau tidak. Prioritas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) in ada beberapa, diantaranya adalah terorisme, pelanggaran HAM (Hak
Asasi Manusia) berat, korupsi, perdagangan orang atau human trafficking,
kekerasan seksual, narkotika dan kejahatan lain yang mengancam jiwa saksi atau
korban. Ini semua sebenarnya terdapat atau ada pada pasal jagadnya, akan tetapi
memang dibatasi dengan adanya ancaman atau tidak. Setelah pemohon
mengajukan permohonan, makan semua syarat akan dibawa dan dibahas ke sidang
pimpinan. Dan pada sidang pimpinan inilah itu akan diuji apakah pihak yang
bersangkutan atau pemohon ini bisa mendapatkan perlindungan dari LPSK atau
tidak.
Jadi ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Satu, permohonan yang
diajukan bisa diterima sesuai dengan permohonan perlindungan yang diajukan,
seperti pengajuan untuk perlindungan fisik, cukup pengajuan bantuan medis atau
psikologis. Kedua, permohonannya ditolak. Ditolak karena bisa saja status
hukumnya tidak jelas, tindak pidananya bukan prioritas Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) atau yang bersangkutan merupakan tersangka. Dan
yang ketiga adalah adanya rekomendasian dari putusan sidang. Jadi permohonan
tersebut akan merekomendasikan perlindungannya kepada perangkat daerah
setempat. Misalkan pada kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual masuk
kedalam prioritas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), akan tetapi
yang terjadi dalam skala kecil dan ancaman yang didapat tidaklah membahayakan
atau bahkan tidak ada, maka akan dilimpahkan kepada perangkat daerah setempat.
Jika korban tersebut membutuhkan bimbingan konseling psikologi, maka
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan merekomendasikan
kepada pemerintah daerah melalui dinas perempuan atau P2TP2A (Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) atau sekarang sudah
menjadi dinas DP3AK (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
atau AKB untuk membantu yang bersangkutan menjalani konseling. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga bisa merekomendasikan kepada
pihak yang berwajib yang berada satu wilayah dengan pemohon. Akan tetapi
setelah itu tetap aka nada monitoring terhdap rekomendasian tersebut. Dijalankan
atau tidak. Jadi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat
bekerjasama dengan perangkat daerah.
Saat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjalankan
tugasnya sebagai pelindung bagi saksi dan korban, meraka akan selalu melakukan
evaluasi setiap enam bulan sekali, tetapi tidak ada masa maksimal perlindungan.
Jadi untuk masa perlindungan itu sendiri bisa saja hanya berjalan enam bulan atau
bisa berjalan sampai bertahun tahun. Jika memang setelah enam bulan atau setelah
sidang yang bersangkutan ini selesai dan pelakunya sudah ditahan, bisa saja dan
ada kemungkinan bahwa perlindungan yang sedang berjalan dapat dihentikan, jika
memang yang bersangkutan mendapatkan atau mengajukan perlindungan fisik.
Akan tetapi berbeda jika yang bersangkutan memerlukan atau membutuhkan
konseling. Seperti mereka yang mempunyai luka fisik permanen atau trauma
akibat kekerasan seksual. Itu akan memakan waktu yang sangat lama, karena
pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) khawatir jika tidak dalam
jangka panjang atau tidak sampai tuntas, ingatan atau trauma itu akan kembali dan
mengganggu. Dan yang paling parah adalah bahwa trauma tersebut menjadi
pemicu untuk yang bersangkutan berpikir untuk menjadi pelaku dan benar benar
menjadi pelaku. Jika yang bersangkutan mengajukan permohonan perlindungan
dengan tiga jenis, maka saat sidang selesai, maka kemungkinan satu persatu
perlindungan ini akan dihentikan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) akan melihat perlindungan jenis yang mana yang masih dibutuhkan oleh
yang bersangkutan. Akan tetapi jika suatu saat pelaku ini bebas dan mempunyai
potensi untuk membalas dendam kepada korban atau saksi, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan permohonan perlindungan kembali. Dan pihak
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan memverifikasi ulang.
Untuk pengajuan permohonan perlindungan pada jaman sekarang para
pemohon sudah tidak perlu datang ke kantor pusat yang ada di Jakarta dan kantor
perwakilannya yang ada di Yogyakarta dan Medan. Karena kita sudah memasuki
universe yang sudah serba canggih dengan adanya internet ini, kita jadi tidak
mengenal batas wilayah, batas waktu dan batas jarak. Para pemohon yang ingin
mengajukan permohonan perlindungan ini bisa mengirim surat, bisa melalui
email, bisa melalui nomor whatsapp atau juga bisa mengajukan melalui aplikasi.
Aplikasi yang bernama permohonan perlindungan LPSK. Akan tetapi sangat aat
disayangkan karena aplikasi ini baru hanya bisa diakses dan tersedia di android.
Banyak sekali cara-cara untuk mengajukan permohonan perlindungan kepada
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini. Masyarakat juga
seharusnya tidak udah takut akan dikenakan biaya karena pelayanan ini tidak ada
biaya apapun. Jika memang pemohon ini berada jauh dari kantor pusat dan kantor
perwakilan, setelah pemohon ini mengajukan permohonan, maka yang akan turun
untuk menghampiri atau menemui yang bersangkutan adalah dari pihak Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Setelah pengajuan permohonan tersebut,
pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan mendatangi dalam
jangka waktu maksimal 30 hari sudah ada penanganan pada permohonan yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Dari semua analisis pembahasan yang sudah dijabarkan, kita bisa menarik
kesimpulan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan
lembaga yang mandiri tetapi mempunyai legitimasi karena dibuat berdasarkan
Undang Undang dan bertanggung jawab kepada presiden. Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) ini mempunyai tugas dan wewenang untuk
memberikan perlindungan dan pendampingan kepada saksi dan korban. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi di semua tahapan proses
pidana agar saksi dan/atau korban merasa aman dalam memberikan keterangan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbentuk berdasarkan
Undang Undang No. 13 Tahun 2006 dan berlaku mulai pada tanggal 11 Agustus
tahun 2006. Minimnya pasal menganai perlindungan hak hak saksi dan korban
yang menjadi cikal bakal terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Pasal yang membahas mengenai perlindungan hak saksi dan korban
hanya ada satu, sedangkan pasal yang melindungi hak terpidana, tersangka dan
terdakwa ada lebih dari 30 pasal.
Pengajuan permohonan perlindungan ini juga mempunyai tiga
kemungkinan. Permohonan akan diterima, ditolak dan diberikan rekomendasian
kepada institusi atau badan yang lain. Pengambilan keputusan ditolak, diterima
atau diberikan rekomendasi ini dilakukan saat sidang bersama pimpinan. Pihak
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mempunyai syarat dan tata
caranya sendiri.
Orang yang bisa mengajukan untuk mendapatkan perlindungan ini selain
orangnya langsung (saksi dan korban). Itu karena dalam Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban ada beberapa kategori yang dapat mengajukan perlindungan
tersebut. Ada saksi, korban, saksi pelaku dan ahli. Mereka bisa mengajukan secara
mandiri atau diwakili oleh pihak ketiga, seperti keluarga. Bisa juga mendapatkan
rekomendasian dari penegak hukum atau instansi lain, misalnya jika pihak
kepolisian mengajukan perlindungan terhadap seseorang ke Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mampunyasi penawaran
perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang dimaksud oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan pemenuhan hak dan
pemberian bantuan. Pemenuhan hak yang dimaksud adalah seperti yang tertera
didalam pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 mengenai hak apa saja yang memang
seharusnya didapatkan oleh korban dan saksi. Seperti hak untuk jaminan
keselamatan diri sendiri, keluarga, sampai hak kepemilikan harta benda. Ada juga
hak untuk identitas baru dan hak untuk mendapatkan penerjemah. Sementara
untuk pemberian bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
mempunyai banyak sekali macam-macam bantuan yang bisa diberikan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mempunyai kantor
pusat yang terletak di Jakarta dan kantor perwakilan yang terletak di Yogyakarta
dan Medan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga mempunyai
aplikasi yang bisa digunakan oleh para pemohon yang ingin mengajukan
permohonan perlindungan. Akan tetapi sangat disayangkan karena aplikasi ini
baru hanya bisa diakses di android.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Mixed Methods Procedures. In
Research Defign: Qualitative, Quantitative, and Mixed M ethods
Approaches.
Eko, H. (2016). Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum
Indonesia. Asas: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, 8(2), 80–87.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1249
Jayadi, A. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Saksi. El-Iqthisadi : Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum, 2(1), 130.
https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v2i1.14236
KITAB UNDANG-UNDANG. (n.d.).
Komariah, M. (2015). Perlindungan Hukum Saksi Dan Korban Oleh Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban (Lpsk). Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 3(2),
229. https://doi.org/10.25157/jigj.v3i2.421
Panjaitan, C. mutiara juwita, & Putri, A. (2017). Peran Dari Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban (Lpsk) Dalam Pemerkosaan. Jurnal Hukum
Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan, 2(1), 87–92.
https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/view/32018
Pemerintah.co.id. (2023). Pasal 156 KUHAP: Perlindungan Hak Saksi dan
Korban - Pemerintah.co.id. https://pemerintah.co.id/pasal-156-kuhap-
perlindungan-hak-saksi-dan-korban/
Saksi, T., & Korban, D. A. N. (2006). 127-Article Text-240-1-10-20180515.
Setiana, R. D. (2016). Kontribusi Scientific Crime Investigation (Penyidikan
Berbasis Ilmiah) Sebagai Upaya Penguatan Alat Bukti Dalam Proses
Penanganan Perkara Pidana.
Wiryono, S. (2023). Korban Tragedi Kanjuruhan Datangi LPSK, Bahas Restitusi
yang Tak Dipertimbangkan dalam Putusan Sidang.
https://nasional.kompas.com/read/2023/04/11/22151611/korban-tragedi-
kanjuruhan-datangi-lpsk-bahas-restitusi-yang-tak
LAMPIRAN

Wawancara bersama Bapak Fakhrur Haqiqi selaku Kelapa Sub-Bagian Humas


Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Anda mungkin juga menyukai