Anda di halaman 1dari 26

AKUNTANSI FORENSIK

OLEH:

KELOMPOK 5

Ni Luh Risma Dewi (02/2002622010032)


Ni Kadek Julia Astrini (08/2002622010038)
I Gusti Diah Sri Utami (28/2002622010058)
Luh Ade Mirah Anggara Wati (32/2002622010429)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2023

1
PEMBAHASAN

1.1 FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA


Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di
suatu negara dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kejahatan
dan pelanggaran (atau tindak pidana) menurut ketentuan
perundang-undangan negara tersebut. Atau, kalau pengumpulan
dan pelaporan statistik ini dilakukan oleh lembaga internasional
seperti PBB, Interpol, CIA, dan lain-lain, mereka membuat
template berisi definisi dari bermacam-macam jenis kejahatan
(types of crime) dan meminta negara peserta mengolah ulang
datanya dengan template tersebut atau lembaga internasional itu
sendiri yang mengolahnya.

FRAUD DALAM KUHP


Kutipan statistik di atas yang merujuk ke KUHP berbagai
ketentuan perundangan menunjuk kepada beberapa tindak pidana
yang oleh para akuntan dikenal sebagai fraud. Kecurangan atau
perbuatan curang hanyalah salah satu dari berbagai tindak pidana
tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya,
menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud
seperti:
1. Pasal 362 tentang Pencurian (definisi KUHP: "mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum");
2. Pasal 368 tentang Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP:
"dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang
lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan
piutang”);
3. Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP: "dengan sengaja
dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan");
4. Pasal 378 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP: "dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
2
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang)
5. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberi Piutang dalam Keadaan
Pailit;
6. Pasal 406 tentang Menghancurkan atau Merusakkan Barang
(definisi KUHP: "dengan sengaja atau melawan hukum
menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain");
7. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan
435 yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999).

Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-


undangan lain yang mengatur perbuatan melawan hukum yang
termasuk dalam kategori penipuan, seperti undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, berbagai undang-undang
perpajakan yang mengatur tindak pidana perpajakan, undang-
undang tentang pencucian uang, undang- undang perlindungan
konsumen, dan lain-lain. Juga dalam bahasa aslinya, fraud
meliputi berbagai tindakan melawan hukum.

1.2 FRAUD TREE DAN MANFAATNYA


A. FRAUD TREE (POHON FRAUD)
Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud
tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam
hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya. Fraud tree
ini disajikan dalam Bagan 6.1. Bagan ini sengaja tidak
diterjemahkan karena tidak selalu ada istilah padanan yang
menggambarkan makna aslinya. Para akuntan memahami istilah
bahasa Inggris dalam fraud tree, karena itu adalah istilah yang
lazim digunakan dalam buku teks akuntansi dan auditing.
Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama
yaitu corruption, misappropriation, dan fraudulent statements.
Masing-masing cabang dan beserta ranting dan anak rantingnya
akan dibahas dibawah ini.

1. Corruption

3
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang
diberi label "corruption" dapat dilihat di sisi kiri dari fraud tree
(Bagian 6.1). Istilah "corruption" disini serupa tetapi tidak sama
dengan istilah korupsi dalam ketetntuan perundang-undangan kita.
Istilah korupsi menurut undang- undang nomor 31 tahun 1999
meliputi 30 tindak pidana korupsi (lihat bab 16), dan bukan empat
bentuk seperti yang digambarkan dalam ranting-ranting: conflicts
of interest, bribery, illegal gratuities, economic extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan sering
dijumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya bisnis pelat merah
atau bisnis pejabat(penguasa) dan keluarga serta kroni mereka
yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau
indikasinya menjadi pemasok :
1. Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut kuasa.
Melalui kontak jangka panjang. Bisnis berjalan terus meskipun
pejabat tersebut sudah lengser.
2. Nilai kontrak-kontrak itu relatif mahal ketimbang kontrak yang di
buat at arms length. Dalam bahasa sehari-hari praktik ini dikenal
sebagai mark-up penggelembungan. Istilah mark-up sendiri
sebenarnya kurang tepat karena baik mark-up maupun mark-down
merupakan bagian dari paraktik bisnis yang sehat.
3. Para rekanan ini, meskipun hanya segelintir, menguasai pangsa
pembelian yang relative sangat besar di lembaga tersebut.
4. Meskipun rekanan ini keluar sebagai pemenang dalam proses
tender yang resmi namun kemenanganya di capai dengan cara-
cara tidak wajar. Hal ini di bahas dalam Bab 17.
5. Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis
pejabart atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya
(nepotisme) sebagai "orang depan" atau persekonggkolan (kolusi)
yang melibatkan penyuapan (bribery).
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamakan
dengan kegitan social- keagamaan dan muncul dalam bentuk
yayasan-yayasan. Konsep cobflict of interest digunakan dalam
konvensi PBB mengenai pembrantsan korupsi ( United Nations
Conventation Against Corruption). Indonesia meratifikasi
konvensi ini. Pengertian, definisi, atau konsep conflict of interest
dapat memperkaya wawasan kita mengenai makna korupsi kalau
ia dicantumkan dalam undang-undang pembrantsan tindak pidana
korupsi.
Memasukkan conflict of interest ke dalam undang-undang
mempunyai keuntungan yakni pembuktian tindak pidana korupsi
4
yang mengndung unsur (bestanddeel) conflict of interest relative
lebih mudah. Kemudahan pembuktian tindak pidanan korupsi ini
bermanfaat dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa.
Kasus VLCC-pertamina merupakan contoh lain dimana
pembuktian korupsi dengan konsep conflict of interest lebih
mudah dari membuktikan adanya kerugian keuangan Negara.
Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema permainan
pembelian ( purchases schemes) maupun penjualan (sales
schemen). Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli baik
barang dan jasa ber-KKN dengan penjual indikasi dalam hal ini
terlihat dalam hal pemebeli merupakan lembaga besar, nilai
pembelianya tinggi, dan penjual merupakan penyuplai terkenal
tingkat dunia. Jadi, seharusnya jual beli dapat (dan lazim)
dilakukan secara langsung dan bukan melalui penjual perantara.
Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual (baik barang dan
jasa) dapat juga ber-KKN dengan pembebeli praktik ini sangat
mencolok dalam hal pembeli akhir (pembeli sebenarnya)
mrupakan captive market dari penjual, manunpenjual tetap
mengeluarkan marketing fee atau sejenisnya. Yang tidak lain dari
penyusutan. Dari contoh-contoh diatas kita lihat peraturan antara
benturan kepentingan dengan bribery, illegal, gratuities dan
economic extortion.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam
kehidupan bisnis dan politik di Indonesia. Kasus-kasus tindak
pidana korupsi tahun 2008 dan 2009 menunjukkan hal ini. Oleh
karena itu tidak perlu ada uraian yang panjang lebar tentang
ranting ini.
Kickbacks (secara harafiah bearti tendangan balik) merupakan
salah satu bentuk penyuapan dimana si penjual mengiklaskan
sebagian dari hasil penjualanya. Presentase yang diiklaskan itu
bisa diatur dimuka, atau diserahkan sepenyhnya pada keiklasan
penjual. Dalam hal terakhir apabila menerima kickback
menganggap kickback yang diterima terlalu kecil maka ia akan
mengalihkan bisbisnya ke rekanan yang lebih iklas (memberi
kickback yang lebih tinggi).
Kickback berbeda dengan bribery. Dalam hal bribery pemberinya
tidak mengorbankan suatu oenerimaan. Misalnya apabila
seseorang menyuap atau menyogok seorang penegak hukum, ia
mengharapkan keringanan hukuman. Dalam contoh kickback
diatas, pemberinya menerima keuntungan materi.

5
Dalam hal kickback si pembuat keputusan (atau yang dapat
memengaruhi pembuat keputusan) dapat mengancam sang
rekanan. Ancaman ini bisa merupakan pemerasan (economic
extortion). Indikasinya adalah sang rekanan "tidak terpakai" lagi
meskipun dalam kebanyakan hal ia lebih unggul dari rekanan
pemenang.
Illegal gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan
bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di
Indonesia kita melihat hal ini dalam bentuk hadiah perkawinan,
hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan,hadiah kenaikan pangkat
dan jabatan dan lain-lain yang diberikan kepada pejabat.
2. Asset Misapropriation
Asset Misapropriation atau pengambilan asset secara
illegal dalam bahasa sehari-hari disebut mercusi, namun dalam
istilah hukum mengambil aset secara illegal (tidak sah, atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi
wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut,
disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut
larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa inggrisnya adalah
embezzlement.

Dalam fraud tree ACFE kelihatanya istilah larceny


digunakan sebagai sinonim embezzlement. Oleh ada istilah-istilah
hukum yang khas untuk perbuatan mencuri" maka untuk
menerjemahkan misappropriation, secara bebas penulis
menggunakan istilah penjarahan. Ini adalah istilah generiknya.
Istilah yang lebih khusus berkaitan dengan masaing-masing
modus operandinya, dijelaskan di bawah.

Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang


diberi label "asset misappropriation" ini dapat dilihat di bagian
tengah dari fraud tree (bagian 6.1). Hal yang sering menjadi
sasaran penjarahan adalah uang (baik di kas maupun bank, yang di
bank baik berupa giro, tabungan, tabungan, maupun deposito).
Uang tunai atau uang di bank yang menjadi sasaran, langsung
dapat di manfaatkan oleh pelakunya.

Asset misappropriation dalam bentuk penjarahan cash atau


cash misappropriation dilakukan dalam 3 bentuk; skimming,
larcrny dan fraudulent disbursement. Klasifikasi penjarahan kas
dalam tiga bentuk disesuaikan dengan arus uang masuk. Dalam
skimming, uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk
6
ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam fraud yang sangat dikenal
para auditor, yakni lapping. Kalau uang sudag masuk ke
perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut
larceny atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam
(atau sudah masuk ke) system, maka penjaraan ini disebut
fraudulent disbursement yang lebih dekat dengan istilah
penggelapan dalam Bahasa Indonesia.
Dari penjelasan diatas, kita mengenal satu bentuk lain.
Yakni penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke perusahaan
secara fisik atai secara administratif. Dana-dana ini dihimpun dari
berbagi sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan asuransi
atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini disebut dana taktis,
dalam bahasa Belanda, tactische fonds dalam bahasa Ingris, slush
funds. Dalam fraud tree diatas,baik pembentukan maupun
pengeluaran dari dana taktis 9ini di definisikan sebagai corruption
bukan asset misappropriation. Corruption sperti ini mengndung
ciri skimming. Dalan praktik yang khas Indonesia, jarahan, ini
dikerjakan secara bergotong royong dan di ketahui secara umum,
bahkandilegitimasi dalam bentuk sumber penghasilan Yayasan
Kesejahteraan Karyawan.

Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang


paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia. Peluang
untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan
lemahnya system pengendalian intern, khususnya yang berkenaan
dengan perlindungan keselamatan aset (safeguarding of assets).

Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent


disbursements) sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian.
Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Terdapat lima
kolom (sub kata-kata) pada penipuan pencairan, yaitu : skema
penagihan, skema penggajian, skema penggantian biaya,
perusakan cek, dan pencairan register.

Billing schemes adalah skema permainan (schemes)


dengan menggunakan proses billing atau pembebanan tagihan
sebagai sarananya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan
"bayangan" (shell company) yang seolah-olah merupakan
penyuplai atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan
bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara
tidak sah ke luar perusahaan.

7
Payroll schemes adalah skema permainan melalui
pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan
pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau dalam
pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar
dari gaji yang dibayarkan.

Expense reinbursement schemes adalah skema permainan


melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya
perjalanan. Seorang pemasar mengambil uang muka perjalanan,
dan sekembalinya dari perjalanan, ia membuat perhitungan biaya
perjalanan. Kalau biaya perjalanan melampaui uang muka nya, ia
meminta reinbursement atau penggantian. Ada beberapa skema
permainan melalui mekanisme reinbursement ini. Rincian biaya
menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya
(mischaracterized expense).

Check tampering adalah sekema permainan melalui


pemalsuan cek. Hal yang dipalsukan bisa tanda tangan orang yang
mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsemennya, atau
nama kepada siapa cek dibayarkan, atau cek nya disembunyikan
(concealed checks).

Register disbursments adalah pengeluaran yang sudah


masuk dalam cash register. Skema permainan melalui register
disbursements pada dasarnya ada dua, yakni false refunds
(pengembalian uang yang dibuat-buat) dan false voids
(pembatalan palsu).

Pelanggan datang membawa barang yang


dikembalikannya, misalnya karena tidak puas dengan barang yang
dibelinya. Untuk itu ia akan mendapat refund atau menerima
kembali uangnya (atau pembatalan pembebanan credit card-nya).
Dalam false refund ada berbagai cara penggelapan, di antaranya,
penggelapan dengan seolah-olah ada pelanggan yang
mengembalikan barang, dan perusahaan memberikan refund.

False voids hampir sama dengan false refund. Hal yang


dipalsukan di sini adalah pembatalan penjualan. Penjualan yang
sudah terekam di pita cash register dibatalkan, seolah- olah
pembeli urung melakukan pembelian. Jumlah yang sudah diterima
perusahaan seolah- olah juga dibatalkan

8
3. FRAUDULENT STATEMENT
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang
diberi label "fraudulent statements' Dapat dilihat di sisi kanan dari
fraud tree (bagan 6.1). Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor
yang melakukan genereal audit (opinion audit). Fraud yang
berkenaan dengan penyajian laporan keuangan, sangat menjadi
perhatian auditor, masyarakat atau para LSM/NGO, namun tidak
menjadi perhatian akuntan forensik.

Ranting pertama menggambrakan fraud dalam


menyusunan laporan keuangan Fraud ini berupa salah saji
(misstatements baik overstatement maupu understatements).
Cabang dari ranting ini ada dua pertama menyajikan aset atau
pendapatam lebih tinggi dari yang sebenarnya (asset/revenue
overstatement). Kedua menyajikan aset atau pendapatan lebih
rendah dari yang sebenarnya(asset/revenue overstatements).
Kedua menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang
sebenarnya (asset/revenue understatements).

Praktik-praktik ini secara ekstensif dibahas dalam buku-


buku auditing, dan tidak akan dibahas disini. Khususnya dalam
bentuk yang pertama, yang terlihat dalam banyak perusahaan
public raksasa di Amerika seriakt, seperti Enro. ketentuan undang-
undang Sarbanes Oxley merupakan reaksi yang keras terhadap
praktik-praktik ini.

Bentuk yang kedua lebih banyak berhubungan dengan


laporan keuangan yang disampaikan kepada instansi perpajakan
atau instansi bead an cukai. Ranting kedua menggambarkan fraud
dalam menyusun laporan non-keuangan fraud ini berupa
penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan. Lebih
bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering kali merupakan
pemalsuan atau pemutarbaliakan keadaan. Tercantum dalam
dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ektern.
Contoh perusahaan minyak besar di dunia yang mencatumkan
cadangan minyaknya lebih besar secara signifikan dari keadaan
yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya, atau
perusahaan yang alat produksinya atau limbahnya membawa
bencana bagi masyarakat, tetapi secara terbuka (misalnya melalui
iklan) mengkalim keadaan sebaliknya.

9
Bagan 6.1
Fraud Tree

B. MANFAAT FRAUD TREE


Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud
tree memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu
akuntan forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi.
Ada gejala-gejala "penyakit" fraud yang dalam auditing dikenal
sebagai red flags. Dengan memahami gejala-gejala ini dan

10
menguasai teknik-teknik audit investigatif, akuntan forensik dapat
mendeteksi fraud tersebut.
Kita tidak usah mengikuti sepenuhnya fraud tree di atas.
Kondisi kita berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat. Koruptor
kita atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga
iklim bisnis dan pemerintah yang koruptif mengharuskan akuntan
forensik berpikir mengenai dunia nyatanya, ia harus membumi.
Akuntan forensik sebaiknya membuat sendiri fraud tree
atau peta dari tindak pidana yang diperiksanya. Seorang penyidik
tindak pidana perpajakan, misalnya, perlu membuat Pohon Tindak
Pidana Perpajakan. Ia dapat membuat pohon atau skema yang
komprehensif untuk semua jenis pajak atau Pohon Tindak Pidana
Perpajakan yang khusus untuk suatu jenis pajak tertentu
(misalnya, Pajak Pertambahan Nilai), untuk jenis transaksi
tertentu (misalnya, restitusi pajak), atau tindak pidana perpajakan
dalam industri tertentu misalnya, pertambangan, production
sharing contractors (PSC), dan seterusnya.
Akuntan forensik yang memeriksa tindak pidana korupsi
perlu membuat Pohon Tindak Pidana Korupsi. Pohon Tindak
Pidana Korupsi yang komprehensif yang meliputi ke-30 jenis
tindak pidana korupsi akan sangat rumit penyajiannya. Lebih
mudah, dan lebih bermanfaat, menyusun Pohon Tindak Pidana
Korupsi yang parsial, misalnya berdasarkan tujuh kelompok
tindak pidana korupsi.

1.3 HUBUNGAN AKUNTANSI FORENSIK DAN JENIS


FRAUD
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation
of asset, dan fraudulent statements akuntan forensik memusatkan
perhatian pada dua cabang pertama. Cabang fraudulent statements
menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan
(general audit atau opinion audit).

Sarbanes-Oxley Act di Amerika Serikat menggema ke seluruh


penjuru dunia. Negara mimaju dan negara berkembang di luar
Amerika mengadopsi secara langsung maupun tidak langsung
ketentuan-ketentuan Sarbanes-Oxley Act. Secara langsung,
dengan memasukkan ketentuan Sarbanes-Oxley Act dalam
ketentuan perundang-undangan negara tersebut. Secara tidak
langsung, melalui penerapan ketentuan Sarbanes-Oxley Act pada
anak-anak perusahaan (di luar Amerika) dari perusahaan yang

11
mencatat atau memperdagangkan saham, obligasi, dan surat
berharga lainnya di bursa-bursa Amerika Serikat.

Keluarnya Sarbanes-Oxley Act memaksa independent auditors


di seluruh dunia lebih berhati-hati dalam melakukan general audit,
khususnya dalam upaya menemukan fraudulent statements.
Kegagalan mereka menemukan fraud yang menyebabkan laporan
keuangan menjadi menyesatkan, akan membawa konsekuensi
besar, bahkan fatal seperti dalam kasus Arthur Andersen." negal)
Oleh karena itu, akuntan forensik atau audit investigatif hampir
tidak menyentuh fraud yat yang menyebabkan laporan keuangan
menjadi menyesatkan, dengan dua pengecualian.

Pertama, ketika "regulator" seperti Bappepam, Securities and


Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK,
Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat (bahwa laporan
audit suatu kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang
serius (atau kantor akuntan publik yang bersangkutan mengakui
hal tersebut). Regulator dapat meminta kantor akuntan lain
melakukan pendalaman, atau mereka sendiri melakukan
penyidikan. Dalam hal ini akuntan forensik melakukan audit
investigatif. Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke pengadilan atau
diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan
mendalam karena harus jelas siapa yang bertanggung jawab untuk
hal apa.

Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan


pengolahan data secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran
atau penggunaan komputer yang dominan dalam penyiapan
laporan. Selain pertimbangan penyelesaian kasus di dalam atau di
luar pengadilan, juga ada pertimbangan diperlukannya keahlian
khusus, yakni computer forensics.

1.4 FRAUD TRIANGLE


Fraud Examiners Manual (edisi 2006) menyebut Donald R.
Cressey sebagai mahasiswa terpandainya Edwin H. Sutherland.
Kalau penelitian Sutherland dipusatkan pada kriminalitas
masyarakat atas, Cressey mencari arah yang lain dalam
penelitiannya. Sewaktu menulis disertasi doktornya dalam bidang
sosiologi, ia memutuskan untuk meneliti para pegawai yang
mencuri uang perusahaan (embezzlers). Ia mewawancarai 200
orang yang dipenjara karena fraud tersebut.

12
Cressey tertarik pada embezzlers yang disebutnya "trust
violators" atau "pelanggar kepercayaan", yakni mereka yang
melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada
mereka. Ia secara khusus tertarik kepada hal-hal yang
menyebabkan mereka menyerah kepada godaan. Oleh karena
alasan itu dalam penelitiannya, ia tidak menyertakan mereka yang
memang mencari pekerjaan dengan tujuan mencuri. Setelah
menyelesaikan penelitiannya, ia mengembangkan suatu model
yang sampai sekarang merupakan model klasik untuk menjelaskan
occupational offender atau pelaku fraud di tempat kerja (atau
terkait dengan pekerjaan atau jabatannya). Penelitiannya
diterbitkan dengan judul Other People's Money: A Study in the
Sosial Psychology of Embezzlement.
Hipotesisnya yang terakhir adalah:
("Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia
melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah
keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain,
sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya
dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang
kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari
memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya
sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana
atau kekayaan yang dipercayakan.").

Dalam perkembangan selanjutnya hipotesis ini lebih dikenal


sebagai fraud triangle atau segi tiga fraud, seperti terlihat dalam
gambar di bawah:

Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul pressure yang


merupakan perceived non shareable financial need. Sudut
keduanya, perceived opportunity. Sudut ketiga, rationalization.

13
A. Pressure (Tekanan)
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari
suatu tekanan (pressure) yang menghimpitnya. Orang ini
mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak
dapat diceritakannya kepada orang lain. Konsep yang penting di
sini adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa
kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing)
dengan orang lain. Setidak-tidaknya, itulah yang dirasakannya.
Konsep ini dalam bahasa Inggris disebut perceived non-shareable
financial need.

Cressey menjelaskan, "ketika para pelanggar kepercayaan


ini ditanya: mengapa di waktu yang lalu Anda tidak melanggar
kepercayaan yang diberikan terkait dengan kedudukan-kedudukan
Anda terdahulu, atau mengapa Anda tidak melanggar kepercayaan
(trust) lainnya yang terkait dengan kedudukan Anda sekarang?
Umumnya jawaban mereka adalah salah satu di antara: (a) ketika
itu belum ada kebutuhan (yang mendesak) seperti sekarang, atau
(b) belum pernah terpikir untuk melakukan hal itu sebelumnya,
atau waktu yang lalu saya menganggap perbuatan itu tidak jujur,
tapi kali ini, tidak demikian halnya."

Bagi pelaku (embezzler), ia tidak bisa berbagi masalah


(keuangannya) dengan lain, padahal sebenarnya "berbagi masalah
dengan orang lain" dapat membantunya mencari pemecahan. Apa
yang bisa diceritakan kepada orang lain tentunya bergantung pa
mencar orang tersebut. Ada orang yang kehilangan uang dalam
jumlah besar di meja judi das a menyadarinya sebagai suatu
masalah, tetapi bukan masalah yang tidak dapat diceritakan
kepada orang lain. Orang lain dengan pengalaman yang sama
menganggap masalah a harus dirahasiakan dan bersifat pribadi.
Juga masalah gagal bayar yang dihadapi suatu bank bagi bankir
tertentu merupakan masalah yang dapat didiskusikannya dengan
orang lai sedangkan bagi bankir lain masalah itu harus ditutup
rapat-rapat, atau menjadi masalah yang non-shareable baginya.

Masalah tadi digambarkan sebagai masalah keuangan


karena masalah ini "dapat dipecahkan dengan mencuri uang atau
aset lainnya. Seorang penjudi yang kalah habis- habisan, (merasa)
harus menutup kekalahannya dengan mencuri. Namun, Cressey
mencata bahwa ada masalah non-keuangan tertentu yang dapat
diselesaikan dengan mencuri uang atau aset lainnya, jadi dengan

14
melanggar kepercayaan yang terkait dengan kedudukannyz
Contoh: kasir yang mencuri uang perusahaan sebagai balas
dendam atas perlakuan tidak adil yang dirasakannya.

B. Perceived Opportunity (Peluang )


Cressy berpendapat, ada dua komponen dari persepsi
tentang peluang ini. Pertama, general information, yang
merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung
trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi.
Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang ia dengar atau lihat,
misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan
tidak ketahuan atau tidak dihukum atau terkena saksi. Kedua,
technical skill atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau
keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia
mempunyai kedudukan tersebut. Orang yang dipercayakan untuk
mengisi cek yang akan ditandatangani atasannya, membuat fraud
yang berkaitan dengan pengisian cek. Petugas yang menangani
rekening koran di bank, mencuri dari nasabah yang jarang
bertransaksi (dormant accounts. Pemasar menggelapkan uang
muka pelangganya, dan lain-lain.

C. Rationalization (rasionalisasi)
Rasionalisasi Sudut ketiga dari fraud triangle adalah
rationalization (rasionalisasi) atau mencari pembenaran sebelum
melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Mencari pembenaran
sebenarnya merupakan bagian dari motivasi untuk melakukan
kejahatan. Rationalization diperlukan agar si pelaku dapat
mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap
membertahankan jati dirinya sebagai sebagai orang yang
dipercaya. Setelah kejahatan dilakukan, rationalization ini
ditinggalkan, karena tidak diperlukan lagi. Model klasiknya
Cressy mampu menjelaskan terjadinya berbagai fraud yang
berkenaan dengan kedudukan atau jabatan, tetapi tentunya tidak
semuanya. Para ilmuwan mengetes model Cressy ini, namun
mereka belum berhasil mengembangkan aplikasi praktisnya,
misalnya dalam menciptakan program pencegahan fraud. Satu
model tentunya tidak bisa menjawab seluruh fraud. Ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa kajian itu hampir berusia setengah abad.
Sesudah itu terjadi banyak perubahan sosial. Sekarang, banyak
profesional dibidang pencegahan fraud berpendapat bahwa telah

15
lahir generasi pelaku fraud yang baru: suatu generasi yang hati
nuraninya tidak sanggup melawan godaan.
Kejahatan Kerah Putih
Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang
dilakukan dalam lingkup jabatan mereka dan karenanya tidak
termasuk kejahatan pembunuhan, perzinaan, perkosaan, dan lain-
lain yang lazimnya tidak dalam lingkup kegiatan para pejabat
berkerah putih. Padahal ada banyak kejahatan berupa pembunuhan
dan pemerasan yang dilakukan secara terorganisasi (organized
crime) yang berdasarkan motifnya adalah kejahatan ekonomi yang
dilakukan penjahat berkerah putih.

Kamus terbitan The Federal Bureau of Justice Statistic


(Dictionary of Criminal Justice Data Terminology)
mendefinisikan white-collar crime sebagai : "Kejahatan tanpa
kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan
penipuan oleh orang pekerjaannya adalah wiraswasta, profesional
atau semi profesional dan yang memanfaatkan keahlian dan
peluang yang diperikan oleh jabatan: juga kejahatan tanpa
kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan
penipuan oleh orang yang mempunyai keahlian khusus dan
pengetahuan profesional mengenai bisnis dan pemerintahan,
meskipun ia tidak terikat dengan pekerjaannya."

Ada suatu definisi yang diusulkan Albert J.Reiss, Jr. dan


Albert Biderman: "Pelanggan kerah putih adalah pelanggaran
terhadap hukum yang terkena sanksi tertentu dan yang meliputi
pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai kekuasan
ekonomi, pengaruh, atau kepercayaan dalam lembaga-lembaga
yang sebenarnya mempunyai legitimasi ekonomi dan politik
namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal atau untuk
melakukan kegiatan ilegal demi keuntungan pribadi atau
organisasi."

1.5 ARTIKEL PENELITIAN TERKAIT FRAUD TRIANGLE

PENGARUH FRAUD TRIANGLE SEBAGAI PREDIKTOR


KECURANGAN PELAPORAN KEUANGAN
MIA TRI PUSPITANINGRUM EINDYE TAUFIQ
SATRIA YUDHIA WIJAYA

16
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Jl. RS Fatmawati, Pd. Labu, Cilandak,
Kota Depok, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12450, Indonesia
miatripuspita@gmail.com

Abstract: The purpose of this study is to examine Influence of external pressure,


effective monitoring, and rationalitation to financial fraudulent reporting. The sample
used in this study is real estate, property, and building construction companies listed on
the Indonesia Stock Exchange (BEI) in the period 2016-2017. By using purposive sampling
method, it is obtained as many as 57 real-estate, property, and building construction
companies as the study sample. The method of analysis used in this study is logistic
regression. In this research also include the overall fit model test, hosmer and
lemeshow’s test, goodness of fit test, and classification matrix. Results of this study
indicate that the effective monitoring and rationalitation are not significant to
financial fraudulent reporting, while external pressure is significant to financial
fraudulent reporting.
Keywords: External pressure, effective monitoring, rationalitation, financial fraudulent
reporting
Abstrak: Tujuan penelitian adalah untuk menguji pengaruh tekanan eksternal,
pemantauan yang efektif, dan rasionalisasi terhadap pelaporan kecurangan
keuangan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan real estat,
properti, dan konstruksi bangunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada
periode 2016-2017. Dengan menggunakan metode purposive sampling, diperoleh
sebanyak 57 perusahaan real estat, properti, dan konstruksi bangunan sebagai sampel
penelitian. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi logistik.
Dalam penelitian ini juga termasuk uji model fit keseluruhan, tes hosmer dan lemeshow,
uji goodness of fit, dan matriks klasifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pemantauan dan rasionalisasi yang efektif tidak signifikan terhadap pelaporan
kecurangan keuangan, sedangkan tekanan eksternal signifikan terhadap pelaporan
kecurangan keuangan.
Kata kunci: Tekanan eksternal, pemantauan yang efektif, rasionalisasi, pelaporan
kecurangan keuangan
PENDAHULUAN
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari siklus
akuntansi. Laporan keuangan adalah cerminan kondisi
perusahaan di dalam suatu kurun waktu
tertentu.Laporan keuangan disusun berdasarkan
Standar Akuntan manajemen. Pengguna laporan keuangan
dalam hal ini adalah investor. Investor menilai kinerja atau
pertanggungjawaban manajemen sehingga pemilik modal bisa
membuat keputusan ekonomi untuk menahan atau menjual investasi
yang terdapat di perusahaan. Saat laporan keuangan terbit,
manajemen menginginkan laporan keuangan tersebut
menggambarkan kondisi perusahaan dalam keadaan yang terbaik

17
agar para stakeholder menilai baik kinerja manajemen. Tidak jarang
manajemen sampai melakukan manipulasi laporan keuangan
sesuai yang mereka inginkan. Hal ini mengakibatkan informasi
yang terkandung di dalam laporan keuangan tersebut menjadi
tidak benar. Informasi tersebut tentu saja menjadi informasi yang tidak
valid atau tidak relevan untuk dipakai sebagai dasar di dalam pengambilan
keputusan oleh pihak yang berkepentingan karena analisis yang dilakukan
tidak berdasarkan informasi yang sebenarnya. Kecurangan pelaporan
keuangan merupakan kesalahpahaman yang disengaja dari kondisi
keuangan suatu perusahaan dengan melakukan salah saji
yang disengaja atau kelalaian terhadap jumlah atau
pengungkapan dalam laporan keuangan untuk menipu
pengguna laporan keuangan (ACFE,2015). Kasus
lainnya yang terjadi di Indonesia,yaitu PT Waskita
Karya (Persero). Pada tahun 2009 ditemukan kasus
kelebihan pencatatan pada laporan keuangan periode
2004-2007.Terbongkarnya kasus ini berawal saat
pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan
saham perdana tahun lalu.Direktur Utama baru, M.
Choliq yang sebelumnya menjabat Direktur Keuangan
PT Adhi Karya (Persero) Tbk, menemukan pencatatan
yang tak sesuai. Dalam pemeriksaan itu ditemukan
kelebihan pencatatan laba bersih sekitar Rp 400 miliar.
Akibatnya penawaran saham Waskita ditunda hingga
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)
menyelesaikan restrukturisasi yang diperkirakan
memakan waktu dua tahun dan penonaktifkan tiga
direksi PT Waskita Karya (Persero) oleh Kementerian
Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
(Rahadiana, 2009).Dari kasus tersebut terjadi
perbedaan pencatatan laba pada laporan keuangan
dengan laba yang sebenarnya sehingga
mengindikasikan pemanipulasian laporan keuangan
keuangan. Tindakan pemanipulasian laporan keuangan
ini adalah salah satu bentuk tindakan kecurangan.
Pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan
biasanya dilakukan dengan cara kesalahan yang
berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian, atau
pengungkapan (Hery, 2017, hlm.198). Asosiasi
Nasional Profesi Akuntan Publik di Amerika Serikat
atau American Institute Certified Public Accountant
(AICPA) memberikan solusi dalam prosedur
pendeteksian kecurangan dengan menerbitkan
18
Statement of Auditing Standards (SAS). SAS No. 99
menyebutkan ilustrasi faktor kecurangan yang
didasarkan pada teori segitiga kecurangan atau fraud
triangle yang dicetuskan oleh Donald.R.Cressey pada
tahun 1953, yaitu tekanan, peluang, dan rasionalisasi.
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) yang
merupakan asosiasi profesi akuntan public Indonesia
juga mengeluarkan Standar Audit (SA) 240 pada tahun
2013 yang berisi tentang tanggung jawab auditor terkait
dengan kecurangan dalam suatu audit atas laporan
keuangan. SA 240 juga berisi ilustrasi faktor
kecurangan yang didasarkan pada fraud triangle yang
dicetuskan oleh Donald R. Cressey. Salah satu kondisi
(jenis) tekanan mungkin mengakibatkan terjadinya
kecurangan pelaporan keuangan yang disebutkan
dalam Standar Audit 240 (2013) adalah tekanan
eksternal. Tekanan eksternal adalah adanya tekanan
yang dihadapi manajemen untuk
memenuhi persyaratan atau harapan dari pihak ketiga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lou & Wang
(2009), Utama et al.(2018), Zaki (2017).
serta Yesiriani dan Rahayu (2017) menunjukkan
bahwa tekanan eksternal berpengaruh signifikat
terhadap kecurangan pelaporan keuangan.Sebaliknya
penelitian yang dilakukan oleh Ardiyani & Utaminingsih
(2015), Martantya dan Daljono (2013), serta
Rachmawati dan Marsono (2014) menunjukkan bahwa
tekanan eksternal tidak berpengaruh signifikan
terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Salah satu
kondisi (jenis) peluang mungkin mengakibatkan
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan yang
disebutkan dalam Standar Audit 240 (2013) adalah
efektivitas pemantauan. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Utomo (2018) menunjukkan bahwa efektivitas
pemantauan berpengaruh signifikan terhadap
kecurangan pelaporan keuangan.Sebaliknya penelitian
yang dilakukan oleh Rachmawati dan Marsono (2014)
serta Martantya dan Daljono (2013) menunjukkan
efektivitas pemantauan tidak berpengaruh signifikan
terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Rasionalisasi adalah suatu perilaku atau karakter
19
yang membuat pelaku melakukan tindakan yang tidak
jujur, atau lingkungan yang membuat mereka menjadi
bertindak tidak jujur dan membenarkan tindakan tidak
jujur tersebut.Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Utama et al.(2018) serta Rachmawati dan Marsono
(2014) menunjukkan bahwa rasionalisasi berpengaruh
signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Apriliana
dan Agustina (2017), Tessa dan Harto (2016), dan
Rahmawati et al. (2017) menunjukkan rasionalisasi
tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan
pelaporan keuangan.Tujuan dari dilakukannya
penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh
tekanan eksternal, efektivitas pemantauan, dan
rasionalisasi terhadap kemungkinan terjadinya
kecurangan pelaporan keuangan.

Teori Keagenan
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara
pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan
manajemen sebagai agen. Jensen dan Mecklin (1976)
mendefinisikan bahwa hubungan agensi merupakan
sebagai kontrak di mana satu atau lebih pihak prinsipal
(principal) dengan melibatkan pihak lain agen (agent)
untuk melakukan beberapa jasa atas nama mereka
yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas
pengambilan keputusan kepada agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang
saham untuk bekerja demi kepentingan para
pemegang saham.Menurut Scott (2012, p.340) teori
agensi mempelajari desain kontrak untuk memotivasi
agen untuk bertindak atas nama principal Ketika
kepentingan agen tidak bertentangan dengan
kepentingan principal. Ketika kepentingan agen
bertentangan dengan kepentingan principal maka akan
terjadi conflict of interest. Hal tersebut terjadi karena
pada dasarnya kedua pihak akan bertindak untuk
kepentingan diri mereka sendiri.Konflik tersebut dapat
memicu terjadinya asimetri informasi di antara kedua
belah pihak tersebut. Agen sebagai pihak internal
memiliki informasi yang lebih banyak jika dibandingkan
20
dengan principal dikarenakan agen bertanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
perusahaan. Hal ini dimanfaatkan oleh agen untuk
menyembunyikan informasi bagi principal.Informasi
yang dianggap manajer tidak perlu untuk diketahui oleh
pihak principal dapat disembunyikan oleh agen untuk
tujuan tertentu. Keadaan ini dapat mendorong seorang
manajer untuk melakukan kecurangan.

Kecurangan
Menurut Association of Certified Fraud Examiner
(ACFE) (2018) kecurangan adalah mengetahui salah
saji dari kebenaran atau penyembunyian sebuah fakta
material untuk menyebabkan kerugian pihak lain. SA
240 (2013) menyebutkan bahwa kecurangan
merupakan suatu tindakan yang disengaja oleh satu
individu atau beberapa individu dalam manajemen,
pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola,
karyawan, atau pihak ketiga, dan melibatkan
penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh suatu
keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum.
Dapat dikatakan kecurangan adalah tindakan disengaja
menyembunyikan fakta dengan tipu muslihat dari suatu
hal yang dilakukan dengan tujuan untuk merugikan
pihak lain.
ACFE dikutip dari Priantara (2013, hlm.67)
mengembangkan model untuk mengelompokkan fraud
yang disebut dengan fraud tree. Fraud tree merupakan
cara menyajikan klasifikasi atau taksonomi dari
berbagai bentuk fraud. Fraud tree mempunyai tiga
cabang utama dan banyak ranting pada setiap cabangnya.
Tiga cabang utama tersebut adalah korupsi (corruption), kecurangan
terhadap aset (asset misappropriation), dan laporan yang
dimanipulasi (fraudulent statement) dikutip dari Priantara (2013, hlm.
68)
1. Penyimpangan atas asset (asset misappropriation)
Penyimpangan atas aset, yaitu penyalahgunaan, penggelapan,
atas pencurian aset atau harta perusahaan oleh pihak di dalam
dan/atau di luar Perusahaan
2. Pernyataan atau pelaporan yang menipu atau dibuat salah
(fraudulent statement) Kecurangan laporan keuangan meliputi
21
tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif dan manajer
senior suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi
kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa
keuangan atau mempercantik penyajian laporan keuangan guna
memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi mereka terkait
dengan kedudukan dan tanggung jawabnya.
3. Korupsi (corruption) Jenis kecurangan korupsi paling sulit
dideteksi sebab menyangkut kerja sama dengan pihak lain.
Kecurangan jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para
pihak yang bekerja sama saling menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisma). Jenis kecurangan yang termasuk korupsi, yaitu
penyalahgunaan wewenang atau konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery), penerimaan tidak sah/legal (illegal
gratuities) yang lebih dikenal sebagai hadiah dan gratifikasi yang
terkait dengan hubungan kerja dan jabatan, dan pemerasan
secara ekonomi (economic extortion) atau dikenal sebagai pungutan
liar atau upeti.

Segitiga Kecurangan
Teori ini dicetuskan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1953.
Cressey melakukan penelitian ekstensif dengan para pelaku
kejahatan yang terbukti bersalah untuk menentukan apa yang
memotivasi orang tampaknya jujur untuk melakukan penipuan.
Temuan Cressey ini akhirnya diringkas dengan sebutan fraud triangle. Tiga
komponen dari fraud triangle adalah tekanan, peluang, dan
rasionalisasi. Ketiga komponen yang dicetuskan oleh Cressey dalam
Priantara (2013, hlm. 44) sebagai berikut:
1. Sisi pertama adalah tekanan (pressure). Tekanan adalah
dorongan untuk melakukan kecurangan. Biasanya tekanan
muncul karena kebutuhan atau masalah finansial, tetapi banyak juga
pelaku yang hanya terdorong oleh keserakahan.
2. Sudut kedua adalah peluang atau opportunity. Opportunity adalah
peluang yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Pada
dasarnya ada dua faktor yang dapat meningkatkan adanya
peluang atau kesempatan seseorang yang melakukan
kecurangan, yaitu:
A. Sistem pengendalian internal yang lemah, seperti kurang atau
tidak ada audit trail (jejak audit) sehingga tidak dapat
dilakukan penelusuran, ketidakcukupan, dan
ketidakefektifan aktivitas pengendalian pada area dan proses
bisnis yang berisiko, sistem dan kompetensi sumber daya
manusia (SDM) tidak mengimbangi kompleksitas organisasi,
kebijakan dan prosedur SDM yang kurang kondusif.

22
B. Tata kelola organisasi buruk dapat meningkatkan adanya
peluang melakukan kecurangan. Hal itu seperti tidak ada
komitmen yang tinggi dan suri tauladan yang baik dari
lapisan manajemen, sikap manajemen yang lalai.
3. Sisi ketiga adalah rasionalisasi. Rasionalisasi terjadi karena seseorang
mencari pembenaran atas aktivitasnya yang mengandung
kecurangan. Para pelaku kecurangan meyakini atau merasa bahwa
tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi merupakan
sesuatu yang merupakan haknya, bahkan terkadang pelaku telah
merasa berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasi.

Kecurangan Pelaporan Keuangan


Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) (2015) menyatakan
bahwa kecurangan pelaporan keuangan adalah kesalahpahaman
yang disengaja dari kondisi keuangan suatu perusahaan dengan
melakukan salah saji yang disengaja atau kelalaian terhadap jumlah
atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk menipu
pengguna laporan keuangan. Pelaporan keuangan yang
mengandung kecurangan mencakup kesalahan penyajian yang
disengaja termasuk penghilangan suatu jumlah atau
pengungkapan dalam laporan keuangan yang dilakukan
untukmempengaruhi persepsi para pengguna laporan keuangan
(SA 240, 2013). Dapat dikatakan kecurangan pelaporan
keuangan merupakan kesalahan yang disengaja dengan melakukan
salah saji jumlah atau pengungkapan dalam penyajian
laporan keuangan untuk mendapatkan keuantungan dari pihak lain.
Dikutip dari Hery (2017, hlm. 198) pelaporan keuangan yang
mengandung kecurangan biasanya dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Manipulasi, pemalsuan, atau mengubah catatan akuntansi atau
dokumen pendukung yang menjadi dasar penyusunan lapoan
keuangan.
2. Kesalahan pengungkapan atau penghilangan secara sengaja
peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan lain dalam laporan
keuangan.
3. Kesalahan yang disengaja atas penerapan prinsip akuntansi, khususnya yang
berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian, atau pengungkapan.

Hipotesis yang diajukan:


H1: Tekanan eksternal berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.
H2: Efektivitas pemantauan berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan
23
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.
H3: Rasionalisasi berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan terjadinya
kecurangan pelaporan keuangan.

METODA

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan real estate,
property, dan building construction yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Penelitian ini membatasi populasi dengan menggunakan teknik purposive sampling,
yaitu
(1) Perusahaan real estate, property, dan building construction yang sudah go public
atau terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2016-2017; (2) Perusahaan real
estate, property, dan building construction yang mempublikasikan laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit dan annual report dalam
website perusahaan atau website BEI selama periode 2016-2017; (3) Data mengenai variabel
penelitian secara keseluruhan tersedia dan terpublikasi selama periode 2016-2017.
Berdasarkan hasil dari pemilihan sampel dengan kriteria tertentu, sampel dalam penelitian ini
sebanyak 57 perusahaan. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 114 sampel. Sumber data
yang diperoleh untuk penelitian ini, yaitu laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor
independen dan annual report pada perusahaan real estate, property, dan building
construction tahun 2016-2017 yang diperoleh melalui situs web Bursa Efek Indonesia
(BEI) www.idx.co.id dan situs resmi masing-masing perusahaan. Prosedur yang
dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer yaitu SPSS 25 (Statistical
Product and Service Solutions) dan Microsoft Office Excel.

24
25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai