KLP 5 Akuntansi Forensik
KLP 5 Akuntansi Forensik
OLEH:
KELOMPOK 5
1
PEMBAHASAN
1. Corruption
3
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang
diberi label "corruption" dapat dilihat di sisi kiri dari fraud tree
(Bagian 6.1). Istilah "corruption" disini serupa tetapi tidak sama
dengan istilah korupsi dalam ketetntuan perundang-undangan kita.
Istilah korupsi menurut undang- undang nomor 31 tahun 1999
meliputi 30 tindak pidana korupsi (lihat bab 16), dan bukan empat
bentuk seperti yang digambarkan dalam ranting-ranting: conflicts
of interest, bribery, illegal gratuities, economic extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan sering
dijumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya bisnis pelat merah
atau bisnis pejabat(penguasa) dan keluarga serta kroni mereka
yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau
indikasinya menjadi pemasok :
1. Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut kuasa.
Melalui kontak jangka panjang. Bisnis berjalan terus meskipun
pejabat tersebut sudah lengser.
2. Nilai kontrak-kontrak itu relatif mahal ketimbang kontrak yang di
buat at arms length. Dalam bahasa sehari-hari praktik ini dikenal
sebagai mark-up penggelembungan. Istilah mark-up sendiri
sebenarnya kurang tepat karena baik mark-up maupun mark-down
merupakan bagian dari paraktik bisnis yang sehat.
3. Para rekanan ini, meskipun hanya segelintir, menguasai pangsa
pembelian yang relative sangat besar di lembaga tersebut.
4. Meskipun rekanan ini keluar sebagai pemenang dalam proses
tender yang resmi namun kemenanganya di capai dengan cara-
cara tidak wajar. Hal ini di bahas dalam Bab 17.
5. Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis
pejabart atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya
(nepotisme) sebagai "orang depan" atau persekonggkolan (kolusi)
yang melibatkan penyuapan (bribery).
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamakan
dengan kegitan social- keagamaan dan muncul dalam bentuk
yayasan-yayasan. Konsep cobflict of interest digunakan dalam
konvensi PBB mengenai pembrantsan korupsi ( United Nations
Conventation Against Corruption). Indonesia meratifikasi
konvensi ini. Pengertian, definisi, atau konsep conflict of interest
dapat memperkaya wawasan kita mengenai makna korupsi kalau
ia dicantumkan dalam undang-undang pembrantsan tindak pidana
korupsi.
Memasukkan conflict of interest ke dalam undang-undang
mempunyai keuntungan yakni pembuktian tindak pidana korupsi
4
yang mengndung unsur (bestanddeel) conflict of interest relative
lebih mudah. Kemudahan pembuktian tindak pidanan korupsi ini
bermanfaat dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa.
Kasus VLCC-pertamina merupakan contoh lain dimana
pembuktian korupsi dengan konsep conflict of interest lebih
mudah dari membuktikan adanya kerugian keuangan Negara.
Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema permainan
pembelian ( purchases schemes) maupun penjualan (sales
schemen). Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli baik
barang dan jasa ber-KKN dengan penjual indikasi dalam hal ini
terlihat dalam hal pemebeli merupakan lembaga besar, nilai
pembelianya tinggi, dan penjual merupakan penyuplai terkenal
tingkat dunia. Jadi, seharusnya jual beli dapat (dan lazim)
dilakukan secara langsung dan bukan melalui penjual perantara.
Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual (baik barang dan
jasa) dapat juga ber-KKN dengan pembebeli praktik ini sangat
mencolok dalam hal pembeli akhir (pembeli sebenarnya)
mrupakan captive market dari penjual, manunpenjual tetap
mengeluarkan marketing fee atau sejenisnya. Yang tidak lain dari
penyusutan. Dari contoh-contoh diatas kita lihat peraturan antara
benturan kepentingan dengan bribery, illegal, gratuities dan
economic extortion.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam
kehidupan bisnis dan politik di Indonesia. Kasus-kasus tindak
pidana korupsi tahun 2008 dan 2009 menunjukkan hal ini. Oleh
karena itu tidak perlu ada uraian yang panjang lebar tentang
ranting ini.
Kickbacks (secara harafiah bearti tendangan balik) merupakan
salah satu bentuk penyuapan dimana si penjual mengiklaskan
sebagian dari hasil penjualanya. Presentase yang diiklaskan itu
bisa diatur dimuka, atau diserahkan sepenyhnya pada keiklasan
penjual. Dalam hal terakhir apabila menerima kickback
menganggap kickback yang diterima terlalu kecil maka ia akan
mengalihkan bisbisnya ke rekanan yang lebih iklas (memberi
kickback yang lebih tinggi).
Kickback berbeda dengan bribery. Dalam hal bribery pemberinya
tidak mengorbankan suatu oenerimaan. Misalnya apabila
seseorang menyuap atau menyogok seorang penegak hukum, ia
mengharapkan keringanan hukuman. Dalam contoh kickback
diatas, pemberinya menerima keuntungan materi.
5
Dalam hal kickback si pembuat keputusan (atau yang dapat
memengaruhi pembuat keputusan) dapat mengancam sang
rekanan. Ancaman ini bisa merupakan pemerasan (economic
extortion). Indikasinya adalah sang rekanan "tidak terpakai" lagi
meskipun dalam kebanyakan hal ia lebih unggul dari rekanan
pemenang.
Illegal gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan
bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di
Indonesia kita melihat hal ini dalam bentuk hadiah perkawinan,
hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan,hadiah kenaikan pangkat
dan jabatan dan lain-lain yang diberikan kepada pejabat.
2. Asset Misapropriation
Asset Misapropriation atau pengambilan asset secara
illegal dalam bahasa sehari-hari disebut mercusi, namun dalam
istilah hukum mengambil aset secara illegal (tidak sah, atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi
wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut,
disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut
larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa inggrisnya adalah
embezzlement.
7
Payroll schemes adalah skema permainan melalui
pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan
pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau dalam
pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar
dari gaji yang dibayarkan.
8
3. FRAUDULENT STATEMENT
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang
diberi label "fraudulent statements' Dapat dilihat di sisi kanan dari
fraud tree (bagan 6.1). Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor
yang melakukan genereal audit (opinion audit). Fraud yang
berkenaan dengan penyajian laporan keuangan, sangat menjadi
perhatian auditor, masyarakat atau para LSM/NGO, namun tidak
menjadi perhatian akuntan forensik.
9
Bagan 6.1
Fraud Tree
10
menguasai teknik-teknik audit investigatif, akuntan forensik dapat
mendeteksi fraud tersebut.
Kita tidak usah mengikuti sepenuhnya fraud tree di atas.
Kondisi kita berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat. Koruptor
kita atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga
iklim bisnis dan pemerintah yang koruptif mengharuskan akuntan
forensik berpikir mengenai dunia nyatanya, ia harus membumi.
Akuntan forensik sebaiknya membuat sendiri fraud tree
atau peta dari tindak pidana yang diperiksanya. Seorang penyidik
tindak pidana perpajakan, misalnya, perlu membuat Pohon Tindak
Pidana Perpajakan. Ia dapat membuat pohon atau skema yang
komprehensif untuk semua jenis pajak atau Pohon Tindak Pidana
Perpajakan yang khusus untuk suatu jenis pajak tertentu
(misalnya, Pajak Pertambahan Nilai), untuk jenis transaksi
tertentu (misalnya, restitusi pajak), atau tindak pidana perpajakan
dalam industri tertentu misalnya, pertambangan, production
sharing contractors (PSC), dan seterusnya.
Akuntan forensik yang memeriksa tindak pidana korupsi
perlu membuat Pohon Tindak Pidana Korupsi. Pohon Tindak
Pidana Korupsi yang komprehensif yang meliputi ke-30 jenis
tindak pidana korupsi akan sangat rumit penyajiannya. Lebih
mudah, dan lebih bermanfaat, menyusun Pohon Tindak Pidana
Korupsi yang parsial, misalnya berdasarkan tujuh kelompok
tindak pidana korupsi.
11
mencatat atau memperdagangkan saham, obligasi, dan surat
berharga lainnya di bursa-bursa Amerika Serikat.
12
Cressey tertarik pada embezzlers yang disebutnya "trust
violators" atau "pelanggar kepercayaan", yakni mereka yang
melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada
mereka. Ia secara khusus tertarik kepada hal-hal yang
menyebabkan mereka menyerah kepada godaan. Oleh karena
alasan itu dalam penelitiannya, ia tidak menyertakan mereka yang
memang mencari pekerjaan dengan tujuan mencuri. Setelah
menyelesaikan penelitiannya, ia mengembangkan suatu model
yang sampai sekarang merupakan model klasik untuk menjelaskan
occupational offender atau pelaku fraud di tempat kerja (atau
terkait dengan pekerjaan atau jabatannya). Penelitiannya
diterbitkan dengan judul Other People's Money: A Study in the
Sosial Psychology of Embezzlement.
Hipotesisnya yang terakhir adalah:
("Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia
melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah
keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain,
sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya
dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang
kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari
memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya
sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana
atau kekayaan yang dipercayakan.").
13
A. Pressure (Tekanan)
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari
suatu tekanan (pressure) yang menghimpitnya. Orang ini
mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak
dapat diceritakannya kepada orang lain. Konsep yang penting di
sini adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa
kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing)
dengan orang lain. Setidak-tidaknya, itulah yang dirasakannya.
Konsep ini dalam bahasa Inggris disebut perceived non-shareable
financial need.
14
melanggar kepercayaan yang terkait dengan kedudukannyz
Contoh: kasir yang mencuri uang perusahaan sebagai balas
dendam atas perlakuan tidak adil yang dirasakannya.
C. Rationalization (rasionalisasi)
Rasionalisasi Sudut ketiga dari fraud triangle adalah
rationalization (rasionalisasi) atau mencari pembenaran sebelum
melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Mencari pembenaran
sebenarnya merupakan bagian dari motivasi untuk melakukan
kejahatan. Rationalization diperlukan agar si pelaku dapat
mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap
membertahankan jati dirinya sebagai sebagai orang yang
dipercaya. Setelah kejahatan dilakukan, rationalization ini
ditinggalkan, karena tidak diperlukan lagi. Model klasiknya
Cressy mampu menjelaskan terjadinya berbagai fraud yang
berkenaan dengan kedudukan atau jabatan, tetapi tentunya tidak
semuanya. Para ilmuwan mengetes model Cressy ini, namun
mereka belum berhasil mengembangkan aplikasi praktisnya,
misalnya dalam menciptakan program pencegahan fraud. Satu
model tentunya tidak bisa menjawab seluruh fraud. Ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa kajian itu hampir berusia setengah abad.
Sesudah itu terjadi banyak perubahan sosial. Sekarang, banyak
profesional dibidang pencegahan fraud berpendapat bahwa telah
15
lahir generasi pelaku fraud yang baru: suatu generasi yang hati
nuraninya tidak sanggup melawan godaan.
Kejahatan Kerah Putih
Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang
dilakukan dalam lingkup jabatan mereka dan karenanya tidak
termasuk kejahatan pembunuhan, perzinaan, perkosaan, dan lain-
lain yang lazimnya tidak dalam lingkup kegiatan para pejabat
berkerah putih. Padahal ada banyak kejahatan berupa pembunuhan
dan pemerasan yang dilakukan secara terorganisasi (organized
crime) yang berdasarkan motifnya adalah kejahatan ekonomi yang
dilakukan penjahat berkerah putih.
16
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Jl. RS Fatmawati, Pd. Labu, Cilandak,
Kota Depok, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12450, Indonesia
miatripuspita@gmail.com
17
agar para stakeholder menilai baik kinerja manajemen. Tidak jarang
manajemen sampai melakukan manipulasi laporan keuangan
sesuai yang mereka inginkan. Hal ini mengakibatkan informasi
yang terkandung di dalam laporan keuangan tersebut menjadi
tidak benar. Informasi tersebut tentu saja menjadi informasi yang tidak
valid atau tidak relevan untuk dipakai sebagai dasar di dalam pengambilan
keputusan oleh pihak yang berkepentingan karena analisis yang dilakukan
tidak berdasarkan informasi yang sebenarnya. Kecurangan pelaporan
keuangan merupakan kesalahpahaman yang disengaja dari kondisi
keuangan suatu perusahaan dengan melakukan salah saji
yang disengaja atau kelalaian terhadap jumlah atau
pengungkapan dalam laporan keuangan untuk menipu
pengguna laporan keuangan (ACFE,2015). Kasus
lainnya yang terjadi di Indonesia,yaitu PT Waskita
Karya (Persero). Pada tahun 2009 ditemukan kasus
kelebihan pencatatan pada laporan keuangan periode
2004-2007.Terbongkarnya kasus ini berawal saat
pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan
saham perdana tahun lalu.Direktur Utama baru, M.
Choliq yang sebelumnya menjabat Direktur Keuangan
PT Adhi Karya (Persero) Tbk, menemukan pencatatan
yang tak sesuai. Dalam pemeriksaan itu ditemukan
kelebihan pencatatan laba bersih sekitar Rp 400 miliar.
Akibatnya penawaran saham Waskita ditunda hingga
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)
menyelesaikan restrukturisasi yang diperkirakan
memakan waktu dua tahun dan penonaktifkan tiga
direksi PT Waskita Karya (Persero) oleh Kementerian
Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
(Rahadiana, 2009).Dari kasus tersebut terjadi
perbedaan pencatatan laba pada laporan keuangan
dengan laba yang sebenarnya sehingga
mengindikasikan pemanipulasian laporan keuangan
keuangan. Tindakan pemanipulasian laporan keuangan
ini adalah salah satu bentuk tindakan kecurangan.
Pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan
biasanya dilakukan dengan cara kesalahan yang
berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian, atau
pengungkapan (Hery, 2017, hlm.198). Asosiasi
Nasional Profesi Akuntan Publik di Amerika Serikat
atau American Institute Certified Public Accountant
(AICPA) memberikan solusi dalam prosedur
pendeteksian kecurangan dengan menerbitkan
18
Statement of Auditing Standards (SAS). SAS No. 99
menyebutkan ilustrasi faktor kecurangan yang
didasarkan pada teori segitiga kecurangan atau fraud
triangle yang dicetuskan oleh Donald.R.Cressey pada
tahun 1953, yaitu tekanan, peluang, dan rasionalisasi.
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) yang
merupakan asosiasi profesi akuntan public Indonesia
juga mengeluarkan Standar Audit (SA) 240 pada tahun
2013 yang berisi tentang tanggung jawab auditor terkait
dengan kecurangan dalam suatu audit atas laporan
keuangan. SA 240 juga berisi ilustrasi faktor
kecurangan yang didasarkan pada fraud triangle yang
dicetuskan oleh Donald R. Cressey. Salah satu kondisi
(jenis) tekanan mungkin mengakibatkan terjadinya
kecurangan pelaporan keuangan yang disebutkan
dalam Standar Audit 240 (2013) adalah tekanan
eksternal. Tekanan eksternal adalah adanya tekanan
yang dihadapi manajemen untuk
memenuhi persyaratan atau harapan dari pihak ketiga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lou & Wang
(2009), Utama et al.(2018), Zaki (2017).
serta Yesiriani dan Rahayu (2017) menunjukkan
bahwa tekanan eksternal berpengaruh signifikat
terhadap kecurangan pelaporan keuangan.Sebaliknya
penelitian yang dilakukan oleh Ardiyani & Utaminingsih
(2015), Martantya dan Daljono (2013), serta
Rachmawati dan Marsono (2014) menunjukkan bahwa
tekanan eksternal tidak berpengaruh signifikan
terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Salah satu
kondisi (jenis) peluang mungkin mengakibatkan
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan yang
disebutkan dalam Standar Audit 240 (2013) adalah
efektivitas pemantauan. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Utomo (2018) menunjukkan bahwa efektivitas
pemantauan berpengaruh signifikan terhadap
kecurangan pelaporan keuangan.Sebaliknya penelitian
yang dilakukan oleh Rachmawati dan Marsono (2014)
serta Martantya dan Daljono (2013) menunjukkan
efektivitas pemantauan tidak berpengaruh signifikan
terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Rasionalisasi adalah suatu perilaku atau karakter
19
yang membuat pelaku melakukan tindakan yang tidak
jujur, atau lingkungan yang membuat mereka menjadi
bertindak tidak jujur dan membenarkan tindakan tidak
jujur tersebut.Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Utama et al.(2018) serta Rachmawati dan Marsono
(2014) menunjukkan bahwa rasionalisasi berpengaruh
signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Apriliana
dan Agustina (2017), Tessa dan Harto (2016), dan
Rahmawati et al. (2017) menunjukkan rasionalisasi
tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan
pelaporan keuangan.Tujuan dari dilakukannya
penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh
tekanan eksternal, efektivitas pemantauan, dan
rasionalisasi terhadap kemungkinan terjadinya
kecurangan pelaporan keuangan.
Teori Keagenan
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara
pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan
manajemen sebagai agen. Jensen dan Mecklin (1976)
mendefinisikan bahwa hubungan agensi merupakan
sebagai kontrak di mana satu atau lebih pihak prinsipal
(principal) dengan melibatkan pihak lain agen (agent)
untuk melakukan beberapa jasa atas nama mereka
yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas
pengambilan keputusan kepada agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang
saham untuk bekerja demi kepentingan para
pemegang saham.Menurut Scott (2012, p.340) teori
agensi mempelajari desain kontrak untuk memotivasi
agen untuk bertindak atas nama principal Ketika
kepentingan agen tidak bertentangan dengan
kepentingan principal. Ketika kepentingan agen
bertentangan dengan kepentingan principal maka akan
terjadi conflict of interest. Hal tersebut terjadi karena
pada dasarnya kedua pihak akan bertindak untuk
kepentingan diri mereka sendiri.Konflik tersebut dapat
memicu terjadinya asimetri informasi di antara kedua
belah pihak tersebut. Agen sebagai pihak internal
memiliki informasi yang lebih banyak jika dibandingkan
20
dengan principal dikarenakan agen bertanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
perusahaan. Hal ini dimanfaatkan oleh agen untuk
menyembunyikan informasi bagi principal.Informasi
yang dianggap manajer tidak perlu untuk diketahui oleh
pihak principal dapat disembunyikan oleh agen untuk
tujuan tertentu. Keadaan ini dapat mendorong seorang
manajer untuk melakukan kecurangan.
Kecurangan
Menurut Association of Certified Fraud Examiner
(ACFE) (2018) kecurangan adalah mengetahui salah
saji dari kebenaran atau penyembunyian sebuah fakta
material untuk menyebabkan kerugian pihak lain. SA
240 (2013) menyebutkan bahwa kecurangan
merupakan suatu tindakan yang disengaja oleh satu
individu atau beberapa individu dalam manajemen,
pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola,
karyawan, atau pihak ketiga, dan melibatkan
penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh suatu
keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum.
Dapat dikatakan kecurangan adalah tindakan disengaja
menyembunyikan fakta dengan tipu muslihat dari suatu
hal yang dilakukan dengan tujuan untuk merugikan
pihak lain.
ACFE dikutip dari Priantara (2013, hlm.67)
mengembangkan model untuk mengelompokkan fraud
yang disebut dengan fraud tree. Fraud tree merupakan
cara menyajikan klasifikasi atau taksonomi dari
berbagai bentuk fraud. Fraud tree mempunyai tiga
cabang utama dan banyak ranting pada setiap cabangnya.
Tiga cabang utama tersebut adalah korupsi (corruption), kecurangan
terhadap aset (asset misappropriation), dan laporan yang
dimanipulasi (fraudulent statement) dikutip dari Priantara (2013, hlm.
68)
1. Penyimpangan atas asset (asset misappropriation)
Penyimpangan atas aset, yaitu penyalahgunaan, penggelapan,
atas pencurian aset atau harta perusahaan oleh pihak di dalam
dan/atau di luar Perusahaan
2. Pernyataan atau pelaporan yang menipu atau dibuat salah
(fraudulent statement) Kecurangan laporan keuangan meliputi
21
tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif dan manajer
senior suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi
kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa
keuangan atau mempercantik penyajian laporan keuangan guna
memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi mereka terkait
dengan kedudukan dan tanggung jawabnya.
3. Korupsi (corruption) Jenis kecurangan korupsi paling sulit
dideteksi sebab menyangkut kerja sama dengan pihak lain.
Kecurangan jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para
pihak yang bekerja sama saling menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisma). Jenis kecurangan yang termasuk korupsi, yaitu
penyalahgunaan wewenang atau konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery), penerimaan tidak sah/legal (illegal
gratuities) yang lebih dikenal sebagai hadiah dan gratifikasi yang
terkait dengan hubungan kerja dan jabatan, dan pemerasan
secara ekonomi (economic extortion) atau dikenal sebagai pungutan
liar atau upeti.
Segitiga Kecurangan
Teori ini dicetuskan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1953.
Cressey melakukan penelitian ekstensif dengan para pelaku
kejahatan yang terbukti bersalah untuk menentukan apa yang
memotivasi orang tampaknya jujur untuk melakukan penipuan.
Temuan Cressey ini akhirnya diringkas dengan sebutan fraud triangle. Tiga
komponen dari fraud triangle adalah tekanan, peluang, dan
rasionalisasi. Ketiga komponen yang dicetuskan oleh Cressey dalam
Priantara (2013, hlm. 44) sebagai berikut:
1. Sisi pertama adalah tekanan (pressure). Tekanan adalah
dorongan untuk melakukan kecurangan. Biasanya tekanan
muncul karena kebutuhan atau masalah finansial, tetapi banyak juga
pelaku yang hanya terdorong oleh keserakahan.
2. Sudut kedua adalah peluang atau opportunity. Opportunity adalah
peluang yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Pada
dasarnya ada dua faktor yang dapat meningkatkan adanya
peluang atau kesempatan seseorang yang melakukan
kecurangan, yaitu:
A. Sistem pengendalian internal yang lemah, seperti kurang atau
tidak ada audit trail (jejak audit) sehingga tidak dapat
dilakukan penelusuran, ketidakcukupan, dan
ketidakefektifan aktivitas pengendalian pada area dan proses
bisnis yang berisiko, sistem dan kompetensi sumber daya
manusia (SDM) tidak mengimbangi kompleksitas organisasi,
kebijakan dan prosedur SDM yang kurang kondusif.
22
B. Tata kelola organisasi buruk dapat meningkatkan adanya
peluang melakukan kecurangan. Hal itu seperti tidak ada
komitmen yang tinggi dan suri tauladan yang baik dari
lapisan manajemen, sikap manajemen yang lalai.
3. Sisi ketiga adalah rasionalisasi. Rasionalisasi terjadi karena seseorang
mencari pembenaran atas aktivitasnya yang mengandung
kecurangan. Para pelaku kecurangan meyakini atau merasa bahwa
tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi merupakan
sesuatu yang merupakan haknya, bahkan terkadang pelaku telah
merasa berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasi.
METODA
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan real estate,
property, dan building construction yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Penelitian ini membatasi populasi dengan menggunakan teknik purposive sampling,
yaitu
(1) Perusahaan real estate, property, dan building construction yang sudah go public
atau terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2016-2017; (2) Perusahaan real
estate, property, dan building construction yang mempublikasikan laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit dan annual report dalam
website perusahaan atau website BEI selama periode 2016-2017; (3) Data mengenai variabel
penelitian secara keseluruhan tersedia dan terpublikasi selama periode 2016-2017.
Berdasarkan hasil dari pemilihan sampel dengan kriteria tertentu, sampel dalam penelitian ini
sebanyak 57 perusahaan. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 114 sampel. Sumber data
yang diperoleh untuk penelitian ini, yaitu laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor
independen dan annual report pada perusahaan real estate, property, dan building
construction tahun 2016-2017 yang diperoleh melalui situs web Bursa Efek Indonesia
(BEI) www.idx.co.id dan situs resmi masing-masing perusahaan. Prosedur yang
dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer yaitu SPSS 25 (Statistical
Product and Service Solutions) dan Microsoft Office Excel.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
26