Anda di halaman 1dari 21

TAFSIR SOSIAL: ANALISIS AYAT TENTANG PERUBAHAN

DALAM SUATU MASYARAKAT


(QS. Al-Anfal (8): 53 dan QS. Al-Ra’d (13): 11)

MAKALAH
Disusun sebagai bahan presentasi serta untuk
memenuhi Tugas mata kuliah “Tafsir Sosial”
Semester III Tahun akademik 2022

Oleh:
Kelompok 4

ANDI DIAN WULANDARI


NIM : 30300121015
AULIA NUR SAFITRI
NIM : 30300121016
MUH. BAHRUL ULUM
NIM : 30300121024
MUH. HAIKAL KAMIL
NIM : 30300121025
ALDI RAFSANJANI UMAR
NIM : 30300121028

Dosen Pengampu:
Yusran, S.Th.I., M.Hum.

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-

Nya, penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam selalu

tercurahkan kepada baginda kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,

sahabat, dan seluruh pengikutnya.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Tafsir

Sosial. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada

pembaca maupun penulis tentang analisis ayat tentang perubahan dalam suatu

masyarakat yaitu yang terdapat dalam QS. al-Anfal ayat 53 dan QS. al-Ra’d ayat

11.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ustadz Yusran selaku

dosen mata kuliah Tafsir Sosial. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah

wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga

mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu

dalam proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak

kesalahan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis

mohon maaf kepada para pembaca atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
terdapat dalam makalah ini. Penulis juga berharap para pembaca dapat

memberikan kritik dan saran yang membangun apabila menemukan kesalahan

dalam makalah ini.

Samata, 18 Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1

A. Latar Belakang ...................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..............................................................................2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................3

A. Tafsir QS. Al-Anfal (8) ayat 53..........................................................3

B. Tafsir QS. Al-Ra’d (13) ayat 11 ........................................................7

BAB III PENUTUP ......................................................................................17

A. Kesimpulan .......................................................................................17

B. Saran ................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbincangan tentang perubahan masyarakat merupakan suatu

perbincangan yang menarik. Setiap anggota masyarakat tentunya memiliki impian

agar masyarakat tempat mereka menetap merupakan masyarakat yang ideal. Pada

umumnya warga masyarakat ingin agar perubahan yang terjadi pada masyarakat

mereka merupakan perubahan yang positif menuju kondisi yang lebih baik. Sama

halnya dengan kita yang tinggal di negara Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk yang

masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, sudah selayaknya

senantiasa mengupayakan agar selalu terjadi perubahan yang positif dalam

masyarakatnya. Untuk mengupayakan perubahan yang positif itu tentunya pesan-

pesan ilahi yang ada dalam Al-Qur’an mengenai perubahan sosial.

Seperti kita ketahui sendiri, Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat

firman-firman (wahyu) Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi

Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 Tahun 2 bulan 22

hari sebagai pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan

kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat

kelak.

Berdasarkan uraian di atas, maka kami akan mencoba membahas Tafsir QS.

al-Anfal ayat 53 dan QS. al-Ra’d ayat 11 yang menjelaskan tentang salah satu

fungsi Al-Qur’an dari sekian banyak fungsi lainnya yaitu sebagai petunjuk agar

manusia bisa merubah keadaan dari yang buruk ke yang baik. Perubahan yang

terjadi diinformasikan oleh Allah Swt. hanya akan terjadi jika dilakukan oleh

masyarakat itu sendiri, baik ke arah baik maupun ke arah buruk. Ketika suatu

masyarakat hendak berubah maka masyarakat itu sendirilah yang harus

1
2

memperjuangkan dan melakukan perubahan, bukan yang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Uraikan tafsir QS. Al-Anfal (8) ayat 53!

2. Uraikan tafsir QS. Al-Ra’d (13) ayat 11!

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami tafsir QS. Al-Anfal (8) ayat 53

2. Untuk mengetahui tafsir QS. Al-Ra’d (13) ayat 11


BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir QS. Al-Anfal (8) ayat 53

1. Ayat dan Terjemahan

‫س ِم ْيع‬
َ َ‫ّٰللا‬ ‫ٰذ ِلكَ ِبا َ َّن ه‬
‫ّٰللاَ لَ ْم يَكُ ُمغَ ِيِّ ًرا نِِّ ْع َمةً ا َ ْنعَ َم َها ع َٰلى قَ ْو ٍم َحتهى يُغَ ِيِّ ُر ْوا َما ِبا َ ْنفُس ِِه ْۙ ْم َوا َ َّن ه‬
‫ع ِل ْي ْۙم‬
َ
Terjemahan:

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah

suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum

itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha

Mendengar, Maha Mengetahui”.1

2. Makna Mufradat

a. ُ‫لَ ْم يَك‬

Kata ( ُ‫ )لَ ْم يَك‬Lam yaku/tidak akan pada mulanya berbunyi (‫ )لم يكن‬lam

yakun. Penghapusan huruf nun itu untuk mempesingkat, sekaligus

mengisyaratkan bahwa peringatan dan nasehat yang dikandung ayat ini

hendaknya segera disambut dan jangan diulur-ulur, karena mengulur dan

memperpanjang hanya mempercepat siksa.

Ayat ini serupa dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan

mengubah apa yang terdapat pada satu kaum/masyarakat, sampai mereka

mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka” (QS. Ar-Ra’d: ayat 11).

Kedua ayat tersebut- ayat al Anfal dan ayat Ar-Ra’d itu berbicara

tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat,

sedangkan ayat ar-Ra’d menggunakan kata (‫ )ما‬ma/apa sehingga mencakup

perubahan apapun, yaitu baik dari nikmat/positif menuju nikmat/murka

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid Dan Terjemahannya


1

Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul Dan Hadits Shahih (Bandung: Syaamil Qur’an, 2010), hal. 184

3
4

Ilahi/negatif maupun dari negatif ke positif.

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat

di atas. Yaitu: Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial yang

berlaku bagi masyarakat masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Keduanya berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan

menyangkut orang perorang atau individu. Ini dipahami dari penggunaan kata

kaum I masyarakat pada kedua ayat tersebut.

b. ‫نفس‬

Adapun kata nafs atau sisi dalam manusia, maka ia mengandung dua
hal pokok. Kalau kita ibaratkan nafs dengan satu wadah, maka nafs adalah

wadah besar yang didalamnya ada kotka/wadah yang berisi segala sesuatu

yang disadari oleh manusia. Al-Qur’an menamai kotak itu (‫ )قلب‬qalb/kalbu.

Apa yang telah dilupakan manusia dan yang sesekali muncul dan yang

dinamai oleh ilmuan, bawah sadar juga berada didalam wadah nafs, tetapi di

luar kotak kalbu. Al-Qur’an mengisyaratkan hakikat diatas dengan firman-

Nya: “Jika engkau mengeraskan ucapan, maka sesungguhnya dia (Allah)

mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi” (QS. Thaha (20); ayat

7).

Mengeraskan ucapan, salah satu aspek dari sisi luar manusia. Rahasia

adalah sisi dalam manusia yang disadarinya. Adapun yang lebih tersembunyi

adalah hal-hal yang telah dilupakan dan atau tidak diketahui lagi dan berada

dalam bawah sadar manusia. Orang lain dapat mengetahui yang pertama saja,

sedang yang bersangkutan dapat mengetahui dan menyadari yang pertama

dan yang kedua, tidak yang ketiga. Hanya Allah yang mengetahui ketiganya.

Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk

dipertanggungjawabkan adalah isi kalbu bukan isi nafs. Firman-Nya: “Allah


5

menuntut tanggung jawab kamu menyangkut apa yang dilakukan oleh kalbu

kamu” (QS. Al-Baqarah:225). Namun demikian dinyatakan-Nya

bahwa:”Tuhanmu lebih mengetahui tentang apa yang terdapat dalam nafs

(sisi dalam kamu)” (Qs. Al-Isra; 25).

Jika demikian tidak keliru jika dikatakan bahwa apa yang terdapat

dalam masyarakat adalah cerminan dari sisi dalam masyarakat itu sendiri,

sehingga jika mereka tidak senang terhadap sesuatu, maka mereka memiliki

potensi untuk mengubahnya, dan perubahan yang terjadi itu akan lahir sesuai

dtfigan sisi dalam mereka, bukan sisi dalam seorang atau sekelompok kecil
dari mereka.2

3. Penafsiran Ayat

a. Tafsir Jalalain

‫( ذلك‬yang demikian itu) disiksa-Nya orang kafir ِّ‫( بأن‬disebabkan) karena

‫( على قوم هللا لم يك مغيِّرا نعمة أنغمها‬Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu

nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum) dengan cara

menggantinya dengan siksaaan ‫( حتى يغيِّروا ما بأنفسهم‬sehingga kaum itu mengubah

apa yang ada pada diri mereka). Sehingga mereka sendiri mengubah nikmat yang

mereka terima kekafiran., seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir

Mekah. Berbagai macam makanan yang dilimpahkan kepada mereka, sehingga

mereka terhindar dari kelaparan, diamankan-Nya mereka dari rasa takut, dan

diutus-Nya Nabi Saw., kepada meraka. Itu semua mereka balas dengan kekafiran,

menghambat jalan Allah dan memerangi kaum mukminin. ‫( وأنِّ هللا سميع عليم‬Dan

sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).3

2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2005), jilid 5, hal. 473-476.
3
Jalaluddin As-Suyuti & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad al-Mahally, Tafsir Jalalain,
hal. 110.
6

b. Tafsir al-Misbah

Apa yang dialami oleh orang-orang kafir itu penyebabnya dijelaskan oleh

ayat ini. Al-Biqa’i yang dikenal sebagai seorang Mufassir memberi penelitian yang

sangat besar tentang hubungan antar ayat dan surah Al-qur’an, menghubungkan

ayat ini dengan ayat yang lalu, menurutnya bahwasanya siksaan baik menyangkut

wakt, kadar maupun jenisnya ditetapkan Allah berdasarkan perbuatan mereka

mengubah diri mereka. Sebenarnya Allah dapat menyiksa mereka berdasar

pengetahuan-Nya tentang isi hati mereka, yakni sebelum mereka melahirkannya

dalam bentuk perbuatan yang nyata, tetapi Allah tidak melakukan itu karena

sunnah dan ketettapannya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat

sedikit atau besar yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, tidak juga

sebaliknya mengubah kesengsaraan yang dialami suatu kaum menjadi kebahagiaan

hingga kaum itu sendiri yang terlebih dahulu mengubah apa yang ada pada diri

mereka sendiri, yakni untuk memperoleh nikmat tambahan mereka harus lebih

baik, sedangkan perolehan siksaan adalah akibat mengubah fitrah kesucian mereka

menjadi keburukan dan kedurhakaan dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar

apapun yang disuarakan makhluk lagi Maha Mengetahui apapun sikap dan tingkah

laku mereka.

Inilah keputusan yang adil dalam memberi hukuman. Sebab Allah tidak

akan mengubah nikmat yang sudah dikaruniakan-Nya kepada suatu kaum berupa

perdamaian, kesehatan, kesejahteraan hidup selama mereka tidak mengubah

nikmat itu sendiri dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya

nikmat itu. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui perbuatan mereka.4

c. Tafsir Ibnu Katsir

Allah memberitahukan tentang keadilan-Nya yang sempurna dalam

4
Shihab M. Quraish, Tafsir al-Misbah, jilid 5, hal. 473.
7

ketetapan hukum-Nya. Dimana Allah tidak akan merubah nikmat yang

dikaruniakan kepada seseorang, melainkan karena dosa yang dilakukannya. Yang

demikian itu seperti firman-Nya yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak

merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah yang ada pada diri

mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum, maka

tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka

selain Allah” (Qs. Ar-Ra’du: 11). 5

4. Kandungan

Menurut para Mufassir, isi kandungan Qs. Al-Anfal: 53 adalah upaya manusia

untuk melakukan perubahan guna mencapai kesuksesan yang diharapkan sangatlah

diperlukan agar apa yang dicita-citakannya dapat tercapai, karena Allah tidak

mengubah keadaan yang sudah ada jika manusia itu sendiri tidak berusaha melakukan

perubahan.6

B. Tafsir QS. Al-Ra’d (13) ayat 11

1. Ayat dan Terjemahan

‫س ْو ًًءا َفََالَ َم َر ََّد لَهُ َو َما لَ ُه ْم‬


ُ ُ‫ َواِذَ ا َ ََرا ََد هللا‬,‫س ِه ْم‬
ِ ُ‫اِ َّن هللاَ ََل يُغَيِِّ ُر ِبقَ ْو ٍم َحتَّي يُغَ ِيِّ ُر ْوا َما ِبا َ ْنف‬
ِ ‫ِم ْن َد ُْونِ ِه ِم ْن َّوا ٍل‬
Terjemahan:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum

mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah

mengehendaki keburukan suatu kaum, maka tak ada yang dapat

menolaknya dan tidak pelindung bagi mereka selain Dia”.7

5
M. Abdul Ghoffar E.M, Terj. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4 cet. 2 (Bogor: Pustaka Imam
Syafi’I, 2003), hal. 65.
6
Nur Ayu Puspita, Skripsi “Implikasi Pendidikan Dari Qs. Al-Anfal Ayat 53 & Ar-Ra’du
Ayat 11 Tentang Upaya Manusia Dalam Menentukan Nasibnya”, (Bandung, 2012).
7
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid Dan Terjemahannya Dilengkapi
Dengan Asbabun Nuzul Dan Hadits Shahih, hal. 250.
8

2. Makna Mufradat

Pertama, ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan

perubahan individu, ini dapat di pahani dari penggunaan kata: ‫ قوم‬: Masyarakat ِ

pada kedua ayat tersebut. Dari ayat itu pula dapat di tarik sebuah kesimpulan

bahwa perubahan sosial tidak dapat di lakukan oelh seoarang manusia saja,

memang perubahan bisa bermula dari seseorang yang ketika ia melontarkan dan

menyebarluaskanide-idenya, di terima dan meggelinding dalam masyarakat

luas, lalu sedikit demi sedikit “mewabah” kepada masyarakat luas.


Kedua,Penggunaan kata kaum juga menunjukkan bahwa hukum

kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau suku suku, ras

dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan dimanapun mereka

berada, Selanjutnya, kareang dibicarakan ayat tersebut berbicara masalah kaum,

ini berarti sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan kehidupan

Duniawi, bukan ukhrawi. Pertanggung jawaban pribadi baru akan terjadi di

akhirat kelak, berrdasarkan firman Allah swt: “Setiap mereka akan datang

kepada-Nya sendiri-sendiri (Q.S Maryam [19]:95

Ketiga, Kedua ayat tersebut berbicara tentang dua pelaku perubahan .

Pelaku yang pertama berbicar dengan Allah swt. Yang mengubah nikmat yang

dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat, atau katakanlah sisi

luar/lahiriahnya masyarakat. Sedangkan pelaku kedua adalah Manusia, dalam

hal ini masyarakat yang menjadi agen perubahan dalam diri mereka atau dalam

bahasa Al-Qur’annya dari kedua ayat tersebut adalah ‫ ما بانفسم‬apa yang terdapat

dalam diri mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau yang

di istilahkan oleh ayat di atas dengan ‫ ما بقوم‬ma biqaumin menyangkut banyak

hal, seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan
9

kehinaan, persatuan atau perpecahan dan lain-lain yang berkaitan dengan

masyarkat secara umum, bukan secara individu. Sehingga bisa saja ada di antara

anggotanya yang kaya, tetapi jika mayoritasnya miskin, deemikian seterusnya.

Keempat, Kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang di

lakukan oleh Allah, haruslah di dahului perubahan yang di lakukan masyarakat

menyangkut sisi dalam mereka yang tidak berubah. Tanpa perubahan ini,

mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi perubahan

penguasa atau bahkan sistem, tetapi jika di dalam sisi dalam masyarakat tidak

berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika


demikian, sekali lagi perlu di tegaskan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an yang

paling pokok guna keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam

manusi, karena sisi dalam manusia lahh yang melahirkan aktivitas, baik positif

maupun negatif, bentuk, sifat dan corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan

masyarakat, apakha positif atau negatif. Sisi dalam manusia dinamai (‫ ) نفس‬nafs,

bentuk jamaknya (‫ ) انفس‬anfus dan sisi luar yang dinamainya antara lain (‫)جسم‬

jism yang dijamak (‫ )اجسام‬ajsam. Sisi dalam, tidak selalu sama dengan sisi luar.

Ini diketahui dan terlihat dengan jelas pada orang-orang munafik (baca QS. al-

Munafiqun [63]: 4). Jika kita ibaratkan nafs dengan sebuah wadah, maka nafs

adalah wadah besar yang di dalamnya ada kotak/wadah berisikan segala sesuatu

yang disadari oleh manusia. Al-Qur’an menamai “kotak” itu (‫ ) قلب‬qalbu.

Apaapa yang telah dilupakan manusia namun sesekali dapat muncul dan yang

dinamai oleh ilmuwan “bawah sadar” yaga berada di dalam wadah nafs, tetapi

di luar wilayah “kalbu”.8

8
Shihab,M.Quraish, Tafsir AL-Misbah:pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an/M.Qurasih
shihab, hal. 572.
10

3. Asbabul Nuzul

Asababul nuzul ayat ini masih bersangkut paut dengan ayat yang ke 8 sampai

13 dan kemudian berhungan dengan ayat 31. Yaitu mengetengahkan hadist Imam

thabrani dan lain-lainnya mengetengahkan hadist melalui Ibnu Abbas r.a, bahwasannya

Arbad bin Qais dan Amir bin thufail berkata, “Haii Muhammad! Hadiah apakha yang

engkau berikan kepadaku, jika aku masuk islam?” Rasulullah saw menjawab "Engkau

akan mendapatkan sebagaimana apa yang didapat oleh kaum Muslimin yang lain, dan

engkau pun akan menerimaseperti apa yang mereka alami?" Lalu Amir berkata lagi,

"Apakah engkau akanmenjadikan aku sebagai penggantimu sesudahmu?" Rasulullah

saw. menjawab,"Hal tersebut bukan untukmu dan bukan untuk kaummu. "Lalu mereka

berduakeluar dari majelis Rasulullah saw. Setelah mereka keluar, lalu Amir

berkatakepada Arbad, "Bagaimana kalau aku menyibukkan diri Muhammad

denganberbicara kepadanya, kemudian dari belakang kamu tebas dia dengan

pedangmu?" Arbad setuju dengan usul tersebut, lalu keduanya kembali lagimenemui

Rasulullah saw.

Sesampainya di sana Amir berkata, "Hai Muhammad!Berdirilah bersamaku,

aku akan berbicara kepadamu." Kemudian Amir berbicarakepadanya, dan Arbad

menghunus pedangnya; akan tetapi ketika Arbadmeletakkan tangannya pada pegangan

pedangnya, tiba-tiba tangannyalumpuh. Dan Rasulullah saw. melirik kepadanya serta

melihat tingkahnya itudengan jelas, lalu beliau berlalu meninggalkan mereka. Maka

setelah itukeduanya pergi, dan ketika mereka berdua sampai di kampung Ar-Raqm,

laluAllah mengutus halilintar kepada Arbad untuk menyambarnya, maka halilintaritu

membunuhnya. Kemudian turunlah firman-Nya, "Allah mengetahui apa yangdikandung

oleh setiap perempuan..."(Q.S. Ar-Ra'd 8) sampai dengan firman-Nya,"Dan Dialah

Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya."(Q.S. Ar-Ra'd 13).9

9
Jalaluddin As-suyuthi, lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul, atau sebab turunnya ayat
Al-Qu’an, Terj. Tim Abdul Hayyie (Gema insani), hal. 317-318.
11

4. Penafsiran Ayat

a. Tafsir Al-Azhar

Ayat 11 surah al-Ra’d ini merupakan ayat yang dikenal sebagai ayat

yang menegaskan tentang karunia Allah berupa akal budi yang

dianugerahkan Allah kepada umat manusia. Dengan akal budi inilah, menurut

Hamka, manusia dapat melakukan tindakan sendiri dan mampu

mengendalikan dirinya. Namun kekuatan yang diberikan Allah kepada

manusia bukan berarti kekuasaan tanpa batas. Kekuasaan manusia itu tetap
berada dalam batas ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah. Dengan

kekuatan yang diberikan oleh Allah itu, manusia memilki kewajiban untuk

senantiasa berusaha semaksimal mungkin, atau dengan bahasa Hamka,

“manusia wajiblah berusaha sendiri pula menentukan garis hidupnya, jangan

hanya menyerah saja dengan tidak berikhtiar”.10

Ketika menafsirkan ayat 11 surah al-Ra’d ini tampak bahwa Hamka

menentang paham yang mengatakan bahwa manusia tidak memilki daya

apapun. Manusia memilki daya untuk menetukan kehidupan mereka dalam


batasan-batasan yang ditetapkan oleh Allah. Manusia memiliki kekuatan

untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan kemampuan yang

diberikan oleh Allah itulah manusia memperoleh kehormatan sebgai khalifah

Allah di muka bumi. Dengan tegas Hamka menyatakan bahwa “Manusia

bukanlah semacam kapas yang diterbangkan angin ke mana-mana, atau

laksana batu yang terlempar ditepi jalan”.

Selain itu, Hamka dalam menafsirkan ayat ini sangat menekankan

pentingnya ikhtiar manusia. Ikhtiar manusia inilah yang dapat mengantar

perubahan kehidupan manusia. Dari makna ayat ini, Hamka cenderung

10
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1959) jilid 13, hlm. 71
12

berpendapat bahwa perubahan suatu masyarakat atau suatu kaum tidak akan

terjadi jika masyarakat itu tidak mengubah nasibnya terlebih dahulu. Hal ini

dapat dilihat dengan jelas dari pernyataan bahwa pada ayat 11 surah al-Ra’d

ini terdapatlah bunyi wahyu “bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu

kaum kalau tidak kaum itu sendiri yang terlebih dahulu mengubah nasibnya”.

b. Tafsir al-Thabari

Al-Thabari dalam karyanya, Tafsir al-Thabari ketika menafsirkan

Q.S. al-Ra’d (13): 11, pada saat membahas firman Allah yang berbunyi ( ِ‫ا َّن‬

ِؕ‫)ّٰللاَ ََِلِيُغَي ُِّرِ َماِبقَ ۡو ٍمِ َحتّٰىِيُغَي ُِّر ۡواِ َماِبا َ ۡنفُسه ۡم‬
ّٰ inn Allah la yughayyiru ma bi qawmin
hatta yughayyiru ma bi anfushim. al-Thabari cenderung memahami

perubahan di masyarakat atau kaum. Yang dimaksudkan pada ayat ini adalah

perubahan dari hal positif ke hal yang negatif. Al-Thabari memahami kata ma

bi qawm pada ayat ini dengan hal yang positif berupa kesehatan dan nikmat (

‘afiyah wa ni’mah). Kesehatan dan nikmat itu bisa berubah dan bisa lenyap

karena perbuatan masyarakat atau kaum itu. Allah dapat menghilangkan

nikmat dan kesehatan yang diberikan kepada kaum tersebut dan dapat

menghancurkan mereka.

Menurut al-Thabari bahwa pelanggaran atau kezaliman yang

dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat kepada anggota masyarakat lain

dapat merubah keadaan suatu masyarakat dari kedaan positif ke keadaan

negatif, atau dalam bahasa Al-Thabari, pelanggaran dan kezaliman itu dapat

menghilangkan kesehatan dan nikmat, bahkan dapat menghancurkan

masyarakat tersebut. Sebagaimana tafsir al-Thabari ketika menjelaskan

makna yang terkandung pada surah al-Ra’d ayat 11 ini, al-Thabari cenderung

memahami perubahan di masyarakat atau kaum yang dimaksudkan juga pada

ayat 53 surah Al-Anfal sebagai perubahan dari hal positif ke hal yang negatif.
13

al-Thabari menghubungkan makna yang terkandung dalam ayat ini dengan

peristiwa perang Badar antara kaum Muslim dengan kaum musyrik Quraisy.

Perubahan positif menuju perubahan negatif yang dimaksud pada ayat

ini menurut al-Thabari, pada mulanya menggambarkan perubahan yang

terjadi pada masyarakat atau kaum Quraisy di Makkah yang menolak ajaran

kebenaran yang diserukan oleh Nabi Muhammad. Salah satu keadaan negatif

yang dialami oleh kaum Quraisy itu, seperti yang dinyatakan oleh al-Thabari,

adalah kekalahan retak yang mereka alami pada perang Badar. 11 Serupa

dengan gambaran yang dikemukakan oleh Hamka, kaum Quraisy sebenarnya


merupakan masyarakat yang dianugerahi banyak nikmat oleh Allah. Namun

karena kedurhakaan kaum Quraisy dan penentangan mereka terhadap

kebenaran yang di bawa oleh nabi Muhammad, maka nikmat dan keadaan

positif yang semula dinikmati oleh kaum Quraisy kemudian berubah menjadi

keadaan negatif.

Dari tafsir yang dikemukakan oleh al-Thabari mengenai makna yang

terkandung pada Q.S. al-Ra’d (13): 11 tersebut dapat disimpulkan bahwa

pelanggaran dan kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat dapat

menghilangkan dan merusak nikmat dan kesehatan fisik serta kesehatan

psikis yang ada pada masyarakat. Dengan demikian, setiap pelanggaran

hendaknya dicegah sedini mungkin, agar perubahan yang terjadi di

masyarakat merupakan perubahan yang positif, bukan perubahan yang

negatif.

c. Tafsir al-Misbah

Dalam buku Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menerjemahkan

penanggalan Q.S. al-Ra’d (13): 11 tersebut dengan sedikit perbedaan.

11
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an (Kairo: Maktabah
Ibn Taymiyah), t.th., jilid 14, hal 19.
14

Menurut Quraish Shihab, terjemahan yang tepat untuk penanggalan ayat

tersebut adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah

keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri

mereka”12

Perbedaan di atas terutama terletak pada perbedaan pemahaman

mengenai makna kata ‫ َماِبا َ ۡنفُسه ِۡؕم‬yang tercantum pad Q.S al-Ra’d itu. Tafsir

kementerian Agama cenderung memahami kata ma bi anfusihim ( ‫) َماِبا َ ۡنفُسه ِۡؕم‬

dengan makna “keadaan diri mereka sendiri”. Sedangkan Quraish Shihab

memahami kata ma bi anfusihim ( ‫ ) َماِبا َ ۡنفُسه ِۡؕم‬dengan makna “apa yang ada
pada diri mereka”. Menurut Quraish Shihab, ma bi anfusihim ( ‫) َما ِبا َ ۡنفُسه ِۡؕم‬

adalah sisi dalam mereka atau apa yang terdapat dalam diri mereka, seperti

pola pikir, sikap, mental dan sebagainya. Sisi dalam yang ada di masyarakat

inilah yang mampu membuat perubahan pola pada ma bi qawm (‫ ) َماِبقَ ۡو ٍِم‬yang

merupakan sisi luar atau sisi lahiriah masyarakat yang menyangkut sejumlah

hal, seperti kekayaan atau kemiskinan, kesehatan atau penyakit, dan

sebagainya.13

Firman Allah: ِ‫س ۡۤو ًءاِفَ ََلِ َم َردَِّلَه‬ ّٰ َ‫ َواذَ ۤاِا َ َراد‬yang artinya: “Apabila
ُ ِ‫ِّٰللاُِبقَ ۡو ٍم‬
Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat

menolaknya”. Hal tersebut adalah penegasan tentang kandungan

penganggalan tentang sunnatullah bagi terjadinya perubahan, khususnya dari

positif menjadi negatif. Yakni tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat

menghalangi berlakunya ketentuan sunnatullah itu. Penanggalan itu

menguatkan sekali hakikat yang berulang-ulang yang ditegaskan oleh Al-

Qur’an bahwa sesuatu kembali kepada pengaturan Allah dan kehendak-Nya.

Ayat tersebut juga menegaskan bahwa perubahan yang dilakukan Allah atas

12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 6, hal. 565
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 6, hlm. 569
15

manusia tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih dahulu melangkah.

Demikian sikap dan kehendak manusia menjadi “syarat” yang mendahului

perbuatan Allah Swt, sungguh ini merupakan suatu penghormatan yang luar

biasa.

5. Kandungan Ayat

Di dalam Q.S. al-Ra’d (13): 11 membicarakan dua bentuk perubahan

dengan dua pelaku perubahan yang berbeda. Keduanya yaitu perubahan

masyarakat yang pelakunya adalah Allah dan perubahan keadaan dalam diri

masyarakat yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang pertama bersifat


mutlak dan tidak perlu dijelaskan. Sementara bentuk perubahan yang kedua

memerlukan penafisran serta analisa yang mendalam, tentunya dengan

memperhatikan realita sosial. Berdasarkan kandungan Q.S. al-Ra’d (13): 11,

terindikasi adanya dua hal pokok dalam proses perubahan masyarakat. Pertama,

perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan individu atau personal.

Kedua, secara berangsur-angsur, dalam arti perubahan personal harus diikuti

dengan perubahan struktural, artinya setelah mengajarkan kewajiban seorang

muslim terhadap Tuhan dan sesamanya (aspek individual), Islam menetapkan

aspek-aspek institusional, seperti institusi zakat dan sebagainya.

Menurut Quraish Shihab, Q.S al-Ra’d (13): 11 terdapat dua macam

perubahan dengan dua pelaku. Perubahan pertama adalah perubahan masyarakat

yang pelakunya adalah Allah. Sedangkan perubahan kedua adalah perubahan

keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan

kedua yang merupakan perubahan keadaan diri manusia ini dapat dipahami dari

kata ma bi anfusihim yang terdapat pada ayat tersebut. Kata ma bi anfusihim ini

dapat diterjemahkan dengan “apa yang terdapat dalam diri mereka”. Ma bi

anfusihim atau apa yang terdapat dalam diri manusia ini, masih menurut Quraish
16

Shihab, terdiri dari dua unsur pokok. Dua unsur pokok itu adalah nilai-nilai yang

dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan antara nilai yang dihayati

dan iradah (kehendak) ini dapat menciptakan kekuatan pendorong dalam diri

manusia untuk melakukan sesuatu, seperti perubahan sosial.14

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa menurut Al-Qur’an, pada

hakikatnya perubahan sosial adalah perubahan atau transformasi kesadaran. 15

Kesadaran ini termasuk dalam kata ma bi anfusihim yang terdapat pada Q.S, al-

Ra’d (13): 11. Transformasi kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk

mencerahkan, membebaskan diri atau jiwa dari kebodohan, penindasan dan dari
segala bentuk simbol-simbol zhulumat (kegelapan dan kezaliman), menuju nur

(sinar yang terang, cerah).

14
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hal. 322
15
Suwito, Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Syari’ati tentang Pemikiran
Islam Modern, Yogyakarta & Purwokerto, Unggun Religi & STAIN Purwokerto Press, 2004, hal.
94.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut para Mufassir, isi kandungan Qs. Al-Anfal: 35 adalah upaya

manusia untuk melakukan perubahan untuk mencapai kesuksesan yang diharapkan,

upaya tersebut sangatlah diperlukan supaya apa yang dicita-citakan dapat tercapai,

karena Allah tidak mengubah keadaan yang sudah ada jika manusia itu sendiri tidak

berusaha melakukan perubahan.

Kandungan Q.S. al-Ra’d (13): 11, terindikasi adanya dua hal pokok dalam

proses perubahan masyarakat. Pertama, perubahan masyarakat harus dimulai dari

perubahan individu atau personal. Kedua, secara berangsur-angsur, dalam arti

perubahan personal harus diikuti dengan perubahan struktural.

B. Saran

Kepada para pembaca, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari

sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan.

17
DAFTAR PUSTAKA

al-Mahally, J. A.-S. (n.d.). Tafsir Jalalain.

Al-Thabari. (n.d.). Tafsir al-Thabari Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an. Kairo:

Maktabah Ibn Taymiyah.

As-suyuthi, J. (n.d.). lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul, atau sebab turunnya ayat Al-

Qu’an. Gema Insani.

E.M, M. A. (2003). Terj. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Syafi’I.

Hamka. (1959). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Indonesia, D. A. (2010). Al-Qur’an Tajwid Dan Terjemahannya Dilengkapi Dengan

Asbabun Nuzul Dan Hadits Shahih. Bandung: Syaamil Qur’an.

Puspita, N. A. (2012). Implikasi Pendidikan Dari Qs. Al-Anfal Ayat 53 & Ar-Ra’du Ayat

11 Tentang Upaya Manusia Dalam Menentukan Nasibnya. Bandung.

Shihab, M. Q. (1996). Wawasan Al-Qur'an. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Q. (2005). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Suwito. (2004). Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Syari’ati tentang Pemikiran

Islam Modern. Yogyakarta & Purwokerto: Unggun Religi & STAIN Purwokerto

Press.

18

Anda mungkin juga menyukai