Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

PENGERTIAN, SEJARAH, KARAKTERISTIK,


PENYEBARAN, ULAMA, DAN KITAB
MAZHAB HANAFI, MALIKI, SYAFI’I, DAN HANBALI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih

DOSEN PENGAMPU:
M. IRFAN SYAIFUDDIN, M.H.I.

DISUSUN OLEH:
NAUFAL AFI ADANI (233161024)
APRILIA WAFIK ASISHA (233161034)
IRMA NUR NABILA (233161036)

TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, kami mendapat kesempatan untuk belajar serta menyelesaikan tugas
makalah pada mata kuliah Fiqih kelas 1B program studi Tadris Matematika dengan
Dosen Pengampu mata kuliah kami, Bapak M. Irfan Syaifuddin, M.H.I. Adapun judul
dari makalah kami yaitu "Pengertian, Sejarah, Karakteristik, Penyebaran, Ulama, dan
Kitab Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali".
Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, tentu saja tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak baik berupa, informasi, doa, dorongan serta motivasi. Kami
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi untuk
terselesaikannya tugas makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik kesalahan kata maupun tata
bahasa, sehingga makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
memohon kritik dan saran yang membangun, khususnya dari dosen pengampu mata
kuliah ini agar menjadi acuan bagi kami untuk menjadi lebih baik lagi dalam menyusun
makalah ini. Atas perhatiannya, kami mengucapkan terima kasih.

Sukoharjo, 19 Oktober 2023

Kelompok IV

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................................4
C. TUJUAN..................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. PENGERTIAN MAZHAB......................................................................................5
B. MAZHAB HANAFI................................................................................................6
C. MAZHAB MALIKI...............................................................................................13
D. MAZHAB SYAFI’I...............................................................................................17
E. MAZHAB HANBALI...........................................................................................24
BAB III PENUTUP.........................................................................................................31
A. KESIMPULAN......................................................................................................31
B. SARAN..................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................32

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber hukum Islam yang utama. Setiap per-
masalahan yang muncul pada suatu zaman berkaitan dengan hukum agama islam, maka
jawabannya harus bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini merupakan ketetapan
yang telah disepakati, dan sesuai dengan hadits Nabi, beliau bersabda:
‫ ِك َتاَب ِهللا َو ُس َّنَة َرُس ْو ِهِل‬: ‫َتَر ْك ُت ِف ْيْمُك َأْم َرْيِن َلْن َتِض ُّلْو ا َم ا َتَمَّس ْكْمُت ِهِب َم ا‬
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya“
Pada zaman ketika Rasulullah S.A.W. masih hidup, segala permasalahan dapat di-
tanyakan kepada Rasulullah S.A.W. secara langsung. Ketetapan Nabi Muhammad
adalah mutlak karena bersumber pada wahyu yang diterima sehingga tidak ada
pertentangan terhadap keputusan yang telah ditetapkan oleh Nabi S.A.W. Namun, pasca
kematiannya mulai timbul masalah dalam menetapkan hukum suatu perkara, yaitu
adanya perbedaan pemahaman dan pendapat dikalangan para mujtahid, mulai dari
Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi setelahnya.
Hal ini memunculkan berbagai metode/cara yang digunakan para mujtahid dalam
pengambilan hukum. Kemudian, para mujtahid ini mengajarkan metode/cara tersebut
kepada murid-muridnya sehingga murid-muridnya dapat menetapkan hukum suatu
perkara dengan metode yang telah ditetapkan oleh gurunya tersebut. Pengambilan
hukum dengan metode yang telah ditetapkan para mujtahid disebut Mazhab dalam ilmu
fikih.
Terdapat berbagai macam mazhab yang muncul sepanjang sejarah perkembangan
Islam. Namun, saat ini hanya terdapat 4 mazhab fiqih ahlusunnah wal jamaah yang
tersisa, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mazhab-mazhab ini
memiliki karakteristiknya masing-masing, serta kontribusi dalam perkembangan ilmu
fiqih. Adanya mazhab-mazhab ini memudahkan umat Islam dalam menjalankan syariat-
syariat Islam dan mempermudah penetapan hukum terhadap masalah-masalah baru
yang muncul berkaitan dengan hukum dalam agama Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Mazhab?
2. Bagaimana sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Hanafi?
3. Bagaimana sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Maliki?
4. Bagaimana sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Syafi’i?
5. Bagaimana sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Hanbali?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Mazhab.
2. Mengetahui sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Hanafi?
3. Mengetahui sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Maliki?
4. Mengetahui sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Syafi’i?
5. Mengetahui sejarah, karakteristik, persebaran, ulama dan kitab Mazhab Hanbali?

4
BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAZHAB
Kata Mazhab dalam bahasa Arab adalah ‫مذهب‬berasal dari kata sifat (masdar)
dari Fi’il madhy ‫ ذهب‬yang artinya menurut bahasa berarti berjalan atau pergi ( ‫) سار‬
dan bisa juga berarti pendapat.(‫ )الرأي‬Sedangkan Mazhab menurut istilah ulama
Fikih merumuskan, antara lain:(Maradingin 2020:5–6)
1. Menurut Muslim Ibrahim “Mazhab” adalah paham atau aliran pikiran yang
merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang
digali dari ayat Al-Qur’an atau Al- hadis yang dapat di ijtihadkan.
2. Menurut Abdur Rahman “Mazhab” adalah pendapat, paham atau aliran
seseorang alim besar dalam islam yang digelari Imam seperti empat Imam besar:
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang di sebarkan oleh murid para Imam ke
berbagai Negara.
3. Menurut Wahbah Az-Zuhailiy “Mazhab” adalah segala hukum yang
mengandung berbagai masalah baik di lihat dari aspek metode yang
mengantarkan pada kehidupan secara keselu- ruhan maupun aspek hukumnya
sebagai pedoman hidup.
4. Menurut Huzaemah Tahido Yanggo “Mazhab” adalah pokok pikiran atau dasar
yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau
mengistimbathkan hukum islam. Selanjutnya pengertian Mazhab berkembang
menjadi sekelompok umat Islam yang mengikuti cara istidlal Imam Mazhab
tertentu tentang masalah hukum Islam.
Thaha Jabir Fayadl Al-‘Ulwani,menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul
setelah sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga belas aliran itu
beraliran ahl assunnah. Akan tetapi, tidak semua aliran-aliran tersebut dapat
diketahui dasar-dasar metode istinbath hukum yang digunakan, kecuali Sembilan
atau sepuluh dari ketiga belas imam tersebut. Diantara aliran tersebut, yaitu al-Hasan
al-Bashri , Abu Hanifah, Al-Auza’I, Sufyan Al-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d, Malik bin
Anas, Sufyan Bin ‘Uyainah, Muhammad Bin Idris al-Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal,
Daud al-Zhahiry, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur Ibrahim Bin Khalid al-Kalabi,
Binu Jarir al-Thabari .
Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan para imam mazhab. Inilah
mazhab- mazhab fiqh yang dikenal dikalangan Sunni.Selain itu terdapat pula
mazhab-,mazhab dari kelompok syi’ah seperti mazhab Zaidiyah, Mazhab Imamiyah,
Mazhab Isma’iliyah, mazhab Ibadhiyah. Menurut Ibrahim Addausuqy pada maa ini
terdapat sampai delapan belas mazhab. Sebagian diantara nya masih ada dan
berkembang sampai sekarang, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali,
Syi’ah Zaidiyah, Mazhab Imamiyah, mazhab Isma’iliyah, Ibadhy dan Azzhahiriy.
Adapun yang lainnya sudah tidak ada lagi (Mawardi 2022:104–5).
Secara umum, proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha
para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam
kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam
mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut dikalangan
masyarakat. Karena pada dasrnya para imam mazhab tidak mengakui, atau

5
mengklaim sebagi “mazhab”. Secara umum mazahb berkaitan erat dengan nama
imam atau tempat.

6
B. MAZHAB HANAFI
Nama asli Abu Hanifah adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha. Dalam
riwayat yang lain disebut an-Nu’man bin Tsabit bin al-Marzaban.Imam Abu Hanifah
lahir di Kufah salah satu kota besar di Irak- pada tahun 80 H/ 659 M, dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M(Jauhari 2018a:5).
Imam Abu Hanifah tumbuh menjadi seorang ahli dalam berbagai disiplin ilmu.
Mulai dari logika, ushuluddin, hadits dan fiqih. Kecepatan hafalan, ketajaman
pemikiran dan kekuatan logikanya mengantarkan beliau menjadi pemuka ahli ilmu
di zamannya. Hingga pada akhirnya ilmu fiqihlah yang menjadi konsentrasi kajian
Imam Abu Hanifah(Jauhari 2018a:12).
1. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Hanafi
Kemunculan madzhab Hanafi berawal pada permulaan abad kedua
Hijriyah, tepatnya pada tahun 120 Hijriyah. Itu terjadi pada hari ketika Abu
Hanifah menduduki jabatan mufti dan pengajar menggantikan gurunya Hammad
bin Sulaiman. Maka tahun tersebut menjadi saksi atas pertumbuhan madzhab
pertama yang diakui.
Dari madrasah fiqih yang diketuai sendiri oleh Abu Hanifah ini, Madzhab
Hanafi meluas dan menyebar, di mana Abu Hanifah memiliki murid-murid dan
pengikut yang selalu menghadiri halaqohnya, membukukan pendapat-
pendapatnya dan menyebarkannya, sehingga mereka itu terutama dua orang
pengikutnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad- memiliki andil yang besar atas
berdirinya madzhab ini dan penyebaran pendapat dan perkataannya. Binu Abdi
al- Barr rahimahullah berkata: “Abu Hanifah memiliki pengikut yang agung,
para pemimpin dunia. Di tangan merekalah fiqihnya dikenal. Yang paling senior
adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshori”.
Binu Hajar al-Haitami berkata: “Abu Hanifah dikaruniai keberuntungan
besar dengan para pengikutnya, mereka meletakkan dasar-dasar ajaran mazhab,
dan cabang-cabangnya, menelaah hal-hal yang tersurat dan tersirat darinya,
hingga segala puji bagi Allah menjadi kaidah yang kokoh dan sangat berharga”.
Sementara Abu Yusuf: adalah orang yang pertama kali menulis kitab-kitab
dalam madzhab Abu Hanifah. Ia membukukan pendapat-pendapat dan
riwayatnya disela-sela karangan-karangannya; seperti kitab (Al-Atsar) yang ia
riwayatkan dari Abu Hanifah, dan kitab(Ikhtilaf Bini Abi Laila) yang di
dalamnya dia mengunggulkan gurunya atas rivalnya Binu Abi Laila, dan kitab
(Ar-Roddu ala Siyar al-Auza’i) yang didalamnya dia juga mengunggulkan
madzhab dan gurunya.
Ditambah lagi, Abu Yusuf memegang tampuk jabatan hakim pada
pemerintahan Abbasiyah selama enam belas tahun, dan urusan pemilihan para
hakim dan penempatan mereka di seluruh wilayah pemerintahan Daulah
Abbasiyah diserahkan kepadanya, yang mana biasanya ia tidak menunjuk
seseorang kecuali yang bermadzhab Hanafi. Hal itu memberikan pengaruh besar
pada penyebaran fiqih Abu Hanifah dan pendapatnya di penjuru-penjuru
wilayah kekhilafahan Islam.
Adapun Muhammad bin al-Hasan, ia adalah periwayat aktif madzhab
Hanafi yang juga menyebarkan ilmu Abu Hanifah dengan karya-karyanya yang
banyak jumlahnya, dimana ia membukukan enam kitab dasar madzhab Hanafi,

7
yang dikenal dengan kitab-kitab (Zhohiru ar-Riwayah), yang terhitung sebagai
kitab-kitab referensi pertama dalam fiqih Hanafi. Dan kitab-kitab enam tersebut
adalah Al-Mabshuth ”al-Ashlu”, Az- Ziyadat, Al-Jami’ as-Shoghir, Al-Jami’al-
Kabir, As-Siyar as-Shoghir, As-Siyar al-Kabir).
Fase dan periodisasi madzhab Hanafi dari pertumbuhan hingga sekarang
bisa di bagi dalam tiga fase:(Susanto 2016:34–39)
a. Fase Pertama: Pembentukan dan Pertumbuhan Madzhab (120- 204 H)
Fase ini dimulai sejak masa Imam Abu Hanifah hingga wafatnya Al-
Hasan bin Ziyad al-Lu’luiy (Wafat 204 H), salah satu dari murid senior.
Maksud dari fase tersebut adalah fase pembentukan dan berdirinya
madzhab, peletakan dasar dan penegakan pondasi yang diatasnya bisa
ditentukan kesimpulan hukum, juga penjabaran cabang-cabangnya, yang
kesemuanya telah sempurna di tangan Imam Abu Hanifah sendiri dan atas
pengawasannya, sebagaimana dikuatkan oleh Abu Zahroh, dengan
partisipasi dari murid-murid seniornya, dimana Abu Hanifah rahimahullah
mempunyai metode dalam mengajar yang unik, yaitu dengan cara dialog dan
debat dalam masalah-masalah fiqih hingga sebuah pendapat menjadi matang
dan menjadi kesimpulan hukum, dan saat itulah beliau memerintahkan Abu
Yusuf untuk membukukannya.
Al-Muwaffaq Binu al-Makki rahimahullah berkata menjelaskan
metode Abu Hanifah ketika mengajar pengikutnya: Abu Hanifah meletakkan
madzhabnya dengan sistem syuro di antara mereka, tidak otoriter tanpa
melibatkan mereka; sebagai bentuk ijtihad darinya dalam urusan agama, dan
sikap puncak dalam menegakkan nasehat untuk Allah, Rasul-Nya, dan kaum
mukminin. Maka beliau melontarkan kepada mereka masalah demi masalah,
menggulirkannya, mendengar pendapat dari sisi mereka dan menyampaikan
pendapatnya, dan membuka wacana debat dengan mereka sebulan atau lebih
hingga muncul salah satu pen- dapat terkuat dalam masalah tersebut, lalu Al-
Qodhi Abu Yusuf meletakkannya dalam dasar-dasar madzhab, hingga semua
dasar menjadi sempurna”.
Berdasarkan hal itu, maka murid-murid Abu Hanifah berpartisipasi
dalam mendirikan bangunan fiqih ini, dan tidak hanya menjadi pendengar
semata dan menerima sepenuhnya apa yang dilontarkan imam Abu Hanifah
kepada mereka.
Dan bukan hanya Abu Yusuf saja yang membukukan pendapat yang
telah mapan, bahkan ada sepuluh orang dalam halaqoh Abu Hanifah yang
bertugas membukukannya, yang paling menonjol adalah empat tokoh besar:
(Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Zufar bin Al-Hudzail, Al-Hasan bin
Ziyad).
Para pengikut tersebut -terutama dua orang yaitu (Abu Yusuf dan
Muhammad bin al-Hasan) mengembangkan dan merevisi madzhab dengan
perjuangan besar setelah wafatnya Abu Hanifah. Mereka merevisi pendapat-
pendapat yang menjadi rujukan mereka pada masa guru mereka,
mengulasnya dan menganalisis ulang berdasarkan dalil-dalil yang baru,
perubahan dan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
karena itulah kita mendapati Abu Yusuf dan Muhammad seringkali tak lagi
memakai pendapat yang menjadi sandaran Abu Hanifah ketika mereka

8
menelaah pendapat-pendapat ahli ilmu yang ada di Hijaz (Mekkah dan
Madinah).
Dan di antara efeknya, mereka berseberangan dengan imam mereka
dalam beberapa masalah pokok dan cabang, meski demikian mereka
hanyalah berijtihad dan tetap berafiliasi pada Imam mereka karena tetap
bersandar pada kaidah-kaidahnya dan berjalan di atas metodenya dalam
berijtihad. Karena itulah pendapat-pendapat mereka dibukukan bersamaan
dengan pendapat Abu Hanifah, dan seluruhnya terhitung sebagai satu
madzhab bagi para pengikut madzhab Hanafi. Bahkan fatwa bagi kalangan
mereka kadang berdasarkan pendapat Abu Hanifah, kadang juga berdasar
pendapat dua pengikutnya tersebut, atau pengikut yang lain.
b. Fase Kedua: Perluasan, Perkembangan dan Penyebaran (204- 710 H)
Fase ini dimulai dari wafatnya Imam Al-Hasan bin Ziyad ( 204 H), dan
berakhir dengan wafatnya Imam Hafizhuddin Abdullah bin Ahmad bin
Mahmud an-Nasafi (Wafat 710 H), pengarang kitab matan yang terkenal
(Kanzu ad-Daqoiq). Ini berarti bahwa fase ini dimulai pada permulaan abad
ketiga hingga akhir abad ketujuh Hijriyah.
Fase ini merepresentasikan fase yang paling berkembang dan kaya di
antara fase-fase yang pernah dilalui fiqih Hanafi dari segi perluasan dan
penyebaran, perluasan ijtihad-ijtihadnya dan perkembangan pendapatnya.
Pada permulaan fase ini muncul tingkatan masyayikh atau ulama senior
madzhab yang mengerahkan daya upaya yang optimal untuk merevisi
madzhab, menentukan batasan istilah-istilahnya, dan penjelasan dasar tarjih
dan takhrij. Dan kitab-kitab karya Muhammad bin al-Hasan atau yang
disebut dengan kitab-kitab (Zhohiru ar-Riwayah) adalah representasi awal
dari madzhab dan juru bicara bagi buah pikir dan pendapat- pendapatnya.
Sebagaimana pada fase ini gerakan menulis dan membukukan menjadi
giat dan mencakup berbagai pembahasan dan permasalahan fiqih, dan
menawarkan penjelasan pendapat madzhab atas masalah dan persoalan baru
yang terjadi pada fase tersebut. Sehingga muncullah kitab-kitab matan atau
ringkasan , seperti Mukhtashor At-Thohawi (wafat 321 H), Al-Karkhi (wafat
340 H), Al-Qoduri (wafat 428 H), dan (Bidayatu al-Mubtadi’) karangan Al-
Marghinani (wafat 593 H), dan lain-lain. Sebagaimana bermunculan juga
kitab syarah dan kitab yang membahas permasalahan dengan panjang lebar
seperti (Al- Mabsuth) karya As-Sarakhsiy (wafat 490 H), (Badai’u as-
Shonai’) karya Al- Kasani (wafat 587 H), (Al- Hidayah) karya Al-
Marghinani, dan lain sebagainya. Sebagaimana bermunculan juga kitab-kitab
fatwa dan tanggapan atas berbagai peristiwa dan tragedi seperti kitab
Nawazil karya As- Samarqandi (wafat 373/ 375 H), dan fatwa-fatwa Al-
Halwani (wafat 448 H), fatwa-fatwa as-Shodru as-Syahid (wafat 536 H),
fatwa-fatwa Al-Qodlikhon (wafat 592 H), dan karya-karya lainnya yang
sungguh terhitung sebagai kekayaan yang berharga dan agung dari
peninggalan madzhab Hanafi yang diwariskan kepada kita oleh fase yang
penuh semangat dari sejarah madzhab Hanafi tersebut.

9
Pada fase tersebut, tepatnya pada abad keempat Hijriyah juga muncul
karangan jenis lain dari pengikut madzhab Hanafi, yaitu yang lebih dikenal
dengan ‘at-ta’shil al-haditsiy’ (peneguhan fondasi pemahaman hadits)
menurut madzhab, sebagaimana yang diisyaratkan dalam kitab-kitab hadits
karya Imam At-Thohawi seperti (Syarh Ma’ani al- Atsar), dan (Musykilu al-
Atsar).
Muncul juga dua madrasah ushul menurut pengikut madzhab Hanafi,
masing-masing punya kekhasan yang membedakan dengan madrasah yang
lain, yaitu:
1) Madrasah al-Iroqiyyin, yang dipimpin oleh Abu al-Hasan al- Karkhi: dan
terhitung sebagai perluasan dari metode Imam Abu Hanifah dan
pengikutnya yang terdahulu.
2) Madrasah Masyayikh Samarqan, dipimpin oleh Abu Manshur al-
Maturidi: yang memiliki ciri khas mengaitkan masalah ushul fiqh dengan
masalah akidah, yang menyebabkan terjadinya beberapa perbedaan dan
karakteristik yang berbeda dengan Madrasah Iraqiyyin.
c. Fase Ketiga: Fase Kemapanan (710 H-sekarang)
Fase itu bermula dari wafatnya Imam An-Nasafi (Wafat 710 H), atau
dari permulaan abad kedelapan Hijriyah hingga zaman kontemporer kita ini.
Hal yang paling membedakan fase ini adalah menggejalanya
kemandegan fiqih dan perkembangannya yang stagnan, berbanding terbalik
dengan kondisi pada fase sebelumnya, di mana para pengikut madzhab pada
fase ini mencukupkan diri dengan pendapat dan perkataan fiqih yang
ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu, mereka tidak melampaui capaian
tersebut kecuali hanya sebatas penjelasan, catatan, komentar, atau bantahan.
Sehingga sebagian besar karangan yang ada pada fase tersebut berkisar pada
kajian tersebut.
Imbasnya adalah permasalahan madzhab dan cabangnya mendapat
perhatian yang penuh dari segi pembahasan, diskusi, penjelasan, dan
penguatan, yang menjadikan pendapat yang kuat tampak semakin jelas.
Bisa jadi di antara yang menggambarkan kejumudan yang menjadi
tanda fase tersebut; bahwa seorang mujtahid yang sampai pada martabat
ijtihad tidak punya keleluasaan untuk keluar dari pendapat madzhab kecuali
mendesak, meskipun dengan ijtihadnya ia menemukan kesimpulan yang
lebih kuat dalilnya dari seluruh pendapat madzhab. Binu Abidin berkata
mengomentari sebuah ucapan yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah:
“Jika sebuah hadits adalah shohih, maka ia madzhabku”- ‘Hendaknya itu
diikat dengan hal yang sesuai dengan pendapat madzhab’, karena dalam
berijtihad tidak diizinkan keluar dari madzhab secara keseluruhan; yang
telah disepakati oleh para imam kita; karena ijtihad mereka lebih kuat dari
ijtihadnya orang tersebut”.
Berdasarkan hal itu, mereka menolak hasil tarjih yang dilakukan oleh
Binu al-Humam, seorang penutup para peneliti sebagaimana dikatakan oleh
Binu Abidin, dan mereka tidak menggunakannya sampai-sampai muridnya
yang bernama Al-Allamah Qosim berkata: “Penelitian-penelitian guru kami
yang menyalahi madzhab tidak dipakai.

10
2. Karakteristik Mazhab Hanafi
Karakteristik yang menonjol dari Mazhab Hanafi, ialah keketatan dalam
menyeleksi hadits/khabar yang diterima sehingga penggunaan akal//ra’yu lebih
banyak dijadikan hujjah dalam menetapkan syariat.
Di kalangan para ulama, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai imam
mujtahid yang paling banyak menggunakan qiyas(Said 2006:151). Beliau benar-
benar selektif dalam menerima hadits, sehingga hadits yang dipandang lemah,
beliau tinggalkan dan lebih mengutamakan rasio(analogi atau qiyas)(Hasan
2002:186). Kata Dr. Ahmad Amin, kurangnya hadits pada Abu Hanifah
menunjukkan ketidakpuasannya dengan penyampaian hadits saja, beliau
menguji hadits dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Banyak
sekali kasus-kasus penolakan Abu Hanifah terhadap hadits demi ra’yu. Seperti:
(Hasan 2002:164–65)
a. Nabi mengundi istri-istrinya bila mau berpergian. Kata Abu Hanifah:”undian
adalah judi”.
b. Rasululullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum
menyembelih hewan kurbannya. Kata Abu Hanifah:”isy’ar itu
penganiayaan”.
Ulama-ulama Mazhab Hanafi menolak khabar ahad terkait masalah yang
menimpa orang banyak(Said 2006:127). Mereka berhujjah bahwa adat
menghendaki penyebarluasan riwayat yang menyangkut problematika banyak
orang, seperti menyentuh kemaluan, seandainya ia termasuk hal yang
membatalkan wudhu, tentu Rasulullah akan menyebarluaskannya, dan beliau
tidak cukup menyampaikan kepada seorang saja, namun disampaikan kepada
sejumlah orang hingga mencapai derajat muttawatir atau masyhur. Tentu beliau
akan bersungguh-sungguh dalam menyebarluaskannya supaya tidak
mengakibatkan batalnya shalat kebanyakan umat tanpa disadarinya.
Oleh karena itu, menurut mazhab ini qiyas didahulukan atas khabar
ahad(Said 2006:138). Bagi mereka, qiyas itu lebih kokoh daripada khabar ahad
mengingat boleh jadi terdapat kelalaian atau kebohongan atas perawi. Hal ini
tidak mungkin terjadi pada qiyas. Sebab, qiyas tidak memungkinkan
pentakhsisan sedangkan khabar memungkinkannya. Karenanya, sesuatu yang
tidak mengandung kemungkinan lebih didahulukan dari sesuatu yang
mengandung kemungkinan.
Mazhab Hanafi juga menjadikan Istihsan sebagai istinbath hukum apabila
metode qiyas tidak membuahkan hasil. Istihsan menurutnya bukanlah perkataan
berdasarkan hasrat dan kesukaan belaka, bukan pula beramal tanpa pijakan dalil
syar’i, karena beliau kedudukannya jauh lebi mulia dan juga sangat wara’ dari
melakukan hal itu(Susanto 2016:45). Namun istihsan menurut beliau adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Karkhi: “Seseorang
menganulir hukum pada suatu permasalahan (yang seharusnya) berlaku hukum
yang telah ditetapkannya pada permasalahan yang semisal dengannya dan
beralih kepada hukum yang berlawanan dengannya karena ada pertimbangan
yang lebih kuat dan menuntutnya menganulir hukum yang pertama.”

11
3. Persebaran Mazhab Hanafi
Perjalanan madzhab Hanafî sebagai salah satu madzhab populer
dikalangan umat Islam dari awal kemunculannya hingga sekarang setidaknya
memiliki riwayat historis yang sangat panjang dan rumit. Apabila kita analisis
dengan berupaya merekonstruksi ulang kajian historis berdirinya madzhab ini
serta bagaimana pengaruhnya dapat tersebar ke berbagai wilayah penjuru dunia,
hal ini tidak akan terlepas dari sosok Imam Abu Hanifah itu sendiri serta para
ulama-ulama setelahnya dalam memperjuangkan eksistensi madzhabnya.
Diantara murid-muridnya yang turut serta aktif dalam gerakan dakwah beliau
adalah Abu Yusuf al-Qadhi, Muhammad bin Hasan, Zafru bin Hudzail, serta
Hasan bin Ziyad al-Lu’lui. Mereka semua adalah murid yang paling produktis
serta aktif dalam gerakan kajian keilmuan yang digagas oleh gurunya Abu
Hanifah di wilayah Iraq. Di wilayah inilah mereka mengembangkan pemikiran
serta gagasan imam Abu Hanifah dalam fiqihnya. Tidak hanya diwilayah Iraq
saja, pemahaman dan pemikirannya pun sempat disebarkan ke wilayah Bashrah
dan Baghdad (Supriadi, Islamy, dan Hermawan 2021:291).
Pada tahun 1869 H sampai dengan 1876 H, terjadi satu peristiwa penting
yang menandai kokohnya eksistensi pengaruh madzhab Hanafî pada wilayah
pemikiran serta fiqih Islam secara global yaitu dibentuknya satu lajnah khusus
atas perintah penguasa dimana tugas utamanya adalah mengumpulkan dan
menaruh dasar-dasar rancangan hukum-hukum syaria’t sebagai satu upaya solusi
untuk menjembatani berbagai permasalahan yang muncul pada waktu itu.
Kebijakan ini tentunya menjadi angin segar bagi madzhab Hanafî. Lajnah Ini
sebagai bentuk kepercayaan penuh dari pemerintah kepada para alim ulama
Hanafîyyah untuk merumuskan syaria’h Islam. Kajian-kajian fiqih khususnya
aspek wilayah mu’amalah menjadi satu kajian utama dalam diskusi dan dialog
ditataran para ulama Hanafî. Hasil kajian fiqih tersebut pada akhirnya, pada
tanggal 26 Sya’ban tahun 1293 H diresmikan. Penamaan dari kajian tersebut
diberi nama “Majallatu al-Ahkãm al-Adliyyah”. Selain dilegalkan serta
digunakan di Daulah Abbasiyyah sebagai undang-undang resmi, aturan tersebut
di terapkan pula di Negara Iraq sehingga pada tahun 1951 ia menjadi undang-
undang resmi pemerintah Iraq (Supriadi et al. 2021:293).
Di Mesir mazhab Hanafi tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada
masa itu. Hal ini dikarenakan keterpopuleran Hanafî sedikit di biaskan oleh
masuknya ulama karismatik Mãlikî serta munculnya Imam Syafi’i ditengah
masyarakat Mesir ketika waktu itu. Disamping madzhab-madzhab yang ada,
rupaya negara Mesir tidak terlepas dari doktrinisasi teologi firqah-firqah diluar
ahlu Sunnah wal Jamaah. Hal ini terjadi tatkala munculnya dinasti Fatimiyyah,
dimana pada masa ini para penguasa dan stake holdernya mencoba
memunculkan paham-paham Syi’ah Isma’iliyyah (Supriadi et al. 2021:294).
Penyebaran madzhab Hanafî selain terjadi di beberapa wilayah Iraq,
Baghdad, Mesir, Yaman dan lainnya, rupaya madzhab ini berkembang pula di
wilayah Afrika seperti di Maroko dimana menurut para ahli sejarawan,
masuknya disana kira kira pada tahun 400 H, bahkan pengaruhnya sampai
kepada Jazirah Shaqliyyyah (Sisilia).18 Madzhab ini sampai pula ke negara
Andalusia, walaupun pada proses perjalanannya, madzhab yang lebih kuat ke
depannya adalah madzhab Mãlikî.

12
Di zaman sekarang, sebaran madzhab Hanafî tersebar dibeberapa Negara
Besar, seperti di Iraq, Suriah, Lebanon. Di Mesir mayoritas penduduknya
berpegang kepada madzhab ini. Negara Mesir dan Sudan merupakan dua Negara
yang menerapkan madzhab Hanafî dalam sebagian kajian fiqihnya khususnya
pada bidang al-Ahwal asy-Syahsiyyah (hukum keluarga). Lalu Tunisia dimana
mayoritas tersebar di ibukotanya. Adapula di Negara Maroko namun tidak
dominan sebagaimana di negara lain. Di Yaman, madzhab ini di ikuti khusus di
sekitar wilayah Aden. Sebaran terjadi pula di negara Turki, Albania, Negara
Balkan, Armenia, India, Pakistan, Afganistan dan Turkistan. Brazil dan Amerika
bagian Selatan (Supriadi et al. 2021:294–95).

4. Ulama dan Kitab Mazhab Hanafi


Kebesaran nama Abu Hanifah ternyata dalam sepanjang hidupnya pendapat-
pendapatnya tidak sempat dituliskan dengan melahirkan karya-karyanya
fundamental. Namun beberapa murid Abu Hanifah yang kemudian mashur
menjadi penerus mazhab Hanafi diantaranya:(Maradingin 2020:63–64)
a. Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Ansari (w. 183 H).
Ia adalah orang yang pertama-tama menyusun buku-buku menurut
mazhab Abu Hanifah , mendiktekan masalah-masalah dan menyiarkannya,
tersiarlah ilmu Abu Hanifah ke penjuru dunia melalui buah karyanya. Abu
Yusuf banyak menulis kitab fikih di antaranya: Kitab al- Zakat, Kitab al-
Siyam, Kitab al-Faraid, Kitab al-Buyu’, al- Hudud, al-Wakalah, al-Wasaya,
Ikhtilaf al-Amsar, al-Radd ‘ala Malik ibn Anas dan Risalah Kharrija al-
Rasyid.
b. Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H).
Ada enam kitab karyanya yang terkenal yaitu : al-Mabsut, al- Jami’ al-
Kabir, al-Jami’ al-Sagir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Sagir dan al-Ziyadat.
c. Hasan ibn Zayad al-Lu’lu’I al-Kufi Maula al-Ansar (w. 204 H).
Kitab karangan beliau antara lain, al-Qadi, al-Kiza, Ma’ani al- Iman,
al-Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraid, al-Wasaya dan al- Amani.
Selain karangan murid Abu Hanifah yang disebutkan di atas, terdapat
pula karangan para pengikutnya sebagai corong pemikir mazhab ini di
antaranya:(Maradingin 2020:64)
a. Syamsuddin al-Sarakhsi karyanya al-Mabsut.
b. Ibn al-Humam karyanya Fath al-Qadir.
c. Zamakhsyari karyanya Ru’us al-Masail.
d. Ibn Abidin karyanya Radd al-Muhtar.
e. Al-Kasani karyanya Bada’I al-Sana’i.
f. Samsuddin ibn Qadir karyanya Nataij al-Afkar.
g. Ala al-Din Hasan Ali ibn Khalil karyanya Mu’in al-Hukkam.

13
C. MAZHAB MALIKI
Imam Malik bin Anas dilahirkan di kota Madinah. Menurut riwayat yang kuat
beliau dilahirkan pada tahun 93 H (712 M). Memiliki kunyah Abu Abdillah, diambil
dari nama putra laki-lakinya; Abdullah.
Imam Malik dikaruniai usia yang panjang, mendekati sembilan puluh tahun.
Kurang lebiih hidup di bawah era bani Umayyah selama 40 tahun. Dan 47 tahun di
masa awal Bani Abbasiyah. Imam Malik mengalami lima sirkulasi kekhilafahan
Bani Umayyah: al-Walid bin Abdil Malik, Sulaiman bin Abdil Malik, Umar bin
Abdil Aziz, Yazid bin Abdil Malik dan Hisyam bin Abdil Malik. Sedangkan dari
Bani Abbasiyah, Imam Malik mengalami masa kepemimpinan Abu al-Abbas, Abu
Ja’far al-Manshur, al-Mahdi, al-Hadi dan Harun ar-Rasyid(Jauhari 2018c:6).
1. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Maliki
Madzhab Maliki sejak masa pembentukan hingga menjadi matang dan
sempurna melewati beberapa fase ilmiah yang berbeda-beda, serta beberapa
marhalah yang beragam, dan setiap fase memiliki kekhasan dan kelebihan yang
membedakannya dengan fase lainnya.
Fase-fase tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga fase:(Susanto 2016:77)
a. Fase Kemunculan dan Pembentukan ( 110 H-300 H)
Ini adalah fase peletakan dasar dan pembentukan, dan di mulai sejak
imam madzhab, imam Malik rahimahullah menjabat sebagai mufti, dan
orang-orang menyerahkan kepadanya posisi imam pada tahun (110 H), dan
selesai dengan berakhirnya abad ketiga. Fase ini dihiasi dengan kejeniusan
sekelompok murid Imam Malik dan murid-murid mereka; di antaranya
adalah: ilmuwan Iraq Al- Qodhi Ismail bin Ishaq (Wafat 282 H), pengarang
kitab (Al- Mabsuth), buku terakhir yang terbit pada fase ini.
Fase ini memiliki keunggulan berupa kumpulan riwayat dan perkataan
yang didengar dari Imam Malik, kemudian disusun dan dibukukan dalam
karangan yang terpercaya, dan diberi tambahan yang berupa ijtihad dan
takhrij dari murid-murid imam Malik. Di antara kitab terpenting yang
dikarang pada fase ini adalah: buku induk yang empat, yaitu: (Al-
Mudawwanah), (Al- Wadhihah), (Al- Utbiyyah), dan (Al- Mawwaziyyah).
b. Fase Perkembangan (301 H-600 H)
Fase ini berada dalam genggaman tangan ulama madzhab Maliki yang
jenius, yang membuat cabang permasalahan, menguji coba, kemudian
melakukan tarjih dan mengenalkannya pada masyarakat umum. Yang
dimaksud dengan perkembangan di sini adalah mencakup maknanya yang
utuh dan sempurna, yang meliputi: penentuan cabang-cabang, penerapan, dan
tarjih.
Fase ini diawali kurang lebih sejak permulaan abad keempat Hijriyah,
dan berakhir dengan berakhirnya abad keenam dan permulaan abad ketujuh,
atau dengan wafatnya Binu Syas (Wafat 610 H atau 616 H); orang keempat
yang dijadikan rujukan oleh Kholil bin Ishaq (Wafat 767 H); pengarang kitab
Mukhtashar yang paling terkenal dalam fiqih Maliki.

14
Fase ini memiliki ciri khas berupa munculnya kecenderungan untuk
melakukan telaah, koreksi, pemilahan, ringkasan dan perluasan. Demikian
juga tarjih atas perkataan, simaat dan riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab
pada fase sebelumnya; sehingga menjadi semacam pemilahan dan
penyaringan atas apa yang telah dicapai pada fase pengumpulan dan
penyusunan.
Di antara karangan ringkasan yang termasyhur pada fase ini adalah:
(At- Tafri’) karangan Binu al- Jallab ( Wafat 378 H), (Tahdzib al-
Mudawwanah) karangan Al- Baradzi’i ( Wafat 438 H).
c. Fase Kemapanan (601 H-sekarang)
Fase ini dimulai dari sekitar abad ketujuh Hijriyah, atau dengan
munculnya kitab Mukhtashar karangan Binu al- Hajib al- Far’i, yang dikenal
dengan (Jami’ al- Ummahat), dan berlangsung hingga sekarang.
Fase ini adalah fase ulasan, ringkasan, catatan, dan pemberian
komentar, dan ia adalah tanda yang biasanya muncul ketika ulama madzhab
sampai pada masa keyakinan bahwa ijtihad-ijtihad ulama terdahulu tak
meninggalkan ruang untuk melakukan ijtihad lagi; kecuali hanya berupa
upaya memilih, meringkas, dan mensyarah.
Fase ini juga menyaksikan terjadinya percampuran/asimilasi antara
berbagai pendapat dalam madrasah Maliki, kemudian menyatu dalam satu
cawan; yang melahirkan berbagai kitab fiqih yang merepresentasikan
pendapat madzhab, tanpa memandang afiliasi lembaga; sehingga berbagai
pendapat saling bertemu dan akhirnya perbedaan yang mengakarpun
melemah kecuali perbedaan yang datang dari ijtihad pribadi yang biasa
muncul di kalangan ulama walaupun berada dalam satu madrasah.
2. Karakteristik Mazhab Maliki
Karakteristik mazhab maliki, yang pertama ialah penggunaan ijma’ ahli
Madinah dalam menetapkan hukum, bahkan apabila terdapat hadits yang
berlawanan dengan amal penduduk Madinah, hadits tersebut ditolak.
Hujjah Imam Malik dalam memakai ijma’ ahli Madinah, berdasarkan surat
yang beliau tulis kepada al-Laits bin Sa’ad, sebagai berikut:(Said 2006:167–68)
a. Madinah merupakan rumah hijrah Rasulullah S.A.W., tempat turunnya
wahyu, menetapnya Islam, dan berkumpulnya Sahabat. Oleh karenanya,
kebenaran tidak akan keluar darinya.
b. Penduduk madinah menyaksikan turunnya wahyu dan mendengarkan
ta’wil (penjelasannya). Mereka lebih tahu kondisi Rasulullah S.A.W.
c. Riwayat penduduk Madinah lebih didahulukan atas riwayat yang lain.
Ijma’ mereka adalah hujjah bagi yang lain.
Dalam hal ini mayoritas fuqaha di berbagai pelosok negeri membantahnya,
dan fuqaha tidak melihat amal/perbuatan mereka itu sebagai hujjah karena
mereka (penduduk Madinah) tidak ma‟shum (terpelihara). Terkait dengan hal
ini, Imam Al-Laits bin Sa‟ad menulis sebuah surat yang panjang kepadanya,
Imam Syafi‟i juga membantahnya dalam kitabnya Al-Umm dan begitu pula
Imam Abu Yusuf melakukan hal yang sama dalam kitabnya (Kasdi 2018:322).

15
Kedua, dalam memandang kedudukan hadits, beliau tidak mensyaratkan
dalam menerima hadits itu mesti masyhur dalam masalah umum al-Balwa
sebagaimana disyaratkan mazhab Hanafi, ia tidak menolak khabar ahad karena
berselisihan dengan qiyas atau karena bertentangan dengan perbuatan
perawinya, tidak mendahulukan qiyas daripada khabar ahad dan ia
menggunakan hadits mursal. Dalam khabar ahad disyaratkan tidak berselisihan
dengan Amal/perbuatan penduduk Madinah dan sandaran Malik dalam hadits
adalah apa yang diriwayatkan para ulama Madinah(Kasdi 2018:324).
Ketiga, dijadikannya mashalih al-mursalah (istishlah) sebagai sumber
hukum. Mashalih al-mursalah adalah hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan
manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syari‟ah secara khusus. Kemaslahatan-
kemaslahatan ini tidak diperlihatkan oleh syara‟ kebatalannya dan tidak pula
disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maqâshid
syari‟ah. Keadaan maksudnya dapat diketahui dengan al-Qur‟an, sunnah, ijma
dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan
dengan maslahat lain. Maka dalam kondisi seperti ini Imam Malik
mendahulukan beramal dengannya. Contoh: memukul orang disangka pencuri
agar mengakui-nya, Malik berpendapat membolehkannya dan oleh ulama yang
lainnya berselisih dengannya, karena kemaslahatan ini bertentangan dengan
kemaslahatan lain, yaitu kemaslahatan orang yang dipukul. Karena barangkali ia
benar-benar tidak mencuri, dan tidak memukul orang yang berdosa lebih ringan
dosanya daripada memukul orang yang tidak bersalah. Meskipun bila benar
adanya maka terbukalah kesulitan penyerahan harta, namun dalam memukul
juga pintu penyiksaan orang yang tidak bersalah(Kasdi 2018:322).
3. Persebaran Mazhab Maliki
Para analisis sejarah sepakat bahwa salah satu faktor yang mendorong
cepatnya tersebarnya satu madzhab fiqih adalah kontribusi yang dilakukan oleh
murid-muridnya. Merekalah kedepannya yang akan menjadi agen-agen
distribusi produk pemikiran yang digagas dan dimiliki oleh Imam Malik.
Menurut catatan sejarah, setelah kuatnya pengaruh madzhab ini di kota
Madinah, rupanya tersebar pula ke berbagai wilayah Hijaz ketika itu, bahkan
menjadi madzhab mayoritas. Ulama kontemporer Muhamamd Abu Zahrah
berkomentar bahwa sejatinya madzhab Maliki ini berkembang di wilayah Hijaz
dengan metodologi mereka dalam mengistinbath hukum, maka wajar madzhab
ini menjadi mayoritas disana. Komentar tersebut semakin menguatkan bahwa
kemunculan satu produk pemikiran memiliki korelasi kuat dengan tempat para
tokohnya berada. Rupanya tidak hanya di Hijaz, madzhab ini bahkan
berkembang ke wilayah Basrah, Mesir dan disekitarnya, Afrika, Andalusia,
Sisilia, Maroko bagian dalam, serta wilayah Sudan (Supriadi et al. 2021:298).
Mesir merupakan termasuk negara pertama yang merasakan pengaruh
keilmuan Imam Malik setelah wilayah Hijaz, disinilah banyak murid-muridnya
yang berdakwah dan mengembangkan keilmuan yang digagas oleh gurunya.
Diantara murid-muridnya yang terkenal dan menjadi agen penyebaran madzhab
ini adalah Ibnu al-Qasim, Asyhab, Ibnu Wahab, Asbag yang mana mereka semua
adalah berdarah Mesir. Mereka lah yang menjadi cikal bakal agen agen
penyebaran ilmu ilmu yang mereka dapatkan dari Imam Malik selama masa
pengajarannya di Madinah. Lalu di Mesir pulalah Ibnu al-Qasim menulis kitab
pertama yang membahas mengenai fatwa-fatwa Imam Malik terhadap

16
permasalahan fiqih. Yang mana kemudian kitab ini dikembangkan oleh Asad bin
al-Farãt lalu selanjutnya dijadikan rujukan primer oleh Sahnun pada periode
setelahnya (Supriadi et al. 2021:299).
Selanjutnya, Madzhab Mãlikî berkembang sangat baik pula dibeberapa
wilayah Afrika dimana, ia menjadi madzhab mayoritas penduduk Afrika ketika
itu. Disamping itu, menyebar juga ke negara Maroko sampai hari ini. Lalu
wilayah Sisilia yang mana penyebarannya dilakukan oleh murid-murid Sahnun.
Selain itu, mazhab ini juga menyebar ke Andalusia (Supriadi et al. 2021:300).
Dizaman sekarang, madzhab Mãlikî tersebar dibeberapa negara,
diantaranya adalah Tripoli Barat, Tunisia, Aljajair, Maroko bagian dalam, Mesir
atas, Sudan, Qatar, Bahrain, Kuwait, UEA. terdapat pula sebagian kecil di
negara Palestina dan Iraq. Tersebar pula di Benua Afrika ke arah selatan gurun
Sahara seperti negara Chad, Nigeria, Niger. Kemudian negara-negara bagian
barat Benua Afrika seperti Mauritania, Senegal dan lainnya. Kehadiran madzhab
Mãlikî di negara-negara tersebut pada dewasa ini lebih kuat dan besar (Supriadi
et al. 2021:300–301).

4. Ulama dan Kitab Mazhab Maliki


Imam Malik adalah seorang Imam dari kota Madinah dan Imam bagi
penduduk Hijaz. Ia salah seorang dari ahli fikih yang terakhir bagi kota
Madinah. Keagungan dan kemasyhuran pendapatnya sampai kepada kita melalui
dua buah kitab yaitu al- Muwathta dan al-Mudawana al-Kubro (Maradingin
2020:65).
Disamping hal di atas pendapat Imam Malik ini masyhur tidak terlepas
dari jasa sahabatnya antara lain: Usman Ibn al- Hakam al-Juzami, Abd Rahman
Ibn Khalid Ibn Yazid Ibn Yahya, Abd Rahman Ibn al-Qosim, Asyhab Ibn Abd
Aziz, Ibn Abd Hakam, Haris Ibn Muskin dan orang-orang yang semasa
dengannya.
Di antara muridnya yang termasyhur yang mengambil riwayat darinya dan
meriwayatkan ilmunya adalah: Muhammad bin Al- Hasan as-Syaibani ( Wafat
189 H), Abdurrahman bin al-Qosim (Wafat 191 H), Abdullah bin Wahb (wafat
197 H), Main bin Isa (wafat 198 H), Asyhab bin Abdulaziz al-Qisi (wafat 204
H), Abdullah bin Abdulhakam (wafat 210 H), Asad bin al-Furad (Wafat 213 H),
Abdulmalik bin al- Majisyun (Wafat 214 H), Abdullah bin Maslamah al-Qo’nabi
(Wafat 221 H), Asbagh bin al-Faraj (Wafat 225 H), Yahya bin Yahya al-Laitsi
(Wafat 234 H), Abu Mus’ab Ahmad bin Abi Bakar Az-Zuhri (Wafat 242 H) –
perawi terakhir yang meriwayatkan dari Malik (Al-Muwatho’) dari kalangan
perawi tsiqot (terpercaya) – dan lainnya (Susanto 2016:74).
Diantara karya-karya yang mashur menjadi penerus mazhab Maliki yang
ditulis oleh pengikutnya adalah:(Maradingin 2020:65)
a. Muhammad Ibn Ahmad, karyanya Fath ar-Rahim ‘ala fiqh al- Imam Malik bi
Al-Adillah.
b. Abi Ishaq Ibn Musa Asy-Syathibi, karyanya al-I’tisham.
c. Abd al-Majid Al-Syarnubi Al-Ashari, karyanya Mukhtashar Khalil ‘ala matn
ar-Risalah li Ibn Abi Zaid al-Qirawani.

17
d. Muhammad Yusuf al-Kafi, karyanya Ahkam al-Ahkam ‘ala tuhfat Al-Ahkam
fi Al-Ahkam Asy-Syari’ah

18
D. MAZHAB SYAFI’I
Nama asli yang mulia Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-
Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saaib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin
al-Muththolib bin Abdi Manaf al- Muththolibi al-Qurasyi. Yang Mulia Imam asy-
Syafi’i lahir di wilayah Gazza, Palestina pada tahun 150 H/767 M,8 yaitu tahun
yang sama dengan wafatnya Yang Mulia Imam Abu Hanifah(Jauhari 2018d:9).
1. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Syafi’i
Empat fase perkembangan madzhab Syafi’i, sebagai berikut:(Susanto
2016:130)
a. Periode Pembentukan dan Kematangan (195 H - 204 H)
Periode ini dimulai dengan kedatangan Imam Syafi’i yang kedua
kalinya di kota Baghdad pada tahun 195 H sampai wafatnya pada tahun 204
H. Dan periode ini mencakup dua tahapan pokok, yaitu: (Susanto 2016:130)
1) Tahap pertama: antara tahun 195 H-199 H: Dan ini adalah masa Imam
Syafi’i menetap di Iraq. Pada periode ini muncul ‘madzhab qodim’
(lama) yang dengannya ia menjadi mujtahid mustaqil yang tidak
tergantung lagi pada ijtihad-ijtihad gurunya, Imam Malik bin Anas dalam
hal ushul dan furu’ya. Dan pendapat lamanya tertuang dalam dua
kitabnya, yakni Al-Hujjah dalam masalah fiqih, dan Ar- Risalah Al-
Qodimah Al- Iraqiyah dalam masalah ushul fiqih.
2) Tahap Kedua: antara tahun 199 H dan tahun 204 H. Dan ini adalah masa
ia menetap di Mesir. Pada masa ini Imam Syafi’i mengoreksi dan
merevisi madzhabnya yang lama, merubah beberapa ijtihad, dan
mengoreksi beberapa pendapatnya; dan ia memasukkannya dalam buku-
buku yang dikarangnya di Mesir. Dan inilah yang kemudian hari disebut
dengan ‘Madzhab jadid’ (baru). Dan pendapat tersebut tertuang dalam
dua bukunya yaitu Al-Umm dalam bidang fiqih dan Ar-Risalah Al-
Jadidah Al-Mishriyah dalam bidang ushul fiqih.
b. Periode Transformasi Madzhab, Periwayatan dan Stabilitasnya (204–505 H)
Periode ini dimulai dari wafatnya Imam As-Syafi’i rahimahullah pada tahun
204 H hingga wafatnya Imam Al-Ghozali rahimahullah pada tahun 505 H.
Periode ini juga mencakup dua tahapan pokok; yaitu:(Susanto
2016:131)
1) Tahap pertama: Antara tahun 204 H hingga tahun 270 H, dan ini adalah
masa transformasi madzhab dan periwayatannya. Pada tahap ini para
pengikut Imam as-Syafi’i dari kalangan penduduk Mesir meriwayatkan
madzhabnya yang baru dan menukilkannya dalam karangan-karangan
mereka serta memperkenalkannya pada tokoh dan pengikut madzhab-
madzhab fiqih.
Sesungguhnya yang kami maksudkan dengan tahun 270 H adalah
tahun wafatnya murid imam Syafi’i yang terakhir serta perawi kitab-
kitabnya, yakni Imam Ar- Rabi’ al-Muradi.

19
2) Tahap Kedua: Antara tahun 270 H-505 H, dan ini adalah tahap stabilitas
madzhab Syafi’i dan tahap kemunculannya secara independen, beserta
para ahli fiqih dan karangan-karangannya. Sebagaimana yang kami
maksud dengan tahun 505 H adalah tahun wafatnya Imam Al-Ghazali, di
mana beliau mencapai posisi yang tinggi di antara ulama madzhab
Syafi’i, baik pada level karya fiqih maupun karya ushul fiqih.
Dan pada abad keempat dan kelima Hijriyah, muncul dua metode
penulisan dalam fiqih madzhab Syafi’i; yang pertama dikenal dengan
metode Iraqiyin (Ulama Iraq), dan yang kedua dikenal dengan metode
Khurasaniyin (Ulama Khurasan).
Imam An-Nawawi rahimahullah memberikan penilaian dan
perbandingan antara dua metode ini dengan berkata : “Ketahuilah bahwa
sahabat-sahabat kami dari kalangan ulama Iraq, penukilan mereka atas
nash-nash Imam Syafi’i, kaidah-kaidah madzhabnya, dan pendapat-
pendapat ulama terdahulunya pada umumnya adalah lebih teliti dan valid
daripada penukilan ulama Khurasan. Sedangkan ulama Khurasan
umumnya mereka lebih baik dari segi pengaturan, penelitian, perluasan
masalah furu’, dan susunan penulisan”.
Di antara tokoh metode ulama Iraqiyyin adalah: Imam Abu Hamid
Al-Isfirayini; Ahmad bin Muhammad bin Ahmad (Wafat 406 H), dan Al-
Qodhi Abu at-Thayyib At-Thobari; Thahir bin Abdillah bin Thahir
(Wafat 450 H), dan Imam Abu Hasan Al-Mawardi; Ali bin Muhammad
bin Habib Al-Bashri (Wafat 450 H), dan yang lainnya.
Dan di antara tokoh metode ulama Khurasaniyin adalah: Imam
Abu Bakar Al-Marwazi; yang terkenal dengan sebutan Al-Qoffal ash-
Saghir; Abdullah bin Ahmad bin Abdillah (Wafat 416 H), Imam Abu
Muhammad Al-Juwaini (Ayah imam Haromain) Abdullah bin Yusuf bin
Abdillah (Wafat 438 H), dan Al-Qodhi Husain; Al-Husain bin Ahmad
(Wafat 462 H).
Kemudian datang ulama fiqih yang menggabungkan kedua metode
tersebut: menggabungkan segi itqon dan teknik pe- nyusunan; di antara
mereka adalah: Imam Ar- Ruyani (Wafat 501 H), dan Binu As-Shobagh
(Wafat 477 H), dan Imam al-Haramaian Al-Juwaini (Wafat 478 H), dan
Abu Bakar Asy-Syasyi (Wafat 505 H), serta Hujjah Al-Islam, Imam Al-
Ghazali (Wafat 505 H).
c. Periode Verifikasi dan Revisi Madzhab (505 H - 1004 H)
Periode ini dimulai dari wafatnya Imam Al-Ghazali rahimahullah pada
tahun 505 H sampai wafatnya Imam Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah
pada tahun 1004 H. Dan periode ini mencakup tiga tahapan, yaitu: (Susanto
2016:133)
1) Tahap Pertama: Antara tahun 505 H dan 676 H, dan tahapan ini terhitung
sebagai permulaan fase verifikasi bagi madzhab Imam Syafi’i, di sebut
sebagai verifikasi pertama dan mencakup jerih payah dua Imam yaitu:
Imam Ar- Rafi’i (Wafat 623 H), dan Imam An- Nawawi (Wafat 676 H)
dalam upaya melakukan verifikasi dan koreksi madzhab Syafi’i.

20
Dan peran Imam Ar-Rafi’i tampak saat ia menyusun kitab Al-
Muharrar yang diambil dari kitab Al-Wajiz karangan Imam Al-Ghazali.
Dan ia merupakan tafsir rujukan bagi pengikut madzhab Syafi’i dalam
menentukan pendapat madzhab. Kemudian ia menyusun kitab
ensiklopedi yang mensyarah kitab Al-Wajiz; dan memberinya judul
Al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, dan kitab lainnya.
Setelah wafatnya Imam Ar-Rafi’i, muncullah kerja keras Imam An-
Nawawi rahimahullah dalam melakukan verifikasi madzhab berdasarkan
apa yang telah dilakukan oleh Imam Ar-Rafii. Maka beliau meringkas
kitab Al-Aziz Syarh Al-Wajiz dalam kitabnya Raudhatu at-Thalibin, dan
mengarang kitab Al-Minhaj yang merupakan ringkasan dari kitab Al-
Muharrar karangan Ar-Rafi’i; dalam kedua kitab tersebut ia melakukan
seleksi dan koreksi pada madzhab Syafi’i.
Dan di antara dedikasinya yang langka dalam melakukan seleksi
dan koreksi adalah: kitab Al-Majmu’ yang merupakan syarh dari kitab
Al-Muhaddzab karangan As-Syirozi, hanya saja beliau sudah wafat
sebelum merampungkannya.
2) Tahap Kedua: Antara tahun 676 H dan tahun 926 H, dari wafatnya Imam
An-Nawawi sampai wafatnya Imam Zakaria Al- Anshari (Wafat 927 H),
dan tahapan ini merepresentasikan upaya persiapan untuk verifikasi
tahap kedua dalam madzhab Syafi’i.
Pada tahap ini muncul beberapa ulama terkemuka dalam madzhab
Syafi’i yang menfokuskan kerja keras mereka untuk mensyarah dan
memberikan catatan pada kitab-kitab Imam Ar-Rafi’i dan Imam An-
Nawawi khususnya, dan kitab imam-imam terdahulu pada umumnya.
Di antara ulama pada masa ini adalah: Binu Ar- Rif’ah (Wafat 710
H), dan kitab karangannya Al-Mathlab, syarh kitab Al-Wasith karya
Imam Al-Ghazali. Juga Imam Taqiyudin As-Subki (wafat 756 H) dan
kitabnya Al-Ibtihaj syarh kitab Al-Minhaj karya Imam An-Nawawi. Dan
selain kedua imam tersebut, ada Imam Az-Zarkasyi (Wafat 794 H), dan
Imam Al-Bulqini (wafat 805 H), dan sebagai penutup adalah Imam dan
muhaqqiq Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari.
Di antara keistimewaan tahapan ini adalah munculnya karangan
dalam bidang ushul fiqih sebagai telaah dan revisi, terutama kitab takhrij,
seperti kitab Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul karya Imam Az- Zanjani
(wafat 656 H), dan kitab karya Al-Isnawi (Wafat 772 H) dengan judul
yang sama.
3) Tahapan Ketiga: Antara tahun 926 H dan tahun 1004 H. Ia terhitung
sebagai fase penutup dari fase tanqih (Verifikasi) dalam madzhab Imam
as- Sayafii dan di sebut dengan fase verifikasi kedua, yang mencakup
kerja kerasa dua Imam, yakni Imam Ibnu Hajar al- Haitami (Wafat 974
H), dan Syamsuddin ar- Ramli (Wafat 1004 H); berbekal upaya yang
telah dilakukan dua imam pada fase tanqih yang pertama.
Dan peran Imam Al-Haitami dan Imam Ar-Ramli tampak pada
dedikasi mereka yang dibangun di atas kerja-kerja yang telah dirintis
oleh Imam Ar-Rafi’i dan Imam An-Nawawi; dengan mentarjih dan
memilih permasalahan-permasalahan yang menjadi perbedaan pendapat

21
antara kedua imam tersebut, ditambah dengan ijihad keduanya (Imam
Al-Haitami dan Imam Ar-Ramli) dalam permasalahan-permasalahan
baru yang belum dibahas oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafii.
Dan bukti paling kuat bahwa tahapan verifikasi kedua terbangun
diatas fondasi karya imam Ar-Rafi’i dan Imam An- Nawawi, adalah
bahwa kitab Imam Al-Haitami dan Imam Ar-Ramli yang paling masyhur
adalah kitab keduanya yang mensyarah kitab Al-Minhaj karya Imam An-
Nawawi.
d. Periode Keempat: Khidmah untuk Karangan-karangan dan Fase Tanqih
Pertama dan Kedua: (1004 H - 1335 H)
Periode ini terhitung sebagai masa khidmat untuk kitab-kitab para
imam madzhab. Karena setelah verifikasi madzhab dan hasil revisinya
menjadi rujukan, hanya sedikit yang menelaah ulang kitab- kitab tersebut
dalam bentuk ringkasan, takhrij, atau tarjih. Namun karya yang banyak
muncul pada periode ini adalah hasyiah (anotasi fiqih /catatan dan
komentar) atas karya imam-imam terdahulu. Dan di antara catatan
tersebut yang paling masyhur adalah: Hasyiyah Al-Qolyubi (Wafat 1069
H) dan Hasyiyah ‘Umairah (Wafat 957 H) atas kitab Kanzu ar-Raghibin
karangan Al-Jalal al-Mahalli (Wafat 864 H), syarh kitab Al-Minhaj
karangan Imam An-Nawawi. Dan hasyiyah As-Syabramullasi (Wafat
1087 H) atas kitab Nihayah al-Muhtaj karangan Ar-Ramli. Dan Hasyiyah
Al-Jamal (Wafat 1204 H) atas kitab Syarh Manhaj at-Thullab karangan
Zakaria al-Anshori.

2. Karakteristik Mazhab Syafi’i


Karakteristik dari Mazhab Syafi’i, ialah metode pengambilan hukum yang
lebih moderat, memadukan antara fiqih Madinah dengan fiqih Irak. Imam
Syafi’i telah dapat mengumpulkan thariqat ahlu al-ra’yi dengan thariqat ahlu al-
hadits. Oleh karena itu, mazhabnya tidak terlalu condong kepada ahlu al-
hadits(Hasan 2002:211).
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai
acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut: (Hasan
2002:211–13)
a. Al-Qur’an, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika didapati
alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau
dituruti.
b. As-Sunnah, beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir
saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi
dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu
orang kepercayaan, kuat ingatannya dan bersambung langsung sampai
kepada Nabi SAW.
c. Ijma’, dalam arti bahwa para sahabat semua telah menyepakatinya. Di
samping itu, beliau berpendapat dan meyakini bahwa kemungkinan Ijma’
dan persesuaian faham bagi segenap ulama itu, tidak mungkin karena
berjauhan tempat tinggal dan sukar berkomunikasi. Imam Syafi’i masih
mendahulukan hadits Ahad dari pada Ijma’ yang bersendikan ijtihad, kecuali

22
kalau ada keterangan bahwa Ijma’ itu bersendikan naqal dan diriwayatkan
orang ramai hingga sampai kepada Rasulullah.
d. Qiyas, Imam Syafi’i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di
atas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum qiyas yang
terpaksa itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala
sesuatu yang bertalian ibadah telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan as-
Sunnah Rasulullah. Untuk itu beliau dengan tegas berkata: “Tidak ada
hukum qiyas dalam ibadah”. Beliau tidak terburu- buru menjatuhkan hukum
secara qiyas sebelum lebih menyelidiki tentang dapat atau tidaknya hukum
itu dipergunakan.
e. Istidlal (Istishhab), Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi
mengatakan bahwa Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang
dari barang lain. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan
atas akidah-akidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh
Al-Qur’an. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah
pikiran manusia.
Seterusnya beliau tidak mau mengambil hukum dengan cara Istihsan.
Imam Syafi’i berpendapat mengenai Istihsan ini sebagai berikut: “Barang siapa
menetapkan hukum dengan Istihsan berarti ia membuat syariat tersendiri”.
Selain itu, Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim(ijtihad pertama) dan
qaul jadid(perubahan terhadap ijtihad yang pertama), misal mengenai status
kesucian air kurang dari 2 kullah, muwaalah dalam berwudhu, adanya saksi
dalam rujuk. Perubahan penetapan hukum yang beliau lakukan itu, karena dua
sebab, diantaranya:(Hasan 2002:221)
a. Beliau menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih
kuat sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir, atau dengan kata lain meralat
pendapat yang lama.
b. Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi. Faktor
yang kedua inilah barangkali jangkauannya lebih luas, namun tetap terbatas,
karena walaupun bagaimana beliau tetap lebih bersifat hati-hati dalam
menetapkan suatu hukum, sebagaimana kita lihat dari pendirian beliau
menyatakan ketidaksetujuannya dalam menetapkan hukum dengan cara
istihsan (Imam Hanafi).

3. Persebaran Mazhab Syafi’i


Imam Syafi’I merupakan seorang sosok ulama keturunan Quraish
Muthalib dimana kota Mekkah dan Madinah menjadi tempat menempuh
pendidikan ilmu agamanya kepada para ulama senior, salah satu yang paling
masyhur diantara mereka adalah Imam Malik bin Anas. Selanjutnya, Imam asy-
Syafi’i mengawali mengajarkan ilmu yang dimilikinya pada halaqah-halaqah di
Masjidil Haram di Mekkah, lalu setelah itu dilanjutkan menuju Iraq. Disana
beliau mengajarkan ilmu agama di masjid-mesjid dikota Baghdad, lalu banyak
masyarakat yang belajar kepadanya, mengambil keilmuwan yang dimilikinya
serta tidak sedikit yang menyebarkannya kembali. Namun walaupun demikian,
sesungguhnya awal mula penyebaran madzhabnya justru terjadi di Mesir
(Supriadi et al. 2021:302).

23
Perubahan struktur fiqih madzhab di Mesir pernah mengalami
kegoncangan yaitu pada saat perpindahan kekuasaan yang diambil alih oleh
dinasti Fathimiyyah. Unsur politik menjadi pemicu utama untuk merubah
madzhab Sunni yang telah bercokol lama disana menjadi madzhab As-Syi’ah al-
Imamiyyah. Namun rupaya hal tersebut tidak berlangsung lama, dimana
kekuasannya Allah tenggelamkan melalui sosok ksatria berani bernama
Salahuddin al-Ayubi. Dimasa pemerintahannya ia mengganti kembali madzhab
Syi’ah Imamiyyah menjadi madzhab Sunni, bahkan lebih memprioritaskan
madzhab as-Syafi’iyyah dalam sebagian besar pengaruhnya. Hal ini di ikuti oleh
para pemimpin al-Ayubiyyin setelahnya dimana semuanya bermadzhab Syafi’I
kecuali Isa bin al-Adil , seorang penguasa Syam yang bermadzhab Hanafî dan
sangat fanatik terhadap madzhabnya (Supriadi et al. 2021:303).
Pengaruh madzhab Syafi’i terlihat pula di beberapa negara selain Mesir
diantaranya adalah Iraq, dan negara-negara Timur, walaupun madzhab yang
resmi di Iraq adalah Madzhab Hanafî, hal itu tidak menghalangi masyarakat
bahkan para khalifah banyak pula yang terpengaruh atas madzhabnya seperti
yang dilakukan oleh al-Mutawakkil. Selain itu, Hasan bin Muhammad az-
Za’farani (wafat th 260 H) meriwayatkan pemikiran dan keilmuan madzhab
Syafi’i Qadhim, ia menyebarkannya di beberapa wilayah termasuk di Baghdad
dan di Iraq (Supriadi et al. 2021:303–4).
Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa pengaruh di wilayah wara’a
an-nahr dengan kehadiran sosok Muhammad bin Isma’il al-Qaffal al-Kabir asy-
Syasyi (wafat th 365). Mayoritas pendapat ulama mengatakan bahwa madzhab
Syafi’i telah sampai kebeberapa wilayah Timur, seperti kûrah asy-Syãsy, Îlãq,
Thûs, Nisã, Abyûrd, dan yang lainnya. Penduduk wilayah Syam, kebanyakan
bermadzhab al-Auza’i pada awalnya, sampai diangkatnya tokoh Abu Zur’ah ad-
Dimasqi asy-Syafi’i, maka dialah yang memasukan madzhab Syafi’I kedalam
wilayah hukum undang-undang, lalu di ikuti oleh hakim-hakim setelahnya. Ada
sebuah pendapat yang mengatakan bahwa dialah yang menjadi pelopor awal
masuknya madzhab ini ke wilayah Syam.
Pada masa Daulah Solahuddin al-Ayubi dan para pemimpin setelahnya,
madzhab Syafi’i memiliki pengaruh yang sangat kuat. Lalu masuk ke negara
Yaman dan wilyah Hijaz. Di yaman terdapat para ulama masyhur. Adapun di
wilayah Maroko dan Afrika bagian Utara, madzhab ini kurang begitu antusias,
dikarenakan sudah adanya madzhab Mãlikî. Begitupun di wilayah Andalusia,
kurang begitu antusias (Supriadi et al. 2021:304).
Di zaman sekarang, penyebaran madzhab Syafi’i bermula dikawasan
pedesaan Mesir, di sekitar perairan, dan begitupun dibanyak kota-kota besar
Mesir. Begitupun pengaruhnya terasa di wilayah Syam, dan menjadi mayoritas
di Palestina, dan menjadi madzhab kedua di negara Iraq setelah madzhab
Hanafî. Lalu menjadi mayoritas di negara-negara Kurdi, Armenia. Begitupun di
negara Afganistan, Persia, India, beberapa negara di sebelas Asia Tenggara
seperti Malaysia dan Indonesia, Melayu dan Filipina (Supriadi et al. 2021:304).
Orang-orang Muslim di Pulau Srilanka, dan wilayah Jawa, dan orang-
orang di sekitarnya dari Shafii, Aljazair, dan juga orang-orang Muslim di Siam,
tetapi memiliki beberapa ketukan, dan mereka dipindahkan ke sana dari India.
Serta Muslim China Syafi’i, serta Muslim Australia. Ini berlaku di negara-negara
pantai timur Afrika, seperti Eritrea dan Somalia. Ini memiliki kehadiran di Asir

24
dari tanah Hijaz, diikuti oleh Sunni di Yaman, Adnan dan Hadramout, dan
memiliki pengikut di Amman (Supriadi et al. 2021:305).

25
4. Ulama dan Kitab Mazhab Syafi’i
Setelah Imam Syafi’i terkenal pemikirannya tentang masalah-masalah
hukum agama, maka banyak orang yang mengambil ilmu daripadanya, sehingga
akhirnya di seluruh dunia. Keagungan dan Kemashuran Imam Syafi’I selain
seorang alim besar yang telah memberi fatwa-fatwa bagi umat, juga ia
pengarang kitab-kitab besar yang memuat masalah-masalah hukum dari hasil
pemikirannya. Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’i yang masih dikenal
orang mashurnya sampai sekarang ini kitab al-Risalah dan kitab al-Umm
(Maradingin 2020:65–66).
Kemashuran pemikiran mazhab Syafi’I ini tidak terlepas dari pengaruh
murid-muridnya yang menerima pengajaran dari padanya, yang kemudian
menjadi penerus mazhab Syafi’I ini di antaranya:(Maradingin 2020:66)
a. Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzany karyanya Al-Mukhtasaral-Kabir
(dinamakan dengan al-Mabsut), al- Mukhtasar al-Sagir.
b. Abu Ya’kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaity karyanya al-Mukhtasar al-Buwaity.
c. Al-Rabi’ ibn Sulaiman al-Murady karyanya al-Jami’ al-Akbar. d. Harmalah
ibn Yahya ibn Harmalah karyanya Kutub al-Syurut, Kitabu al-Sunan, Kitab
Alwan al-Ibil wa al-Ganami, wa Sifatuha wa Asnanuha, Kitab al-Nikah.
d. Ibn Abd. Hakim karyanya Kitab Ahkam Alquran, Kitab al-Radd ‘ala
Muhammad ibn al-Hasan, Kitab al-Sunan, Kitab al- Wasaya.
e. Abu Ali al-Hasan al-sabah al-Za’farany karyanya Al-Mabsut.
Selain itu, terdapat pula karangan para pengikutnya, sebagai pembesar
mazhab ini antara lain: (Maradingin 2020:66–67)
a. Imam al-Nawawiy karyanya Majmu’ syarh al-Muhazzab.
b. Samsuddin Muhammad ibn Abi al-Abbas karyanya Nihayah al- Muhtaj.
c. Muhammad Khatib al-Syarbainy karyanya Mugni al-Muhtaj.
d. Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Haitamy karyanya Tuluhpatu al-Muhtaj,
al- Fatawa al-Kubra.
e. Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadiy al-Sirazi karyanya al-
Muhazzab fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
f. Abi al-Mawahib ‘Abd Wahhab ibn Ahmad ibn Ali al-Ansari karyanya al-
Mizan al-Kubra.

26
E. MAZHAB HANBALI
Imam Ahmad bin Hanbal -dalam riwayat yang kuat, lahir di kota Bahdad, ibukota
pemerintahan Bani Abbasiyyah ketika itu, di bulan Rabiul Akhir pada tahun 164 H (780
M) yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Muhammad al-Mahdi. Dan di kota Baghdad
inilah Imam Ahmad lahir, tumbuh dan berkembang hingga beliau wafat(Jauhari
2018b:6).
1. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Hanbali
Tidak ada satupun madzhab fiqih yang diakui yang tumbuh dalam sejarah
pensyariatan Islam melainkan pasti melewati beberapa periode dan tahapan. Ia
menjelaskan pertumbuhan madzhab, tahapan waktu dan peristiwa hingga pokok-
pokoknya menjadi kokoh dan kaidah-kaidahnya dipahami, yang diatasnya
terbangun hukum-hukum fiqih. Perkembangan madzhab ter- jadi lewat ulama-
ulama yang mengadopsi madzhab ini dan mengajarkannya; ada yang
memasyhurkannya dan menulis kitab- kitab tentangnya sehingga menjadi pusat
perhatian para penuntut ilmu yang ingin memperdalam dan mengenal pokok-
pokoknya.
Periode yang dilewati oleh madzhab Hambali dapat dibagi dalam empat
tahapan: (Susanto 2016:169)
a. Periode Pertumbuhan dan Pendirian (204 H - 241 H)
Periode ini dimulai sejak Imam Ahmad rahimahullah menjadi sumber
rujukan dalam pengajaran dan fatwa pada tahun 204 H, dimana beliau belum
menjadi sumber rujukan kecuali setelah mencapai usia 40 tahun.
Sebelumnya beliau memandang harus benar-benar konsentrasi penuh untuk
menuntut ilmu dan menguasainya sebelum menyibukkan diri dalam fatwa
dan pengajaran. Hal tersebut menguatkan kematangan ilmiyah beliau dan
menopang daya alat ijtihad beliau.
Para peneliti perjalanan ilmiyah Imam Ahmad pasti mengetahui
kedudukan dan kematangan fiqihnya. Imam Ahmad telah belajar talaqqi
kepada sebagian besar syaikh dalam beberapa cabang ilmu syar’i dan ilmu-
ilmu alat yang sangat berpengaruh dalam menetapkan rambu-rambu metode
ilmiyah dan fiqihnya.
Karena dipandang memiliki keluasan hafalan dan periwayatan serta
kematangan dalam fiqih dan penelitian, maka berbondong- bondonglah para
penuntut ilmu datang kepadanya untuk mengambil ilmu dengan
mendengarkan, menulis, dan meminta fatwa, sehingga ilmu Imam Ahmad
menyebar ke tengah-tengah khalayak manusia. Ditambah lagi dengan
perhatian para muridnya terhadap pendapat dan perbuatannya sehingga
mereka merekam masalah-masalah ilmiyah dari Imam Ahmad dalam
bermacam-macam ilmu, seperti; akidah, ushul fiqih, hadits, fiqih, sehingga
jumlah permasalahan yang di tulis mencapai sekitar dua ratus kitab yang
ditulis dibawah pantauan dan pengawasan dari beliau.
b. Periode Penukilan dan Perkembangan (241 H - 403 H)
Periode ini dihitung sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya,
dimana ulama sahabat Imam Ahmad memiliki peran dalam menukil
madzhab Imam Ahmad kepada para murid penerus mereka, melalui
pengajaran, karangan dan surat menyurat. Diantaranya adalah yang

27
dikisahkan oleh Al-Khallal bahwa orang-orang menulis surat kepada Shalih
–anak Imam Ahmad–, “Dari Negeri Khurasan, dan tempat-tempat lain agar
mewakili mereka menanyakan tentang masa’il (masalah-masalah fiqih),
sehingga menjadi masalah yang serius kajiannya bagi Imam Ahmad dalam
masa’il yang penting.”
Dan dari Binu Abi Hatim berkata, “Abdullah (anak Imam Ahmad)
menulis kepadaku tentang masa’il (masalah-masalah fiqih) ayahnya dan
tentang ‘Ilal hadits. Dan Abdullah memang telah menghimpun masa’il
(masalah-masalah fiqih) ayahnya dan menyusunnya dalam beberapa bab.
Diantara muridnya yang telah menyusun masail’ Fiqhiyyah (masalah-
masalah fiqih) yang diriwayatkan darinya, kemudian menyusun babnya
adalah Ahmad bin Muhammad bin Hani’ at-Thoi al-Atsram. (wafat 261 H).
Diantara sahabat Imam Ahmad yang dikenal memiliki halaqah ilmu
dan pengajaran adalah Ahmad bin al-Khushaib bin Abdurrahman. Beliau
sangat masyhur di Tharsus. Beliau menukil masalah-masalah fiqih yang
penting dari Imam Ahmad dalam halaqah fiqihnya sebagaimana disebutkan
oleh al-Khallal.
Diantara hal yang menunjukkan peran murid-murid Imam Ahmad
dalam menyebarkan ilmu dan fiqihnya adalah yang diceritakan oleh al-
Khallal, dia bercerita, “Abu Bakar al-Murrudzi keluar berperang, kemudian
orang-orang mengiringinya hingga ke Samarra. Kemudian ia meminta
mereka agar kembali, namun mereka tidak mau kembali. Lalu mereka
dihitung, ternyata jumlah mereka selain yang telah kembali adalah berjumlah
sekitar lima puluh ribu orang. Kemudian dikatakan kepadanya, “Wahai Abu
Bakar, bersyukurlah kepada Allah, karena ilmumu telah tersebar luas.” Dia
bercerita, “Maka beliaupun menangis, lalu berkata, “ini bukanlah ilmuku,
namun sesungguhnya ia adalah ilmu Ahmad bin Hambal.”
Tidak ada bukti yang lebih kuat atas penukilan para murid Imam
Ahmad tentang masa’il agamanya, fiqihnya dan ilmunya dalam jumlah yang
besar dan ilmu yang deras, dibanding nukilan yang dilakukan oleh imam Al-
Khallal dalam kitabnya yang langka, ‘Al-Jami’ li ‘ulum al-imam Ahmad’.
Beliau telah belajar dari banyak sekali sahabat Imam Ahmad dan menukilkan
banyak masa’il (masalah- masalah fiqih) yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad sehingga dinukilkan kepada kita saat ini, dari tingkat ke tingkat, dan
generasi ke generasi.
Selain itu ada juga upaya dari murid-murid Imam Ahmad dalam
menyebarkan madzhab Imam Ahmad dan ilmunya lewat peran mereka
ketika diangkat sebagai al-Qadhi (hakim), karena keputusan- keputusan
peradilan didasarkan pada pemahaman fiqih hakim yang dipelajari dari para
syekhnya.
Diantara hakim yang dikenal menjabat sebagai al-Qadhi (hakim) dari
sahabat dan murid Imam Ahmad adalah anaknya sendiri yaitu Shaleh, yang
menjabat hakim di Tharsus kemudian di Isfahan.
Selain itu ada al-Hasan bin Musa al-Asyyab (wafat 209 H) yang telah
menjabat hakim di Mosul, Homs dan Tabarestan.

28
Kemudian murid-murid pengikut Imam Ahmad belajar talaqqi masa’il
(masalah-masalah agama) tersebut dari para syekhnya, kemudian mereka
sibuk menghimpunnya, menyusunnya dan mentarjihkannya (meneliti
kekuatan dan kelemahan antara beberapa pendapat). Periode ini dikenal
dengan ‘thabaqat al- mutaqaddimin’ yang berakhir dengan wafatnya Al-
Hasan bin Hamid pada tahun 403 H.
Pada periode ini telah muncul beberapa ulama yang memiliki pengaruh
puncak dalam pertumbuhan dan penyebaran madzhab, diantara yang paling
menonjol adalah; Ahmad bin Muhammad al- Khallal (wafat 311 H) yang
telah bersungguh-sungguh menelusuri murid-murid/sahabat Imam Ahmad,
berkumpul dengan mereka, dan menukil apa yang mereka riwayatkan dari
Imam Ahmad dengan sanadnya, hingga berhasil menghimpun masa’il
(masalah-masalah agama)nya yang sangat banyak dalam kitab ‘Al-Jami’ li
‘ulum al- imam Ahmad’. Sejak itu mulailah banyak orang yang menisbatkan
diri kepada madzhab Imam Ahmad. Lalu muncullah ulama dan syekh
madzhab yang senior setelah kitabnya tersebut berhasil menarik perhatian
banyak ulama dan para penuntut ilmu. Dengan demikian kitab-kitab tentang
masalah periwayatan telah kokoh bersama tambahan yang disandarkan
kepada riwayat-riwayat yang ada pada kitab ‘Al-Jami’ li ‘ulum al-imam
Ahmad’ karangan al-Khallal.
Kemudian muncul pada periode ini beberapa ulama madzhab yang
menyusun fiqih Imam Ahmad berupa kitab-kitab matan dan mukhtashar.
Diantara yang paling menonjol dari para penyusun tersebut adalah Abu Al-
Qasim Umar bin Al-Husain Al-Khiraqi (wafat 334 H) yang telah menyusun
kitab pertama matan mukhtashar dalam fiqih Imam Ahmad yang disusun
teratur menurut bab-bab fiqih, dan dikenal dengan kitab “Mukhtashar Al-
Khiraqi”.
Kemudian ada Abu Bakar Abdul Aziz bin Ja’far, yang dikenal dengan
Ghulam Al-Khallal, (wafat 363 H), beliau menekuni kitab karangan Al-
Khallal dengan mengkaji, meringkas, dan mentarjih (penyeleksian yang
paling kuat) antara riwayat-riwayat yang ada.
Pada periode ini penghimpunan masalah-masalah fiqih disertai
sanadnya dari Imam Ahmad tidak berhenti pada Imam Al-Khallal. Namun
ada yang mengikuti jejaknya yaitu Al-Hasan bin Hamid (wafat 403 H) yang
menyusun kitabnya “al-Jami’ fi al-Madzhab”, dalam sekitar empat ratus
bagian yang tersusun atas bab-bab secara ilmiyah.
Sebagaimana muncul pula pada periode ini penulisan matan
berdasarkan satu pendapat pilihan dalam madzhab seperti kitab “An-
Nashihah” karangan Abu Bakar al-Ajurri (wafat 360 H) atau berdasarkan
dua pendapat, seperti kitab (Kitab Al-Qaulaini) karangan Abdul Aziz
Ghulam Al-Khallal. Demikian pula ada penyusunan yang sifatnya bagian
tertentu dari bahasan fiqih seperti kitab “al-Manasik” karangan Binu
Baththah al-Ukburi (wafat 387 H).
Disamping penyusunan kitab fiqih, pada periode ini muncul pula
penyusunan kitab dalam ushul madzhab Imam Ahmad dan musthalahatnya
sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Hasan bin Hamid yang menyusun dua
kitab yaitu “ushul al-Fiqh” dan “Tahdzib al-Ajwibah”.

29
c. Periode At-Tahrir, Adh-Dhabth dan At-Tanqih (403 H - 884 H)
Periode ini diawali pada abad kelima hingga akhir abad kesembilan
Hijriyah, atau dari wafatnya Al-Hasan bin Hamid (403 H) hingga wafatnya
Al-Burhan bin Muflih (884 H). Setelah masalah- masalah fiqih menjadi
stabil dan mapan, muncullah kebutuhan untuk pengeditan (Adh-Dhabth)
penyeleksian (At-Tahrir) dan revisi (At-Tanqih) masalah-masalah fiqih,
kemudian penyusunannya berdasarkan bab-bab fiqih. Kemudian ulama
madzhab pada periode ini yang dikenal dengan istilah thabaqah al-
mutawassithin mengarahkan konsentrasinya kepada pelayanan kebutuhan
tersebut, maka mereka mengedit kaidah-kaidah umum dalam menukil
masa’il yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan para sahabatnya, mereka
mentakhrij furu’ atas ushul, dan mentarjih antara beberapa riwayat, wujuh
dan premis. Mereka melengkapi pembahasan dalam ushul madzhab Hambali
dan memfokuskan perhatian pada kajian batasan-batasan perbedaan fiqih (al-
Furuq al-Fiqhiyyah) dibawah kandungan kaidah-kaidah umum dan rambu-
rambu khusus fiqih madzhab. Mereka memperkaya madzhab dengan istilah-
istilah fiqih yang membedakan pernyataan-pernyataan imam dan
menjelaskan mana yang kuat (rajih) dari riwayat-riwayat dan lain
sebagainya.
Diantara ulama yang paling terkenal pada periode ini adalah al-Qadhi
Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin al-Farra’ (wafat 458 H), Abu al-
Khatthab Mahfuzh bin Ahmad al-Kalwadzani (wafat 510 H), dan Abu al-
Wafa’ Ali bin Aqil (wafat 513 H); mereka yang fokus pada penjelasan Ushul
Madzhab lewat karangan-karangan mereka.
Pada periode ini muncul pula perhatian ulama madzhab terhadap kitab
‘Mukhtashar al-Khiraqi’; ada yang mensyarahnya, mengomentarinya,
menulis nazham (bait) nya, dan ada pula yang menjelaskan kosa kata yang
sulit. Sehingga jumlah kitab yang ditulis untuk menjelaskan kitab tersebut
mencapai sekitar dua puluh kitab, dan yang paling masyhur adalah kitab ‘Al-
Mughni’ karangan Al-Muwaffaq bin Qudamah al-Maqdisiy (wafat 620 H)
yang pada zamannya menjadi syekh madzhab bersama dengan al-Majd bin
Taimiyyah (wafat 652 H).
Sebagaimana pada periode ini juga muncul generasi pe-tahqiq(ulama
peneliti) dan pentanqih (perevisi) madzhab, seperti syekhul Islam Ahmad bin
Abdul Halim bin Taimiyyah (wafat 728 H), Syamsuddin Muhammad bin Abi
Bakar bin Qayyim al-Jauziyah (wafat 751 H), Syamsuddin Muhammad bin
Muflih (wafat 763 H), Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali
(wafat 795 H), dan Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Muflih (wafat
884 H).
d. Tahap Stabilitas (885 H) dan Setelahnya
Pada periode ini telah tersistem apa yang disebutkan dengan istilah
‘Thabaqah al-Muta’akhkhirin’ ia dimulai pada akhir abad ke sembilan
Hijriyyah ( 885 H) hingga masa kita sekarang ini.Pada periode ini madzhab
telah kokoh dan stabil atas apa yang ditulis dan direkam oleh ulama
terdahulu, karena secara global telah terbukti keabsahan hukum-hukumnya
dan keserasiannya dengan kaidah- kaidah dan pokok-pokok madzhab. Maka
ulama madzhab merasa cukup dengan melakukan peringkasan, memberikan
komentar, catatan pinggir, penyederhanaan, catatan kaki, penjelasan dan
30
sebagian penyeleksian dan pilihan ijtihad yang tercabang atau tambahan
atasnya. Walaupun demikian, usaha-usaha mereka tidak lepas dari tahqiq,
tanqih, dan tarjih antara beberapa riwayat yang ada dalam madzhab.
Diantara para pentahqiq dan pentanqih yang paling menonjol pada
periode ini adalah; Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi (wafat 885 H),
Yusuf bin Abdul Hadi (wafat 909 H), Musa bin Ahmad al-Hajjawi (wafat
968 H), Muhammad bin Ahmad al-Futuhi (wafat 972 H), Mar’a bin Yusuf al-
Karmi (wafat 1033 H), dan Manshur bin Yunus al-Buhutiy (wafat 1051 H).
Dan masuk dalam periode ini segala usaha ilmiah kontemporer yang
telah dipersembahkan ataupun yang sedang dan akan dipersembahkan untuk
menghidupkan dan menyebarkan madzhab ini; baik berupa penelitian,
karangan buku, dan studi. Pada saat ini telah didirikan pusat-pusat studi
ilmiah dan universitas-universitas Islam berskala regional Arab dan
internasional yang menetapkan studi dan penelitian sebagai syarat untuk
meraih ijazah pada program pasca sarjana, disamping ada pula usaha-usaha
individu dan komunitas yang menyebarkan warisan madzhab Imam Ahmad
baik dalam fiqih ataupun ushulnya.
2. Karakteristik Mazhab Hanbali
Karakteristik dari Mazhab Hanbali, ialah sedikitnya pengambilan hukum
berdasarkan akal/ra’yu, dan lebih mengutamakan Nash(Al-Qur’an dan Sunnah)
dalam pengambilan hukum.
Dalam persoalan fikih, pemikiran beliau cenderung dipengaruhi oleh
ijtihad Imam Syafi’i. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata “Jika saya
ditanya mengenai masalah yang saya tidak mengetahui hadisnya, saya akan
menjawab menurut pendapat Syafi’i”. Karena inilah beberapa ulama
mengatakan bahwa Imam Ahmad bukanlah seorang fuqaha, melainkan seorang
muhaddits. At- Thabari mengatakan kalau Imam Hanbali bukan seorang Ahli
Fikih tapi hanya seorang perawi Hadits dan Muqallid (Nadia 2020:105).
Meskipun hasil ijtihadnya cenderung dipengaruhi oleh Imam Syafi’i,
bukan berarti seluruh pendapatnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Terletak
perbedaan dalam menentukan hasil akhir dari persoalan fikih beliau. Ciri khas
keunggulan dari fatwa Imam Ahmad ialah berdiri di atas dasar fikih hadis(Nadia
2020:105–6). Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan suatu hukum adalah
dengan berlandaskan kepada dasar-dasar berikut:(Hasan 2002:230–31)
a. Nash al-Quran dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka
beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak
memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
b. Fatwa sahabat, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau
mendapati sesuatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang
menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak
memandang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c. Pendapat sebagian sahabat, yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam
suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada al-
Quran dan Sunnah. Terkadang beliau tidak mau memberi fatwa, apabila
beliau tidak memperoleh pentarjih bagi suatu pendapat itu.

31
d. Hadits mursal atau hadits dha’if. Hadits mursal atan hadits dha’if akan tetap
dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat
seorang sahabat.

32
e. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan
hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada point-point sebelum-
nya. Perlu diingat, bahwa qiyas yang mendapat porsi yang kecil dalam
penetapan suatu hukum (berdasarkan urutan sumber yang dipergunakan) bisa
saja porsi yang kecil ini, menyelesaikkan berbagai masalah walaupun
bagaimana hanyaknya, apabila tidak ditemukan hukumnya di dalam nash (al-
Qur’an dan Sunnah) Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan, bahwa
pada masa-masa mendatang, qiyas memegang peranan penting, apabila
bermunculan peristiwa peristiwa yang tidak ditemukan hukum dalam
sumber-sumber hukum selain daripada qiyas itu,
3. Persebaran Mazhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan sosok dibalik terlahirnya madzhab
Hanbalî dimana ia merupakan Imamnya saat itu di Baghdad. Kehadirannya
ditengah tengah masyarakat dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama membuat
madzhabnya berkembang dan menyebar ke beberapa wilayah Iraq dan wilayah
wara an-nahr.
Para pakar sejarah melihat bahwa keterpopuleran madzhab Hanbalî tidak
sepopuler madzhab-madzhab Sunni yang lainnya yaitu Hanafî, Mãlikî, maupun
Syafi’i, diantara faktor penyebabnya adalah kemungkinan kemunculannya
paling terakhir dibandingkan yang lainnya. Keterlambatan kemunculannya
setelah tiga madzhab awal telah kokoh di wilayah-wilayah Islam. Begitupun di
negara kelahirannya Iraq, kepopulerannya masih kalah dibandingkan yang
lainnya. Madzhab Hanafî sebagaimana yang telah di urai pada sebelummnya
merupakan madzhab resmi bagi Daulah Abbasiyah walaupun beberapa waktu
setelahnya adanya intervensi dari madzhab as-Syafi’I yang telah memiliki
banyak pengikutnya serta memberikan pengajaran di Baghdad. Selanjutnya
madzhab Mãlikî berpengaruh kuat di Iraq, bahkan menjadi mayoritas di wilayah
Bashrah, sebagian di Baghdad, walaupun pada akhir abad kelima sedikit
melemah pengaruhnya (Supriadi et al. 2021:307).
Saat ini, madzhab Hanbalî dijadikan sebagai madzhab resmi di negara
Saudi, dimana diterapkannya dalam hal ibadah, muamalah, had-hadnya, lalu di
hidupkan kembali kitab-kitab karya ulama Hanabilah dan disebarluaskannya.67
Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa Allah SWT telah mengganti
madzhab Hanbalî dengan di tetapkannya sebagai madzhab resmi di negara Saudi
yang tidak didapatkan pada masa lampu dari sedikitnya jumlah pengikut serta
sempitnya media penyebarannya, maka hal ini menjadi satu pengganti yang
mulia, dan baik (Supriadi et al. 2021:310–11).
Agaknya madzhab ini ada keterkaitannya dengan keluarga Su’ud dimana
mereka yang memimpin negara Najd, lalu berpindah tampuk kekuasaanya
kepada tangan Abdul Aziz Keluarga Su’ud, lalu dibawahlah madzhab Hanbalî
tersebut ke negara mereka. Mengapa mereka bermadzhab Hanbalî? Karena
mereka adalah Wahabiyyun dimana kepercayaan dalam aqidah dan fiqihnya
dipengaruhi oleh pemikiran madzhab Muhammad bin Abdul Wahab ( 1115-1206
H) yang muncul pada abad ke 12 H. dan Muhammad Abdul Wahab ini tertarik
dengan pemikiran dan ideologi yang di gagas oleh Syeikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah yang mana ia adalah bermadzhab Hanbalî baik dari perkara Ushul
maupun Furuiyyah, walaupun ada sebagian masalah dimana fatwanya bertolak

33
belakang dengan madzhab Hanbalî bahkan madzhab yang 4 (Supriadi et al.
2021:311).
Pada zaman sekarang, madzhab ini tersebar dibeberapa negara,
diantaranya Saudi Arabia, Qatar, Bahrain, UEA, Amman, Ju’lan.begitupun di
sebagian besar wilayah Jazirah Arab. Ada juga dinegara Iraq , lalu sedikit di
negara Suriah, dan Palestina. Umar Sulaiman al-Asyqar berkata: di negara kami
Palestina terdapat sisa-sisa pengikut Hanbalî yaitu di kota Nablas dan sekitarnya.
Sedikit di Afganistan. Begitupun di Mesir (Supriadi et al. 2021:311).

4. Ulama dan Kitab Mazhab Hanbali


Secara keilmuan, Imam Ahmad berguru kepada Asy-Syafi’i tentang fikih.
Ia termasuk akbar talamidz Asy-Syafi’I Al-Baghdadiyin. Dalam bidang hadis, ia
meriwayatkannya dari Hasyim, Ibrahim Ibn Sa’d, dan Sufyan Ibn Uyainah.
Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah, dijelaskan bahwa guru Ahmad Ibn
Hanbal dalam bidang fikih adalah Abu Yusuf (Maradingin 2020:67–68).
Adapun murid-murid beliau yang mempelajari fikih dan ushul fikihnya,
maka mereka inilah yang nantinya menjadi pembesar madzhab Hanbali di
kemudian hari. Dinatara mereka yang paling terkenal ialah dua putra beliau
sendiri yaitu Solih dan Abdullah. Akan tetapi Solih lebih banyak meriwayatkan
fikih dari ayahnya dibanding saudaranya Abdullah. Sedangkan Abdullah sedikit
diatas Solih dalam hal periwayatan hadis yang diambil dari ayahnya (Jauhari
2018b:13–14).
Adapula diantara murid beliau yang terkenal ialah anak paman beliau
sendiri yaitu Hanbal bin Ishaq bin Hanbal. Sedangkan yang lainnya misalnya;
Ishaq bin Manshur al-Maruzi, Abu Dawud as-Sijistani, Ibrahim bin Ishaq an-
Naisaburi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram, Abu Zur’ah ar-Rozi,
Abu Hatim ar-Rozi, dan masih banyak lagi. Adapun murid-murid beliau yang
secra khusus meriwayatkan hadis dari beliau diantaranya ialah dua putra beliau
Abdullah dan Solih, al-Hasan bin ash- Shobah al-Bazzar, Ahmad bin al-Hasan
at-Tirmidzi, Abu Abdillah al-Bukhori, Muslim bin al-Hajaj (dua imam kaum
muslimin dalam bidang hadis), Abu Zur’ah, dan yang lainnya (Jauhari
2018b:14).
Dalam bidang ilmu fikih, Abu Zahrah, menjelaskan bahwa Imam Ahmad
tidak menulis, kecuali bidang ilmu hadis dengan kitabnya Al-Musnad. Akan
tetapi, pemikiran fikihnya dapat ditemukan dari beberapa tulisan yang tersebar
kemudian dipindahkan oleh murid-muridnya. Kitab-kitab Imam Ahmad,
berdasarkan hasil temuan Muhammad Asy-Syak’ah dan Farouq Abu Zaid, di
antaranya Kitab Ash-Shalat, Kitab As-Sunnah, Kitab Al-Wara’, Kitabu Az-
Zuhud, Masail Imam Ahmad, Radd ‘ala Al-Jahmiyah, Al-Manasik Al-Kabir, Al-
Manasik Ash-kabir, At-Tarikh, An-Nasikh wa mansukh, Al-Muqadam wa Al-
Mukhtar fi Kitabillah, Fadhail Ash-Shahab (Maradingin 2020:67–68).
Selain yang telah disebutkan di atas, pengikut yang terkenal adalah Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim al-Jauziyah. Beberapa karya besar Ibnu Taimiyah
sebagai pengikut Hanabilah,di antaranya:(Maradingin 2020:68)
a. As-Siyasah Asy-syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’iyyah
b. Majmu ‘Al-Fatwa,mamlakah Su’udiyah Al-Arabiyah
c. Fatawa Kubra,Dar Al-Fikr

34
d. Al-Hisbah fi Al-Islam
e. Al-Hasanah wa As-Sayyi’ah
f. Al-Qiyah fi Asy-Syar Al-Islami bersama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

35
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Mazhab secara bahasa artinya berjalan, pergi, pendapat. Sedangkan menurut
istilah, mazhab adalah paham atau aliran pikiran atau dasar yang dipakai oleh
seorang mujtahid dalam memecahkan masalah berkaitan dengan hukum Islam.
2. Mazhab Hanafi didirikan oleh Imam Abu Hanifah di Baghdad sejak 120 H dan
terus berkembang hingga sekarang. Mazhab ini lebih banyak mengandalkan
akal/ra’yu dalam istinbath hukum Islam. Mazhab ini paling banyak digunakan
oleh umat Islam saat ini, dan tersebar mulai dari Irak, Lebanon, Suriah, Turki,
Balkan, Armenia, dan wilayah Asia Selatan (India, Pakistan, Afganistan).
Adapun ulama-ulama besar dari mazhab ini, seperti Abu Yusuf al-Qadhi,
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan Hasan bin Ziyad, serta kitab-kitabnya
seperti, Kitab al-Zakat, Kitab al-Siyam, al-Hudud, al-Mabsut, dan lain-lain.
3. Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas di Madinah pada tahun 110
H dan masih digunakan hingga sekarang. Mazhab ini memiliki karakteristik,
yaitu menggunakan amalan ahli Madinah sebagai dasar hukum. Mazhab ini
kebanyakan dipakai umat Islam di wilayah Afrika, seperti Maroko, Tunisia,
Aljazair, Niger, Chad, Mauritania, Sudan, dan tersebar pula di wilayah Bahrain,
Qatar, UEA, dsb. Adapun ulama-ulama besar dari mazhab ini, seperti
Muhammad bin Ahmad, Abi Ishaq al-Syathibi, Muhammad Yusuf al-Kafi, dan
sebagainya. Adapun kitab yang ditulis oleh Imam Malik, seperti al-Muwatha’
dan al-Mudawwana al-Kubra.
4. Mazhab Syafi’i didirikan oleh Imam al-Syafi’i dimulai tahun 195 H-205 H,
kemudian terus berkembang hingga sekarang. Mazhab ini menggunakan cara
yang lebih moderat dalam pengambilan hukum, yaitu memadukan antara fiqih
Madinah dengan fiqih Irak. Mazhab ini tersebar di wilayah Mesir, Palestina, dan
Syam, dan menjadi mazhab mayoritas di wiliyah Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Adapun ulama-ulama besar dari mazhab ini, seperti Imam al-
Nawawi, Muhammad Khatib al-Syarbani, Ibnu Abdul Hakim, dan sebagainya.
Kitab-kita yang ditulis oleh Imam al-Syafi’i, seperti al-Risalan dan al-Umm.
5. Mazhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal mulai 204 H, dan
masih dipakai hingga sekarang, terutama di Arab Saudi. Mazhab ini lebih sedikit
meng-gunakan akal/ra’yu/qiyas dalam pengambilan hukum, dan lebih
mengutamakan hadits dhaif daripada qiyas. Mazhab ini menjadi mazhab resmi
di Arab Saudi, dan banyak tersebar di wilayah Jazirah Arab (Qatar, Bahrain,
UEA). Ulama-ulama besar dari mazhab ini, seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim al-Jauziyah. Karya-karya terkenal dari mazhab ini, seperti al-Musnad,
al-Tarikh, dan lainnya.

B. SARAN
Para ahli mujtahid telah menetapkan dasar-dasar dalam menetapkan hukum
agama Islam. Meskipun terdapat perbedaan, tetapi hendaknya hal tersebut tidak
menjadi masalah diantara sesama Muslim. Kita sebaiknya bersikap lebih berhati-hati
dalam menetapkan hukum agama Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

36
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali. 2002. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jauhari, Wildan. 2018a. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta Selatan: Rumah fiqih
Publishing.
Jauhari, Wildan. 2018b. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal. Jakarta Selatan: Rumah
Fiqih Publishing.
Jauhari, Wildan. 2018c. Biografi Imam Malik. Jakarta Selatan: Rumah fiqih Publishing.
Jauhari, Wildan. 2018d. Biografi Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Jakarta
Selatan: Rumah Fiqih Publishing.
Kasdi, Abdurrohman. 2018. “Menyelami Fiqih Madzhab Maliki (Karakteristik
Pemikiran Imam Maliki dalam Memadukan Hadits dan Fiqih).” YUDISIA : Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam.
Maradingin. 2020. Pengantar Perbandingan Mazhab. Sukabumi: Farha Pustaka.
Mawardi. 2022. “Perkembangan Empat Mazhab dalam Hukum Islam.” Jurnal An-Nahl.
Nadia, Nadia. 2020. “Kehidupan dan Karakteristik Pemikiran Hukum Imam Ahmad bin
Hanbal.” Comparativa: Jurnal Ilmiah Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Said, Musthafa. 2006. Sejarah Ushul Fikih. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Supriadi, Udin, Mohammad Rindu Fajar Islamy, dan Wawan Hermawan. 2021. “Islam
dan Madzhab: Analisis Distribusi Pengikut Madzhabmadzhab Mu’thabarah di
Berbagai Belahan Dunia.” Istinbath.
Susanto, Hadi. 2016. Empat Mazhab Fiqih: Imam, Fase Perkembangan, Ushul, dan
Pengaruhnya. Jakarta Timur: Pustaka Ikadi.

37

Anda mungkin juga menyukai