Anda di halaman 1dari 111

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

DIREKTORAT PERBENIHAN
2006
KATA PENGANTAR

Dalam upaya memenuhi kebutuhan induk dan benih ikan yang berkualitas
untuk mendukung program Percepatan Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya
untuk Ekspor (PROPEKAN), Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk
Konsumsi Masyarakat (PROKSIMAS) dan Perlindungan dan Rehabilitasi
Sumberdaya Perikanan Budidaya (PROLINDA), maka diperlukan optimalisasi
pemanfaatan sarana Balai-Balai benih ikan, yang telah dibangun, berupa Balai
Benih Ikan Seal (BBIS), Balai Benih Ikan Lokal (BBIL), Balai Benih Udang (BBU),
Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) guna
penyediaan benih bermutu untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan
perikanan budidaya.
Dalam rangka peningkatan kinerja Balai-Balai Benih tersebut untuk mencapai
sasaran produksi yang diharapkan maka perlu disusun buku Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak).
Petunjuk pelaksana ini diharapkan dapat memberikan gambaran serta
pedoman dalam pembangunan dan operasional balai-balai benih ikan didaerah.
Juklak Pembangunan ini juga mencakup tujuan pembangunan, deskripsi teknis,
skala usaha, tata letak, konstruksi sarana prasarana, pembinaan SDM dan pedoman
pembenihan, aspek manajemen dan organisasi UPTD, Standar sarana dan fasilitas
fisik dan operasional.
Disadari bahwa dalam penyusunan Juklak ini tentu masih banyak
kekurangan, untuk itu saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan demi
perbaikan Juklak BBIS, BBIL, BBU, BBUG dan BBIP di berbagai daerah.
Akhirnya kami menyadari bahwa kondisi daerah dan kendala yang dihadapi
pada umumnya berbeda dimasing-masing daerah. Oleh karena itu deskripsi teknis
instalasi unit perbenihan ikan yang dibangun, dapat disesuaikan dengan kondisi
daerah tanpa merubah prinsip dan pedoman yang telah digariskan.

Jakarta, Desember 2006


Direktur Jenderal Perikanan Budidaya

DR. Ir. Made L. Nurjana


KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

NOMOR : 1106 /DPB.O/HK...../X/2006

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS BALAI BENIH IKAN (BBI), BALAI BENIH IKAN SENTRAL
(BBIS), BALAI BENIH UDANG (BBU), BALAI BENIH UDANG GALAH (BBUG),
DAN BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP)

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Balai Benih Ikan (BBI)
dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) untuk komoditas air tawar,
Balai Benih Udang (BBU) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP)
untuk komoditas air payau dan laut dalam meningkatkan
produktivitas dan produksi pembudidayaan ikan, perlu adanya
petunjuk pelaksanaan Unit Pelaksana Teknis Dinas bidang
perbenihan perikanan, standar sarana, standar fasilitas fisik dan
operasional sebagai pedoman baku untuk melaksanakan kegiatan;
b. bahwa untuk mencapai maksud diatas, dipandang perlu untuk
menetapkan Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih
Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU) dan Balai Benih
Ikan Pantai (BBIP).

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985;


2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun
2005;
6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan
Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Nomor 66 Tahun 2006;
7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen
Kelautan dan Perikanan;
8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen
Kelautan dan Perikanan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.13/MEN/2006;

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
PERTAMA : Petunjuk Teknis Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD
Perikanan Propinsi Bidang Perbenihan Perikanan, sebagaimana yang
dimaksud dalam lampiran 1 Keputusan ini sebagai pedoman
pembinaan perbenihan perikanan di daerah.
KEDUA : Standar Sarana, Fasilitas Fisik, dan Operasional Balai Benih Ikan
(BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) sebagaimana dalam
lampiran 2 Keputusan ini sebagai pedoman pembinaan dan
pengelolaan Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral
(BBIS).
KETIGA : Standar Sarana, Fasilitas Fisik dan Operasional Balai Benih Ikan
Pantai (BBIP) sebagaimana dalam lampiran 3 keputusan ini sebagai
pedoman pembinaan dan pengelolaan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP)
untuk komoditas air payau dan laut.
KEEMPAT : Menyiapkan Balai Benih Ikan Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih
Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG), dan dan Balai
Benih Ikan Pantai (BBIP) sebagai unit pelaksana teknis Dinas
Perikanan Propinsi bidang Perbenihan Perikanan.
KELIMA : Melengkapi Balai Benih Ikan Sentral, Balai Benih Ikan Pantai, dengan
struktur organisasi maupun tugas fungsi seperti dalam lampiran
keputusan ini.
KEENAM : Seluruh unit kerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan Dinas
Perikanan Daerah wajib mempedomani dan melaksanakan Petunjuk
Teknis Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perikanan
Propinsi bidang Perbenihan Perikanan, Standar Sarana, Fasilitas Fisik,
dan Operasional Balai Benih Ikan Sentral, serta Standar Sarana,
Fasilitas Fisik dan Operasional Balai Benih Ikan Pantai.
KETUJUH : Sejak diberlakukannya Keputusan ini, maka Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perikanan Nomor: 12057/Kpts/IK.330/X/99 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : Desember 2006

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN


BUDIDAYA

DR. Ir. MADE L. NURDJANA


NIP 080.032.270
Tembusan Yth. :
1. Menteri Kelautan dan Perikanan;
2. Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan;
3. Inspektur Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan;
4. Direktur Jenderal Lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan;
5. Para Gubernur seluruh Indonesia;
6. Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi seluruh Indonesia;
7. Para Kepala Balai Unit Pelaksana Teknis Dirjen Perikanan Budidaya
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan usaha perikanan budidaya beberapa tahun terakhir telah


menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Data pada periode 2000-2004,
terjadi peningkatan luas areal 2,3 % per tahun, peningkatan produksi 10,4 % per
tahun, dengan produksi mencapai 1.468.610 ton pada tahun 2004. Disamping
peningkatan tersebut, ternyata berbagai permasalahan masih menjadi hambatan
pada pengembangan usaha perikanan budidaya diantaranya tingkat produktivitas
yang masih rendah, beberapa teknologi pembenihan belum sepenuhnya dikuasai,
mutu benih yang masih rendah dan terbatas jumlahnya, adanya serangan hama dan
penyakit, serta proses alih teknologi yang aplikatif adaptif belum berjalan dengan
baik dan terasa lambat.

Pengembangan usaha perikanan budidaya sangat tergantung pada


ketersediaan induk dan benih unggul, karena induk dan benih merupakan salah
satu sarana produksi yang mutlak dan akan menentukan keberhasilan usaha
budidaya. Proses penyediaan dan distribusi benih unggul harus memenuhi kriteria 7
tepat seperti yang dipersyaratkan, yakni : tepat jenis, waktu, mutu, jumlah, tempat,
ukuran dan tepat harga.

Sehubungan dengan fungsi penyediaan induk dan benih tersebut, maka


keberadaan Balai Benih Ikan Sentral, Balai Benih Udang, Balai Benih Udang Galah,
dan Balai Benih Ikan Pantai selaku Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota , menjadi sangat penting
terkait dengan misi dan Tupoksi yang diembannya.

Di samping fungsinya sebagai penghasil induk dan benih unggul untuk


keperluan Unit Pembenihan Rakyat/Penangkar Benih dan pembudidaya ikan
diwilayahnya, UPTD juga bertugas untuk melakukan pembinaan dan pemantauan
penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih, pengendalian mutu benih,
pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan, serta memberi kontribusi kepada PAD.
Pelaksanaan Tupoksi UPTD tersebut akan lebih efisien dan efektif bila didukung
dengan sarana dan prasarana yang cukup, kelembagaan yang mantap disertai
sistem tata laksana yang memadai serta sumberdaya manusia yang memenuhi
standar keahlian keterampilan yang didukung oleh dedikasi tinggi.

Kenyataan saat ini belum semua UPTD yang ada di daerah mampu
melaksanakan Tupoksi tersebut dengan baik. Karena itu guna meningkatkan kinerja
serta menyatukan visi dan misi UPTD, khususnya guna mendukung dan
menyukseskan program Revitalisasi Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya menerbitkan buku Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai
Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah
(BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP).
1.2. Maksud dan tujuan

Petunjuk Teknis ini disusun dengan maksud agar dapat digunakan sebagai
acuan dalam rangka mempersiapkan dan mengoperasionalkan BBI/BBU/BBUG/
dan BBIP sebagai UPTD, dengan tujuan utamanya adalah :

a. Meningkatkan pembinaan dan kinerja balai-balai benih ikan dalam rangka


mendukung pelaksanaan fungsi UPTD;
b. Meningkatkan kelengkapan fasilitas fisik dan SDM di balai-balai benih ikan
sehingga dapat mendukung tugas dan fungsinya sebagai UPTD ;
c. Menyediakan wadah bagi pejabat fungsional didaerah;
d. Membantu Dinas yang membidangi perikanan di daerah, dalam pendataan
perikanan melalui UPTD untuk mendapatkan data dan informasi secara kontinyu,
akurat dan tepat waktu.
II. KEBIJAKAN DAN KEGIATAN PENGEMBANGAN PERBENIHAN

2.1. Sistem Perbenihan Perikanan

Kebijakan dan program pengembangan perbenihan perikanan dilaksanakan


dengan mengacu pada sistem perbenihan perikanan. Sistem perbenihan perikanan
adalah suatu tatanan strategis dalam pengembangan perbenihan perikanan untuk
mendukung pembangunan perikanan dengan memanfaatkan IPTEK, modal,
sumberdaya ikan dan sumberdaya lainnya. Sistem sumberdaya perikanan terdiri dari
tiga subsistem yaitu subsistem penelitian, subsistem pengadaan, dan subsistem
pengawasan.

Subsistem penelitian merupakan rangkaian kegiatan penelitian dan


pengembangan perbenihan untuk mendukung kegiatan subsistem pengadaan dan
subsistem pengawasan. Dukungan penelitian dan pengembangan bagi subsistem
pengadaan diperlukan terutama yang berkaitan dengan domestika, reproduksi,
pemulian, biotek, dan sosial ekonomi. Sedangkan penelitian dan pengembangan
bagi subsistem pengawasan diperlukan terutama yang berkaitan dengan
pengembangan standarisasi dan metode pengujian mutu benih.

Pembinaan penelitian dan pengembangan adalah menjadi tugas Lembaga


Penelitian Pemerintah, sedangkan kegiatan pelaksanaanya dapat dilakukan oleh
siapa saja baik lembaga pemerintah maupun swasta. Kegiatan penelitian terutama
dilaksanakan atas dasar tuntutan kebutuhan dan dukungan untuk pengembangan.
Penelitian yang bersifat mendasar dan berjangka panjang sebaiknya dirintis oleh
Lembaga Litbang Pemerintah karena memerlukan biaya mahal dan hasilnya tidak
langsung terpakai.
Adapun penelitian praktis dan berjangka pendek serta tidak memerlukan biaya tinggi
dapat dilakukan oleh pihak swasta atau pihak yang langsung memerlukan.
Sedangkan kerjasama penelitian antar negara dan antar pemerintah dengan swasta
sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan demi kemajuan perbenihan perikanan.

Pengakuan Hak Patent atau Hak Kekayaan Intelektual atas hasil penelitian
perbenihan perlu diatur dalam peraturan perundangan.
Lembaga Litbang Pemerintah dapat mambangun Bank Plasma Nutfah dalam rangka
pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya hayati perikanan.

2.2. Kegiatan Pengembangan Perbenihan Perikanan

2.2.1. Tujuan Kegiatan pengembangan perbenihan adalah :

a. Menunjang pengembangan budidaya ikan dalam rangka pembangunan


perikanan;
b. Tersedianya benih yang memenuhi tujuh (7) tepat yaitu tepat jenis, jumlah,
ukuran , waktu, tempat, mutu dan harga;
c. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani pembudidaya dan
nelayan pengumpul benih alam melalui pembinaan kegiatan usaha
perbenihan yang berorientasi agribisnis;
d. Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha dibidang
perbenihan;
e. Menciptakan kegiatan perbenihan yang berwawasan lingkungan dalam
upaya pelestarian sumberdaya ikan (termasuk plasma nuftah) dan
lingkungan hidup;
f. Meningkatkan devisa secara langsung atau tidak langsung melalui ekspor
benih atau hasil perikanan budidaya.

2.2.2. Kegiatan Utama

a. Kegiatan pembinaan produksi benih

Pengadaan benih akan selau mengutamakan produksi dan


pemanfaatan sumber benih dalam negeri. Impor benih hanya dilakukan
apabila situasinya telah mendesak untuk dapat mempertahankan
kelangsungan usaha budidaya didalam negeri.

Pembinaan produksi benih diarahkan pada upaya meningkatkan


kuantitas dan kualitas benih untuk kepentingan budidaya air tawar, payau
maupun laut. Kegiatan ini dilaksanakan melalui peningkatan dukungan
teknologi sarana dan prasarana perbenihan serta pemanfaatan benih alam.

Sasaran pembinaan produksi dititik beratkan pada kelompok-kelompok


pembenih/penangkar yang potensial namun lemah dalam permodalan dan
ketinggalan dalam penerapan IPTEK sebagai contoh Unit Pembenihan
Rakyat (UPR) dan Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Pola usaha
selanjutnya diarahkan pada pola kemitraan dengan peningkatan peranan
Dinas Perikanan Daerah, khususnya didalam penanganan komoditas andalan
masing-masing daerah.

b. Kegiatan pembinaan distribusi dan pemasaran

Kegiatan pembinaan distribusi dan pemasaran ini diarahkan pada


upaya memperlancar arus distribusi benih dari tingkat produsen ke konsumen
melalui mekanisme pasar dan penanganan transportasi yang layak sehingga
saling menguntungkan produsen maupun konsumen. Dengan adanya
pembinaan distribusi dan pemasaran diharapkan pula dapat mengendalikan
harga dan lebih mendorong pengembangan perbenihan maupun budidaya.

c. Kegiatan pembinaan sumber daya manusia

Kegiatan pembinaan ini diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan


keterampilan para pembenih/penangkar khususnya yang berorientasi
agribisnis. Peningkatan keterampilan dapat dilaksanakan melalui pelatihan,
magang, pembinaan kelompok serta studi banding kedaerah lain yang relatif
lebih maju usaha pembenihannya. Disamping itu dilakukan pula peningkatan
kualitas SDM petugas pembina dan penyuluh melalui pendidikan dan latihan
yang memadai.

d. Kegiatan pengawasan mutu benih


Kegiatan pengawasan benih diarahkan pada upaya terjaminnya
kualitas benih sejak dari pembenih sebagai produsen sampai kepada
pengguna benih sebagai konsumen (pembudidaya). Melalui mutu benih yang
terjamin, maka kepercayaan konsumen terhadap benih akan meningkat dan
pada gilirannya pendapatan pembenih akan meningkat.
Pengawasan mutu benih mencakup pula kegiatan pengendalian lingkungan
akibat kegiatan perbenihan. Karena didalam pengawasan mutu benih
dipersyaratkan proses-proses kegiatan yang berwawasan lingkungan.

e. Kegiatan Pengembangan Sistem Informasi Perbenihan

Kegiatan pengembangan sistem informasi perbenihan ini dilaksanakan


khususnya untuk mengembangkan sistem informasi perbenihan secara lebih
baik, sekaligus meningkatkan ketersedian data dan informasi perbenihan
yang akurat dan muktahir. Melalui program pengembangan ini maka
pengguna data perbenihan akan dapat memperoleh data tersebut secara
lebih baik, akurat dan tepat waktu.

2.2.3. Kegiatan Penunjang

a. Kegiatan pengembangan teknik perbenihan

Paket teknologi dan penemuan-penemuan teknologi baru dibidang


perbenihan ada yang bersifat sederhana dan langsung bisa diadopsi atau
diaplikasikan oleh kebanyakan penangkar benih atau pengusaha perbenihan
lainnya. Namun adapula paket teknologi dan penemuan-penemuan teknologi
baru dibidang perbenihan yang rumit sehingga memerlukan perekayasaan
untuk dapat diaplikasikan secara tepat guna sesuai dengan komoditi daerah
tertentu. Tugas pengembangan teknik perbenihan ini dapat dilaksanakan di
Balai Benih Pusat (UPT Pusat) ataupun balai benih daerah (UPTD Propinsi).

b. Kegiatan peningkatan penerapan diseminasi teknologi

Usaha pembenihan diupayakan dapat berkembang sebagai usaha


agribisnis yang berbasis pedesaan. Dengan demikian usaha perbenihan
dapat merupakan salah satu peluang usaha bagi masyarakat pedesaan.

Keberhasilan usaha pembenihan tidak bisa terlepas dari penguasaan


teknologi pembenihan. Oleh karena itu agar diseminasi teknologi pembenihan
dapat segera mencapai wilayah pedesaan, maka diperlukan program
percepatan diseminasi dengan sasaran utama pembenih pedesaan.
Pelaksanaan diseminasi akan dilakukan melalui pemanfaatan lembaga
dan instansi yang sudah ada antara lain Balai Penelitian, Balai
Pengembangan Budidaya, Balai Benih dan Lembaga Penyuluhan.

c. Kegiatan pengkayaan ragam genetik budidaya ikan budidaya

Beberapa jenis ikan exotic yang telah berkembang pembudidayaanya


seperti ikan nila, nila merah, lele dumbo dll telah mengalami penurunan mutu
genetik. Hal ini terjadi karena populasi species tersebut waktu pertama kali
diimport jumlahnya sangat sedikit, sehingga dalam jangka beberapa tahun
telah terjadi depresi inbreeding. Masalah tersebut dapat diatasi dengan
mengimport kembali sejumlah parent stock untuk memperkaya ragam
genetik dan memperlambat terjadinya depresi inbreeding ikan-ikan tersebut.

d. Kegiatan pengembangan agribisnis perbenihan

Dalam era globalisasi persaingan pada dunia usaha menjadi


sedemikian ketatnya dan berdampak pada semua sektor termasuk sektor
perikanan. Maka pengembangan perikanan yang berorientasi agribisnis
merupakan strategi yang harus ditempuh pemerintah dalam mewujudkan
sektor perikanan yang maju, tangguh dan efisien guna mensejahterahkan
pembudidaya.

Pengembangan perbenihan perikanan yang berorientasi agribisnis


akan diarahkan pada segala aktivitas perbenihan dari mulai kegiatan
penyedian sarana dan prasarana perbenihan, operasional produksi benih
sampai dengan distribusi dan pemasaran benih.

e. Kegiatan pengembangan sentra produksi benih

Kelangsungan usaha produksi benih sering dihadapkan pada kendala


konflik kepentingan lahan dan kerusakan lingkungan disamping kendala
pemasaran karena lokasi produksi yang terisolasi. Guna mengatasi kendala
tersebut perlu direncanakan dan ditetapkan sntra-sentra produksi benih
dengan pertimbangan lingkungan, kepentingan agribisnis, pembangunan
daerah dan dengan mengantisipasi perkembangan sektor lain yang
mempunyai dampak terhadap perkembangan perbenihan perikanan.
Kegiatan ini perlu dilaksanakan dan sangat penting dalam kaitannya dengan
pelaksanaan Pembangunan Perikanan Berbasis Pedesaan di daerah.
III. ORGANISASI UPT DAERAH

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) adalah suatu unit kerja dibawah
pengawasan dan pengelolaan Dinas Perikanan atau Dinas yang membidangi
Perikanan baik di Propinsi/Kabupaten/Kota, yang melaksanakan tugas operasional
teknis dalam menunjang keberhasilan pembangunan perikanan.
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bidang perbenihan perikanan dapat
dikatagorikan atas dua (2) bidang tugas yaitu UPTD Perbenihan Air Tawar yang
meliputi Balai Benih Ikan Lokal (BBI Lokal) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS); dan
UPTD Perbenihan Budidaya Pantai yang meliputi Balai Benih Udang/Balai Benih
Udang Galah (BBU/BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) yang meliputi
budidaya air payau dan laut.

3.1. Lokasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi

Secara umum UPTD Perbenihan Perikanan yang meliputi UPTD BBI dan
UPTD BBIP adalah merupakan sarana bimbingan secara langsung kepada unit-unit
Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) serta Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT)
dalam rangka pengadaan dan pengendalian mutu benih. Maka UPTD Perbenihan
Perikanan mempunyai tugas pokok melaksanakan bimbingan peningkatan produksi
benih dalam jumlah dan mutu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, UPTD
Perbenihan Perikanan mempunyai fungsi sebagai berikut :

3.1.1. Lokasi UPTD Perbenihan Perikanan :

a. UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau
dan Budidaya Laut terdapat masing-masing satu (1) unit di setiap propinsi di
Indonesia dengan wilayah kerja meliputi Propinsi dimana UPTD berada.
b. UPTD Kabupaten/Kota Perbenihan Perikanan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air
Payau dan Budidaya Laut terdapat masing-masing satu (1) unit dengan fasilitas
lengkap disetiap Kabupaten/Kota di Indonesia, dengan wilayah kerja meliputi
Kabupaten/Kota tempat UPTD tersebut berada dan BBI lainnya merupakan Unit
Instalasi dari BBI yang sudah mapan.

3.1.2. Kedudukan

a. UPTD Perbenihan Perikanan adalah unit pelaksana teknis Dinas Perikanan


Propinsi atau Kabupaten/Kota dibidang perbenihan air tawar, air payau dan laut,
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Perikanan
Propinsi atau Kabupaten/Kota.
b. UPTD perbenihan air tawar, air payau, dan laut masing-masing dipimpin oleh
seorang Kepala.
3.1.3. Tugas

UPTD Perbenihan mempunyai tugas melaksanakan penerapan teknik


perbenihan budidaya air tawar, budidaya air payau dan budidaya laut serta
pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan di wilayah Propinsi untuk UPTD
Propinsi dan Kabupaten.

3.1.4. Fungsi

™ Dalam melaksanakan tugas UPTD Propinsi perbenihan budidaya air tawar


menyelenggarakan fungsi :
a. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih;
b. Perbanyakan induk ”Grand Parent Stock” (GPS) menjadi induk/calon induk
”Parent Stock” dan distribusi induk;
c. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik
pengendalian hama dan penyakit;
d. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih;
e. Pengawasan mutu benih.

™ Dalam melaksanakan tugas UPTD Propinsi perbenihan budidaya air payau/laut


menyelenggaran fungsi :
a. Perbanyakan induk ikan air payau;
b. Pengadaan telur/nauplii;
c. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih;
d. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik
pengendalian hama dan penyakit;
e. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih;
f. Pengawasan mutu benih.

™ Dalam melaksanakan tugas UPTD Kabupaten perbenihan budidaya air tawar


menyelenggarakan fungsi :
a. Pemeliharaan calon induk ”Parent Stock” menjadi induk induk ”Parent Stock”
dan distribusi induk;
b. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih;
c. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik
pengendalian hama dan penyakit;
d. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih.

™ Dalam melaksanakan tugas UPTD Kabupaten perbenihan budidaya air


payau/laut menyelenggarakan fungsi :
a. Pengadaan induk, telur/nauplii;
b. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih;
c. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik
pengendalian hama dan penyakit;
d. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih.
3.1.4. Susunan Organisasi

™ UPTD Perbenihan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau dan Budidaya Laut
terdiri dari :
a. Urusan Tata Usaha;
b. Sub Seksi Pelayanan Teknik Produksi dan Sub Seksi Standarisasi dan
Informasi;
c. Kelompok Jabatan Fungsional.

Susunan Struktur Organisasi UPTD sebagai berikut :

KEPALA

URUSAN TATA USAHA

SUB SEKSI PELAYANAN SUB SEKSI STANDARISASI


TEKNIK PRODUKSI DAN INFORMASI

KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL

™ Urusan Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha UPTD
Perbenihan.

™ Dalam melaksanakan tugas urusan Tata Usaha mempunyai fungsi


pelaksanaan urusan kepegawaian, surat menyurat, rumah tangga dan
perlengkapan serta keuangan.

™ Sub Seksi Pelayanan Teknis Produksi mempunyai tugas melakukan pelayanan


dan publikasi teknis kegiatan penerapan teknik perbenihan, pelestarian
sumberdaya ikan dan lingkungan, pengendalian hama penyakit serta
melakukan pelaksanaan sertifikasi sistem mutu atau sertifikasi benih dan
pengawasan mutu benih.

™ Sub Seksi Standarisasi dan Informasi mempunyai tugas penyiapan perumusan


kebijakan, standarisasi, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan
teknis serta evaluasi dibidang standarisasi.

™ Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari jabatan fungsional, perekayasa dan


jabatan fungsional lain xccyang diatur berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
™ Kelompok Jabatan Fungsional tersebut dipimpin oleh seorang tenaga
fungsional senior, yang ditunjuk oleh kepala UPTD.

™ Jumlah tenaga fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan dan


beban kerja.

™ Jenis dan jenjang jabatan fungsional tersebut diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
IV. PEMBINAAN

4.1. Tata Hubungan Kerja

Segenap kebijaksanaan pokok mengenai pembinaan perbenihan perikanan


secara nasional ditetapkan oleh Diektur Jenderal Perikanan Budidaya. Pembinaan
dan supervisi tentang perbenihan perikanan dari pusat dilaksanakan Direktorat
Perbenihan perikanan beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya yaitu : BBBAP Jepara (Jawa Tengah), BBBAT Sukabumi (Jawa
Barat), BBBL Lampung (Lampung), BBBAP Situbondo (Jawa Timur), BBAT Jambi
(Jambi), BBAT Mandiangin (Kalimantan Selatan), BBAT Tatelu (Sulawesi Utara),
BBAP Aceh (NAD), BBAP Takalar (Sulawesi Selatan), BBL Batam (Kepulauan
Riau), BBL Lombok (NTB) dan BBL Ambon (Maluku).

Kegiatan-kegiatan Pembinaan yang dilakukan meliputi :

a. Memberikan petunjuk pelaksanaan pengelolaan dan petunjuk teknis kegiatan


UPTD Perbenihan Perikanan.
b. Mengadakan supervisi dan bimbingan teknis perbenihan pada unit kerja UPTD
perbenihan perikanan di daerah.
c. Memberikan penilaian kemampuan UPTD Perbenihan perikanan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya.
d. Memberikan konsultasi pengadaan sarana produksi dan peningkatan
kemampuan personil UPTD.
e. Memberikan konsultasi dan persetujuan gambar detil dan desain konstruksi
pembangunan atau rehabilitasi prasarana fisik bangunan UPTD.
f. Memantau kegiatan dan perkembangan perbenihan ikan air tawar, laut dan air
payau didaerah.

Disamping pelaksanaan kegiatan pembinaan dan supervisi tersebut diatas,


UPT Pusat juga membantu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam
melaksanakan pembinaan UPTD terutama yang berkaitan dengan bimbinan teknis,
perekayasaan, teknologi perbenihan, penyebaran induk-induk ikan bermutu dan
pelatihan keterampilan personil lapangan di masing-masing wilayah kerja
pembinaannya.

Dinas Perikanan Propinsi mengelola unit kerja UPTD Propinsi yaitu Balai
Benih Ikan Sentral (BBIS) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP); sedangkan unit kerja
UPTD Kabupaten yaitu Balai Benih Ikan Lokal (BBIL) berada dibawah pengelolaan
Dinas Perikanan Kabupaten. Untuk melaksanakan pembinaan dan koordinasi
kegiatan, Kepala Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dibantu oleh Kepala Sub Dinas
Produksi, sedangkan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota dibantu oleh Kepala
Sub Dinas Produksi.
Untuk pembinaan mutu induk dan benih ikan akan dilakukan Sub Direktorat
Standarisasi dan Sertifikasi Direktorat Perbenihan Departemen Kelautan dan
Perikanan untuk merumuskan standar dan sistem sertifikasi mutu benih. Badan
Litbang Kelautan Perikanan akan membantu merumuskan paket-paket teknologi
perbenihan perikanan, produksi induk ikan varietas unggul dan diseminasi teknologi.
UPT Pusat setelah mendapatkan petunjuk dari Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya dan masukan teknologi serta produk varietas unggul, selanjutnya akan
membina UPTD Propinsi dalam bentuk masukan teknologi perbenihan, grand parent
stock varietas induk unggul dan sertifikasi personil. Demikian selanjutnya UPTD
Propinsi akan membina UPTD Kabupaten dalam teknologi, hasil induk unggul dan
sertifikasi mutu benih. UPTD Kabupaten selanjutnya membina Unit Pembenihan
Rakyat (UPR) Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) didaerah yang akhirnya
bermuara di Pembudidaya Ikan di daerah. Secara terinci alur pembinaan dapat
dilihat pada skema tata hubungan kerja pembinaan perbenihan halaman 13.

4.2. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan

UPTD Perbenihan Perikanan dengan segala tugas dan fungsinya merupakan


sarana pembinaan yang strategis dalam rangka perbenihan didaerah. Sehubungan
dengan itu keberadaan dan peran UPTD akan tetap dipertahankan dan ditingkatkan
kemampuannya agar dapat selalu memdukung pengembangan perbenihan
perikanan didaerah. Oleh karena itu diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap
kegiatan dan perkembangan perbenihan perikanan didaerah agar apabila terjadi
penyimpangan dari tugas dan fungsi atau timbul permasalahan perbenihan lain
maka akan dapat segera diketahui dan dicarikan pemecahan masalahnya.

Monitoring di daerah Kabupaten dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten,


Propinsi dilakukan oleh Dinas Perikanan Propinsi, dan secara Nasional dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q. Direktorat Perbenihan.

4.2.1. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Perikanan Propinsi

Dinas Perikanan Kabupaten/Kota melakukan monitoring dan evaluasi


terhadap kegiatan setiap unit UPTD Lokal dan perkembangan perbenihan perikanan
didaerahnya. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan
maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan
bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik,
perkembangan UPR, produksi dan pemasaran benih Kabupaten.

4.2.2. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Perikanan Kabupaten

Dinas Perikanan Kabupaten melakukan monitoring dan evaluasi terhadap


kegiatan setiap unit UPTD Propinsi dan Kabupaten perbenihan perikanan
didaerahnya. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan
maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan
bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik,
perkembangan UPR, produksi dan pemasaran Propinsi.

4.2.3. Monitoring dan Evaluasi oleh Direktorat Jenderal Perikaan Budidaya

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya melakukan monitoring dan evaluasi


terhadap kegiatan unit UPTD Propinsi dan Kabupaten perbenihan perikanan yang
dibiayai oleh APBN dan perkembangan perbenihan ikan air tawar diseluruh
Indonesia.

Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun


melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan
teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, UPTD,
perkembangan UPR, HSRT, produksi dan pemasaran benih.

UPT Pusat yang ada di balai benih ikan air tawar membantu Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya memonitoring pelaksanaan uji lapangan di UPTD
mengenai teknik pembenihan yang dilaksanakan dan kegiatan peningkatan mutu
induk. Sedangkan UPT Pusat yang ada di balai benih ikan air payau/laut
memonitoring pelaksanaan uji lapangan terhadap Balai Benih Ikan Pantai (BBIP)
dan Balai Benih Udang (BBU/BBUG) yang ada didaerah.

Sejalan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi ini maka secara periodik
dua (2) tahun sekali akan dilakukan pula pemilihan UPTD terbaik dengan cara
menilai seberapa jauh UPTD telah melaksanakan kegiatan perbenihan sesuai
dengan tugas dan fungsinya. Dalam penilaian ini kriteria yang akan digunakan
antara lain:

1. Pencapaian target produksi benih.


2. Pembinaan yang dilakukan UPTD Propinsi terhadap UPTD Kabupaten baik
dalam pengadaan induk bermutu maupun dalam penyampaian teknologi
pembenihan.
3. Pembinaan yang dilakukan UPTD Kabupaten terhadap UPR atau HSRT dalam
penyampaian teknologi pembenihan.
4. Kegiatan penebaran benih untuk perairan umum.
5. Keterlibatan dan dukungan UPTD terhadap program Budidaya di daerah.

Penilaian terhadap UPTD ini akan dilaksanakan secara terpisah antara UPTD
Propinsi perbenihan Perikanan dan UPTD Kabupaten perbenihan perikanan lokal.
Laporan kegiatan UPTD dan perkembangan perbenihan dibuat secara berjenjang
berdasaran hasil monitoring yang telah dilakukan baik oleh UPTD Dinas Perikanan
Kabupaten, Dinas Perikanan Propinsi, maupun Direktorat jenderal Perikanan
Budidaya yang meliputi segala aspek yang berkaitan dengan benih antara lain aspek
produksi, distribusi pemasaran, teknologi penelitian dan peraturan perundangan.

Laporan ini disusun dengan maksud agar semua kegiatan UPTD dan
perkembangan perbenihan dapat dievaluasi sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan kebijakan perbenihan di Indonesia.

a. Prosedur Pelaporan

Laporan kegiatan UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya dibuat secara


periodik bulanan, triwulan, dan tahunan berdasarkan tahun anggaran yang dimulai
bulan April dan berakhir bulan Maret tahun berikuitnya.
Laporan dibuat bertingkat yaitu :
¾ Kepala UPTD Kabupaten Perikanan Budidaya berkewajiban menyampaikan
laporan triwulan dan tahunan kegiatan unit kerja yang dipimpinnya kepada
Kepala Dinas Perikanan Propinsi.
¾ Kepala UPTD Propinsi Perikanan Budidaya berkewajiban menyampaikan
laporan triwulan dan tahunan kegiatan unit kerja yang dipimpinnya kepada
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten.
¾ Dinas Perikanan Kabupaten berkewajiban menyampaikan laporan Triwulan dan
Tahunan semua UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya yang ada di
Kabupaten yang bersangkutan kepada Dinas Perikanan Propinsi. Disamping itu
Dinas Perikanan Kabupaten menyampaikan laporan Triwulan dan Tahunan
tentang perkembangan perbenihan di Kabupaten yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan perkembangan ikan adalah perkembangan semua aspek yang
berkaitan dengan benih ikan air tawar antara lain : Perkembangan UPR, HSRT,
harga benih, produksi dan distribusi benih dan sebagainya.
¾ Dinas perikanan Propinsi berkewajiban menyerahkan Laporan Triwulan dan
Tahunan UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya dan UPTD Kabupaten
Perbenihan Perikanan Budidaya lain yang dibiayai oleh APBN ke Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya c.q. Direktorat perbenihan. Disamping itu Dinas
Perikanan Propinsi berkewajiban pula menyampaikan Laporan Triwulan dan
Tahunan tentang perkembangan perbenihan perikanan di Propinsi yang
bersangkutan.
¾ Semua Laporan Triwulan dan Tahunan dari Dinas Perikanan Propinsi akan
dihimpun oleh Direktorat Perbenihan, Direktorat jenderal Perikanan Budidaya
sebagai bahan Laporan Tahunan Perkembangan Perbenihan Ikan Perikanan di
Indonesia.

b. Materi Laporan

¾ Kepala UPTD Propinsi dan Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya


membuat Laporan Triwulan dan Tahunan mengenai segala kegiatan unit kerja
yang dipimpinnya baik yang menyangkut kegiatan yang kompleks maupun
kegiatan perkembangan perbenihan disekitarnya atau kegiatan-kegiatan lain
yang ditugaskan oleh Dinas Perikanan Daerah (contoh Laporan Triwulan dan
Tahunan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.
¾ Kepala Dinas Perikanan Kabupaten menyusun Laporan Triwulan dan Tahunan
UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan dan perkembangan perbenihan di
Kabupaten yang bersangkutan. Laporan dari Dinas Perikanan Propinsi terdiri dari
:

1) Laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Kabupaten Perbenihan


Perikanan Budidaya di Kabupaten dengan materi seperti outline laporan pada
lampiran 1 dan 2;
2) Laporan Triwulan dan Tahunan perkembangan Perbenihan Perikanan
Budidaya di Kabupaten dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1
dan 2.
¾ Kepala Dinas perikanan Propinsi menyusun Laporan Triwulan dan Tahunan
UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya dan perkembangan Perbenihan
di Propinsi yang bersangkutan. Laporan Dinas Propinsi yang harus disampaikan
ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya c.q Direktorat Perbenihan terdiri dari :

1) Laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan


Budidaya di Kabupaten yang dibiayai APBN dengan materi seperti outline
laporan pada lampiran 1 dan 2;
2) Laporan Triwulan dan Tahunan perkembangan Perbenihan Perikanan
Budidaya di Propinsi yang bersangkutan dengan materi seperti outline
laporan pada lampiran 1 dan 2.

c. Waktu Pelaporan

¾ Laporan Triwulan dari UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya kepada


Dinas Perikanan Kabupaten dikirim paling lambat satu (1) minggu setelah akhir
triwulan.
¾ Laporan Triwulan dari Dinas Perikanan Kabupaten dikirimkan paling lambat dua
(2) minggu setelah akhir Triwulan ke Dinas Perikanan Propinsi.
Selanjutnya Laporan Triwulan dari Dinas Perikanan Propinsi dikirim ke Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan paling lambat satu (1)
bulan setelah akhir triwulan.
¾ Laporan Tahunan dari Dinas Perikanan Kabupaten dikirimkan ke Dinas
Perikanan Propinsi paling lambat dua (2) minggu setelah akhir tahun, sedangkan
laporan tahunan dari Dinas Perikanan Propinsi dikirimkan ke Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan paling lambat satu (1) bulan
setelah akhir tahun anggaran.
V. PENUTUP

Panduan pembinaan dan pengelolaan BBIS, BBU, dan BBUG untuk


dipersiapkan sebagai UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya ini berisi pedoman
pokok pelaksanaan pembinaan untuk meningkatkan pembinaan dan kinerja unit-unit
kerja di daerah yang dipersiapkan sebagai UPTD. Diodalam penjabarannya menjadi
kegiatan langsung dilapangan masih dimungkinkan untuk disesuaikan lebih lanjut
sesuai situasi, kondisi, serta program pengembangan budidaya air tawar di daerah.
Selain itu panduan ini dapat dijadikan acuan dalam penyusunan kegiatan atau
program-program sebagai usulan kegiatan untuk mendapat bantuan anggaran
APBD maupun APBN. Panduan ini akan ditindak lanjuti dengan Juknis kegiatan
UPTD yang diterbitkan setiap tahun dan berisi antara lain : tentang penjelasan
khusus pelaksanaan kegiatan setiap tahun anggaran.

Berhasil tidaknya UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya dalam


melaksanakan tugas dan fungsinya akan dapat dijadikan sebagai indikator dan tolak
ukur keberhasilan pembangunan budidaya perikanan didaerah yang bersangkutan.
Lampiran 1

LAPORAN BULANAN/TAHUNAN
PERKEMBANGAN PERBENIHAN DIMASING-MASING BALAI
PROPINSI/KABUPATEN/KOTA :
BULAN :
TAHUN ANGGARAN :

1. Produksi Benih

Tabel 1. Jumlah produksi benih menurut jenis dan sumbernya

Sumber Benih
NO Jenis Ikan
BBIS BBIP BBI HSRT Hatchery Alam

2. Distribusi Benih

Tabel 2. Jumlah benih yang masuk dan keluar daerah


Keluar Masuk
Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Daerah Lain Luar Negeri
No Jenis Ikan
Nama Jumlah Nama Jumlah Nama Jumlah Nama Jumlah
Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor) Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor)

Catatan :
Distribusi benih harus menyertakan dokumen kelayakan :
1. SK Asal
2. SK Uji Bebas Virus dan Bacteri
3. Produsen Benih Milik Propinsi/Kabupaten/Kota

Tabel 3. Daftar Produsen Benih dan Produksinya

Luas Tahun Sumber Kapasitas Produksi Produksi Benih


No Nama BBIP/BBIS/BBI Lokasi Jenis Ikan
(Ha) dibangun Dana (ekor) (ekor)
4. Produksi Induk

Tabel 4. Jumlah induk yang masuk dan keluar daerah

No Jenis Ikan Keluar Masuk


Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Daerah Lain Luar Negeri (eksport)
Nama Jantan Betina Nama Jantan Betina Nama Jantan Betina Nama Jantan Betina
Daerah ekor kg ekor kg Daerah ekor kg ekor kg Daerah ekor kg ekor kg Negara ekor kg ekor kg
5. Pembenihan Swasta

Tabel 5. Daftar Pembenihan Swasta yang berada di Propinsi/Kabupaten

No Nama Lokasi Luas (Ha) Tahun berdiri Jenis Ikan Produksi/tahun (1.000 ekr)
Kapasitas Produksi
6. Harga Induk

Tabel 6. Harga induk per Bulan dalam Tahun berjalan

Ukuran (Kg) Kisaran Harga


No Jenis
Jantan Betina Terendah (Rp) Tertinggi (Rp)
7. Distribusi/Pemasaran

Tabel 7. Lalu Lintas Benih

Keluar dari Kabupaten/Kota Masuk ke Kabupaten/Kota


Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Daerah Lain Luar Negeri
No Jenis Ikan
Nama Jumlah Nama Jumlah Nama Jumlah Nama Jumlah
Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor) Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor)
8. Pembinaan Perbenihan

Tabel 8. Kegiatan Pembinaan Perbenihan

No Uraian Kegiatan Waktu Pelaksanaan Penyelenggaraan Sumber Dana


1. Contoh : Desiminasi
teknologi Kakap Putih
dalam rangka peningkatan
produksi
9. Permasalahan Perbenihan

9.1. Produksi
a. Teknologi
b. Mutu
c. Tenaga
d. Sarana Produksi
e. Wabah Penyakit
f. Pencemaran
g. dan lain-lain

9.2. Distribusi/Pemasaran
a. Transportasi
b. Pengepakan
c. Harga
d. Supplay – Demand
e. dan lain-lain

9.3. Pengaturan
a. Hambatan
b. dan lain – lain

10. Pemecahan Masalah dan Saran Pengembangan Perbenihan


Lampiran 2 : Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya
Nomor : 1106/DPB.0/HK.150/XII/2006

STANDAR SARANA, FASILITAS FISIK DAN OPERASIONAL


BALAI BENIH IKAN (BBI) DAN BALAI BENIH IKAN SENTRAL (BBIS)

DIREKTORAT JENDERAL PERIKAAN BUDIDAYA


DIREKTORAT PERBENIHAN
JAKARTA
2006

DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN .............................................................. 1

II. MAKSUD DAN TUJUAN .............................................................. 1

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI ........................................ 2


3.1. Kriteria Teknik .............................................................. 2
3.2. Perkolaman .............................................................. 5

IV. Sarana BBI .............................................................. 6


4.1. Bahan – Bahan .............................................................. 6
4.2. Peralatan .............................................................. 8
4.3. Bangunan Gedung .............................................................. 11

V. OPERASIONAL .............................................................. 12
5.1. Pengelolaan Induk .............................................................. 12
5.2. Pemijahan .............................................................. 12

LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN

Benih ikan merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan
produksi budidaya perikanan. Tersedianya benih ikan yang terjamin pengadaannya
baik species, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu dan harga yang tepat akan
sangat mempengaruhi suksesnya usaha budidaya tersebut.

Dari total produksi benih secara nasional, 97% dihasilkan oleh Usaha
Pembenihan Rakyat (UPR) dan hanya 3% berasal dari produksi Balai Benih Ikan
(BBI) milik pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa usaha pembenihan merupakan
usaha komersial yang cuckup menarik minat masyarakat. Karena itu didalam upaya
meningkatkan produksi benih nasional, kebijaksanaan Pemerintah terutama
diarahkan pada pembinaan dan pengembangan usaha pembenihan rakyat.

Semakin berkembangnya teknologi budidaya dikolam air deras, keramba dan


sebagainya, serta perluasan areal budidaya membawa konsekuensi meningkatnya
kebutuhan benih ikan yang bermutu tinggi. Dilain pihak, benih yang dihasilkan rakyat
mutunya semakin menurun sebagai akibat langkanya induk-induk ikan yang unggul.

BBI adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan induk dan benih ikan yang
bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan juga merupakan sarana untuk
pengujian lapangan terhadap teknologi yang dihasilkan oleh Balai Budidaya Air
Tawar.
Karena itu BBI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

1. Penghasil induk unggul dalam rangka menunjang Usaha Perbenihan Rakyat


(UPR) dan pengendalian mutu benih;
2. Penghasil benih untuk keperluan penebaran diperairan umum dan bila perlu
untuk mengisi kekurangan benih yang dihasilkan oleh rakyat;
3. Tempat melaksanakan adaptasi teknik pembenihan yang lebih baik;
4. Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk.

Selain tugas dan fungsi tersebut diatas, BBI diharapkan dapat pula sebagai perintis
pembangunan budidaya ikan air tawar didaerah baru.

II. MAKSUD, TUJUAN DAN PENGERTIAN


Maksud dan tujuan disusunnya buku standar ini iakah untuk mewujudkan
keseragaman BBI dalam struktur, ruang lingkup, status, dan pola operasionalnya,
sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi serta melaksanakan sertifikasi
sistem mutu dan produk.

Pada buku standar ini dilampirkan pula gambar contoh konstruksi, komposisi
pakan ikan dan beberapa petunjuk pengelolaan BBI.

Yang dimaksud dengan standar fisik adalah standar rancang bangun,


konstruksi dan sarana yang harus dimiliki/ada di Balai Benih Ikan (BBI). Yang
dimaksud standar operasional adalah standar pengelolaan pemijahan, pendederan
ikan mas dan nila.

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI

3.1. Kriteria Teknik.

(1). Prasarana

Tahap Pembangunan balai Benih Ikan :

™ Studi Kelayakan meliputi :



Species dan jumlah ikan yang ingin diproduksi;


Teknologi yang ingin diaplikasikan dan dikembangkan;
Lokasi BBI tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan budidaya ikan


danpasar benih;
Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga
memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan BBI dan hasil-


hasil dari BBI;
Fasilitas hatchery yang akan dibangun untuk memproduksi benih sesuai


dengan permintaan pasar;


Perkiraan dana untuk konstruksi;


Jumlah dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan;


Perkiraan dana operasional yang dibutuhkan per tahun
Analisa ekonomi.

™ Detail Desain :



Gambar detail setiap penampang bangunan;


Gambar teknis bangunan BBI;


Spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang digunakan;


Rencana Angaran Biaya (RAB);
Jadual pelaksanaan pembangunan fisik/konstruksi

™ Pelaksanaan Konstruksi :



Prasarana pokok pembenihan perioritas pertama, baru prasarana lainnya;


Pengawasan (konsultan pengawas + tim teknis)
Semua fasilitas dipastikan berfungsi baik

™ Konsepsi Pengembangan Prasarana Budidaya :

Konsep-konsep yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan


pembangunan prasarana budidaya terutama kegiatan pembenihan antara
lain:
¾ Aspek operasional
¾ Aspek fungsi
¾ Aspek konstruksi
¾ Aspek pemeliharaan.

Dalam pengembangan dan perencanaan Prasarana perlu diperhatikan:

¾ Tujuan
¾ Tingkat pengembangan yang dilakukan
¾ Potensi
¾ Kendala (constrain)
¾ Prakondisi
Sehingga prasarana yang dibangun tersebut dapat memberikan manfaat
yang optimal.

™ Faktor-Faktor Yang Harus dipertimbangkan Dalam Perencanaan


Pembangunan Prasarana Budidaya.

A. Faktor Teknis

Yang dimaksud dengan faktor teknis adalah faktor-faktor yang

• Ketersediaan lahan;
berkaitan dengan kegiatan budidaya antara lain:

• Potensi lahan;
• Kesesuaian komoditas perikanan yang akan dikembangkan;
• Skala usaha yang akan dikembangkan (skala rumah tangga, skala
sedang, skala lengkap)

B. Faktor Non Teknis

Yang dimaksud dengan faktor non teknis adlah faktor-faktor diluar


teknis perikanan budidaya yang berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi

• Aspek sosial;
pembangunan prasarana budidaya :

• Aspek ekonomi;
• Aspek manfaat;
• Ketersediaan dana.

™ Prioritas Pembangunan Prasarana Budidaya

Untuk mendukung optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya maka


dalam pembangunan prasarana budidaya harus dibuat skala prioritas
pembangunan prasarana budidaya berdasarkan kebutuhan dan dana yang
tersedia. Untuk menentukan skala prioritas maka prasarana budidaya dapat
dikelompokan menjadi 4 (empat) komponen bangunan yaitu :
i. Bangunan pokok;
ii. Bangunan pendukung;
iii. Bangunan penunjang;
iv. Bangunan pengaman;
v. Bangunan pelengkap.

1. Prasarana pokok adalah bangunan yang harus ada karena terkait langsung
dalam proses produksi benih.
Misalnya : kolam/bak induk, kolam/bak pemijahan, dll.

¾ Prasana pendukung adalah bangunan yang keberadaannya mempermudah,


mempercepat, dan memperkecil biaya proses pembenihan.
Misalnya : kantor, jaringan jalan dan tempat parkir, laboratorium, dll.

2. Prasarana penunjang adalah : bangunan yang keberadaannya bersifat


melengkapi dan tidak mempengaruhi proses perbenihan.
Misalnya : Gedung pertemuan, fasilitas olahraga, dll.

¾ Prasana Pengaman adalah : bangunan yang diperlukan untuk pengamanan


fasilitas perbenihan.
Misalnya : pagar keliling/lingkungan , pos jaga, dll.

¾ Prasana Pelengkap adalah : bangunan yang fungsinya melengkapi bangunan


pendukung, bangunan penunjang dan bangunan pengaman sehingga bangunan
perbenihan dimaksud beroperasi lebih optimal dan lebih berdaya guna.
Misalnya : rumah pompa, rumah genset, garasi kendaraan, dll.

Sehingga kedudukan prasarana dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu :


a. Merupakan unsur penunjang pokok yang sangat penting untuk mendukung
kegiatan budidaya perikanan;
b. Direncanakan terakhir dari seluruh kegiatan budidaya;
c. Dilaksanakan pertama kali dari keseluruhan kegiatan usaha budidaya.

(2). Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan.

Ketinggian tempat sedapat mungkin tidak lebih dari 700 m diatas permukaan
laut, sedangkan kemiringan tanah yang ideal berkisar antara 1 – 5%

(3). Tanah.

Tanah yang baik untuk BBI adalah tanah dengan struktur yang kuat, dapat
menahan air (tidak poreus), subur dan tidak berbatu-batu, teksturnya terdiri dari
tanah liat dan liat berpasir

(4). Sifat Fisika dan Kimia Air;

Sifat fisika yang harus diperhatikan adalah :


ƒ Suhu air optimal berkisar antara 250 – 300C;
ƒ Kekeruhan air 25 – 100 JTU;
ƒ Muatan suspensi 25 – 400 ppm;
ƒ Kecerahan lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan.
Sifat kimia air yang harus diperhatikan adalah :
ƒ PH air berkisar antara 4 – 9, optimum 6,7 – 8,0;
ƒ Kadmium (Cd) maksimum 0,01 ppm;
ƒ Timbal (Pb) maksimum 0,02 ppm;
ƒ Sulfida (S) maksimum 0,002 ppm;
ƒ Ammoniak bebas (NH3) maksimum 0,01 ppm;
ƒ Nitrit (NO2) maksimum 0,2 ppm;
ƒ Phosphat maksimum 0,01 ppm;
ƒ Alkalinitas produktif 50 – 500 ppm;
ƒ Oksigen terlarut (DO) diisyaratkan > 3 ppm

(5). Sistem Pengairan

Untuk menjamin suplai air pada BBI secara kontinyu dengan kualitas air yang
memenuhi persyaratan, maka diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai
berikut :

a. Sebaiknya air berasal dari sumber mata air, sumur artesis atau sumur bor yang
sepenuhnya dikuasai BBI. Debit air mineral 20 liter/ha/detik untuk kolam induk,
pembenihan, pembesaran dan terpadu, sedangkan untuk kolam air deras
sebesar 250 liter/detik/100 m2. Untuk meningkatkan kualitas air (temperatur dan
oksigen terlarut) mengurangi adanya gas terlarut, dan mengurangi pengendapan
lumpur, maka perlu dibuat filter biologis dengan menggunakan tanaman air
(Hidrilla sp).
b. Terhadap BBI yang memperoleh suplai air dari sungai dan irigasi perlu perlakuan
melalui sistem pengendapan dan filterisasi mekanik maupun biologis, utamanya
untuk kolam-kolam pembenihan dan pendederan. Untuk itu perlu dilengkapi
dengan bak pengendapan air dan bak-bak filter yang dapat berfungsi secara baik
dengan luas minimal 10% dari luas kolam pendederan P1.
c. Untuk menjamin kontinuitas suplai air yang berasal dari irigasi khususnya pada
saat perbaikan saluran, maka Dinas Perikanan Daerah seyogyanya mengadakan
pendekatan dengan pihak pengairan untuk mencari jalan pemecahannya. Dalam
hubungan ini disarankan agar Dinas Perikanan Daerah menjadi anggota Panitia
Irigasi Daerah.

(6). Luas BBI

Luas keseluruhan BBI Sentral minimal 5 Ha, sedangkan luas keseluruhan BBI
Lokal minimal 2 Ha.

3.2. Perkolaman

(1). Standar Perkolaman

Jumlah kolam dan luas masing-masing kolam dalam BBI dperhitungkan


seperti pada table 1 dan contoh tata letaknya dapat dilihat dalam lampiran 1 dan
lampiran 2.
Tabel 1. Jumlah dan luas minimal masing-masing kolam di BBI :

BBI Lokal BBI Sentral


No Macam Kolam Luas Luas
Jumlah Total Jumlah Total
(m2) (m2)
1 Kolam induk betina 6 100 600 8 100 800
Kolam induk betina 6 100 600 8 100 800
2 Kolam Pemijahan 4 20 80 6 20 120
3 Kolam Pendederan I 5 250 1250 6 250 1500
Kolam Pendederan II 5 500 2500 6 500 3000
Kolam Pendederan III 5 1000 5000 6 1000 6000
Kolam Pendederan IV 5 1500 7500 6 1500 9000
4 Kolam Pembesaran 2 100 200 4 100 400
5 Kolam calon induk 6 500 3000 6 1000 6000
6 Kolam makanan alami - - - 2 500 1000
Jumlah 40 20730 58 - 28620

(2). Konstruksi Kolam

Kelandaian saluran yang baik adalah 0,5% dan pada pinggiran pematang
dibuat peluncuran atau terjunan. Pada lampiran 18 dapat dilihat konstruksi saluran
dan peluncuran. Saluran pembuangan haraus dihubungkan dengan jaringan
drainase (selokan atau sungai) diluar komplek BBI harus dapat menyalurkan air
buangan dengan lancar. Dasar saluran pembuangan minimal harus lebih rendah 25
cm dari dasar kolam dengan lebar 0,5 m. Setiap kolam harus dapat bebas
memperoleh air langsung dari saluran pemasukan dan bebas pula melepaskan air
kesaluran pembuangan.

(3). Petunjuk Tata Air

Sistem pengaturan air dengan bangunan-bangunan pengontrol air


digambarkan dengan ikhtisar air pada lampiran 19.

IV. SARANA BBI

Sarana BBI yang disediakan dalam pedoman BBI ini diperhitungkan pada
kebutuhan minimal operasional BBI dan merupakan paket pembenihan ian mas dan
nila di BBI. Jumlah paket yang disediakan untuk operasional BBI dapat diminta
sesuai dengan rencana kerja dan operasional tahunan BBI. Dengan demikian tiap
BBI akan mempunyai dana operasional yang berbeda.

4.1. Bahan-bahan

(1). Induk Ikan

Induk ikan yang dimaksud dalam pedoman BBI adalah induk ikan mas dan
nila dengan kriteria ikan mas dengan deskripsi yang jelas. Ditinjau dari mutu induk
ikan tersebut mempunyai criteria sebagai berikut :
¾ Karakter morfometrik dan genetic sesuai dengan varietasnya, meliputi :
bentuk tubuh, warna, bentuk sisik, cepat pertumbuhannya, respon terhadap
pakan buatan dan relatif tahan terhadap penyakit.
¾ Deskripsi varietas jelas.
¾ Fekunditas ikan mas antara 80.000 – 120.000 butir/kg berat induk, dan untuk
ikan nila rata-rata 900 butir per 300 gram berat induk.
¾ Tidak cacat.
¾ Sehat, tidak berpenyakit.
¾ Gerakan normal.
¾ Ratio panjang berat sesuai dengan deskripsi varitasnya.

Jumlah induk yang dimiliki BBI didasarkan pada jumlah minimal induk yang
akan digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah induk minimal yang harus
dimiliki oleh BBI :

Tabel 2. Jumlah minimal induk yang diperlukan BBI :


Induk Ikan (ekor) Keterangan
Jenis Ikan
Jantan Betina
Ikan mas 100 100 1:1
Ikan nila 100 300 1:3

• Berat rata-rata induk ikan mas betina ≥ 3 Kg


Keterangan :

• Berat rata-rata induk ikan mas jantan ≥ 1,5 kg


• Berat rata-rata induk ikan nila betina
• Barat rata-rata induk ikan nila jantan
= 0,3 – 0,4 kg
= 0,4 – 0,5 kg

(2). Bahan baku makanan ikan (pellet).

Pengadaan pakan dapat dilakukan dengan membeli pakan komersial


didaerah daerah dimana terdapat penyalur pakan. Pakan ikan (pellet) yang
dimaksud adalah pakan dengan kandungan protein minimal 26% dan atau pakan
induk dengan kandungan protein 30 – 40%. Selain hal tersebut pakan dapat juga
disediakan dengan membuat formulasi tersendiri dengan bahan seperti tersebut
dibawah ini :

a. Sumber protein, misalnya tepung ikan, cincangan bekicot, ampas tahu dan
tepung banawa.
b. Sumber karbohidrat dan lemak, misalnya bekatul, dedak, singkong, bungkil
kacang dan kedelai.
c. Sumber mineral misalnya: tepung tulang, darah dan cangkang kerang-
kerangan.
d. Sumber serat, misalnya daun singkong, daun gamal dan daun petai cina.
e. Sumber perekat, misalnya tepung kanji.
f. Vitamin dan mineral.
Contoh formulasi pakan seperti tertera dalam lampiran 3.

Bahan makanan (pellet) yang dibutuhkan berdasarkan ransum 3 – 5% berat ikan


tiap hari adalah dirinci sebagai berikut :
Pakan induk ikan mas = 600 kg
Pakan induk ikan nila = 600 kg
Pakan benih = 900 kg
Total kebutuhan pakan adalah 2.100 kg per tahun.

(3). Pupuk

Pupuk organic diperlukan untuk memperbaiki kesuburan dan struktur dasar


kolam, berupa pupuk kotoran ayam, Pemberian pupuk anorganik tidak dianjurkan
karena sering menyebabkan blooming algae.
Kebutuhan pupuk organic di BBI adalah sebesar 250 – 500 gr/m2 (tergantung
kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila.

(4) Kapur
Kapur tohor (CaO dipakai sebesar 50 – 100 gr/m2 (tergantung kesuburan
lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila.

(5) Insektisida

Insektisida sebanyak 2 liter per siklus.

(6) Bahan Pereaksi Kimia/Tahun

a. Bahan pereaksi kimia dan obat-obatan + 1 kg KmnO4;


b. Aceton/alcohol sebanyak 2 liter;
c. Hormon buatan (Ovaprim) sebanyak 15 ampul, dan 17 alpha
methylestosteron 10 gram;
d. Aquades + 20 liter;
e. Antibiotik (tetramycine, kemicitine) 100 gram
f. Metylane Blue 10 gram;
g. Hormon HCg 500 IV
h. Natrum Chlorida 90,9 %) sebagai pengencer sperma

4.2. Peralatan

(1) Peralatan pembenihan yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan


seperti dalam table 5.

Tabel 3. Peralatan pembenihan di BBIS dan BBI


No Peralatan BBI Sentral BBI Lokal
Jumlah Jumlah
1 Timbangan
- kapasitas 1 kg 2 buah 1 buah
- kapasitas 10 kg 2 buah 1 buah
- Kapasitas 50 kg 2 buah 1 buah
2 Mistar (Ukuran 50 cm) 4 buah 2 buah
3 Fish bus (krembeng) 2 buah 2 buah
4 Kreneng 2 buah 2 buah
5 Aerator/Hyblower 4 buah 2 buah
6 Kaca pembesar 2 buah 1 buah
7 Alat hypophisa 4 buah 2 buah
- jarum suntik 2 buah 2 buah
- centifuge 1 buah -
- centrifuge elektrik 4 buah 2 buah
- mortar homogenezer 4 buah 2 set
- alat bedah 2 buah 2 buah
- kain handuk 4 buah 2 buah
- cawan porselin/email Secukupnya Secukupnya
- pengaduk telur/bulu ayam Secukupnya Secukupnya
- kelenjar hypophisa/hormon 4 set 2 set
8 Gelas ukur (5,10,25 cc) 1 buah 1 buah
9 Freezer 2 buah 2 buah
10 Thermos es 20 set 10 set
11 Happa (2x1x0,75 cm dan 20 buah 10 buah
2x4x0,75 cm)
12 Kakaban 50 buah 25buah
13 Corong penetas ( 0,5 m; t 0,5 m) 8 buah 4 buah
14 Pipet Secukupnya Secukupnya
15 Slang plastik 2 buah 2 buah
16 Counter 2 buah 2 set
17 Pisau bedah 2 buah 1 buah
18 Gergaji/bor 2 buah 1 buah
19 Aquarium (60 cm x 40 cm x 45 Minimal 40 buah Minimal 40 buah
cm)
20 Kateter 10 buah 10 buah
21 Serok halus 5 buah 5 buah
22 Serok kasar 5 buah 5 buah

(2) Peralatan perkolaman

Peralatan perkolaman yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam
lampiran 6.

Tabel 4. Peralatan perkolaman di BBIS dan BBIL

No Peralatan BBI Sentral BBI Lokal


Jumlah Jumlah
1 Cangkul 6 buah 5 buah
2 Sekop 6 buah 3 buah
3 Garpu 6 buah 3 buah
4 Bakul dan pikulan 4 set 2 set
5 Parang/Grobak 6 buah 3 buah
6 Ember 6 buah 3 buah
7 Traktor kecil/penggaruk 1 buah 1 buah
8 Waring 8 buah 6 buah
9 Geser 6 buah 4 buah
10 Cawan email 2 buah 1 buah
11 Sabit 3 buah 1 buah
12 Pakaian lapangan 20 set 10 set
13 Hapa pemijahan 2 set 1 set
14 Happa pematang gonad 2 set 1 set
15 Baskom 10 buah 10 buah

(3). Peralatan distribusi benih/induk

Peralatan distribusi benih/induk yang digunakan dalam kegiatan BBI diuraikan


seperti dalam tabel 7.

Tabel 5. Peralatan distribusi benih/induk :


BBI Sentral BBI Lokal
No Peralatan
Jumlah Jumlah
1 Tabung oksigen (kap. 1 dan 2 m3) 2 buah 2 buah
2 Kantong plastik Secukupnya Secukupnya
3 Tali plastik dan karet Secukupnya Secukupnya
4 Kotak karton/stroform Secukupnya Secukupnya
5 Ember plastik tertutup 15 buah 10 buah
6 Fish bus (kreneng) - -
7 Aerator 15 buah 10 buah
8 Kendaraan roda 4 (pick-up 0,75 ton) 2 buah 1 buah
9 Buffer, es batu, dry ice secukupnya secukupnya

(4). Peralatan lainnya

Selain peralatan untuk kegiatan pembenihan, perkolaman dandistribusi


benih/induk, diperlukan peralatan lain yang diuraikan dalam tabel 8.

Tabel 6. Peralatan lainnya :


BBI Sentral BBI Lokal
No Peralatan Jumlah Jumlah
1 Pompa air diesel 10 PK 2 buah 1 buah
2 Hi-blow 3 buah 2 buah
3 Alat-alat pembuatan makanan ikan/pellet 2 buah 1 buah
:
- Kompor 2 buah 1 buah
- Tapisan/saringan 2 buah 2 buah
- Ember 4 buah 2 buah
- Nyiru 4 buah 1 buah
- Timbangan 1kg, 50 kg 1 buah -
- Mesin penggiling basah/berminyak 1 buah -
- Mesin penyaring 1 buah -
- Mesin pengaduk 1 buah 1 buah
- Mesin pencetak pellet 1 buah 1 buah
- Mesin peremah 1 buah 1 buah
4 Generator 10 KVA atau PLN 5.000 Watt - 1 buah
5 Generator 20 KVA atau PLN 10.000 Watt 1 buah -
6 Mesin potong rumput 2 buah 2 buah
7 Sepatu lapangan dan senter 8 setel 4 buah
8 Alat transport
- Mobil pick up 1 buah 1 buah
- Sepeda motor 3 buah 2 buah
9 Alat audiovisual 1 unit 2 unit
10 Buku Petunjuk Pelaksanaan
- Jenis ikan dan gambarnya secukupnya Secukupnya
- Teknik pembenihan ikan secukupnya Secukupnya
- Perawatan benih/induk secukupnya Secukupnya
- Pengangkutan dan distribusi secukupnya Secukupnya
-Teknik perkolaman secukupnya Secukupnya
- Pemupukan secukupnya Secukupnya
- Pemberantasan hama secukupnya Secukupnya
- Penyedian makanan hidup dan secukupnya Secukupnya
makanan buatan
11 Meja tulis, lemari, kursi, kardek, peta dsb secukupnya
12 Mesin tik manual 1 buah 1 buah
13 Komputer 2 buah 1 buah

4.3. Bangunan gedung


Tabel 7. Bangunan gedung di BBIS dan BBIL
BBI LOkal BBI Sentral
Macam Bangunan Luas (m2) Jumlah Luas (m2)
Jumlah Jumlah Jumlah
Satuan Satuan
- Kantor 1 50 50 1 75 75
- Garasi 1 20 20 1 40 40
- Gudang 1 15 15 1 30 30
- Rumah generator 1 9 9 1 9 9
- Rumah mesin pellet 1 30 30 1 50 50
dan gudang makanan
- Rumah pimpinan 1 45 45 1 70 70
- Rumah staf 3 36 103 4 45 180
- Rumah pekerja 6 36 216 6 36 216
tetap (Kopel)
- Rumah jaga 1 36 36 2 36 170
- Asrama 1 100 100 1 200 200
- Aula 1 100 100 1 100 100
Jumlah 18 477 724 20 691 1140
V. OPERASIONAL

5.1. Pengelolaan Induk

5.1.1. Ikan Mas

Induk ikan betina dan pejantannya dipelihara dalam wadah secara terpisah.
Induk-induk tersebut dipeliharadalam kolam air mengalir dengan debit air 1,5 liter air
per 1.000 m2 luas kolam induk.

Selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet dengan kandungan protein 26


– 30% dengan dosis 3 – 5% dari berat badan per hari yang diberikan 3 kali sehari.
Kepadatan induk ikan dalam kolam adalah 1 kg/m2 luas kolam.
Kondisi kimia – fisika ideal untuk pemeliharaan induk adalah sebagai berikut :

‰ Suhu air : 25 – 320C


‰ PH : 6,5 – 8
‰ DO : > 5ppm
‰ Ammoniak : < 1 ppm

5.1.2. Ikan Nila

Kolam seluas 200 m2 dengan sistem air mengalir diperlukan untuk


menyimpan induk ikan. Penyimpanan induk dilakukan dalam hapa berukuran 2 x 3 x
1,25 m3 yang ditempatkan dalam kolam seluas 200 m2 tersebut. Setiap hapa dapat
menampung 30 ekor induk ikan betina atau 15 ekor ikan jantan. Dengan jumlah
induk sebanyak 90 ekor betina dan 30 ekor jantan, diperlukan 5 buah hapa
berukuran seperti tersebut diatas. Tiap hapa diberi tanda, misalnya hapa 1 untuk
induk betina kelompok I, hapa 2 untuk induk betina kelompok II, hapa 3 untuk
pejantan dan seterusnya.
Penempatan hapa-hapa diupayakan sedemikian rupa sehingga induk ikan
memperoleh air segar yang mengandung O2 jenuh. Selama pemeliharaan kolam
diairi 24 jam terus-menerus, induk ikan diberi makan dengan pellet komersial 3%
dari berat biomas per hari, diberikan 3 kali dala sehari. Dengan cara ini induk betina
akan matang telur setiap 1 bulan sekali.

5.2. Pemijahan

5.2.1. Pemijahan Ikan Mas

a. Wadah Pemijahan

Induk ikan dipijahkan dalam wadah berupa bak tembok, atau hapa pemijahan
berukuran 4x2x1 m3 atau tergantung fasilitas kolam pemijahan yang ada di BBI.
Dalam kondisi normal, kepadatan induk dalam hapa/kolam pemijahan adalah 2
kg/m2. Dalam hapa seukuran tersebut dipijahkan 4 ekor induk ikan betina dengan
berat rata-rata 2 kg per ekor. Kakaban dibuat dari ijuk berukuran panjang 100 cm
dengan lebar 20 cm yang diletakkan dalam wadah pemijahan, sehingga jumlah
kakaban setiap pemijahan adalah 30 buah.

b. Proses pemijahan

Wadah pemijahan harus dijemur/dikeringkan terlebih dahulu. Pada wadah


pemijahan berupa kolam tanah, pengeringan dilakukan hingga dasar kolam retak-
retak. Hapa kemudian dipasang tegak sehingga mampu menampung induk ikan
yang akan dipijahkan. Setelah itu wadah pemijahan diairi hingga kedalaman air
didalam hapa 80 – 100 cm.

Sebelum induk dimasukan kedalam wadah pemijahan, kakabandipasang


dalam wadah pemijahan. Pemasangan kakaban diusahakan sedemikian rupa
sehingga kakaban tenggelam 5 cm dibawah permukaan air.

Menjelang sore hari induk betina dan jantan yang telah matang telur
dimasukan bersamaan kedalam wadah pemijahan. Padat tebar induk betina adalah
2 kg per m2 dalam wadah pemijahan, sehingga untuk wadah dengan luas 8 m2
diperlukan 4 ekor induk betina. Dengan perbandingan berat yang sama dengan
induk betina, maka ikan jantan yang diperlukan adalah seberat 8 kg, dengan jumlah
8 ekor atau berat rata-rata per ekornya adlah 1 kg.

Selama pemijahan berlangsung air dibiarkan mengalir masuk kedalam kolam


dengan debit 2 liter/detik/200 m2 luas wadah pemijahan. Induk ikan yang telah
memijah ditangkap untuk dikembalikan kekolam induk (kolam pematangan gonad).

c. Teknik Pemanenan Larva

Telur menetas dalam waktu 48 – 72 jam, tergantung dari suhu air media.
Sekitar 7 hari dalam bak penetasan telur, larva dipanen untuk didederkan lebih
lanjut. Setelah telur pada kakaban menetas, kakaban diangkat dan larva dibiarkan
pada bak/hapa pemijahan sampai kuning telurnya habis. Setelah 7 hari dalam
hapa/bak pemijahan, larva dipanen dan didederkan lebih lanjut. Dengan asumsi
bahwa setiap induk ikan menghasilkan 100.000 butir telur, maka telur yang
dihasilkan dari 8 kg induk adalah 800.000 butir telur. Selanjutnya diasumsikan pula
bahwa tingkat penetasan telur adalah 50% sehingga telur yang menetas menjadi
larva adalah 400.000 larva.

5.2.2. Pendederan Ikan Mas

a. Wadah pendederan

Sebelum larva ditebar, kolam pendederan seluas 1.000 m2 ( 2 kolam) harus


dipersiapkan terlebih dahulu antara lain : kolam dikeringkan, pematang yang bocor
diperbaiki, diberi kapur sebanyak 50 gram/m2 luas kolam dan untuk menumbuhkan
pakan alami kolam perlu dipupuk dengan kotoran ayam dosis 250 gram per m2 luas
kolam. Penebaran larva dilakukan setelah 2 – 3 hari sejak pengisian air. Benih lepas
hapa ditebar dengan padat penebaran 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan air
dialirkan dengan kolam pendederan I dialiri air dengan debet 1,5 ltr/detik/1.000 m2.

Pakan tambahan berbentuk tepung atau remahan pellet dengan kandungan


protein 30% dan diberikan 10% dari total berat benih dengan frekuensi 3 kali sehari.
Untuk menumbuhkan infusoria dan pakan phytoplankton lainnya, penyemprotan
dengan insektisida jenis organophosphat dengan dosis 4 ppm dianjurkan.

Dengan lama pemeliharaan 21 hari, benih ikan dipanen untuk pendederan di


P2 (pendederan kedua). Tingkat kelulushidupan larva menjadi benih ditingkat P1
adalah 60%. Dengan demikian dari jumlah larva lepas hapa yang ditebar sebanyak
400.000 ekor akan dihasilkan benih sebanyak 240.000 ekor.

b. Pola produksi

Jumlah induk yang diperlukan untuk memproduksi benih minimal 32 kg induk


betina. Tiap pemijahan diperlukan 8 kg induk. Jadi terdapat 4 kelompok induk,
dimana tiap kelompok berjumlah 8 kg. Pola produksi benih ikan sampai pendederan
1 (P1) seperti terlihat dalam tabel berikut:

Bln I II III IV
M 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
KLP I LI II LII III LIII IV LIV I LI II LII III LIII IV LIV
Pi BI BI BII BII BIII BIII BIV BIV BI BI BII BII BIII BIII

Keterangan :
Bln : Bulan L : Larva Kelompok Induk
M : Minggu B : Benih Kelompok Induk
KLP : Kelompok Induk P1 : Pendederan 1

Pada gambar terlihat pemijahan pertama dilakukan pada minggu pertama


dengan kelompok induk I (KLP I), penetasan telurnya pada minggu II (M2) dan
perawatan larva/pendederan I dilakukan pada minggu III dan IV (M# dan M4),
sehingga panen dilakukan pada M4 dan I. Sementara itu pada bulan I, minggu III
(M3), kelompok induk II sudah dipijahkan lagi sehingga induk dari kelompok II akan
dipanen pada minggu ke II bulan II. Untuk induk kelompok III benih dipanen pada M4
bulan I dan untuk induk kelompok IV benihnya dipanen pada M2 bulan III.

Dengan memperkirakan kelompok induk I sudah matang gonad kembali


dalam jangka waktu 2 bulan maka pada M1 bulan III, kelompok induk I sudah
dipijahkan. Demikian seterusnya berlaku untuk kelompok induk II, III dan IV,
sehingga dalam 1 tahun dapat diproduksi 23 siklus pemeijahan atau sekurang-
kurangnya20 siklus pemijahan dan pemeliharaan larva.
5.2.3. Pemijahan Ikan Nila

a. Wadah Pemijahan

Pemijahan dilakukan dalam kolam tanah seluas 400 m2 yang mempunyai


sistem pemasukan dan pengeluaran air sistem monik. Ditengah kolam dipasang
hapa pemijahan ukuran 4 x 8 x 1 m3 .

b. Persiapan Pemijahan

Sebelum digunakan kolam pemijahan dikeringkan terlebih dahulu dengan


tujuan selain membunuh bibit penyakit juga untuk memberikan rangsangan pada
ikan untuk memijah. Setelah dasar kolam cukup kering ditandai dengan
permukaannya yang retak-retak, air dialirkan kedalam kolam perlahan-lahan sampai
ketinggian lebih kurang 80 cm, selanjutnya induk ikan betina (kelompok induk I) dan
pejantan (kelompok pejantan I) dimasukan kedalam hapa pemijahan dengan jumlah
masing-masing 30 ekor induk betina dan 15 ekor induk jantan.

c. Proses Pemijahan

Selang beberapa hari setelah induk betina dan jantannya dimasukan,


sebagian ikan akan memijah. Diperkirakan sebanyak 60% induk betina atau 20 ekor
akan memijah dalam hapa pemijahan.

d. Pemanenan Benih

12 hari setelah induk-induk ikan dimasukan kedalam kolam pemijahan, benih


ikan/larva ikan dapat dipanen dengan cara mengangkat hapa pemijahan sehingga
induk dan benih ikan akan tertangkap. Produksi benih dari pemijahan ini
diperkirakan 26.000 ekor larva persiklus (12 hari).

e. Proses Pejantanan Benih Ikan

Siapkan 5 liter air bersih yang dimasukan kedalam ember beraerasi. Masukan
benih ikan yang baru ditangkap tersebut, lalu masukan serbuk hormone 17 alpha
methyl testoeteron sebanyak 5 miligram kedalam 5 liter air di ember. Biarkan
selama 6 – 10 jam agar proses sex reversal berlangsung. Dengan cara ini
diharapkan benih ikan nila menjadi jantan semua.

5.2.4. Pendederan Ikan Nila

a. Wadah

Wadah pendederan ikan niladapat dilakukan dikolam. Luas kolam


pendederan sekurang-kurangnya 500 m2, dengan rata-rata padat tebar benih 30
ekor per m2. Kolam tidak porus, dilengkapi dengan pintu pemasukan air dan pintu
pengeluaran air berhadapan, artinya tidak dipasang pada satu garis pematang yang
sama. Kolam mini harus mampu menampung air hingga kedalaman 60 cm,
sehingga tinggi kolam yang dibuat/rehab sekitar 80 cm.

b. Kegiatan Pendederan

Kegiatan pendederan ikan nila dilakukan dikolam dengan tahapan


kegiatan sebagai berikut :

™ Persiapan kolam :
Kolam dikeringkan hingga dasar kolam retak-retak, pematang diperbaiki,
lumpur dasar kolam dikeduk teplok dan diangkat ke pematang. Kemalir/saluran
air diagonal diperbaiki. Kolamselanjutnya diberi kapur sebanyak 50 gr/m2 dan
diberi pupuk kotoran ayam (organik) sebanyak 250 gr/m2. Setelah kolam
dikapur dengan kapur tohor dan dipupuk, air dimasukan perlahan-lahan
setinggi 20 cm kemudian kolam dibiarkan 2 hari tergenang untuk memberi
kesempatan pakan alami tumbuh. Setelah atu air dinaikan lagi hingga air
didalam kolam mencapai ketinggian 60 cm. Pengisia air dilakukan secara hati-
hati agar sampah tidak masuk kedalam kolam, sehubungan dengan hal itu
pada saluran pemasukan harus dipasang saringan kasa.

™ Penebaran benih :
Benih berumur 30 hari ditebarkan dengan kepadatan 30 ekor per m2. Untuk
mencegah kematian benih massal, penebaran dilakukan pada udara sejuk yaitu
pada pagi atau sore hari. Benih ditebar dengan mengadaptasikannya terlebih
dulu. Caranya adalah memasukan air kolam sedikit demi sedikit sehingga
tercapai keseimbangan suhu air antara air dalam wadah transportasi dengan
air kolam. Jika air diperkirakan telah mempunyai suhu yang sama maka benih
ikan dapat ditebar kedalam kolam.

™ Pemeliharaan benih :
Setiap hari benih ikan diberi pakan tambahan berupa pakan buatan berbentuk
tepung, dengan kandungan protein lebih kurang 30%. Jumlah pemberian pakan
sebanyak 10% perharinya yang diberikan 3 kali sehari. Pengawasan terhadap
air dan lingkungan perkolaman senantiasa diperhatikan setiap harinya. Air
harus dijaga agar tetap mengalir dan pematang yang bocor diperbaiki.

™ Pemanenan Benih :
Setelah berumur satu bulan pemeliharaan, benih sudah dapat dipanen. Adapun
cara pemanenannya adalah kolam disurutkan airnya secara perlahan-lahan,
tetapi air tetap dibiarkan mengalir perlahan-lahan agar ikan mudah ditangkap
sebab ikan akan menyongsong air baru. Penangkapan ikan dilakukan pada
pagi hari dengan menggunakan waring dan seser. Benih ikan yang sudah
ditangkap ditampung dalam wadah/hapa penampung benih yang ditempatan
pada kolam ikan yang berair bersih dan mengalir. Seleksi benih dilakukan
berdasarkan ukuran benih tertentu. Benih yang diperoleh dari hasil
pendederan biasanya berukuran 3 – 5 cm dengan derajat kelangsungan hidup
lebih kurang 90%, akan dihasilkan benih ikan untuk setiap 500 m2 luas kolam
sebanyak 13.500 ekor.
5.2.5. Contoh Komposisi Makanan

a. Remah untuk benih ikan Mas :


¾ dedak halus 35%
¾ tepung ikan 25%
¾ tepung kedelai 27%
¾ tepung daun 10%
¾ vitamin dan mineral 3%

b. Pellet untuk ikan Mas ukuran konsumsi dan induk :


¾ dedak halus 30%
¾ tepung ikan 23%
¾ tepung kedelai 5%
¾ tepung tulang 5%
¾ silase ikan 10%
¾ tepung daun 10%
¾ bungkil kelapa 5%
¾ vitamin dan mineral 3%

c. Makanan untuk ikan Tawes :


¾ tepung daun (petai cina) 30%
¾ tepung ikan 15%
¾ tepung kedelai 10%
¾ tepung jagung 5%
¾ bungkil kelapa 5%
¾ silase ikan 10%
¾ dedak halus 23%
¾ vitamin dan mineral 2%

5.2.6. Contoh Rencana Kerja BBI

A. Alternatif tanrget produksi benih (ribuan ekor) tahun 20....

Jenis Tahun 20.... Triwulan I Triwulan


Keterangan
1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm II dst
Disesuaikan
Dengan ke-
Butuhan
Nyata di
daerah
B. Target produksi induk (ekor/kg) tahun 20... (khusus BBI Sentral)

Tahun 20... Triwulan I Triwulan


Jenis Betina Jantan Jumlah Betina Jantan Jumlah Keterangan
II dst
ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg
Disesuaikan
dengan
keperluan
semua BBI
lokal dan
UPR

C. Rencana Distribusi Benih, Tahun 20...

Jumlah Distribusi
No Jenis Ukuran (1000 Maksud Daerah Keterangan
ekor) Penggunaan Tujuan
1 Mas 1-3 cm Diisesuaikan
>3-5 cm dengan
>5-8 cm keperluan
perairan
umum,
bantuan
proyek gizi,
bantuan
daerah
transmigrasi,
dsb
2 Tawes 1-3 cm
>3-5 cm
>5-8 cm
dst dst dst dst dst

D. Rencana Distribusi Calon Induk dan Induk, Tahun 20...

Distribusi
No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor) Maksud Daerah Keterangan
Penggunaan Tujuan
1 Mas 1.calon Diisesuaikan
induk dengan
2.induk keperluan
BBI Lokal
dan UPR
2 Tawes 1.calon
induk
2.induk
dst dst dst dst dst
I. PENDAHULUAN

Benih ikan merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan
produksi budidaya perikanan. Tersedianya benih ikan yang terjamin pengadaannya
baik species, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu dan harga yang tepat akan
sangat mempengaruhi suksesnya usaha budidaya tersebut.

Dari total produksi benih secara nasional, 97% dihasilkan oleh Usaha
Pembenihan Rakyat (UPR) dan hanya 3% berasal dari produksi Balai Benih Ikan
(BBI) milik pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa usaha pembenihan merupakan
usaha komersial yang cuckup menarik minat masyarakat. Karena itu didalam upaya
meningkatkan produksi benih nasional, kebijaksanaan Pemerintah terutama
diarahkan pada pembinaan dan pengembangan usaha pembenihan rakyat.

Semakin berkembangnya teknologi budidaya dikolam air deras, keramba dan


sebagainya, serta perluasan areal budidaya membawa konsekuensi meningkatnya
kebutuhan benih ikan yang bermutu tinggi. Dilain pihak, benih yang dihasilkan rakyat
mutunya semakin menurun sebagai akibat langkanya induk-induk ikan yang unggul.

BBI adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan induk dan benih ikan yang
bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan juga merupakan sarana untuk
pengujian lapangan terhadap teknologi yang dihasilkan oleh Balai Budidaya Air
Tawar.
Karena itu BBI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

5. Penghasil induk unggul dalam rangka menunjang Usaha Perbenihan Rakyat


(UPR) dan pengendalian mutu benih;
6. Penghasil benih untuk keperluan penebaran diperairan umum dan bila perlu
untuk mengisi kekurangan benih yang dihasilkan oleh rakyat;
7. Tempat melaksanakan adaptasi teknik pembenihan yang lebih baik;
8. Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk.

Selain tugas dan fungsi tersebut diatas, BBI diharapkan dapat pula sebagai perintis
pembangunan budidaya ikan air tawar didaerah baru.

II. MAKSUD, TUJUAN DAN PENGERTIAN


Maksud dan tujuan disusunnya buku standar ini iakah untuk mewujudkan
keseragaman BBI dalam struktur, ruang lingkup, status, dan pola operasionalnya,
sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi serta melaksanakan sertifikasi
sistem mutu dan produk.

Pada buku standar ini dilampirkan pula gambar contoh konstruksi, komposisi
pakan ikan dan beberapa petunjuk pengelolaan BBI.

Yang dimaksud dengan standar fisik adalah standar rancang bangun,


konstruksi dan sarana yang harus dimiliki/ada di Balai Benih Ikan (BBI). Yang
dimaksud standar operasional adalah standar pengelolaan pemijahan, pendederan
ikan mas dan nila.

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI

3.1. Kriteria Teknik.

(1). Prasarana

Tahap Pembangunan balai Benih Ikan :

™ Studi Kelayakan meliputi :



Species dan jumlah ikan yang ingin diproduksi;


Teknologi yang ingin diaplikasikan dan dikembangkan;
Lokasi BBI tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan budidaya ikan


danpasar benih;
Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga
memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan BBI dan hasil-


hasil dari BBI;
Fasilitas hatchery yang akan dibangun untuk memproduksi benih sesuai


dengan permintaan pasar;


Perkiraan dana untuk konstruksi;


Jumlah dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan;


Perkiraan dana operasional yang dibutuhkan per tahun
Analisa ekonomi.

™ Detail Desain :



Gambar detail setiap penampang bangunan;


Gambar teknis bangunan BBI;


Spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang digunakan;


Rencana Angaran Biaya (RAB);
Jadual pelaksanaan pembangunan fisik/konstruksi

™ Pelaksanaan Konstruksi :



Prasarana pokok pembenihan perioritas pertama, baru prasarana lainnya;


Pengawasan (konsultan pengawas + tim teknis)
Semua fasilitas dipastikan berfungsi baik

™ Konsepsi Pengembangan Prasarana Budidaya :

Konsep-konsep yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan


pembangunan prasarana budidaya terutama kegiatan pembenihan antara
lain:
¾ Aspek operasional
¾ Aspek fungsi
¾ Aspek konstruksi
¾ Aspek pemeliharaan.

Dalam pengembangan dan perencanaan Prasarana perlu diperhatikan:

¾ Tujuan
¾ Tingkat pengembangan yang dilakukan
¾ Potensi
¾ Kendala (constrain)
¾ Prakondisi
Sehingga prasarana yang dibangun tersebut dapat memberikan manfaat
yang optimal.

™ Faktor-Faktor Yang Harus dipertimbangkan Dalam Perencanaan


Pembangunan Prasarana Budidaya.

C. Faktor Teknis

Yang dimaksud dengan faktor teknis adalah faktor-faktor yang

• Ketersediaan lahan;
berkaitan dengan kegiatan budidaya antara lain:

• Potensi lahan;
• Kesesuaian komoditas perikanan yang akan dikembangkan;
• Skala usaha yang akan dikembangkan (skala rumah tangga, skala
sedang, skala lengkap)

D. Faktor Non Teknis

Yang dimaksud dengan faktor non teknis adlah faktor-faktor diluar


teknis perikanan budidaya yang berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi

• Aspek sosial;
pembangunan prasarana budidaya :

• Aspek ekonomi;
• Aspek manfaat;
• Ketersediaan dana.

™ Prioritas Pembangunan Prasarana Budidaya

Untuk mendukung optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya maka


dalam pembangunan prasarana budidaya harus dibuat skala prioritas
pembangunan prasarana budidaya berdasarkan kebutuhan dan dana yang
tersedia. Untuk menentukan skala prioritas maka prasarana budidaya dapat
dikelompokan menjadi 4 (empat) komponen bangunan yaitu :
i. Bangunan pokok;
ii. Bangunan pendukung;
iii. Bangunan penunjang;
iv. Bangunan pengaman;
v. Bangunan pelengkap.

1. Prasarana pokok adalah bangunan yang harus ada karena terkait langsung
dalam proses produksi benih.
Misalnya : kolam/bak induk, kolam/bak pemijahan, dll.

¾ Prasana pendukung adalah bangunan yang keberadaannya mempermudah,


mempercepat, dan memperkecil biaya proses pembenihan.
Misalnya : kantor, jaringan jalan dan tempat parkir, laboratorium, dll.

2. Prasarana penunjang adalah : bangunan yang keberadaannya bersifat


melengkapi dan tidak mempengaruhi proses perbenihan.
Misalnya : Gedung pertemuan, fasilitas olahraga, dll.

¾ Prasana Pengaman adalah : bangunan yang diperlukan untuk pengamanan


fasilitas perbenihan.
Misalnya : pagar keliling/lingkungan , pos jaga, dll.

¾ Prasana Pelengkap adalah : bangunan yang fungsinya melengkapi bangunan


pendukung, bangunan penunjang dan bangunan pengaman sehingga bangunan
perbenihan dimaksud beroperasi lebih optimal dan lebih berdaya guna.
Misalnya : rumah pompa, rumah genset, garasi kendaraan, dll.

Sehingga kedudukan prasarana dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu :


a. Merupakan unsur penunjang pokok yang sangat penting untuk mendukung
kegiatan budidaya perikanan;
b. Direncanakan terakhir dari seluruh kegiatan budidaya;
c. Dilaksanakan pertama kali dari keseluruhan kegiatan usaha budidaya.

(2). Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan.

Ketinggian tempat sedapat mungkin tidak lebih dari 700 m diatas permukaan
laut, sedangkan kemiringan tanah yang ideal berkisar antara 1 – 5%

(3). Tanah.

Tanah yang baik untuk BBI adalah tanah dengan struktur yang kuat, dapat
menahan air (tidak poreus), subur dan tidak berbatu-batu, teksturnya terdiri dari
tanah liat dan liat berpasir

(4). Sifat Fisika dan Kimia Air;

Sifat fisika yang harus diperhatikan adalah :


ƒ Suhu air optimal berkisar antara 250 – 300C;
ƒ Kekeruhan air 25 – 100 JTU;
ƒ Muatan suspensi 25 – 400 ppm;
ƒ Kecerahan lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan.
Sifat kimia air yang harus diperhatikan adalah :
ƒ PH air berkisar antara 4 – 9, optimum 6,7 – 8,0;
ƒ Kadmium (Cd) maksimum 0,01 ppm;
ƒ Timbal (Pb) maksimum 0,02 ppm;
ƒ Sulfida (S) maksimum 0,002 ppm;
ƒ Ammoniak bebas (NH3) maksimum 0,01 ppm;
ƒ Nitrit (NO2) maksimum 0,2 ppm;
ƒ Phosphat maksimum 0,01 ppm;
ƒ Alkalinitas produktif 50 – 500 ppm;
ƒ Oksigen terlarut (DO) diisyaratkan > 3 ppm

(5). Sistem Pengairan

Untuk menjamin suplai air pada BBI secara kontinyu dengan kualitas air yang
memenuhi persyaratan, maka diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai
berikut :

d. Sebaiknya air berasal dari sumber mata air, sumur artesis atau sumur bor yang
sepenuhnya dikuasai BBI. Debit air mineral 20 liter/ha/detik untuk kolam induk,
pembenihan, pembesaran dan terpadu, sedangkan untuk kolam air deras
sebesar 250 liter/detik/100 m2. Untuk meningkatkan kualitas air (temperatur dan
oksigen terlarut) mengurangi adanya gas terlarut, dan mengurangi pengendapan
lumpur, maka perlu dibuat filter biologis dengan menggunakan tanaman air
(Hidrilla sp).
e. Terhadap BBI yang memperoleh suplai air dari sungai dan irigasi perlu perlakuan
melalui sistem pengendapan dan filterisasi mekanik maupun biologis, utamanya
untuk kolam-kolam pembenihan dan pendederan. Untuk itu perlu dilengkapi
dengan bak pengendapan air dan bak-bak filter yang dapat berfungsi secara baik
dengan luas minimal 10% dari luas kolam pendederan P1.
f. Untuk menjamin kontinuitas suplai air yang berasal dari irigasi khususnya pada
saat perbaikan saluran, maka Dinas Perikanan Daerah seyogyanya mengadakan
pendekatan dengan pihak pengairan untuk mencari jalan pemecahannya. Dalam
hubungan ini disarankan agar Dinas Perikanan Daerah menjadi anggota Panitia
Irigasi Daerah.

(6). Luas BBI

Luas keseluruhan BBI Sentral minimal 5 Ha, sedangkan luas keseluruhan BBI
Lokal minimal 2 Ha.

3.2. Perkolaman

(1). Standar Perkolaman

Jumlah kolam dan luas masing-masing kolam dalam BBI dperhitungkan


seperti pada table 1 dan contoh tata letaknya dapat dilihat dalam lampiran 1 dan
lampiran 2.
Tabel 1. Jumlah dan luas minimal masing-masing kolam di BBI :
BBI Lokal BBI Sentral
No Macam Kolam Luas Luas
Jumlah Total Jumlah Total
(m2) (m2)
1 Kolam induk betina 6 100 600 8 100 800
Kolam induk betina 6 100 600 8 100 800
2 Kolam Pemijahan 4 20 80 6 20 120
3 Kolam Pendederan I 5 250 1250 6 250 1500
Kolam Pendederan II 5 500 2500 6 500 3000
Kolam Pendederan III 5 1000 5000 6 1000 6000
Kolam Pendederan IV 5 1500 7500 6 1500 9000
4 Kolam Pembesaran 2 100 200 4 100 400
5 Kolam calon induk 6 500 3000 6 1000 6000
6 Kolam makanan alami - - - 2 500 1000
Jumlah 40 20730 58 - 28620

(2). Konstruksi Kolam

Kelandaian saluran yang baik adalah 0,5% dan pada pinggiran pematang
dibuat peluncuran atau terjunan. Pada lampiran 18 dapat dilihat konstruksi saluran
dan peluncuran. Saluran pembuangan haraus dihubungkan dengan jaringan
drainase (selokan atau sungai) diluar komplek BBI harus dapat menyalurkan air
buangan dengan lancar. Dasar saluran pembuangan minimal harus lebih rendah 25
cm dari dasar kolam dengan lebar 0,5 m. Setiap kolam harus dapat bebas
memperoleh air langsung dari saluran pemasukan dan bebas pula melepaskan air
kesaluran pembuangan.

(3). Petunjuk Tata Air

Sistem pengaturan air dengan bangunan-bangunan pengontrol air


digambarkan dengan ikhtisar air pada lampiran 19.

IV. SARANA BBI

Sarana BBI yang disediakan dalam pedoman BBI ini diperhitungkan pada
kebutuhan minimal operasional BBI dan merupakan paket pembenihan ian mas dan
nila di BBI. Jumlah paket yang disediakan untuk operasional BBI dapat diminta
sesuai dengan rencana kerja dan operasional tahunan BBI. Dengan demikian tiap
BBI akan mempunyai dana operasional yang berbeda.

4.1. Bahan-bahan

(1). Induk Ikan

Induk ikan yang dimaksud dalam pedoman BBI adalah induk ikan mas dan
nila dengan kriteria ikan mas dengan deskripsi yang jelas. Ditinjau dari mutu induk
ikan tersebut mempunyai criteria sebagai berikut :
¾ Karakter morfometrik dan genetic sesuai dengan varietasnya, meliputi :
bentuk tubuh, warna, bentuk sisik, cepat pertumbuhannya, respon terhadap
pakan buatan dan relatif tahan terhadap penyakit.
¾ Deskripsi varietas jelas.
¾ Fekunditas ikan mas antara 80.000 – 120.000 butir/kg berat induk, dan untuk
ikan nila rata-rata 900 butir per 300 gram berat induk.
¾ Tidak cacat.
¾ Sehat, tidak berpenyakit.
¾ Gerakan normal.
¾ Ratio panjang berat sesuai dengan deskripsi varitasnya.

Jumlah induk yang dimiliki BBI didasarkan pada jumlah minimal induk yang
akan digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah induk minimal yang harus
dimiliki oleh BBI :

Tabel 2. Jumlah minimal induk yang diperlukan BBI :


Induk Ikan (ekor) Keterangan
Jenis Ikan
Jantan Betina
Ikan mas 100 100 1:1
Ikan nila 100 300 1:3

• Berat rata-rata induk ikan mas betina ≥ 3 Kg


Keterangan :

• Berat rata-rata induk ikan mas jantan ≥ 1,5 kg


• Berat rata-rata induk ikan nila betina
• Barat rata-rata induk ikan nila jantan
= 0,3 – 0,4 kg
= 0,4 – 0,5 kg

(2). Bahan baku makanan ikan (pellet).

Pengadaan pakan dapat dilakukan dengan membeli pakan komersial


didaerah daerah dimana terdapat penyalur pakan. Pakan ikan (pellet) yang
dimaksud adalah pakan dengan kandungan protein minimal 26% dan atau pakan
induk dengan kandungan protein 30 – 40%. Selain hal tersebut pakan dapat juga
disediakan dengan membuat formulasi tersendiri dengan bahan seperti tersebut
dibawah ini :

g. Sumber protein, misalnya tepung ikan, cincangan bekicot, ampas tahu dan
tepung banawa.
h. Sumber karbohidrat dan lemak, misalnya bekatul, dedak, singkong, bungkil
kacang dan kedelai.
i. Sumber mineral misalnya: tepung tulang, darah dan cangkang kerang-
kerangan.
j. Sumber serat, misalnya daun singkong, daun gamal dan daun petai cina.
k. Sumber perekat, misalnya tepung kanji.
l. Vitamin dan mineral.
Contoh formulasi pakan seperti tertera dalam lampiran 3.

Bahan makanan (pellet) yang dibutuhkan berdasarkan ransum 3 – 5% berat ikan


tiap hari adalah dirinci sebagai berikut :
Pakan induk ikan mas = 600 kg
Pakan induk ikan nila = 600 kg
Pakan benih = 900 kg
Total kebutuhan pakan adalah 2.100 kg per tahun.

(3). Pupuk

Pupuk organic diperlukan untuk memperbaiki kesuburan dan struktur dasar


kolam, berupa pupuk kotoran ayam, Pemberian pupuk anorganik tidak dianjurkan
karena sering menyebabkan blooming algae.
Kebutuhan pupuk organic di BBI adalah sebesar 250 – 500 gr/m2 (tergantung
kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila.

(4) Kapur
Kapur tohor (CaO dipakai sebesar 50 – 100 gr/m2 (tergantung kesuburan
lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila.

(5) Insektisida

Insektisida sebanyak 2 liter per siklus.

(6) Bahan Pereaksi Kimia/Tahun

i. Bahan pereaksi kimia dan obat-obatan + 1 kg KmnO4;


j. Aceton/alcohol sebanyak 2 liter;
k. Hormon buatan (Ovaprim) sebanyak 15 ampul, dan 17 alpha
methylestosteron 10 gram;
l. Aquades + 20 liter;
m. Antibiotik (tetramycine, kemicitine) 100 gram
n. Metylane Blue 10 gram;
o. Hormon HCg 500 IV
p. Natrum Chlorida 90,9 %) sebagai pengencer sperma

4.2. Peralatan

(1) Peralatan pembenihan yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan


seperti dalam table 5.

Tabel 3. Peralatan pembenihan di BBIS dan BBI


No Peralatan BBI Sentral BBI Lokal
Jumlah Jumlah
1 Timbangan
- kapasitas 1 kg 2 buah 1 buah
- kapasitas 10 kg 2 buah 1 buah
- Kapasitas 50 kg 2 buah 1 buah
2 Mistar (Ukuran 50 cm) 4 buah 2 buah
3 Fish bus (krembeng) 2 buah 2 buah
4 Kreneng 2 buah 2 buah
5 Aerator/Hyblower 4 buah 2 buah
6 Kaca pembesar 2 buah 1 buah
7 Alat hypophisa 4 buah 2 buah
- jarum suntik 2 buah 2 buah
- centifuge 1 buah -
- centrifuge elektrik 4 buah 2 buah
- mortar homogenezer 4 buah 2 set
- alat bedah 2 buah 2 buah
- kain handuk 4 buah 2 buah
- cawan porselin/email Secukupnya Secukupnya
- pengaduk telur/bulu ayam Secukupnya Secukupnya
- kelenjar hypophisa/hormon 4 set 2 set
8 Gelas ukur (5,10,25 cc) 1 buah 1 buah
9 Freezer 2 buah 2 buah
10 Thermos es 20 set 10 set
11 Happa (2x1x0,75 cm dan 20 buah 10 buah
2x4x0,75 cm)
12 Kakaban 50 buah 25buah
13 Corong penetas ( 0,5 m; t 0,5 m) 8 buah 4 buah
14 Pipet Secukupnya Secukupnya
15 Slang plastik 2 buah 2 buah
16 Counter 2 buah 2 set
17 Pisau bedah 2 buah 1 buah
18 Gergaji/bor 2 buah 1 buah
19 Aquarium (60 cm x 40 cm x 45 Minimal 40 buah Minimal 40 buah
cm)
20 Kateter 10 buah 10 buah
21 Serok halus 5 buah 5 buah
22 Serok kasar 5 buah 5 buah

(2) Peralatan perkolaman

Peralatan perkolaman yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam
lampiran 6.

Tabel 4. Peralatan perkolaman di BBIS dan BBIL

No Peralatan BBI Sentral BBI Lokal


Jumlah Jumlah
1 Cangkul 6 buah 5 buah
2 Sekop 6 buah 3 buah
3 Garpu 6 buah 3 buah
4 Bakul dan pikulan 4 set 2 set
5 Parang/Grobak 6 buah 3 buah
6 Ember 6 buah 3 buah
7 Traktor kecil/penggaruk 1 buah 1 buah
8 Waring 8 buah 6 buah
9 Geser 6 buah 4 buah
10 Cawan email 2 buah 1 buah
11 Sabit 3 buah 1 buah
12 Pakaian lapangan 20 set 10 set
13 Hapa pemijahan 2 set 1 set
14 Happa pematang gonad 2 set 1 set
15 Baskom 10 buah 10 buah

(3). Peralatan distribusi benih/induk

Peralatan distribusi benih/induk yang digunakan dalam kegiatan BBI diuraikan


seperti dalam tabel 7.

Tabel 5. Peralatan distribusi benih/induk :


BBI Sentral BBI Lokal
No Peralatan
Jumlah Jumlah
1 Tabung oksigen (kap. 1 dan 2 m3) 2 buah 2 buah
2 Kantong plastik Secukupnya Secukupnya
3 Tali plastik dan karet Secukupnya Secukupnya
4 Kotak karton/stroform Secukupnya Secukupnya
5 Ember plastik tertutup 15 buah 10 buah
6 Fish bus (kreneng) - -
7 Aerator 15 buah 10 buah
8 Kendaraan roda 4 (pick-up 0,75 ton) 2 buah 1 buah
9 Buffer, es batu, dry ice secukupnya secukupnya

(4). Peralatan lainnya

Selain peralatan untuk kegiatan pembenihan, perkolaman dandistribusi


benih/induk, diperlukan peralatan lain yang diuraikan dalam tabel 8.

Tabel 6. Peralatan lainnya :


BBI Sentral BBI Lokal
No Peralatan Jumlah Jumlah
1 Pompa air diesel 10 PK 2 buah 1 buah
2 Hi-blow 3 buah 2 buah
3 Alat-alat pembuatan makanan ikan/pellet 2 buah 1 buah
:
- Kompor 2 buah 1 buah
- Tapisan/saringan 2 buah 2 buah
- Ember 4 buah 2 buah
- Nyiru 4 buah 1 buah
- Timbangan 1kg, 50 kg 1 buah -
- Mesin penggiling basah/berminyak 1 buah -
- Mesin penyaring 1 buah -
- Mesin pengaduk 1 buah 1 buah
- Mesin pencetak pellet 1 buah 1 buah
- Mesin peremah 1 buah 1 buah
4 Generator 10 KVA atau PLN 5.000 Watt - 1 buah
5 Generator 20 KVA atau PLN 10.000 Watt 1 buah -
6 Mesin potong rumput 2 buah 2 buah
7 Sepatu lapangan dan senter 8 setel 4 buah
8 Alat transport
- Mobil pick up 1 buah 1 buah
- Sepeda motor 3 buah 2 buah
9 Alat audiovisual 1 unit 2 unit
10 Buku Petunjuk Pelaksanaan
- Jenis ikan dan gambarnya secukupnya Secukupnya
- Teknik pembenihan ikan secukupnya Secukupnya
- Perawatan benih/induk secukupnya Secukupnya
- Pengangkutan dan distribusi secukupnya Secukupnya
-Teknik perkolaman secukupnya Secukupnya
- Pemupukan secukupnya Secukupnya
- Pemberantasan hama secukupnya Secukupnya
- Penyedian makanan hidup dan secukupnya Secukupnya
makanan buatan
11 Meja tulis, lemari, kursi, kardek, peta dsb secukupnya
12 Mesin tik manual 1 buah 1 buah
13 Komputer 2 buah 1 buah

4.3. Bangunan gedung

Tabel 7. Bangunan gedung di BBIS dan BBIL


BBI LOkal BBI Sentral
Macam Bangunan Luas (m2) Jumlah Luas (m2)
Jumlah Jumlah Jumlah
Satuan Satuan
- Kantor 1 50 50 1 75 75
- Garasi 1 20 20 1 40 40
- Gudang 1 15 15 1 30 30
- Rumah generator 1 9 9 1 9 9
- Rumah mesin pellet 1 30 30 1 50 50
dan gudang makanan
- Rumah pimpinan 1 45 45 1 70 70
- Rumah staf 3 36 103 4 45 180
- Rumah pekerja 6 36 216 6 36 216
tetap (Kopel)
- Rumah jaga 1 36 36 2 36 170
- Asrama 1 100 100 1 200 200
- Aula 1 100 100 1 100 100
Jumlah 18 477 724 20 691 1140

V. OPERASIONAL

5.1. Pengelolaan Induk

5.1.1. Ikan Mas

Induk ikan betina dan pejantannya dipelihara dalam wadah secara terpisah.
Induk-induk tersebut dipeliharadalam kolam air mengalir dengan debit air 1,5 liter air
per 1.000 m2 luas kolam induk.

Selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet dengan kandungan protein 26


– 30% dengan dosis 3 – 5% dari berat badan per hari yang diberikan 3 kali sehari.
Kepadatan induk ikan dalam kolam adalah 1 kg/m2 luas kolam.
Kondisi kimia – fisika ideal untuk pemeliharaan induk adalah sebagai berikut :

‰ Suhu air : 25 – 320C


‰ PH : 6,5 – 8
‰ DO : > 5ppm
‰ Ammoniak : < 1 ppm

5.1.2. Ikan Nila

Kolam seluas 200 m2 dengan sistem air mengalir diperlukan untuk


menyimpan induk ikan. Penyimpanan induk dilakukan dalam hapa berukuran 2 x 3 x
1,25 m3 yang ditempatkan dalam kolam seluas 200 m2 tersebut. Setiap hapa dapat
menampung 30 ekor induk ikan betina atau 15 ekor ikan jantan. Dengan jumlah
induk sebanyak 90 ekor betina dan 30 ekor jantan, diperlukan 5 buah hapa
berukuran seperti tersebut diatas. Tiap hapa diberi tanda, misalnya hapa 1 untuk
induk betina kelompok I, hapa 2 untuk induk betina kelompok II, hapa 3 untuk
pejantan dan seterusnya.
Penempatan hapa-hapa diupayakan sedemikian rupa sehingga induk ikan
memperoleh air segar yang mengandung O2 jenuh. Selama pemeliharaan kolam
diairi 24 jam terus-menerus, induk ikan diberi makan dengan pellet komersial 3%
dari berat biomas per hari, diberikan 3 kali dala sehari. Dengan cara ini induk betina
akan matang telur setiap 1 bulan sekali.

5.2. Pemijahan

5.2.1. Pemijahan Ikan Mas

c. Wadah Pemijahan

Induk ikan dipijahkan dalam wadah berupa bak tembok, atau hapa pemijahan
berukuran 4x2x1 m3 atau tergantung fasilitas kolam pemijahan yang ada di BBI.
Dalam kondisi normal, kepadatan induk dalam hapa/kolam pemijahan adalah 2
kg/m2. Dalam hapa seukuran tersebut dipijahkan 4 ekor induk ikan betina dengan
berat rata-rata 2 kg per ekor. Kakaban dibuat dari ijuk berukuran panjang 100 cm
dengan lebar 20 cm yang diletakkan dalam wadah pemijahan, sehingga jumlah
kakaban setiap pemijahan adalah 30 buah.
d. Proses pemijahan

Wadah pemijahan harus dijemur/dikeringkan terlebih dahulu. Pada wadah


pemijahan berupa kolam tanah, pengeringan dilakukan hingga dasar kolam retak-
retak. Hapa kemudian dipasang tegak sehingga mampu menampung induk ikan
yang akan dipijahkan. Setelah itu wadah pemijahan diairi hingga kedalaman air
didalam hapa 80 – 100 cm.

Sebelum induk dimasukan kedalam wadah pemijahan, kakabandipasang


dalam wadah pemijahan. Pemasangan kakaban diusahakan sedemikian rupa
sehingga kakaban tenggelam 5 cm dibawah permukaan air.

Menjelang sore hari induk betina dan jantan yang telah matang telur
dimasukan bersamaan kedalam wadah pemijahan. Padat tebar induk betina adalah
2 kg per m2 dalam wadah pemijahan, sehingga untuk wadah dengan luas 8 m2
diperlukan 4 ekor induk betina. Dengan perbandingan berat yang sama dengan
induk betina, maka ikan jantan yang diperlukan adalah seberat 8 kg, dengan jumlah
8 ekor atau berat rata-rata per ekornya adlah 1 kg.

Selama pemijahan berlangsung air dibiarkan mengalir masuk kedalam kolam


dengan debit 2 liter/detik/200 m2 luas wadah pemijahan. Induk ikan yang telah
memijah ditangkap untuk dikembalikan kekolam induk (kolam pematangan gonad).

c. Teknik Pemanenan Larva

Telur menetas dalam waktu 48 – 72 jam, tergantung dari suhu air media.
Sekitar 7 hari dalam bak penetasan telur, larva dipanen untuk didederkan lebih
lanjut. Setelah telur pada kakaban menetas, kakaban diangkat dan larva dibiarkan
pada bak/hapa pemijahan sampai kuning telurnya habis. Setelah 7 hari dalam
hapa/bak pemijahan, larva dipanen dan didederkan lebih lanjut. Dengan asumsi
bahwa setiap induk ikan menghasilkan 100.000 butir telur, maka telur yang
dihasilkan dari 8 kg induk adalah 800.000 butir telur. Selanjutnya diasumsikan pula
bahwa tingkat penetasan telur adalah 50% sehingga telur yang menetas menjadi
larva adalah 400.000 larva.

5.2.2. Pendederan Ikan Mas

c. Wadah pendederan

Sebelum larva ditebar, kolam pendederan seluas 1.000 m2 ( 2 kolam) harus


dipersiapkan terlebih dahulu antara lain : kolam dikeringkan, pematang yang bocor
diperbaiki, diberi kapur sebanyak 50 gram/m2 luas kolam dan untuk menumbuhkan
pakan alami kolam perlu dipupuk dengan kotoran ayam dosis 250 gram per m2 luas
kolam. Penebaran larva dilakukan setelah 2 – 3 hari sejak pengisian air. Benih lepas
hapa ditebar dengan padat penebaran 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan air
dialirkan dengan kolam pendederan I dialiri air dengan debet 1,5 ltr/detik/1.000 m2.

Pakan tambahan berbentuk tepung atau remahan pellet dengan kandungan


protein 30% dan diberikan 10% dari total berat benih dengan frekuensi 3 kali sehari.
Untuk menumbuhkan infusoria dan pakan phytoplankton lainnya, penyemprotan
dengan insektisida jenis organophosphat dengan dosis 4 ppm dianjurkan.

Dengan lama pemeliharaan 21 hari, benih ikan dipanen untuk pendederan di


P2 (pendederan kedua). Tingkat kelulushidupan larva menjadi benih ditingkat P1
adalah 60%. Dengan demikian dari jumlah larva lepas hapa yang ditebar sebanyak
400.000 ekor akan dihasilkan benih sebanyak 240.000 ekor.

d. Pola produksi

Jumlah induk yang diperlukan untuk memproduksi benih minimal 32 kg induk


betina. Tiap pemijahan diperlukan 8 kg induk. Jadi terdapat 4 kelompok induk,
dimana tiap kelompok berjumlah 8 kg. Pola produksi benih ikan sampai pendederan
1 (P1) seperti terlihat dalam tabel berikut:

Bln I II III IV
M 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
KLP I LI II LII III LIII IV LIV I LI II LII III LIII IV LIV
Pi BI BI BII BII BIII BIII BIV BIV BI BI BII BII BIII BIII

Keterangan :
Bln : Bulan L : Larva Kelompok Induk
M : Minggu B : Benih Kelompok Induk
KLP : Kelompok Induk P1 : Pendederan 1

Pada gambar terlihat pemijahan pertama dilakukan pada minggu pertama


dengan kelompok induk I (KLP I), penetasan telurnya pada minggu II (M2) dan
perawatan larva/pendederan I dilakukan pada minggu III dan IV (M# dan M4),
sehingga panen dilakukan pada M4 dan I. Sementara itu pada bulan I, minggu III
(M3), kelompok induk II sudah dipijahkan lagi sehingga induk dari kelompok II akan
dipanen pada minggu ke II bulan II. Untuk induk kelompok III benih dipanen pada M4
bulan I dan untuk induk kelompok IV benihnya dipanen pada M2 bulan III.

Dengan memperkirakan kelompok induk I sudah matang gonad kembali


dalam jangka waktu 2 bulan maka pada M1 bulan III, kelompok induk I sudah
dipijahkan. Demikian seterusnya berlaku untuk kelompok induk II, III dan IV,
sehingga dalam 1 tahun dapat diproduksi 23 siklus pemeijahan atau sekurang-
kurangnya20 siklus pemijahan dan pemeliharaan larva.

5.2.3. Pemijahan Ikan Nila

f. Wadah Pemijahan

Pemijahan dilakukan dalam kolam tanah seluas 400 m2 yang mempunyai


sistem pemasukan dan pengeluaran air sistem monik. Ditengah kolam dipasang
hapa pemijahan ukuran 4 x 8 x 1 m3 .

g. Persiapan Pemijahan

Sebelum digunakan kolam pemijahan dikeringkan terlebih dahulu dengan


tujuan selain membunuh bibit penyakit juga untuk memberikan rangsangan pada
ikan untuk memijah. Setelah dasar kolam cukup kering ditandai dengan
permukaannya yang retak-retak, air dialirkan kedalam kolam perlahan-lahan sampai
ketinggian lebih kurang 80 cm, selanjutnya induk ikan betina (kelompok induk I) dan
pejantan (kelompok pejantan I) dimasukan kedalam hapa pemijahan dengan jumlah
masing-masing 30 ekor induk betina dan 15 ekor induk jantan.

h. Proses Pemijahan

Selang beberapa hari setelah induk betina dan jantannya dimasukan,


sebagian ikan akan memijah. Diperkirakan sebanyak 60% induk betina atau 20 ekor
akan memijah dalam hapa pemijahan.

i. Pemanenan Benih

12 hari setelah induk-induk ikan dimasukan kedalam kolam pemijahan, benih


ikan/larva ikan dapat dipanen dengan cara mengangkat hapa pemijahan sehingga
induk dan benih ikan akan tertangkap. Produksi benih dari pemijahan ini
diperkirakan 26.000 ekor larva persiklus (12 hari).

j. Proses Pejantanan Benih Ikan


Siapkan 5 liter air bersih yang dimasukan kedalam ember beraerasi. Masukan
benih ikan yang baru ditangkap tersebut, lalu masukan serbuk hormone 17 alpha
methyl testoeteron sebanyak 5 miligram kedalam 5 liter air di ember. Biarkan
selama 6 – 10 jam agar proses sex reversal berlangsung. Dengan cara ini
diharapkan benih ikan nila menjadi jantan semua.

5.2.4. Pendederan Ikan Nila

c. Wadah

Wadah pendederan ikan niladapat dilakukan dikolam. Luas kolam


pendederan sekurang-kurangnya 500 m2, dengan rata-rata padat tebar benih 30
ekor per m2. Kolam tidak porus, dilengkapi dengan pintu pemasukan air dan pintu
pengeluaran air berhadapan, artinya tidak dipasang pada satu garis pematang yang
sama. Kolam mini harus mampu menampung air hingga kedalaman 60 cm,
sehingga tinggi kolam yang dibuat/rehab sekitar 80 cm.

d. Kegiatan Pendederan

Kegiatan pendederan ikan nila dilakukan dikolam dengan tahapan


kegiatan sebagai berikut :

™ Persiapan kolam :
Kolam dikeringkan hingga dasar kolam retak-retak, pematang diperbaiki,
lumpur dasar kolam dikeduk teplok dan diangkat ke pematang. Kemalir/saluran
air diagonal diperbaiki. Kolamselanjutnya diberi kapur sebanyak 50 gr/m2 dan
diberi pupuk kotoran ayam (organik) sebanyak 250 gr/m2. Setelah kolam
dikapur dengan kapur tohor dan dipupuk, air dimasukan perlahan-lahan
setinggi 20 cm kemudian kolam dibiarkan 2 hari tergenang untuk memberi
kesempatan pakan alami tumbuh. Setelah atu air dinaikan lagi hingga air
didalam kolam mencapai ketinggian 60 cm. Pengisia air dilakukan secara hati-
hati agar sampah tidak masuk kedalam kolam, sehubungan dengan hal itu
pada saluran pemasukan harus dipasang saringan kasa.

™ Penebaran benih :
Benih berumur 30 hari ditebarkan dengan kepadatan 30 ekor per m2. Untuk
mencegah kematian benih massal, penebaran dilakukan pada udara sejuk yaitu
pada pagi atau sore hari. Benih ditebar dengan mengadaptasikannya terlebih
dulu. Caranya adalah memasukan air kolam sedikit demi sedikit sehingga
tercapai keseimbangan suhu air antara air dalam wadah transportasi dengan
air kolam. Jika air diperkirakan telah mempunyai suhu yang sama maka benih
ikan dapat ditebar kedalam kolam.

™ Pemeliharaan benih :
Setiap hari benih ikan diberi pakan tambahan berupa pakan buatan berbentuk
tepung, dengan kandungan protein lebih kurang 30%. Jumlah pemberian pakan
sebanyak 10% perharinya yang diberikan 3 kali sehari. Pengawasan terhadap
air dan lingkungan perkolaman senantiasa diperhatikan setiap harinya. Air
harus dijaga agar tetap mengalir dan pematang yang bocor diperbaiki.

™ Pemanenan Benih :
Setelah berumur satu bulan pemeliharaan, benih sudah dapat dipanen. Adapun
cara pemanenannya adalah kolam disurutkan airnya secara perlahan-lahan,
tetapi air tetap dibiarkan mengalir perlahan-lahan agar ikan mudah ditangkap
sebab ikan akan menyongsong air baru. Penangkapan ikan dilakukan pada
pagi hari dengan menggunakan waring dan seser. Benih ikan yang sudah
ditangkap ditampung dalam wadah/hapa penampung benih yang ditempatan
pada kolam ikan yang berair bersih dan mengalir. Seleksi benih dilakukan
berdasarkan ukuran benih tertentu. Benih yang diperoleh dari hasil
pendederan biasanya berukuran 3 – 5 cm dengan derajat kelangsungan hidup
lebih kurang 90%, akan dihasilkan benih ikan untuk setiap 500 m2 luas kolam
sebanyak 13.500 ekor.

5.2.5. Contoh Komposisi Makanan

c. Remah untuk benih ikan Mas :


¾ dedak halus 35%
¾ tepung ikan 25%
¾ tepung kedelai 27%
¾ tepung daun 10%
¾ vitamin dan mineral 3%

d. Pellet untuk ikan Mas ukuran konsumsi dan induk :


¾ dedak halus 30%
¾ tepung ikan 23%
¾ tepung kedelai 5%
¾ tepung tulang 5%
¾ silase ikan 10%
¾ tepung daun 10%
¾ bungkil kelapa 5%
¾ vitamin dan mineral 3%

c. Makanan untuk ikan Tawes :


¾ tepung daun (petai cina) 30%
¾ tepung ikan 15%
¾ tepung kedelai 10%
¾ tepung jagung 5%
¾ bungkil kelapa 5%
¾ silase ikan 10%
¾ dedak halus 23%
¾ vitamin dan mineral 2%

5.2.6. Contoh Rencana Kerja BBI

A. Alternatif tanrget produksi benih (ribuan ekor) tahun 20....


Jenis Tahun 20.... Triwulan I Triwulan
Keterangan
1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm II dst
Disesuaikan
Dengan ke-
Butuhan
Nyata di
daerah

B. Target produksi induk (ekor/kg) tahun 20... (khusus BBI Sentral)

Tahun 20... Triwulan I Triwulan


Jenis Betina Jantan Jumlah Betina Jantan Jumlah Keterangan
II dst
ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg
Disesuaikan
dengan
keperluan
semua BBI
lokal dan
UPR

C. Rencana Distribusi Benih, Tahun 20...

Jumlah Distribusi
No Jenis Ukuran (1000 Maksud Daerah Keterangan
ekor) Penggunaan Tujuan
1 Mas 1-3 cm Diisesuaikan
>3-5 cm dengan
>5-8 cm keperluan
perairan
umum,
bantuan
proyek gizi,
bantuan
daerah
transmigrasi,
dsb
2 Tawes 1-3 cm
>3-5 cm
>5-8 cm
dst dst dst dst dst

D. Rencana Distribusi Calon Induk dan Induk, Tahun 20...

No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor) Distribusi Keterangan


Maksud Daerah
Penggunaan Tujuan
1 Mas 1.calon Diisesuaikan
induk dengan
2.induk keperluan
BBI Lokal
dan UPR
2 Tawes 1.calon
induk
2.induk
dst dst dst dst dst

E. Rencana Pembenihan Triwulan ke : .................................. Kg

Jenis Bulan Dan


ekor kg ekor kg frequensi seterus- Keterangan
nya
Diperkirakan
Dapat
meghasilkan
benih sesuai
target

F. Rencana Kerja Bulan ........./ 20.....

Tanggal
No Kegiatan dst Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
1 Produksi Benih Diberi kode
o persiapan kolam sikluspembenihan
o pemijahan dan nomor kolam
o pembiakan induk
o pemijahan
o penetasan/perawatan
induk
o pendederan I
o pendederan II
o pendederan III
o pendederan IV
o pendederan V
o pemungutan hasil
2 Produksi Induk
o pendederan benih
o seleksi I
o seleksi II
o seleksi III
o seleksi IV
o pemeliharaan calon
induk terpilih
3 Perkolaman ‰ Tiap kolam
o pengeringan/perawatan diberi nomor
o pengolahan dasar dan dibuatkan
kolam catatan khusus
o pemupukan ‰ Pekerjaan
o pemberantasan mengatur air,
hama/penyakit perbaikan
o babat rumput cocoran kecil
o pengisian air dsb adalah
o dst pekerjaan rutin
(tanpa
perencanaan
khusus
4 Penyaluran Benih
o persiapan
o pengepakan
o pengiriman
o dst
5 Pembuatan pellet
o pengumpulan bahan-
bahan
o penepungan
o pembuatan pellet
o penjemuran
o dst
6 Perawatan Mesin dan
Kendaraan
o servis genset
o servis mesin pellet
o servis kendaraan
o KIR kendaraan
o STNK
o dst

G. Rencana Pembenihan Triwulan ke : .................................. Kg

Jenis Bulan Dan


ekor kg ekor kg frequensi seterus- Keterangan
nya
Diperkirakan
Dapat
meghasilkan
benih sesuai
target
H. Rencana Kerja Bulan ........./ 20.....

Tanggal
No Kegiatan dst Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
1 Produksi Benih Diberi kode
o persiapan kolam sikluspembenihan
o pemijahan dan nomor kolam
o pembiakan induk
o pemijahan
o penetasan/perawatan
induk
o pendederan I
o pendederan II
o pendederan III
o pendederan IV
o pendederan V
o pemungutan hasil
2 Produksi Induk
o pendederan benih
o seleksi I
o seleksi II
o seleksi III
o seleksi IV
o pemeliharaan calon
induk terpilih
3 Perkolaman ‰ Tiap kolam
o pengeringan/perawatan diberi nomor
o pengolahan dasar dan dibuatkan
kolam catatan khusus
o pemupukan ‰ Pekerjaan
o pemberantasan mengatur air,
hama/penyakit perbaikan
o babat rumput cocoran kecil
o pengisian air dsb adalah
o dst pekerjaan rutin
(tanpa
perencanaan
khusus
4 Penyaluran Benih
o persiapan
o pengepakan
o pengiriman
o dst
5 Pembuatan pellet
o pengumpulan bahan-
bahan
o penepungan
o pembuatan pellet
o penjemuran
o dst
6 Perawatan Mesin dan
Kendaraan
o servis genset
o servis mesin pellet
o servis kendaraan
o KIR kendaraan
o STNK
o dst
Lampiran 3 : Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya
Nomor : 1106/DPB.0/HK.150/XII/2006

STANDAR SARANA, FASILITAS FISIK DAN OPERASIONAL BALAI


BUDIDAYA UDANG (BBU), BALAI BUDIDAYA UDANG GALAH
(BBUG) DAN BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP)

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA


DIREKTORAT PERBENIHAN
J AKARTA
2006
DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................ 1
1.2. Maksud dan Tujuan ........................................................... 2

II. PEDOMAN KERJA ........................................................... 2


2.1. Perencanaan ........................................................... 4
2.2. Penetapan Kapasitas produksi ...................................... 4

III. PERSYARATAN LOKASI ........................................................... 9

3.1. Kriteria Teknis ............................................................ 9


3.2. Kriteria Non Teknis ............................................................ 9

IV. FASILITAS BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP) ......................... 12

4.1. Lahan dan Bangunan ........................................................ 12


4.2. Peralatan dan Mesin ....................................................... 13
4.3. Tata Letak ....................................................... 14

V. PEDOMAN TEKNIK PEMBENIHAN ............................................ 16


5.1. Pedoman Teknik Pembenihan Udang Windu ...................... 16
5.2. Pedoman Teknik Pembenihan Ikan Bandeng ...................... 23

LAMPIRAN - LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah lahan perairan laut


yang sangat luas mencakup lebih dari 70 % total wilayah. Wajar apabila harapan
peningkatan kesejahteraan masyarakat ditumpukan pada kemampuan pemanfaatan
sumber daya alam laut terutama sumber daya ikan. Kenyataan menunjukkan bahwa
pemanfaatan sumber daya ikan melalui perikanan tangkap telah menunjukkan
ambang batas jenuh, kecuali melalui sistem pengelolaan yang optimal. Di lain pihak
kebutuhan ikan sebagai sumber protein dunia menunjukkan peningkatan dan pada
tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 105 - 110 juta ton yang tidak mungkin dapat
dipenuhi hanya dari hasil perikanan tangkap.

Kecenderungan menunjukkan bahwa perikanan budidaya dapat menjadi


alternatif penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia yang sekaligus juga
mampu menciptakan lapangan kerja baru dan menghasilkan devisa yang nyata.
Permintaan negara-negara maju terhadap “healthy and luxury seafood” seperti ikan
kerapu, kakap, teripang, rumput laut dan juga mutiara (“ornament product”) yang
terus meningkat merupakan prospek cerah dan sekaligus menjadi tantangan bagi
pengembangan usaha budidaya laut di Indonesia. Potensi lahan perairan laut yang
mencapai 1.706.000 hektar, masih cukup besar bagi pengembangan usaha
budidaya laut .

Penguasaan teknologi budidaya laut di Indonesia baru dirintis sejak tahun 1990, dan
hingga saat ini telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Berbagai jenis
komoditi yang berhasil dibudidayakan diantaranya adalah udang windu, udang
vanamei, udang galah, ikan bandeng, kakap putih, beberapa jenis kerapu,
kekerangan termasuk tiram mutiara, teripang, kuda laut serta rumput laut. Namun
demikian diseminasi teknologi ini ke daerah-daerah potensial belum terlaksana
dengan baik. Diseminasi teknologi budidaya akan terlaksana dengan baik bila
daerah tersebut memiliki fasilitas perbenihan. Keberadaan fasilitas pembenihan
selain dimaksudkan sebagai tempat penyedia benih, juga akan mendorong
berkembangnya usaha perbenihan dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi
benih didaerah.

Saat ini sebagai unit pembenihan milik pemerintah dibidang perbenihan


budidaya air payau/laut adalah Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah
(BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP). Pembangunan Balai Benih Ikan Pantai
di daerah tidak hanya akan memberikan kontribusi pemasokan benih, tetapi juga
akan menjadi pendorong berkembangnya kawasan baru usaha budidaya serta
mampu menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah yang nyata.
Sebagai sarana pemerintah balai-balai benih tersebut melaksanakan kegiatan
sebagai berikut :

1. Menjamin ketersediaan benih ikan budidaya pantai terutama benur baik


benurudang windu, udang galah dan udang vanamei yang memadai dalam
rangka intensifikasi dan diversifikasi usaha budidaya tambak sekaligus
meningkatkan pendapatan petambak.
2. Sebagai tempat melaksanakan adaptasi teknologi pembenihan budidaya pantai
yang aktual.
3. Penyaluran benih ikan air payau/laut yang merata diwilayah potensial budidaya
air payau/laut

Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, bahwa usaha budidaya


udang windu sedang mengalami kelesuhan yang mengakibatkan permintaan benih
udang windu menurun dengan tajam, sehingga banyak unit-unit perbenihan baik
pemerintah maupun swasta tidak mampu berproduksi lagi. Untuk mengantisipasi hal
tersebut perlu diambil kebijaksanaan untuk mengembangkan jenis-jenis ikan laut
yang memiliki nilai ekonomis penting dan diunggulkan.
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa BBU/BBUG tidak hanya digunakan bagi
kegiatan pembenihan udang windu dan udang galah saja, tetapi dapat digunakan
untuk pembenihan ikan budidaya pantai seperti bandeng, kakap, kerapu atau
komoditas lainnya.

Dengan demikian sudah selayaknya sarana dan prasarana BBU/BBUG


dipersiapkan untuk dapat mendukung kebijaksanaan dan program perbenihan
dimasa mendatang dengan memanfaatkan BBU/BBUG menjadi Balai Budidaya Ikan
Pantai. Artinya Balai Benih Ikan Pantai sebagai unit pelaksana teknis pemerintahan
daerah yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tidak terbatas pada
pengembangan benih komoditas udang windu dan udang galah, melainkan ikut
menjamin ketersediaan benih ikan atau komoditas budidaya air payau/laut dan
unggulan lainnya serta pendistribusiannya sampai kepada adaptasi teknologi
perbenihannya ditingkat pembudidaya.

1.2. Maksud dan Tujuan

Buku Pedoman Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan
Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan
Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) adalah dimaksudkan untuk menyeragamkan
kelengkapan fasilitas fisik dan operasional dalam rangka mempersiapkan
keberadaan BBU/BBUG sebagai Balai Benih Ikan Pantai, baik dalam struktur,
lingkup organisasi maupunstatus dan pola operasionalnya. Sehingga BBIP mampu
melaksanakan fungsi dan tugas pokok yang telah ditetapkan sesuai dengan
Pedoman yang telah ditetapkan. Oleh karena itu BBU/BBUG dan BBIP yang
beroperasional sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah dibidang perbenihan
perikanan pantai, maka dalamperkembangannya perlu dilengkapi dengan :

a. Komponen Teknis

¾ Penerapan teknologi pembenihan udang windu, udang galah dan


ikan/komoditas laut lainnya yang lebih maju sesuai dengan komoditas laut
lainnya yang lebih maju sesuai dengan komoditas yang berkembang
didaerah/wilayah kerjanya pada saat itu.
¾ Penekanan mortalitas terutama pada stadia larva.
¾ Sistem pemeliharaan larva pada stadia lebih lanjut dan mampu menampung
hasil pemijahan pada frekuensi tinggi, serta dapat menghasilkan benur dan
larva sesuai dengankebutuhan dalam jumlah dan ukuran yang diperlukan.
¾ Penyediaan telur, benih udang dan ikan budidaya pantai yang unggul, sehat
serta bebas hama bagi kepentingan pembenihan skala rumah
tangga/pembenihan rakyat.

b. Sarana Operasional

¾ Penyebaran jenis udang dan ikan budidaya pantai komoditas spesifik yang
berkembang diwilayah kerjanya.
¾ Peningkatan produktifitas dengan alih teknologi hasil rekayasa teknologi
perbenihan dari UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya.
¾ Kelengkapan sarana sebagai lembaga sertifikasi mutu dan sertifikasi uji
laboratorium.

Keadaan lingkungan dan tingkat kemajuan budidaya pantai (budidaya di


tambak dan budidaya laut) dimasing-masing daerah diseluruh Indionesia tidak selalu
sama, sehingga tuntutan terhadap Balai Benih Ikan Pantai dimasing-masing daerah
juga berbeda. Oleh karena itu penerapan standar unit perbenihan ikan tersebut
diharapkan dapat disesuaikan tanpa merubah prinsip dan pedoman yang telah
digariskan.
BAB II

PEDOMAN KERJA

2.1. Perencanaan

Rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai, disusun menurut kegiatan dan jadwal
yang disesuaikan dengan rencana produksi, distribusi dan penyaluran benih ikan
yang tepat waktu. Penjadwalan yang menyangkut kegiatan produksi benih, distribusi
dan penyaluran benih serta bimbingan teknis pada hakekatnya merupakan
rangkaian kegiatan yang dirinci kedalam uraian pelaksanaan tugas bagi setiap
petugas yang harus dilaksanakan. Kegiatan produksi benih, distribusi dan
penyaluran benih, bimbingan teknis harus diwujudkan dalam satu kesatuan dan
tidak dapat dipisahkan satusama lain yang tertuang dalam perencanaan. Dengan
demikian, penjadwalan dan rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai harus
berpedoman kepada rencana operasional.

Penjadwalan dan rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai dapat berbentuk
daftar atau ikhtisar kegiatan yang diperuntukkan untuk jangka pendek (bulanan dan
tahunan) atau jangka menengah (triwulan atau semester). Setiap jadwal dan
rencana kerja merupakan rincian kegiatan penjabaran dari rencana kerja jangka
waktu menengah, dan terbagi habis kedalam rincian kegiatan tahunan dan bulanan.
Rincian kegiatan itu, dapat digolongkan seperti dibawah :

a. Kegiatan Bulanan merupakan uraian pelaksanaan tugas bagi pejabat struktural


dan fungsional yang terdapat dalam lingkup struktur organisasi Balai Benih Ikan
Pantai seperti contoh pada lampiran.
b. Kegiatan Tahunan merupakan kegiatan yang menyangkut rencana berupa target
dan pencapaian perencanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana
operasionaltugas pokok dan fungsi Balai Benih Ikan Pantai seperti contoh pada
lampiran.

2.2. Penetapan Kapasitas Produksi Benih

Perencanaan kapasitas produksi benih diperlukan dalam pembangunan suatu


unit perbenihan. Perumusan kapasitas produksi benih merupakan rancangan usaha
dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik dalam rangka pemenuhan
permintaan benih yang menjadi beban tugas di masing-masing unit pembenihan di
wilayah kerjanya maupun merupakan salah satu bentu tanggung jawab operasioan
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Balai Benih Ikan Pantai. Sehingga
dengan menentukan kapasitas produksi benih, maka dapat ditentukan target
produksi benih yang diinginkan sesuai dengan kemampuan fisik suatu unit balai
benih. Berikut ini diuraikan masing-masing pedoman penetapan kapasitas produksi
benih Udang Windu dan ikan bersirip (Bandeng, Kakap Putih dll).
2.2.1. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Udang Windu

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan harus


disesuaikan dengan pencapaian potensi/target produksi benih tertentu yang
kemudian akan menentukan ukuran unit pembenihan. Kapasitasnya berdasarkan
atas perkiraan rasio antara bak untu menghasilkan pakan alami, bak pemeliharaan
larva maupun bak induk. Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang
dibutuhkan yang didasarkan atas jumlah induk yang dipijahkan.

Berdasarkan teknik pemijahan udang windu yang telah dilakukan, baik mulai
dari UPT Pusat Ditjen Perikanan, panti-panti benih swasta dan penti benih milik
masyarakat, maka dalam merencanakan produksi nauplii dan benur dapat
diperkirakan kebutuhan bak-bak dengan asumsi sebagai berikut:
Setiap induk udang windu dapat dipijahkan 2 kali atau lebih melalui seleksi dan
pengawasan yang ketat;
Untuk memelihara nauplii hingga siap ditebarkan ketambak dibutuhkan waktu +
21(dua puluh satu) hari;
Dalam 1 tahun unit pembenihan udang windu dapat melakukan pemeliharaan 8
(delapan) siklus.
Dari keseluruhan induk yang matang telur diasumsikan yang bertelur sebanyak
80 %.
Dari 1 ekor induk betina dalam 1 (satu) siklus pemijahan dapat dihasilkan +
500.000 nauplii.
Padat tebar nauplii 75 – 150 ekor per liter air.
Survival Rate (SR) sebesar 30 %.

Sehingga dengan demikian produksi nauplii dapat diperkirakan sebagai


berikut :

Bak perkawinan induk sebesar 6 x 6 x 0,75 m sebanyak 4 unit;


Induk yang dibutuhkan 576 ekor (padat tebar 4 ekor/m2);
Perbandingan jantan dan betina 2 : 3;
Induk betina yang dibutuhkan 345 ekor;
Nauplii yang dihasilkan dapat diperkirakan sebesar 172,5 juta.
Jumlah bak larva yang dimiliki 12 unit @ 10 ton;
Jumlah nauplii yang dapat dipelihara dalam satu siklus sebesar 18 juta ekor,
sedang sisanya dapat digunakan untuk memenuhi permintaan + 25 HSRT
dengan perkiraan per unit HSRT memiliki bak pemeliharaan larva 40 ton.
Produksi PL yang dapat dihasilkan diperkirakan 5,4 juta PL 12 per siklus,
atau dalam 1 tahun diperkirakan dapat menghasilkan 65 juta PL 12.
2.2.2. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Ikan Bersirip (Bandeng, Kakap
Putih, dan lainnya)

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan harus


disesuaikan dengan pencapaian potensi/target produksi benih tertentu yang
kemudian akan menentukan ukuran unit pembenihan. Kapasitasnya berdasarkan
atas perkiraan rasio antara bak untuk menghasilkan pakan alami, bak pemeliharaan
larva maupun bak induk. Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang
dibutuhkan yang didasarkan atas jumlah induk yang dipijahkan.

A. Bandeng

Secara teknis, pemijahan ikan bandeng telah dilakukan di UPT maupun


UPTD Ditjen Perikanan Budidaya, Balai Penelitian Perikanan Pantai Gondol Bali
maupun pembenihan lengkap milik masyarakat. Kebutuhan fasilitas pembenihan
ikan bandeng diasumsikan sebagai berikut :

Setiap induk bandeng dipijahkan 8 (delapan) kali;


Dalam pemeliharaan larva nener, siap ditebarkan ke pendederan dibutuhkan
waktu + 20 hari;
Selama 1 tahun pembenihanbandeng dapat dilakukan 8 (delapan) siklus;
Jumlah induk dalam 1 bak ukuran 300 M3 adalah 50 ekor (25 ekor jantan dan 25
ekor betina);
Dari 25 ekor induk betina, 80 % dapat memijah atau 20 ekor;
Diperkirakan 1 ekor induk betina menghasilkan telur sejumlah 5 juta telur;
Telur yang dihasilkan dalam 1 siklus : 20 ekor x 5 juta telur = 100 juta telur;
Jumlah bak larva yang dimiliki 10 buah @ 5 ton;
Padat tebar telur 30 telur per liter;
Telur yang dapat dipelihara menjadi larva 50 ton x 1.000 x 30 telur = 1,5 juta
telur;
Sisa telur dapat dimanfaatkan oleh 197 HSRT, dengan perkiraan setiap unit
HSRT memiliki bak pemeliharaan larva sebesar 20 ton;
Tingkat penetasan (Hatching Rate) 80 %.
Telur yang menetas 80% x 1,5 juta telur = 1,2 juta ekor nener;
Survival Rate nener sampai pendederan 20 %
Produksi nener yang dihasilkan 20% x 1,2 juta = 240.000 ekor nener.

B. Kakap Putih

Berdasarkan teknik pemijahan yang pernah dilakukan dalam memproduksi


benih kakap putih di UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya, maka perkiraan-
perkiraan berikut dapat digunakan dalam merencanakan kapasitas produksi benih,
selanjutnya dipergunakan untuk memperkirakan kebutuhan bak-bak yang
diperlukan.
Asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam penghitungannya adalah sebagai berikut :

♣ Induk kakap putih dalam lingkungan panti benih memijah secara bulanan untuk

♣ Tingkat kehidupan larva dari umur 1 – 45 hari adalah 15 %;


jangka waktu 8 bulan dalam 1 tahun (1 tahun 8 siklus);

♣ Tingkat produksi larva umur 45 hari (D-45) pada bak pemeliharaan larva adalah 3

♣ Waktu pemeliharaan larva adalah 45 hari. Satu bak pemeliharaan larva hanya
ekor/liter;

dapat dipakai 4 kali selama musim pemijahan, karena ikan memijah secara
bulanan/siklus, maka harus mempunyai 2 unit bak pemeliharaan larva untuk

♣ Kapasitas bak untuk kultur pakan alami adalah sama seperti bak pemeliharaan
melayani produksi benih secara bulanan/siklus;

larva. Perbandingan antara bak kultur algae dan bak kultur rotifer adalah 2 : 1.

Berikut sebagi contoh perkiraan kapasitas produksi benih (asumsi


menghasilkan D-45) beserta kapasitas bak yang dibutuhkan untuk kegiatan
pemijahan, pemeliharaan larva dan kultur pakan alami untuk kakap putih sebagai
berikut :

♦ Perkiraan produksi benih yang : 2.000.000 ekor umur 45 hari (D-


dapat dihasilkan per tahun 45)
♦ Musim pemijahan
♦ Target produksi per-siklus
: 8 siklus dalam setahun

♦ Padat tebar benih


: 2.000.000/8 = 250.000 ekor

♦ Kebutuhan bak larva per-siklus


: 3 ekor/ltr atau 3.000 ekor/ton

♦ Waktu pemeliharaan
: 250.000/3.000 ekor/ton

♦ Kapasitas total bak larva produksi


: 45 hari
: 84 ton x 2 = 168 ton

♦ Kebutuhan bak kultur pakan alami


bulanan/siklus

♦ Perbandingan bak kultur algae dan


: 168 ton
: 112 : 56 ton (112 ton algae, 56 ton

♦ Jumlah total larva baru menetas


rotifer 2 : 1 rotifer
: 2.000.000/15% SR = 14.000.000

♦ Rata-rata tingkat penetasan (HR)


yang dibutuhkan larva

♦ Jumlah telur yang dibutuhkan


: 70 %

♦ Rata-rata telur per induk


: 14.000.000/70%= 20.000.000 telur
: 1 juta telur (fekunditas 1,5 – 3,5

♦ Jumlah
juta telur/16 kg
induk betina yang : 20.000.000/1.000.000 = 20 induk

♦ Ratio sex betina dan jantan


dibutuhkan betina

♦ Jumlah
: 1:1
induk jantan yang : 20 ekor

♦ Tingkat penebaran induk


dibutuhkan

♦ Kebutuhan bak induk


: 1 ekor induk per 5 ton air
: 40 ekor x 5 ton = 200 ton

Rincian untuk standar bak, kebutuhan dan bentuk selanjutnya dijelaskan


pada Bab 4.
BAB III

PERSYARATAN LOKASI

3.1. Kriteria Teknis

a. Lokasi Balai Benih Ikan Pantai harus terletak pada daerah terlindung, bebas
banjir serta ombak yang kuat. Lokasi tersebut juga harus terdiri dari tanah yang
padat/kompak. Karena akan dibangun bak-bak pemeliharaan larva yang
bertonase cukup besar, maka tanah dasar harus dipilih yang cukup stabil
misalnya menghindari bekas timbunan sampah, agar kekuatan bak terjamin.
b. Lokasi berada didaerah pantai dimana suhu udara cukup tinggi, sehingga suhu
air pemeliharaan dapat mencapai kisaran 26o – 33 o C. Pada kisaran suhu
tersebut akan sangat mendukung keberhasilan usaha pemeliharaan larva.
c. Sumber air laut yang dipergunakan untuk pembenihan harus bersih dan jernih
sepanjang tahun tidak tercemar baik limbah industri, limbah pertaniaan maupun
limbah rumah tangga. Perubahan salinitas sebaiknya relatif kecil. Jumlah dan
kualitas air laut yang digunakan harus cukup dan memenuhi persyaratan teknis
kimia/fisika sebagai berikut :

Ψ
Ψ
Salinitas/kadar garam : 28 – 35 ppt

Ψ
pH : 7,8 – 8,3

Ψ
Alkalinitas : 33 – 60 ppm

Ψ
Bahan organik : < 10 ppm
28 – 30 o C
Ψ
Suhu :

Ψ
Amoniak : < 2 ppm

Ψ
Nitrit : < 1 ppm
Kecerahan : maksimum (cahaya matahari
sampai kedasar pelataran)

d. Sumber air tawar yang dibutuhkan untuk menurunkan salinitas air laut yang
diperlukan sesuai kebutuhan, selain itu air tawar juga digunakan untuk mencuci
bak dan peralatan pembenihan lain.

3.2. Kriteria Non Teknis

BBU/BBUG sebagai unit perbenihan ikan pantai disamping harus memnuhi


persyaratan sesuai kriteria teknis seperti tersebut diatas, perlu memenuhi kriteria
non teknis sebagai berikut :

a. Daerah pengembangan budidaya pantai

BBU/BBUG sebagai Balai Benih Ikan Pantai idealnya berlokasi didaerah sentra
produksi benih dan didukung oleh akses kedaerah pengembangan budidaya
tambak atau budidaya laut. Kapasitas produksi unit perbenihan budidaya pantai
tersebut adalah seperti telah diuraikan pada Bab II.
b. Pemasaran

Seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa Tupoksi BBU?BBUG sebagai unit
pembenihan ikan pantai selain menjamin ketersediaan benih dan penyaluran
benih ikan pantai, maka tugas dan fungsi unit perbenihantersebut adalah juga
menjamin ketersediaan benih ikan budidaya pantai serta penyalurannya,
disamping tetap sebagai tempat pelaksanaan adaptasi dan perekayasaan
teknologi perbenihan pantai diwilayah masing-masing. Oleh karena itu output
yang diusahakan oleh unit perbenihan budidaya pantai tersebut memang
dibutuhkan oleh masyarakat baik jumlah maupun jenis komoditasnya, dan
mempunyai nilai ekonomis penting.

c. Prasarana dan saran pengangkutan

Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga memudahkan


pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan dan dihasilkan oleh BBU/BBUG
sebagai unit perbenihan ikan pantai. Disamping itu unit perbenihan tersebut
tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan seperti kegiatan budidaya ikan
dan pasar benih. Disamping itu adanya sarana pengangkutan sendiri agar
segala keperluan dapat segera dikerjakan tanpa menunggu pihak lain.

d. Prasarana dan sarana komunikasi

Mengingat perkembangan pembangunan terutama dibidang komunikasi akhir-


akhir ini cukup pesat, maka sudah selayaknya suatu unit perbenihan ikan pantai
milik pemerintah ini juga dilengkapi dengan sarana komunikasi seperti telepon
dan faxcimili.

e. Sumber listrik

Suatu usaha perbenihan tidak dapat dioperasikan tanpa tenaga listrik, maka
listrik sangat penting sebagai sumber tenaga untuk menjalankan peralatan
pembenihan seperti blower, pompa air dan sistem penunjang lainnya.
Pemasangan generator mutlak diperlukan terutama untuk daerah yang sering
terjadi pemadaman aliran listrik.

f. Perkembangan kota dan industri

Lokasi unit pembenihan ikan pantai tidak terkena oleh pemekaran kota atau
pengaruh yang kurang baik dari industri dalam jangka waktu minimal 10 tahun.
g. Luas lahan

Luas lahan keseluruhan unit pembenihan ikan pantai minimal 5 Ha (hektar


persegi), mengingat komoditas yang ditangani paling tidak terdapat 3 jenis yaitu
udang windu, bandeng dan kakap putih atau komoditas ikan bersirip lainnya
maka sarana, bak-bak pemijahan, pemeliharaan larva, pemeliharaan induk serta
sarana penunjang lain yang perlu dibangun cukup banyak, sehingga dapat
melebihi kebutuhan seluas 5 Ha lahan.
BAB IV

FASILITAS BALAI BENIH IKAN PANTAI

4.1. Lahan Dan Bangunan

Lahan yang diperlukan pada sebuah Balai Benih Ikan Pantai untuk
meletakkan bangunan-bangunan, peralatan dan mesin keseluruhannya mempunyai
luas minimum 2 Ha, termasuk untuk pengembangan hatchery dan fasilitas
pendukung lainnya.

Fasilitas minimum yang diperlukan untuk lahan dan bangunan Balai Benih
Ikan Pantai dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Lahan dan Bangunan Balai Benih Ikan Pantai

No Jenis Ukuran Jumlah


A Lahan 2 Ha -

B Gedung dan Bangunan


1 Kantor, perpustakaan dan ruang
200 m2 1 unit
staf
2
2 Bangsal kerja 400 m 1 unit
3 Rumah pimpinan 54 m2 1 unit
4 Rumah karyawan 36 m2 4 unit
5 Rumah jaga 21 m2 2 unit
6 Asrama 150 m2 1 unit
7 Rumah pompa 12 m2 1 unit
8 Rumah blower 12 m2 1 unit
9 Rumah genset 12 m2 2 unit
10 Gudang 20 m2 1 unit
11 Laboratorium (lab. Basah, kimia,
algae, hama penyakit & 150 m2 1 unit
pakan)
12 Ruang pertemuan 100 m2 1 unit

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan ikan pantai


perencanaannya harus disesuaikan dengan pencapaian target produksi tertentu
yang kemudian akan menentukan ukuran suatu panti benih. Kapasitasnya
berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untuk menghasilkan pakan alami dan
bak pemeliharaan larva . Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang
ditargetkan berdasarkan jumlah induk yang akan dipijahkan.
Berdasarkan teknik pemijahan yang pernah dilakukan oleh UPT Pusat Ditjen
Perikanan Budidaya misalnya dalam produksi benih ikan kakap putih, maka contoh
perkiraan/asumsi-asumsi yang digunakan seperti pada sub Bab 2.2.

Bak-bak pada Balai Benih Ikan Pantai dipergunakan untuk berbagai


keperluaan seperti untuk pemeliharaan induk pada pemiahan berikutnya, penetasan,
pemeliharaan larva dan pakan alami. Standar fasilitas fisik sarana Balai Benih Ikan
Pantai dapat dilihat pada tabel 2 berikuit ini.

Tabel 2. Standar fasilitas fisik sarana Balai Benih Ikan Pantai.

Jumlah
Ukuran/
No Fasilitas (Uni Bentuk/Bahan
Kapasitas
t)
1 Bak filter dan tower 4x4x1,5 m 2 Segi empat, semen
2 Bak reservoar air 1 ton 2 Segi empat, semen

φ 10 m,
tawar
3 Bak induk 3 Bulat, beton
dalam 3
m
4 Bak larva 5x2x1,25 m 18 Segi empat
5 Bak algae :
a. Algae massal :
- phytoplankton 40 M3 6 Segi empat, semen
- Rotifera 40 M3 3 Segi empat, semen
b. Algae semi massal 1 – 2 M3 10 persegi,
fiberglas
6 Penetasan artemia 500 liter 5 Konikel, fiberglas

4.2. Peralatan dan Mesin

Peralatan dan mesin untuk operasional teknis Balai Benih Ikan Pantai untuk
perbenihan udang dan ikan bersirip (bandeng, kakap putih dan ikan lainnya) terdiri
dari peralatan untuk induk, peralatan pembenihan dan peralatan laboratorium
minimum dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Peralatan dan Mesin Balai Benih Ikan Pantai.

No Jenis Peralatan/Mesin Jumlah Keterangan


A Peralatan Umum :

♦ 50 KVA
1 Genset

♦ 30 KVA
2 buah Bila tidak ada PLN
1 buah Bila ada PLN

♦ 4 inchi
2 Pompa air laut

♦ 2 inchi
2 buah
2 buah
3 Pompa air tawar/deep wheel 1 unit

♦ 1 inchi
4 Pompa celup

♦ 2 inchi
2 buah
2 buah
5 Blower 3,5 inchi dan instalasi 4 unit
6 Aerator listrik/high blower 2 unit
B Peralatan laboratorium 1 paket

♦ Roda 4
C Kendaraan

♦ Roda 2
1 unit
2 unit

4.3. Tata Letak

Tata letak semua fasilitas Balai Benih Ikan Pantai harus diatur sedemikian
rupa secara matang dan menunjukkan dimensi yang tepat sehingga lahan dan
fasilitas yang tersedia dapat digunakan seefisien mungkin, yang pada gilirannya
dapat memudahkan pekerjaan sehari-hari dan menekan biaya operasional. Salah
satu contoh tata letak fasilitas unit Perbenihan Ikan Pantai seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Contoh Desain/Tata Letak Fasilitas Fisik Sarana Balai Benih
Ikan Pantai

A
A

C
Keterangan :
A. Bak induk
B. Bak filter
& tower
C. Bak larva
D. Bak algae
E. Bak

E D
BAB V

PEDOMAN TEKNIK PEMBENIHAN

5.1. Pedoman Teknik Pembenihan Udang Windu

5.1.1. Pengadaan dan Pematangan Induk

Berat tubuh induk yang berasal dari laut 200 + 25 gr (induk betina) dan 125 +
25 gr (induk jantan). Sedang untuk induk tambak minimum 125 gr (betina) dan 80 gr
(jantang. Anggota tubuh tidak ada yang cacat (lengkap), punggung tidak retak
khususnya untuk induk betina serta organ kelaminnya tidak luka. Sebaiknya
dihindari juga induk yang tubuhnya banyak ditempeli parasit. Bentuk punggung
udang betina relatif mendatar dengan warna tubuh cerah atau kehijau-hijauan.

Metode pematangan gonad udang dilaksanakan dengan ablasi mata bagi


induk udang yang belum matang telur. Namun bila udang yang distok sudah matang
telur, ablasi mata tidak diperlukan lagi, sehingga induk udang langsung dimasukan
kedalam bak perkawinan.

Ablasi dilakukan untuk dirangsang perkembangan telur yaitu dengan merusak


sistem syaraf tertentu yang terdapat dalam tubuh udang. Tempat syaraf yang
berpengaruh dalam proses perkembanganbiakan ada pada tangkai mata. Ablasi
dilakukan setelah induk beradaptasi dengan lingkungan barunya (biasanya setelah
2-3 hari). Ablasi hanya dilakukan pada induk betina yang sehat dengan cara yang
umum digunakan adalah dengan menjepit salah satu tangkai mata dengan gunting
panas pada bagian pangkal matanya. Segera setelah dilakukan ablasi, induk betina
dan induk jantan dimasukan dalam bak perkawinan/pemijahan. Proses pematangan
gonad pada udang windu dapat dilihat pada gambar 2.

Adaptasi penting artinya untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi


lingkungan diperbenihan, baik terhadap kualitas air maupun lingkungan yang baru.
Adaptasi sekaligus juga merupakan proses seleksi, dimana induk-induk yang
ditempatkan pada bak berwarna terang warna kulit induk yang sehat akan jernih,
sebaliknya induk yang tidak sehat warna kulitnya cenderung merah dan gelap.

Selama dalam masa adaptasi induk udang tidak perlu diberi makan bila waktu
yang diperlukan kurang dari 24 jam. Untuk waktu yang lebih lama, kepadatan harus
dikurangi dan harus diberi makan. Proses penyesuaian lingkungan dilakukan secara
pelan-pelan akan memberikan hasil yang lebih memuaskan. Sebelum dimasukan
kedalam bak induk udang sebaiknya diberi disenfektan Methylen Blue 5 ppm selama
2 jam. Padat penebaran induk udang 2 ekor per m2 dengan perbendingan antara
jantan dan betina adalah 2 berbanding 3. Selama pemeliharaan dilakukan
pergantian air 200% perhari.
Gambar 2. Proses pematangan gonad pada udang windu

Rangsangan dari luar

Central Nervous system

X-Organ Sinus Gland

Gonad Inhibiting Hormone perkembangan


sperma

menghamb

Aktivitas Androgenic Androgenic


bertelur
Gland Hormone

tingkah
Fimale Y-Organ tak birahi
Ovary Gonad-Stimulatory
Hormone
Hormone
Pada individu jantan
tingkah
laku birahi Thoracic Otak
Ganglion

Pada individu batina

(air mengalir). Jenis makanan yang diberikan adalah cumi-cumi, kepiting,


rajungan atau kerang-kerangan dengan jumlah 10 – 20 % dari berat badan udang
setiap hari. Selama pemeliharaan desinfektan yang diberikan adalah Methylen Blue
5 ppm selama 2 minggu.

Perkawinan akan terjadi pada saat induk betina ganti kulit dan biasanya
terjadi pada malam hari. Selama dalam bak perkawinan/pemijahan pengelolaan
rutin yang dilakukan meliputi pemberian pakan, pergantian air, pemeriksaaan
kesehatan serta pemeriksaan terhadap perkembangan ovary.

Pemeriksaaan perkembangan telur dilakukan 3 – 4 hari setelah ablasi. Waktu


pemeriksaan sore hari bersamaan dengan waktu penggantian air dengan
menggunakan senter dan diamati pada bagian punggungnya. Telur pada tingkat I
kelihatan seperti garis berwarna hijau kehitam-hitaman dan pada akhir tingkat I garis
semakin jelas. Tingkat II ovary semakin jelas dan tampak berbentuk gelembung
pada ruas tubuh kedua. Tingkat III berbentuk satu gelembung lagi sehingga ovary
mempunyai dua gelembung pada ruas pertama membentuk cabang dibagian kiri
dan kanan yang menyerupai setengah bulan sabit. Pada kondisi ini udang betina
siap melepaskan telur induk betina yang telah mencapai matang telur tingkat III
dipindahkan ke bak perkawinan/pemijahan. Induk akan melepaskan telur pada
malam hari antara pukul 22.00 – 04.00. Pada saat melepaskan telurnya induk betina
berenang dipermukaan air dan telur keluar dari lubang gonophornya yang diikuti
pelepasan kantong sperma dari thelicum. Proses ini berjalan antara 3 – 5 menit.
Pelepasan telur akan lebih sempurna apabila keadaan gelap. Keadaan terang
menyebabkan telur hanya sebagian saja yang dikeluarkan, sedang sisanya
kemungkinan akan diserap kembali oleh induk yang bersangkutan. Karena itu
permukaan bak perlu ditutup dengan gedek bambu atau kain sehingga gelap. Induk
yang selesai bertelur segera diambil dan dikembalikan kedalam bak induk. Jumlah
telur yang dihasilkan sangat tergantung pada ukuran induk dan asal induk.

Pada kondisi suhu air 300 – 310C dan salinitas 30 – 31 ppt telur akan
menetas menjadi nauplius dalam waktu 12 – 15 jam setelah dilepaskan. Telur diberi
aerasi 1 batu/m2 dengan kekuatan 1,5 liter/menit/batu. Pengadukan dasar bak 3 kali
selama proses penetasan, dan desinfektan telur dengan menggunakan Methylene
Blue 1 ppm sampai dengan menetas.

Segera setelah yelur menetas menjadi nauplius, aerasi diperbesar menjadi


sekitar 10 liter/menit, dan sebaiknya menggunakan batu aerasi yang dapat
menghasilkan gelembung-gelembung halus. Batu aerasi sebaiknya ditempatkan
tidak terlalu dekat dengan dinding, kurang lebih 50 cm dari dinding, karena jika
penempatan batu aerasi terlalu dekat dengan dinding akan meyebabkan larva
membentur dinding bak sehingga dapat mengakibatkan kematian.
Pada stadia nauplius bak tetap ditutup untuk mengurangi intensitas cahaya yang
masuk. Cara ini juga dapat mengurangi angka kematian, disamping mencegah
kemungkinan blooming plankton. Penutupan permukaan bak dimaksudkan juga agar
fluktuasi suhu dukendalikan supaya tetap pada batas yang sesuai bentuk kehidupan
larva.

Pemanenan dilakukan saat stadia nauplius-5. Panen dilakukan dengan


mengeluarkan nauplius melalui pipa pembuangan yang sebelumnya pada tempat
penampungan telah dipasang saringan. Nauplius akan keluar bersama air dan
terkumpul dalam kain sarng. Cara lain panen nauplius dapat dilakukan dengan
memanfaatkan sifat nauplius yang tertarik pada sinar. Bak yang sebelumnya ditutup,
dibuka sedikit pada salah satu sisinya dan dipasang lampu. Pada saat aerasi
dimatikan nauplius akan naik kepermukaan air dan mengumpul kearah sinar.
Pengambilan dilakukan dengan menyedot memakai selang dan ditampung dalam
wadah tertentu. Pemanenan dengan cara ini sekaligus merupakan cara seleksi
kualitas nauplius, dimana nauplius yang berda dipermukaan air adalah nauplius
yang sehat. Perhitungan nauplius dilakukan dengan cara sampling, yaitu dengan
menghitung jumlah nauplius dalam wadah kecil yang volumenya sudah diketahui,
kemudian dibandingkan dengan wadah besar tempat nauplius ditampung.
Pengambilan nauplius untuk dihitung harus secara acak dan rapi tetapi merata.
5.1.2. Pemeliharaan Larva

¾ Persiapan Bak

Bak-bak sebelum digunakan harus dibersihkan atau dicuci dan disikat, lalu
dikeringkan 2 – 3 hari sampai betul-betul kering. Pengeringan ini dimaksudkan untuk
mematikan organisme yang menempel dalam bak serta mencegah timbulnya
penyakit. Disamping itu pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara
membasuh bagian dalam bak dengan kain yang diselupkan kedalam chlorine 150
ppm (150 ml larutan chlorine 10% dalam 1 m3 air), kemudian didiamkan selama 1- 2
jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm yang
berguna untuk menghilangkan chlor yang bersifat racun bagi larva udang maupun
alga. Desinfektan lain yang dapat digunakan yaitu Formalin 50 ppm.

Air media pemeliharaan larva dapat langsung diambil dari laut dengan
menggunakan pompa air maupun menggunakan air tambak yang jernih dan tidak
tercemar. Air laut dimasuknan kebak pemeliharaan larva manggunakan kain
saringan ukuran 100 mikron dan diaerasi. Pemberian aerasi bertujuan untuk
meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air dan menciptakan sirkulasi air
dalam media pemeliharaan serta mempercepat penguapan gas beracun sebagai
proses pembusukan sisa-sisa makanan dan kotoran. Jumlah batu aerasi yang
diperlukan 2 – 5 buah/m2 permukaan air. Batu aerasi yang digunakan dipilih yang
menimbulkan gelembung halus, hal ini untuk memperbesar diffusi oksigen dalam air
media. Batu aerasi dipasang menggantung pada jarak + 15 cm dari dasar bak.

Sehari sebelum nauplius ditebarkan ke bak, air diberi EDTA sebanyak 2 ppm
(untuk volume + 20 ton dibutuhkan 40 gram EDTA) yang berfungsi mengendapkan
logam-logam berat.

¾ Penebaran Naplius

Nauplius dapat diperolehdengan menetaskan telur yang dibeli dari


penampungan indik atau membeli nauplius langsung dari pembenihan skala besar.
Pada saat pembelian nauplius, harus dipilih yang betul-betul sehat yang dicirikan
dengan aktivitas berenang yang khas danmemberikan reaksi lebih cepat terhadap
cahaya. Pengangkutan nauplius dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Tertutup : menggunakan kantong plastik dengan penambahan oksigen.
b. Terbuka : mengunakan jerigen yang dilengkapi aerasi.
Penebaran nauplius dilakukan setelah salinitas dan suhu air dibak pemeliharaan
larva sama dengan salinitas dan suhu air pengangkutan larva. Padat penebaran
nauplius ini antara 75 – 150 ekor/liter. Setelah nauplius mencapai sub stadia
nauplius enam (N6) atau + 2 hari setelah dilakukan penebaran, kedalam air media
pemeliharaan larva diberi antibiotik Erithromycin 1,33 ppm dan treflan 0,05 ppm.
¾ Pemberian Pakan

Makanan yang diberikan pada larva udang selama pemeliha ada 2 jenis yaitu
makanan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan makan buatan. Masing-masing
jenis makanan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai
dengan stadia larva.

Makanan alami yang dapat digunakan untuk makanan larva dan mudah
dikultur adalah Tetraselmis chui, Skeletoma costatum, Chaeteceros calcitrans dan
nauplii Artemia sp. Sebagai makanan larva, plakton (alga) terlebih dahulu dikultur
dibak kultur alga. Bibit yang digunakan untuk kultur dapat dibeli dari pembenihan
skala besar atau UPT Budidaya milik Pemerintah. Untuk mempercepat pertumbuhan
alga, maka perlu pemupukan air media kultur sebelum dilakukan penebaran bibit.

Pemanenan alga dilakukan pada saat mencapai puncak populasi, dimana


untuk setiap species berbeda berkisar antara 24 jam sampai 1 minggu. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada saat puncak populasi ini akan terjadi :
1) unsur hara dalam bak alga sudah terserap habis oleh alga, sehingga
kekhawatiran adanya sisa pupuk yang terbawa kedalam bak dapat dihindari; 2)
jumlah populasi adalah yang terbesar selama daur hidupnya.
Ada 2 cara pemanenan alga yaitu :
a. Pemanenan alga bersama-sama dengan air media kultur, khususnya untuk jenis
Tetraselmis dan Chaetoceros.
b. Pemanenan alga dengan cara kering atau pemanenan alga tanpa masa air yaitu
dengan cara menyaring menggunakan plankton net, untuk jenis Skeletonema.

Makanan alami ini mulai diberikan setelah nauplius berubah menjadi Zoea 1.
Jenis alga yang baik dan sering digunakan untuk makanan larva udang adalah
Skeletonema, Tetraselmis dan Chaetoceros. Jumlah alga yang diberikan pada larva
+ 30.000 sel/ml air media, jumlah alga ini dalam bak larva perlu dipertahankan.
Untuk menghitung kepadatan alga dapat digunakan Haemacytometer. Bila belum
mempunyai haemacytometer, jumlah makanan yang harus diberikan dapat dilihat
dengan mengamati dibawah mikroskop apakah dalam alat pencernaan (perut) larva
terdapat makanan. Kalau perut larva kosong, maka perlu pemberian makanan
secukupnya. Frekuensi pemberian makanan alami ini 2 kali perhari, masing-masing
pada pukul 08.00 pagi dan 20.00 malam.

Disamping makanan alami, pada stadia zoea juga diberi makanan buatan
atau tahu. Hal penting yang harus diperhatikan dan mempersiapkan makanan
buatan antara lain :
9 Nilai gizi, kandungan protein + 60%;
9 Ukuran disesuaikan dengan bukaan mulut pada stadia udang tersebut;
9 Kualitas fisik bahan baik artinya tidak menyebabkan penurunan kualitas air.

Frekuensi pemberian makanan buatan ini dalam 24 jam minimal 5 kali,


dimana dalam setiap kali pemberian makanan jumlah yang diberikan tidak boleh
berlebih. Dengan kata lain 0,5 – 1 ppm makanan yang diberikan harus tepat jumlah
dan waktu pemberiannya.
Setelah larva mencapai stadia mysis, disamping diberi makanan buatan dan
alga juga diberi makanan alami nauplii artemia. Artemia yang digunakan untuk
makanan larva udang ini sebelum ditetaskan terlebih dahulu didekapsulasi
(penghilangan lapisan yang keras dengan menggunakan kaporit dan chlorin) untuk
mempertinggi daya tetas. Disamping itu dengan penggunaan kaporit atau chlorin
nauplii artemia yang digunakan dapat terbebas dari hama dan tidak meninggalkan
kulit-kulit bekas dalam media pemeliharaan. Penetasan telur artemia biasanya
memerlukan waktu + 24 jam.

¾ Perawatan Larva

Perawatan larva selama pemeliharaan ini sangat penting, karena larva udang
sangat sensitif perubahan kondisi lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Untuk itu penanganan larva selama pemeliharaan mulai dari stadia nauplius sampai
post larva harus benar-benar diperhatikan.

Pada stadia nauplius, zoea dan mysis dimana pada ketiga stadia ini
merupakan stadia yang sangat rawan, maka perlu dihindari hal-hal yang dapat
menimbulkan stress pada larva tersebut. Misalnya pada waktu pengambilan
sampling untuk perkembangan pertumbuhan larva dan pengamatan menghitung
kepadatan dalam bak, harus dilakukan dengan cermat.
Memasuki stadia Post Larva 1 (PL1), larva udang sudah mulai sering menempel
(bersifat benthic) dan pada dasar atau dinding bak. Untuk memperluas permukaan
tempat menempel larva dan mengurangi sifat kanibal larva, maka didalam bak
pemeliharaan bisa dimasukan jaring atau daun kelapa kering yang berfungsi sebagai
substrat untuk menempel larva dan tempat berlindung larva.

¾ Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air didalam bak pemeliharaan larva harus dipertahankan sebaik


mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Beberapa parameter
yang dapat diamati secara langsung dengan mata dan peralatan yang sederhana
yaitu suhu, salinitas, kekeruhan, blooming alga, warna dan gelembung-gelembung
kecil dipermukaan air sebagai akibat kelebihan alga.

Pada pembenihan udang dimungkinkan untuk tidak dilakukan pengganti air,


maka pengamatan kualitas air dan jumlah makanan yang ada dalam bak
pemeliharaan larva harus benar-benar mendapatkan perhatian khusus. Monitoring
kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari. Jika terdapat
makanan dilakukan secara hati-hati.

¾ Pengendalian Penyakit

Timbulnya penyakit pada larva udang yang dipelihara biasanya sebagai


akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil, misalnya pada waktu musim penghujan
dimana suhu dan salinitas labil serta sering berfluktuasi. Keadaan ini akan membuat
larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit.
Untuk mencegah timbulnya penyakit ini, dapat ditempuh beberapa cara yaitu :
9 Peningkatan salinitas lingkungan;
9 Mengoptimalkan lingkungan hidup larva misalnya dengan pemberian pakan
yang tepat guna sehingga dapat meningkatkan ketahanan tubuh;
9 Optimalisasi : kadar garam (28%-32%), suhu (300-320C) dan oksigen (6-9
ppm);
9 Pemberian obat-obatan.

¾ Panen

Pemanenan dilakukan setelah larva mencapai PL 12 – 15 dan dilakukan


secara serentak untuk satu bak. Cara panen benur adalah sebagai berikut :

Cara I : Pertama-tama dilakukan pengurangan air, kemudian benur diambil dengan


seser yang selanjutnya benur dituang secara hati-hati kedalam wadah
berisi air yang dilengkapi dengan aerasi.
Cara II : Air dibuang lewat lubang pembuangan air yang ada dibagian bawah larva
kedalam saluran pembuangan yang dilengkapi dengan kotak kain
saringan untuk menahan benur yang dipanen. Kemudian benur diciduk
dan dipindah kedalam wadah berisi air yang dilengkapi dengan aerasi.
Selama pemanenan air tetap menggenang.

5.2. Pedoman Teknik Pembenihan Ikan Bandeng

5.2.1. Pengadaan dan Pematangan Induk

¾ Pemeliharaan Induk

Pemeliharaan induk dilakukan dengan menggunakan bak semen dengan


konstruksi bulat berdiameter 10 meter serta kedalaman bak 3 meter ( kapasitas air
bak + 225 ton). Bak ditempatkan diudara terbuka, air laut dipompakan kedalam bak
sampai penuh dan air dialirkan terus menerus dengan tingkat pengantian 200 –
300% per hari. Aerasi dengan menggunakan sistem water lift (AWL) sehingga
memungkinkan air selalu dalam kondisi berputar sekaligus berfungsi untuk
mensuplai oksigen kedalam bak, untuk itu pemeliharaan induk perlu dilengkapi
dengan selang aerasi disekeliling bibir bak.

Induk bandeng dengan ukuran berat rata-rata 4 – 5 kg/ekor sejumlah 56 ekor


dapat distok kedalam bak (kepadatan 1 ekor/4 m3). Selama masa pemeliharaan
induk diberikan pakan pellet komersial 2% – 3 % dari total berat badan perhari,
diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari.

¾ Pematangan Gonad

Pematangan gonad dengan menggunakan hormon kronik dilakukan dengan


cara implantasi (penanaman) secara intramuskular pada otot punggung sekitar 5 cm
dibawah sirip punggung. Penggunaan hormon kronik dalam bentuk pellet atau tube
silastik ini lebih efektif karena hormon tersebut dapat larut dalam darah secara
perlahan-lahan dan berkesinambungan dalam jangka waktu yang relatif lama 3 – 4
minggu. Penyiapan hormon dan cara implantasi dijelaskan pada bagian akhir dari
pedoman ini.

5.2.2. Pemijahan Induk dan Penanganan Telur

Pemijahan induk bandeng yang telah matang gonad (dengan implantasi


hormon) terjadi secara spontan dalam lingkungan bak terkontrol.

¾ Panen Telur

Bak pemijahan dilengkapi dengan saringan pengumpulan telur (egg collector)


dengan mesh size 850 micron. Untuk menjaga agar telur yang terkumpul tidak
kekeringan maka egg collektor dipasang pada sebuah bak kecil yang diletakkan
dibawah saluran pembuangan air permukaan, sehingga telur yang terkumpul selalu
terendam air.

¾ Inkubasi Telur

Telur yang terkumpul dipindahkan secara hati-hati kedalam ember yang telah
diisi air kurang lebih sepertiga sampai setengah volume ember, kemudian
dipindahkan kedalam bak inkubasi (akuarium kaca). Bak inkubasi diisi air laut dan
dilengkapi dengan aerasi yang cukup kuat. Tingkat pembuahan (fertilasi) dihitung
dengan cara menghitung100 butir contoh telur dibawah mikroskop. Telur yang
dibuahi transparan dengan bintik kekuningan pada dasarnya, sedangkan telur yang
tidak dibuahi berwarna putih opak. Tingkat pembuahan telur dapat dihitung sebagai
berikut :

Tingkat Fertilasi = Telur yang dibuahi X 100 %


100

Pengumpulan telur dari bak inkubasi dilakukan dengan penambahan garam


dapur kedalam medium agar salinitas air mencapai 40 ppt, sehingga sebagian besar
telur yang dibuahi (fertilized eggs) terapung dan memudahkan untuk melakukan
penyeseran. Sebelum dilakukan penyeseran aerasi dimatikan dan dibiarkan + 10
menit sehingga telur yang baik terpisah dari telur yang tidak dibuahi (non fertilized
eggs) dan kotoran-kotoran lain. Telur yang baik (dibuahi) dipindahkan kedalam bak
yang telah diisi air laut dengan kapasitas 8 ton dan diberi aerasi secukupnya.
Jumlah total telur dalam bak tersebut dihitung dengan metoda scooping.

Jumlah Total Telur = contoh telur X Volume bak


Volume contoh
¾ Penetasan Telur

Telur yang telah dihitung dipindahkan kedalam bak pemeliharaan laeva yang
telah dicuci air tawar dan diisi air laut yang telah disaring dengan saringan 20
micron. Pemindahan telur dilakukan dengan hati-hati. Kepadatan telur yang ideal
sekitar 25 – 30 butir per liter dengan perkiraan persentase penetasan sekitar 80% –
90%.

Telur menetas dalam waktu 24 – 35 jam setelah pemijahan pada suhu 280 –
320C, dan dianggap sebagai larva hari ke 0 (D-0). Cangkang telur dan telur yang
tidak dibuahi akan mengendap didasar bak dan segera disifon agar tidak merusak
kualitas air. Daya tetas telur (hatching rate) dihitung dengancara menghitung
cangkang telur atau telur yang tidak menetas (telur mati) dari hasil penyifonan
dengan menggunakan metode scooping.

5.2.3. Teknik Pemeliharaan Larva

Kepadatan larva yang ideal adalah 10 – 20 ekor per liter. Aerasi diatur
sedemikian rupa (cukup agar larva dapat terus terlarut) karena kondisi larva masih
lemah.

¾ Pemberian Pakan

Pemberian pakan dimulai pada hari ke-2 karena pada saat tersebut persedian
pakan dari kantong kuning telur (yolk sac) mulai habis. Pakan yang diberikan berupa
fitoplankton Chlorella sp dengan kepadatan 200.000 – 500.000 sel/ml atau
Tetraselmis chuii dengan kepadatan 10.000 – 20.000 sel/ml. Pemberian pakan
fitoplankton ini berlangsung terus sampai dengan pemeliharaan hari ke-21.

Fungsi pakan fitoplankton ini disamping sebagai stabilisator kualitas air juga
diperlukan sebagai pakan rotifera (Brachionus plicatilis) yang merupakan pakan
langsung larva bandeng. Pemberian pakan rotifera dengan kepadatan 20 – 30
individu/ml dimulai pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-10 dan mulai hari ke-11
sampai hari ke-21 kepadatan rotifera diturunkan menjadi 10 – 20 individu/ml.
Penghitungan kepadatan pakan berfungsi untuk memaksimumkan kesempatan
pakan termakan oleh larva, mencegah over feeding, dan memanfaatkan pakan
secara efisien.

Sejak hari ke-10 sudah dapat diberikan pakan tambahan berupa pakan
komersial (flake dengan dosis 0,5 – 1 ppm atau dengan jumlah awal yang sedikit,
tergantung kepada respon larva terhadap pakan tersebut, dengan maksud agar tidak
terjadi kelebihan pakan buatan dalam medium yang dapat merusak kualitas air.

Mulai hari ke-15 dapat diberikan pakan nauplii artemia (instar I-II) dengan
kepadatan 0,3 individu per ml air. Pemberian pakan artemia tidak mutlak diberikan
pada umur larva tersebut hal ini tergantung kepada ukuran dan respon larva
terhadap pakan nauplii artemia. Nauplii artemia penting diberikan sebagai pakan
larva pada tahap-tahap akhir pemeliharaan ketika larva membutuhkan organisme
pakan dengan ukuran yang lebih besar.

Larva pada umur ke-21 sudah cukup kuat untuk dipanen, namun kadang-
kadang pemeliharaan larva dapat diteruskan sampai hari ke-28 bila pada hari ke-21
kondisi larva masih lemah.

¾ Pengelolaan Air

Sejak hari ke-0 hingga ke-8 pemeliharan larva dilakukan dengan sisitem air
diam (stagnan). Mulai hari ke-10 air sudah dapat dialirkan dengan tingkat pergantian
25% perhari. Tingkat pergantian air ini ditambah setiap hari sehingga mulai hari ke-
21 sudah dapat mencapai 100% perhari. Penyifonan dasar bak yang disebabkan
oleh akumulasi kotoran dari sisa-sisa hasil metabolisme atau sisa pakan perlu
dilakukan untuk menjaga agar kualitas air tetap baik.

¾ Pemanenan

Pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi volume air dibak


emeliharaan larva secara perlahan-lahan. Setelah tinggi air kira-kira mencapai 25
cm dari dasar bak baru dipanen dengan menggunakan waring, yaitu dengan
menggiring nener ke sudut bak. Setelah itu nener dipindahkan kedalam bak
penampungan dari fibreglass volume 1 ton yang sebelumnya sudah diisi air dengan
salinitas 15 ppt. Penurunan salinitas hingga 15 ppt berfungsi untuk mengadaptasi
nener dengan air di tambak apabila nener ditebar di tambak. Untuk menentukan
tingkat kelangsungan hidup (survival Rate) nener yang baru dipanen dilakukan
dengan metode sampling.

Survival Rate = Larva saat panen X 100 %


Larva awal

5.2.4. Pembuatan Pellet Hormon LHRH-a, Pellet Cholesterol dan Silastik


Hormon 17 Alpha Methyl Testosteron untuk Implantasi Induk Bandeng.

Secara umum sistem reproduksi dalam tubuh ikan dimulai dengan adanya
rangsangan dari luar, yaitu pertama karena pengaruh faktor lingkungan (temperatur,
fotoperiod, salinitas dan sebagainya). Pengaruh lingkungan akan menyebakan
sistem endokrinologi dalam tubuh ikan berjalan secara normal dan ikan akan
bertelur secara alami. Pengeruh lingkungan ini dapat terjadi secara alami, dapat pula
secara buatan. Pengaruh kedua adalah adanya pengaruh hormonal yang
diinduksian kedalam tubuh ikan. Faktor-faktor tersebut secara sendiri-sendiri ataupu
bersamaan dapat merangsangbatau memacu perkembangan gonad dalam proses
reproduksi ikan seperti terlihat dalam skema pada gambar 3 berikut.
Hormon CNS Enviromenta

Hypothalam
Gth-RH

Pituitar

Gth
Ovary

Ovulation

Spawning

Gambar 3. Skema Umum Proses Reproduksi Ikan

Penyuntikan ikan dengan hormon Gonadotropin berfungsi untuk


mempercepat pemijahan ikan, dalam hal ini bisa digunakan jenis hormon yang
mempunyai sifat acute hormon. Sedangkan dalam proses
maturation/pematangangonad diperlukan hormon yang sifatnya dapat melepas
gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormon). Suatu bahan potensial yang dapat
menggantikan fungsi Gonadotropin Releasing Hormon adalah Leutenizing Hormon.
Releasing Hormon atau suatu bahan superaktif tiruan yang berfungsi dalam proses
endocrine yaitu LHRH-analog). LHRH-a adalah hormon pemacu/perangsang
perkembangan gamet yang sifatnya dapat melepaskan gonadotropin. Hal tersebut
dapat dibuat dalam bentuk pellet.
Tabel 4. Pembuatan Pellet LHRH-a dan pellet Cholesterol :

Peralatan : Fungsi :
1. Lempengan plastik 60X60X5 mm Membuat lubang cetakan pellet
2. Alat pelobang lempengan pastik sda
3. Bor 3/32 inchi sda
4. Bor 9/64 inchi sda
5. Alat pemanas Mencairkan Cocoa Butter
6. Beaker glass 50 ml+air sda
7. Test tube sda
8. Timbangan matler Timbangan Cholesterol
9. Kertas timbang sda
10. Spatula Melarutkan LHRH-1
11. Alkohol 50 % sda
12. Pipet volume 1 ml sda
13. Cawan pengaduk (mortal) Melarutkan LHRH-a dan Cholesterol
14. Incubator (suhu 370C) Pengering campuran
15. Paku tumpul (3/32 inchi) Packing pellet
16. Pemukul sda

Bahan-bahan : Fungsi :
1. LHRH des GLY-10 (D-ala6) Hormon
2. Cholesterol (C27H460) Pengantar Hormon
3. Cocoa Butter Binder (pengikat)

Cara pembuatan :

1. Membuat cetakan pellet atau paku pencetak :


a. Buat lobang ukuran 3/32 inchi pada lempengan plastik;
b. Bagian lobang teratsa dibesarkan sedikit dengan bor ukuran 9/64 inchi agar
mempunyai bentuk yang mudah untuk memasukan bahan hormon;
c. Potong pada ukuran 3/32 inchi pada bagian yang lancip, ratakan.

2. Membuat pellet Cholesterol untuk kontrol


a. Ambil sedikit cocoa butter dalam test tube, masukan kedalam beaker glass
50 ml yang berisi air dan panaskan dengan alat pemanas;
b. Timbang sejumlah 190 mg cholesterol powder dengan timbangan analitik;
c. Masukan kedalam mortal, tambahkan 0,2 ml alkohol 50%, ratakan dengan
pengaduk dan lumatkan;
d. Inkubasi selama satu jam atau lebih pada suhu 370C;
e. Setelah kering, keruk dan kumpulkan bahan dengan spatula;
f. Tambahkan satu tetes cocoa butter yang sudah mencair, aduk berkali-kali
sampai rata (homogen) kemudian tutup dengan plastik
Tabel 5. Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Sepenggal;

No Sarana Ukuran Jumlah

1 Bak larva 2x5x1x1,25 m 2 buah


2 Bak kultur pakan hidup 2x5x1x1,25 m 4 buah
3 Bak stater pakan hidup 500 liter 3 buah
4 Bak filter 2x5x1x1,25 m 1 buah
5 Bak penetasan artemia 250 liter 4 buah
6 Mini blower 80 watt 4 buah
7 Pompa air laut 2 inchi 1 buah
8 Jaringan air laut - 1 paket
9 Jaringan aerasi - 1 paket
10 Peralatan kerja - 1 paket

Tabel 6.Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Lengkap Skala Sedang;

No Sarana Ukuran Jumlah

1 Tanah 0,5 ha -
2 Bak induk d: 7m, t: 2,5m 1 buah
d: 3m, t: 2 m 2 buah
3 Bak larva 5x2x1,25 m 12 buah
4 Bangsal bak larva (indoor) 19x13 m 1 buah
5 Bak pendederan 2x1x0,8 m 20 buah
6 Bangsal bak pendederan 15x8 m 1 buah
7 Bak pakan hidup 5x4x1,5 m 5 buah
8 Bak stater pakan hidup 1 ton 6 buah
9 Bak penetasan artemia 500 liter 6 buah
10 Aquarium 100 liter 6 buah
11 Lab,kantor, gudang 50 m2 1 unit
12 Mess karyawan 150 m2 1 unit
13 Rumah pimpinan 36 m2 1 buah
14 Rumah pompa 12 m2 1 buah
15 Rumah genset 30 m2 1 buah
16 Rumah blower 12 m2 1 buah
17 Bak tandon air laut 5x10x2 m 2 buah
18 Filter air laut 1 buah
19 Instalasi air laut (laut&darat) 500 m 1 paket
20 Instalansi aerasi 400 m 1 paket
21 Instalansi air tawar 300 m 1 paket
22 Pompa air laut 3 inchi 4 buah
23 Pompa air tawar 1,5 inchi 1 buah
24 Blower (vortex) 2 inchi 4 buah
25 Generator set 40 KVA 2 buah
26 Peralatan laboratorium - 1 paket
27 Peralatan kerja - 1 paket
No Sarana Ukuran Jumlah
28 Meja, kursi, dll - 1 paket
29 Freezer - 1 buah
30 Refrigerator - 2 buah
31 Pemasangan PLN 40 KVA 1 paket

Tabel 7.Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Lengkap Skala Besar;

No Sarana Ukuran Jumlah

1 Tanah 0,5 ha -
2 Bak induk d: 7m, t: 2,5m 1 buah
d: 3m, t: 2 m 2 buah
3 Bak larva 5x2x1,25 m 20 buah
4 Bangsal bak larva (indoor) 26x13 m 1 buah
5 Bak pendederan 2x1x0,8 m 40 buah
6 Bangsal bak pendederan 29x8 m 1 buah
7 Bak pakan hidup 5x4x1,5 m 8 buah
8 Bak stater pakan hidup 1 ton 10 buah
9 Bak penetasan artemia 500 liter 10 buah
10 Aquarium 100 liter 12 buah
11 Lab,kantor, gudang 50 m2 1 unit
12 Mess karyawan 150 m2 1 unit
13 Rumah pimpinan 36 m2 1 buah
14 Rumah pompa 12 m2 1 buah
15 Rumah genset 30 m2 1 buah
16 Rumah blower 12 m2 1 buah
17 Bak tandon air laut 5x10x2 m 2 buah
18 Filter air laut 1 buah
19 Instalasi air laut (laut&darat) 500 m 1 paket
20 Instalansi aerasi 400 m 1 paket
21 Instalansi air tawar 300 m 1 paket
22 Pompa air laut 1 inchi 4 buah
23 Pompa air tawar 1,5 inchi 1 buah
24 Blower (vortex) 2,5 inchi 4 buah
25 Generator set 60 KVA 2 buah
26 Peralatan laboratorium - 1 paket
27 Peralatan kerja - 1 paket
28 Meja, kursi, dll - 1 paket
29 Freezer - 1 buah
30 Refrigerator - 2 buah
31 Pemasangan PLN 60 KVA 1 paket
Gambar 4. Tata Letak Balai Benih Ikan Pantai

Tata Letak Unit Pembenihan Skala Lengkap


Gambar 5. Tata Letak Unit Pembenihan Sepenggal (HSRT)

B C C C
E

Keterangan :

A. Bak Penetasan Artemia;


B. Bak Penampungan Air;
C. Bak Pemeliharaan Larva;
D. Bak Kultur Phytoplankton;
E. Bak Kultur Rotifer/Zooplankton;
2. Contoh Tata Letak Kolam BBI Sentral (5 Ha)

J
Keterangan :
J
J A. Bak Pengendapan
F F J
A B. Bak Filter
I G G G C.
D.
Reservoar
Bangsal Perbenihan
F F B E. Kolam Pemijahan
F. Kolam Induk

F F
K G.
H.
Kolam Pendederan
Kolam Donor
I. Kolam Calon Induk
I G G G K J. Kolam Air Deras
C K. Kolam Makanan
F F
E E E E E E D Alami
L. Areal untuk Kantor
dan Bangunan
F F

F F
G G G Lainnya

I I H G G G G G F F
Saluran Pemasukan
dengan Pintu
F F G G G Pemasukan

F F
G G G Saluran Pengeluaran
dengan Pintu
I I H G G G G G F F
Pengeluaran

G G G Parit Kolam

1. Contoh Tata Letak Kolam BBI Lokal (2 Ha)

Keterangan :
A. Bak
F A
B.
Pengendapan
Bak Filter
H J C.
D.
Reservoar
Bangsal
F B E.
Perbenihan
Kolam
Pemijahan
G G G G F. Kolam Induk
G. Kolam
F Pendederan
H. Kolam Donor
H I. Areal untuk
Kantor dan
F E E E E D C Bangunan
100 Lainnya
J. Kolam Makanan
Alami

Saluran
Pemasukan
F F G G G G dengan Pintu
Pemasukan

G G G G Saluran
Pengeluaran
dengan Pintu
Pengeluaran
F F G G G
Parit Kolam

200
14. Contoh Tata Letak Bak di Bangsal Pembenihan BBI Lokal

A B
C C C

14.2
A H
F E E E D D
F
G
G
G
G

18.4
Keterangan :
A. Bak makanan alami Saluran pemasukan
B. Bak pendederan intensif
C. Bak pemijahan
D. Bak penetasan Saluran pengeluaran
E. Bak penampungan benih
F. Bak pengobatan
G. Bak sortasi
H. Meja Hipofisa
I. Ruang Pengepakan

19. Ikhtisar Tata Air di BBI

A Batas areal BBI

E
B
F
Untuk pengurasan
C
G

D
H
Untuk penyaluran air
yang melimpah
I

Keterangan :

A. Dam G. Bangsal Pembebenihan dan


B. Bak Pengendapan kolam/bak pemberokan
C. Bak Filter H. Kolam pendederan I
D. Reservoar I. Kolam Pendederan II,III dst
E. Kolam Makanan Alami
F. Kolam induk, calon induk, Saluran pemasukan
dengan air deras dan kolam donor
Saluran pembuangan
15. Contoh Tata Letak Bak di Bangsal Pembenihan BBI Sentral

Filter E D
A B E
I C E D
E D
E
B E D
A H

B C

A C
B
C
G
G
A B C G
G F
G F
G

Keterangan :
A. Bak makanan alami H. Meja Hipofisa
B. Bak pendederan intensif I. Bak pematangan gonad induk ikan
C. Bak pemijahan dengan sistem resurkulasi
D. Bak penetasan J. Ruang pengepakan
E. Bak penampungan benih
F. Bak pengobatan Saluran pemasukan
G. Bak sortasi Saluran pengeluaran

19. Ikhtisar Tata Air di Balai Benih Ikan

C
D

F F1 F2 F3

G G1 G2

Keterangan : E. Bangsal
A. DAM F. Bak Pendederan
B. Bak Pengendapan G. Bak Pembesaran
C. Bak Reservoir
D. Bak Induk Saluran pemasukan air

Saluran pengeluaran air

Anda mungkin juga menyukai