Anda di halaman 1dari 16

Analisis Perubahan Kebijakan dalam Peraturan Presiden No.

12 Tahun 2021 Poin


Pembinaan Penyedia

Ashfa Mardiana1, Fitri Handayani1, Gabriella Sarah Deandra Tanod1, Resa


Lisardi1, Ronauli Margaretha Silalahi1, Sarah Narumi Munthe1

1
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Abstrak

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 yang dijadikan revisi dari Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 dikeluarkan sebagai tindakan lanjut dari Undang-Undang Cipta
Kerja dari November 2020. Revisi ini berfokus pada pengadaan barang dan jasa yang
dibiayai oleh APBN atau APBD oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Perubahan ini dibuat dengan tujuan meningkatkan integrasi terhadap UMKM dan
mempertimbangkan peran penting penyedia dalam proses pengadaan. Regulasi ini
diharapkan mampu menjadikan proses pengadaan menjadi lebih inklusif, transparan, dan
efektif bagi pelaku UMKM. Namun, revisi ini tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan yang terkait dengan perlindungan dan pembinaan UMKM di sektor
kesehatan, korupsi, serta tantangan yang dihadapi.

Pendahuluan

Dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 merupakan perubahan dari


Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Perubahan ini lahir didasarkan pada terbitnya Undang Undang (UU) Cipta Kerja yang
diresmikan pada tanggal 02 November 2020. Salah satu perhatian di dalam UU Cipta Kerja
adalah mengenai sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pengadaan UMKM erat
kaitannya dengan proses pengadaan barang dan jasa, terutama yang pembiayaannya bersumber
dari APBN/APBD. Oleh karena itu, adanya perubahan Perpres ini dilakukan untuk penyesuaian
pengaturan penggunaan produk/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi, dan
pengaturan pengadaan jasa konstruksi, sehingga diharapkan dapat memudahkan masyarakat
untuk membuka dan mengembangkan usaha.
Dalam pengadaan barang/jasa tidak lepas dari peran penyedia. Pengadaan barang/jasa
melalui penyedia adalah cara memperoleh barang/jasa yang disediakan oleh pelaku usaha.
Pelaku usaha ini dapat berupa badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan pada bidang tertentu. Penyedia diatur dalam Perpres ini mengingat pentingnya peran
mereka dalam UMKM sehingga harus diatur lebih lanjut mulai dari pemilihan penyedia,
pembinaan penyedia, penyelesaian sengketa, hingga tindakan penyedia yang dikenakan sanksi.

Isi

Kelebihan

a. Pasal 11
Pasal 11 ayat 1 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut.
(1) PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
memiliki tugas:
a. menyusun perencanaan pengadaan;
b. menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK);
c. menetapkan rancangan kontrak;
d. menetapkan HPS;
e. menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;

Pasal 11 ayat 1 selanjutnya mengalami perubahan pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021
(1) PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
memiliki tugas:
a. menyusun perencanaan pengadaan;
b. melaksanakan Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa;
c. menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK);
d- menetapkan rancangan kontrak;
e. menetapkan HPS;
f. menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;

Terdapat penambahan tugas PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa, yaitu melaksanakan


Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa. Perubahan ini merupakan suatu kelebihan karena
Perpres Nomor 12 Tahun 2021 memperjelas tugas PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Dengan adanya penambahan isi Perpres Nomor 12 Tahun 2021 Pasal 11 ayat 1 maka
beberapa poin berubah pada posisi abjadnya, seperti poin menetapkan HPS yang dahulu
ada pada poin d, berubah menjadi poin e.

b. Pasal 13a

Pasal 13 ayat 1 huruf a pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut.
(1) Pokja Pemilihan dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf e memiliki tugas:
a. melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan Penyedia;

Pasal 13 ayat 1 huruf a mengalami perubahan pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021

(1) Pokja Pemilihan dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 huruf e memiliki tugas:
a. melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan Penyedia kecuali
E-purchasing dan Pengadaan Langsung;

Perubahan pasal 13 ayat 1 huruf a adalah pengecualian persiapan dan pelaksanaan


Pengadaan Barang/Jasa E-purchasing dan Pengadaan Langsung. Hal ini berkaitan dengan
Pasal 1 ayat 13 bahwa Pejabat Pengadaan memiliki tugas untuk melaksanakan
E-purchasing dan Pengadaan Langsung sehingga Pokja Pemilihan tidak perlu melakukan
hal tersebut. Perubahan ini merupakan suatu kelebihan karena Perpres Nomor 12 Tahun
2021 memperjelas bahwa pelaksanaan E-purchasing dan Pengadaan Langsung hanya
dilaksanakan oleh Pejabat Pengadaan.

c. Pasal 27

Pasal 27 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut.


(1) Jenis Kontrak Pengadaan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya terdiri atas:
a. Lumsum;
b. Harga Satuan;
c. Gabungan Lumsum dan Harga Satuan;
d. Terima Jadi (Turnkey); dan
e. Kontrak Payung.
(2) Jenis Kontrak Pengadaan Jasa Konsultansi terdiri atas:
a. Lumsum;
b. Waktu Penugasan; dan
c. Kontrak Payung.
(3) Kontrak Lumsum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a
merupakan kontrak dengan ruang lingkup pekerjaan dan jumlah harga yang pasti dan
tetap dalam batas waktu tertentu, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia;
b. berorientasi kepada keluaran; dan
c. pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai
dengan Kontrak.
(4) Kontrak Harga Satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
kontrak Pengadaan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan harga satuan yang
tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. volume atau kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan pada saat Kontrak
ditandatangani;
b. pembayaran berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume
pekerjaan; dan
c. nilai akhir kontrak ditetapkan setelah seluruh pekerjaan diselesaikan.
(5) Kontrak Gabungan Lumsum dan Harga Satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
gabungan Lumsum dan Harga Satuan dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan.
(6) Kontrak Terima Jadi (Turnkey) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
merupakan Kontrak Pengadaan Pekerjaan Konstruksi atas penyelesaian seluruh pekerjaan
dalam batas waktu tertentu dengan ketentuan sebagai berikut:
a. jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh pekerjaan selesai dilaksanakan; dan
b. pembayaran dapat dilakukan berdasarkan termin sesuai kesepakatan dalam
Kontrak.
(7) Kontrak Payung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf c
dapat berupa kontrak harga satuan dalam periode waktu tertentu untuk barang/jasa yang
belum dapat ditentukan volume dan/atau waktu pengirimannya pada saat Kontrak
ditandatangani.
(8) Kontrak berdasarkan Waktu Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
merupakan Kontrak Jasa Konsultansi untuk pekerjaan yang ruang lingkupnya belum bisa
didefinisikan dengan rinci dan/ atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
pekerjaan belum bisa dipastikan.
(9) Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang membebani
lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat berupa:
a. pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan atau lebih dari 1
(satu) Tahun Anggaran; atau
b. pekerjaan yang memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka
waktu lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dan paling lama 3 (tiga) Tahun
Anggaran.

Pasal 27 mengalami perubahan pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menjadi:

(1) Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Lainnya terdiri atas:


a. Lumsum;
b. Harga Satuan:
c. Gabungan Lumsum dan Harga Satuan
(2) Jenis Kontrak Pengadaan Pekerjaan Konstruksi terdiri atas:
a. Lumsum;
b. Harga Satuan;
c. Gabungan Lumsum dan Harga Satuan;
d. Putar Kunci; dan
e. Biaya Plus Imbalan.
(3) Jenis kontrak Pengadaan Jasa Konsultansi non konstruksi terdiri atas:
a. Lumsum;
b. Waktu Penugasan; dan
c. Kontrak Payung.
(4) Jenis Kontrak Pengadaan Jasa Konsultansi Konstruksi terdiri atas:
a. Lumsum;
b. Waktu Penugasan.
(5) Kontrak Lumsum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat
(3) huruf a, dan ayat (a) huruf a merupakan Kontrak dengan ruang lingkup pekerjaan dan
jumlah harga yang pasti dan tetap dalam batas waktu tertentu, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia;
b. berorientasi kepada keluaran; dan
c. pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai
dengan Kontrak.
(6) Kontrak Harga Satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf
b merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan
harga satuan yang tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi
teknis tertentu atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah
ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. volume atau kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan pada saat Kontrak
ditandatangani;
b. pembayaran berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume
pekerjaan; dan
c. nilai akhir Kontrak ditetapkan setelah seluruh pekerjaan diselesaikan.
(7) Kontrak Gabungan Lumsum dan Harga Satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan ayat (2) huruf c merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/jasa Lainnya gabungan Lumsum dan Harga Satuan dalam 1 (satu) pekerjaan
yang diperjanjikan.
(8) Kontrak Payung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (3) huruf c
dapat berupa kontrak harga satuan dalam periode waktu tertentu untuk barang/jasa yang
belum dapat ditentukan volume dan/atau waktu pengirimannya pada saat Kontrak
ditandatangani.
(9) Kontrak Putar Kunci sebagaimana dimaksud pada ayat (21) huruf d merupakan suatu
perjanjian mengenai pembangunan suatu proyek dalam hal Penyedia setuju untuk
membangun proyek tersebut secara lengkap sampai selesai termasuk pemasangan semua
perlengkapannya sehingga proyek tersebut siap dioperasikan atau dihuni.
(10) Kontrak Biaya Plus Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan ayat
(2) huruf e merupakan jenis Kontrak yang digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya dalam rangka penanganan keadaan darurat dengan nilai Kontrak
merupakan perhitungan dari biaya aktual ditambah imbalan dengan persentase tetap atas
biaya aktual atau.imbalan dengan jumlah tetap.
(11) Kontrak berdasarkan Waktu Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
dan ayat (4) huruf b merupakan Kontrak Jasa Konsultansi untuk pekerjaan yang ruang
lingkupnya belum bisa didefinisikan dengan rinci dan/atau waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan belum bisa dipastikan.
(12) Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang membebani
lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat berupa:
a. pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
b. pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 1 (satu) tahun anggaran; atau
c. pekerjaan yang memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka
waktu lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dan paling lama 3 (tiga) tahun
anggaran.

Di antara Pasal 27 dan 28 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 27A, sehingga berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 27 A
(1) PPK dapat menggunakan selain jenis Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sesuai dengan karakteristik pekerjaan yang akan dilaksanakan.
(2) PPK dalam menetapkan jenis Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan prinsip efisien, efektif dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 27 Perpres Nomor 16 Tahun 2018 hanya menyebutkan jenis kontrak pengadaan
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan jenis kontrak pengadaan jasa konsultansi,
sedangkan Pasal 27 pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 lebih detail menjelaskan jenis
kontrak, yaitu jenis kontrak pengadaan barang/jasa lainnya, jenis kontrak pengadaan
pekerjaan konstruksi, jenis kontrak pengadaan jasa konsultansi non konstruksi, dan jenis
kontrak pengadaan jasa konsultansi konstruksi. Perubahan pada Pasal 27 terdapat pada
Jenis Kontrak Pengadaan Pekerjaan Konstruksi, yaitu Terima Jadi (turnkey) menjadi
Putar Kunci. Terima Jadi (turnkey) hanya menekankan pada batas waktu tertentu saja,
sedangkan Putar Kunci menerangkan kewajiban pihak penyedia, bahwa penyedia setuju
untuk membangun proyek secara lengkap sampai selesai, termasuk dengan pemasangan
seluruh perlengkapan hingga suatu proyek siap dioperasikan atau dihuni. Perubahan
lainnya adalah Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menyisipkan 1 pasal di antara Pasal 27 dan
Pasal 28, yaitu Pasal 27A. Pasal 27A memperjelas bahwa dalam penetapan jenis kontrak,
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus memerhatikan karakteristik pekerjaan, prinsip
efisien, efektif, dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Pasal 38 Ayat 6

Pasal 38 ayat 6 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:
(6) Tender Cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam hal:
a. spesifikasi dan volume pekerjaannya sudah dapat ditentukan secara rinci; dan
b. Pelaku Usaha telah terkualifikasi dalam Sistem Informasi Kinerja penyedia.

Pasal 38 ayat 6 selanjutnya mengalami perubahan pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021
menjadi:
(6) Tender Cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam hal
Pelaku Usaha telah terkualifikasi dalam, Sistem Informasi Kinerja Penyedia untuk
pengadaan yang:
a. spesifikasi dan volume pekerjaannya sudah dapat ditentukan secara rinci; atau
b. dimungkinkan dapat menyebutkan merek sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf b dan huruf c.

Perubahan pasal pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menunjukkan penyusunan kalimat
yang lebih menyeluruh dengan memasukkan ‘dalam hal Pelaku Usaha telah terkualifikasi
dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia’ pada kalimat utamanya. Sebelumnya kalimat
tersebut adalah poin tersendiri di bawah pasal 6. Memasukkan kalimat tersebut membuat
pasal menjadi lebih jelas ditambah dengan adanya poin b yang baru pada Perpres Nomor
12 Tahun 2021, yaitu perihal penyebutan merek.

e. Pasal 41 Ayat 5

Pasal 41 ayat 5 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:
(5) Kriteria Jasa Konsultansi dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) meliputi:

a. Jasa Konsultansi yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) Pelaku Usaha yang
mampu;
b. Jasa Konsultansi yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) pemegang hak cipta
yang telah terdaftar atau pihak yang telah mendapat izin pemegang hak cipta;
c. Jasa Konsultansi di bidang hukum meliputi konsultan hukum/advokasi atau
pengadaan arbiter yang tidak direncanakan sebelumnya, untuk menghadap
gugatan dan/atau tuntutan hukum dari pihak tertentu, yang sifat pelaksanaan
pekerjaan dan/atau pembelaannya harus segera dan tidak dapat ditunda; atau
d. Permintaan berulang (repeat order) untuk Penyedia Jasa Konsultansi yang sama.

Pasal 41 ayat 5 selanjutnya mengalami perubahan, yaitu penambahan huruf e, huruf f,


huruf g, dan huruf h pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menjadi:

(5) Kriteria Jasa Konsultansi dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) meliputi:
a. Jasa Konsultansi yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) Pelaku Usaha yang
mampu;
b. Jasa Konsultansi yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) pemegang hak cipta
yang telah terdaftar atau pihak yang telah mendapat tzin pemegang hak cipta;
c. Jasa Konsultansi di bidang hukum meliputi konsultan hukum/advokasi atau
pengadaan arbiter yang tidak direncanakan sebelumnya, rrntuk menghadapi
gugatar, danf atau tuntutan hukum dari pihak tertentu, yang sifat pelaksanaan
pekerjaan dan/atau pembelaannya harus segera dan tidak dapat ditunda;
d. permintaan berulang (repeat order untuk Penyedia Jasa Konsultasi yang sama;
e. Jasa Konsultansi yang setelah dilakukan Seleksi ulang mengalami kegagalan;
f. pemilihan penyedia untuk melanjutkan Jasa Konsultasi dalam hal terjadi
pemutusan Kontrak;
g. Jasa Konsultansi yang bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan; atau
h. Jasa ahli Dewan Sengketa Konstruksi.

Penambahan huruf e, f, g, dan h pada pasal 5, khususnya pada huruf f mengenai penyedia
memperjelas penggunaan Jasa Konsultasi pada keadaan pemutusan kontrak. Ketentuan
ini sebelumnya tidak dijelaskan pada Perpres Nomor 16 tahun 2018, sehingga
penambahan huruf f tersebut pada perubahan di tahun 2021 dapat memperjelas berbagai
kondisi di mana Jasa Konsultasi dapat digunakan. Selain itu, penambahan huruf e, huruf
g, dan huruf h juga menjelaskan kondisi dan kriteria lain dalam penggunaan Jasa
Konsultasi. Penambahan huruf-huruf tersebut dapat mencegah kesalahpahaman di
kemudian hari yang mungkin timbul jika Jasa Konsultasi digunakan pada kondisi yang
tidak sesuai karena sebelumnya tidak dicantumkan pada Perpres tahun 2018.

f. Pasal 66 Ayat 3

Pasal 66 ayat 3 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:
(3) Perhitungan TKDN dan BMP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 66 ayat 3 selanjutnya mengalami perubahan, yaitu penambahan ayat 3a pada


Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menjadi:
(3) Nilai TKDN dan BMP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) rnengacu pada daftar
inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
(3a) Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan pada tahap Perencanaan Pengadaan, Persiapan Pengadaan, atau Pemilihan
Penyedia.

Pasal 66 ayat 3 tahun 2021 merubah kata ‘perhitungan’ menjadi ‘nilai’ dan memperjelas
terkait daftar inventarisasi barang.jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Hal
ini merupakan sebuah perkembangan dibandingkan pada tahun 2018 yang hanya
menyebutkan ‘sesuai ketentuan perundang-undangan’. Selain itu, terdapat penambahan
ayat 3a yang menjelaskan secara detail kewajiban penggunaan produk dalam negeri yang
dimaksud dalam ayat 2. Penambahan ayat 3a membantu memperjelas maksud ayat 2
terkait tahap-tahap di mana penggunaan produk dalam negeri diwajibkan. Oleh sebab itu,
penambahan tersebut merupakan hal yang diperlukan dan cukup penting untuk
dicantumkan.

g. Pasal 83

Pasal 83 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:

(1) PA/KPA menyampaikan identitas peserta pemilihan/Penyedia yang dikenakan Sanksi


Daftar Hitam kepada unit kerja yang melaksanakan fungsi layanan pengadaan secara
elektronik, untuk ditayangkan dalam Daftar Hitam Nasional.
(2) LKPP menyelenggarakan. Daftar Hitam Nasional.

Pasal 83 mengalami perubahan pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menjadi:

(1) PA/KPA menayangkan informasi peserta pemilihan/Penyedia yang dikenakan Sanksi


Daftar Hitam dalam Daftar Hitam Nasional.
(2) LKPP menyelenggarakan Daftar Hitam Nasional.
Perubahan Pasal 83 ayat 1 ada pada bagian “PA/KPA menyampaikan identitas peserta”
menjadi “PA/KPA menayangkan informasi peserta”. Perubahan cukup signifikan karena
pada awalnya PA/KPA hanya menyampaikan identitas peserta saja, kemudian diubah
menjadi PA/KPA menayangkan informasi terkait dengan peserta. Informasi peserta tidak
hanya terkait dengan identitasnya, tetapi bisa juga membahas terkait daftar pekerjaan
yang sedang dijalankan oleh peserta.

h. Pasal 85

Pasal 85 pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:

(1) Penyelesaian sengketa kontrak antara PPK dan Penyedia dalam pelaksanaan Kontrak
dapat dilakukan melalui layanan penyelesaian sengketa kontrak, arbitrase, atau
penyelesaian melalui pengadilan.

(2) LKPP menyelenggarakan layanan penyelesaian sengketa kontrak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

Pasal 85 selanjutnya mengalami perubahan pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menjadi:

(1) Penyelesaian sengketa Kontrak antara PPK dan Penyedia dalam pelaksanaan Kontrak
dapat dilakukan melalui:

a. layanan penyelesaian sengketa Kontrak;


b. arbitrase;
c. Dewan Sengketa Konstruksi; atau
d. penyelesaian melalui pengadilan.

(2) Layanan penyelesaian sengketa Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diselenggarakan oleh LKPP.

(3) Ketentuan mengenai Dewan Sengketa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
Perubahan pasal 85 ayat 1 pada Perpres 2021 mengubah penulisan layanan sengketa
kontrak, arbitrase, Dewan Sengketa Konstruksi, dan penyelesaian melalui pengadilan
yang semula pada kalimat utama, kemudian diturunkan dalam huruf a sampai d.
Perubahan tersebut tidak terlalu signifikan, tetapi membantu pembaca untuk melihat
dengan lebih jelas situasi apa saja yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa
kontrak antara PPK dan penyedia. Selanjutnya, perubahan pada ayat 2 juga tidak
signifikan, hanya merubah struktur kalimat terkait penyelenggaraan penyelesaian
sengketa kontrak yang dilakukan LKPP. Pada tahun 2021, ditambahkan ayat 3 yang
menjelaskan mengenai Dewan Sengketa Konstruksi yang dimaksud di ayat 1. Hal ini
memperjelas terkait peraturan yang menyangkut Dewan Sengketa Konstruksi dan
membantu menghindari kesalahan mengenai bidang dan urusan yang menjadi tanggung
jawab Dewan Sengketa Konstruksi.

Kekurangan

Dalam penelitian kekurangan perubahan yang tercantum Peraturan Presiden No. 12


Tahun 2021 terdapat lima isu yang dikaitkan juga dengan UMKM di sektor kesehatan sesuai
dengan pandangan dan pemahaman penulis, yaitu :

1. Kurangnya perlindungan terhadap Penyedia Lokal

Dengan penyederhanaan dan pelonggaran regulasi, UMKM yang tidak memiliki sumber
daya sebanyak perusahaan besar berisiko terpinggirkan. Pengarusutamaan menuju
efisiensi dan kualitas tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan dan ketidakseimbangan
kompetisi akan menyebabkan ketidakseimbangan kompetisi, penyedia lokal kalah
bersaing dengan perusahaan multinasional yang punya sumber daya yang lebih besar.
Memang secara perundang-undangan sudah mengantisipasi hal tersebut, namun belum
ada pembinaan yang lebih komprehensif dalam mengawal penyedia lokal yang lebih
mampu bersaing serta iklim persaingan yang lebih sehat.

2. Belum adanya regulasi yang lebih terperinci tentang proses seleksi dan kriteria
pembinaan.
Pembinaan merupakan salah satu komponen penting dalam memandu UMKM mampu
bersaing dan memiliki leverage dalam pasar penyediaan barang/jasa. Pembinaan akan
sangat menguntungkan apabila berjalan serta bekerja sama dengan baik bagi setiap
penyedia lokal juga perwakilan perusahaan multinasional. Perundang-undangan masih
belum cukup mumpuni dalam membangun sebuah sistem pembinaan yang komprehensif
,yang dimulai dari tingkat wilayah sampai nasional. Selain itu, kriteria-kriteria pembinaan
menjadi penting untuk mengantisipasi malpraktik hingga korupsi dalam proses
penyediaan barang/jasa. Pembina yang mampu melihat gambaran besar proses
penyediaan barang/jasa terkhususnya dalam aspek adanya integritas akan meningkatkan
penggunaan dana negara yang efektif dan efisien.

3. Potensi integritas rendah

Tidak adanya regulasi terkait pembinaan dan mekanisme monitoring dan evaluasi yang
diatur dalam Peraturan Presiden memberikan peluang untuk kegiatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Usaha mikro, kecil, dan koperasi dapat dikatakan cukup bergantung dengan
kementerian dan/atau lembaga yang menaunginya. Oleh karena itu, besar kemungkinan
UMKM dan Koperasi menjadi korban kolusi antara perusahaan yang lebih besar dan
lembaga yang menaungi UMKM dan Koperasi. Berkembangnya UMKM dan Koperasi
juga bergantung dengan sistem yang dibangun oleh lembaga di atasnya. Apabila lembaga
tidak mampu untuk menciptakan sistem yang dapat memberdayakan UMKM, maka
UMKM dan Koperasi akan kesulitan untuk berkembang dan memenuhi kebutuhan
(demand), baik barang maupun jasa.

4. Kendala dalam implementasi dan monitoring

Perubahan regulasi membuat berbagai pihak yang terlibat dalam proses pengadaan
barang/jasa pemerintah untuk beradaptasi, menyesuaikan dengan peraturan baru yang
dibuat. Hal ini tentu saja dibutuhkan sumber daya tambahan dalam melakukan sosialisasi,
pelatihan, pelaksanaan, dan monitoring dalam mendukung implementasi Perpres No. 12
Tahun 2021. Sumber daya yang tidak mencukupi dapat meningkatkan kemungkinan
implementasi tidak berjalan maksimal dan berpotensi untuk menimbulkan kerugian dari
berbagai pihak.
Kesimpulan

Melalui analisis kebijakan yang telah dilakukan, diperoleh berbagai macam kelebihan
dan kekurangan dari Peraturan Presiden No.12 tahun 2021 sebagai revisi dari Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018. Kelebihan yang dimiliki oleh kebijakan ini secara umumnya adalah
memberikan penjelasan yang lebih rinci dibandingkan dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018,
dengan adanya penambahan klarifikasi dan detail mengenai proses hingga jenis-jenis kontrak
yang tersedia pada pengadaan barang dan jasa, juga memastikan pembagian tugas dan
pertanggungjawaban yang lebih merata bagi pihak yang terlibat. Namun, Peraturan Presiden
No.12 tahun 2021 mempunyai berbagai macam potensi dalam hal kerentanan perlindungan pada
sektor kesehatan, persaingan yang semakin kompetitif dan malpraktik, sumber daya yang tidak
memadai karena tantangan implementasi dan monitoring, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan regulasi yang diciptakan dinilai kurang mendetail dan
pelaksanaannya yang tidak komprehensif. Oleh karena itu, kelemahan ini mampu menjadikan
UMKM sebagai korban kolusi atas relasinya dengan perusahaan besar atau lembaga yang
menaungi.
Referensi

Laporan Eksekutif: Kemenkeu Corpu Open Class (KCOC) ‘Memahami Perpres No. 12 Tahun
2021’ (2021). Badan Diklat Keuangan Palembang.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Rahayu, R., & Murtinah, T. S. (2022). Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik Di
Unit Layanan Pengadaan Biro Umum, Sekretariat Presiden. Journal of Business
Administration Economics & Entrepreneurship, 4(2), pp57–67. Retrieved from
https://jurnal.stialan.ac.id/index.php/jbest/article/view/512

Tim Kebijakan Peningkatan Kapasitas Ekonomi Sekretariat TNP2K & Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. (2021). Pemetaan Program
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (1sr ed.). Jakarta Pusat,
DKI Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Available at:
https://www.tnp2k.go.id/download/62816Buku_Pemetaan%20Program%20Pemberdayaa
n%20Usaha%20Mikro,%20Kecil,%20dan%20Menengah%20(UMKM).pdf (Accessed:
29 Oktober 2023)

Anda mungkin juga menyukai