Anda di halaman 1dari 6

MASALAH KEKURANGAN ENERGI PROTEIN PADA

BALITA DAN WANITA USIA SUBUR DI INDONESIA

GIZI MASYARAKAT

OLEH :
 Dian Ramadhani ( 121000224)
 Ina Muliyani Harahap ( 121000259)
 Ningsih Widari ( 121000287)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014
MASALAH KEKURANGAN ENERGI PROTEIN PADA BALITA DAN WANITA
USIA SUBUR DI INDONESIA

Protein merupakan salah satu sumber energi makro yang sangat dibutuhkan dalam proses
pertumbuhan anak-anak terutama balita. Kebutuhan protein pada kelompok usia balita ini
sangatlah besar. Karena pada usia ini otak mengalami perkembangan yang pesat, dimana
protein berperan besar di dalamnya. Secara otomatis asupan protein haruslah tercukupi.
Namun, fenomena yang terjadi di masyarakat justru banyak kelompok balita yang asupan
proteinnya kurang yang mengakibatkan pertumbuhan para balita ini menjadi lambat.

Masalah Kekurangan Energi Protein tidak hanya terjadi pada kelompok balita tetapi juga
terjadi pada kelompok wanita dalam hal ini wanita usia subur, terutama ibu hamil
(Kekurangan Energi Kronik).

Percepatan peningkatan status gizi perlu segera dilakukan, karena sifat masalah gizi yang
jelas terlihat masih cukup berat. Sudah teridentifikasi porovinsi-provinsi yang memerlukan
upaya khusus. Upaya perbaikan ekonomi, perubahan perilaku penduduk memerlukan upaya
yang terkoordinasi dan terintegrasi secara baik (Riskesdas 2010).

Apabila dilihat secara tingkat nasional berdasarkan Riskesdas pada tahun 2010,
menunjukkan bahwa konsumsi protein per kapita penduduk Indonesia masih dibawah
kebutuhan minimalnya. Tentu saja ini juga mempengaruhi jumlah asupan protein oleh balita
karena orang-orang di dalam keluarganya, seperti orang tuanya juga kurang mengkonsumsi
protein.

A. Kekurangan Energi Protein Pada Balita


Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan dan tinggi badan. Variabel
berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks
antropometri, yaitu BB/umur, TB/umur dan BB/TB.

1. Status gizi balita menurut indikator BB/U


Berdasarkan hasil grafik di atas yang dikutip dari data Riskesdas 2013 bahwa secara
nasional prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen
gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional
tahun 2007 adalah 18,4 % dan tahun 2010 adalah 17,9 % terlihat meningkat. Perubahan
terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun
2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen
dari 2007 dan 2013.
Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6
persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi yang termasuk
kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.

2. Status gizi anak balita menurut indikator TB/U

Berdasarkan grafik di atas bahwa secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang
berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi
pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek.
Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun
2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun
2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013.Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat
bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen.

3. Status gizi kurang anak balita menurut indikator BB/TB


Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi
buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi
sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat
penurunan dibandingkan tahun 2010 sebesar 6,0 % dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula
halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya penurunan dari
7,3 persen pada tahun 2010 dan 7,4 persen tahun 2007. Secara keseluruhan prevalensi anak
balita kurus dan sangat kurus menurun dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen
pada tahun 2013.

Berdasarkan grafik di atas bahwa secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen, yang
menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang
memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi
sampai terendah, yaitu: Lampung, Sumatera Selatan,Bengkulu, Papua, Riau, Bangka
Belitung, Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, dan Jawa
Tengah.

Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen
yang artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16 provinsi yang masuk kategori serius, dan 4
provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau.

B. Kekurangan Energi Kronik Pada Wanita Usia Subur

Grafik di atas menunjukkan prevalensi risiko kekurangan energi kronik wanita usia subur
(tidak hamil) pada tahun 2013. Secara nasional prevalensi risiko kekurangan energi kronik
pada wanita usia subur sebanyak 20,8 persen. Prevalensi terendah di Bali (14%) dan
prevalensi tertinggi di Nusa Tenggara Timur (46,5%). Enam belas provinsi dengan prevalensi
risiko kekurangan energi kronik diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur,
Banten, Kalimantan Selatan, Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku,
Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan perbandingan masalah kekurangan energi kronik pada wanita usia subur baik
dalam kondisi hamil maupun tidak hamil secara menyeluruh di Indonesia pada tahun 2007
dan 2013 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Berdasarkan grafik diatas, secara keseluruhan prevalensi risiko kurang energi kronis naik
pada semua kelompok umur dan kondisi wanita (hamil dan tidak hamil). Pada wanita tidak
hamil kelompok umur 15-19 tahun prevalensinya naik 15,7 persen. Demikian juga pada
wanita hamil kelompok umur 45-49 tahun naik 15,1 persen.

Dari data-data Riset Kesehatan Dasar mengenai masalah Kekurangan Energi Protein
pada Balita, dapat disimpulkan bahwa masalah ini masih sangat sulit diatasi. Hal ini terlihat
jelas pada persentasi jumlah balita yang menderita Kekurangan Energi Protein masih cukup
tinggi. Masalah ini juga tidak sepenuhnya dapat dikurangi. Pada periode tahun 2007, 2010,
dan 2013, sebagian besar masalah KEP mengalami penururan dalam waktu tiga tahun (2007-
2010) lalu kemudian kembali meningkat di tahun 2013.

Begitu juga halnya dengan masalah Kekurangan Energi Kronik pada wanita usia subur.
Kasus ini sama sekali tidak dapat diminimalisasi, bahkan meningkat tajam pada tahun 2013
dibandingkan dengan tahun 2007.

Masalah gizi bukanlah masalah yang dapat dengan mudah diatasi. Hal ini dikarenakan
ada banyak faktor yang memengaruhinya. Masalah gizi adalah masalah yang kompleks
dimana permasalahan tidak hanya terletak pada kurang tersedianya pangan, tetapi juga
berkaitan dengan masalah gangguan kesehatan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan,
ekonomi, sosial, politik dan juga budaya. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dari
berbagai pihak agar masalah ini perlahan dapat di minimalisasi.

Sumber: Riskesdas 2013 (http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas


%202013.pdf) 27 Februari 2014.

Anda mungkin juga menyukai