Anda di halaman 1dari 14

Analisis Potensi Energi Surya Sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya

(Tugas Makalah Mata Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan)

Novri Dwi Damayanti


2220011013

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan energi listrik di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Menurut


Perusahaan Listrik Negara di Indonesia (PLN), kebutuhan listrik nasional
mencapai 232.296 TWh pada tahun 2018 dan tumbuh 5,1% per tahun. Tuntutan
tersebut tidak hanya pada wilayah ibukota di pulau-pulau besar, bahkan sampai
wilayah di pulau-pulau kecil. Namun total produksi listrik pada tahun 2018 baru
mencapai 220.817 TWh yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil yaitu batu
bara, minyak dan gas bumi sebesar 59,6% (Aprilianti et al., 2020).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengalihkan penggunaan energi fosil


mengingat energi tersebut merupakan penghasil emisi terbesar di dunia saat ini.
Salah satu upaya adalah dengan mengalihkan sumber energi primer dari energi
fosil menjadi energi terbarukan dan berkelanjutan (Martin, et al., 2021).

Berkurangnya produksi energi fosil terutama minyak bumi serta komitmen global
dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, mendorong Pemerintah untuk
meningkatkan peran energi baru dan terbarukan secara terus menerus sebagai
bagian dalam menjaga ketahanan dan kemandirian energi. Sesuai PP No. 79
Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru dan
terbarukan pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050. Total
potensi energi terbarukan mencapai 442 GW untuk pembangkit listrik. Salah satu
energi terbarukan yang dapat dikembangkan di Indonesia yaitu energi surya.
(Dewan Energi Nasional, Energi Outlook 2019).

Indonesia terletak di garis katulistiwa, sehingga Indonesia mempunyai sumber


energi surya yang berlimpah dengan intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar
4.8 kWh/m2 per hari di seluruh wilayah Indonesia. Dengan berlimpahnya sumber
energi surya yang belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan di sisi lain ada
sebagian wilayah Indonesia yang belum terlistriki karena tidak terjangkau oleh
jaringan listrik PLN, sehingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan
sistemnya yang modular dan mudah dipindahkan merupakan salah satu solusi
yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pembangkit listrik alternatif
(Rahardjo dan Fitriana, 2020).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis dalam melakukan tinjauan ini untuk mengetahui potensi energi
surya yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, bagaimana realisasi
pembangkit listrik tenaga surya yang sudah terpasang serta kebijakan dan kendala
pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia.
II. PEMBAHASAN

2.1 Potensi dan Arah Pengembangan Tenaga Surya

Energi surya adalah salah satu sumber energi terbarukan yang cukup menjanjikan
dan memiliki potensi terbesar daripada sumber daya lainnya untuk memecahkan
masalah energi dunia serta ramah lingkungan. Potensi PLTS Indonesia sangat
besar, di atas 1 TW. Indonesia adalah negara dengan serapan tenaga surya
terbesar di ASEAN, karena Indonesia berada di wilayah khatulistiwa sehingga
hampir sepanjang tahun mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga
memiliki potensi energi surya yang yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
baik untuk pembangkit listrik ataupun untuk keperluan lainnya.

Aplikasi dari energi surya ini ada dua macam, yaitu sebagai solar thermal untuk
aplikasi pemanasan dan solar photovoltaic untuk pembangkitan tenaga listrik.
Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi pengembangan pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) dengan daya rata-rata mencapai 4 kWh/m2.
Berdasarkan wilayah, kawasan barat Indonesia memiliki potensi sekitar 4,5
kWh/m2 /hari dengan variasi bulanan mencapai 10%. Sedangkan kawasan timur
Indonesia memiliki potensi sekitar 5,1kWh/m2 /hari dengan variasi bulanan
sekitar 9% (Bayu dan Windarta, 2021).

Potensi energi surya menurut Kementrian Sumber Daya Mineral berdasarkan


seluruh luas daratan Indonesia yang telah dipotong oleh luasan kawasan hutan
Indonesia, untuk potensi teknis berdasarkan 15% efisiensi konversi fotovoltaik.
Indonesia memiliki total potensi energi surya sebesar 207.898 MWp yang
tersebar di 34 Provinsi (Tabel 1).
Tabel 1. Potensi Energi Surya pada 34 Provinsi

Provinsi Potensi Teoritikal (MW) Potensi Teknis (MW)


Aceh 52.540 7.881
Bali 8.362 1.254
Bangka-Belitung 18.736 2.810
Banten 16.407 2.461
Bengkulu 23.167 3.475
D.I Yogyakarta 6.639 996
DKI Jakarta 1.499 225
Gorontalo 8.122 1.218
Jambi 58.977 8.847
Jawa Barat 60.66 9.099
Jawa Tengah 58.355 8.753
Jawa Timur 68.903 10.335
Kalimantan Barat 134.089 20.113
Kalimantan Selatan 40.209 6.031
Kalimantan Tengah 56.390 8.459
Kalimantan Timur 89.859 13.479
Kalimantan Utara 30.956 4.643
Kepulauan Riau 5.019 753
Lampung 51.754 7.763
Maluku 14.920 2.238
Maluku Utara 13.466 2.020
Nusa Tenggara Barat 20.243 3.036
Nusa Tenggara Timur 66.205 9.931
Papua 48.478 7.272
Papua Barat 13.567 2.035
Riau 42.047 6.307
Sulawesi Barat 11.178 1.677
Sulawesi Selatan 50.586 7.588
Sulawesi Tengah 41.244 6.186
Sulawesi Tenggara 26.113 3.917
Sulawesi Utara 14.805 2.113
Sumatera Barat 39.323 5.898
Sumatera Selatan 114.883 17.233
Sumatera Utara 79.006 11.851

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) fotovoltaik adalah sistem pembangkit


listrik yang bersumber dari radiasi matahari melalui konversi sel fotovoltaik.
Semakin tinggi intensitas radiasi matahari, maka semakin besar daya listrik yang
dihasilkannya. Ditinjau dari cara bekerjanya, PLTS dibagi menjadi dua yaitu
PLTS off-grid dan PLTS on-grid. PLTS On Grid (terhubung ke jaringan listrik)
Pembangkitan tenaga listrik yang energinya bersumber dari radiasi matahari
melalui konversi sel fotovoltaik dimana sistem kelistrikannya terhubung ke
jaringan listrik umum. Sistem ini pada umumnya tidak dilengkapi dengan baterai.
PLTS Off Grid (tidak terhubung ke jaringan listrik) Pembangkitan tenaga listrik
yang energinya bersumber dari radiasi matahari melalui konversi sel fotovoltaik
dimana sistem kelistrikannya tidak terhubung ke jaringan listrik umum. Sistem
ini pada umumnya dilengkapi dengan baterai

Adapun dari sisi pemasangan, PLTS dibagi menjadi PLTS diatas tanah (ground
mounted), PLTS Atap, dan PLTS terapung (Gambar 1).

Gambar 1. PLTS berdasarkan sisi pemasangan


Dari sisi desain, PLTS dibagi menjadi PLTS terpusat dan PLTS tersebar. PLTS
Terpusat Sistem PLTS yang modul fotovoltaiknya didesain secara terpusat
(dalam satu area) dan memiliki sistem jaringan distribusi untuk menyalurkan
daya listrik ke beban. PLTS Tersebar/Terdistribusi Sistem PLTS yang modul
fotovoltaiknya didesain secara tersebar dan umumnya tidak memiliki sistem
jaringan distribusi, sehingga setiap pelanggan memiliki sistem PLTS tersendiri.

PT. PLN (Presero) sebagai satu-satunya perusahaan negara yang diberi mandat
untuk mengelola ketenagalistrikan, serta tanggung jawab dan tujuan PT. PLN
(Persero) dalam hal pelayanan kelistrikan yang diperuntukan bagi masyarakat
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil
dan merata). Penyediaan tenaga listrik dari hulu sampai dengan hilir menjadi
tanggung jawab PT. PLN termasuk dalam hal pengembangan pembangkit listrik
dari sumber energi primer jenis fosil dan EBT.

2.2 Regulasi dan Kebijakan dalam Pengelolaan

Untuk mempercepat pengembangan EBT, Pemerintah telah menetapkan beberapa


regulasi diantaranya: Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 (Pasal 14) tentang
Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan, mengamanatkan bahwa pelaksanaan
percepatan infrastruktur ketenagalistrikan mengutamakan pemanfaatan energi
baru dan terbarukan. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan
dukungan berupa pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan dan non-
perizinan, penetapan harga beli tenaga listrik dari masing-masing jenis sumber
energi baru dan terbarukan, pembentukan badan usaha tersendiri dalam rangka
penyediaan tenaga listrik untuk dijual ke PT PLN (Persero), dan/atau penyediaan
subsidi (Dewan Energi Nasional, 2019).

Dalam rumusan Kebijakan Energi Nasional (KEN), target pada tahun 2025 peran
Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050
paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi (Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional,
2014). Untuk memenuhi bauran energi sebagaimana dimaksud dalam KEN
dilakukan upaya upaya antara lain, memaksimalkan penggunaan energi
bersih/terbarukan, meminimalkan peran minyak bumi, mengoptimalkan PLTS
yang bersifat komersial berupa PLTS komunal pada daerah tertentu untuk
mencukupi kebutuhan sendiri off grid maupun on grid.

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2022 tentang
pengaturan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan
tenaga listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik yang selanjutnya
disebut PLTS Fotovoltaik adalah pembangkit listrik yang mengubah energi
matahari menjadi listrik dengan menggunakan modul fotovoltaik yang langsung
diinterkoneksikan ke jaringan Tenaga Listrik PT PLN (Persero). Harga
pembelian listrik dari PLTS diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 4
tahun 2020 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan
tenaga listrik. Salah satu teknologi energi surya fotovoltatik yang sedang
berkembang adalah teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di atap bangunan
atau PLTS Rooftop. Pembangkit listrik tenaga surya atap yang terhubung pada
jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun
2021.

Pengelolaan Lingkungan PLTS dengan mengacu kepada regulasi yang berlaku di


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Setiap kegiatan/usaha yang wajib memenuhi dokumen
lingkungan baik yang berdampak penting/tidak berdampak penting bagi
lingkungan wajib memliki dokumen izin lingkungan diantaranya adalah:
1. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Hidup (SPPL)
2. Formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UKL-UPL)
3. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
Acuan dalam mengembangkan PLTS sebagai dasar dalam pengelolaan dampak
lingkungan dengan memperhatikan dokumen izin lingkungan pada setiap
pembangunan PLTS dengan kapasitas sebagai berikut:
1. PLTS kapasitas < 1 MW izin lingkungan menggunakan SPPL
2. PLTS kapasitas 1 s.d < 50 MW izin lingkungan menggunakan formulir
UKL/UPL
3. PLTS kapasitas ≥ 50 MW izin lingkungan menggunakan dokumen AMDAL

2.3 PLTS terhadap Dampak Lingkungan

PLTS merupakan salah satu energi terbarukan yang artinya dapat bermanfaat
secara berkelanjutan dan dapat diperbaharui secara terus menerus. Penggunaan
energi terbarukan secara otomatis membuat tingkat penggunaan energi fosil akan
menurun sehingga emisi karbon pun ikut berkurang sehingga pemanasan global
bisa ikut ditekan dan terciptanya lingkungan pun lebih terjaga. Dampak positif
dari adanya PLTS adalah hemat energi. Selain itu, PLTS yang menggunakan
panel fotovoltaik berdampak positif dalam hemat penggunaan air. Dalam
pengoprasiannya tidak dibutuhkan sama sekali air untuk menghasilkan listrik,
sehingga dapat mengatasi masalah pada penggunaan air yang berlebih pada
pembangkit listrik (Vino, 2021).

Sedangkan dampak negatifnya adalah, PLTS mengubah sinar matahari menjadi


listrik dengan sel surya atau sel fotovoltaik. Instalasi sel fotovoltaik terdapat
bahan kimia beracun yang menjadi limbah. Limbah berbahaya tersebut
apabila tidak dikelola atau dibuang dengan benar juga dapat membahayakan.
Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan pengembangan PLTS antara lain
modul surya, baterai, minyak oli trafo, sisa kabel, sisa plastik.
a. Modul surya: Penyumbang utama berat total modul PV silikon kristal adalah
kaca (75%), diikuti oleh polimer (10%), aluminium (8%), silikon (5%),
tembaga (1%) dan sejumlah kecil perak, timah, dan komponen logam
lainnya. Timbal dan timah, jika larut ke dalam tanah dan air tanah
menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan. Untuk bahan-bahan yang
masih berharga seperti tembaga, perak, silikon dan komponen logam lainnya
memberikan peluang jika dilakukan daur ulang untuk mencegah pencemaran
lingkungan.
b. Baterai: Setiap ada baterai yang rusak atau telah habis masa pakainya, maka
baterai tersebut menjadi limbah B3 yang harus dikelola, prosedur
pengelolaan yaitu mengidentifikasi jumlah limbah baterai bekas yang
dihasilkan. Tatacara pengumpulan dan penyimpanan limbah B3 baterai
bekas sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 dan
Keputusan Bappedal Nomor 1 Tahun 1995. Kegiatan pengangkutan Limbah
B3 Baterai bekas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014.
c. Minyak oli trafo: sisa minyak oli trafo disimpan dengan baik, sehingga tidak
terbuang di lokasi PLTS dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.
d. Sisa kabel: Sisa kabel sisa dari pemasangan jaringan PLTS, disimpan dengan
baik sehingga apabila akan ada pergantian kabel bisa digunakan kembali,
dan kabel yang rusak diidentifikasi untuk dipisahkan dengan limbah yang
cair.
e. Sisa plastik: sisa plastik dari bungkusan material diidentifikasi dengan
limbah-limbah yang lainnya, sehingga tidak tercampur dan tidak merusak
lingkungan sekitar dan lingkungan PLTS.
Limbah B3 tersebut diatas harus disimpan sementara di dalam bangunan
tersendiri (TPS/Tempat Penyimpanan Sementara) di lokasi sekitar PLTS,
dipagari dan ditandaiengan lambang/tulisan yang menjelaskan bahwa isi
bangunan tersebut adalah limbah B3. Pengembang kemudian menghubungi
pengumpul limbah B3 yang akan mengambil limbah B3 dari area PLTS
(Kementerian Sumber Daya Mineral, 2020).

2.4 Tinjauan

Pengembangan listrik tenaga surya di Indonesia, masih mempunyai tantangan.


Kebijakan yang ada kini dinilai masih menyulitkan peminat dan investor listrik
tenaga surya. Menurut Boedoyo (2012) Pengembangan PLTS mempunyai
kendala atau masalah sebagai berikut:
1. Biaya pembangkitan listrik dengan PLTS adalah mahal, dan secara
ekonomi hanya bisa bersaing dengan PLTD.
2. PLTS akan memerlukan area yang sangat luas, dimana untuk
pembangkitan 100Wp akan memerlukan sekitar 1 M2 .
3. PLTS hanya membangkitkan listrik pada siang hari sehingga akan
memerlukan unit penyimpan daya atau accu/baterai untuk penggunaan
listrik di malam hari.
4. Saat ini seluruh kebutuhan ingot silicon cristalline sebagai bahan dasar
pembuatan sel surya didatangkan dari luar negeri dan belum diproduksi di
Indonesia, padahal potensi pasir silika Indonesia sangat besar.
5. Pengembangan PLTS memerlukan operasionil, perawatan, perbaikan dan
penyediaan suku cadang termasuk accu yang cukup sulit untuk wilayah
terpencil.
6. Pengembangan PLTS secara besar-besaran akan membutuhkan standar
atau baku mutu produk, cara pemasangan, cara perawatan serta
monitoring.

Adapun beberapa rintangan bagi PLTS yang terkoneksi jaringan, antara lain
ketentuan built operate own and transfer (BOOT) yang mengharuskan
kepemilikan proyek dialihkan kepada PLN, setelah masa kontrak selesai.
Pengembang listrik tenaga surya juga terpaksa menerima harga patokan
berdasarkan harga listrik beban dasar (base load) batubara yang selama ini sudah
dapat subsidi negara. Regulasi mengenai Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) yang
memaksakan energi terbarukan termasuk solar PV bersaing dengan PLTU
batubara bisa merusak kepercayaan pasar listrik tenaga surya di Indonesia.
Keputusan pemerintah pakai BPP sebagai acuan masih dipertanyakan karena
dinilai tak transparan baik dalam penyusunan maupun penetapan persentase BPP.
Tak ada pertimbangan dan kejelasan juga soal bagaimana perubahan atau
fluktuasi BPP dari tahun ke tahun. Kondisi ini, menyulitkan pengembang dalam
menghitung finansial jangka panjang. Pengembangan PLTS untuk kawasan
terpencil juga membuat badan usaha berpikir ulang ketika syarat minimal
elektrifikasi daerah setempat yang menjadi wilayah ijin pengusahaan sebesar
95% sehingga memberatkan secara investasi. Pemerintah melalui berbagai
Lembaga/Kementerian mempunyai kewajiban yang sama dalam hal
meningkatkan kesejahteraan bagi daerah terpencil melalui berbagai macam
program sehingga resiko terjadi tumpang tindih pada saat perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan wilayah menjadi besar. Niat pemerintah
mengakomodir permintaan publik agar bisa memasang PLTS surya atap di
rumah, namun kebijakan jauh dari harapan regulasi adil dan transparan.
Konsumen sekaligus sebagai produsen hanya bisa menjual listrik kepada PLN,
namun tidak berlaku sebaliknya apabila terjadi surplus produksi listrik. Aturan
harga beli PLN hanya 65% dari listrik konsumen yang memasang solar atap,
memagari konsumen hanya menghemat listrik dan membatasi konsumen jadi
produsen atau penghasil listrik. Dari sisi keselamatan ketenagalistrikan tidak
adanya kepastian harga SLO pembangkit perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah (Bayu dan Windarta, 2021).
III. KESIMPULAN

Berdasarkan Analisis literatur yang dilakukan maka dapat disimpulkan terkait


Potensi Energi Matahari Sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya sebagai
berikut:
1. Indonesia yang terletak di wilayah khatulistiwa memiliki total potensi energi
surya sebesar 207.898 MWp yang tersebar di 34 Provinsi.
2. Untuk mempercepat pengembangan EBT tenaga surya pemerintah telah
menetapkan beberapa regulasi diantaranya dalam bentuk undang-undang,
keputusan presiden dan peraturan Menteri .
3. PLTS mempunyai dampak positif terhadap lingkungan yaitu berkurangnya
penggunaan energi fosil sehingga emisi karbon, namun juga mempunyai
dampak negatif Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan pengembangan
PLTS.
DAFTAR PUSTAKA

Aprilianti, K. P., Baghta, N. A., Aryani, D. R., Jufri, F. H., & Utomo, A. R.
(2020). Potential assessment of solar power plant: A case study of a small
island in Eastern Indonesia. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 599(1).

Bayu H., J. Windarta. 2021. Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan


PLTS di Indonesia. Jurnal Energi Baru & Terbarukan, Vol. 2(3) hal 123 –
132.

Boedoyo, M.S. 2012. Potensi dan Peranan PLTS sebagai Energi Alternatif Masa
Depan di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14 (2)
Hlm.146-152.

Dewan Energi Nasional. 2019. Outlook Energi Indonesia 2019. Sekretariat


Jenderal Dewan Energi Nasional. Jakarta.

Kementerian Sumber Daya Mineral, 2020. Panduan Pengelolaan Lingkungan


Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Direktorat Jenderal Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi. Jakarta

Martin, A., Wahab, H., & Barbarosa, M. (2021). Coalbed Methane As a New
Source of Energy in Indonesia and Some Developed Countries; A Review.
Journal of Ocean, Mechanical and Aerospace - Science and Engineering-
(JOMAse), 65(2), 40–60.

Vino, N.A. 2021. Dampak Penggunaan PLTS terhadap Lingkungan.


https://www.kompasiana.com/nicholasarga/61174a426e7f0137aa36b663/d
ampak-penggunaan-plts-terhadap-lingkungan?page=all#section1

Anda mungkin juga menyukai