Berkurangnya produksi energi fosil terutama minyak bumi serta komitmen global
dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, mendorong Pemerintah untuk
meningkatkan peran energi baru dan terbarukan secara terus menerus sebagai
bagian dalam menjaga ketahanan dan kemandirian energi. Sesuai PP No. 79
Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru dan
terbarukan pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050. Total
potensi energi terbarukan mencapai 442 GW untuk pembangkit listrik. Salah satu
energi terbarukan yang dapat dikembangkan di Indonesia yaitu energi surya.
(Dewan Energi Nasional, Energi Outlook 2019).
Tujuan penulis dalam melakukan tinjauan ini untuk mengetahui potensi energi
surya yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, bagaimana realisasi
pembangkit listrik tenaga surya yang sudah terpasang serta kebijakan dan kendala
pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
Energi surya adalah salah satu sumber energi terbarukan yang cukup menjanjikan
dan memiliki potensi terbesar daripada sumber daya lainnya untuk memecahkan
masalah energi dunia serta ramah lingkungan. Potensi PLTS Indonesia sangat
besar, di atas 1 TW. Indonesia adalah negara dengan serapan tenaga surya
terbesar di ASEAN, karena Indonesia berada di wilayah khatulistiwa sehingga
hampir sepanjang tahun mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga
memiliki potensi energi surya yang yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
baik untuk pembangkit listrik ataupun untuk keperluan lainnya.
Aplikasi dari energi surya ini ada dua macam, yaitu sebagai solar thermal untuk
aplikasi pemanasan dan solar photovoltaic untuk pembangkitan tenaga listrik.
Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi pengembangan pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) dengan daya rata-rata mencapai 4 kWh/m2.
Berdasarkan wilayah, kawasan barat Indonesia memiliki potensi sekitar 4,5
kWh/m2 /hari dengan variasi bulanan mencapai 10%. Sedangkan kawasan timur
Indonesia memiliki potensi sekitar 5,1kWh/m2 /hari dengan variasi bulanan
sekitar 9% (Bayu dan Windarta, 2021).
Adapun dari sisi pemasangan, PLTS dibagi menjadi PLTS diatas tanah (ground
mounted), PLTS Atap, dan PLTS terapung (Gambar 1).
PT. PLN (Presero) sebagai satu-satunya perusahaan negara yang diberi mandat
untuk mengelola ketenagalistrikan, serta tanggung jawab dan tujuan PT. PLN
(Persero) dalam hal pelayanan kelistrikan yang diperuntukan bagi masyarakat
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil
dan merata). Penyediaan tenaga listrik dari hulu sampai dengan hilir menjadi
tanggung jawab PT. PLN termasuk dalam hal pengembangan pembangkit listrik
dari sumber energi primer jenis fosil dan EBT.
Dalam rumusan Kebijakan Energi Nasional (KEN), target pada tahun 2025 peran
Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050
paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi (Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional,
2014). Untuk memenuhi bauran energi sebagaimana dimaksud dalam KEN
dilakukan upaya upaya antara lain, memaksimalkan penggunaan energi
bersih/terbarukan, meminimalkan peran minyak bumi, mengoptimalkan PLTS
yang bersifat komersial berupa PLTS komunal pada daerah tertentu untuk
mencukupi kebutuhan sendiri off grid maupun on grid.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2022 tentang
pengaturan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan
tenaga listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik yang selanjutnya
disebut PLTS Fotovoltaik adalah pembangkit listrik yang mengubah energi
matahari menjadi listrik dengan menggunakan modul fotovoltaik yang langsung
diinterkoneksikan ke jaringan Tenaga Listrik PT PLN (Persero). Harga
pembelian listrik dari PLTS diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 4
tahun 2020 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan
tenaga listrik. Salah satu teknologi energi surya fotovoltatik yang sedang
berkembang adalah teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di atap bangunan
atau PLTS Rooftop. Pembangkit listrik tenaga surya atap yang terhubung pada
jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun
2021.
PLTS merupakan salah satu energi terbarukan yang artinya dapat bermanfaat
secara berkelanjutan dan dapat diperbaharui secara terus menerus. Penggunaan
energi terbarukan secara otomatis membuat tingkat penggunaan energi fosil akan
menurun sehingga emisi karbon pun ikut berkurang sehingga pemanasan global
bisa ikut ditekan dan terciptanya lingkungan pun lebih terjaga. Dampak positif
dari adanya PLTS adalah hemat energi. Selain itu, PLTS yang menggunakan
panel fotovoltaik berdampak positif dalam hemat penggunaan air. Dalam
pengoprasiannya tidak dibutuhkan sama sekali air untuk menghasilkan listrik,
sehingga dapat mengatasi masalah pada penggunaan air yang berlebih pada
pembangkit listrik (Vino, 2021).
2.4 Tinjauan
Adapun beberapa rintangan bagi PLTS yang terkoneksi jaringan, antara lain
ketentuan built operate own and transfer (BOOT) yang mengharuskan
kepemilikan proyek dialihkan kepada PLN, setelah masa kontrak selesai.
Pengembang listrik tenaga surya juga terpaksa menerima harga patokan
berdasarkan harga listrik beban dasar (base load) batubara yang selama ini sudah
dapat subsidi negara. Regulasi mengenai Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) yang
memaksakan energi terbarukan termasuk solar PV bersaing dengan PLTU
batubara bisa merusak kepercayaan pasar listrik tenaga surya di Indonesia.
Keputusan pemerintah pakai BPP sebagai acuan masih dipertanyakan karena
dinilai tak transparan baik dalam penyusunan maupun penetapan persentase BPP.
Tak ada pertimbangan dan kejelasan juga soal bagaimana perubahan atau
fluktuasi BPP dari tahun ke tahun. Kondisi ini, menyulitkan pengembang dalam
menghitung finansial jangka panjang. Pengembangan PLTS untuk kawasan
terpencil juga membuat badan usaha berpikir ulang ketika syarat minimal
elektrifikasi daerah setempat yang menjadi wilayah ijin pengusahaan sebesar
95% sehingga memberatkan secara investasi. Pemerintah melalui berbagai
Lembaga/Kementerian mempunyai kewajiban yang sama dalam hal
meningkatkan kesejahteraan bagi daerah terpencil melalui berbagai macam
program sehingga resiko terjadi tumpang tindih pada saat perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan wilayah menjadi besar. Niat pemerintah
mengakomodir permintaan publik agar bisa memasang PLTS surya atap di
rumah, namun kebijakan jauh dari harapan regulasi adil dan transparan.
Konsumen sekaligus sebagai produsen hanya bisa menjual listrik kepada PLN,
namun tidak berlaku sebaliknya apabila terjadi surplus produksi listrik. Aturan
harga beli PLN hanya 65% dari listrik konsumen yang memasang solar atap,
memagari konsumen hanya menghemat listrik dan membatasi konsumen jadi
produsen atau penghasil listrik. Dari sisi keselamatan ketenagalistrikan tidak
adanya kepastian harga SLO pembangkit perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah (Bayu dan Windarta, 2021).
III. KESIMPULAN
Aprilianti, K. P., Baghta, N. A., Aryani, D. R., Jufri, F. H., & Utomo, A. R.
(2020). Potential assessment of solar power plant: A case study of a small
island in Eastern Indonesia. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 599(1).
Boedoyo, M.S. 2012. Potensi dan Peranan PLTS sebagai Energi Alternatif Masa
Depan di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14 (2)
Hlm.146-152.
Martin, A., Wahab, H., & Barbarosa, M. (2021). Coalbed Methane As a New
Source of Energy in Indonesia and Some Developed Countries; A Review.
Journal of Ocean, Mechanical and Aerospace - Science and Engineering-
(JOMAse), 65(2), 40–60.