Anda di halaman 1dari 23

RANGKUMAN BAHAN AJAR

“KAJIAN ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH”


(KISWAH)

Buku Rangkuman Ini Disusun


Oleh Kelompok 1 :
1. Tatbauhar Rodifah : 201201020510
2. Aminatuz Zahro : 201201020513
3. Hamida : 201201020491
4. Moh. Nurul Anwar : 201201020498
5. Abdul Wahid Zainuddin : 201201020487
Dosen Pembimbing :
MUSYAFI’ S.Ag.M.Pd.M.HI
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN PROBOLINGGO 2023

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan berkat rahmat dan ‘inayah Allah SWT,
kami dapat menyelesaikan buku sederhana ini, berusaha
mengupas tentang Kajian Islam Ahlusnnnah Wal-Jama’ah, sebagai,
kelengkapan tugas akhir dari dosen pembimbing Mata Kuliah
“Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah” dengan harapan dan do’a
semoga dapat memahami lebih mendalam tentang Sejarah Islam
Ahlusnnnah Wal-Jama’ah, serta megedepankan dalil-dalil yang kuat
dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik secara
tradisional (naqli) maupun secara rasional (‘aqli).
Tentunya buku ini, masih jauh dari kesempurnaan, karena
masih awal kami melakukan upaya belajaran dalam menyusun buku,
semoga menjadi pintu terdepan dalam berkaya untuk mengabadi kan
ilmu yang selama ini kami pelajari, dan dapat lebih bermanfaat.
Amiin

ii
BAGIAN 1
Sejarah Ahlussunnah Wal-Jama’ah
(Gen Ahlussunnah Wal-Jama’ah)
A. Definisi Ahlusunnah Wal-Jama’ah
Secara etimologis, kata Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah nama
yang tersusun dari tiga kata:
(1) Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.
(2) Sunnah, yang berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh
Nabi saw.
(3) Jama’ah, yang berarti mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-
a’zham).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ahlussunnah Wal-
Jama’ah adalah golongan yang mengikuti ajaran sunnah Rasulullah
saw. dan ajaran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin (al-
sawad al-a’zham).1
Rasulullah saw. juga telah memberikan isyarat dan penjelasan tentang
satu kelompok yang selamat itu. Dalam sekian banyak hadits,
Rasulullah saw. menerangkan bahwa ketika terjadi perpecahan nanti,
kaum Muslimin hendaknya mengikuti “jama’ah (kelompok
mayoritas).”2 Dalam hadits lain, kelompok selamat itu ditafsirkan
oleh Rasulullah saw. dengan “Dia yang sesuai denganku dan
sahabat-sahabatku (ma ana ‘alaihi wa ashhabi).”3 Dan dalam hadits
lain pula, kelompok selamat tersebut, ditafsirkan dengan “kelompok
mayoritas (al-sawad al-a’zham).”4
1
Abdullah ibn Muhammad Al-Harari, Izhhar Al-‘Aqidat Al-Sunniyyah, hal, 22.
2
Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3338 dan 6657 dan Shahih Muslim hadits
nomor 3434.
3
Sunan Al-Tirmidzi hadits nomor 2565.
4
Sunan Ibn Majah hadits nomor 3940 dan Musnad Ahmad hadits nomor 17722,
18544 dan 18600.
1
Dengan paparan ini, kiranya dapat disimpulkan bahwa ajaran
Ahlussunnah Wal-Jama’ah memiliki ciri-ciri yang jelas, yang
setidaknya dapat diklasifikasi menjadi tiga: 1) mengikuti sunnah Nabi
saw.; 2) mengikuti jejak para sahabat Nabi saw. dan; 3) diikuti oleh
mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a’zham).
B. Nama Ahlusunnah Wal-Jama’ah
Dalam kitab-kitab tafsir diriwayatkan bahwa ketika menafsirkan ayat
106 surah Al-‘Imran, Ibn Abbas berkata: “Pada hari yang di waktu
itu ada muka Ahlussunnah wa Al-Jama’ah yang putih berseri, dan
ada pula muka Ahlul-Bid’ah wa Al-Dhalalah yang hitam muram.” 5
Bahkan ada indikasi bahwa nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini
sebenarnya telah diperkenalkan sejak masa Rasulullah saw. Hal ini
dapat dilihat dengan memperhatikan hadits yang diriwayatkan dari
Abdullah ibn Umar – radhiyallahu ‘anhuma – ketika menafsirkan
ayat 106 surah Al-‘Imran -, Rasulullah saw. bersabda: “Pada hari
yang di waktu itu ada muka Ahlussunnah yang putih berseri, dan ada
pula muka Ahlul-Bid’ah yang hitam muram.” Dan riwayat dari
sahabat Abu Sa’id Al-Khudri (10 SH-74 H/613-693 M) –
radhiyallahu ‘anhu – ketika menafsirkan ayat tersebut -, Rasulullah
saw. bersabda: “Pada hari yang di waktu itu ada muka Ahluljama’at
wa Al-Sunnah yang putih berseri, dan ada pula muka Ahlul-Bid’ah
wa Al-Ahwa’ yang hitam muram.”6
Nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, diriwayatkan dari banyak ulama
terkemuka, di antaranya dari:

5
Muhyissunnah Al-Baghawi, Ma’alim Al-Tanzil, juz I, hal. 527; Ibn Al-Jauzi,
Zad Al-Masir fi ‘Ilm Al-Tafsir, juz II, hal. 14; Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-
Qur’an, juz IV, hal. 166; Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, juz III, hal. 78;
dan Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, juz II, hal. 290.
6
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, juz II, hal. 290. Akan tetapi, hadits
Ibn Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri yang menafsirkan ayat tersebut secara
marfu’ dari Rasulullah saw. ini tidak sahih, sebagaimana dijelaskan oleh Al-
Qurthubi. Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz IV, hal. 166.
2
1. Khalifah yang saleh, Umar ibn Abdul Aziz (61-101 H/681-
720 M) dalam risalah-nya yang membantah ajaran Qadariyah,
telah memberikan penjelasan tentang akidah Ahlussunnah
Wal-Jama’ah.7
2. Al-Hasan ibn Yasar Al-Bashri (21-110 H/642-729 M) dalam
satu keterangannya tentang posisi Ahlussunnah.8
3. Muhammad ibn Sirin (33-110 H/654-729 M) yang pernah
mengatakan, “Para ulama dulu tidak pernah mempertanyakan
tentang sanad. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka
menuntut adanya sanad. Maka apabila sanad-nya dari
Ahlussunnah, mereka menerima haditsnya. Dan apabila dari
Ahlul-Bid’ah, mereka menolak haditsnya.”9
4. Sufyan ibn Sa’id Al-Tsauri (97-161 H/715-778 M), yang
pernah berkata: “Saling pesan-memesanlah kalian agar
berbuat baik terhadap Ahlussunnah.”10 Dan lain-lain
secara faktual Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok yang:
1. Dalam bidang fiqih mengikuti salah satu mazhab yang empat,
yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
2. Dalam bidang akidah mengikuti mazhab Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
3. Dalam bidang tashawuf mengikuti mazhab Al-Junaid Al-
Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.11

7
Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat Al-Auliya’, juz V, hal. 346.
8
Sunan Al-Darimi, hadits nomor 218.
9
Shahih Muslim, bagian mukadimah.
10
Ibn Al-Jauzi, Talbis Iblis, hal. 25.
11
Al-Hafizh Al-Zabidi, Ithaf Al-Sadat Al-Muttaqin, juz II, hal. 6. Sementara di
Indonesia, menurut identifikasi KH. Hasyim Asy’ari, dalam bidang fiqih
Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti mazhab Al-Syafi’i, dalam akidah
mengikuti mazhab Al-Asy’ari dan dalam tashawuf mengikuti mazhab Al-Ghazali
dan Al-Syadzili. Lihat: KH. Hasyim Asy’ari, Risalat Ahl Al-Sunnah wa Al-
Jama’ah, hal. 9.
3
C. Dalil Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Sayyidina Umar ibn Al-Khaththab ra. berkata:
“Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah saw., tiba-
tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya
sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau ia melakukan
perjalanan yang jauh, dan tidak seorang pun dari kami yang
mengenalnya. Laki-laki itu duduk di hadapan Nabi saw, sambil
menempelkan kedua lututnya pada lutut Nabi saw., dan meletakkan
kedua tangannya di atas kedua paha Nabi saw. (Lalu terjadilah
dialog berikut ini.)
Laki-laki: “Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam.”
Nabi saw.: “Islam adalah hendaknya kamu bersaksi bahwa tiada
Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan
dan berhaji ke Baitullah apabila kamu mampu dalam
perjalanannya.”
Laki-laki: “Kamu benar. Lalu jelaskan tentang iman.”
Nabi saw.: “Iman adalah, hendaknya kamu beriman kepada Allah,
kepada para malaikat, para rasul, kitab-kitab Allah, hari akhir dan
kamu beriman kepada ketentuan Allah, baik dan buruknya.”
Laki-laki: “Kamu benar. Jelaskan tentang ihsan.”
Nabi saw.: “Ihsan ialah hendaknya kamu beribadah kepada Allah
seolah-olah kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Laki-laki: “Jelaskan tentang hari kiamat.”
Nabi saw.: “Yang ditanya (Nabi saw.) tidak lebih mengetahui
daripada yang bertanya.”
Laki-laki: “Jelaskan tentang tanda-tanda hari kiamat.”
4
Nabi saw.: “Seorang budak perempuan melahirkan tuannya, dan
kamu melihat mereka yang tidak memakai alas kaki, yang
bertelanjang, fakir lagi penggembala kambing bermegah-megahan
dalam bangunan.” Kemudian laki-laki itu pergi.
Tiga hari kemudian, Nabi saw. bertanya: “Umar, tahukan kamu,
tentang laki-laki penanya itu?”
Umar menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Nabi saw. berkata: “Sesungguhnya laki-laki itu Jibril. Ia datang
kepada kalian, untuk mengajarkan agama kepada kalian.” HR.
Muslim.12
Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Sumaith Ba-’Alwi - ulama
kontemporer dari Madinah Al-Munawwarah – mengatakan:
“Ketahuilah, bahwasanya hadits tersebut disamping memuat tiga
perkara yang menjadi pilar agama yaitu islam, iman dan ihsan, hadits
tersebut juga memuat tiga macam ilmu pengetahuan Islam yaitu:
1) Ilmu fiqih, yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah
yang praktis yang menjadi kewajiban kaum Muslimin.
2) Ilmu tauhid, yaitu pengetahuan tentang hal-hal keimanan dan
kepercayaan semua mukallaf, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
ketuhanan, kenabian dan sam’iyyat (hal-hal yang ditetapkan oleh
dalil-dalil naqli dari Al-Quran dan Al-Sunnah).
3) Ilmu tashawuf, yaitu pengetahuan tentang akhlak hati, baik akhlak
yang berfungsi sebagai penyelamat yang harus menjadi hiasan
setiap hamba, maupun akhlak yang dapat mencelakakan yang
harus dihindari olehnya.”13

12
Musnad Ahmad hadits nomor 179, 186; Shahih Muslim hadits nomor 9; Sunan
Al-Tirmidzi hadits nomor 2535; Sunan Al-Nasa`i hadits nomor 4904; Sunan Abi
Dawud hadits nomor 4075 dan Sunan Ibn Majah hadits nomor 62.
13
Zain ibn Ibrahim ibn Sumaith Ba-‘Alwi Al-Husaini, Hidayat Al-Thalibin fi
Bayan Muhimmat Al-Din, hal. 14.
5
Berdasarkan pemaparan tersebut, bahwa pembagian ajaran
Ahlussunnah Wal-Jama’ah ke dalam tiga unsur: fiqih, akidah dan
tashawuf memiliki landasan dalil agama yang kuat. Dan dari sini,
bahasan pada bagian dua ini akan diklasifikasi menjadi tiga bab:
1. Bab ilmu fiqih.
2. Bab ilmu akidah.
3. Bab ilmu tashawuf.

6
BAGIAN II
ILMU FIQIH
A. Urgensitas Ilmu Fiqih
Unsur pertama yang menjadi pilar ajaran Islam adalah fiqih.
Di sini mungkin ada yang bertanya:“Mengapa fiqih Islam sedemikian
istimewa bagi umat Islam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan mereka?” Hal ini tidak lepas dari sekian banyak
karakter dan keistimewaan fiqih yang membedakannya dengan
undang-undang positif produk pemikiran manusia.
Demikian pula dalam hukum-hukum fiqih yang lain, kaedah-
kaedah etika menjadi nilai-nilai keindahan dalam tata pergaulan antar
manusia.
Bahkan kaum Muslimin-lah yang menjadi dewan legislatif
bagi diri mereka dan bagi umat lain, sebagaimana diakui oleh Wells
dalam bukunya A Short History of the World yang mengatakan:
“Sesungguhnya Eropa ibarat sebuah kota bagi Islam, karena unsur
terbesar dari undang-undang pemerintahan dan perdagangannya
mengambil dari fiqih Islam”.
Dalam dinamika perkembangan fiqih Islam melalui aktifitas
ijtihad, ada empat Imam mazhab fiqih yang populer dalam dunia
Islam hingga kini.
Dan dalam tataran riil, dalam perjalanan sejarah umat Islam,
mazhab fiqih yang dibangun oleh keempat Imam mazhab tersebut
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.
2. Abu Hanifah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu
pengetahuannya dalam segala bidang studi keislaman sehingga ia
merupakan imam mujtahid besar (al-imam al-a’zham) yang menjadi
panutan kaum Muslimin sepanjang masa. Akan tetapi dari sekian
banyak guru yang ada, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan

7
karakter dan corak keilmuan Imam Malik adalah Rabi’ah ibn Abi
Abdirrahman Al-Ra`y (w.136 H/754 M) dalam bidang fiqih, Nafi’
maula Ibn Umar, Ibn Syihab Al-Zuhri (w.124 H/742 M), Abu Al-
Zanad (w.131 H/749 M) dan Yahya ibn Sa’id Al-Anshari (w.144
H/761 M) dalam bidang hadits.
3. Dalam menuntut ilmu, Imam Malik tergolong seorang yang sangat
rajin, disamping kecerdasannya yang luar biasa, serta daya ingatnya
yang sangat hebat, sehingga mengantarnya menjadi mujtahid besar
dan pendiri mazhab Maliki. Ia disepakati sebagai pendiri ilmu ushul
fiqih yang dijadikan metode kajian dalam penggalian hukum Islam
oleh berbagai mazhab fiqih.
4. Imam Ahmad Ibn Hanbal
Ahmad ibn Hanbal adalah ulama yang berdiri di persimpangan jalan.
Ia dianggap sebagai imam dalam berbagai ilmu keislaman seperti
ilmu hadits, fiqih, Al-Sunnah, wara’, zuhud, tashawuf, ilmu kalam
dan lain-lain.
C. Ijtihad dan Taklid
Ijtihad dan taklid adalah dua unsur utama yang menjadi bagian dari
dinamika sejarah fiqih Islam. Adapun beberapa hadits dan bukti-
bukti kesejarahan antara lain :
1. Hadits Zaid ibn Tsabit
2. Hadits Abu Hurairah dan Zaid Al-Juhani
3. Hadits Jabir
4. Bukti Kesejarahan
Berdasarkan 4 hadis dan bukti kesejarahan di atas menyatakan bahwa
ijtihad dan taklid termasuk fenomena keagamaan umat Islam yang
eksistensinya diakui oleh agama dan dibuktikan oleh sejarah.

8
D. Praktek Bermazhab
Menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam bidang fiqih, mereka
mengikuti salah satu dari mazhab yang empat yaitu mazhab yang
dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Al-Syafi’i dan
Ahmad ibn Hanbal. Adapun sejarah bermazhab dalam Islam antara
lain :
1. Sejarah Bermazhab
Bermazhab terhadap mazhab-mazhab fiqih telah berlangsung sejak
generasi salaf, bahkan sejak para imam mujtahid yang bersangkutan
masih hidup.Dan tradisi bermazhab bukanlah dibuat oleh kalangan
awam yang melakukan taklid untuk diri mereka melainkan
sebagaimana asumsi sebagian kalangan.
secara faktual pendapat-pendapat yang dijadikan pegangan itu tidak
lepas dari salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, kemungkinan
pendapat-pendapat tersebut diriwayatkan melalui jalur sanad yang
sahih, atau dikodifikasikan dalam kitab-kitab yang populer dan diberi
perhatian oleh para ulama dengan cara dijelaskan pendapat yang kuat
di antara sekian banyak pendapat yang ada, pendapat yang umum
dalam sebagian tempat dijelaskan batasannya: pendapat yang mutlak
di sebagian tempat dijelaskan batasannya.
Kedua, kemungkinan pendapat-pendapat yang dijadikan pegangan itu
tidak diriwayatkan melalui jalur sanad yang sahih dan tidak
dikodifikasikan dalam kitab-kitab yang populer. Dari dua
kemungkinan ini, hanya kemungkinan pertama yang secara rasional
dan logis dapat dijadikan pegangan.
(2) Mengikuti mazhab yang empat tersebut berarti mengikuti sabda
Rasulullah saw.: "Ikutilah kelompok mayoritas (al-sawad al-a'zham)."
Hal ini berangkat dari suatu realitas sosial umat Islam, di mana
setelah mazhab-mazhab yang benar telah punah kecuali mazhab yang
empat ini, maka mengikutinya berarti mengikuti kelompok mayoritas

9
(al-sawad al-a'zham), dan keluar darinya berarti keluar dari kelompok
mayoritas (al-sawad al-a'-ham).
(3) Setelah masa generasi salaf yang dikatakan sebagai sebaik-baik
generasi semakin jauh dari masa kita sekarang dan amanat telah
banyak diabaikan, maka kita tidak dibolehkan berpegangan kepada
pendapat para ulama yang jahat seperti para hakim yang curang dan
para mufti yang mengikuti hawa nafsunya.
1. Imam Ibnu Muflih al-Hambali
Imam Ibnu Muflih al Hambali telah berfatwa atas bolehnya tawasul
dengan orang-orang sholeh. Bah- kan hukumnya mustahab.
2 Syeh Yusuf an-Nabhani berkata, bahwa mayoritas umat
Muhammad dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh, mutakallimun, dan
kalangan ahli tashawuf, baik orang-orang khos maupun awam,
semuanya sepakat atas baiknya istighosah dan tawasul kepada nabi
untuk mencapai tujuan duniawi dan uhrowi.
Demikianlah pendapat para ulama' mengenai ke- bolehan bahkan
kesunnahan melakukan tawasul dan istighosah kepada para nabi,
rasul, dan kepada ulama' sholihin. Ulalma'-ulama' yang telah dise-
butkan di atas adalah dari berbagai latar belakang madzhab, syafi’i,
syi’i, dan juga ada yang dari madzhab Hambali.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang mus- lim, laki-laki dan
perempuan yang Mu'minm laki-la- ki dan perempuan yang tetap
dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu',
laki-laki dan perempuan yang ber- sedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehor-
matannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.

10
Dasar-dasar dari hadits nabi.
Dasar dari pendapat para ulama’. Imam Ibnu Al-Jauzi lmam lbnu
Jauzi dalam kitabnya "Khusn al-Khosin" menjelaskan bahwa: "setiap
dzikir yang disyariat- kan, baik dalam kategori wajib maupun sunnah,
tidak akan diberi pahala kecuali telah diucapkan minimal dapat
didengar oleh dirinya sendiri.
3. Imam Abdul Wahab As-Sya’roni
Para ulama' berijma' atas wajibnya dzikir dengan suara keras.
4. Syeh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari
Syeh lbnu 'Athoillah berpendapat dengan dibo- lehkannya dzikir
dengan suara keras ketika dalam kondisi dzikir bersama-sama.
Surat al-Baqoroh ayat 15 “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada- Ku, dan
janganlah kamu mengingkari -Ku.” Surat Ali Imron ayat 191
Surat al-Ahzab ayat 35,41,42. Imam Abdul Wahab Sya'roni dalam
kitabnya "dzi-kru adz-dzakin mengatakan, bahwa ulama' salaf
maupun ulama' khalaf telah sepakat atas disun- nahkannya dzikir
berjama'ah baik di masjid mau- pun di luarnya.
TABARUK
Istilah barokah mengandung makna yang bermacam-macam, yaitu
disesuaikan dengan penggunaan lafadz tersebut dalam rangkaian se-
buah kalimat. Barokah antara lain mengandung makna ziyadah dan
nama . Kedua arti lafadz tersebut mencakup sesuatu yang dapat
diraba dan yang tidak dapat diraba , artinya berwujud nyata maupun
tidak nyata secara bersamaan
Barokah pada hakikatnya adalah sebuah rahasia Allah dan pancaran
dari-Nya yang bisa diperoleh oleh siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Seseorang bisa dikatakan mendapatkan barokah keti- ka ia mampu

11
memperlihatkan tanda-tanda berupa peningkatan kualitas amal
kebaikan, karena baro- kah itu sendiri adalah buah dari konsistensi
dalam menjalankan amal sholeh.
Al-Qur’an Surat al-Mu’minun ayat: 29 “Dan berdoalah: Ya Tuhanku,
tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah
sebaik-baik Yang memberi tempat». Maha Agung nama Tuhanmu
Yang Mempunyai Kebesaran dan Karunia.”
Al Qur’an Surat Hud ayat: 73 “Maka tatkala rasa takut hilang dari
Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal
jawab dengan Kami tentang kaum Luth.”

12
DAFTAR RUJUKAN

Abdul Mu’thi, Prof. Dr. Faruq, Al-Imam Al-Syafi’i, Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, Beirut, 1992.
Abdullathif, Nuruddin Muslim, Al-Tashawwuf wa Hajat Al-Mujtama’
Ilaihi, tp., tt.
Abu Al-Syabab, Dr. Ahmad ‘Awadh, Al-Khawarij Tarikhuhum
Firaquhum wa ‘Aqa’iduhum, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut,
2005.
Abu Hamid ibn Marzuq, Al-Tawassul bi Al-Nabiy wa bi Al-Shalihin,
Hakikat Kitabevi, Istanbul, 1993.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikr Al-‘Arabi,
Kairo, tt.
Al-‘Azhimabadi, Abu Al-Thayyib Muhammad Syamsuddin Al-Haqq,
‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Dar El-Fikr, Beirut,
1979.
Haji Khalifah, Al-Mawla Mushthafa ibn Abdullah Al-Qusthanthini,
Kasyf Al-Zhunun ‘an Asami Al-Kutub wa Al-Funun, Dar El-
Fikr, Beirut, 1982.
Ibn Abdil Barr, Abu Umar Yusuf ibn Abdullah Al-Qurthubi, Al-
Isti’ab fi Ma’rifat Al-Ashhab, di-tahqiq oleh Ali Muhammad
Al-Bajawi, Nahdhah, Kairo.
Ibn Al-‘Arabi, Al-Qadhi Abu Bakar, Al-‘Awashim min Al-Qawashim
fi Tahqiq Mawaqif Al-Shahabah ba’da Wafat Al-Nabiy SAW.,
di-tahqiq oleh Muhibbuddin Al-Khathib, Dar Al-Jail, Beirut,
1987.
Jali, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad, Dirasat ‘an Al-Firaq fi Tarikh
Al-Muslimin Al-Khawarij wa Al-Syi’ah, Markaz Al-Malik
Faishal, Riyadh, 1988.
Mahmud, Abdul Halim, Qadhiyyat Al-Tashawwuf Al-Munqidz min
Al-Dhalal, Dar Al-Ma’arif, Kairo, 1998.

13
Sayyid Nur Sayyid ‘Ali, Al-Tashawwuf Al-Syar’iy Al-Ladzi
Yajhaluhu Katsir min Mudda’ih wa Muntaqidih, Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, Beirut, 2000.

UKU : BAGIAN I
2.1 ANTARA SUNNAH DAN BID'AH
Menurut para ulama' bid'ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dhalalah. Di antara para ulama' yang membagi
bid'ah ke dalam dua kategori ini adalah:
1. Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah dan
bid'ah madzmumah. Jadi bid'ah yang mencocoki sunnah adalah
mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunnah adalah madzmumah.
2. Imam al-Baihaqi
Bid'ah menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid'ah madzmumah dan
ghoiru madzmumah. Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi al Qur’an,
Sunnah, dan Ijma' adalah bid'ah ghoiru madzmumah.
3. Imam Nawawi
Bid'ah menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua;
bid'ah hasanah dan bid'ah qobihah.
4. Imam al-Hafidz Ibnu Atsir
Bid'ah dibagi menjadi dua; bid'ah yang terdapat petunjuk nash (teks
al-Qur'an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk
nash di dalam- nya. Jadi setiap bentuk bid’ah yang menyalahi kitab
dan sunnah adalah tercela dan harus diingkari. Akan tetapi bid'ah
yang mencocoki keumuman dalil dalil nash, maka masuk dalam
kategoti terpuji.

14
Lalu bagaimana dengan hadits kullu bid’atin dzol-alatin..?

Berikut ini adalah pendapat para ulama’:


1. Imam Nawawi
Hadits di atas adalah masuk dalam kategori 'am
(umum) yang harus ditahshis (diperinci).
2. Imam al-Hafidz Ibnu Rojab
Hadits di atas adalah dalam kategori 'am akan teta- pi yang
dikehendaki adalah khosh ('am yuridu bihil khosh). Artinya secara
teks hadits tersebut bersifat umum, namun dalam pemaknaannya
dibutuhkan rincian-rincian.
2.2 TAWASUL DAN ISTIGHOTSAH
Tawasul adalah salah satu jalan dari berbagai jalan tadzorru' kepada
Allah. Sedangkan Wasilah adalah setiap sesuatu yang dijadikan oleh
Allah sebagai sabab untuk mendekatkan diri kepadanya. Seb-
agaimana firmannya :

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah ke- pada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S.al-
Maidah.35).
Adapun istighotsah adalah meminta perto- longan kepada orang yang
memilikinya, yang pada hakikatnya adalah Allah semata. Akan tetapi
15
allah membolehkan pula meminta pertolongan (istig- hotsah) kepada
para nabi dan para walinya.

Dalil-dalil Tawasul Dan Istighosah


Diperbolehkanya tawasul dan istighosah ini oleh ulama salaf tidaklah
terjadi pertentangan. Karena dalam tawasul itu sendiri seseorang
bukanlah me- minta kepada sesuatu yang dijadikan wasilah itu
sendiri, akan tetapi pada hakikatnya meminta ke- pada Allah dengan
barokahnya orang yang dekat kepada Allah, baik seorang nabi, wali
maupun orang-orang sholeh dan juga dengan amal sholeh.
Surat al-Isro’ ayat 56

Artinya:
Katakanlah: “panggillah mereka yang kamu ang- gap (tuhan)856
selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk
menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkan-
nya ” (QS Al Isro’: 56)
Surat al-Anfal ayat 9

Artinya:
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan ke- pada Tuhanmu,
lalu diperkenankan Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala ban- tuan kepada kamu dengan seribu malaikat
yang datang berturut turut” (QS Al Anfaal: 9)

16
Surat an-Nisa’ ayat 63

Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka Kare- na itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka. (QS. Al Anfaal: 43)
Dalil-dalil dari hadits
Diriwayatkan dari sahabat ali karomallahu wajhah, bahwa rasulullah
Muhammad s a w ketika mengu- burkan Fatimah binti Asad, ibu dari
sahabat Ali bin Abi Thalib, beliau berdoa :

Artinya:
Ya Allah dengan hakku dan hak-hak para nabi se- belumku,
Ampunilah dosa ibuku dan orang-orang setelah kau ampuni ibu
kandungku. (HR.Thobroni, Abu Naim, dan al-Haitsami) dan lain-
lain.

17
Berikut ini adalah pendapat para ulama’ tentang tawasul dan
istighotsah.
Syeh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan Wahabiah.
Di dalam kitabnya "al-Muwajjahah li ahlil qoshim.." syeh
Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa : sesungguhnya
sulaiman bin suhaim telah menyandarkan pendapat pendapat yang
tidak pernah saya katakana, di antaranya adalah : saya mengkafirkan
orang orang yang bertawasul ter- hadap orang sholih, dan saya,
katanya, mengkaf- irkan syeh Al-Bushoiry, dan telah membakar kitab
Dalailul Khoirot. jawaban saya atas tuduhan di atas adalah, bahwa
itu merupakan kebohongan yang besar.
Syeh Muhammad bin Abdul Wahab juga pernah ditanya pendapatnya
tentang masalah istisqo’, dia menjawab bahwa, di dalam sholat
istisqo’ tidak ada masalah diselingi dengan tawasaul kepada orang-
orang sholih. lnilah sebagian pendapat syeh Muhammad bin Abdul
Wahab tentang kebolehan tawasul14
Syeh Ibnu Taimiyah.
Syeh Taqiyudin ibnu Taimiyah pernah ditanya pendapatnya tentang
boleh tidaknya tawasul kepa- da nabi Muhammad s.a.w. lalu beliau
menjawab, "Alhamdulillah, bahwa yang demikian itu dianjur- kan
menurut kesepakatan kaum muslimin"15
Syeh Muhammad Nashirudin al-Albani
Al-Albani menuturkan bahwa diperbolehkan tawa- sul dengan asma'
dan sifat Allah, dengan perbua- tan baik kita sendiri dan dengan
amal-amal orang sholih. Al-Albani juga mengatakan bahwa tawasul
itu disyariatkan atas dasar nash al-Qur'an dan al- Hadits dan secara

14
Rasail syeh Muhammad bin abdul wahab, hal 2
15
Ibnu Taimiyah “Fatawa al Kubro”, juz ,hal 40
18
terus menerus diamalkan oleh Salafusholih dan disepakati oleh kaum
muslimin16
Imam Ahmad bin Hambali
Imam Ahmad al-Maruzi berkata, bahwa Imam Ah- mad bin Hambal
dalam setiap doanya selalu berta- wasul kepada nabi Muhammad
s.a.w.
Imam Malik bin Anas
Kholifah al-Mansur bertanya kepada imam Malik bin Anas ketika
sedang ziyaroh ke makam nabi Mu- hammad bersamanya, "wahai
imam apakah saya harus menghadap kiblat kemudian berdoa, atau-
kah menghadap makam rosul lalu berdoa ? ””imam Malik kemudian
menjawab "jangan pernah kau pallingkan wajahmu dari makam
Rasul, karena dia adalah wasilahmu dan wasilahnya bapakmu,
Adam, kepada Allah. Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat
kepada-Nya maka Allah akan memberikan pertolongan kepadamu
karenanya.

16
Nashirudin al albani “syarah aqidah thohawiyah”,hal 4
19

Anda mungkin juga menyukai