Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS II

ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Keperawatan Kritis 2
1. Reynaldi Yofiansah P (20181660078)
2. Berliana Hanifah A (20181660124)
3. Rizky Wahyu L (20191660043)
4. Yovid Nur A (20191660044)
5. Adillya Yuniar S (20191660045)
6. A Syahril Ali S (20191660053)
7. Widya Agustin F. U (20191660056)
8. Linda Rahmawati (20191660066)
9. Dwi Whisnu Artati E.P (20191660072)
10. Galuh Mutia G (20191660078)
11. Yasmin Azahra (20191660087)
12. Afrahatul Muslimah (20191660088)
13. Istika Nasya Agustin (20191660106)
14. Raindy Puspita D. C. P (20191660120)
15. Aulia Dwi Kartika (20191660108)
16. Vijay Wahyu Handoyo A (20191660141)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
ARDS (Acute Respitary Distress Syndrome) merupakan perlukaan inflamasi paru yang
berisfat akut dan difus yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaslkular paru,
peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara, dengan hipoksemia
dan opasitas bilateral pada pencitraan yang dihubungkan dengan peningkatan shunting,
peningkatan dead spacefisiologis dan berkurangnay komplikasi paru. Drowning atau disebut
juga tenggelam adalah suatu proses yang mengakibatkan gangguan respirasi karena cairan (van
beck et al, 2005). Hasil akhir dari kejadian tenggelam adalah korban dinyatakan selamat atau
meninggal. Penyebab kematian akibat tenggelam diantaranya adalah kematian otak karena
hipoksia atau iskemia otak parah, ARDS, kegagalan multi organ, sindrom sepsis karena
pneumonia aspirasi (Santoso, 2010).
Di Amerika Serikat insidens ARDS pada orang dewasa tahun 2005 diperkirakan 200.000
kasus per tahun dengan angka mortalitas 40%. Acute Respiratory Distress Sindrome dapat terjadi
pada semua kelompok umur, dari anak-anak sampai dewasa. Insidens ARDS meningkat dengan
pertambahan usia, berkisar 16 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 15-19 tahun dan
meningkat menjadi 306 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia 75-84 tahun. Data pada
tahun 2016 menunjukkan dari 50 negara pravelansi ARDS mencapai 10,4%. Dari total pasien
yang dirawat di ICU atau Intensive Clinic.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka rumusan dalam makalah adalah
1. Apa definisi dari penyakit ARDS ?
2. Apa tanda dan gejala dari peyakit ARDS?
3. Bagaimana patofisiologi ARDS?
4. Apa manifestasi pada ARDS?
5. Apa saja pemeriksaan dari ARDS?
6. Apa saja komplikasi dari ARDS ?
7. Bagaimana penatalaksanaan ARDS?
8. Bagaiaman bentuk prognosis dari ARDS?

1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
1. Agar memahami pengertian dari ARDS
2. Agar mengetahui cara memberi asuhan keperawatan dengan baik
3. Untuk menambah wawasan mahasiswa S1 keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi ARDS
Menurut American European Consesnsus Conferenec (AECC) adalah sindrom akut,
infiltrat difus pada kedua paru konsisten dengan edema paru, dan oksigenasi sistemik yang
buruk, tanpa disertai adanya hipertensi arterial kiri. Sindrom ini disebut ALI jika rasio PaO2 dan
FiO2 kurang dari 300, sedangkan jika kurang dari 200 disebut 200. Insiden ARDS diperkirakan
58,7 per 100.000 orang per tahun, kira-kira ada 141.500 kasus ARDS di Amerika Serikat setiap
tahun. Mortalitas ARDS pada suatu studi disebutkan 41,1%.
Inflamasi paru yang berat pada ARDS merupakan hasil dari cedera paru langsung dan
tidak langsun. Penyebab langsung misalnya aspirasi cairan lambung, pneumonia dan drowning.
Sedangkan penyebab tidak langsung misalnya keracunan oat, pankreatitis akut atau setelah
transfusi. ARDS terjadi pada 40% pasti drowning dan terutama disebabakan efek toksik
langsung air tawar pada epitel paru. Diagnosis klinis dengan adanya foto thorax yang khas.
Infiltrat pad akedua paru dengan edema paru, analisis gas darah memperlihatkan perbandingan
PaO2 dan FiO2 kurang dari 200 dan juga dengan menggali faktor pencetus ARDS. Terapi pada
ARDS terutama mengidentifikasi faktor pencetus dan mengobati faktor pencetus, dan keadaan
yang mengancam jiwa.
2.2 Etiologi ARDS
ARDS dapat disebbakan karena inflamsi, infeksi, gangguan vaskuler dan trauma di
intatorakal maupun extratorakal. ARDS disebbakn oleh mekanisme langsunng di paru maupun
mekanisme tidak langsung di luar paru. Etiologi ARDS akibat kelainan primer, paru dapat terjadi
akibat aspirasi, pneuomonia, inhalasi toxic, kontusio paru, sedangkan kelainan extraparu terjadi
akibat sepsis, pankreatitis, tranfui darah, trauma, dan penggunaan obat-obatan seperti heroin.
Penyabab RADS terbanyak adalah akibat pneuomonia baik yang disebbakan oleh bakter, virus
maupun jamur dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah sepsi berat akibat infeksi lain di luar
paru.
Tabel 1. Faktor risiko umum ARDS Faktor
Faktor Risiko Langsung Risiko Tidak Langsung
Pneumonia Trauma mayor
Tenggelam Sepsis non-pulmonal
Aspirasi isi lambung Pankreatitis
Trauma inhalasi Luka bakar berat
Vskulitis paru Overdosis obat
Kontusio paru Syok non-kardiogenik
2.3 Patofisiologi ARDS
Kelainan utama pada ARDS adalah adanya inflamasi yang disebabkan oleh aktivasi
neutrophil, dan untuk mengerti patogenesisnya perlu diperhatikan hal-hal berikut 3,4 :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan akumulasi cairan di interstitial paru dan di distal alveolus
2. Mekanisme yang mengganggu reabsorpsi cairan edema Berdasarkan karakteristik gambaran
histopatologinya, ARDS dibagi menjadi
3 fase seperti tampak pada gambar 1 yaitu:
a) Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif - Edema interstitial dan alveolar dengan
akumulasi neutrofil, makrofag, dan sel darah merah - Kerusakan endotel dan epitel
alveolus - Membran hialin yang menebal di alveoli
b) Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif - Sebagian edema sudah
direabsorpsi - Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki
kerusakan - Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen
c) Fase kronis (setelah hari ke-14) = tahap resolusi - Sel mononuclear dan makrofag
banyak ditemukan di alveoli - Fibrosis dapat terjadi pada fase ini
Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel kapiler paru dan sel epitel
alveolus karena produksi mediator proinflamasi lokal maupun yang terdistribusi melalui arteri
pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas barrier alveolar-kapiler sehingga terjadi
transudasi cairan edema yang kaya protein.
1. Kerusakan endotel kapiler paru
Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya ARDS. Kerusakan
endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi
akumulasi cairan yang kaya akan protein. Kerusakan endotel ini dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme. Mekanisme yang utama adalah terjadinya kerusakan paru melalui
keterlibatan netrofil. Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-infeksi) menyebabkan
neutrofil terakumulasi di mikrovaskuler paru. Neutrofil yang teraktivasi akan
berdegranulasi dan melepaskan beberapa mediator toksik yaitu protease, reactive oxygen
species, sitokin proinflamasi, dan molekul pro-koagulan. Mediator-mediator inflamasi
tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan hilangnya fungsi endotel
yang normal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di
interstitial dan alveoli. Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga
mempunyai peran yang penting. Studi yang ada membuktikan efek sinergisme antara
platelet dengan neutrofil yang menyebabkan kerusakan paru.
2. Kerusakan epitel alveoli
Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup menyebabkan ARDS.
Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan faktor yang penting. Neutrophil berperan
dalam meningkatkan permeabilitas paraselular pada ARDS. Dalam keadaan normal
neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup kembali intercellular junction
sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis
neutrofil dalam jumlah besar dapat merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi
yang dapat merusak intercellular junction dan melalui mekanisme apoptosis atau nekrosis
sel epitel. Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel alveoli) merupakan jenis sel
yang paling mudah rusak. Kerusakan sel tersebut menyebabkan masuknya cairan ke
dalam alveoli dan menurunnya bersihan cairan dari rongga alveoli. Sel tipe II bersifat
tidak mudah rusak dan memiliki fungsi yang penting dalam memproduksi surfaktan,
transport ion, dan lebih lanjut dapat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveoli
tipe I. Kerusakan pada kedua sel tersebut menyebabkan penurunan produksi surfaktan
dan penurunan elastisitas paru.
3. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli
Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan cairan edema dari
rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan direabsorpsi ke sistem limfatik paru,
mikrosirkulasi paru dan rongga pleura. Pembersihan cairan edema dari rongga alveoli
membutuhkan transport aktif sodium dan klorida yang akan membuat gradient osmosis
sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS, pembuangan cairan edema dari
alveoli terjadi lebih lambat karena epitel alveoli mengalami kerusakan.
2.4 Manifestasi ARDS
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pad apenyakit predisposisi, derajatinjuri paru,
dan ad atidaknya disfungsi organ lainnya.
2.5 Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisis ARDS akan didaptkan temuan yang bersifat non-spesfik seperti
takipnea, takikardi dan kebutuhan F1O2 yang bertambah untuk menjaga agar saturasi oksigen
tetap normal
2.6 Komplikasi ARDS
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi nosokomial yang terjadi pada hampir
setengah pasien, miopati yang berkaitan dengan blokade neuromuskular jangka panjang,
tromboemboli vena, perdarahan traktus GI, serta nutrisi inadekuat
2.7 Penatalaksanaan ARDS
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati penyebab
presipitasi, menyediakan perawatan suportif yang baik, dan mencegah komplikasi lanjut.
Ventilasi volume tidal rendah (6 mL/kg BB ideal) sebaiknya diberikan pada semua pasien
dengan ARDS. Hal ini dapat menurunkan ventilasi per menit lalu meningkatkan PaCO ₂. Positive
end expiratory pressure (PEEP) biasanya diperlukan untuk menjaga oksigenasi dalam level yang
adekuat. Posisi pronasi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi namun tidak
berkaitan dengan penurunan mortalitas. Tidak ada terapi spesifik yang efektif untuk pasien
dengan ARDS. Penerapan strategi pemberian cairan, menjaga tekanan vena sentral serendah
mungkin akan mempersingkat masa pemakaian ventilasi mekanik. Berdasarkan beberapa
penelitian, penggunaan kortikosteroid dan nitric oxide tidak direkomendasikan pada
ARDS.Terapi non-konvensional seperti memposisikan pasien dalam posisi tengkurap (prone
position), memberikan efek dalam meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan
menurunkan mortalitas.
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi paru latorgenik,
mengurangi cairan dlam paru dan mempertahankan oksigenasi jaringan. Ketiga hal tersebut
harus selalu diupayakan dalam tatalaksana awal ARDS.
1. Terapi Umum
 Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya)
 Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita akan memerlukan
bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis minimal yang masih
memberikan efek sedasi yang adekuat.
 Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan memberikan
cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau diuretik4-6 .
2. Terapi Ventilasi4-6
 Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi yang mendasar pada
penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/menit atau terjadi peningkatan
kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan simple mask) untuk mempertahankan
PaO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam beberapa jam.
 Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai dengan
PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang tertimbun di alveoli dan mengatasi
mikro-atelektasis sehingga akan memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q)
 Tergantung tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi ventilasi non-invasif
seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Metode ini tidak
direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan kesadaran atau dijumpai adanya
peningkatan kerja otot pernafasan disertai peningkatan laju nafas dan peningkatan PCO2
darah arteri.
 Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg dapat
mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal sehingga dapat terjadi rupture
alveolus, deplesi surfaktan dan kerusakan pada membra alveolar-kapiler. Untuk
menghindari hal tersebut maka digunakan volume tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan
tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O, plateu inspiratory pressure < 30 cmH2O serta
pemberian PEEP antara 8-14 cm H2O untuk mencegah atelektasis dan kolaps alveoli.
 Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure Control
 Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter keberhasilan dan
panduan terapi.
 Restriksi cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan
hidrostatik di kapiler paru dan mengatasi kelebihan cairan paru (lung water). Akan tetapi
harus diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan
mencetuskan gagal ginjal.
 Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah sehingga
tidak terjadi atelektasis.
 Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di paru
sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonal dan oksigenasi arteri. Pemberian
nitric oxide tidak akan berpengaruh terhadap tekanan darah sistemik, namun demikian
efek samping subproduk NO berupa peroksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan paru. Oleh karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem
dimana terjadi hipoksemia akut yang refrakter terhadap tindakan suportif yang diberikan.
3. Terapi penyakit dasar
Terapi penyakit dasar ARDS tergantung dari penyebabnya dimana penyebab tersering
adalah infeksi baik di paru maupun di luar paru. Untuk infeksi paru sendiri karena ARDS
merupakan bagian dari kondisi sepsis yang berat maka dalam pemilihan antibiotik dianjurkan
dengan kombinasi dua antibiotik dari golongan yang berbeda yang mempunyai efek
antipseudomonas. Kombinasi tersebut misalnya dari golongan sefalosporin yang mempunyai
efek antipseudomonas (seftasidim, sefoperazon) atau golongan karbapenem (imipenem,
meropenem) diberikan bersama dengan golongan kuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) atau
dengan golongan aminoglikosid (Amikin). Untuk meningkatkan angka keberhasilan pengobatan
maka antibiotik tersebut harus diberikan sedini mungkin (< 4 jam) sejak diagnosis pneumonia
ditegakkan. Untuk penyakit dasar lain yang potensial dapat diatasi yaitu pada ARDS akibat
overdosis obat yang diatasi dengan pemberian antidotumnya bila ada, pada TB yang berat,
immune reconstitution inflamation syndrome (IRIS) dan juga pada ARDS akibat infeksi
pneumocystic jiroveci, pada semua keadaan tersebut selain terapi untuk penyakit dasarnya
diberikan juga terapi tambahan dengan steroid.

4. Targeted Drug Treatment


Terapi target difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi jumlah cairan dalam
paru, namun sayangnya tidak ada bukti objektif akan keberhasilan metode tersebut (table 3)2-6
 Surfaktan sintetik secara aerosol ternyata bermanfaat untuk ARDS pada neonatus,
tetapi tidak pada ARDS.
 Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi reaksi inflamasi pada jaringan paru
terutama pada ARDS akibat TB yang berat, infeksi pneumocystic jiroveci dan pada
IRIS. Pada inflamasi akibat penyakit dasar yang lain pemberian steroid menunjukkan
hasil yang tidak memuaskan, sehingga tidak direkomendasikan pada ARDS terutama
pada fase awal. Beberapa sumber menyarankan pemberian metilprednisolon secara
pulsed untuk mencegah fase fibrosis yang destruktif.
 Pemberian N-asetil-sistein banyak memberikan harapan namun masih dalam
penelitian
 Ketokonazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh makrofag, tetapi
masih diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar
 Diuretik ditujukan untuk mencegah kelebihan cairan, dan hanya diberikan bila
eksresi cairan oleh ginjal terganggu. Dengan demikian penggunaan diuretik tidak
rutin, karena tidak sesuai dengan patogenesis ARDS.
 Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10 gr%, tetapi
mengingat kemungkinan terjadinya TRALI (Transfusion-Related Acute Lung Injury)
maka tranfusi hanya diberikan bila ada oksigenasi jaringan yang inadekuat
 Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) adalah suatu sistem prolonged
cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi baru lahir yang
mengalami gagal nafas akibat aspirasi mekonium, hernia diafragma dan infeksi virus
yang berat. Penggunaan EMCO untuk ARDS hasilnya masih kontroversial.

2.8 Klasifikasi ARDS


Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan nilai
PaO2/FiO2. Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam kriteria ini. Berikut merupakan
definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin:
a. ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP) atau continuous
positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
b. sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama dengan
200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
2.9 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas adalah usia pasien >65 tahun, adanya penyakit
hepar kronik, dan disfungsi organ multipel. Lebih dari setengah pasien akan bertahan dengan sisa
kerusakan paru walaupun masalah fungsi neuromuskular atau depresi dapat menyertai.
2.10 WOC
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Tinjauan Kasus

Seorang laki-laki, An. A berusia 16 tahun, pekerjaan sebagai pelajar, suku jawa,
beragama islam, berdomisili di Gresik dirujuk ke IRD dr.Spetomo dari Rs. BDH dengan
diagnosis near drowning dan mengeluh sesak napas. Sesak napas dirasa sejak 3 jam SMRS.
Sesak napas setelah pasien tenggelam di kolam air tawar. Pasien tenggelam kira-kira 15 menit.
Ketika dikeluarkan dari kolam pasien batuk disertai sedikit darah dan lumpur. Pasien pingsan
dan kebiruan. Pasien segera dibawa ke rumah sakit terdekat, setelah diberi oksigen pasien sadar.
Kolam tempat pasien tenggelam tidak terlalu dalam namun mengandung lapisan lumpur yang
tebal. Sebelum tenggelam pasien loncat dari pinggir kolam, ketika tidak timbul ke permukaan,
pasien segera dicari dan saat ditemukan dan ditolong, posisi kepala pasien ada dalam lapisan
lumpur.

Berdasarkan Pemeriksaan Fisis, keadaan umum lemah, kesadaran kompos mentis,


tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nafas 44×/menit, nadi 130×/menit, dan suhu aksiler
36,0° C. Kepala dan leher didapatkan dispnea, tidak ada tanda-tanda anemis, ikterus, dan
sianosis. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening maupun peningkatan tekanan vena
jugularis. Pada regio toraks, inspeksi pergerakan dada simetris. Pada palpasi didapatkan fremitus
raba menurun pada kedua lapang paru. Perkusi didapatkan keredupan pada kedua lapang paru.
Auskultasi didapatkan suara bronkovesikuler pada kedua lapang paru. Didapatkan ronki basah
halus pada kedua lapang paru.

Pada pemeriksaan jantung, suara jantung S1 dan S2 tunggal, tidak didapatkan bising
jantung maupun irama galop. Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, tidak
didapatkan massa intra abdomen dan nyeri tekan, serta bising usus dalam batas normal.
Pemeriksaan anggota gerak tidak didapatkan edema, tidak didapatkan jari tabuh, serta tidak
didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di ketiak maupun lipatan paha. Berdasarkan
Pemeriksaan Laboratorium darah didapatkan Hb 16,6 g/dL, SGOT 38/μL, Leukosit 3.300/ μL,
SGPT 15/μL, PLT 409.000/μL, Albumin 3,73 g/dL. Granulosit 76,6%, BUN 7,3 mg/dL, Hct
48,1%, SK 0,86%, PTT 12,3 detik, Natrium 133 mmol/L, APTT 27,9 detik, Kalium 3,3 mmol/L,
GDA 286 mg/dL, Klorida 98 mmol/L. Pemeriksaan Analisa gas darah (Oksigen Jackson Rees 10
lpm): pH 7,17, pCO2: 51 mmHg, pO2 80 mmHg, HCO3 16,6 mmol/L, BE - 9,9 dan SO2 92,2%.
Berdasarkan pemeriksaan foto toraks didapatkan perselubungan pada kedua lapang paru, dan
berkonsultasi pada SMF Ilmu Penyakit Jantung, didapatkan edema paru non cardiogenic yang
bisa disebabkan penyakit dasarnya (drowning), Pasien didiagnosis sementara Sesak napas,
drowning, perselubungan pada kedua lapang paru dan hiperglikemia.

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Identitas Klien :
Nama : An.A
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status perkawinan : belum menikah
Pendidikan : SMA
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : pelajar

3.1.2 Keluhan Utama : Pasien tenggelam dan mengeluh sesak napas.


3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang : Tn. A mengalami sesak napas setelah tenggelam di kolam
air tawar. Pasien tenggelam kira-kira 15 menit. Ketika dikeluarkan dari kolam pasien
batuk disertai sedikit darah dan lumpur. Pasien pingsan dan kebiruan. Pasien segera
dibawa ke rumah sakit terdekat, setelah diberi oksigen pasien sadar. Kolam tempat pasien
tenggelam tidak terlalu dalam namun mengandung lapisan lumpur yang tebal. Sebelum
tenggelam pasien loncat dari pinggir kolam, ketika tidak timbul ke permukaan, pasien
segera dicari dan saat ditemukan dan ditolong, posisi kepala pasien ada dalam lapisan
lumpur.
3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada
3.1.5 Primary Survey
a. Airway : paru-paru terisi cairan
b. Breathing : frekuensi nafas meningkat, nafas dangkal dan cepat, klien sulit bernafas
c. Circulation : CRT >2 detik
d. Disability : kesadaran klien menurun
e. Exposure : tidak ada jejas

3.1.6 Pengkajian Fisik


a) Keadaan Umum : Sesak, lemah, kesadaran compos mentis
b) Pemeriksaan per – system B1-B6 :
B1(Breathing) : batuk ringan, takipneu atau edema paru yang fulminant, sesak dengan
frekuensi napas kemungkinan 30-40/mnt pada 24 jam pertama dan sangat berat, ronki basah
halus dan kadang juga didapatkan wheezing.
B2 (Blood) : tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nafas 44×/menit, nadi 130×/menit, dan
suhu aksiler 36,0° C.
B3 (Brain) : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS : 356 (mata terbuka dengan
perintah, orientasi baik dan mampu berbicara, bereaksi terhadap perinta verbal)
B4 (Bladder) : Tidak ditemukan kelainan
B5 (bowel) : Tidak ditemukan kelainan
B6 (Bone) : tidak ada fraktur dan jejas

c) Head to toe
1. Kepala dan leher : didapatkan dispnea, tidak ada tanda-tanda anemis, ikterus, dan
sianosis. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening maupun peningkatan
tekanan vena jugularis.
2. Pada regio toraks, inspeksi pergerakan dada simetris. Pada palpasi didapatkan fremitus
raba menurun pada kedua lapang paru. Perkusi didapatkan keredupan pada kedua lapang
paru. Auskultasi didapatkan suara bronkovesikuler pada kedua lapang paru. Didapatkan
ronki basah halus pada kedua lapang paru.
3. Pada pemeriksaan jantung, suara jantung S1 dan S2 tunggal, tidak didapatkan bising
jantung maupun irama galop.
4. Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, tidak didapatkan massa intra
abdomen dan nyeri tekan, serta bising usus dalam batas normal.
5. Pemeriksaan anggota gerak tidak didapatkan edema, tidak didapatkan jari tabuh, serta
tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di ketiak maupun lipatan paha.

Pemeriksaan Diagnostik
- Pemeriksaan Laboratorium darah didapatkan Hb 16,6 g/dL, SGOT 38/μL, Leukosit
3.300/ μL, SGPT 15/μL, PLT 409.000/μL, Albumin 3,73 g/dL. Granulosit 76,6%, BUN
7,3 mg/dL, Hct 48,1%, SK 0,86%, PTT 12,3 detik, Natrium 133 mmol/L, APTT 27,9
detik, Kalium 3,3 mmol/L, GDA 286 mg/dL, Klorida 98 mmol/L.
- Pemeriksaan Analisa gas darah (Oksigen Jackson Rees 10 lpm): pH 7,17, pCO2: 51
mmHg, pO2 80 mmHg, HCO3 16,6 mmol/L, BE - 9,9 dan SO2 92,2%. Hasil analisis
gas darah mengungkapkan adanya gangguan ventilasi perfusi dengan gambaran foto
toraks infiltrat luas bilateral mendukung diagnosis ARDS.
- Uji smear gram
- Kultur sputum aerob

Terapi
1. Nonfarmakologi
- Terapi posisi slight head up : yaitu posisi untuk mengurangi sesak napas.
- Indikasi :
a. pasien yang mengalami kesulitan mengeluarkan sekresi atau cairan pada
saluran pernafasan,
b. pasien dengan tirah baring lama, pasien yang memakai ventilator
c. pasien yang mengalami sesak nafas, dan pasien yang mengalami
imobilisasi.
- Kontra indikasi :
a. Tidak dianjurkan dilakukan pada pasien dengan hipermobilitas, efusi
sendi, dan inflamasi.
2. Farmakologi
- Inf RD5 1500 cc/24 jam Drip
- Metronidazole 3 × 500 mg iv Drip
- Levofloxacin 1 × 750 mg iv

3.1.7 Analisa Data


No Data Etiologi Problem
1 DS : pasien mengeluh susah supresi reflek batuk Bersihan jalan nafas
untuk bernafas sekunder akibat aspirasi air tidak efektif
DO : nafas cepat dan ke dalam paru
dangkal
2. DS : pasien mengatakan refraktori dan kebocoran Gangguan
kesulitan untuk bernafas interstitial pulmonal / pertukaran gas
DO : terdapat tanda-tanda alveolar pada status cedera
hipoksia (pucat, crt > 2dtk, kapiler paru
terdapat pernafasan cuping
hidung, terlihat otot bantu
nafas)

3.2 Diagnosa Keperawatan


a. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan supresi reflek batuk sekunder
akibat aspirasi air ke dalam paru
b. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan kebocoran interstitial
pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru.

3.3 Intervensi Keperawatan


Diagnose Tujuan Intervensi Luaran
Keperawatan
D.0001 Bersihan Setelah dilakukan I.01011 Manajemen L.01001 Bersihan
Jalan Napas Tidak tindakan Jalan Napas (SIKI Jalan Napas (SLKI
Efektif keperawatan selama hlm.186) hlm.18)
1×24 jam bersihan Ekspetasi :
jalan nafas efektif. Observasi meningkat
1. Identifikasi pola 1. Batuk efektif
napas (frekuensi, meningkat.
kedalaman, 2. Tidak ada suara
usaha napas). napas tambahan
2. Monitor bunyi (mengi,
napas tambahan wheezing).
(mis: gurgling, 3. Frekuensi napas
mengi, normal.
wheezing). 4. Pola napas
3. Monitor sputum normal.
(jumlah, warna,
aroma).

Terapeutik
1. Pertahankan
kepatenan jalan
napas
2. Posisikan slight
head up
3. Lakukan
fisioterapi dada,
jika perlu.
4. Berikan oksigen,
jika perlu.

Edukasi
1. Anjurkan asupan
cairan 2000
ml.hari, jika
tidak ada kontra
indikasi.
2. Ajarkan Teknik
batuk efektif.

Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
jika perlu

D.0003 Gangguan Setelah dilakukan I.01014 Pemantauan L.01003 Pertukaran


Pertukaran Gas tindakan Respirasi (hlm.247) Gas (SLKI hlm.94)
keperawatan selama
1×24 jam tidak ada Observasi Ekspetasi :
gangguan pertukaran 1. Monitor Meningkat
gas. frekuensi, irama,
kedalaman dan 1. Tidak ada bunyi
upaya napas. napas tambahan
2. Monitor pola (mengi,
napas (takipnea) wheezing).
3. Monitor 2. Tidak ada
kemampuan gelisah.
batuk efektif. 3. Tidak ada
4. Monitor adanya sianosis.
sumbatan jalan 4. Pola napas
napas. normal.
5. Auskultasi bunyi
napas.
6. Monitor saturasi
oksigen.
7. Monitor nilai
AGD.

Terapeutik
1. Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien.
2. Dokumentasikan
hasil
pemantauan.

Edukasi
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan.
2. Informasikan
hasil
pemantauan, jika
perlu.

Anda mungkin juga menyukai