Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(AL-QUR'AN, AS-SUNNAH, IJTIHAD)

Disusun Oleh:

1. ABDAN
2. FEGGY KARMIAJI
3. YUPITA SARI
4. WULAN
5. FEBRY YOLANDA
6. YESSI LESTARI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRWIJAYA

2019/2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. latar Belakang

Islam sebagai sebuah agama menawarkan sebuah konsep universal, segala sesuatu sudah
diatur oleh Islam secara komprehensif, mulai dari hal terkecil sampai dengan sesuatu yang yang
sifatnya diluar jangkauan manusia (ghaib dan metafisik) Seiring dengan masuknya agama Islam
di Indonesia, hukum Islam mulai digunakan sejak itu sampai sekarang, bukan hanya pada tataran
simbol akan tetapi sampai pada tataran praktis. Keberlangsungan itu cukup lama, sebelum
Belanda dan Portugis masuk untuk menjajah Nusantara hukum Islam sudah dipakai di Indonesia.
Bahkan mengalami kemajuan ketika umat Islam memegang kekuasaan politik di Nusantara,
dengan ditandai bebarapa kerajaan Islam diantaranya ialah kerajaan Demak, Samudra Pasai, Banten dan
lainya.
Pada saat itu bahkan sampai sekarang, hukum Islam sudah hidup ditengah-tengah
masyarakat Indonesia (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia. Hukum Islam, pada era
reformasi sekarang sudah diakui sebagai sebuah sub sistem yang mempengaruhi sistem hukum
nasional disamping sistem hukum adat dan sistem hukum barat. Oleh karena itu hukum Islam
memiliki peran yang cukup signifikan didalam pengembangan dan pembangunan hukum
nasional. Dari ketiga sub sistem nasional diatas, hukum Islamlah yang banyak mempengaruhi
sistem hukum di Indonesia, karena hukum Islam yang bersifat holistik, komperhensif mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia, dan juga masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
hukum Islam, yang mayoritas memeluk agama Islam yang setiap harinya tidak terlepas dari
pelaksanaan dan pengamalan hukum Islam.
Maka segala sesuatu yang ada di Indonesia ini membutuhkan legalitas hukum terkait
dengan permasalahan-permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat, dan perlu didapatkan
sebuah kejelasan hukum. Maka dari itu, umat Islam perlu mencarikan solusinya, yang merujuk
kepada al-Qur’an dan As-Sunah. Jika tidak ditemukan jawaban atau solusi didalamnya, maka
umat Islam dapat berusaha mengali hukum dari kedua sumber tersebut tentunya dengan metode
sistematis yang telah disepakati (ijma’). Hal inilah yang dinamakan dengan ijtihad. Ijtihad
mengandung arti; mencurahkan kemampuan atau menanggung kesulitaan, dengan menggunakan
ijtihad dapat menjadikan syari’at menjadi subur dan kaya serta memberikan kemampuan untuk
memegang kendali kehidupan kearah jalan yang diridhai Allah SWT. Dengan tidak melibihi
batas-batas hukumNya maupun mengabaikan hak-hak manusia.1

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa manfaat ayat – ayat Al – Quran sebagai inspirasi pengembangan budaya islam di
indonesia.?
2. Apa fungsi memahami As – sunnah dalam pengembangan dalam budaya islam di
indonesia.?
3. Bagaimana cara menghargai keragaman ijtihad ulama terkait pengembangan budaya
islam di indonesia.?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. untuk mengetahui manfaat ayat – ayat Al – Quran sebagai inspirasi pengembangan
Islam di Indonesia
2. untuk mengetahui fungsi memehami As – Sunnah dalam pengembangan dalam budaya islam
di indonesia
3. untuk mengetahui cara menghargai keragaman ijtihad ulama terkait pengembangan budaya
islam di indonesia

1
Tentang Ijtihad dan tatacara ijtihad, bisa dibaca lebih jauh buku Dekonstruksi Teori Hukum Islam. Baca.
Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam: Kritik terhadap Konsep Mashlahah Najmuddin al-
Thufi. (Yogyakarta: Kaukaba, 2014)
BAB II
ISI

B.1 Menganalisis al-qur'an sebagai inspirasi kebudayaan di indonesia

Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia. Tujuan utama
diturunkannya al-Quran adalah sebagai kitab petunjuk yang meliputi bidang akidah, syariah dan
akhlak. Akan tetapi di luar ketiga petunjuk tersebut, al-Quran telah memberikan motivasi dan
inspirasi kepada umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan sehingga melahirkan jenis budaya
tertentu.Dialog intelektual yang dilakukan secara kreatif oleh umat Islam terhadap al-Quran
ternyata telah menghasilkan lahirnya generasi umat yang dipenuhi dinamika dan kreativitas.
Sejarah telah membuktikan keunggulan budaya umat Islam pada masa klasik yang disebabkan
dialog kreatif mereka terhadap al-Quran. Sebaliknya ketika al-Quran ditinggalkan, kelumpuhan
dan kebekuan segera menyerang dan menjangakiti tubuh umat Islam 2. Oleh karena itu, sangat
wajar ketika para pembaharu menyadari hal tersebut, mereka pun secara serentak menyeru umat
Islam untuk kembali kepada al-Quran.

Agama Islam turun bersentuhan dengan kebudayaan. Agama memberikan warna (spirit)
pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namun, terkadang
dialektika antara Islam dan seni tradisi atau budaya ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni
tradisi, budaya, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran
Ilahiyat yang bersifat absolut. Untuk itu perlu adanya gagasan kulturalisasi Islam, karena
kulturalisasi Islam itu menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan
berwujud dalam pola nalar keagamaan yang berdimensi pemahaman yang luhur berupa
keyakinan yang benar, amalan yang Islami, dan kualitas nilai ihsan dalam implementasi

2
DR H. Asep usman ismail, M.A, Al-qur’an dan kesejahteraan social, kota tanggerang 24 mei2012
kehidupan untuk menjembatani demi kemaslahatan Antara agama dan budaya.Konsep
kebudayaan sangat dipengaruhi oleh dasar pemikiran tentang azas-azas pembentukan masyarakat
dan kebudayaan. Konsep ini menekankan bebagai cara hidup manusia yang tercermin dalam pola
tindakan (action) dan kelakuannya (behavior).

Dalam temuan penelitian ini menunjukkan konsep al-‘adah muhakkamahmerupakan


bentuk konkrit infiltrasi budaya dalam kehidupan masyarakat muslim dengan memperhatikan
prinsip-prinsip kemaslahatan. Di sisi lain, agama (Islam) merupakan unsur lahut, sedangkan
kebudayaan bersifat nasut. Maka untuk kesempurnaan hidup diperlukan kesatuan yang utuh demi
kebaikan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan perlu diiringi dengan
keselarasan antara nilai-nilai syar’i dan kearifan budaya lokal (local wisdom). Islam adalah
agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya
selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah SWT sendiri telah
menyatakan hal ini, sebagaimana al-Qur’an menyebutkan “.Kami tidak menurunkan al-Qur’an
ini kapadamu supaya kamu menjadi susah.” Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti
petunjuk al-Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan
sejahtera di dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran
Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Kualitas
manusia berkaitan dengan tiga hal berikut ini, pertama, berkenaan dengan kekuatan iman. Iman
adalah keyakinan terhadap Allah, terhadap Malaikat-Nya, terhadap kitab-kitab-Nya, terhadap
rasul-rasul-Nya, dan terhadap hari akhir. Di antara ayat al-Qur’an yang menyebutkan lima sendi
iman tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 177.

Sedangkan iman kepada takdir Tuhan disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an secara
implisit,2 sedang secara eksplisit disebutkan dalam hadis nabi. Kemantapan iman yang benar
merupakan penentu (barometer) nilai hidup manusia. Iman yang benar bertumpu pada keyakinan
tauhidullah, serta mendorong untuk berbuat banyak dalam hidupnya menuju ridha Allah
SWT.Kedua,berkaitan dengan kehendak untuk beramal saleh. Amal baik merupakan manifestasi
dari iman yang benar. Amal saleh menuntut adanya ketaatan terhadap Allah, terhadap diri sendiri
dengan berupaya memenuhi yang menjadi haknya (ruhani dan jasmani), terhadap keluarga
dengan memenuhi yang menjadi haknya, terhadap tetangga dengan memenuhi apa yang menjadi
hak tetangga, terhadap masyarakat dengan memenuhi apa yang menjadi hak masyarakat, dan
seterusnya. Manusia adalah mahluk sosial yang saling memiliki hak dan kewajiban, plus
solidaritas yang senantiasa ditumbuhkembangkan.

Hidup tolong-menolong harus selalu ditegakkan dan senantiasa mendayung bersama


pekerjaan yang dinilai memiliki dimensi untuk mengangkat kepentingan hidup bersama, tidak
rakus, dan harus memelihara kelestarian lingkungan hidup.Ketiga, berkenaan dengan ilmu
pengetahuan. Untuk dapat merealisasikan amal saleh yang multidimensional itu, ilmu
pengetahuan mutlak diperlukan sebagai sarananya. Dengan menggunakan pena, manusia dapat
mencatat segala sesuatu yang dijumpai di alam raya ini.

Alam raya merupakan kamus yang khusus diperuntukan kepada manusia. Bagi manusia
yang berilmu, Allah berjanji akan mengangkat derajatnya. Ilmu memiliki nilai sentral di
samping iman. Saking sentralnya masalah ilmu ini, sampai-sampai NabiMuhammad SAW
bersabda :”Barang siapa yang menghendaki dunia, hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa
yang menghendaki akhirat, hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa yang menghendaki
keduanya, hendaknya dengan ilmu.”Dalam hal ini, keilmuan seseorang sangat berpengaruh
dengan kebudayaannya.Budaya yang sudah melekat pada masyarakat harus berhadapan dengan
fenomena tantangan kehidupan yang begitu deras. Sehingga tinggi rendahnya ekspressi
keberagamaan seseorang.

Islam dalam menghadapi budaya memberi batasan-batasan yang jelas dalam


implementasinya. Dalam konsep Ikhwanul Muslimin dikenal dengan tsawabit dan
mutaghayyirat. Artinya Islam memberikan batasan antara yang tidak boleh diubah (tsawabit)
karena bersifat prinsip seperti aqidah, ushul (pokok-pokok) yang tegas, yang tidak menerima
takwil, penggantian, perubahan kapanpun dan di manapun serta oleh siapapun. Seperti rukun
iman, atau bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an.

Sedang mutaghayyirat memberikan fleksibilitas terhadap perkembangan zaman, termasuk


kebudayaan. Dalam khazanah ke-Islam-an, budaya biasa dinamakan dengan ‘urf atau‘adah.
Qardhawi menjelaskan bahwa ‘urf merupakan kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari yang kemudian dijadikan adat-istiadat turun temurun, baik berupa ucapan
ataupn perbuatan, baik umum maupun khusus. Karena ‘urf merupakan bagian tidak terpisahkan
dari manusia, maka dalam merumuskan hukum, para ushuliyun memposisikan‘urf sebagai salah
satu instrumen penting. Hal ini dapat dilihat dari konsepsi yang dijabarkan oleh para ushuliyun.
Selain itu, pentingnya posisi ‘urf ini juga dapat dilihat dari munculnya kaidah ushul yang
menyatakan: “al-‘adahmuhakkamah”. Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan
dapat saling mempengaruhi, karena dalam keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah
simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.

Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya.
Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Hal
ini menunjukkan hubungan antara agama dan budaya yang begitu erat. Tetapi perlu diperhatikan,
keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial), dan
tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relative, dan
temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi; namun
tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. 3Interaksi antara
agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama mempengaruhi kebudayaan
dalam pembentukannya. Nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan.
Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan kehidupannya. Kedua,
kebudayaan dapat mempengaruhi simbol agama.

Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai
yang berasal dari padepokan dan pondok pesantren. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan
sitem nilai dan simbol agama. Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu,
keduanya adalah sitem nilai dan sistem symbol. Keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada
perubahan4. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat
sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur
tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni

3
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental, (Bandung: Mizan, 2001)

4
tradisi merupakan ekspressi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang
berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiustas, wawasan filosofis, dan kearifan lokal (local
wisdom).

Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang
dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya,
dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan
aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut. Sementara kebudayaan yang dikemas dalam
marhabaandan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain,
B.2 Fungsi as – Sunnah dalam pengembangan budaya Islam di Indonesia

As – Sunnah adalah hal – hal yang datang dari Rasulullah, baik ucapan perbuatan atau
taqrir (persetujuan). As – Sunnah Al – Qauliyah (As – Sunnah ucapan), ialah “ hadist – hadist
Rasulullah yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan. Sedangkan, Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah. Merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture, juga
kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Dalam Islam, istilah ini disebut
dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab Islami yang mengatur etika dan norma-norma
pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

Tuntunannya turun langsung dari Allah l melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan
terbaik dalam hal etika dan adab ini.Menurut para ahli hukum Islam sifat-sifat Nabi saw tidak
disebut sunnah tetapi disebut hadis. Sedangkan Imam as-Syafi’i (W. 204 H.) berpendapat bahwa
hadis yang shahih disebut sunnah maka bagi Imam as-Syafi’i semua sunnah adalah hadis tetapi
tidak semua hadis adalah sunnah Perbedaan pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa
menurut para ahli hukum Islam yang menjadi sumber syariat hukum Islam adalah sunnah, yaitu:
ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi saw. Sementara menurut para ahli hadis semua yang
berasal dari Nabi saw menjadi sumber ajaran Islam.
Sifat-sifat Nabi saw. yang oleh para ahli hukum Islam tidak dijadikan sumber syariat Islam,
adalah sifat fisik Nabi saw., misalnya warna kulit beliau yang putih kemerah-merahan dan
rambut beliau yang tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus. Begitu pula sifat non fisik Nabi
saw, seperti kesukaan beliau untuk menyantap sayur labu air, menikmati kikil kambing dan lain
sebagainya. Sifat-sifat seperti ini menurut ahli hukum Islam (al-Ushuliyun) tidak menjadi sumber
syariat Islam. Artinya umat Islam tidak wajib mengikuti sifat-sifat Nabi saw. itu, sehingga
apabila ada orang yang memakan sayur labu air ia tidak akan mendapatkan pahala dan orang
yang tidak memakan sayur labu air juga tidak berdosa.Sementara bagi ahli-ahli hadis yang
berpendapat bahwa semua yang berasal dari Nabi saw menjadi sumber ajaran Islam maka
menyantap sayur labu air dan atau menikmati kikil kambing tentu ada rahasia di balik itu, karena
Rasulullah saw. menyukainya.

 Sosial dan Budaya

Lebih konkrit lagi kita dapat memilahkan apa yang berasal dari Nabi saw ini menjadi dua
bagian, yang pertama adalah agama. Hadis-hadis yang berkaitan dengan agama (aqidah, ibadah
dan akhlak ) umat Islam wajib mengikutinya, atau dengan kata lain hadis-hadis yang berkaitan
dengan agama menjadi sumber syariat Islam.
Contohnya adalah hadis-hadis tentang salat, zakat, puasa, haji, beraqidah, dan berakhlak dengan
akhlak yang mulia. Tidak ada seorang ulama-pun berbeda pendapat dalam hal ini, bahwa semua
hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut menjadi sumber syariat Islam, dan umat Islam
wajib mengikuti hal itu. Yang kedua, apa yang berasal dari Nabi saw. dan hal itu berkaitan
dengan sosial dan budaya. Sosial dalam pengertian keadaan masyarakat dan lingkungan pada
masa Nabi saw., dan budaya Arab pada masa itu. Sebagai contoh hadis yang berkaitan dengan
masalah sosial adalah perilaku Nabi saw. dan keluarga beliau ketika membuang air besar.Seperti
diketahui ketika Nabi saw. sudah tinggal di Madinah beliau memiliki sembilan rumah dengan
sembilan istri. Tampaknya tidak di semua rumah-rumah beliau ada toilet untuk buang air besar.
Salah satu istri beliau Siti Aisyah mengatakan: bahwa bagi orang-orang Madinah, membuang air
besar di dalam rumah itu adalah sesuatu yang menjijikan. Pertanyaannya kemudian adalah, di
manakah Rasulullah saw. dan keluarga beliau membuang air besar?

Dalam riwayat-riwayat yang sahih banyak disebutkan bahwa Nabi saw. dan keluarga
beliau membuang air besar pada malam hari di tengah padang pasir jauh dari lingkungan
pemukiman. Inilah hadis Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah sosial, yaitu kondisi
masyarakat Madinah yang pada saat itu rumah-rumah mereka tidak memiliki toilet untuk buang
air besar.Pertanyaannya adalah, apakah kita sebagai umat Nabi Muhammad saw. wajib
mengikuti perilaku seperti itu, yaitu kita membuang air besar jauh dari rumah-rumah kita?
Tampaknya tidak ada satupun ulama yang menganjurkan, apalagi mewajibkan umat Islam untuk
melakukan hal itu
.
Kendati demikian sementara ulama ada yang mengatakan bahwa semangat dari perilaku
Nabi saw dalam membuang air besar itu adalah melakukannya di suatu tempat yang tidak dilihat
oleh orang lain. Menurut pendapat ulama, orang masa kini yang membuang air besar di dalam
toilet yang berada di rumahnya dan tidak dilihat oleh orang lain maka hal itu sudah masuk dalam
wilayah mengikuti perilaku Nabi saw. Pemahaman yang seperti inilah yang kemudian dikenal
dengan pemahaman kontekstual. Sementara melakukan buang air jauh dari tempat pemukiman
disebut pemahaman tekstual. Contoh lain, ketika Rasulullah saw. masih berada di Makkah.
Beliau dan para sahabat ketika mengerjakan salat tetap memakai sandal.

Seperti diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, suatu pagi ketika
Rasulullah saw. hendak mengimami salat subuh, beliau melepaskan sandalnya.Melihat perilaku
Nabi saw ini para sahabat kemudian melepaskan sandal mereka. Setelah selesaisalat Rasulullah
saw. melihat para sahabat melepaskan sandal mereka. Beliau kemudian bertanya, “Mengapa
kalian melepaskan sandal-sandal kalian?” Para sahabat serentak menjawab, ”Kami melihat
Rasulullah saw. melepaskan sandal, oleh karena itu kami melepaskan sandal-sandal kami.”
Rasulullah saw berkata, “Sebelum salat tadi saya diberi tahu Malaikat Jibril bahwa di dalam
sandal saya ada najis, maka saya lepaskan sandal saya.”Peristiwa ini menunjukan bahwa salat
dengan memakai sandal di dalam masjid itu sudah menjadi hal yang biasa pada masa Nabi saw.
hal ini dapat kita pahami karena masjid pada masa Nabi saw lantainya masih berupa pasir atau
kerikil-kerikil kecil
.
Masjid adalah sepetak tanah dengan dibatasi tembok keliling berlantai tanah atau pasir
dengan sedikit atap yang sederhana. Masjid dalam keadaan seperti ini pernah kami lihat di
Riyadh, Saudi Arabia ketika kami datang pertama kali di kota itu pada bulan Maret 1976.
Berbeda dengan keadaan masjid pada umumnya pada masa sekarang dengan lantai keramik atau
marmer ditambah dengan karpet yang sangat empuk.Pertanyaannya kemudian adalah, apakah
kita wajib mengikuti Nabi saw. dalam salat seperti itu, yaitu kita memakai sandal di dalam
masjid sekarang ini. Tampaknya tidak ada satupun ulama yang membenarkan hal itu. Ini artinya
bahwa memahami dan mengamalkan hadis secara tekstual terkadang justru akan menimbulkan
sebuah kemungkaran. Boleh jadi para satpam dan petugas masjid sekarang akan memarahi jika
kita salat di dalam masjid memakai sandal atau sepatu. 5

5
Dr. abdul wahab, kaidah-kaidah hukum islam, (penerbit risalah bandung).
B.3 BAGAIMANA CARA MENGHARGAI KERAGAMAN IJTIHAD ULAMA TERKAIT
PENGEMBANGAN BUDAYA ISLAM DI INDONESIA.

Kata ijtihad berasal dari kata masdar dari fiil mahdi yaitu ijtihada penambanhan hamzah ta’ pada
kata jahada menjadi ijtihada pada wazan ifa’ala,berarti usaha untuk lebih sungguh sungguh.

Dengan demikian ijtihada berarti usaha keras daya upaya. Dalam pegertian lain ijtihada ialah
berusaha memaksimalkan usaha daya upaya yang dimiliki6

“ Jika seorang hakim menetapkan hukum, lalu berijtihad dan benar ijtihadnya maka ia
mendapatkan dua pahala; dan bila ia menetapkan hukum dengan ijtihad kemudian ijtihadnya itu
salah, baginya mendapat satu pahala ”7

6
Rahmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqh(Jakarta: Pustaka Setia, 1999), hlm. 98

7
HR.bukhori dan muslim
Bentuk bentuk ijtihad

Tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:

a.Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al
Qur’an dan al
Sunnah). Ijtihad ini untuk menemukanHukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhan
nī, baik dari segiketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihād bayāni ini

hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satudiantara beberapa pema
haman yang berbeda.

b.Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidakditemukan dalilnyasec
ara tersurat dalam nash-baik qat'i ataupun zhanni- juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hu
kumnya. Ijtihad dalam hal iniuntuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada keja
dianyang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaandalam 'illat hukumn
ya, atau biasa disebut qiyās.

c.Ijtihad Istishlāhī , yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan,dan merumuskan
hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untukkejadian yang ketentuan hukumnya tida
k terdapat dalam nash – baik qath'imaupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya
dengan nashyang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihadmacam
ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untukmewujudkan kemaslahatan umat, bai
k dalam bentuk mendatangkanmanfaat.Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau t
idak mungkinterhenti kegiatannya,
Faktor yang menyebabkan perbedaan hasil ijtihad

1. Perbedaan dalam memahami metode al Quran


2. Perbedaan dalam memahami metode as sunnah
3. Perbedaan dalam memahami metode sahabat
4. Perbedaan dalam memahami metode tabiin

Ijtihad Merupakan Suatu Upaya Pengembangan Hukum Islam


Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi seorang hakim ke Yaman, yang bunyi
hadits tersebut; Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika
mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan
kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan
kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz
menjawab: "saya akan memutus berdasarkansunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu
tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan
pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan

Keberagaman ijtihad dalam membangun budaya islam di Indonesia

A. kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam


Contoh : budaya sopan santun,hormat pada orang tua ,kekeluargaan,tolong
menolong.Budaya ini yang harus kita lestari di indonesia yang sesuai dengan alquran dan
sunnah

B. Kebudayaan yang bertentangan dengan islam


Contoh : memyembah selain pada allah(syirik)

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam sebagai sebuah agama menawarkan sebuah konsep universal, segala sesuatu sudah
diatur oleh Islam secara komprehensif, mulai dari hal terkecil sampai dengan sesuatu yang yang
sifatnya diluar jangkauan manusia (ghaib dan metafisik) Seiring dengan masuknya agama Islam
di Indonesia, hukum Islam mulai digunakan sejak itu sampai sekarang, bukan hanya pada tataran
simbol akan tetapi sampai pada tataran praktis. Keberlangsungan itu cukup lama, sebelum
Belanda dan Portugis masuk untuk menjajah Nusantara hukum Islam sudah dipakai di Indonesia.
Bahkan mengalami kemajuan ketika umat Islam memegang kekuasaan politik di Nusantara,
dengan ditandai bebarapa kerajaan Islam diantaranya ialah kerajaan Demak, Samudra Pasai,
Banten dan lainya.

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun
teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu
sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yaitu tersedianya
berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan dan melahirkan berbagai masalah
yang cukup komplek. Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan
ketidakstabilan, ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Tentang Ijtihad dan tatacara ijtihad, bisa dibaca lebih jauh buku Dekonstruksi Teori Hukum
Islam. Baca. Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam: Kritik terhadap
Konsep Mashlahah Najmuddin al-Thufi. (Yogyakarta: Kaukaba, 2014)

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001)

Dr. abdul wahab, kaidah-kaidah hukum islam, (penerbit risalah bandung).

Rahmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqh(Jakarta: Pustaka Setia, 1999), hlm. 98

HR.bukhori dan muslim

Anda mungkin juga menyukai