Anda di halaman 1dari 23

1

Sebagai agama yang terakhir tentu ajaran yang terkandung di dalamnya


memiliki kelengkapan dan kesempurnaan yang tidak ada keraguan di dalamnya
dalam rangka menjawab berbagai kebutuhan manusia. Allah swt, telah
menciptakan potensi kehidupan (thaqatul hayawiyah) pada diri manusia, yang
berupa kebutuhan jasmani (Hajatul Adlawiyah),yang penampakannya berupa rasa
lapar, rasa haus, menghirup udara dan lain-lain dan kebutuhan naluri (Al-
Gharizah), yang di dalamnya terdapat naluri beragama (Gharizatut
Taddayun),yang timbul melalui Mafahim (rasionalitas/pemahaman nilai-nilai
ketauhidan) sehingga terciptanya taqdis (pensucian) kepada sesuatu yang
dikultuskan, naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa) dan naluri
melangsungkan keturunan (Gharizatun Nau’).1
Allah swt, yang maha pencipta yang telah menciptakan manusia
sedemikian rupa sehingga manusia dipilih oleh Allah sebagai penerima Amanah
sebagai khalifah “fil Ardhi”sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 30:

          

“dan ingatlah ketika Tuhanmu menyampaikan kepada para Malaikat, Aku akan
menciptakan Khalifah di muka bumi...”
Muhammad Bagir al-Shadar dalam buku karya Rudhi Suharto
menafsirkan ayat di atas bahwa mengatakan frase ayat ini mengandung empat kata
yang penting yaitu “Rabb, alam, manusia, dan khalifah. Rabb adalah pemberi
amanah, alam tempat turunnya amanah, dan manusia penerima amanah,
sedangkan khalifah adalah konsekuensi penerimaan perwakilan dari Tuhan.2
Secara individual manusia menjaga hubungannya dengan Allah SWT
(hablumminallah) melalui pengamalan Ibadah ritual “Maghdhah” disamping itu,
manusia juga memiliki kapasitas sebagai khalifah yang tentunya memiliki tugas
sebagai penerima amanah untuk melakukan harmonisasi hubungan kemanusian
1
Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah, Khazanah Baru, Jakarta Selatan, 2001,
hlm.104.
2
Rudhy Suharto, Renungan Jum’at Penyeluh Akhlaqul Karimah, Jakarta: Islamic Center
Jakarta, 2002, hlm. 196.

2
antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam diatas hukum-hukum
pemberi amanah. Jadi seorang khalifah Allah dimuka bumi adalah mereka yang
mampu melakukan dan menciptakan hubungan kemanusian dan hubungan
kealaman secara harmonis di atas prinsip hukum-hukum Tuhan, dan adapun
prinsip-prinsip itu adalah diinul Islam.

Islam adalah fitrah dengan segenap ajarannya ingin memanusiakan


manusia dan senantiasa menjaga manusia agar barada pada jalan fitrah. Dalam diri
manusia terdapat unsur-unsur materi dan spritual mempengaruhi kualitas manusia
Insaniah (naluri kehanifan/kefitrahan). Jika nilai-nilai ini dicabut dari manusia, ia
akan terperosok ke dalam derajat kehewanan. Insaniah manusia tidak akan
terwujud hanya dengan konstruksi tubuhnya yang lengkap sebagaimana anggota
badan. Kalau manusia diukur dari konstruksi tubuhnya, maka semua yang
dilahirkan oleh seorang ibu dapat disebut manusia. Namun, hal ini tidak tepat.
Sesungguhnya, insaniah manusia diukur oleh serangkaian sifat dan etika tertentu
yang karenanya ia disebut “manusia”. Semua hal yang dapat meninggikan derajat
dan kepribadian manusia inilah yang dinamakan “nilai-nilai Insani”. Setiap
manusia yang mengingkari makna-makna kemanusian akan mengalami kejatuhan
martabatnya.3

Jadi, dengan Allah menurunkan Islam sebagai agama yang fitrah (suci)
kepada manusia yang fitrah pula dalam rangka untuk menjaga kwalitas
kemanusian agar tetap berada dalam kemanusiannya yang senantiasa berada
dalam garis kefitrahananya. Rangkaian demi rangkaian ajaran juga tidak luput dari
fitrah manusia itu sendiri.

3
Ibid, hlm. 197

3
BAB DUA

PEMBAHASAN

A. Definisi Agama, Islam, dan Fitrah


1. Agama
Untuk menjelaskan definisi tentang agama secara spesifik dengan patokan
tertentu bisa jadi tidak mungkin, mengingat beragama merupakan pengalaman
spritual seseorang yang barangkali tentu berbeda-beda. Menurut H.A. Mukti Ali,
salah seorang ahli perbandingan agama di Indonesia mengatakan memang
memberikan definisi yang objektif tentang agama agak sulit, setidak-tidaknya ada
tiga argumentasi yang mendasar dalam hal ini, yaitu pertama, pengalaman agama
itu adalah soal batin dan subjektif, serta individualis. Kedua, tidak ada orang yang
begitu semangat dan emisional yang kuat sekali daripada membicarakan agama.
Ketiga, konsepsi tentang agama akan dipegaruhi oleh orang yang memberikan
pengertian agama itu.4
Secara umum kita pernah mendengar istilah Agama, Religi dan al-Din.
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, yang terdiri dari kata
“a” yang berarti “tidak” , Dan “gama” yang berarti “kacau” atau kocar kacir. Jadi,
kata Agama berarti “tidak kacau, tidak kocar-kacir, dan berarti teratur. Dengan
pengertian demikian, Agama merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan
kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan
keselamatan hidup bagi manusia.5 Secara terminologis (istilah), dalam ensiklopedi
Nasional Indonesia, yang dikutip oleh Muhaimin, dkk. memberi definisi “Agama”

4
Muhaimin, Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta : Kalam Mulia,
1989. Hlm. 1
5
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan wawasan Studi Islam, Jakarta:
Kencana, 2007, hlm. 33.

4
adalah aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan Tuhan
dan sesamanya sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis, serasi antara
manusia dan Tuhan Yang Maha Pencipta.6
Sedangkan kata Religi atau religion berasal dari bahasa latin, yang berasal
dari kata “relegere” atau “relegare”. “Relegere” mempunyai arti dasar “berhati-
hati”, dan berpegang pada norma-norma atau aturan-aturan yang ketat. Dengan
kata lain religi itu merupakan suatu keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma hidup
yang dipegangi dan dijaga denan penuh perhatian, agar jangan sampai
menyimpang dan lepas. Sedangkan kata dasar “relegare” berarti “mengikat”,
dalam artian mengikat diri pada kekuatan gaib yang suci.7
Menurut Soegarda Poerbakawatja H.A.H. Harahap dalam bukunya
Ensiklopedi Pendidikan, agama adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh
manusia dalam usahana mencari hakekat dari hidupnya dan mengajarkan
kepadanya tentang hubungannya dengan Tuhan, tentang hakekat dan maksud dari
segala sesuatu yang ada. Inti agama adalah pengakuan dari suatu asas mutlak yang
tunggal dan kepercayaan atas suatu kekuasaan yang tinggi. Selanjutnya, sesuatu
yang disyariatkan Tuhan atas keterangan Nabi utusan-Nya berisi perintah-
perintah, larangan dan petunjuk untuk keselamatan seluruh manusia, baik dalam
urusan-urusan dunia maupun akhirat.8
Kata al-Din, berasal dari bahasa Arab, dari kata “daen”, yang berarti
“utang” sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa semit,
induknya bahasa Arab, kata “din” berarti undang-undang atau hukum. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kata “daen” dan “din” dalam bahasa Arab
menunjukkan kepada pengertian dasar sebagai undang-undang atau hukum yang
harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti utang yang akan
tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan,
jika tidak ditunakan.9
6
Ibid, hlm.38
7
Sidi Gazala, Asas Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 37
8
Soegarda Poerbakawatja H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta:PT. Gunung
Agung, cet. Ke-3, 1982, hlm. 8.
9
Sidi Gazali, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978. hlm. 95

5
2. Islam

Allah Ta’ala berfirman:

      

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS.


Al Imran: 19)

Ia juga berfirman:

         
   

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali


tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)

Islam artinya berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk


kepada-Nya dalam ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.
Karena kesyirikan merupakan akidah orang Arab sebelum berkembangnya
dakwah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

Menurut Hasbi Ash Shiddiqi yang dikutip Moh. Chadziq Charisma,


mendefinisikan Islam yaitu “ Menyerahkan diri kepada Allah dengan perasaan
tunduk dan mengaku kehinaan dan kehammbaan dengan jiwa, serta mengerjakan
segala perintah, meninggalkan segala larangan-Nya”.10 Sedangkan Abul A’la Al-
Maududi mengartikan Islam “sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan tunduk
kepada perintahnya, tanpa membantah”.11

Dari berbagai pengertian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa Islam


adalah penyerahan diri secara totalitas kepada Allah dengan penuh kesadaran
10
Moh. Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kemukzizatan Al-Quran, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1991. hlm. 65
11
. Abul A’la Al Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, Bandung: Al-
Ma’arif, 1985, hlm. 77.

6
yang dibuktikan melalui kebaktian dan pengabdian jiwa dan raga dalam rangka
melaksanakan aturan-aturan-Nya secara keseluruhan dengan penuh keikhlasan,
agar mendapatkan kedamaian dalam hati dan keselamatan serta keridhaan Allah
baik di dunia maupun di akhirat.

3. Fitrah

Secara bahasa, fitrah artinya al khilqah yaitu keadaan asal ketika seorang
manusia diciptakan oleh Allah (lihat Lisaanul Arab 5/56, Al Qamus Al Muhith
1/881).12 Dan ketahuilah, yang dimaksud dengan agama yang fitrah ialah Islam.
Setiap manusia lahir dalam keadaan berislam, sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫ َفَأَبَو اُه ُيَهِّو َداِنِه َأْو ُيَنِّص َر اِن‬، ‫ُك ُّل َم ْو ُلوٍد ُيوَلُد َع َلى اْلِفْطَرِة‬
“Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang
tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani” (HR. Bukhari-
Muslim)

Allah Ta’ala berfirman:

         


         
     

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Ruum: 30)

Seoang ulama pakar tafsir, Imam Ibnu Katsir, menjelaskan ayat ini:
“Maksudnya adalah tegakkan wajahmu dan teruslah berpegang pada apa yang
disyariatkan Allah kepadamu, yaitu berupa agama Nabi Ibrahim yang hanif, yang
merupakan pedoman hidup bagimu. Yang Allah telah sempurnakan agama ini
dengan puncak kesempurnaan. Dengan itu berarti engkau masih berada pada
fitrahmu yang salimah (lurus dan benar). Sebagaimana ketika Allah ciptakan para

12

7
makhluk dalam keadaan itu. Yaitu Allah menciptakan para makhluk dalam
keaadan mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya dan mengakui tidak ada yang berhak
disembah selain Allah”13

Dalam Ensiklopedi Islam, fitrah berasal dari istilah arab yang berarti
kejadian, kesucian, dan agama yang benar. Fitrah dengan arti asal kejadian
bersinonim dengan kata ibda’ dan khalq. Fitrah manusia atau asal kejadiannya
sebagaimana diciptakan Allah swt, menurut ajaran Islam, adalah bebas dari noda
dan dosa seperti bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya yang dihubungkan
dengan pernyataan seluruh manusia sewaktu berada di alam arwah yang mengakui
keesaan Allah swt.14

Setelah kita paham bahwa sesungguhnya agama yang sesuai dengan fitrah
manusia itu adalah agama Islam dan manusia sesungguhnya terlahir dalam
keadaan Islam yang murni, maka kini kita perlu ketahui apa itu Islam.

B. Naluri Beragama pada Manusia

Sebagaimana yang telah kita tahu bersama, bahwa manusia mempunyai


naluri sebagai hewan beraqidah atau secara naluriah manusia adalah hewan yang
beragama. Sebagaimana juga telah diterangkan, bahwa akidah agama ini
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan sejak awal pembentukan fisik dan
mental manusia.15 Agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan prbadi
manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis yang merupakan
bagian dari kehidupan batin manusia yang paling mendalam.16
Di dalam diri manusia terdapat suatu potensi hidup (dorongan/semangat)
yang senantiasa mendorong melaksanakan kegiatan serta menuntut pemuasan.
Potensi tersebut memiliki dua bentuk manifestasi. Pertama, menuntut adanya

13
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, terj. Jakarta: Gema Insani
Press, 2000, hlm.313.
14
Bisri M. Djaelani, Ensiklopedi Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta, 2007, hlm.
103
15
Abdu Al-Ghoniy Abud, Aqidah Islam Versus Ideologi Manusia, Ponorog0, Trimurti
Press, 1992, hlm. 32.
16
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm.156.

8
pemuasan yang bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa.
Inilah yang dinamakan ‘kebutuhan jasmaniah’ (haajatul ‘udhuwiyah) seperti
makan, minum, dan membuang hajat. Kedua, menuntut adanya pemenuhan saja,
tetapi jika tidak dipenuhi manusia tidak akan mati, melainkan akan merasa
gelisah, sehingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan
‘naluri’ (gharizah).
Naluri beragama merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia.
Sebab, naluri ini merupakan perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang
Maha Kuasa yang mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang
Pencipta tersebut. Perasaan ini bersifat fitri yang selalu ada selama ia menjadi
manusia. Baik ia (orang yang) beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadap-
Nya, namun beriman kepada materialisme dan naturalisme. Perwujudan perasaan
ini dalam diri setiap manusia bersifat pasti (harus muncul). Sebab, perasaan ini
tercipta sebagai salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak
mungkin memisahkannya atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang
disebut tadayyun (perasaan beragama).
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama
ini dapat pula dilihat dari bukti-bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-
bukti historis dan antropologis itu kita dapat mengetahui bahwa pada kehidupan
masyarakat primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai
Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang
mereka percayai itu terbatas pada daya khayal mereka. Misalnya, mereka
mempertuhan benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan
mengagumkan. Kepercayaan demikian selanjutnya disebut sebagai agama
dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius itu mereka pahami sebagai ruh atau
jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk. Kepercayaan
demikian selanjutnya disebut sebagi agama animisme. Dalam perkembangan
selanjutnya, ruh atau jiwa tersebut kemudian mereka personifikasikan dalam
bentuk dewa-dewa yang jumlahnya banyak dan oleh karena itu disebut agama
politheisme. Fakta historis dan antropologis ini membuktikan bahwa manusia

9
benar-benar memiliki potensi bertuhan.17
Adapun perwujudan dari tadayyun adalah adanya perasaan taqdis
(pensucian) terhadap Sang Pencipta Yang Mahakuasa, atau terhadap segala
sesuatu yang digambarkannya sebagai penjelmaan dari Sang Pencipta. Kadang
kala ‘taqdis’ itu terwujud dalam bentuk yang hakiki (sempurna), sehingga
menjadi suatu ‘ibadah’. Tetapi terkadang pula terwujud dalam gambaran/bentuk
yang sederhana, sehingga hanya menjadi sebuah kultus atau pengagungan. Taqdis
adalah penghormatan setulus hati yang paling tinggi, yaitu bukan penghormatan
yang berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan tadayyun. Sebab, taqdis
bukan merupakan manifestasi dari rasa takut. Manifestasi dari rasa takut tidak lain
adalah kegelisahan, pelarian, atau usaha untuk membela diri. Hal ini jelas
bertentangan dengan hakikat (kenyataan) taqdis. Dengan demikian, taqdis adalah
manifestasi dari perasaan tadayyun bukan dari rasa takut.18
Taqdis adalah sesuatu yang fithri dalam diri manusia, dan merupakan hasil
manifestasi dari naluri beragama yang memiliki berbagai bentuk
pengejawantahan. Bentuk tertinggi berupa ibadah. Bentuk-bentuk taqdis lain
misalnya adanya ketundukan, kekhusyu'an, tindakan merendahkan diri, ataupun
tindakan membesarkan dan mengagungkan sesuatu.

Berdasarkan penjelasan di atas maka rasa beragama terpisah dengan


gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) yang salah satu bentuk
perwujudannya adalah rasa takut. Oleh karena itu selalu didapati, bahwa setiap
manusia sebenarnya "beragama" semenjak Allah swt menciptakannya; dan setiap
manusia pasti menyembah sesuatu. Ada yang menyembah matahari, planet-planet,
api, berhala, atau menyembah Allah swt. Tidak pernah ditemui pada satu masa
pun atau pada umat, dan bangsa manapun kecuali mereka senantiasa menyembah
sesuatu. Bahkan pada bangsa yang diperintah oleh penguasa yang diktator, yang
memaksa mereka melepaskan agamanya sekalipun, mereka tetap beragama dan
menyembah sesuatu, meskipun harus melawan kekuatan yang menguasainya serta
rela menanggung siksaan yang dideritanya agar dapat menjalankan ibadah
17
Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, Kudus: STAIN KUDUS, 2009, hlm. 21
18
http://rihlah.tripod.com/rihlah/edisi28.html diunduh tanggal 11 Oktober 2014

10
tersebut. Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mencabut rasa
beragama dari diri manusia, atau menghilangkan usaha taqdis terhadap Alkhaliq,
atau mencegah manusia beribadah. Sebab, ibadah adalah perwujudan alami dari
rasa beragama yang merupakan salah satu naluri (yang ada) dalam diri manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah difahami, sebenarnya kufur itu lebih sulit
dari pada iman, sebab kekufuran itu merupakan usaha pengalihan manusia dari
fitrahnya, dan pengalihan fitrah tersebut dari perwujudannya yang hakiki. Yang
mana hal itu memerlukan usaha yang keras. Adalah amat sulit mengalihkan
manusia dari ketentuan tabiat dan fitrahnya.

Manusia, dilihat dari segi keberadaannya sebagai manusia, diciptakan


secara fitri memiliki kecenderungan untuk mentaqdiskan sesuatu dan tampaknya
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap
agama agaknya dikarenakan oleh faktor-faktor tertentu baik disebabkann oleh
kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk meniadakan sama
sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya mustahil dilakukan karena
manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk
tunduk kepada suatu Zat yang bersifat transenden.19

C. Islam, Agama Fitrah bagi Manusia

Islam adalah ajaran fitrah yang mana Nabi Muhammad s.a.w. diutus untuk
menjelaskan ajaran kebenaran dan memperlihatkan tuntutan-Nya, serta
mengembalikan manusia kepada jalan yang lurus setelah manusia dikuasai oleh
pujuk rayu setan. Fitrah merupakan naluri manusia yang diciptakan Allah yang
bersih dari semua bentuk pencemaran. Allah menciptakan hati manusia dengan
kecenderungan alami, yakni seruan iman. Kecenderungan inilah yang disebut
dengan fitrah. Konsekuensi dari iman adalah mengerjakan segala perintah dan
menjauhi segala larangan Allah atau dengan kata lain mengamalkan syariat Allah.
Fitrah ini Allah ciptakan pada diri manusia sejak dalam kandungan ibunya, lalu ia
dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah, Nabi saw bersabda, “Setiap anak bayi

19
Jalaluddn. Psikologi Agama, hlm.159

11
itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka kedua orang tuanyalah yang
memajusikannya atau menasranikannya.” (HR. Bukhari & Muslim)20

Pada realitanya fitrah dan agama, keduanya bersumber dari Allah swt dan
yang menunjukkan kepada manusia jalan kebahagiaan yang sebenarnya. Agama
Islam sebagai agama terakhir menyodorkan program yang lengkap untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Ajaran ini telah ditetapkan oleh Tuhan
dan mencakup semua manusia. Allah tidak memiliki kepentingan apapun dengan
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Allah Swt. berfirman: La tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah
Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said bin Jubair, Mujahid,
Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li
dinillah. Kata fitrah mirip dengan kata al-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini
ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka kata khalq Allah pun demikian,
bisa dimaknai din Allah.
Memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat,
ayat ini menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan kata fitrah
Allah dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam itu
sendiri. Selain ayat ini, kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga dapat terlihat
pada beberapa fakta berikut:
Pertama: adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap manusia
sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan Zat Yang
Maha Agung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karenanya,
manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan
(‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia
mampu memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan
alam semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti
merupakan makhluk. Hal itu memastikan adanya al-Khâliq yang menciptakannya.

20
HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, 1/456, no. 1293

12
Dengan demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong oleh gharizah
at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.

Oleh karena itu, secara fitrah manusia membutuhkan akidah dan agama
yang haq, agama yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal.
Islamlah satu-satunya yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama
manusia dengan benar sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan
akalnya dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan.
Dengan demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia.
Dengan kata lain Islam agama fitrah siapa yang menolak Islam bererti dia
menolak fitrahnya sendiri.21 Kefitrahan Islam dapat kita pahami dan kita buktikan
dalam beberapa aspek, di antaranya:

a. Agama Islam sesuai dengan fitrah dan akal manusia.

Segala hukum yang diturunkan oleh Allah swt. tidak bertentangan dengan
akal sehat manusia. Bahkan, jika akal tersebut betul-betul digunakan, ia akan
menemukan keagungan dan keesaan Allah. Jika ada yang nampak bertentangan, ia
adalah disebabkan oleh keterbatasan akal manusia yang tidak dapat memahami
dan mentafsirkan apa yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh Allah. Segala yang
disyariatkan itu pada hakikatnya sesuai dan menepati fitrah manusia kerana hanya
Allah yang mengetahui hakikat dan kejadian manusia. Tidak diragukan bahwa
Pencipta akal, hati, dan jasad tidak akan membebaninya diluar kemampuan
fitrahnya maupun yang tidak sesuai dengan tabiatnya. Allah swt. Tidak akan
membebani akal dengan akidah yang jauh darinya (tidak masuk akal). Artinya
tabiat manusia menerima tauhid dan semua ajaran yang dibawa Islam, karena
tauhid diakui oleh akal yang sehat dan diterima oleh analisa yang lurus. 22 Dengan
kata lain, akidah dan ibadat yang diajarkannya masuk akal, jelas dan tidak ada
kesulitan untuk memahaminya. Ia berbeda dengan ideologi ciptaan manusia yang

21
Moh. Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Quran, hlm. 60
22
Sulaiman bin Abdullah Hamud Abu Al-Khail, Inilah Islam, (terj.),Bekasi: Sukses
Publishing, 2011, cet. Ke-1, hlm.72

13
datang melalui akal fikiran yang tidak mampu member kebahagiaan dan jalan
penyelesaian kepada kehidupan manusia secara sempurna.

b. Ajaran Islam sesuai dengan Kemampuan Manusia

Hal ini telah ditegaskan oleh Allah swt. dalam Al-Quran yaitu Surah Al-
Baqarah ayat 286 yang bermaksud:
      

“Allah tidak membebankan seseorang melainkan sekadar kemampuannya.”

Allah tidak pernah membebani hamban-Nya dengan apa yang tidak


mampu mereka lakukan. Dia (Allah swt.) tidak pernah memerintahkan kepada
mereka apa yang berat baginya, kecuali diberikan kepadanya keringangan dan
jalan keluar.23 Aplikasi ayat diatas dapat kita contohkan dalam pelaksanaan ibadah
shalat. Shalat itu wajib dikerjakan dalam keadaan berdiri tegak. Tetapi sekiranya
tidak mampu karena sakit dan sebagainya, boleh dikerjakan dalam keadaan duduk
atau keadaan berbaring, gerakan anggota atau isyarat mata. Sekiranya tidak
mampu juga, maka dengan hati dan ingatan.24

c. Islam melarang sesuatu perbuatan atau tindakan yang merugikan diri


sendiri dan orang lain.

Hal ini bermaksud, tiada ajaran Islam yang mendatangkan keburukan kepada
manusia. Firman Allah s.w.t. dalam Surah Al-Maidah ayat 6 yang bermaksud:

        


     

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.

Sebagai contoh, kita dilarang menyakiti diri sendiri, bunuh diri, mencuri,
menipu, fitnah-memfitnah atau menjatuhkan diri sendiri ke lembah kesengsaraan

23
Sulaiman bin Abdullah Hamud Abu Al-Khail, Inilah Islam, ...hlm.114
24
Kaelany, Islam, Iman dan amal Saleh, Jakarta: Rineka Cipta, cet. Ke-1, 2000, hlm. 19

14
walaupun dengan berbagai alasan. Allah juga telah berfirman dalam Surah Al-
Baqarah ayat 195 yang bermaksud:

        


   

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,


dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”.

Islam juga melarang sesuatu yang didalamnya ada unsur paksaan apalagi
dengan cara kekerasan kepada umat manusia untuk memeluk Islam tetapi
menggunakan “dakwah bil hikmah dan mau’idhah hasanah” kepada mereka
sehingga mereka benar-benar faham tentang Islam yang memungkinkan mereka
akhirnya memeluk Islam ataupun tetap dalam agama mereka tetapi dengan penuh
kerelaan hati mereka tunduk kepada sistem Islam yang menjanjikan keadilan dan
keamanan.

d. Islam Menjaga Keseimbangan Dunia dan Akhirat

Islam adalah satu-satunya agama di dunia yang memelihara fitrah


penganutnya. Seseorang Muslim diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga
fitrah dirinya sebagai manusia. Ia harus terlibat dalam aktiviti-aktiviti sosial.
Seseorang Muslim itu juga adalah pencipta sejarah dirinya. Kesinambungan hidup
makhluk yang berspesies manusia adalah menjadi tanggungjawab seorang
Muslim. Keberadaan spesies manusia di muka bumi harus berlangsung secara
berterusan dan tidak boleh dimusnahkan. Oleh yang demikian, seseorang Muslim
itu diwajibkan untuk nikah dan beranak-pinak.

Selain itu, menurut Islam juga, setiap bahagian tubuh memiliki hak. Islam
memerintahkan setiap bahagian tubuh manusia perlu dipenuhi keperluannya.
Sebagai contoh, perut diberi makan dan minum. Nafsu syahwat dengan
pelampiasannya. Mata dan badan dengan istirahat, Islam juga tidak memberi

15
toleransi kepada orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk shalat dan
berpuasa secara terus menerus sehingga mengabaikan hak – hak anggota tubuh
masing-masing. Islam tidak menafikan bahwa setiap Muslim adalah makhluk
manusia yang tetap harus meneruskan kehidupan mereka sehingga ajal tiba.

Dalam Islam juga, makan dan minum menjadi kewajiban sebagai syarat
keberlangsungan hidup seseorang. Islam melarang seseorang Muslim itu
mengharamkan dirinya daripada makan dan minum dengan sengaja. Namun
sebaliknya, Islam juga tidak mengizinkan seseorang Muslim berlebihan dalam
hal-hal tersebut. Dalam konteks Islam, kesucian hidup adalah mereka yang selalu
berbuat di tengah-tengah yaitu tidak berlebihan dan tidak menjauhi sama sekali.
Islam hanya mewajibkan seseorang hamba untuk menahan diri pada waktu-waktu
tertentu daripada nafsu makan, minum dan syahwat yaitu dengan berpuasa.
Sebagai contoh, orang yang telah mencapai tahap kesucian hidup dalam Islam
adalah Nabi Muhammad saw. Baginda adalah seorang manusia dan dalam masa
yang sama masih makan dan minum, tidur, menggauli isteri-isterinya dan
memiliki anak.

e. Tujuan Syariah Islam melindungi Kefitrahan pada Manusia

Dalam konsep maqashid syariah, ada lima kebutuhan kehidupan primer


manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan
sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama,
jiwa, akal, nasab, dan harta. Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya
dianggap sebagai suatu kriminal (jarimah).Untuk menjaga hal ini, Islam
mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas baik berupa hukuman hudud,
qishash dan ta’zir demi menciptakan kemaslahatan publik dan menghindari
kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) misalnya, bertujuan untuk
menjaga kemaslahatan agama. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr)
untuk menjaga akal, hukuman zina (had zina) untuk menjaga nasab dan
menghindari dari penyakit yang berbahaya seperti AIDS dan sebagainya,
hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) untuk menjaga kehormatan, hukuman

16
pencurian (had as-sariqah) untuk menjaga harta, serta hukuman qishah bertujuan
untuk menjaga jiwa manusia.25

Konkritnya, hukum pidana Islam ditetapkan untuk menjaga kehormatan


seseorang, menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau hina,
mensucikan jiwa yang telah ternoda dengan dosa, dan memelihara kemaslahatan
asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Disamping itu untuk
bertujuan sebagai sarana preventif dan pembelajaran. Hal ini telah dinyatakan di
dalam Al-Quran yaitu dalam Surah Al-Baqarah ayat 27 yang bermaksud:

        


          
 

“(yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian


itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-
orang yang rugi”.

Dalam memenuhi keperluan fitrah manusia kepada nyawa dan diri, Islam
memerintahkan supaya makan dan minum daripada makanan dan minuman yang
baik dan juga menjaga kesehatan diri. Islam melarang keras tindakan membunuh
diri atau membuat sesuatu perkara yang boleh membinasakan nyawa dan diri.
Seterusnya, untuk memenuhi fitrah manusia kepada akal, Islam mengkehendaki
supaya manusia menggunakan akal mereka untuk berfikir perkara yang
mendatangkan kebaikan kepada mereka. Islam juga melarang perkara-perkara
yang boleh merusakkan akal mereka seperti meminum minuman yang
memabukkan.26 Firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 90 yang bermaksud:

      


      
 

25
Muhammad Yusran Hadi, Syariah Islam dan Fitrah Manusia, artikel
26
Kaelany, Islam, Iman dan amal Saleh,...hlm. 16

17
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”

Selain itu, untuk menunjang fitrah kemanusiaan dari segi keturunan, Islam
memberi toleransi penuh dalam hal ini. Misalnya, kecintaan manusia kepada
lawan jenisnya adalah fitrah. Kebutuhan biologis tersebut diciptakan untuk
mempertahankan eksistensinya di bumi. Islam tidak mengekang syahwat ini.
Sebaliknya, Islam mengatur bagaimana fitrah ini dijalankan dengan cara yang
benar (menikah). Islam melarang manusia menyalurkan nafsu biologis dengan
cara yang diharamkan dan melanggar fitrah seperti zina, lesbian dan homo
seksual.27 Hal ini dapat kita lihat dalam Al-Quran surat Al-Isra’ ayat 32.

         

“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.

Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak
lebih daripada sekadar anugerah Allah swt. yang dititipkan kepada manusia.
Dalam memenuhi keperluan fitrah manusia kepada harta pula, Islam memberi
pemilikan harta individu dan memerintah manusia supaya berusaha mencari
rezeki yang halal yaitu secara halal dalam rangka menunjang hidup dan
kehidupanya. Untuk memelihara harta Islam melarang mencuri, mengambil hak
orang lain tanpa prosedur yang benar, apapun bentuknya, baik secara paksa dan
atau dengan tipuan.28 memandang hal yang demikian sebagai bagian dari pada
pelanggaran dan kepada pelaku harus dikenai sanksi sebagai bentuk penjagaan
Islam terhadap fitrah mansia.

       


       
27
Ibid, hlm. 16
28
Ibid, hlm. 16

18
“ apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung”.

Kesimpulannya, agama Islam adalah agama yang cukup lengkap dalam


semua aspek kehidupan. Ia adalah agama yang mengatur cara hidup manusia di
dunia ini agar sentiasa harmonis bukan saja di dunia tetapi di akhirat kelak.
Sesungguhnya, sistem hidup Islam mendorong kearah kehidupan yang selamat
dan sejahtera.

D. Kesimpulan
Islam berarti suatu nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Allah kepada manusia melalui seorang rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh
Islam merupakan ajaran manusia mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Fitrah berarti kesucian dalam jasmani dan rohani. Fitrah Allah adalah segala
sesuatu yang diciptakan Allah. Manusia diciptakan Allah memiliki naluri
beragama yaitu agama tauhid (Islam). Kalau ada manusia yang tidak beragama
tauhid atau beragama Islam namun, tidak menerapkan sifat-sifat tauhid malah
mengingkarinya maka menurut pandangan Allah nerakalah yang cocok untuknya.
Cara untuk mempertahankan fitrah adalah dengan jalan muraqabah dan dengan
jalan mu’ahadah

19
E. Cara Mempertahankan Kefitrahan

1. Dengan jalan Muraqabah.

Jiwa yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga ia selalu takut
berbuat segala sesuatu yang menimbulkan kemarahannya.Al Mujaadillah ayat 7
           
         
          
         
       

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang


ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,
melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang
kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di
manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka
pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu”.

20
2. Dengan jalan Mu’ahadah
Mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT
di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim
ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah. Allah juga
mengingatkan dalam surat al-A’raf ayat 172.
        
       
          
 
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Allah juga mengingatkan dalam surat Al Baqarah:83


        
    
     
       
 

“dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan
kamu selalu berpaling.”

3. Muhasabah (evaluasi)

21
Jiwa yang selalu memperhitungkan dan mempertimbangkan segala
amalannya dalam perspektif kehidupan akhirat seperti firman Allah SWT dalam
surat Al Hasyr ayat ke-18.
        
          

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah


Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.

Melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas kebaikan dan


keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia
miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan sesuatu yang tidak pernah ia
bayangkan sebelumnya pada hari kiamat.
Dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Orang
cerdas (berakal) ialah orang yang menghisab dirinya dan berbuat untuk setelah
kematian. Dan, orang yang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada
hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)
4. Mua’qabah
Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan
(muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para
sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas
diri mereka sendiri). Dengan kata lain jiwa yang selalu menghukum dirinya
apabila terlanjur khilaf berbuat Maksiyat (salah). Allah SWT telah memberikan
petunjuk kepada kita seperti terlihat dalam surat Al Hajj:78.
         
          
       
       
       
    

22
“dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya.
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)
telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu dan (begitu pula)
dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya
kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong”.

5. Mujahadah
Jiwa yang selalu sungguh-sungguh dalam beramal ibadah. Mujahadah
adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada
Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang
diperintahkan-Nya. Setiap anak manusia yang dilahirkan ia dalam keadaan fitroh (
Islam ) maka orang tuanyalah yang menjadikan yahudi, nasroni atau majusi.
Salah satu benteng pertahanan yang paling kuat adalah keimanan. Jika
keimanan seseorang menjadi benteng yang kokoh, ia tidak dapat mudah digoyah
sehingga fitrah dirinya terus bersemi dan terpatri sampai kapan pun selama
keimanan itu tetap ada. Jika goyah imannya karena pengaruh dan godaan atau
sama sekali tidak ada imannya, fitrah dirinya juga akan hilang begitu saja.

23

Anda mungkin juga menyukai