Anda di halaman 1dari 43

8 Ragam Pendapat Ulama tentang Waktu Lailatul Qadar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan suci Ramadhan memiliki malam yang


istimewa dan lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar. Setiap Muslim
tentu mendambakan dirinya bisa meraih Lailatul Qadar di salah satu malam di
bulan Ramadhan.

Sebagian Muslim menganggap Lailatul Qadar terdapat di 10 hari terakhir


Ramadhan, dan sebagian lainnya punya anggapan lain. Para ulama pun berbeda
pendapat tentang waktu Lailatul Qadar di bulan Ramadhan.

Ahmad Sarwat dalam bukunya Jaminan Mendapat Lailatul Qadar menjelaskan


ragam pendapat ulama soal waktu Lailatul Qadar. Ada delapan pendapat dari
kalangan ulama yang dipaparkan oleh Ahmad.

"Para ulama ketika berbicara tentang kapan tepatnya jatuh malam Qadar itu, telah
berbeda pendapat sepanjang zaman. Hal itu bukan karena para ulama tidak mampu
mendapatkan dalil, tetapi justru karena dalilnya tidak ada yang secara tegas
menyebutkan kapan waktunya," tulis Ahmad.

Malam Ganjil di 10 Malam Terakhir Ramadhan

Ulama yang berpendapat demikian di antaranya Mazhab Al-Malikiyah, Asy-


Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, serta Al-Auza'i dan Abu Tsaur. Mazhab Al-
Malikiyah dan Al-Hanabilah bahkan menegaskan Lailatul Qadar jatuh malam ke-
27 Ramadhan. Ini termaktub dalam kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab karya
Imam Nawawi. Pendapat yang pertama ini adalah pendapat jumhur ulama.

Salah Satu di Sepanjang Malam Ramadhan

Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiatu Abdin Jilid 2 mengemukakan soal pendapat
kedua ini. Pendapat ini menyebut Lailatul Qadar ada di sepanjang Ramadhan, sejak
malam pertama hingga malam terakhir. Artinya, Lailatul Qadar bisa saja ada di
salah satu malam di sepanjang Ramadhan.

10 Malam Terakhir Ramadhan

Pendapat ini menyebut Lailatul Qadar ada di salah satu malam di 10 terakhir
Ramadhan, tetapi tidak bisa dipastikan pada tanggal berapa. Menurut pendapat ini,
meski tidak diketahui, tanggalnya tidak berpindah-pindah dan setiap tahun selalu
jatuh pada malam yang sama. Pendapat ini adalah pendapat resmi Mazhab Asy-
Syafi'iyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi.

Malam Pertama Ramadhan

Menurut pendapat ini, Lailatul Qadar jatuh pada malam pertama bulan Ramadhan,
dan pendapat ini disampaikan oleh Abi Razin al-Uqaili ash-Shahabi, yang
meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas. "Malam Qadar itu jatuhnya pada malam
pertama bulan Ramadhan." Pendapat ini terdapat pada kitab Fathul Bari jilid 4,
karangan Ibnu Hajar al-Asqalani.

Malam ke-17 Ramadhan

Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ath-Thabarani dan Abu
Syaibah, dari jalur Zaid bin Arqam. Rasulullah SAW bersabda, "Aku tidak ragu
bahwa malam 17 Ramadhan adalah malam turunnya Alquran."

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Masud, Lailatul Qadar itu adalah malam
yang di siangnya terjadi Perang Badar, berdasarkan firman Allah SWT dalam
Surah Al-Anfal ayat 41, "Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang
kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan."

10 Malam Tengah Ramadhan

Imam Nawawi menjelaskan soal adanya pendapat ini. Sebagian ulama di kalangan
Mazhab Syafii ada yang berpendapat demikian. Kemudian Imam ath-Thabari
menghubungkan pendapat ini kepada Utsman bin Abil 'Ash dan Hasan Bashri.

Malam ke-19 Ramadhan


Ibnu Hajar memberikan penjelasan, dalil pendapat ini diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dari jalur Ali bin Abi Thalib. Imam ath-Thabari menghubungkan
hadis tersebut kepada Zaid bin Tsabit dan Ibnu Masud. Sedangkan ath-Thahawi
menyambungkan hadis itu kepada Ibnu Masud.

Berpindah-pindah Tiap Ramadhan

Artinya, bagi pendapat ini, Lailatul Qadar di satu Ramadhan tidak sama dengan
Ramadhan tahun berikutnya. Bisa jadi, Lailatul Qadar di 10 hari terakhir
Ramadhan berpindah ke malam lain. Pendapat ini disampaikan mengingat
banyaknya perbedaan yang didasarkan pada riwayat yang beragam pula. Seluruh
riwayat tidak mungkin ditolak tetapi juga tidak mungkin digabungkan hingga
sampai pada satu kesimpulan ihwal kapan jatuhnya Lailatul Qadar.
Karena itu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang
Fatwa, KH. Salahuddin Al-Ayyubi menyatakan, jika ingin mendapatkan Lailatul
Qadar, maka setiap Muslim harus memperbanyak ibadah sejak awal Ramadhan.
"Sehingga bisa nyenggol di salah satu malam di bulan Ramadhan. Karena Lailatul
Qadar ini keutamaannya sangat besar sekali," katanya.

Ciri-Ciri Orang Saleh yang Disebutkan dalam Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Benarkah kita sudah begitu religius


sehingga patut untuk menyandang termasuk dalam golongan
orang-orang saleh? Ataukah kita hanya kencang dalam gema
tetapi minim dalam kualitas? Jumlah orang banyak ini pun tak
lebih mulia dari buih-buih di lautan.

Di dalam QS Ali Imran ayat 113-114, Allah SWT menyebutkan ciri-


ciri golongan orang saleh.

‫َلْيُسوا َسَو اًء ۗ ِم ْن َأْه ِل اْلِك َت اِب ُأَّم ٌة َقاِئَم ٌة َي ْت ُلوَن آَياِت ِهَّللا آَن اَء الَّلْي ِل َو ُه ْم َي ْس ُج ُد وَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل‬
‫َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخ ِر َو َي ْأُمُروَن ِباْلَم ْع ُروِف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن اْلُم ْن َك ِر َو ُيَس اِر ُعوَن ِفي اْل َخ ْي َر اِت َو ُأوَٰل ِئَك ِمَن‬
‫الَّصاِلِحيَن‬
"Mereka itu tidak sama. Di antara ahli kitab itu, ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membacakan ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.
Mereka beriman kepada Allah di hari penghabisan. Mereka
menyeru yang makruf dan mencegah yang munkar dan bersegera
kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka itu termasuk
orang-orang saleh." Ciri lainnya tertera pada QS al-Ankabut ayat 9:

‫َو اَّلِذيَن آَم ُنوا َو َع ِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َلُنْد ِخَلَّن ُهْم ِفي الَّصاِلِحيَن‬

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan


amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam
(golongan) orang-orang yang saleh."

Orang saleh juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang


lain.

Hanya doa orang saleh yang bisa menyambung amalan orang tua
yang sudah wafat.

‫ابُن آدم اْن َقَط َع‬ ‫ ِإَذ ا َم اَت‬: ‫ َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا ﷺ َقاَل‬:‫َع ْن َأِبي ُه َر ْي َر َة رضي هللا تعالى عنه‬
‫َص اِلٍح َي ْد ُعو َلُه‬ ‫ َأْو َو َلٍد‬،‫ أو ِع ْلٍم ُيْن َتَفُع ِبِه‬،‫ َص َد َقٍة َج اِر َي ٍة‬: ‫َع ْن ُه َعَم ُلُه ِإاَّل ِم ْن َث اَل ٍث‬

''Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari


tiga perkara, sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan
anak saleh yang berdoa kepadanya.'' (HR Muslim).

Ketua Yayasan Madinatul Ilmi Ustaz Muhammad Hisyam Asyiqin,


sebagaimana dikutip dari Harian Republika menjelaskan, secara
etimologi, kata shalih berasal dari shaluha-yashluhu–shalahan
yang artinya 'baik', 'tidak rusak', dan 'patut'. Sedangkan, shalih
merupakan isim fa'il dari kata tersebut di atas yang berarti 'orang
yang baik', 'orang yang tidak rusak', dan 'orang yang patut'.

Ketua Yayasan Madinatul Ilmi Ustaz Muhammad Hisyam Asyiqin,


sebagaimana dikutip dari Harian Republika menjelaskan, secara
etimologi, kata shalih berasal dari shaluha-yashluhu–shalahan
yang artinya 'baik', 'tidak rusak', dan 'patut'. Sedangkan, shalih
merupakan isim fa'il dari kata tersebut di atas yang berarti 'orang
yang baik', 'orang yang tidak rusak', dan 'orang yang patut'.

Menurut definisi Alquran yang menukil dari ayat di atas, saleh


adalah orang yang senantiasa membaca Alquran pada malam
hari, melaksanakan shalat malam (tahajud), beriman, dan beramal
saleh, menyuruh kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar,
dan bersegera mengerjakan kebajikan.

Kita patut berbaik sangka dan optimistis bahwa umat Islam


sedang menuju kesalehan seperti apa yang disebutkan Alquran.
Setidaknya, ada gejala peningkatan kesadaran beragama yang
semakin terasa di tengah masyarakat.

Hanya, Rasulullah SAW pernah mengingatkan kepada kita tentang


kondisi umat Islam pada akhir zaman. Beliau bersabda:

‫ ُيوِش ُك اُأْلَم ُم َأْن َت َداَع ى َع َلْي ُك ْم َك َم ا‬:‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا ﷺ‬: ‫ َقاَل‬،‫َع ْن َث ْو َب اَن رضي هللا عنه‬
‫ َب ْل َأْنُتْم َي ْو َم ِئٍذ َك ِثيٌر َو َلِك َّنُك ْم‬: ‫ َو ِم ْن ِقَّلٍة َن ْح ُن َي ْو َم ِئٍذ؟ َقاَل‬:‫ َفَقاَل َقاِئٌل‬،‫َت َداَع ى اَأْلَك َلُة ِإَلى َقْص َعِتَه ا‬
‫ُغ َث اٌء َكُغ َث اِء الَّسْي ِل َو َلَي ْن َز َع َّن ُهَّللا ِم ْن ُص ُد وِر َع ُد ِّو ُك ُم اْلَمَه اَب َة ِم ْنُك ْم َو َلَي ْق ِذ َفَّن ُهَّللا ِفي ُقُلوِبُك ُم‬
‫ ُحُّب الُّد ْن َي ا َو َك َر اِهَي ُة اْلَم ْو ِت‬: ‫ َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َو َم ا اْلَو ْه ُن ؟ َقاَل‬:‫ َفَقاَل َقاِئٌل‬، ‫اْلَو ْه َن‬

"Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian,


seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas
piring." Seseorang berkata, "Apakah karena sedikitnya kami waktu
itu?" Beliau bersabda, "Bahkan kalian waktu itu banyak sekali,
tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut
musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam
hatimu penyakit wahn." Seseorang bertanya, "Apakah wahn itu?"
Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati." (HR Ahmad, al-
Baihaqi, Abu Dawud)

Melihat kondisi sekarang, hadits tersebut masih relevan untuk


direnungkan. Ada kalanya penyakit cinta akan dunia dan takut
mati masih merasuk kepada jiwa kita. Ini terlihat manakala adanya
perpecahan dan konflik di dalam tubuh umat Islam sehingga
mengecilkan umat itu sendiri. Umat Islam sering kali disibukkan
dengan pertengkaran antarsesama saudara Muslim.

Mungkin saja apa yang menimpa umat ini merupakan ujian agar
kita menjadi umat terbaik seperti zaman rasul dan sahabat.
Bukankah Rasulullah SAW, ditukil dari HR Tirmizi dan Ibnu Majah,
berpesan bahwa seorang hamba akan diuji sebanding dengan
kualitas agamanya?

Apabila agamanya begitu kuat maka semakin berat pula ujiannya.


Jikalau agamanya lemah maka ia akan diuji juga sesuai dengan
kualitas agamanya. Seorang hamba akan mendapatkan cobaan
hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari
dosa. Wallahualam.

Tafsir Ali Imran Ayat 133-143


Ayat 133-136: Menerangkan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera
bertobat, menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa
dan masuk surga

)١٣٣( ‫َو َس اِر ُع وا ِإَلى َم ْغ ِفَر ٍة ِم ْن َر ِّبُك ْم َو َج َّنٍة َع ْر ُض َها الَّس َم اَو اُت َو األْر ُض ُأِع َّد ْت ِلْلُم َّتِقيَن‬
‫اَّلِذ يَن ُيْنِفُقوَن ِفي الَّسَّراِء َو الَّضَّراِء َو اْلَك اِظِم يَن اْلَغْيَظ َو اْلَع اِفيَن َع ِن الَّناِس َو ُهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن‬
‫) َو اَّلِذ يَن ِإَذ ا َفَع ُلوا َفاِح َش ًة َأْو َظَلُم وا َأْنُفَس ُهْم َذ َك ُروا َهَّللا َفاْسَتْغ َفُروا ِلُذ ُنوِبِهْم َو َم ْن َيْغ ِفُر‬١٣٤(
‫)ُأوَلِئَك َج َزاُؤُهْم َم ْغ ِفَر ٌة ِم ْن َر ِّبِهْم‬١٣٥( ‫الُّذ ُنوَب ِإال ُهَّللا َو َلْم ُيِص ُّر وا َع َلى َم ا َفَع ُلوا َو ُهْم َيْع َلُم وَن‬
١٣٦( ‫َو َج َّناٌت َتْج ِر ي ِم ْن َتْح ِتَها األْنَهاُر َخ اِلِد يَن ِفيَها َو ِنْع َم َأْج ُر اْلَع اِمِليَن‬

Terjemah Surat Ali Imran Ayat 133-136

133. Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,

134. (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit[1], dan orang-
orang yang menahan amarahnya[2] dan mema'afkan (kesalahan) orang lain[3]. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan[4].
135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri
sendiri[5], segera mengingat Allah[6], lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya[7], dan
siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak
meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.

136. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi
orang-orang yang beramal.

Ayat 137-141: Sunnatullah ‘Azza wa Jalla dalam memberikan cobaan,


penghapusan dosa dan bergulirnya hari dan peristiwa

‫) َهَذ ا‬١٣٧( ‫َقْد َخ َلْت ِم ْن َقْبِلُك ْم ُس َنٌن َفِس يُروا ِفي األْر ِض َفاْنُظروا َك ْيَف َك اَن َعاِقَبُة اْلُم َك ِّذ ِبيَن‬
‫) َو ال َتِهُنوا َو ال َتْح َز ُنوا َو َأْنُتُم األْع َلْو َن ِإْن ُكْنُتْم‬١٣٨( ‫َبَياٌن ِللَّناِس َو ُهًدى َو َم ْو ِع َظٌة ِلْلُم َّتِقيَن‬
‫) ِإْن َيْمَس ْس ُك ْم َقْر ٌح َفَقْد َم َّس اْلَقْو َم َقْر ٌح ِم ْثُلُه َو ِتْلَك األَّياُم ُنَداِو ُلَها َبْيَن الَّناِس‬١٣٩( ‫ُم ْؤ ِمِنيَن‬
‫) َو ِلُيَم ِّح َص ُهَّللا اَّلِذ يَن‬١٤٠( ‫َو ِلَيْع َلَم ُهَّللا اَّلِذ يَن آَم ُنوا َو َيَّتِخ َذ ِم ْنُك ْم ُش َهَداَء َو ُهَّللا ال ُيِح ُّب الَّظاِلِم يَن‬
١٤١( ‫آَم ُنوا َو َيْمَح َق اْلَك اِفِر يَن‬

Terjemah Surat Ali Imran Ayat 137-141

137.[8] Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah[9]; karena itu
berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang yang mendustakan (rasul-rasul).

138. (Al Quran) ini[10] adalah keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi
petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

139.[11] Janganlah kamu merasa lemah[12], dan jangan (pula) bersedih hati[13], sebab
kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.

140. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar)
mendapat luka yang serupa[14]. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan
di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)[15], dan agar Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)[16] dan agar sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[17]. Allah tidak menyukai orang-orang yang
zalim[18],

141. Demikian juga agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka)
[19] dan membinasakan orang-orang yang kafir[20].

Ayat 142-143: Teguran Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada sebagian sahabat


yang hadir perang Uhud

‫) َو َلَقْد ُكْنُتْم‬١٤٢( ‫َأْم َح ِس ْبُتْم َأْن َتْد ُخ ُلوا اْلَج َّنَة َو َلَّم ا َيْع َلِم ُهَّللا اَّلِذ يَن َج اَهُد وا ِم ْنُك ْم َو َيْع َلَم الَّصاِبِر يَن‬
١٤٣( ‫َتَم َّنْو َن اْلَم ْو َت ِم ْن َقْبِل َأْن َتْلَقْو ُه َفَقْد َر َأْيُتُم وُه َو َأْنُتْم َتْنُظُروَن‬
Terjemah Surat Ali Imran Ayat 142-143

142. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga[21], padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad[22] di antara kamu dan belum nyata orang-orang yang
sabar.

143. Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya[23];


maka (sekarang) kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya[24].

[1] Yakni ketika mereka lapang, mereka banyak berinfak, namun ketika susah mereka tidak
meremehkan perkara ma'ruf meskipun kecil.

[2] Padahal mampu melampiaskan amarahnya dan bersabar dari membalas orang yang
berbuat buruk kepada mereka.

[3] Dengan tidak membalas.

[4] Untuk dapat memahami ayat ini kami bawakan kisah berikut –terlepas apakah kisah ini
sahih atau tidak- hanya saja kita dapat mengambilnya sebagai pelajaran. Kisah ini
disebutkan dalam kitab Minhajul Muslim ketika menerangkan tentang ihsan:

Dahulu seorang majikan pernah dibuat marah oleh budaknya, majikannya pun marah dan
hendak menghukumnya, maka budaknya membacakan ayat, “Wal kaazhimiinal ghaizh”
(Dan orang-orang yang menahan marahnya), maka majikannya berkata, “Ya, saya tahan
marah saya.” Budaknya membacakan ayat lagi, “Wal ‘aafiina ‘anin naas” (serta memaafkan
orang lain), maka majikannya berkata, “Ya, kamu saya maafkan.” Budaknya lalu
membacakan lagi, “Wallahu yuhibbul muhsininiin” (Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat ihsan), maka majikannya berkata, “Sudah pergi sana, kamu merdeka karena Allah
Ta’ala.”

Inilah contoh menahan marah, memaafkan orang lain dan berbuat ihsan.

Ihsan terbagi menjadi dua:

1. Ihsan dalam beribadah.

Ihsan dalam beribadah ditafsirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya,
yaitu, "Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak
merasa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim)

2. Ihsan kepada makhluk

Sedangkan ihsan kepada makhluk adalah memberikan manfaat baik yang bersifat agama
maupun dunia kepada makhluk serta menghindarkan keburukan dari mereka. Termasuk ke
dalamnya beramr ma'ruf dan bernahi munkar, mengajarkan orang yang tidak tahu,
menasehati orang yang lalai, memberikan sikap nasihat (tulus) kepada manusia secara
umum maupun khusus, berusaha menyatukan mereka, memberikan sedekah dan nafkah
yang wajib maupun sunat sesuai keadaan mereka dan sifatnya, memberikan kedermawanan,
menghindarkan gangguan dan siap memikul gangguan yang menyakitkan.
[5] Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang akibatnya tidak hanya
menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menzalimi diri sendiri ialah
melakukan dosa yang akibatnya hanya menimpa diri sendiri baik besar atau kecil. Adapula
yang mengartikan perbuatan keji di sini dengan dosa besar, sedangkan maksud "menzalimi
diri sendiri" adalah dosa kecil.

[6] Yakni mengingat siksa-Nya dan mengingat janji-Nya yang diberikan kepada orang-orang
yang bertakwa.

[7] Mereka segera beristighfar dan bertobat, berhenti melakukannya dan merasa menyesal.

[8] Ayat ini turun setelah perang Uhud untuk menghibur kaum mukmin. Di dalamnya
terdapat perintah bagi kaum mukmin agar memperhatikan kesudahan yang dialami oleh
orang-orang yang mendustakan rasul agar mereka tidak bersedih karena kekalahan mereka
di perang Uhud dan bahwa kesudahan yang baik (seperti kemenangan) akan didapatkan
oleh orang-orang yang bertakwa.

[9] Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa
malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.

[10] Ada yang menafsirkan kata "ini" di ayat ini dengan kebinasaan yang dialami oleh orang-
orang yang mendustakan para rasul. Maksudnya, bahwa binasanya orang-orang yang
menentang rasul itu terdapat dalil yang jelas siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa
yang beruntung dan siapa yang sengsara sekaligus sebagai penegakkan hujjah bagi manusia.
Demikian juga di dalamnya terdapat petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa, di mana semua itu menjadikan mereka menempuh jalan yang lurus dan
menghindari jalan yang sesat setelah menyaksikan perstiwa yang dialami oleh mereka yang
menentang rasul.

[11] Di ayat ini, Allah membangkitkan semangat kaum mukmin.

[12] Dalam berjihad melawan orang-orang kafir.

[13] Karena kekalahanmu di perang Uhud. Hal itu, padahal merasa lemah dan bersedih akan
menambah musibah bagi kamu.

[14] Lihat pula surat An Nisaa': 104.

[15] Di antara hikmahnya pula adalah karena dunia ini diberikan Allah untuk orang mukmin
dan orang kafir, orang baik dan orang jahat. Berbeda dengan di akhirat, maka kebahagiaan
hanya diperuntukkan kepada orang-orang mukmin.

[16] Ini pun termasuk hikmah Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan kekalahan, yakni
agar diketahui siapa yang mukmin dan siapa yang munafik. Hal itu, karena jika kemenangan
selalu didapatkan oleh kaum mukmin, tentu saja akan masuk Islam orang-orang yang
sebenarnya tidak menginginkannya. Berbeda, jika terkadang menang dan terkadang kalah,
maka akan diketahui dengan jelas orang yang mukmin, orang yang memang menginginkan
Islam baik pada saat sempit maupun lapang, saat susah maupun mudah, saat senang
maupun tidak.

[17] Syuhada' di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk
menegakkan agama Allah. Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi
saksi atas manusia sebagaimana tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah. Mati sebagai
syuhada' merupakan derajat yang sangat tinggi di sisi Allah, dan dengan adanya kekalahan
itu orang-orang akan memperoleh derajat yang tinggi tersebut serta kenikmatan yang kekal.
Shadaqallah (Maha Benar Allah).

[18] Nampaknya kata-kata ini tertuju kepada kaum munafik sebagai celaan bagi mereka dan
bahwa mereka dibenci Allah, oleh karenanya Allah menjadikan mereka mundur. Allah
berfirman:

"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk
keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah
melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu
bersama orang-orang yang tinggal itu." (Terj. At Taubah: 46)

[19] Ayat ini menunjukkan bahwa gugur sebagai syahid dan berperang di jalan Allah
merupakan sebab terhapusnya dosa.

[20] Yakni sebagai sebab dibinasakan orang-orang kafir. Kalau pun mereka menang, lalu
bertambah kekafirannya, maka mereka berhak mendapatkan hukuman yang disegerakan
karena sayangnya Allah kepada kaum mukmin.

[21] Yakni janganlah kamu mengira bawa seseorang masuk surga bisa dilakukan dengan
santai tanpa ada rasa masyaqqah (kesulitan) sama sekali dan tanpa memikul beban-beban
berat di jalan Allah, karena sesungguhnya surga yang penuh kenikmatan adalah cita-cita
yang paling tinggi. Semakin tinggi sesuatu yang diharapkan, maka semakin berat pula
sarana untuk mencapai ke arah sana. Tidak mungkin kenikmatan yang begitu besar diraih
dengan santai dan berleha-leha. Namun demikian, beban-beban berat itu akan menjadi
ringan di sisi orang-orang yang memiliki bashirah (mata hati) dan beban-beban itu menjadi
nikmat. Yang demikian merupakan karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.

[22] Jihad dapat berarti: a. Berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-
orang Islam; b. Memerangi hawa nafsu; c. Mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam
dan umat Islam; d. Memberantas kejahatan dan menegakkan kebenaran.

[23] Maksudnya: sebelum perang Uhud banyak para sahabat terutama yang tidak ikut
perang Badar menganjurkan agar Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari
kota Madinah memerangi orang-orang kafir.

[24] Yakni mengapa kalian kemudian tidak bersabar ketika menghadapinya. Dalam ayat ini
terdapat dalil bahwa tidak makruh menginginkan mati syahid, hal ini diketahui karena Allah
mengakui sikap mereka dan tidak mengingkarinya, yang Allah ingkari hanyalah ketika
mereka tidak mengamalkan konsekwensinya, wallahu a'lam.

Kisah di Masa Rasulullah, Lafal Adzan Diubah dan Diminta


Sholat di Rumah

Jakarta - Wabah virus corona atau COVID-19 berdampak nyata pada


kegiatan sehari-hari, termasuk sholat berjamaah yang biasa
dilakukan di masjid. Dalam fatwanya, Majelis Ulama Indonesia atau
MUI membolehkan masyarakat yang terinfeksi virus corona atau
berada di wilayah dengan risiko penularan tinggi untuk sholat di
rumah.
"Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya
tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang
berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan
menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta
meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied
di masjid atau tempat umum lainnya," tulis MUI.

Kebijakan sholat di rumah ternyata sempat terjadi di zaman para


sahabat Nabi Muhammad SAW. Hujan dan jalanan berlumpur
berisiko menyulitkan para muslim yang hendak menunaikan sholat
bersama-sama di masjid. Ajakan menunaikan sholat di rumah itu
konsekuensinya harus dengan mengubah bunyi adzan yang semula
mengajak sholat di masjid menjadi sholat di rumah.

‫ َص اِحِب الِّز َياِد ِّي َو َعاِص ٍم اَألْح َو ِل‬، ‫ َو َع ْبِد اْلَحِم يِد‬، ‫ َع ْن َأُّيوَب‬، ‫ َقاَل َح َّد َثَنا َحَّم اٌد‬، ‫َح َّد َثَنا ُمَس َّدٌد‬
‫ َفَلَّم ا َبَلَغ اْلُم َؤ ِّذ ُن َحَّى َع َلى‬،‫َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن اْلَح اِر ِث َقاَل َخ َطَبَنا اْبُن َعَّباٍس ِفي َيْو ٍم َر ْد ٍغ‬
‫ َفَنَظَر اْلَقْو ُم َبْعُضُهْم ِإَلى َبْع ٍض َفَقاَل َفَعَل َهَذ ا َم ْن‬. ‫ َفَأَم َر ُه َأْن ُيَناِدَي الَّص َالُة ِفي الِّر َح اِل‬.‫الَّص َالِة‬
.‫ُهَو َخْيٌر ِم ْنُه َو ِإَّنَها َع ْز َم ٌة‬
Artinya: Seperti dinarasikan `Abdullah bin Al-Harith: "Hari itu sedang
hujan dan berlumpur saat Ibnu Abbas hendak sholat bersama kami.
Ketika muadzin yang mengumandangkan adzan berkata Hayyaa
'alas Salaah, Ibnu Abbas mengatakan untuk mengubahnya menjadi
As Shalaatu fir Rihaal (sholatlah di rumah masing-masing). Orang-
orang saling melihat dengan wajah kaget. Ibny berkata, hal ini
pernah dilakukan di masa orang yang lebih baik dibanding dirinya
(merujuk pada masa Rasulullah SAW) dan ini terbukti." (HR Bukhari).

Hadits lain juga mengungkapkan perubahan bunyi adzan, yang


menyuruh muslim sholat di rumah dari yang semula di masjid.

‫ َقاَل َأَّذ َن اْبُن ُع َم َر ِفي‬،‫ َقاَل َح َّد َثِني َناِفٌع‬، ‫ َع ْن ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن ُع َم َر‬،‫ َقاَل َأْخ َبَر َنا َيْح َيى‬، ‫َح َّد َثَنا ُمَس َّدٌد‬
‫ َفَأْخ َبَر َنا َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم َك اَن‬، ‫َلْيَلٍة َباِر َد ٍة ِبَض ْج َناَن ُثَّم َقاَل َص ُّلوا ِفي ِر َح اِلُك ْم‬
‫ ِفي الَّلْيَلِة اْلَباِر َد ِة َأِو اْلَم ِط يَر ِة ِفي‬. ‫ َأَال َص ُّلوا ِفي الِّر َح اِل‬،‫ ُثَّم َيُقوُل َع َلى ِإْثِر ِه‬، ‫َيْأُم ُر ُم َؤ ِّذ ًنا ُيَؤ ِّذ ُن‬
‫الَّس َفِر‬
Artinya: Seperti dinarasikan Nafi: "Di suatu malam yang dingin, Ibnu
'Umar mengumandangkan adzan ketika hendak sholat di Dajnan dan
mengatakan Shalu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu). Dia
mengatakan, Rasulullah SAW pernah menyuruh muadzin
mengumandangkan Shalu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu) saat
adzan di malam yang hujan atau sangat dingin dalam perjalanan."
(HR Bukhari).
Dengan hadits tersebut, Islam menyatakan diri sebagai agama yang
tegas namun memberi toleransi pada umatnya. Apalagi di situasi
yang berisiko bagi kesehatan atau keselamatan umat Islam. Dengan
sholat di rumah, umat Islam diharapkan tetap sehat dan terhindari
dari infeksi COVID-19. Tentunya, umat Islam wajib mendoakan
kesehatan dan keselamatan semua orang dalam situasi pandemi
COVID-19.

Pada dasarnya Keputusan para Ulama bahwa shaf-shaf shalat berjamah wajib
mudhobit dan tersambung. Tidak diperkenankan shaf terputus antara shaf.
Ada beberapa dalil yang dijadikan rujukan dalam permasalahan ini.
Hadist pertama :
‫( أال‬: ‫عن جابر بن سمرة رضي الله عنه أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال‬
‫ يا رسول الله وكيف تصف المالئكة‬: ‫تصفون كما تصف المالئكة عند ربها ! فقلنا‬
‫ وعن‬. ‫ويتراصون في الصف ) رواه مسلم‬،‫ يتمون الصف األول‬: ‫عند ربها ؟ قال‬
‫( أتموا الصف األول‬: ‫أنس رضي الله عنه أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال‬
‫فإن كان نق ٌص فيكون في الصف المؤخر ) رواه أحمد وأبو داود‬،‫ثم الذي يليه‬
‫والنسائي وابن ماجة وهو حديث حسن كما قال الحافظ ابن حجر العسقالني‬.

Dari Jabir bin Samra, semoga Tuhan meridhoi dia, bahwa Rasul, SAW besertanya,
berkata: (Apakah kamu tidak berbaris (shaf) seperti yang dilakukan malaikat di
hadapan Rabb mereka! Jadi kami berkata: Wahai Rasulullah, dan bagaimana para
malaikat berbaris di hadapan Rabb nya? Rasulullah SAW berkata: Mereka
menyelesaikan baris pertama dan berbaris di baris setelahnya ) Diceritakan oleh
Muslim. Dari Anas. RA bahwa Rasulullah, semoga doa dan saw, bersabda: “Selesaikan
baris pertama dan kemudian berikutnya, dan jika ada kekurangan, itu akan di baris
belakang.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa’i, dan Ibn Majah, dan itu
adalah hadits yang baik, seperti yang dikatakan Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalani.
Hadits kedua:

‫( ُر ُّص وا‬: ‫وعن أنس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال‬
‫ فوالذي نفسي بيده إني ألرى الشيطان‬،‫صفوفكم قاربوا بينها وحاذوا األعناق‬
‫يدخل في خلل الصفوف كأنها الحذف ) رواه أبو داود وابن حبان‬
‫ وا َل ح َذ ف غن ٌم سوٌد صغا ٌر‬. ‫وصححه‬.
Dari Anas, semoga Tuhan meridhoi dia, dari Rasulullah SAW bersabda: “Satukan
barisanmu, rapatkan di antara mereka dan luruskan lehernya, sehingga aku melihat
iblis masuk melalui barisan seolah-olah mereka menghapus.” Dikisahkan oleh Abu
Dawud dan Ibn Hibban menurutnya hadist ini derajatnya hasan. Dan dimaksud
menghapus adalah domba hitam kecil.

: ‫وعن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال‬
‫وال‬،‫ولينوا بأيدي إخوانكم‬،‫وسدوا الخلل‬،‫وحاذوا بين المناكب‬،‫( أقيموا الصفوف‬
) ‫ومن قطع صف ًا قطعه الله‬،‫ومن وصل صف ًا وصله الله‬،‫تذروا فرجا ٍت للشيطان‬
‫ ففي هذه األحاديث األمر بإقامة‬. ‫وصححه العالمة األلباني‬،‫رواه أبو داود‬
‫الصفوف وتسويتها واتصالها والتحذير من قطعها‬.
Dari Abdullah Ibn Umar, semoga Tuhan meridhoi mereka berdua, bahwa Rasulullah,
semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, bersabda: (Menetapkan
baris, baris baris, menutup cela-cela, dan bersandar dengan tangan saudara-saudara
kalian, dan tidak meninggalkan cela-cela untuk setan, dan siapa pun yang bergabung
dalam shaf shalat, Allah akan menyambungnya, dan siapa pun yang memutus (shaf),
Allah akan memutusnya)

Al-Allama Al-Albani mengklasifikasikan hadist ini sebagai hadist shahih, dalam


hadits ini perintah untuk mengatur shaf shalat, meluruskannya, dan
menyambungkannya, dan memperingatkan agar tidak memutusnya.
berdasarkan dalil ini maka para ulama sepakat bahwa shaf harus tersambung dan
mudhobit.
namun terjadi perbedaan ulama hukum shaf makmum terhalang oleh pembatas atau
hijab dan makmum di luar masjid. terutama karena ada kondisi yang darurat karena
masjid penuh. Apakah sah shalat berjamaahnya atau tidak?
Jawaban :
Pertama : ulama mengatakan hukumnya sah shalat makmum terhalang oleh pembatas
atau hijab dan makmum di luar masjid dengan syarat dapat mendengar takbir Imam
dan juga gerakan imam atau makmum yang bersambung dengan imam. Ini merupakan
pendapat As-Syafi’iyyah dan Malikiyyah, dan sebagian riwayat Ahmad.

berdasarkan dalil berikut ini

،‫وسئل اإلمام أحمد أيض ًا عن رج ٍل يصلي يوم الجمعة وبينه وبين اإلمام سترة‬
‫ إذا لم يقدر على غير ذلك‬: ‫فقال‬.
Imam Ahmad juga ditanyai tentang seorang pria yang shalat pada hari Jumat dan
antara makmun dan Imam ada penghalan, dan dia berkata: Jika dia tidak mampu
melakukan yg harusnya (menyambung shaf shalat).

maksudnya sah hukumnya, jika dia tidak bisa lakukan kecuali hal tersebut yaitu
shalat ada penghalangnya
‫[ فإن كان بين اإلمام والمأموم حائ ٌل يمنع رؤية‬: ‫وقال الشيخ ابن قدامة المقدسي‬
‫ إحداهما ال يصح االئتمام به‬: ‫ فقال ابن حامد فيه روايتان‬،‫ أو من وراءه‬،‫اإلمام‬
‫ ال تصلين بصالة‬: ‫ ألن عائشة قالت لنسا ٍء كَّن يصلين في حجرتها‬،‫اختاره القاضي‬
‫ والثانية‬. ‫ وألنه ال يمكنه االقتداء به في الغالب‬. ‫ فإنكن دونه في حجاب‬،‫اإلمام‬
‫ قال أحمد في رج ٍل يصلي خارج المسجد يوم الجمعة وأبواب المسجد‬. ‫يصح‬
‫ وسئل عن رج ٍل يصلي يوم الجمعة وبينه وبين‬. ‫ أرجو أن ال يكون به بأ ٌس‬،‫مغلقة‬
‫ في المنبر إذا قطع الصف ال‬: ‫ وقال‬. ‫ إذا لم يقدر على غير ذلك‬: ‫قال‬،‫اإلمام سترة‬
‫ وألنه أمكنه االقتداء باإلمام فيصح اقتداؤه به من غير مشاهد ٍة‬. ‫يضر‬
،‫والعلم يحصل بسماع التكبير‬، ‫وألن المشاهدة ُتراد للعلم بحال اإلمام‬،‫كاألعمى‬
‫ وال فرق بين أن يكون المأموم في المسجد أو في‬،‫فجرى مجرى الرؤية‬
‫ ألن‬،‫ وال يصح في غيره‬،‫ أنه يصح إذا كانا في المسجد‬: ‫ واختار القاضي‬. ‫غيره‬
،‫ وال يصح في غيره لعدم هذا المعنى‬،‫المسجد محل الجماعة وفي مظنة القرب‬
‫ ولنا أن المعنى المجوز أو المانع قد استويا فيه فوجب استواؤهما‬. ‫ولخبر عائشة‬
‫ فإن لم يسمع‬،‫ وال بَّد لمن ال يشاهد أن يسمع التكبير ليمكنه االقتداء‬. ‫في الحكم‬
2/39 ‫ ألنه ال يمكنه االقتداء به ] المغني‬، ‫لم يصح ائتمامه به بحا ٍل‬.

Dan Syekh Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata: [Jika ada pembatas antara imam dan
jamaah yang menghalangi imam untuk melihat, atau di belakangnya, maka Ibn Hamid
mengatakan ada dua riwayat di dalamnya: Salah satunya tidak sah untuk
mengikutinya, dipilih oleh hakim, karena Aisyah Radhiyallahu anha berkata kepada
wanita yang biasa sholat di kamarnya: Jangan kalian sholat berjamaah kepada imam,
yang kalian terhalang dengannya. karena kalian tidak bisa sering meniru dia, dan
yang kedua benar. Ahmad berkata tentang seorang pria yang shalat di luar masjid
pada hari Jumat dengan pintu masjid tertutup, saya berharap tidak ada yang salah
dengan itu. Dia ditanyai tentang seorang pria yang shalat pada hari Jumat, dan
antara dia dan Imam ada penghalang, Dia berkata: Jika dia tidak mampu melakukan
yang sebaliknya.
Dia berkata: Di mimbar, jika dia memutus shaf shalat tidak ada salahnya, karena dia
bisa mengikuti gerakan imam, jadi sah shafnya jika mengikuti imam tanpa terlihat,
seperti orang buta, dan karena melihat (imam) itu dimaksudkan untuk mengikuti
gerakan imam, dan pengetahuan terjadi dengan mendengarkan takbir, jadi cara
menyaksikan imam (makmum melihat imam) dilakukan , dan tidak ada bedanya. Dia
menunjukkan bahwa mengikuti imam di dalam masjid atau di tempat lain, dan hakim
berkata: Sah jika mereka ada di masjid, dan tidak sah selain masjid, karena masjid
adalah tempat jemaah dan terkesan dekat, dan itu tidak berlaku di luar masjid
karena kurangnya Pengertian pada ini, dan riwayat Aisyah RA. Mereka
kedudukannya sama, Dia yang terhalang dari imam, harus mendengar takbir agar
bisa meniru, dan jika makmum tidak mendengar maka tidak sah mengikutinya dengan
cara apapun, karena makmum tidak bisa meniru imam ] Al-Mughni 2/39.
maksudnya adalah sah hukumnya makmum shalat berjamaah dengan imam dan ada
penghalangnya, dengan syarat makmum mendengar suara imam dan mengetahui
gerakan imam atau makmum (yang bersama dengan imam)
Pendapat lainnya adalah pendapat Syeikkh Al-Mardawai
‫[… يجوز فيها‬: ‫وقال الشيخ المرداوي الحنبلي بعد أن ذكر الخالف في المذهب‬
‫أو كان‬،‫نظر ًا للحاجة … وإن كانا خارجين عن المسجد‬، ‫ذلك على كال الروايتين‬
‫ولكن سمع‬،‫ولم يره وال من وراءه‬،‫المأموم خارج المسجد واإلمام في المسجد‬
‫ والرعاية‬،‫ قَّدمه في الفروع‬،‫ ال يصح‬: ‫ فالصحيح من المذهب‬،‫التكبير‬
‫وهو‬،‫وهو ظاهر كالم كثير من األصحاب‬،‫وابن تميم‬،‫والفائق‬،‫والمحرر‬،‫الكبرى‬
‫قال أحمد في رج ٍل يصلي خارج المسجد يوم‬،‫ وعنه يصح‬. ‫ظاهر كالم المصنف هنا‬
‫ وهو عين‬: ‫ قلت‬. ‫الجمعة وأبواب المسجد مغلقة أرجو أن ال يكون به بأ ٌس‬
‫ وعنه يصح في‬،‫ وعنه يصح في النفل‬،‫الصواب في الجمعة ونحوها للضرورة‬
2/293 ‫الجمعة خاصة ] اإلنصاف‬
Syekh Al-Mardawai Al-Hanbali berkata setelah menyebutkan perbedaan dalam
mazhab hambali: [… diperbolehkan (shalat ada penghalangnya ) di dalam masjid
menurut kedua riwayat tersebut, karena kebutuhan … dan jika mereka berada di luar
masjid, atau jika mengikuti imam berada di luar masjid dan imam ada di masjid, dan
dia tidak melihat dia atau orang-orang di belakangnya, tetapi dia mendengar takbir,
maka yang benar adalah dari mazhab hambali: Tidak sah, dia sampaikan di al-Furoo
‘, al-Ra’a al-Kabir, al-Muharrir, al-Faiq, dan Ibn Tamim, dan itu terlihat dari
perkataan banyak sahabat, dan itu dipahami dari zhahir perkataannya. Dan pendapat
beliau kata Ahmad adalah sah hukumnya pada seorang pria yang shalat di luar
masjid pada hari Jumat dan pintunya tertutup, saya berharap hukum tidak mengapa
hal tersebut . Saya katakan: Itu adalah pandangan yang benar tentang hari Jumat dan
permasalahan seperti itu karena darurat., dan dari situ sah bermakmun dengan imam
di luar masjid atau adanya penghalang boleh di shalat sunnah saja dan d berlaku
pada hari Jumat secara khusus ] Al-Insaaf 2/293
‫مثل أن تكون أبواب‬،‫ور َّج ح شيخ اإلسالم ابن تيمية جواز ذلك للحاجة مطلق ًا‬
‫[ وأما صالة المأموم خلف‬: ‫ حيث قال شيخ اإلسالم ابن تيمية‬،‫المسجد مغلقة‬
‫فإن كانت صفوٌف متصلة جاز‬، ‫اإلمام خارج المسجد أو في المسجد وبينهما حائ ٌل‬
‫ ففيه قوالن‬،‫وإن كان بينهما طريٌق أو نه ٌر تجري فيه السفن‬،‫باتفاق األئمة‬
. ‫كقول أبي حنيفة‬،‫ المنع‬: ‫ أحدهما‬: ‫معروفان هما روايتان عن أحمد‬
‫ وأما إذا كان بينهما حائ ٌل يمنع الرؤية‬. ‫ كقول الشافعي‬: ‫ الجواز‬: ‫والثاني‬
‫ ال‬: ‫وقيل‬،‫ يجوز‬: ‫ قيل‬. ‫ ففيهما عدة أقوال في مذهب أحمد وغيره‬،‫واالستطراق‬
‫وال يجوز بدون‬،‫ يجوز مع الحاجة‬: ‫وقيل‬،‫ يجوز في المسجد دون غيره‬: ‫وقيل‬،‫يجوز‬
‫وال ريب أن ذلك جائز مع الحاجة مطلق ًا مثل أن تكون أبواب المسجد‬،‫الحاجة‬
‫فهنا لو كانت‬،‫أو تكون المقصورة التي فيها اإلمام مغلقة أو نحو ذلك‬،‫مغلقة‬
23/408 ‫الرؤية واجبة لسقطت للحاجة ] مجموع فتاوى ابن تيمية‬.
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah lebih memilih bahwa hal ini diperbolehkan secara
mutlak, seperti pintu masjid ditutup , seperti yang dikatakan Syekh al-Islam Ibnu
Taimiyyah: [Adapun shalat jamaah di belakang imam di luar masjid atau di masjid
dan ada pembatas di antara mereka, jika ada baris yang terus menerus dibolehkan
hukumnya sesuai dengan kesepakatan para imam, dan jika ada jalan di antara mereka
Atau sungai yang dilalui kapal, dan ada dua riwayat dari Ahmad: Salah satunya
larangan (beliau melarang shalat ada penghalangnya ), seperti yang dikatakan oleh
Abu Hanifa.
Dan yang kedua: diperbolehkan: seperti ucapan Al-Syafi’i. Tetapi jika ada pembatas
di antara mereka yang menghalangi penglihatan dan mengetahui gerakan imam, maka
ada beberapa pendapat dalamnya masalah ini. dalam mazhab Ahmed dan lain-lain.
Pendapat pertama : Itu diperbolehkan
pendapat kedua : Tidak diperbolehkan, ….
Pendapat ketiga : Itu tidak diperbolehkan di masjid saja,
Pendapat keempat : Itu tidak diperbolehkan jika tidak Perlu, dan tidak ada keraguan
bahwa ini diperbolehkan dengan kebutuhan yang mutlak, seperti jika pintu masjid
ditutup, atau mihrob tempat imam ditutup atau semacamnya.Di sini, jika riwayat
(harus menyambung shaf) itu wajib hukumnya, maka jatuh hukum kewajiban
disebabkan kebutuhan ] Majmoo ‘Fataawa Ibn Taymiyyah 23/408.
Pendapat lainnya yang membolehkan shalat berjamaah namun ada penghalang
‫وعند المالكية يجوز الفصل بين اإلمام والمأموم في جميع الحاالت إال إذا كان ال‬
‫ ففي مثل هذه‬،‫يسمع أقواله وال يرى أفعاله وال أقوال أو أفعال أحد من مأموميه‬
‫ وجاز فصل‬: ‫ قال الشيخ عليش في منح الجليل‬،‫الحالة فقط ال يجوز أن يقتدي به‬
‫مأموم عن إمامه بنهر صغير أي غير مانع من سماع أقوال اإلمام أو مأموميه‬
‫ يجوز ألهل‬: ‫ اللخمي‬،‫أو رؤية أفعاله أو أفعال مأموميه … أو طريق صغير كذلك‬
1/375 . ‫ وإن فرقت الطريق بينهم وبين إمامهم‬،‫األسواق أن يصلوا جماعة‬.

Menurut para Maliki, dalam semua keadaan makmun dibolehkan adanya pemisah
atara dirinya dengan imam, kecuali makmum tidak mendengar perkataan imam dan
tidak melihat perbuatan imam, atau ucapan atau gerakan makmum (yang tersambung
dengan imam) dalam kasus seperti itu (dimana makmum tidak mendengar suara
imam) maka tidak sah mengikuti imam tersebut.
Berkata syeikh alisy di manh jalil, boleh imam dan makmum terpisah oleh sungai
kecil, artinya, tidak ada keberatan untuk mendengarkan ucapan imam atau
makmumnya, atau melihat perbuatannya atau perbuatan para makmumnya … atau
juga dipisah (antara imam dan makmum) oleh jalan kecil, Al-Lakhmi: Masyarakat
pasar dibolehkan untuk shalat berjamaah, meskipun jalan itu memisahkan mereka
dari imamnya. 1/375.

Kedua : pendapat yang tidak sah shaf shalat dengan terputusnya shaf antara imam
dan makmun dengan pembatas, harus tersambungnya shaf. Pendapat ini adalah
pendapat Hanafiyyah dan sebagian riwayat Imam Ahmad atau hanabilah.
Bagi Hanabilah tidak cukup mendengarkan suara imam. Tapi juga harus melihat
imam atau makmum yang bersama satu masjid dengan imam. Namun dalam riwayat
yang lain mengatakan cukup mendengar imam dan mengetahui gerakan imam atau
makmum yang membersamainya.
Berikut ini ada fatwa Lajnah Ifta’ Mesir.
‫ ومن ذلك‬،‫تنضبط أحكام اإلمامة واالقتداء بمجموعة من الضوابط واألحكام‬
‫ فإذا كان اإلمام يقف في المسجد والمأموم‬،‫اختالف موضع اإلمام والمأموم‬
‫ بين صفوف المسجد والصفوف التي‬-‫ حائط مث ًال‬- ‫ وجب أال يحول حائل‬،‫خارجه‬
‫ كما يشترط قرب المسافة بين المسجد والمأموم الواقف‬،‫تقف خارج المسجد‬
‫] من‬168 / 1 ‫خارجه بما ال يزيد عن مائة وخمسين متر ًا؛ كما جاء في [ اإلقناع‬
‫ “ وإن صلى اإلمام في المسجد والمأموم خارج المسجد‬: ‫كتب فقهاء الشافعية‬
‫ بأن ال يزيد ما بينهما على ثالثمائة‬،‫ من المسجد‬: ‫ أي‬،‫حالة كو ِن ه قريب ًا منه‬
‫ معتبر ًا من آخر المسجد [ جاز ] ؛ ألن المسجد كله شيء واحد؛ ألنه‬،‫ذراع تقريب ًا‬
‫”محل الصالة فال يدخل في الحد الفاصل‬.
Aturan-aturan imamah dan mengikuti seperangkat ketentuan dan hukum yang
ditetapkan, termasuk perbedaan kedudukan imam dan makmum, maka jika imam
berdiri di dalam masjid dan makmum di luarnya, maka wajib tidak ada pemisah
tembok – misalnya – antara barisan masjid dan barisan yang berdiri di luar masjid,
dan diperlukan jarak yang dekat antara masjid dengan jemaah yang berdiri. Di
luarnya tidak lebih dari seratus lima puluh meter ; Seperti yang dikatakan dalam [Al-
Iqna’a 1/168] dari kitab-kitab ahli hukum Syafi’i: “Dan jika imam shalat di masjid
dan jemaah di luar masjid jika dia dekat dengannya, yaitu: dari masjid, yang ada di
antara mereka tidak melebihi kira-kira tiga ratus hasta, mengingat ujung masjid
[mungkin] Karena masjid itu semuanya satu, karena itu tempat sholat, jadi tidak
masuk batas.
‫ مع وجود صفوف خارج‬،‫أما وجود فراغ في الصفوف التي تقف في المسجد‬
‫ وإنما تنقص من ثواب الجماعة؛‬،‫ فال تؤثر على صحة صالة الجماعة‬،‫المسجد‬
‫ وأن ال يشرع في صف‬،‫ “ ويسن سد فرج الصفوف‬: ‫كما قال العالمة الشربيني‬
‫ فلو خالفوا‬،‫ وهذا كله مستحب ال شرط‬،‫ وأن يفسح لمن يريده‬،‫حتى يتم األول‬
]493 / 1 ‫صحت صالتهم مع الكراهة ” [ مغني المحتاج‬.
Adapun adanya ruang kosong pada barisan yang berdiri di dalam masjid, bila
terdapat barisan di luar masjid tidak mempengaruhi keabsahan shalat jamaah,
melainkan mengurangi pahala jamaah. Syeikh Al-Syarbini juga berkata: “Itu
diberlakukan untuk menutup kekosongan shaf, dan itu tidak buat shaf baru sampai
yang pertama selesai, dan hendaknya meluaskan shafnya untuk siapa pun yang
menginginkannya, dan semua ini diinginkan, bukan syarat. Kalaupun mereka
menyalahinya maka shalatnya sah disertai dengan makruh. mughani almuhtaj 1 /493 ].
‫ فيشترط لصحة اقتداء المأموم باإلمام من خارج المسجد أن تكون‬،‫وعليه‬
،‫ وأال يحول حائل بينه وبين صفوف المسجد‬،‫المسافة بينه وبين اإلمام قريبة‬
. ‫وكذلك تصح صالة المأموم الذي ترك فرجة في الصفوف المتقدمة مع الكراهة‬
‫والله تعالى أعلم‬.
Atas dasar itu, syarat sah berjamaah bagi yang makmum mengikuti imam dari luar
masjid hendaknya jarak antara makmum dengan imam yang dekat, dan tidak ada
pembatas yang menghalanginya dari barisan masjid.Selain itu, tidak disukai sholat
jemaah yang meninggalkan celah di barisan depan.Wallahu A’lam.
Kesimpulan.
Dalam suatu pertanyaan yang ditujukan kepada saya tentang hukum shalat
berjamaah dengan posisi makmum berada di luar masjid dengan jarak yang dekat dan
dipisahkan oleh dinding yang transparan / kaca, makmum di luar dapat mendengar
suara imam melalai mikropon, ditambah kondisi jamaah yang membludak ke luar
masjid maka hukum shalatnya sah, berdasarkan pendapat para ulama diantaranya
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, dan sebagian riwayat Imam Ahmad. Wallahu A’lam.
Referensi :
Al-Mughni 2/39.
Al-Iqna’a 1/168

Doa Rasulullah SAW di Malam Lailatul Qadar


Umat islam berlomba mendapatkan kemuliaan Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan ini. Malam Lailatul Qadar merupakan malam penuh pelimpahan keutamaan dari
Allah SWT bagi para umatnya.
Di malam ini, Allah SWT akan melipatgandakan pahala ibadah kita. Pahalanya setara dengan
ibadah malam seribu bulan atau lebih dari 80 tahun. Untuk mendapatkan kemuliaan malam
Lailatul Qadar, kita perlu meningkatkan amalan.
Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa kepada Aisyah RA di malam Lailatul Qadar. Pada
waktu itu, Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW:

‫َر ُسوَل ِهَّللا َأَر َأْيَت ِإْن َع ِلْم ُت َأُّى َلْيَلٍة َلْيَلُة اْلَقْد ِر َم ا َأُقوُل ِفيَها َقاَل ُقوِلى الَّلُهَّم ِإَّنَك َع ُفٌّو ُتِح ُّب‬
‫اْلَع ْفَو َفاْعُف َع ِّنى‬
"Wahai Rasulullah, seandainya aku mendapati malam Lailatul Qadar, doa apa yang aku
baca?”
Menjawab pertanyaan Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda:

‫الَّلُهَّم ِإَّنَك َع ُفٌّو ُتِح ُّب اْلَع ْفَو َفاْعُف َع ِّني‬


“Bacalah: Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwan fa'fu 'anni."
Doa tersebut berarti “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Zat Maha Pengampun lagi Maha
Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami.”
Doa tersebut diriwayatkan dalam Hadis Riwayat Tirmidzi. Hadis ini sahih menurut Imam Al-
Bukhari dan Muslim.

Hadis Tentang Minum Khamar dan Tidak Diterima Shalat Seseorang


Selama 40 Hari

Hadis Tentang Minum Khamar dan Tidak Diterima Shalat Seseorang Selama 40 Hari
Abstrak: dalam tlisan ini membuktikan bahwa Hadist “ kullu mukharromin
khomrun ” yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Turmudzi berstatus shahih penelitian
ini mengkaji hadist yang oleh sebagian kalangan dianggap “ mursal “ ada juga yang
meletakkah “ ghorib “ oleh karenanya penulis tergelitik untuk mengkaji hadist tersebut.
Penelitian ini termasuk penelitian literer, metode yang ditempuh adalah metode penelitian
yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya. Sedang sifatnya, penelitian ini
termasuk bersifat deskriptif-analitik-komparatif dan interpretasi.

Kata Kunci: Hadist, shahih, Abu Daud, at-Turmudzi


Dalam hal ini penulis mengeluarkan seluruh hadits- hadits yang berkenaan dengan
minum khamar tidak diterima shalat selama 40 hari, dengan menggunakan kitab Mu’jam al-
Mufahrasy Li Alfadz al-Hadits an-Nabawy karya seorang orientalis kenamaan asal belanda
bernama Arnold JhonWensinck, selanjutnya penulis akan melakukan penelitian terhadap
perawi hadits, dalam hal ini penulis akan membatasi dengan hanya meneliti dua periwayat
saja, yaitu Abu Daud dan at-Turmudzi, karena matan hadits dalam kitab Ahmad bin Hanbal,
dan Ibnu Majah, terdapat kesamaan matan hadits.
Maka dari penilitian hadits tersebut secara keseluruhan dari segi kualitas berstatus
shahih serta sanadnya bersambung dan dari segi kuantitas berstatus shahih karena didukung
oleh hadits-hadits selain dari riwayat Abu Daud dan at-Turmudzi, maka hadits tersebut dapat
diamalkan Insyaallah
Penelusuran Sumber
Berdasarkan hasil penelusuran dalam kitab Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fazh al-Hadīts an-
Nabawi[1] dengan menelusuri kosa kata ‫ شرب‬Hadīts ini terdapat dalam jilid 3 halaman 85,
dengan kata kunci: ‫من شرب الخمر لم تقبل له صالة‬. Diperoleh bahwa Hadīts tersebut diriwayatkan
oleh empat orang Mukharrīj al-Hadīts, yaitu sebagai berikut:
1) Sunan Abu Daud, bab an-Nahyu ‘Ani as-Sukr (bab larangan minum khamar), jilid 3,
Hadīts no 3680, halaman 326.
2) Sunan at-Turmudzi, bab Ma jaa Fi Syaribi al-Khamr (bab apa-apa yang termasuk minum
khamar), jilid 3, Hadīts no 1869, halaman 341.
3) Sunan Ibnu Majah, bab Min Syaribi al-Khamr Lam Tuqbal Lahu Shalat (bab minum
khamar tidak diterima shalat), jilid 2, Hadīts no 3377, halaman 312.
4) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 2, halaman 176.
Namun dalam hal ini penulis memfokuskan pembahasan pada dua riwayat saja, yaitu
riwayat at-Turmudzi dan Abu Daud, karena dua riwayat tersebut terdapat perbedaan lafadz
Hadīts. Sedangkan riwayat yang selain itu akan penulis jadikan sebagai syahid dan tabi’,
karena matan Hadīts tersebut terdapat kesamaan makna.
Adapun jalur dan skema riwayat Hadīts tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sunan Abu Daud, bab an-Nahyu ‘Ani as-Sukr (bab larangan minum khamar)
‫َح َّد ثَـ َنا ُمَحَّم ُد ْبُن َر اِف ٍع النَّـ ْيَس اُبوِر ُّى َح َّد ثَـ َنا ِإبْـ َر اِهيُم ْبُن ُع َم َر الَّصنْـ َع اِنُّى َق اَل‬
‫ه‬ÁÁ‫صلى اهللا علي‬- ‫َس ِم ْع ُت النُّـ ْع َم اَن يَـ ُقوُل َع ْن َط اُو ٍس َع ِن اْبِن َع َّب اٍس َع ِن الَّنِبِّى‬
‫ َق اَل « ُك ُّل ُم َخ ِّم ٍر َخ ْم ٌر َو ُك ُّل ُم ْس ِكٍر َح َر اٌم َو َم ْن َش ِر َب ُم ْس ِكًرا ُبِخ َس ْت‬-‫وسلم‬
‫َص َالُتُه َأْر َبِع يَن َص َباًحا َفِإْن َتاَب َتاَب ُهَّللا َع َلْيِه َفِإْن َعاَد الَّراِبَع َة َك اَن َح قا َع َلى ِهَّللا‬
‫ ِقيَل َو َم ا ِط يَنُة اْلَخ َباِل َيا َر ُسوَل ِهَّللا َقاَل « َص ِد يُد َأْهِل‬.» ‫َأْن َيْس ِقَيُه ِم ْن ِط يَنِة اْلَخ َباِل‬
‫الَّناِر َو َم ْن َس َقاُه َص ِغ يًرا َال يَـْع ِر ُف َح َالَلُه ِم ْن َحَر اِمِه َك اَن َح قا َع َلى ِهَّللا َأْن َيْس ِقَي ُه‬
. »]2[ ‫ِم ْن ِط يَنِة اْلَخ َباِل‬
“Telah menceitakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ an-Naisabur, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Umar as-Shan’ani ia berkata, saya telah mendengar Nu’man berkata
dari Thaus dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw beliau bersabda: “segala sesuatu yang
memabukkan adalah khamar, sedangkan semua yang memabukkan adalah haram. Siapa yang
meminum sesuatu yang memabukkan, maka dihapuslah (pahala)shalatnya selama empat
puluh hari. Jka dia bertaubat maka Allah berkenan menerima taubatnya, namun juka dia
kembali untuk keempat kalinya (kembali minum arak setelah bertaubat) maka Allah berhak
memberikan minuman dari Thinah al-Khabal kepada dirinya, salah seorang sahabat lalu
bertanya, “wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan Thinah al-Khabal?” beliau
menjawab, “Thinah al-Khabal adalah nanah para penghuni neraka! Siapa yang meminumkan
khamar kepada anak kecil yang tidak mengetahui halal dan haramnya, maka Allah berhak
mencelupkan orang tersebut ke dalam nanah penghuni neraka tersebut.
b. Sunan at-Turmudzi, bab Ma jaa Fi Syaribi al-Khamr (bab apa-apa yang termasuk minum
khamar)
‫َح َّد ثَـَنا قُـتَـْيَبُة َح َّد ثَـَنا َج ِر يُر ْبُن َع ْبِد اْلَحِم يِد َع ْن َع َطاِء ْبِن الَّس اِئِب َع ْن َع ْب ِد ِهَّللا ْبِن‬
‫ه‬ÁÁ‫صلى اهللا علي‬- ‫ُع بَـْيِد ْبِن ُع َم ْيٍر َع ْن َأِبيِه َق اَل َع ْب ُد ِهَّللا ْبُن ُع َم َر َق اَل َر ُس وُل ِهَّللا‬
‫ « َم ْن َش ِر َب اْلَخ ْمَر َلْم يَـْقَبِل ُهَّللا َلُه َص َالًة َأْر َبِع يَن َص َباًحا َفِإْن َت اَب َت اَب ُهَّللا‬-‫وسلم‬
‫َع َلْيِه َفِإْن َعاَد َلْم يَـْقَبِل ُهَّللا َلُه َص َالًة َأْر َبِع يَن َص َباًحا َف ِإْن َت اَب َت اَب ُهَّللا َع َلْي ِه َف ِإْن‬
‫َعاَد َلْم يَـْقَبِل ُهَّللا َلُه َص َالًة َأْر َبِع يَن َص َباًحا َفِإْن َتاَب َتاَب ُهَّللا َع َلْيِه َف ِإْن َع اَد الَّراِبَع َة‬
‫َلْم يَـْقَبِل ُهَّللا َلُه َص َالًة َأْر َبِع يَن َص َباًحا َف ِإْن َت اَب َلْم يَـ ُتِب ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َقاُه ِم ْن نَـ ْهِر‬
. ‫ ِقيَل َيا َأَبا َع ْبِد الَّرْح َمِن َو َم ا نَـْهُر اْلَخ َباِل َقاَل نَـْهٌر ِم ْن َص ِد يِد َأْه ِل الَّن اِر‬.» ‫اْلَخ َباِل‬
‫َقاَل َأُبو ِع يَس ى َهَذ ا َح ِد يٌث َح َس ٌن َو َقْد ُر ِو َى َنْح ُو َه َذ ا َع ْن َع ْب ِد ِهَّللا ْبِن َع ْم ٍر و َو اْبِن‬
]3[.-‫صلى اهللا عليه وسلم‬- ‫ َع ِن الَّنِبِّى‬2 ‫َعَّباٍس‬
c. Sunan Ibnu Majah, bab Min Syaribi al-Khamr Lam Tuqbal Lahu Shalat( Bab Minum khamar
tidak diteriman shalat)
‫ َح َّد ثَـ َنا‬، ‫ُد ْبُن ُم ْس ِلٍم‬Á ‫ َح َّد ثَـ َنا اْلَو ِلي‬، ‫َح َّد ثَـ َنا َع ْب ُد الَّرْح َمِن ْبُن ِإبْـ َر اِهيَم الِّد َم ْش ِقُّي‬
، ‫ َع ْن َع ْب ِد اِهللا ْبِن َع ْم ٍر و‬، ‫ َع ِن اْبِن الِّديَلِمِّي‬، ‫َد‬ÁÁ‫ َع ْن َر ِبيَع َة ْبِن َيِز ي‬، ‫اَألْو َزاِع ُّي‬
‫ َلْم تُـْقَبْل َلُه‬، ‫ َم ْن َش ِر َب اْلَخ ْمَر َو َسِكَر‬: ‫ َقاَل َر ُسوُل اِهللا َص َّلى اهللا َع لْيِه وَس َّلَم‬: ‫َقاَل‬
‫ َو ِإْن‬، ‫ َف ِإْن َت اَب َت اَب ُهَّللا َع َلْي ِه‬، ‫ َو ِإْن َم اَت َد َخ َل الَّن اَر‬، ‫َص َالٌة َأْر َبِع يَن َص َباًح ا‬
، ‫ َفِإْن َم اَت َد َخ َل الَّن اَر‬، ‫ َلْم تُـْقَبْل َلُه َص َالٌة َأْر َبِع يَن َصَباًحا‬، ‫ َفَسِكَر‬، ‫ َفَش ِر َب‬، ‫َعاَد‬
‫ َلْم تُـ ْقَبْل َل ُه َص َالٌة َأْر َبِع يَن‬، ‫ َفَسِكَر‬، ‫ َفَش ِر َب‬، ‫ َو ِإْن َعاَد‬، ‫ َتاَب ُهَّللا َع َلْيِه‬، ‫َفِإْن َتاَب‬
‫ َك اَن َح قا َع َلى‬، ‫ َو ِإْن َعاَد‬، ‫ َفِإْن َتاَب َتاَب ُهَّللا َع َلْيِه‬، ‫ َفِإْن َم اَت َد َخ َل الَّناَر‬، ‫َص َباًحا‬
‫ َو َم ا‬، ‫ َي ا َر ُس وَل اِهللا‬: ‫ يَـ ْو َم اْلِقَياَم ِة َق اُلوا‬، ‫ َأْن َيْس ِقَيُه ِم ْن َر َد َغ ِة اْلَخ َب اِل‬، ‫اِهللا‬
]4[ . ‫ ُع َص اَر ُة َأْهِل الَّناِر‬: ‫ اْلَخ َباِل ؟ َقاَل‬3 ‫َر َد َغ ُة‬
d. Musnad Ahmad bin Hanbal

، ‫ َع ْن َشْهِر ْبِن َح ْو َش ٍب‬، ‫ َح َّد ثَـَنا ُع بَـْيُد اِهللا ْبُن َأِبي ِز َياٍد‬، ‫َح َّد ثَـَنا َم ِّك ُّي ْبُن ِإبْـَر اِهيَم‬
‫ َق اَل َر ُس وُل اِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه‬: ‫ َق اَل‬، ‫ َع ْن َأِبي َذ ٍّر‬، ‫َع ْن اْبِن َع ٍّم َألِبي َذ ٍّر‬
‫ َف ِإْن َت اَب َت اَب ُهَّللا‬، ‫ َم ْن َش ِر َب اْلَخ ْم َر َلْم يَـْقَبِل ُهَّللا َلُه َص َالًة َأْر َبِع يَن َليْـ َلًة‬: ‫َو َس َّلَم‬
‫ َفَم ا َأْد ِر ي َأِفي الَّثاِلَثِة َأْم ِفي الَّراِبَعِة َقاَل َر ُسوُل اِهللا‬، ‫ َفِإْن َعاَد َك اَن ِم ْثَل َذ ِلَك‬، ‫َع َلْيِه‬
‫ َفِإْن َعاَد َك اَن َح ْتًم ا َع َلى اِهللا َأْن َيْس ِقَيُه ِم ْن ِط يَنِة اْلَخ َباِل َقاُلوا‬، ‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
]5[ .‫ ُع َص اَر ُة َأْهِل الَّناِر‬: ‫ َو َم ا ِط يَنُة اْلَخ َباِل ؟ َقاَل‬، ‫ َر ُسوَل اِهللا‬4 ‫ َيا‬:

Analisa Sanad
Jalur Abu Daud Rangkaian periwayatan Hadīts tersebut dengan urutan jalurnya
sebagai berikut: Sahabat Abdullah bin Abbas, Thaus bin Kaisani, Nu’mān bin Abi Syaibah,
Ibrahim bin Umar ash-Shan’āni, Muhammad bin Rafi’ an-Naisabury, dan Abu Daud. Dan
hasil penelitiannya sebagai berikut:
1. Abdullah bin Abbas[6]
Nama beliau: Abdullah bin Abbas bin Abdu al- Mutholib al-Qurasy al-Hasyimi, Abu
al-Abbas al- Madani, anak paman Rasulullah Saw - Nabi Saw - Ubay bin Ka’ab - Abdu ar-
Rahman bin Auf -dan banyak lagi guru-guru beliau karena beliau seorang sahabat Nabi Saw -
Ishaq bin Abdullah bin Kinanah -Thaus bin Kaisani -Serta banya lagi yang meriwayatkan
Hadīts dari beliau -W 69 H -W 70 H
2. A’dil Thaus bin Kaisan[7]
Nama beliau: Thaus bin kaisani al-Yamani, Abu Abd ar-Rahman -Jabir binAbdullah -
Zaid bin Arqam -Abdullah bin Abbas -Abu Hurairah -Laits bin Abi Sulaim -Nu’mān bin
Syaibah -Atho’ bin as- Saib W 101H - Ishaq bin Manshur: Tsiqoh Hafidz
3. Nu’mān bin Abi Syaibah[8]
Nama beliau : Nu’mān bin Syaibah -Ziyad bin Risydin al- Janadi -Thaus bin Kaisani -
Anaknya Abdullah bin Thaus -Ibrahim bin Umar ash- Shan’āni -Abd ar- Razzaq bin
Hamman -Mu’tamar bin Sulaiman. - -Abu Hatim: Syaikh -Berkata Abu bakar bin
Khaitsamah, dai Yahya bin Ma’in: Tsiqoh
4. Ibrahim bin Umar ash-Shan’āni[9]
Nama beliau adalah: Ibrahim bin Umar al-Yamani , Abu Ishaq ash- Shan’āni -Ziyad
bin Risydin al- Janadi -Thaus bin Kaisani -Anaknya Abdullah bin Thaus Muhammad bin
Rafi’ an- Naisaburi -Nuh bin Habib al- Qumusi, dan beliau meriwayatkan Hadīts dari Abu
Daud dari Thaus bin Thaus dari Ibnu Abbas: ‫ ُك ُّل ُم َخ ِّم ٍر َخ ْم ٌر َو ُك ُّل ُم ْس ِك ٍر َحَر اٌم‬sebagaimana yang
terdapat dalam kitab “Tadzhib al- Kamal Fi Asma’ArRijāl” - Beliau seorang yang
meriwayatkan Hadīts tentang khamar ini jadi beliau seorang yang Tsiqoh
5. Muhammad bin Rafi’ an- Naisaburi[10]
Nama lengkap beliau adalah: Muhammad bin Rafi’ bin Abi Zaid Syabur al-Qusyairy
Ibrahim bin Umar ash- Shan’āni -Husain bin Ali al-Ju’fi -Sufyan bin Uyainah .-An-Nasai -
Abu Daud -Ibrahim bin Abi Thalib W 245 H. Ahmad bin Hanbal: Hafidz, dan Wara’
6. Abu Daud[11]
Nama lengakap beliau adalah Sulaiman bin al- Asy’ats bin Syaddad bin Amru bin
Amir (Abi Hatim) -Muhammad bin Rafi’ an- Naisaburi, -Ibrahim bin basyar, al- Ramadi, -
Humaid bin Ma’adah -At-Tirmidzi, -Abi al-Thib, -Ahmad bin Ibrahim bin Abd al- Rahman
bin al- Asy’āni W 275 H Rawi yang tidak perlu diragukan lagi ke tsiqohannya Dari jalur
sanad yang terdapat pada pada riwayat Abu Daud terlihat beliau langsung menerima Hadīts
dari gurunya Muhammad bin Rafi’ an- Naisaburi dengan sighat tahammul wal ada’ yang
dipakainya yaitu ‫َاَنَّد ثَـح‬. Bukti kedua terlihat dari status hubungan mereka berdua antara guru
dan murid. Muhammad bin Rafi’ an-Naisaburi sighat tahammul wal ada’ yang dipakainya
juga ‫ َاَنَّد ثَـ ح‬kepada Ibrahim bin Umar ash-Shan’āni. Lafadz ‫ َاَنَّد ثَـ ح‬memberi indikasi bahwa
seorang rawi langsung bertemu dengan gurunya.
Sighat tahammul wal ada’ yang dipakainya yaitu ُ‫ْتِع َم س‬, memberi indikasi bahwa
beliau langsung bertemu dan mendengar Hadīts dari gurunya Ibrahim bin Umar ash-Shan’āni.
Sedangkan dari Nu’mān bin Abi Syaibah sampai kepada Nabi Saw menggunakan lafadz ْ‫َنع‬.
Ini member indiksi mereka pernah bertemu dan sezaman, walaupun sighat ْ‫ َن ع‬tidak
sekuat ‫َاَنَّد ثَـح‬. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan tabel dan keterangan- keterangan
tersebut adalah sanad Hadītsnya bersambung baik dari segi keterkaitan antara guru dan murid
serta teruji kredibelitas seluruh rawinya, walaupun ada beberapa rawi yang tidak ditemukan
tahun lahir dan wafatnya, yang secara otomatis menjadikan Hadīts riwayat Imam Abu Daud
ini shahih dan dapat dijadikan Hujjah.
A. Biografi Sanad Jalur at-Turmudzi
Rangkaian periwayatan Hadīts tersebut dengan urutan jalurnya sebagai berikut:
Sahabat Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Ubaid bin Umair, ‘Atho’ bin as-Saib, Jarir bin
Abdi al-Hamid, Qutaibah, dan at-Turmudzi.
1. Abdullah bin Umar[12]
Nama beliau adalah: Abdullah bin Umar bin Khattab al-Qurasy al-Adawy - Nabi Saw
- Zaid bin Tsabit - Abdullah bin Mas’ud - Ali bin Abi Tholib -Thaus bin Kaisani -Qosim bin
Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq -Basar bin Sa’ad al- Madani W 74 H -Hafshah:
Shalih
2. Abdullah bin ‘Ubaid bin Umair[13]
Nama beliau adalah: Abdullah bin ‘Ubaid bin Umair bin Qotadah, bin Sa’ad bin
‘Amir bin Jundu’ bin Laits al-Laitsi kemudian al- Junda’i, Abu Hasyim al-Makki, anaknya
Muhammad bin Abdullah bin ‘Ubaid bin Umair -Abdullah bin Umar -Abu Hurairah -Ziyad
bin Risydin al- Janadi -Anaknya Abdullah bin Thaus -Harits bin Abdullah bin Rabi’ah -
Thaus bin Kaisani –Abdul Malik bin abi Bakr Abdirrahman bin al-Harits W 113 H . -Abu
Zur’ah dan Abu Hatim : Tsiqoh.
3. ‘Atho’ bin as-Saib[14]
Nama beliau adalah: ‘Atho’ bin bin as-Saib bin Malik, ada yang mengatakan Abu
Zaid, ada yang mengatakan Abu -Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair -Thous bin Kaisani -Katsir
bin Jumhan -Sufyan bin Uyaynah -Jarir bin Abd al-Hamid -Ja’far bin Abi Ziyad W 136 H.
Yahya bin Ma’in: Ikhtilath (hafalannya bercampur), dan ada yang mengatakan Abu Yazid al-
Kufi sebelum ia ikhtilath maka Hadīts tersebut Shahih
4. Jarir bin Abd al- Hamid[15]
Adapun nama beliau adalah Jarir bin Abd al-Hamid bin Qurdin ad- Dhibi, Abu
Abdillah ar-Razi al- Qady Ismail bin Abi Khalid, Asy-Ats bin Sauwar -Atho’ bin as- Saib -
Manshur bin Mu’tamar -Ishaq bin Rahuyah -Qutaibah bin Sa’id -Sulaiman bin Harb L 107 H
W 188 H -An-Nasa’i: Tsiqoh -Berkata Abd ar-Rahman bin Yusuf bin Hirasy: Shaduq
5. Qutaibah[16]
Nama lengkap beliau adalah: Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Thoriq bin Abdillah
ats-Tsaqofi -Hammad bin Yazid -Jarir bin abd al- Hamid adh- Dhibi - Muhammad bin
Abdillah al- Anshari -Al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah -Ali bin al- Madini L 148 H W 148 H
Ahmad bin Abi Khaitsamah dari Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, dan an- Nasa’i: Tsiqoh
6. At-Turmudzi[17]
Nama lengkap beliau Muhammad bin Isa bin Tsaurah bin Musa bin al- Dhahhak -Abu
Ja’far Muhammad bin Ahmad al-Nasafi - Humaid bin Mas’adah, -Qutaibah -Ishaq bin
Ibrahim -Humaid bin Mas’adah - Ali bin Thasram W 277 H Rawi yang tidak perlu diragukan
lagi ke tsiqohannya.
Adapun sighat tahammul wal ada’ yang dipakai dalam jalur Hadīts yang diriwatkan
oleh Imam at-Turmudzi ini yaitu ‫َاَنَّد ثَـح‬, yang mana beliau langsung bertemu dan sezaman
dengan gurunya yaitu Jarir bin Abd.al-Hamid, kemudian lafadz ْ‫ َنع‬sampai kepada ‘Ubaid bin
Umair, dan lafadz َ‫ اَلق‬sampai kepada Nabi Saw. Dengan melihat tabel tersebut maka dapat
disimpulkan dari keterkaitan sanad antara guru dan murid serta komentar ulama terhadap
rawi-rawinya, maka dapat disimpulkan bahwa Hadīts riwayat imam at- Tirmidzi ini
berkualitas shahih, walaupun Atho’ bin as-Saib ikhtilath hafalannya pada akhir
hayatnya. Sedangkan Hadīts yang beliau riwayatkan bukan semasa hafalan beliau bercampur
dan ini dapat dilihat dari tahun wafat beliau.
Skema Sanad
Rasulullah Saw
Abdullah bin Umar
Qutaibah
Jarir bin Abdi al-Hamid
‘Atho’ bin as-Saib
Abdullah bin ‘Ubaid bin Umair
Turmuzi
Rasulullah Saw
Abu Daud
Abdullah bin Abbas
Muhammad bin Rafi’ an-Naisabury
Thaus bin Kaisani
Nu’mān bin Abi Syaibah
Ibrahim bin Umar ash-Shan’āni

B. Analisa Matan
Dari Hadīts-Hadīts yang telah di paparkan, dapat dipahami ada beberapa Hadīts yang
diriwayatkan secara makna ( Hadīts Maknawi). Dalam riwayat Abu Daud, at-Turmudzi, Ibnu
Majah dan ad-Dharimi, ,dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal , ‫ َأْر َبِع يَن َصَباًحا‬memakai kata
memakai kata ً‫َةْليَـلَ يِنَع ْبَر أ‬.
Dalam teks matan Hadīts di atas secara subtansial tidak terdapat perbedaan dalam
pemaknaan Hadīts, semua Hadīts tersebut artinya tidak diterima shalat 40 hari. Karena matan
Hadīts dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan Hadīts yang shahih apabila
memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
2. Tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang telah Muhkam ( ketentuan hukum yang
telah tetap).
3. Tidak bertentangan dengan Hadīts mutawatir.
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama Salaf
(terdahulu).
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan Hadīts Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.[18]
Dapat disimpulkan bahwa Hadīts yang diteliti dalam penelitian ini tidak ada yang
menyalahi kriteria keshahihan matan Hadīts yang telah dipaparkan di atas. Sehingga matan
Hadīts tersebut kedudukannya adalah Shahih.[19]
Shalat merupakan salah satu ibadah yang sangat penting bagi umat Islam untuk
dikerjakan, maka untuk itu ibadah shalat ini haruslah sesuai dengan perintah Nabi Saw dan
haruslah bersih dari berbagai Hadats dan Najis yang dapat membatalkan shalat. Maha benar
Allah yang telah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 91:
‫ ِإَّنَم ا ُيِر يُد الَّش ْيَطاُن َأْن ُيوِقَع بَـيْـَنُك ُم اْلَع َداَو َة‬. ‫ِذ ْك ِر ِهَّللا َو َع ِن الَّص َال ِة فَـَهْل َأنْـُتْم ُم ْنتَـُهوَن‬
‫َو اْلبَـْغ َض اَء ِفي اْلَخ ْم ِر َو اْلَم ْيِس ِر َو َيُص َّد ُك ْم َع ْن‬

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan


kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu)”.
Shalat itu terdiri dari perkataan, perbuatan dan amalan hati yang bersih dan ikhlas
karena Allah semata yang dilaksanakan dengan sadar dan khusyu’. Oleh sebab itu, dapatkah
seseorang yang pikirannya rusak, hatinya kotor, dan perutnya keracunan mengerjakan semua
itu?. Bagi orang-orang yang beriman, melakukan ibadah akan mendapatkan dua hasil: Hasil
pertama: menunaikan kewajban. Seperti: shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Hasil kedua:
mendapatkan ganjaran/pahala dari apa yang telah ditunaikan. Syari’at Islam sangatlah keras
melarang minum khamar, karena khamar dianggap sebagai induk dari segala keburukan
(Ummul Khabaits), di samping merusak akal, jiwa, kesehatan dan harta.
Dari sejak awal, Islam telah berusaha menerangkan kepada umat manusia, bahwa
mamfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya,. Adapun sabda Nabi Saw:
“Tidak diterima shalat selama 40 hari: maksudnya: bahwa ia tidak akan mendapat
ganjaran/pahala dari hasil shalatnya tersebut. Adapun dikhususkan shalat dalam sabda Nabi
Saw ini, karena shalat itu seutama-utama ibadah badan.[20] Tidak diterima di sini bukan
artinya jika dia shalat maka shalatnya tak diterima. Akan tetapi maksudnya di sini adalah
bahwa pahala shalatnya selama 40 hari akan terhapus dengan dosa dia minum khamar sekali.
Karenanya selama 40 hari itu dia tetap wajib shalat, jika tidak, maka dia berdosa dua
kali, dosa minum khamar dan dosa meninggalkan shalat. Maka jika shalatnya tidak diterima
(tidak dipahalai), maka amal-amal ibadah yang lainnya lebih utama untuk tidak diterima .
Sungguh mengagumkan apa yang disabdakan Nabi Saw di atas, kini telah tersingkap oleh
ahli-ahli kesehatan tentang nikmat yang besar tentang apa yang beliau sabdakan tersebut.
Mereka telah membuktikan, bahwa racun-racun alkohol itu mengendap di dalam tubuh
selama 40 hari. Ini untuk orang yang sekali minum khamar. Racun itu menetap dalam jangka
waktu yang lama dengan mengadakan perusakan dalam sel-sel tubuh manusia. “Allah tidak
akan menerima taubatnya”. Maksudnya: ini merupakan suatu ancaman dan peringatan yang
sangat keras supaya jangan mengulangi lagi meminum khamar dan menganggap ringan
larangan Allah Swt. Dan bukan taubatnya tidak diterima sama sekali. Tidak demikian!
Bahkan kalau seseorang tersebut mau bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan
berjanji tidak akan kembali munum khamar, niscaya Allah akan menerima taubatnya. Karena
Allah maha penerima taubat akan hamba-hambanya yang melakukan dosa.
Adapun Orang yang minum khamar kena hukuman jilid, baik ia sampai mabuk atau
tidak, dijilid 40 kali.(dengan syarat orang islam yang baligh dan berakal serta mengerti
haramnya khamar).[21] Meminum arak atau apa saja yang memabukkan, maka wajib
dihukum had berupa 40 kali cambuk. Hukuman ini boleh ditambah sampai 80 kali cambuk
dengan jalan di karenakan ta’zir. Sebagaimana yang dijelaskan disalah satu Hadīts Nabi Saw:

‫َح َّد ثَـَنا ُم ْس ِلٌم َح َّد ثَـَنا ِهَش اٌم َح َّد ثَـَنا قَـَتاَد ُة َع ْن َأَنٍس َق اَل َج َل َد الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِفي‬
. ‫اْلَخ ْم ِر ِباْلَج ِر يِد َو النِّـَع اِل َو َج َلَد َأُبو َبْك ٍر َأْر َبِع يَن‬
“Telah menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah
menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas bin Malik dia berkata: Nabi saw mencambuk
dalam perkara khamar dengan pelapah kurma dan dengan sandal. Abu bakar mencambuk
dalam perkara khamar sebanyak 40 kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hukum Islam, seseorang yang meminum khamar, selain berurusan dengan
Allah, juga berurusan dengan hukum positif yang Allah turunkan. Hukumannya adalah
dipukul/cambuk. Para ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa
digunakan beberapa alat antara lain: tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk.
Kesimpulan: hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa hadist yanag diriwayatkan oleh Abu
Daud dan at-Turmudzi berstatus shahih baik sanad maupun matan karena telah memenuhi
syarat hadist shahih menurut beliau berdua.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Adzim, Muhammad Syamsul Haq. 1971. Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud, Juz 6,
Beirut: Darl al-kutub al-Ilmiyah
Al-Mizzi, Abdurrahman. 1982. tadzhib al-Kamal Fi Asma’’ ar-Rijal. Beirut: Muassalah al
Risalah
Al-Mizzi, Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman. 1994. Tadzhib al-Kamal Fi
Asma’ Ar-Rijal. Beirut: Darl al-Fikr
Al-Qazwaini, Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid. 2003. Sunan ibn Majah. Beirut: Darl: al-
Fikr
Al-Sijistaany, Abu Daud. 2003. Sunan Abu Daud. Beirut: Darl al-Fikr
As-Syaibani, Ahmad Bin Hambal Abu Abdillah. 2003. Musnad Imam Ahmad Bin
Hambal. Beirut: Darl al-Fikr
At-Turmudzi, Muhammad bin Isa. 2003. Sunan at-Turmudzi. Beirut: Darl al-Fikr
Ismail, Muhammad Syuhudi. 1991. Cara Praktis Mencari Hadits. Jakarta: Bulan Bintang
Rifa’I dkk, Moh. 1978. Kifayatul Akhyar. Semarang : CV. Toha Putra
Wensinck, A. J. 1946. Al-Mu’jam Al-Mufahras Lil Al-Fadz Al-Hadits An-Nabawi. Madinah
Leiden: Brill.
Selamat Datang 10 Hari Terakhir Ramadhan, Waktunya
Mengencangkan Sarung
Alhamdulillah, nanti malam kita akan memasuki malam pertama 10 hari terakhir
Ramadhan. Fase 10 hari terakhir ini merupakan momentum terbaik memperbanyak
ibadah demi meraih ridha Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
apabila memasuki 10 hari terakhir Ramadhan ini, beliau mengencangkan ikatan
sarung (memperbanyak ibadah). Nabi memerintahkan umatnya agar berusaha
mendapatkan Lailatul Qadar.

Perintah memburu Lailatul Qadar pada 10 malam terakhir Ramadhan disebutkan


dalam hadis berikut:

‫ُيَج اِو ُر ِفي اْلَع ْش ِر اَأْلَو اِخ ِر ِم ْن‬ ‫َع ْن َع اِئَش َة َقاَلْت َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم‬
‫ِفي اْلَع ْش ِر اَأْلَو اِخِر ِم ْن َر َمَض اَن‬ ‫َر َمَض اَن َو َي ُقوُل َت َح َّر ْو ا َلْي َلَة اْلَقْد ِر‬
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan bersabda: "Carilah
Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan". (HR Al-Bukhari No
1880, Hadis Sahih) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga menegaskan dalam
sabadanya:

‫َت َح َّر ْو ا َلْي َلَة اْلَقْد ِر ِفى اْلِو ْت ِر ِمَن اْلَع ْش ِر اَألَو اِخِر ِم ْن َر َمَض اَن‬
"Carilah Lailatul Qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan
Ramadhan." (HR Al-Bukhari) Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan umat Islam

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh beriktikaf pada 10 malam


terakhir dari Ramadhan untuk memburu Lailatul Qadar. 2. Bersungguh-sungguh
beramal pada 10 malam terakhir Ramadhan untuk memperoleh Lailatul Qadar
karena ganjaran amalan pada malam itu lebih baik dari 1000 bulan yaitu 83 tahun 4
bulan. 3. Mulailah dengan niat yang tulus. Jika sampai hari ini ibadah kita belum
maksimal, sekaranglah meomentum untuk memaksimalkannya. Hari ini, bacalah
tafsir Surah Al-Qadr, dan pahami maknanya. 4. Sepatutnya kita tidak memilih
malam-malam tertentu untuk memperbanyak ibadah. Jangan menunggu hingga
malam ke 27 saja karena waktu Lailatul Qadar dirahasiakan Allah untuk menjadi
penyemangat kita beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan. 4. Bangunkan
ahli keluarga kita untuk bersama merebut peluang bertemu Lailatul Qadar. 5.
Perbanyakkan iktikaf, pelihara sholat fardhu berjamaah di masjid, tingkatkan tilawah
Al-Qur'an, perbanyakkan doa dan permohonan ampun kepada Allah. 6. Bayangkan
seolah-olah inilah Ramadhan terakhir kita dan mungkin ini peluang terakhir untuk
bertemu Lailatul Qadar.
Wallahu A'lam

Ingin Wafat Husnul Khatimah? Rutinkan Membaca Doa Ini


Semua muslim pasti menginginkan meninggal atau wafat dengan akhir atau penutup
yang baik ( husnul khatimah ). Kenapa demikian? Karena kematian adalah suatu hal
yang pasti datang dan tak ada manusia yang mengetahui kapan ajalnya tiba. Allah
Ta'ala mengabarkan di dalam Al-Qur'an :

‫ِت َو َن ۡب ُلۡو ُك ۡم ِبالَّش ِّر َو اۡل َخ ۡي ِر ِفۡت َن ًة‌ ؕ َو ِاَلۡي َن ا ُتۡر َج ُع ۡو َن‬
‌ؕ ‫ُك ُّل َن ۡف ٍس َذ ٓإِٮَقُة اۡل َم ۡو‬
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan". (QS.Al-Anbiya:35).

Meninggal dalam keadaan baik atau penutup yang baik itulah yang dinamakan
husnul khatimah . Sebaliknya, meninggal dalam keadaan keburukan dikatakan
sebagai 'Suul Khatimah'. Oleh sebab itu hendaklah kita senantiasa merasa takut
akan suul-khatimah itu. Karena tidak mustahil Allah boleh merobah kalbu
hambaNya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia sukai, dan menyesatkan
pula siapa yang Dia sukai. Untuk itu, semua orang tentu menginginkan wafat dalam
keadaan husnul khatimah (akhir/penutup yang baik). Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam mengajarkan sebuah doa memohon husnul khatimah yang diriwayatkan oleh
Imam Ath-Thabrani. Berikut doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam:

‫ َو َخ ْي َر َأَّياِمي َي ْو َم َأْلَقاَك ِفيِه‬،‫ َو َخ ْي َر َع َم ِلي َخ َو اِتيَم ُه‬،‫َالَّلُهَّم اْج َع ْل َخ ْي َر ُعْم ِر ي آِخَر ُه‬
ALLOHUMMAJ'AL KHOIRO 'UMRII AAKHIROHU, WA KHOIRO 'AMALII
KHOWAATIMAHU, WA KHOIRO AYYAAMII YAUMA ALQOO-KA FIIH
Artinya: "Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku adalah umur yang terakhirnya,
sebaik-baik amalku adalah amal-amal penutupannya dan sebaik-baik hariku adalah
hari saat aku menghadap-Mu." Selain doa di atas, Al-Imam Al-Habib Abdullah bin
Alwi Al-Haddad (rahimahullah) berkata dalam Kitab An-Nashaih Ad-Diniyyah. "Setiap
muslim harus senantiasa memohon agar Allah Ta'ala berkenan mewafatkannya
dalam husnul khotimah, karena setan yang terkutuk akan berkata: "Aduhai! Orang
yang memohon husnul khotimah itu telah mematahkan tulang belakangku, celaka,
kapan ia mau membangga-banggakan amalannya, aku khawatir, ia telah
mengetahui tipu dayaku." Berikut doa yang diajarkan Imam Abdullah bin Alwi Al-
Haddad:

‫َالّلُهَّم اْخ ِتْم َلَن ا ِبْاِالْس َالِم َو اْخ ِتْم َلَن ا ِبْاِالْي َم اِن َو اْخ ِتْم َلَن ا ِباْلَخ ْي ِر َو اْخ ِتْم َلَن ا ِبالَّس َع اَدِة َو اْخ ِتْم َلَن ا‬
‫ِبُحْس ِن اْلَخ اِتَمِة‬
ALLAHUMMAKHTIM LANAA BIL ISLAAMI, WAKHTIM LANAA BIL IIMAANI,
WAKHTIM LANAA BIL KHOIRI, WAKHTIM LANAA BIS SA'AADAH, WAKHTIM
LANAA BIHUSNIL KHOOTIMAH. Artinya: "Ya Allah akhirilah hidup kami dengan
Islam, dengan membawa iman, dengan kebaikan, dengan kebahagiaan dan dengan
husnul khatimah." Adapun doa tersebut dianjurkan dibaca setiap selesai sholat
fardhu lima waktu atau saat qiyamullail. Semoga Allah memberi kita taufik agar bisa
mengamalkannya.

Ucapan husnul khatimah biasanya dipanjatkan sebagai doa untuk seseorang yang
barus saja meninggal. Dan ternyata, ucapan tersebut merupakan doa mustajab .
Kenapa demikian? Ustadz Fadly Gugul S.Ag, dari Dewan konsultasi Bimbingan
Islam menjelaskan, doa seorang mukmin yang hidup kepada seorang mukmin yang
telah meninggal, Allah Ta’ala jadikan sebagai doa yang mustajab . Seperti doa anak
yang shaleh kepada orang tuanya yang beriman dan telah meninggal yang
pahalanya terus mengalir.

Dalilnya, dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َأْو‬،‫ َأْو ِع ْلٍم ُيْن َتَفُع ِبِه‬،‫ ِإاَّل ِم ْن َص َد َقٍة َج اِر َي ٍة‬:‫ِإَذ ا َم اَت اِإْلْن َس اُن اْن َقَط َع َع ْن ُه َع َم ُلُه ِإاَّل ِم ْن َث اَل َث ٍة‬
‫َو َلٍد َص اِلٍح َي ْد ُعو َلُه‬
“Apabila seseorang mati, seluruh amalnya akan terputus kecuali 3 hal: sedekah
jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak sholeh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim
1631, Nasai 3651, dan yang lainnya). Bahkan ikatan iman ini tetap Allah abadikan
hingga hari kiamat. Karena ikatan iman ini, Allah Ta’ala kumpulkan kembali mereka
bersama keluarganya di hari kiamat. Dalam firman-Nya Yang Mulia;

‫َو اَّلِذيَن آَم ُنوا َو اَّت َبَع ْت ُهْم ُذ ِّر َّي ُتُهْم ِبِإيَم اٍن َأْلَح ْق َن ا ِبِه ْم ُذ ِّر َّي َت ُهْم َو َم ا َأَلْت َن اُه ْم ِم ْن َعَمِلِه ْم ِم ْن َش ْي ٍء‬
“Orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. At-Thur: 21). Menurut dai
alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadis) ini, mendoakan husnul khotimah bagi
orang muslim yang hidup maupun telah wafat adalah boleh, dan hal ini bukan
sebuah kekhususan bagi orang yang masih hidup saja, hanya saja upaya dan usaha
bagi orang yang masih hidup lebih sempurna daripada yang telah wafat. Jika
direnungkan, malah lebih dianjurkan mendo’akan ampunan (bukan hanya husnul
khotimah) bagi mereka yang telah meninggal dunia, karena mengamalkan firman
Allah Ta’ala;

‫َو اَّلِذيَن َج اُءوا ِم ْن َب ْع ِدِه ْم َي ُقوُلوَن َر َّب َن ا اْغ ِفْر َلَن ا َو ِإِلْخ َو اِنَن ا اَّلِذيَن َسَب ُقوَن ا ِباِإْليَم اِن َو اَل َت ْج َع ْل‬
‫ِفي ُقُلوِبَن ا ِغ اًّل ِلَّلِذيَن آَم ُنوا َر َّب َن ا ِإَّن َك َر ُءوٌف َر ِحيٌم‬
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah
beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) Sejatinya
adanya saling mendoakan antara yang hidup dan yang mati, merupakan bagian dari
nikmat Allah kepada orang yang beriman. Karena ikatan iman, orang yang masih
hidup bisa tetap memberikan doa kepada orang lain, meskipun dia sudah
meninggal. Adapun mendoakan husnul khotimah bagi orang kafir yang telah
meninggal dunia, maka hal ini dilarang dalam agama kita yang mulia, karena Firman
Allah Ta’ala;

‫َم ا َك اَن ِللَّن ِبِّي َو اَّلِذيَن آَم ُنوا َأْن َي ْس َتْغ ِفُروا ِلْلُم ْش ِر ِكيَن َو َلْو َك اُنوا ُأوِلي ُقْر َب ى ِم ْن َب ْع ِد َم ا َت َب َّي َن‬
‫ْل‬ ‫َأ َأ‬
‫َلُهْم َّن ُهْم ْص َح اُب ا َج ِحيِم‬
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah
kaum Kerabat (Nya), sudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahim.” (QS. At-Taubah: 113).

Wafat dalam keadaan husnul khatimah (akhir yang baik) merupakan dambaan
semua orang. Berikut doa husnul khotimah yang sering diamalkan para Waliyullah.
Doa ini termasuk salah satu wirid doa yang didawamkan Abah Guru Sekumpul (KH
Muhammad Zaini Abdul Ghani Al-Banjari), sosok Waliyullah asal Martapura Kalsel
yang wafat Tahun 2005 lalu. Berikut keterangannya dilansir dari kanal
@berkatguru_sekumpul. Tentang keutamaan Ratib Al-Haddad, beliau Shahibul
Ratib Al-Quthub Al-Ghauts Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad berkata:
"Barangsiapa yang menyenantiasakan membaca Ratib ini akan diberi rezeki wafat
husnul khatimah" (Syarah Ratib Al Haddad)

) ‫ " َم ْن اَل َز َم ٰه َذ ا الَّر اِتَب ُر ِز َق ُحْس َن الَخ اِتَمِة " (مقالة‬: ‫وقال رضي هّللا عنه‬
Dalam Ratib beliau ini, ada doa khusus. Jangan pernah lepas membaca doa ini
dalam sehari-semalam.

‫ياهللا بها ياهللا بها ياهللا بحسن الخاتمة‬


Ya Allooh Bihaa, Ya Allooh Bihaa, Ya Allooh Bihusnil Khotimah. Artinya: Ya Allah,
dengan mereka (Ahlul Bait), Ya Allah dengan mereka, Ya Allah, berilah akhir yang
baik (husnul khothimah). Karena doa ini adalah termasuk doanya para Waliyullah
(kekasih Allah). Doa ini termasuk puncaknya doa. Oleh karenanya jangan pernah
lepas untuk mengamalkannya. Ulama besar Yaman, Al-Habib Umar bin Hafizh
bercerita, bahwasanya dahulu di Mesir ada seorang yang saleh dan tekun
beribadah, namun ia tidak pernah membaca doa ini karena merasa amalnya sudah
banyak namun apa yang terjadi? Di akhir usianya beliau murtad dan akhirnya wafat
dalam keadaan su'ul khatimah. Na'udzubillahi min dzalik.

6 Tanda Kematian akan Datang Menurut Imam Al-Ghazali


Kapan kematian itu akan datang? Tidak ada yang bisa memastikan kapan tepatnya
seseorang akan meninggal, tidak ada sumber yang valid untuk menjelaskan hal
tersebut, karena kematian merupakan rahasia Allah ta'ala . Kendati demikian, ada
beberapa hal yang mungkin bisa kita jadikan tanda-tanda ajal akan menjemput.
Bukan untuk memastikan waktu datangnya, namun untuk lebih memberikan
warning, agar diri lebih bisa mempersiapkan jika ajal tiba. Adapun tanda-tanda akan
datangnya kematian menurut Imam Al-Ghazali adalah seperti berikut ini:
1. Tanda-tanda kematian 100 hari Pertama Tanda kematian di 100 hari sebelum ajal
menjadi peringatan bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Karena pada dasarnya
semua umat muslim akan merasakan tanda ini, hanya saja kemungkinan ada yang
menyadari sebagai tanda kematian namun ada pula yang mungkin
mengabaikannya. Baca juga: Tanda-tanda Kematian Akan Menghampiri Seseorang
Adapun tandanya lazim terjadi setelah waktu Ashar, dimana seluruh tubuh dari ujung
rambut hingga ujung kaki seolah bergetar hingga menggigil. Bagi mereka yang
menyadari tanda ini tentu akan memanfaatkan waktu hidupnya dengan sebaik
mungkin untuk mencari bekal yang akan dibawa mati nanti.
2. Tanda-tanda 40 hari sebelum kematian Tanda kematian di 40 hari sebelum ajal
lazim terjadi setelah waktu Ashar, dimana pada bagian pusar akan terasa berdenyut.
Selain itu diriwayatkan pula bahwa sebelum ajal menjemput telinga terasa
berdengung secara terus menerus.
3. Tanda-tanda 7 hari sebelum kematian Pada orang yang tengah sakit keras, pada
hari ke-tujuh menjelang kematian selera makan justru meningkat sehingga ingin
menikmati makanan tertentu sesuai keinginannya.

4. Tanda-tanda 3 hari sebelum kematian Lazim dirasakan adanya denyutan pada


tengah dahi, nafsu makan menurun atau bahkan tidak mau makan. Mata akan
terlihat memudar sehingga tidak lagi bersinar, hidung perlahan turun, telinga terlihat
layu dan telapak kaki sukar ditegakkan.
5. Tanda-tanda 1 hari sebelum kematian Sesudah waktu Ashar, akan terasa sebuah
denyutan pada bagian ubun-ubun sebagai pertanda bahwa tidak akan menemui
waktu Ashar di keesokan harinya.
6. Tanda akhir dimana kematian telah datang Akan terasa dingin di bagian pusat
hingga turun ke pinggang selanjutnya menjalar naik ke bagian halkum, sehingga
harus senantiasa berdzikir dan mengucapkan kalimat syahadat secara terus
menerus sampai malaikat maut menghampiri dan menjemput ruh untuk kembali
kepada Allah yang memilikinya.

Lalu bagaimana dengan kematian mendadak yang sering terjadi di sekitar kita? Ada
kalanya kita masih menjumpai sanak saudara atau tetangga di pagi hari, namun
ternyata di sore hari mereka sudah berpulang, entah karena mengalami musibah
atau bahkan dalam keadaan yang tidak sakit sedikitpun. Tentu semua adalah
ketentuan dari Allah Yang memberikan kehidupan dan kemudian mewafatkan.
Manusia sedikit pun tidak memiliki daya upaya untuk menghindar atau menunda
terjadinya kematian. Memang ada sebab-sebab yang menjadi tanda akan dekatnya
kematian seperti umur yang sudah tua ataupun sakit yang parah. Namun itu
bukanlah kepastian dia akan segera mati, karena banyak anak muda dan orang
yang fisiknya sehat lebih dahulu menemui ajalnya. Yang terpenting adalah
mempersiapkan apa yang akan kita bawa ketika kematian itu datang, apa yang
sudah kita persiapkan untuk menemui Allah ta'ala.
Kisah Tragis Tokoh Jahiliyah Tewas Disambar Petir Setelah
Mengolok-olok Allah
Apa yang dialami tokoh Jahiliyah ini layak kita jadikan pelajaran agar tidak sekali-kali
mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya. Sosok Jahiliyah yang dijuluki Fir'aun Arab ini
tewas disambar petir setelah mengejek Dzat Yang Maha Agung. Kisahnya
diabadikan dalam Al-Qur'an untuk kita jadikan hikmah. Salah satu kuasa Allah yaitu
melepaskan petir yang mematikan dan menimpakan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Tak bisa dibayangkan bagaimana petir menggelegar membuat
hati manusia ciut ketika mendengarnya. Dampaknya kerap bisa mematikan
manusia. Inilah yang dimaksud dengan "kilat yang menakutkan". Berikut firman-Nya:
‫ٰۤل‬
‫َو ُيَس ِّبُح الَّر ۡع ُد ِبَح ۡم ِدٖه َو اۡل َم ـِٕٮَك ُة ِم ۡن ِخ ۡي َفِتٖه ۚ‌ َو ُيۡر ِس ُل الَّص َو اِع َق َفُيِص ۡي ُب ِبَه ا َم ۡن َّي َش ٓاُء َو ُهۡم‬
‫ُيَج اِد ُلۡو َن ِفى هّٰللا ۚ‌ ِ َو ُه َو َش ِد ۡي ُد اۡل ِمَح اِؕل‬
"Dan guruh bertasbih memuji-Nya, (demikian pula) para Malaikat karena takut
kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa
yang Dia kehendaki, sementara mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia
Mahakeras siksaan-Nya." (QS Ar-Ra'd Ayat 13) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini
turun sehubungan dengan sikap tokoh jahiliyah Amir bin ath-Thufail yang sudah
kelewat batas. Diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Ya'la al-Mushili, dari Ishaq dari Ali
bin Abi Sarah asy-Syaibani dari Tsabit dari Anas, bahwa suatu hari Rasulullah
mengutus seorang sahabat kepada tokoh Jahiliyah itu. "Pergilah kepadanya dan
panggillah dia untuk datang kepadaku." Maka utusan itu pergi kepada Amir bin
Thufail seraya mengatakan: "Rasulullah memanggilmu." Amir menjawab: "Siapa
Rasulullah, dan apa itu Allah? Apakah ia terbuat dari emas, atau dari perak, atau
dari kuningan?" Maka utusan itu kembali kepada Rasulullah memberitahukan
penolakan Amir. "Wahai Rasulullah, saya sampaikan padamu bahwa dia
menolaknya, dia mengatakan padaku begini dan begitu." Maka Rasulullah
menyuruhku kembali lagi kepadanya. Utusan itu pun pergi kepadanya dan mendapat
jawaban serupa. Utusan itupun kembali kepada Rasulullah dan berkata: "Saya
beritahukan kepadamu wahai Rasulullah, bahwa orang itu menolak." Rasulullah
menyuruhnya memanggil orang tersebut. Untuk ketiga kalinya, tokoh Jahiliyah itu
tetap dengan jawabannya semula. Allah kemudian mengirimkan awan ke arah
kepalanya lalu terdengar guruh dan terjadi petir yang menyambar kepalanya hingga
tewas mengenaskan. Kemudian Allah menurunkan ayat: "Wa yursilush
shawaa'iqa….. (dan Allah melepaskan halilintar) dan seterusnya.

Cerita lain disampaikan Qatadah terkait ayat di atas. Seorang laki-laki yang
mengingkari Al-Qur'an dan mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mati
disambar petir. Sebab turunnya ayat tersebut ketika 'Amir bin ath-Thufail dan Arbad
bin Rabi'ah mendatangi Rasulullah di Madinah, mereka meminta separuh
kekuasaan, tetapi permintaan itu ditolak oleh Rasulullah. Kemudian 'Amir bin Thufail
berkata: "Demi Allah, niscaya kupenuhi kota ini untuk melawanmu dengan pasukan
kuda dan Para pemuda yang gagah." Maka Rasulullah berkata padanya: "Allah akan
menolak seranganmu itu, juga para putra Anshar." Kemudian keduanya bermaksud
membunuh Rasulullah, salah seorang dari keduanya mengajak beliau berbicara,
sedang yang lain mengunus pedangnya untuk membunuh beliau dari belakang.
Tetapi Allah melindungi Rasulullah dari kejahatan mereka. Lalu mereka berdua
keluar dari Madinah menuju kampung-kampung Arab Badui, mengumpulkan
pasukan untuk memerangi Rasulullah SAW. Maka Allah mengutus halilintar di atas
Arbad bin Rabi'ah dan menyambarnya. Adapun Amir bin ath-Thufail, Allah timpakan
wabah Tha'un padanya. Dari tubuhnya keluar kelenjar besar sehingga ia berkata:
"Hai keluarga Amir, aku terserang bisul seperti bisul punuk unta, dan kematianku
sudah dekat, yaitu di rumah keluarga Saluliyah." Keduanya pun mati mengenaskan.
Begitulah kuasa Allah apabila Dia berkehendak, maka tak ada yang dapat
menghalangi-Nya. Ayat di atas menjadi peringatan kepada manusia agar tidak
sekali-kali mempermainkan Allah dan Rasul-Nya.
Bentuk-bentuk Pelecehan yang Pernah Dialami Rasulullah SAW

Tak puas menyiksa para sahabat Nabi yang mulia, kaum musyrikun
Makkah mulai mengganggu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam (SAW) pada awal masa kenabian. Kafir Quraisy mulai
terang-terangan 'menyerang' Nabi Muhammad SAW. Mereka
menolak kehadiran dakwah Islamiyah.

Dalam Sirah Nabawiyah yang bersumber dari Kitab Ar-Rahiqul


Makhtum, Syeikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury mengulas
bentuk-bentuk pelecehan yang dilakukan kafir Quraisy terhadap
Rasulullah SAW.

Sikap penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap


Rasulullah SAW mereka langgar sejak munculnya dakwah
Islamiyyah. Kebengisan dan kesombongan kafir Quraisy mulai
mereka tampakkan kepada Rasulullah SAW. Mereka melakukan
ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, celaan dan
gangguan lainnya.

Tokoh yang menjadi ujung tombaknya adalah Abu Lahab, seorang


kepala suku Bani Hasyim. Sejak awal masa kenabian, dia sudah
menghadang Rasulullah SAW sebelum kaum Quraisy berkeinginan
melakukan hal itu.

Sebelum Beliau SAW diutus sebagai Nabi, Abu Lahab telah


menikahkan kedua anaknya: 'Utbah dan 'Utaibah dengan kedua
putri Rasulullah SAW, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun ketika
beliau diutus menjadi Rasul, Abu Lahab memerintahkan kedua
anaknya menceraikan kedua putri Rasulullah itu dengan cara yang
kasar dan keras.

Thariq bin 'Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu kisah


pelecehan yang dialami Rasulullah. Abu Lahab pernah memukul
Rasulullah dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah. Istri
Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah saudara perempuan
Abu Sufyan, tidak kalah hebatnya permusuhannya terhadap Nabi
SAW.

Dia pernah membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang


dilalui oleh Nabi SAW, bahkan di depan pintu rumah Beliau SAW
pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes.
Lisannya selalu dijulurkan untuk mencaci Nabi, mengarang berita
dusta dan menyulutkan api fitnah serta mengobarkan perang
membabibuta terhadap Rasulullah SAW. Karena itulah, Alqur'an
menyifatinya dengan "Hammaalatal Hathab" (wanita pembawa kayu
bakar).

Ketika Abu Lahab dan istrinya mendengar turunnya ayat Alqur'an


itu, dia langsung mendatangi Rasulullah SAW yang sedang duduk
bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia membawa segenggam batu,
namun ketika dia berdiri di hadapan keduanya, Allah membutakan
pandangannya dari beliau sehingga dia tidak melihat selain Abu
Bakar, lantas dia berkata: "wahai Abu Bakar! Mana sahabatmu itu?
Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi Allah!
andai aku menemuinya niscaya akan aku tampar mulutnya dengan
segenggam batu ini.
Demikianlah yang dilakukan Abu Lahab padahal beliau adalah
paman beliau SAW sekaligus tetangganya, rumahnya menempel
dengan rumah beliau. Sama seperti tetangga-tetangga beliau yang
lain yang selalu mengganggu beliau padahal beliau tengah berada di
dalam rumah.

Ibnu Ishaq berkata: "Mereka yang selalu mengganggu Rasulullah


SAW saat beliau berada di rumah tersebut adalah Abu Lahab, Al-
Hakam bin Abi Al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin Abi Mu'ith, 'Adiy bin
Hamra' ats-Tsaqafy dan Ibnu Al-Ashda' Al-Hazaly. Semuanya adalah
tetangga Nabi. Tak seorang pun di antara mereka yang mendapat
hidayah Islam kecuali Al-Hakam bin Abi Al-'Ash.

Bentuk penindasan lain, Rasulullah pernah dilempari dengan


kotoran kambing saat beliau melakukan salat. Yang lain lagi, bila
priuk milik beliau -yang terbuat dari batu-tengah dipanaskan, pernah
memasukkan bangkai ke dalamnya. Rasulullah mamasang tabir agar
dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan
salat. Bila usai mereka melakukan hal itu, Rasulullah membawanya
keluar dan meletakkannya di atas sebatang ranting, kemudian
berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru: "wahai Bani 'Abdi
Manaf! Tetangga-tetangga model apa yang begini kelakuannya?".
Kemudian barang itu beliau lempar ke jalan.

'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan hal yang lebih buruk dan
busuk dari itu lagi. Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Abdullah bin
Mas'ud RA bahwa pernah suatu hari Nabi SAW melakukan salat di
sisi Baitullah sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah
duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang
lain: "Siapa di antara kalian yang akan membawa kotoran unta Bani
Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad saat dia
sedang sujud?".

Maka bangkitlah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, sosok yang paling sangar di
antara mereka, membawa kotoran itu sembari memperhatikan
gerak-gerik Nabi Muhammad SAW. Tatkala beliau SAW beranjak
sujud kepada Allah, dia menumpahkan kotoran itu ke arah punggung
Beliau di antara dua bahunya. Aku (Ibnu Mas'ud) memandangi hal itu
dan ingin sekali melakukan sesuatu andai aku memiliki
perlindungan (suaka). Lalu mereka tertawa sambil masing-masing
saling mencolek dan memiringkan badan satu sama lainnya dengan
penuh kesombongan dan keangkuhan sedangkan Rasulullah masih
sujud.

Doa Nabi yang Mengguncang 'Arsy


Saat dilumuri kotoran unta, Beliau SAW tidak dapat mengangkat
kepalanya hingga putri tercinta Fathimah Az-Zahra radhiallahu 'anha
(RA) datang dan membuang kotoran itu dari punggung beliau.
Setelah beliau mengangkat kepala, Nabi SAW kemudian berdoa: "Ya
Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy tersebut'.
Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa beliau ini menyesakkan hati
mereka. Dia (Ibnu Mas'ud) bertutur lagi: 'mereka menganggap
bahwa berdoa di negeri itu (Mekkah) adalah mustajabah. Kemudian
dalam doanya tersebut, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
menyebutkan nama mereka satu persatu: ' Ya Allah! binasakanlah
Abu Jahal, 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, al-Walid bin
'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'ith –Ibnu Mas'ud
menyebutkan yang ke tujuh namun tidak mengingat namanya-.

Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat


orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah SAW mati
mengenaskan di Al-Qalib, yaitu kuburan di Badar, Madinah". Adapun
nama orang yang ke tujuh itu adalah 'Imarah bin al-Walid.

Lain lagi yang dilakukan oleh Ummayyah bin Khalaf; bila melihat
Rasulullah SAW, dia langsung mengumpat dan mencelanya.
Karenanya, turunlah ayat: "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat
(al-Humazah) lagi pencela". (QS. Al-Humazah: 1).

Ibnu Hisyam berkata: "Kata al-Humazah maknanya adalah orang


yang mencemooh seseorang secara terang-terangan, memain-
mainkan kedua matanya sambil mengerdipkannya, sedangkan kata
Al-Lumazah maknanya adalah orang yang mencela manusia secara
sembunyi dan menyakiti hati mereka".

Sama halnya dengan saudara laki-lakinya, Ubaybin Khalaf; mereka


berdua seiring dan sejalan. Suatu ketika, 'Uqbah duduk di majelis
Nabi sembari mendengarkan dakwahnya, namun manakala berita itu
sampai ke telinga Ubay; dia langsung mencaci dan mencemooh
saudaranya tersebut serta memintanya agar meludah ke wajah
Rasulullah SAW, maka diapun melakukannya. Sementara Ubay
sendiri juga tidak mau kalah, dia menumbuk tulang belulang yang
ada hingga remuk redam lalu meniupkannya ke angin yang
berhembus ke arah Rasulullah SAW. Na'udzubillahi mindzalik.

Bentuk pelecehan lainnya adalah apa yang diperbuat oleh Al-Akhnas


bin Syuraiq atTsaqafy yang selalu mengerjai Rasulullah SAW.
Alqur'an menyifatinya dengan 9 sifat yang menyingkap perangainya,
yaitu firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang
yang banyak bersumpah lagi hina (10). Yang banyak mencela, yang
kian ke mari menghambur fitnah (11). Yang enggan berbuat baik,
yang melampaui batas lagi banyak dosa (12). Yang kaku kasar,
selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13)". (QS. Al-Qalam: 10-
13).

Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia datang kepada


Rasulullah dan mendengarkan Alqur'an, kemudian berlalu namun hal
itu tidak membuatnya beriman, tunduk, sopan apalagi takut. Bahkan
dia menyakiti Rasulullah SAW dengan perkataannya. Selain itu
menghadang jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh
memproklamirkan apa yang diperbuatnya dan bangga dengan
kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan sesuatu yangenteng
saja.

Terhadapnya turunlah ayat: "Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul


dan Alqur'an) dan tidak mau mengerjakan salat… dst". (QS. Al-
Qiyamah: 31). Dia selalu mencegah Rasulullah SAW melakukan salat
sejak pertama kali melihat beliau melakukannya di Masjid al-Haram.
Suatu kali, dia melewati beliau yang sedang melakukan salat di sisi
Maqom (Nabi Ibrahim) lalu berkata: "Wahai Muhammad! Bukankah
sudah aku larang engkau melakukan ini?". Dia mengancam beliau
serta membentaknya.
Dia berkata kepada beliau: "Wahai Muhammad! Dengan apa engkau
akan mengancamku? Demi Allah! bukankah sesungguhnya aku
adalah orang yang paling banyak memanggil (berdoa) di lembah ini
(Mekkah)". Maka turunlah ayat: "Maka biarkanlah dia memanggil
golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil
Malaikat Zabaniyah". (QS. Al-'Alaq: 17-18).

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Nabi SAW mencengkeram


lehernya dan menggoyang-goyangkannya sembari membacakan
firman Allah: "Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan
kecelakaanlah bagimu. Kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang
kafir) dan kecelakaanlah bagimu". (QS Al-Qiyamah: 34-35). Lantas
musuh Allah itu berkata: "Engkau hendak mengancamku, wahai
Muhammad? Demi Allah! engkau dan TuhanMu tidak akan sanggup
melakukan apapun. Sesungguhnya aku-lah seperkasa orang yang
berjalan di antara dua gunung di Mekkah ini!".

Sekalipun sudah membentak-bentak, Abu Jahal tidak pernah kapok


dari kedunguannya bahkan semakin keterlaluan. Dari Abu Hurairah,
dia berkata: "Abu Jahal berkata: 'Apakah Muhammad sujud dan
menempelkan jidatnya di tanah (salat) di depan batang hidung
kalian?" Salah seorang menjawab: "Ya, benar!". Dia berkata lagi:
"Demi al-Laata dan al-'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak
lehernya dan membenamkan mukanya ke tanah!". Tak berapa lama,
datanglah Rasulullah lalu melakukan salat. Abu Jahal sebelumnya
mendakwa akan menginjak-injak lehernya, namun sebaliknya, yang
terjadi sungguh mengagetkan mereka; dia tidak jadi bergerak maju
dan malah menutupi kedua tangannya untuk berlindung. Mereka lalu
bertanya: "Wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan denganmu?". Dia
menjawab: "Sesungguhnya ada parit dari api, sesuatu yang
menakutkan dan sayap-sayap yang mengantarai aku dan dia".

Kemudian Rasulullah SAW berkata: "Andai dia sedikit lagi mendekat


kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar Malaikat dan terkoyak
satu persatu".

Demikian sekilas gambaran bentuk pelecehan dan penganiayaan


yang dialami Rasulullah SAW dan kaum muslimin oleh kaum musyrik
Makkah. Meskipun dianiaya dan dilecehkan, Rasulullah SAW tetap
menunjukkan akhlak terpuji. Beliau tidak membalas kekerasan
dengan kekerasan. Tidak membalas kedengkian dengan
kedengkian. Tidak juga membalas permusuhan dengan permusuhan.
Beliau justru bersikap bijaksana dan tawakkal kepada Allah hingga
akhirnya Allah menghancurkan kaum musyrikun dan menjadikan
Makkah menjadi kota suci yang penuh berkah.
Apakah Rasulullah Meninggalkan Warisan Ketika Wafat?

Rasulullah bukan sosok yang pemalas. Beliau pekerja keras dan sangat rajin.
Sekalipun dekat dengan Tuhan, Rasulullah tidak pernah diam, tidak berpangku
tangan, dan terus berusaha untuk menafkahi keluarganya. Ini menunjukkan usaha
dan bekerja adalah sebuah keharusan di dalam Islam. Karena Rasulullah semasa
hidupnya bekerja, pertanyaannya apakah ada harta yang ditinggalkan Rasulullah
untuk keluarganya?

Imam al-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah mengutip beberapa hadis yang


berkaitan dengan warisan Rasulullah. Dalam hadis riwayatr al-Bukhari disebutkan:

‫عن عمرو بن الحارث أخي جويرية قال ما ترك رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إال سالحه و بغلته‬
‫وأرضا جعلها صدقة‬

“Dari Umar bin Harits, Saudara dari Juwairiyyah, berkata: Rasulullah tidak
meninggalkan apa-apa kecuali senjata, bagal, dan tanah yang sudah disedehkan..”
(HR: Bukhari)

Rasulullah meninggalkan senjata, bagal, dan sebagian kecil tanah ketika beliau
wafat. Akan tetapi, peninggalan itu tidak bisa menjadi harta warisan yang dimiliki
keluarga. Sebab Rasulullah tidak mewariskan harta kepada keluarganya. Harta yang
dimilikinya dihukumi sebagai sedekah, dipergunakan untuk kepentingan umat
Islam, terutama yang dibutuhkan. Dalam riwayat yang lain dikisahkan:

‫ مالي أل‬:‫ فقالت‬،‫ أهلي وولدي‬:‫ من يرثك؟ فقال‬:‫ فقالت‬،‫ جاءت فاطمة إلى أبي بكر‬:‫ قال‬،‫عن أبي هريرة‬
‫ لكني أعول من كان‬،‫ ال نورث‬:‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬:‫أرث أبي؟ فقال أبو بكر‬
‫ وأنفق على من كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ينفق عليه‬،‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعوله‬

“Abu Hurairah menceritakan bahwa Fatimah menemui Abu Bakar. Dia berkata:

“Siapa yang menjadi ahli warismu?”

“keluargaku dan anak-anakku,” Jawab Abu Bakar.

“Mengapa aku tidak mewarisi harta bapakku,” Balas Fathimah.

Abu Bakar menjelaskan, “Saya pernah mendengar Rasulullah berkata, ‘Kami tidak
mewariskan (harta kepada keturunan kami).’ Tapi aku akan menanggung dan
menafkahi orang yang diberi nafkah oleh Rasulullah.’” (HR: Al-tirmidzi)

Kehidupan keluarga dan keturunan Rasul ketika beliau wafat ditanggung oleh umat
Islam. Dalam konteks ini adalah para khalifah. Biaya untuk kehidupan mereka
biasanya diambil dari Baitul mal. Walaupun Abu Bakar pada hadis di atas, tidak
memberikan warisan Rasul kepada keluarganya, karena Rasulullah sendiri yang
menyatakan bahwa Nabi tidak mewariskan hartanya, tetapi kehidupan dan
kebutuhan keturunan dan para istri Rasul tetap menjadi tanggung jawab Abu Bakar.

Sebagian ulama mengatakan, di antara hikmah mengapa para Nabi dan Rasul tidak
mewariskan harta adalah agar mereka tidak dianggap memperkaya diri dan
mengumpulkan harta untuk keturunannya.
Pengaturan Pengeras Suara pada Rumah Ibadah Menurut Sayyid Alawi Al-Maliki

urat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2022 yang
mengatur penggunaan pengeras suara sebenarnya bukan hal baru di
lingkungan umat Islam. Selain beberapa negara berpenduduk muslim juga
mengatur, penggunaan pengeras suara ini juga menjadi perhatian para ulama.
Di antaranya Sayyid Alawi Al-Maliki (1328-1391 H), tokoh rujukan Ahlussunnah
wal Jama’ah dunia yang tinggal di kota suci Makkah. Dalam Kitab Majmû’
Fatâwâ wa Rasâil, Sayyid Alawi menjawab pertanyaan tentang hukum
penggunaan pengeras suara (mukabbirus shawt) atau mikrofon untuk
keperluan khutbah dan shalat jamaah. Menurutnya, pengeras suara meskipun
merupakan hal baru di lingkungan umat Islam namun boleh digunakan untuk
keperluan tersebut. Sayyid Alawi menyampaikan 4 argumentasi yang secara
substansial dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, hukum asal segala
sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam hal
penggunaan pengeras suara tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka
orang yang mengharamkannya harus mengajukan dalil yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua, pengeras suara sudah digunakan untuk
khutbah dan shalat jamaah di Makkah dan Madinah yang sering dikunjungi
ulama seantero dunia, dan tidak ada satu ulama pun yang memprotes atau
mengingkarinya. Oleh karenanya penggunaan pengeras suara untuk keperluan
tersebut menjadi hal yang dapat diterima oleh ulama Islam seluruh dunia
sehingga boleh-boleh saja digunakan seiring sabda Nabi saw yang artinya: “Apa
yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah” (HR
Ahmad). Ketiga, kaidah fiqih menyatakan al-wasâil lahâ hukmul maqâshid, atau
pada setiap hal yang merupakan perantara diterapkan hukum sesuatu yang
menjadi tujuannya. Bila maksud penggunaan pengeras suara adalah sesuatu
yang baik seperti memperdengarkan khutbah Jumat, membaca Al-Qur’an,
sebagai tanda gerakan Imam shalat sehingga makmum yang jauh di
belakangnya dapat mengikuti gerakannya, maka hukum menggunakannya
boleh atau dilegalkan dalam syariat. Keempat, penggunaan pengeras suara
sebenarnya tidak menimbulkan bahaya dan tidak bertentangan dengan kaidah-
kaidah syariat. Banyak kemaslahatannya. Namun demikian andaikan
penggunaan pengeras suara ini justru menimbulkan kerusakan dan
mengganggu orang lain maka wajib dihentikan. Sayyid Alawi menegaskan: ‫والشرع‬
‫ أال ترى أن مكبر الصوت هذا لو وقع فيه خلل وتشويش يجب إغالقه لفوات‬،‫مبني على درء المفاسد وجلب المصالح‬
‫المقصود منه‬
Artinya, “Syariat Islam dibangun atas dasar menolak mafsadat dan
mendatangkan kemaslahatan. Ingatlah, sungguh (penggunaan) pengeras suara
ini, andaikan di dalamnya terdapat kerusakan dan gangguan terhadap orang
lain, maka wajib menguncinya (wajib dihentikan), karena tujuan utamanya justru
terabaikan.” (Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, [1413 H],
halaman 174-175). Nah, dari sini kita lihat, meskipun sebenarnya pengeras suara
boleh-boleh saja digunakan asal untuk kegiatan yang positif, bukan maksiat,
namun bila justru menimbulkan berbagai kerugian dan gangguan terhadap
orang lain, semisal karena terlalu keras memekakan telinga, kualitas alatnya
buruk, atau terlalu banyak alat pengeras yang berbunyi secara bersamaan,
maka hukumnya wajib dihentikan. Sebab bagaimanapun Islam dibangun dalam
prinsip yang sangat rasional dan sesuai dengan akal sehat: dar’ul mafâsid
muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih, menghindari kerusakan harus didahulukan
daripada mendatangkan kemaslahatan. Menghindari penggunaan pengeras
suara yang tidak beraturan sehingga mengganggu dan merugikan orang lain
lebih diprioritaskan daripada menggunakannya meskipun untuk keperluan
ibadah dan dan kebaikan lainnya. Ketegasan prinsip Sayyid Alawi dalam
pengaturan penggunaan pengeras suara seperti inilah yang kemudian diikuti
oleh para ulama di generasi selanjutnya. Dalam konteks ini Sayyid Zain bin
Muhammad bin Husain Alydrus menegaskan:

‫ وكالمه‬،‫وال يخفى أن استخدام الميكروفون بالسماعات الداخلية وقت الخطبة أو الصالة فيه مصلحة وال إشكال فيه غاليا‬
‫ لو وقع فيه خلل وتشويش‬:‫ ولذا قال المالكي‬.‫ ففيه مفاسد ال يخفى على العقالء‬،‫ أما استخدامه بالسماعات الخارجية‬.‫في ذلك‬
‫يجب إغالقه لفوات المقصود منه‬

Artinya, “Tidak samar lagi, sungguh terdapat kemaslahatan dalam penggunaan


mikrofon dengan speaker dalam saat khutbah Jumat atau shalat, secara umum
tidak ada kemusykilan dalam hal itu, dan konteks pendapat Sayyid Alawi Al-
Maliki adalah dalam penggunaan mikrofon dengan speaker dalam seperti itu.
Adapun penggunaan mikrofon dengan speaker luar, maka di situ terdapat
berbagai mafsadat atau kerusakan yang tidak samar lagi bagi orang-orang yang
berakal sehat—lebih banyak menimbulkan gangguan kepada orang lain—.
Karenanya Sayyid Alawi menyatakan: 'Andaikan di dalamnya terdapat kerusakan
dan gangguan terhadap orang lain, maka wajib menguncinya, karena tujuan
utamanya justru terabaikan.'” (Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus, I’lâmul
Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm, [Mukalla, Dârul ‘Idrûs:
1435/2014], halaman 34). Walhasil, bagi kita yang berakal sehat, bagaimanapun
penggunaan pengeras suara harus diatur, terlebih untuk pengeras suara luar.
Bagaimana diatur sebaik mungkin, baik dari sisi frekuensi volumenya, maupun
kualitas suaranya. Jangan sampai membuat kebisingan dan gangguan suara
tidak perlu. Tidak setiap orang yang mendengarnya adalah jamaah
masjid/mushala, tidak semuanya sedang dalam kondisi sehat dan baik-baik saja.
Dari sini kita juga semakin hati-hati, sebab kebaikan yang dilakukan secara
serampangan justru merugikan banyak orang. Bukankah dengan demikian,
Islam juga semakin indah dalam pandangan khalayak luas? Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU
Online.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/pengaturan-pengeras-suara-pada-rumah-
ibadah-menurut-sayyid-alawi-al-maliki-A3WmV

Anda mungkin juga menyukai