Anda di halaman 1dari 177

KONSEP AL-SU’AL DALAM AL-QUR’ÂN

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh


Gelar Magister Dalam Bidang Pengkajian Islam
Konsentrasi Tafsir Hadis

Oleh:
FAHIMA ABD. GANI
NIM. 99.2.00.1.05.01.0125

Oleh:

Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
JAKARTA
2007
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

N a m a : Fahima Abd. Gani

N I M : 99.2.00.1.05.01.0125

Tempat/Tgl Lahir : Ternate, 24 Oktober 1964

Alamat : Jln. Pemuda, Kel. Toboleu, Ternate

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis berjudul: “KONSEP AL-SU’AL

DALAM AL-QUR’AN” adalah benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang

disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya yang dapat berakibat gelar kesarjanaan

saya dibatalkan.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 2 Maret 2007

Fahima Abd. Gani

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul: “KONSEP AL-SU’AL DALAM AL-QUR’AN”


yang ditulis oleh: Fahima Abd. Gani, Nomor Pokok: 99.2.00.1.05.01.0125

Konsentrasi Tafsir-Hadis, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri


(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran
Tim Penguji dalam sidang ujian Tesis pada hari Jum’at, 19 Januari 2007.

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. Prof. Dr. H. Suwito, MA.

Tanggal: . . . . . . . . . . . . . . . Tanggal: . . . . . . . . . . . . . . .

iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul: “KONSEP AL-SU’AL DALAM AL-QUR’AN”

yang ditulis oleh: Fahima Abd. Gani, Nomor Pokok: 99.2.00.1.05.01.0125


Konsentrasi Tafsir-Hadis, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah

pada hari Jum’at, 19 Januari 2007 dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan

masukan Tim Penguji.

TIM PENGUJI

Pimpinan Sidang/Penguji, Pembimbing/Penguji,

Prof. Dr. H. Suwito, MA. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.
Tanggal: Tanggal:

Penguji, Penguji,

Prof. Dr. Azis Fachrurrozi, MA. Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA.
Tanggal: Tanggal:

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

I. KONSONAN
‫ﺀ‬ = ‘ ‫ﺽ‬ = DH
‫ﺏ‬ = B ‫ﻁ‬ = TH
‫ﺕ‬ = T ‫ﻅ‬ = ZH
‫ﺙ‬ = TS ‫ﻉ‬ = ’
‫ﺝ‬ = J ‫ﻍ‬ = GH
‫ﺡ‬ = H ‫ﻑ‬ = F
‫ﺥ‬ = KH ‫ﻕ‬ = Q
‫ﺩ‬ = D ‫ﻙ‬ = K
‫ﺫ‬ = DZ ‫ﻝ‬ = L
‫ﺭ‬ = R ‫ﻡ‬ = M
‫ﺯ‬ = Z ‫ﻥ‬ = N
‫ﺱ‬ = S ‫ﻭ‬ = W
‫ﺵ‬ = SY ‫ﻩ‬ = H
‫ﺹ‬ = SH ‫ﻱ‬ = Y
‫ﺓ‬ = AH/AT

II. VOKAL PENDEK III. VOKAL PANJANG


َ = a ‫= َ ﺍ‬ â
ِ = i ‫= ِ ﻱ‬ î
ُ = u ‫ﻭ‬ = û

IV. DIFTONG V. PEMBAURAN


‫= __ ﻭ‬ au ‫ﺍﻝ‬ = al
‫= _ﻯ‬ ai ‫ﺍﻟﺶ‬ = al-Sy
‫ﻭﺍﻝ‬ = wa al-

v
VI. SINGKATAN-SINGKATAN
Cet. : Cetakan
ed. : Edisi
HR : Hadits Riwayat
h : halaman
Q.S. : al-Qur’ân Surat
ra. : Radhiya Allah ’anhu
saw. : Shalla Allah ‘alaihi wa Sallam
SWT. : Subhanahu wa Ta’âla
Tp. : Tanpa Penerbit
Tth. : Tanpa Tahun

vi
KATA PENGANTAR

‫ﻴﻢﹺ‬‫ــ‬‫ﻤﻦﹺ ﺍﻟﱠﺮﺣ‬‫ ﺍﻟﱠﺮﺣ‬‫ــﻢﹺ ﺍﻟﹼﻠﻪ‬‫ﺑﹺﺴ‬

Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa dipanjatkan ke hadirat


Allah SWT. yang telah menurunkan al-Qur’ân sebagai pedoman dan pelajaran
kepada manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Shalawat serta salam
semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah berhasil
mengimplementasikan seruan-seruan Ilahiyah ke dalam kehidupan realitas
sehari-hari baik yang bersifat legislasi hukum maupun tatanan sosial, norma-
norma kehidupan yang bersifat individu, kemasyarakatan dan bahkan negara.
Selanjutnya, dalam penyelesaian tesis yang berjudul “Konsep al-Su’al
dalam Al-Qur’an” tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan moril
maupun materiil dari berbagai pihak baik secara perorangan maupun lembaga,
langsung atau tidak, mulai dari perencanaan, penelitian, penyusunan sampai
pada tahap perampungan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya tesis ini, khususnya kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Direktur Program Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis dalam melanjutkan pendidikan jenjang strata dua, program magister
pada lembaga yang Bapak pimpin.
2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya MA. selaku pembimbing I dan Bapak
Prof. Dr. Suwito MA. selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan kesempatan dan peluang waktu dalam memberikan
pengarahan, bimbingan dan masukan, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

vii
3. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-
tingginya kepada suami tercinta, Drs. Syahril H. Rauf, atas dukungan
penuh baik moril maupun materiil, serta nasihat-nasihatnya yang tak
terhingga dan tanpa pamrih sedikitpun sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan.
4. Untuk Ayah dan Ibu tercinta yang telah mengarahkan dan memberikan
wejangan-wejangan serta dukungan penuh yang dapat memberikan
dorongan kuat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
5. Untuk putra-putraku tercinta, Muhammad Fadli, Faris, Zulkarnain,
Muhammad Shabri, dan Ahmad Khaidar yang telah banyak memberikan
inspirasi dan dorongan kuat sehingga memberikan motivasi kepada penulis
dalam penyusunan tesis ini menjadi kenyataan.
6. Kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis
ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas segala kontribusi dan
bantuannya.
Akhirnya, penulis mengharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi umat Islam dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan.
Demikian,

Wabillah al-Taufiq wa al-Hidâyah, wa al-Salâmu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Maret 2007

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………… iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ……………………………………… iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………… v
KATA PENGANTAR …………………………………………………. vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… ix
ABSTRAK ……………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………... 1


A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah ……………………… 8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………… 9
D. Kajian Kepustakaan ……………………………………… 10
E. Metode Penelitian ……………………………………….. 10
F. Sistematika Penulisan ……………………………………. 13

BAB II PENGUNGKAPAN AL-SU’AL DALAM AL-QUR’ÂN … 15


A. Pengertian al-Su’al ……………………………………… 15
B. Identifikasi Penggunaan Makna Sa’ala (Bertanya) serta
Perubahan Tashrifnya dalam al-Qur’ân ………………… 28
C. Penanya dalam al-Qur’ân ……………………………….. 39
D. Term-term yang Identik dengan Pengertian bertanya ……. 41
E. Perbedaan Antara Bertanya dengan Meminta Fatwa ……. 45

BAB III JENIS-JENIS PERTANYAAN (AL-SU’AL) DALAM AL-


QUR’ÂN ……………………………………………………… 49
A. Pertanyaan Tentang Hukum ……………………………… 49
1. Legislasi Infak dan penerimanya ……………………… 50
2. Legislasi Perang di Bulan Haram …………………….. 53
3. Hukum Minuman Beralkohol, Khamar dan Judi …….. 54
4. Hukum Pengelolaan Harta anak-anak Yatim …………. 58

ix
5. Hukum Wanita Datang Bulan ………………………… 61
6. Hukum Penentuan Makanan yang Halal ………………. 63
7. Hukum Pembagian Harta Rampasan Perang …………. 66
B. Pertanyaan Berkenaan dengan Dekatnya Allah ………… 68
C. Pertanyaan Tentang Hari Kiamat ……………………….. 69
D. Pertanyaan Tentang Tokoh ………………………………. 74
E. Bentuk Pertanyaan yang Dibenarkan dalam al-Qur’ân …. 79

BAB IV ANALISIS TENTANG AL-SU’AL DALAM AL-QUR’ÂN. 82


A. Motivasi dan Tujuan Bertanya …………………………… 82
1. Bertanya Karena tidak Tahu ………………………….. 83
2. Bertanya Karena Ingkar ………………………………. 104
3. Bertanya Karena Menguji Ilmu Pengetahuan Nabi …… 108
B. Metode Bertanya Dalam Al-Qur’an ……………………… 120
1. Bertanya Pada Ahlinya ……………………………….. 120
2. Tidak Berlenihan Dalam Bertanya …………………….. 128
C. Etika Menjawab ………………………………………….. 133
1. Mengarahkan Penanya Pada Hal yang Berfaedah ……. 133
2. Menjawab dengan Dalil Perbuatan ……………………. 142
3. Jenis-jenis Jawaban ……………………………………. 143

BAB V PENUTUP ……………………………………………………. 155


A. Kesimpulan ………………………………………………. 155
B. Saran ……………………………………………………... 158

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS

x
ABSTRAK

Makna Penggunaan Sa’ala dalam al-Qur’ân ditinjau dari aspek


pendidikan merupakan salah satu tema yang menarik yang belum mendapatkan
perhatian serius di kalangan para pakar pendidikan dalam melakukan
penelitian dan kajian konsep metode pendidikan dalam al-Qur’ân. Ia terkait
dengan kegiatan aktifitas pendidikan baik secara individual maupun
berkelompok yang tercermin dalam kegiatan tanya jawab antar ummat Islam
atau non-muslim dengan nabi Muhammad saw.
Sebagai konsep metode pendidikan, al-Qur’ân telah meletakkan dasar-
dasar tatanan bertanya dan menjawab terhadap materi yang ditanyakan serta
aturan main etika bertanya dan menjawab sebagaimana dicontohkan nabi
Muhammad saw. Saat memberikan jawaban-jawaban yang diperlukan.
Penulis melakukan penelitian dan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’ân
yang memiliki kaitan erat dengan metode pendidikan melalui berbagai bahan
pustaka dan karya ilmiah yang membahas tentang ayat-ayat tersebut. Sebelum
melakukan analisa terhadap konsep metode pendidikan yang tersirat dalam
ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki relevansi dengan tesis, penulis lebih dulu
memaparkan latar belakang turunnya ayat-ayat tersebut dan menggali
kandungan arti yang terdapat di dalam ayat-ayat itu.
Menarik bagi penulis bahwa al-Qur’ân mempunyai konsep metode
pendidikan dalam banyak ayat al-Qur’ân yang secara redaksional
mengguanakan kata al-Suâl. Al-Qur’ân bahkan menempatkan nilai-nilai moral
dan etika dalam melontarkan sebuah pertanyaan dan dalam memberikan
jawaban, bahkan al-Qur’ân memandang perlu memberikan suatu jawaban
dengan cara menggunakan dalil perbuatan bukan ucapan yang diberikan.
Aspek-aspek pendidikan dalam al-Qur’ân dapat penulis kemukakan seperti
ditemukannya bentuk-bentuk pertanyaan yang diajukan kepada Rasul dan
sekaligus jawaban-jawabannya yang terkait dengan pokok permasalahannya,
walaupun pertanyaan dan bentuk jawaban masih bersifat global akan tetapi
arahan tersebut amat berharga kehidupan ummat Islam dalam bidang
pendidikan.
Al-Qur’ân sebagai kitab suci Islam yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril as. merupakan buku
pedoman bagi ummat Islam di dalam menjalani berbagai aktifitas hidupnya
dalam berbagai aspek kehidupan baiuk secara individu maupun kelompok
termsuk aspek pendidikan. perhatian al-Qur’ân di bidang ilmu pendidikan
dapat dibuktikan pada wahyu pertama yang diturunkan di mana seruan mencari
ilmu pengetahuan lewat membaca menjadi perhatian al-Qur’ân. Realisasi
pencarian ilmu pengetahuan tersebut dapat dilakukan dengan cara
melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang mengindikasikan di dalamnya
berlangsungnya sebuah kegiatan tanya jawab antara penimba ilmu
pengetahuan dengan para nara sumber atau pendidik.

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’ân adalah kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi
Muhammad saw., melalui perantaraan Malaikat Jibril, yang oleh ummat Islam
dijadikannya sebagai kitab suci, yang berfungsi sebagai pedoman hidup, baik
mengenai aqidah, syari‘at, muamalat maupun berkaitan dengan persoalan-
persoalan kehidupan lainnya. Ia menghimpun semua aturan yang termuat
dalam kitab-kitab sebelumnya, serta menambah dan menyempurnakan aturan-
aturannya.
Di antara tujuan utama diturunkannya al-Qur’ân adalah untuk menjadi

pedoman manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan mereka agar

memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.1 Allah SWT. menyebutkan

fungsi al-Qur’an itu dalam berbagai ayat, diantaranya: al-kitâb (‫ ) ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ‬yang

berarti “kitab2, buku” hudan (‫ )ﻫﺪﻯ‬yang berarti “petunjuk”3 , al-furqân4

1
Al-Zarqani menyebutkan tiga maksud utama diturunkanAl-Qur’ân yaitu petunjuk bagi
manusia dan jin, pendukung kebenaran Nabi Muhammad saw., dan agar makhluk beribadah
kepada Allah dengan membacanya. Muhammad Abd. al-‘Azim al-Zarqaniy,Manahil al-‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), Juz II, h.124
2
QS. al-Baqarah [2]: 2
‫ﲔ‬
 ‫ﻘ‬ ‫ﺘ‬‫ﻟﻠﹾﻤ‬ ‫ﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻪ ﻫ‬ ‫ﻴ‬‫ﺐ ﻓ‬
 ‫ﺭﻳ‬ ‫ ﻟﹶﺎ‬‫ﺎﺏ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻚ ﺍﻟﹾ‬
 ‫ﻟ‬‫ﹶﺫ‬
Artinya: Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.
3
QS. Al-Naml [27]: 2
‫ﲔ‬
 ‫ﻣﹺﻨ‬ ‫ﺆ‬‫ﻟﻠﹾﻤ‬ ‫ﻯ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻭﺑ‬ ‫ﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻫ‬
Artinya: Untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.
4
QS. al-Furqan [25]: 1
‫ﺍ‬‫ﻳﺮ‬‫ﻧﺬ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺎﹶﻟ‬‫ﻟﻠﹾﻌ‬ ‫ﻴﻜﹸﻮ ﹶﻥ‬‫ﻟ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋﺒ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻗﹶﺎ ﹶﻥ‬‫ ﹶﻝ ﺍﻟﹾﻔﹸﺮ‬‫ﻧﺰ‬ ‫ﻱ‬‫ﻙ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﺒ‬

1
2

(‫ )ﺍ ﻟﻔﺮﻗﺎﻥ‬yang berarti “pembeda” antara yang hak dan yang batil dan antara
yang baik dan yang buruk, rahmat (‫ )ﺭﲪﺔ‬yang berarti “rahmah”5, dzikir (‫) ﺫﻛﺮ‬
yang berarti “peringatan”6, syifâ’ (‫ ) ﺷﻔﺎﺀ‬yang berarti “penawar hati” 7,
maw’izhah (‫ ) ﻣﻮﻋﻈﺔ‬yang berarti “pelajaran”8 dan tibyân (‫ )ﺗﺒﻴﺎﻧﺎ‬yang berarti

“penjelasan” bagi segala sesuatu9.

Artinya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
5
QS. al-A’raf [7]: 52
‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬‫ ﹴﻡ ﻳ‬‫ﻟ ﹶﻘﻮ‬ ‫ﻤ ﹰﺔ‬ ‫ﺭﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻋﻠﹾ ﹴﻢ ﻫ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺎﻩ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺏ ﹶﻓﺼ‬
‫ﺎ ﹴ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ ﹺﺑ‬‫ﻢ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﹺﺟﺌﹾﻨ‬‫ﻭﹶﻟ ﹶﻘﺪ‬
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur'an) kepada
mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman).
6
QS. al-Anbiya’ [21]: 50
‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﻜﺮ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ ﹶﻟﻪ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﹶﺃﹶﻓ ﹶﺄﻧ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺰﻟﹾﻨ‬ ‫ ﹶﺃﻧ‬‫ﺭﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﺫﻛﹾﺮ‬ ‫ﻫﺬﹶﺍ‬ ‫ﻭ‬
Artinya: Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah
yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?).
7
QS. al-Isra’ [17]: 82
‫ﺍ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺴ‬‫ﲔ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﺧ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻟ‬‫ ﺍﻟﻈﱠﺎ‬‫ﻳﺰﹺﻳﺪ‬ ‫ﻭﻟﹶﺎ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻣﹺﻨ‬ ‫ﺆ‬‫ﻟﻠﹾﻤ‬ ‫ﻤﺔﹲ‬ ‫ﺭﺣ‬ ‫ﻭ‬ ٌ‫ﺷﻔﹶﺎﺀ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺎ ﻫ‬‫ﻥ ﻣ‬ ‫ﺀَﺍ‬‫ﻦ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻝﹸ‬‫ﻨﺰ‬‫ﻭﻧ‬
Artinya: (Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang
zalim selain kerugian).
8
QS. An-Nahl (16): 125
‫ﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻠ‬‫ﺳﺒﹺﻴ‬ ‫ﻋﻦ‬ ‫ﻞﱠ‬‫ ﺿ‬‫ﻤﻦ‬ ‫ ﹺﺑ‬‫ﹶﻠﻢ‬‫ﻮ ﹶﺃﻋ‬ ‫ﻚ ﻫ‬
 ‫ﺭﺑ‬ ‫ ﹺﺇﻥﱠ‬‫ﺴﻦ‬
 ‫ ﹶﺃﺣ‬‫ﻫﻲ‬ ‫ﻲ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﱠﺘ‬‫ﻬﻢ‬ ‫ﺩﻟﹾ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﻨ‬‫ﺴ‬
 ‫ﺔ ﺍﻟﹾﺤ‬ ‫ﻋ ﹶﻈ‬ ‫ﻤﻮ‬ ‫ﺍﻟﹾ‬‫ﺔ ﻭ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤﻜﹾ‬
 ‫ﻚ ﺑﹺﺎﻟﹾ‬
 ‫ﺭﺑ‬ ‫ﺳﺒﹺﻴﻞﹺ‬ ‫ ﹺﺇﻟﹶﻰ‬‫ﻉ‬‫ﺍﺩ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻳ‬‫ﺘﺪ‬‫ﻬ‬ ‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬‫ﹶﻠﻢ‬‫ﹶﺃﻋ‬
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.
9
QS. Al-Nahl [16]: 89
ٍ‫ﺀ‬‫ﺷﻲ‬ ‫ﻟﻜﹸﻞﱢ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻴ‬‫ﺗﺒ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻚ ﺍﻟﹾ‬
 ‫ﻋﹶﻠﻴ‬ ‫ﻨﺎ‬‫ﻟﹾ‬‫ﻧﺰ‬‫ﻭ‬ ‫ﻟﹶﺎ ِﺀ‬‫ﻫﺆ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺍ‬‫ﺷﻬﹺﻴﺪ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺎ ﹺﺑ‬‫ﻭ ﹺﺟﺌﹾﻨ‬ ‫ﺴ ﹺﻬﻢ‬
ِ ‫ﻔﹸ‬‫ ﹶﺃﻧ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ ﹺﻬﻢ‬‫ﻋﹶﻠﻴ‬ ‫ﺍ‬‫ﺷﻬﹺﻴﺪ‬ ‫ﺔ‬‫ﻲ ﻛﹸﻞﱢ ﺃﹸﻣ‬‫ﻌﺚﹸ ﻓ‬ ‫ﻧﺒ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻳﻮ‬‫ﻭ‬
‫ﲔ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﻟﻠﹾﻤ‬ ‫ﻯ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻭﺑ‬ ‫ﻤ ﹰﺔ‬ ‫ﺭﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻭﻫ‬
Artinya: (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri).
3

Pada dasarnya, al-Qur’ân merupakan buku petunjuk dan keagamaan,

namun pembicaraan dan kandungan isinya tidak terbatas pada bidang


keagamaan saja, tetapi meliputi berbagai macam persoalan.10
Kompleksitas pembicaraan dan kandungan isi al-Qur’ân dapat dijadikan

bukti bahwa al-Qur’ân adalah kitab keagamaan yang berdimensi banyak dan
berwawasan luas.11 Meskipun demikian, al-Qur’ân sangat jarang menyajikan
sesuatu masalah secara terinci dan detail. Pembicaraan al-Qur’ân pada

umumnya bersifat global, parsial dan seringkali menampilkan suatu masalah

dalam prinsip-prinsip pokok saja. Al-Qur’ân dalam membicarakan suatu

masalah tidak tersusun secara sistematis, seperti yang dikenal dalam buku-

buku ilmu pengetahuan yang dikarang oleh manusia.

Walaupun al-Qur’ân tampil tidak memenuhi nilai sistematika ilmiah

jika dibandingkan dengan kitab, atau buku-buku karangan manusia, namun al-

Qur’ân memiliki nilai keunggulan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab atau

buku-buku karangan manusia. Mulai dari redaksi sampai makna yang

dikandungnya tidak berubah sedikit pun, dan tidak ada antitesis baru yang

semisal dengan al-Qur’ân. Al-Qur’ân tetap utuh baik redaksional maupun


makna atau arti yang sesungguhnya. Hal sesuai dengan jaminan Allah yang
terdapat dalam firmannya:

10
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’ân: Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 4.
11
Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan Al-
Qur’ân, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 1994), h. 10.
4

‫ﻈﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺎﻓ‬‫ﻪ ﻟﹶﺤ‬ ‫ﺎ ﻟﹶ‬‫ﺇﹺﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻛﺮ‬


‫ﺎ ﺍﻟﺬﱢ ﹾ‬‫ﺰﹾﻟﻨ‬ ‫ﻦ ﻧ‬ ‫ﺤ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﺇﹺﻧ‬
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. 12 (QS. Al-Hijr
[15]: 9)

Demikianlah Allah menjamin keotntikan al-Qur’an, jaminan yang


diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat

upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluknya, terutama oleh


manusia. Dengan jaminan ayat di atas setiap muslim percaya bahwa apa

yang dibaca, dan didengarnya sebagai al-Qur’an tidak berbeda sedikitpun

dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah Saw. dan didenganr serta

dibaca oleh sahabat nabi Saw. 13 Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’ân

memiliki kandungan makna atau rahasia yang cakupannya sangat luas, dan

untuk memahami dengan baik dan jelas memerlukan kajian yang

komprehensif berdasarkan kaidah-kaidah serta metodologi yang kuat.

Kecenderungan setiap orang untuk mempelajari al-Qur’ân

menggambarkan bahwa al-Qur’ân senantiasa aktual untuk dipedomani. Al-

Qur’ân teruji keabsahannya sejak empat belas abad yang silam sampai

dengan saat ini.

Rasyid Ridha menyatakan bahwa sekiranya al-Qur’ân disusun


menurut bab dan pasal secara sistimatis seperti yang terdapat dalam buku-
buku ilmu pengetahuan, maka al-Qur’ân sudah lama menjadi usang dan

12
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an selama-
lamanya.
13
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. 1, 1992), h. 21
5

ketinggalan zaman, justru dalam sistematika yang unik itulah yang

menyalahi sistematika ilmu pengetahuan, terletak keistimewaan dan


kekuatan al-Qur’ân.14
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’ân membahas berbagai

cakupan persoalan, al-Qur’ân tidak terfokus pada satu persoalan saja, tetapi
meliputi berbagai dimensi kehidupan manusia. Mulai dari persoalan
‘aqîdah, syarî’ah, mu’âmalah sampai pada dunia pengetahuan secara

umum, yang kesemuanya dijelaskan secara global sehingga membutuhkan

kajian-kajian intensif dan terkonsentrasi pada bidangnya masing-masing.

Al-Qur’ân sesugguhnya menjadi landasan dan petunjuk terutama bagi

ummat Islam, dalam rangka mencari atau mendudukkan sebuah

permalasahan karena ia adalah sumber kebenaran dari sebuah pengetahuan.

Ia menjadi petunjuk baik dalam konteks ummat manusia pada umumnya

ataupun petunjuk khususnya bagi ummat Islam. Sebagaimana ditemukan di

dalam al-Qur’ân itu sendiri dengan kata-kata “hudan li al-Nâs15 dan hudan
16
li al-Muttaqîn”, tentunya disinilah menggambarkan atau mencerminkan

bahwa al-Qur’ân tidak saja berbicara masalah-masalah yang berkaitan


dengan aqidah dan syari’ah saja, akan tetapi al-Qur’ân juga menjelaskan
berbagai macam cakupan permasalahannya. Baik kandungan yang

14
Rasyid Rida, Al-Wahy Al-Muhammadiy, (Tt, Al-Maktab Al-Islâmiy, Tth), h. 142-143
15
QS. Al-Baqarah: 185
16
QS. Al-Baqarah: 2
6

terungkap dalam bentuk global (garis besar saja) ataupun penjelasan yang

bersifat jelas bahkan didapati pula penjelasan yang bersifat teknis.


Salah satu dari sekian permasalahan yang ditemukan dalam al-Qur’ân
adalah konsep-konsep bertanya yang mengandung aspek pendidikan, al-

Qur’ân dalam menyampaikan materi pendidikan, menawarkan berbagai


pendekatan dan metode. Salah satu di antaranya yaitu metode bertanya,
yakni di dalam al-Qur’an terdapat bentuk-bentuk pertanyaan yang ditujukan

kepada Rasul dan sekaligus jawaban-jawabannya yang berkaitan dengan

pokok permasalahan tersebut, walaupun pertanyaan dan bentuk jawaban itu

masih bersifat global, dengan maksud mengarahkan perhatian manusia

kepadanya dan kepada uslub al-Qur’ân, disamping menunjukkan

kandungannya berupa hukum, hikmah dan makna yang memberikan

pengaruh baik, dan arahan berharga terhadap kehidupan orang mukmin,

baik yang bersifat khusus maupun umum.

Manusia memiliki naluri ingin tahu. Akan tetapi dia juga memiliki

keterbatasan. Akalnya tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Agama

sama sekali tidak melarang seseorang untuk bertanya. Banyak pertanyaan


para sahabat Nabi saw. yang dijawab oleh al-Qur’ân, demikian juga oleh
Nabi Muhammad saw. bahkan al-Qur’ân memerintahkan agar bertanya

kepada yang mengetahui.17

17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, (Jakarta:
Lentera Hati, 2001), Vol. III, h.219
7

Perintah bertanya dengan menggunakan kata Kata “is-alû” (‫)ﺍﺳﺎﻟﻮﺍ‬


yang artinya tanyakanlah bisa diartikan dengan:18
1. Bertanya biasa seperti bertanya yang kita kenal sehari-hari.
2. Bertanya jawab/dialog atau tukar pikiran dan mengadakan diskusi

dengan orang-orang yang sudah ahli.


3. Belajar kepada orang yang sudah ahli.
4. Meneliti dan mempelajari pikiran-pikiran para ahli ilmu yang tidak

mungkin bisa bertemu secara langsung karena sudah meninggal, jauh

tempatnya, atau karena sebab-sebab lainnya.

Akan tetapi al-Qur’ân juga melarang bentuk pertanyaan, yang jika

dijawab akan menyusahkan dan berdampak negatif bila didengar seperti

terdapat dalam Q.S. al-Mâ´idah [5]: 101

Ada juga pertanyaan yang tidak mampu dicerna jawabannya oleh

penanya. Dalam hal semacam ini pertanyaan itu sebaiknya tidak dijawab

atau bahkan tidak perlu ditanyakan. Seperti antara lain terdapat pada Q.S.

al-Isrâ’ [17] : 85

Materi pertanyaan di dalam al-Qur’ân yang diajukan kepada


Rasulullah saw. jika ditinjau dari pembatasan yang ditanyakan atau arah
pertanyaan itu bermacam-macam. Di antara pertanyaan itu ada yang terbatas

dan jelas, seperti pertanyaan tentang bulan haram dan ada pula pertanyaan

18
Ichsan Hadisaputra, Anjuran Al-Qur’ân dan Hadits Untuk Menuntut Ilmu Pengetahuan
dan Pengalamannya, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981)
8

yang tersembunyi dan baru diketahui dari jawabannya. Seperti pertanyaan

tentang khamar, anak-anak yatim dan haid.


Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti
ayat-ayat al-Qur’ân yang mengungkapkan tentang pertanyaan. Dengan

kajian dan penelitian itu, akan ditemukan bagaimana sesungguhnya makna


al-Su’al dalam al-Qur’ân dan metode bertanya menurut al-Qur’an.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas dan

sesuai dengan judul penelitian ini, yakni Konsep al-Su’al dalam al-Qur’ân,

(kajian tematik tentang metode bertanya menurut al-Qur’an) maka kajian di

dalamnya akan dikonsentrasikan pada pembahasan metode tanya-jawab

yang diungkapkan dalam al-Qur’ân. Adapun permasalahan pokok yang

akan diangkat ialah bagaimana metode bertanya menurut al-Qur’ân? Agar

pembahasan dapat terarah, permasalahan pokok ini dijabarkan kepada

beberapa sub masalah sebagai berikut:

1. Apakah hakekat al-Su’al menurut al-Qur’ân.?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk Pertanyaan dalam al-Qur’an

3. Bagaimana Metode bertanya dan menjawab menurut al-Qur’ân.?

Pembahasan terhadap permasalahan yang dikemukakan di atas

dibatasi pada tinjauan secara cermat terhadap konsepsi Tanya-jawab dalam

al-Qur’ân, yaitu pada prinsipnya akan mengkaji bagaimana al-Qur’ân


9

berbicara sendiri tentang bertanya Kajian ini akan dirinci kepada apa,

bagaimana dan untuk apa pertanyaan itu menurut al-Qur’ân. Dengan

demikian pembahasan tesis ini berpijak pada pemikiran filosofis yang

meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, pertanyaan serta posisinya

sebagai metode bertanya menurut al-Qur’ân. Dengan batasan seperti ini,

pembahasan yang dilakukan berusaha merumuskan konsep bertanya yang

dapat dipahami dari ungkapan al-Qur’ân.

Hadits-hadits yang membicarakan tentang al-su’al terutama yang

membahas tentang asbab al nuzul dari al-su tidak diabaikan, karena hadis

pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan al-Qur’ân. Paling tidak hadis-

hadis itu akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan ataupun pelengkap

pembahasan untuk memperoleh kajian yang lebih utuh dan konperhensip.

C. Tujuan Penelitian

Terkait dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan

dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui dengan jelas hakekat al-Su’al dalam al-Qur’ân.

2. Mengetahui beberapa bentuk pertanyaan dan tujuan bertanya dalam al-

Qur’an

3. Mengetahui Metode dan etika bertanya serta menjawab menurut Al-

Qur’an
10

D. Kajian Kepustakaan

Dalam tulisan ini, yang menjadi inti pembahasan adalah kajian tentang

al-Su’al dalam al-Qur’an yang yang dibatasi pada hakekat pertanyaan,

bentuk pertanyaan serta metode bertanya dan ertika yanya jawab. Kajian ini

diangkat setelah menelusuri tulisan-tulisan sebelumnya dansetelah diteliti,

belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus mengkaji masalah

pertanyaan dalam al-Quran dengan kajian yang menyeluruh, terutama

posisinya sebagai metode bertanya dalam al-Qur’ân, dengan menggunakan

metode tafsir maudhu’i. Kajian dan penelitian yang satu-satunya pernah

diangkat oleh Muhammad Syahnan adalah Istifham dalam al-Qur’an yang

mengkaji dari segi ilmu ma’ani bukan dari segi konsep bertanya dan

metode. Dengan demikian penelitian ini bukanlah pengulangan dari kajian

peneliti lain. Penelitian ini diharapkan menghasilkan pemikiran baru

tentang al-sual menurut al-Qur’ân dan kaitannya dengan metode bertanya

menurut al-Qur’ân yang belum diungkapkan oleh penulis-penulis lain.

E. Metode Penelitian.

Penelitian ini bersifat kepustakaan yakni semua bahan informasi yang

dibutuhkan bersumber dari bahan pustaka. Karena obyek penelitian ini

berupa ayat-ayat al-Quran yang terhimpun dalam beberapa surat dan

terfokus pada sebuah tema, maka penelitian ini menggunakan pendekatan


11

ilmu tafsir dengan metode “maudu’i” (pendekatan tematik), yaitu suatu

metode tafsir yang berusaha mencari ayat-ayat al-Qur’ân tentang suatu

masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat dimaksud, lalu

menganalisisnya lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang

dibahas, untuk kemudian melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur’ân

tentang masalah tersebut.19 Yang secara operasionalnya meliputi langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Menetapkan Al-Su’al sebagai tema.

2. Menghimpun ayat-ayat al-Quran yang relevan dengan pertanyaan.

3. Memberikan uraian dan penjelasan dengan mengemukakan pendapat

para mufassir. Serta menggunakan lmu bantu yang relevan dengan

masalah yang dibahas, dengan memahami sebab turunnya dan munasabat

ayat.

Untuk kesempurnaan informasi digunakan rujukan utama dari

berbagai kitab tafsir antara lain: Tafsir Al-Quran Al-Azhim.20 Karya Ismail

bin Anwar bin Katsir, Tasir Al-Maraghi, karya Ahmad Mustafa al-

Maraghi, Tafsir al-Qur’ân al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar, karya

Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Shafwat at-Tafsir karya Muhammad Ali

19
Abd. al-Hay al-Farmawiy, Al-Bidayat fi Tafsir al-Mauduiy, (Mesir: al-Maktabah al-
Jumhuriyah, 1977), h. 52
20
Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang terkenal dan termasuk tafsir bi al-
ma’tsur, yaitu tafsir yang merujuk pada penafsiran al-Quran dengan ayat Al-Quran atau
penafsiran al-Quran dengan al-Hadits melalui penuturan para sahabat.Lihat M. Qurash Shihab,
Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra dan Kemasyarakatan, (Ujung Pandang:
IAIN Alauddin, 1984), h.132
12

al-Sabuni, , al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj,

karya Wahbah al-Zuhaeli, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian

al-Qur’ân karya M. Quraish Shihab, serta kitab tafsir lainnya akan dijadikan

acuan dalam penelitian ini, dan untuk memudahkan pelacakan ayat-ayat al-

Quran dipergunakan al-Mu’jam al Mufahras li Al-fadz al-Quran al-Karim

karya Muhammad Fuad Abdul al-Baqi. Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-

Qur’ân,

Untuk mengetahui maksud kata-kata dan istilah tertentu dari ayat-

ayat al-Quran, digunakan kitab Mu’jam al-Mufradat li al-fadz al-Quran,

karya al-Raghib Al-Asfahani dan Mu’jam Muqayis al-Lughah, karya Abi

Al-Husain Ahmad Ibnu Faris Ibn Zakariya, serta kamus bahasa arab seperti:

Lisan al-Arab Susunan Ibnu Manshur al-Anshari. Demikian pula karya-

karya Tafsir seperti “Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir” karya al-Imam al-Jalil

al-Hafid Imaduddin Ismail Bin Katsir, dan “Tafsir Al-Qur’ân al-Hakim al-

Syahir Bitafsir al-Manar” karya Syeikh Abdul Rasid Rida, serta “At-Tafsir

al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj” karya Prof. Dr.

Wahbah al-Zuhaeli, dan “Ahkam Al-Qur’ân” karya Abu Bakar Muhammad

Bin Abdullah Ibn Al-Arabi. Jalaluddin As-Suyuti As Syafi’I, Al-Itqan fi

Ulum Al-Qur’ân,

Untuk kesempurnaan informasi, meskipun yang menjadi dasar

penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir maudhu’i namun penulis


13

menggunakan buku-buku penunjang sebagai pelengkap berkenaan dengan

pembahasan sepanjang pendekatan itu relevan dengan masalah yang

dibahas.

F. Sitematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan secara keseluruhan, tesis ini dibagi ke

dalam lima bab sebagai berikut ;

BAB I : Pendahuluan yang meliputi, latar belakang masalah, rumusan

dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan

metodologi penelitian serta sistematika penelitian.


BAB II : Pengungkapan al-su’al dalam al-Qur’ân terdiri dari; pengertian
al-su’al, identifikasi penggunaan makna ‫ﺳﺄﻝ‬ (bertanya) dan
segala perubahan tashrifnya dalam al-Qur’an, Penanya dalam al-
Qur’ân, term-term yang identik dengan makna al-su’al, serta
peebedaan antara bertanya dan meminta fatwa.
BAB III: Jenis-jenis pertanyaan dalam al-Qur’ân yang meliputi pertanyaan
tentang hukum yang terdiri dari legislasi infak dan penerimanya,
legislasi perang di bulan haram, hukum minuman beralkohol,
khamar dan judi, hukum pengelolaan harta anak-anak yatim hukum
wanita yang sedang haidh hukum penentuan makanan yang halal,
dan hukum Pembagian harta rampasan perang. Demikian juga
Pertanyaan tentang dekatnya Allah, pertanyaan tentang hari
14

kiamat, serta pertanyaan tentang tokoh sejarah dan bentuk


bertanya yang dibenarkan dalam al-Qur’ân.
BAB IV: Analisis tentang al-su’al dalam al-Qur’ân yang meliputi motivasi
dan tujuan bertanya, yang terdiri dari bertanya karena tidak tahu,
bertanya karena ingkar dan bertanya karena menguji pengetahuan
Nabi. Metode bertanya yang terdiri dari bertanya kepada ahlinya,
dan tidak berlebihan dalam bertanya. Etika menjawab terdiri dari
menjawab dengan ilmu pengetahuan, mengarahkan penanya pada
hal yang berfaedah, dan menjawab dengan dalil perbuatan.

BAB V : Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran.


BAB II
PENGUNGKAPAN AL-SU’AL DALAM AL-QUR’ÂN

A. Pengertian al-Su’al
Secara etimologi, kata su’al berasal dari kata dasar sa’ala yas-alu su-
alan mas’alatan ‫ ﺳﺆﺍﻻ ﻭﻣﺴﺎﻟﺔ‬- ‫ ﻳﺴﺎﻝ‬- ‫ﺳﺎﻝ‬ (bentuk fi’il madhi mujarrad atau
verbal lampau simpel aktif) yang ikut wazan fa’ala, yang berakar dari tiga
huruf yaitu s-a-l, yakni kata kerja tiga huruf ( Fi’il tzulatzi ) Ibn al-Mandhur,
dalam kitabnya Lisan al-Arab menyatan bahwa kata sa’ala ini dapat memiliki
beberapa pengertian yaitu : (a) “meminta” seperti ‫ ﺳﺄﻟﺘﻪ ﻣﺎﻻ‬yang berarti saya
meminta harta kepadanya1. (b) memohon” seprti pada ayat ‫ﺳﺄﻝ ﺳﺎﺋﻞ ﺑﻌﺬﺍﺏ ﻭﺍﻗﻊ‬
yakni “Seorang peminta telah memohon kedatangan azab yang bakal
terjadi“ (Q.S. al-Ma’arij : 1 ). (c) bertanya atau “menanyakan sesuatu”, Yakni
jika kata tersebut disertai dengan bentuk preposisi “an” yang berkedudukan
sebagai huruf Jar seperti pada ayat ‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ﻱ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻚ‬‫ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳ‬‫ﻭ‬ “dan apabila
hambaku bertanya tentang aku …” (QS. Al-Baqarah [2]: 186).2
Dari akar kata tersebut lahirlah banyak arti jika mengalami perubahan
tashrif yang berbeda-beda, seperti kata ‫ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ‬ yang berarti yang bertanya,
pengemis, dan peminta-minta seperti disebut dalam al-Qur’an surat al-
Dhuha ayat 10 ‫( ﻭﺍﻣﺎ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ ﻓﻼ ﺗﻨﻬﺮ‬dan terhadap orang yang meminta-minta
maka janganlah kamu menghardiknya) Dan surat al-Dzariyat ayat 19 ‫ﰱ‬
‫( ﺍﻣﻮﺍﳍﻢ ﺣﻖ ﻟﻠﺴﺎﺋﻞ ﻭﺍﶈﺮﻭﻡ‬Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk
1
Ibn al-Manzhur, Lisan al-Arab, Jild 4, (Kairo: Dar al-Qahirah, 2003), h. 544.
2
Ibn al-Manzhur, Lisan al-Arab, Jild 4, h. 544.

15
16

orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian ).
Dari kata dasar ini lahir pula kata ‫ﺍﳌﺴﺆﻟﻴﺔ‬ yang berarti tanggung jawab atau
responsibelitas, adapun ‫ﺍﳌﺴﺌﻮﻝ‬ berarti yang ditanya atau diminta
pertanggung jawaban.3 Seperti pada surat al-Isra ayat 36 ‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﻭ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﺴ‬
‫ﺌﹸﻮﻟﹰﺎ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ ﻛﹸﻞﱡ ﺃﹸﻭﻟﹶﺌ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺍﻟﹾﻔﹸﺆ‬‫ﻭ‬ (… Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya)
Sedang ‫ﺍﳌﺴﺌﻠﺔ‬ berarti problematika atau issu. Perubahan dalam kata kerja,
baik menjadi bentuk kata kerja lampau, sekarang atau yang akan datang,
maupun bentuk kata kerja perintah, pengertian kata ‫ ﺳﺎﻝ‬tidak merubah arti
sebagaimana sediakala.
Menurut Al-Asfahaniy, Kata sa’ala ( ‫ﺳﺄﻝ‬ ) dan segala perubahan
tashrifnya mempunyai pengertian meminta dan bertanya . yakni meminta
ilmu pengetahuan atau apa yang membutuhkan pengetahuan, dan meminta
harta atau apa yang membutuhkan harta. Meminta pengetahuan (bertanya)
jawabannya pada lidah dan tangan sebagai wakil dengan menulis atau
memberikan isyarat, sedangkan meminta harta jawaban pada tangan dan
lidah yang mewakilinya baik dalam bentuk janji atau dengan jawaban
menolak.4

3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), Cet. ke-25, h. 600.
4
Al-Ragib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’ân, (Beirut: Daar al-Fikr, 1392
H), h. 224
17

Kata sa’ala dan segala tashrifnya jika merupakan permintaan harta


maka lazimnya diungkapkan bendanya langsung atau dengan kata depan
min5 seperti di dalam firman Allah:
‫ﺎﺏﹴ‬‫ﺠ‬‫ﺍﺀِ ﺣ‬‫ﺭ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﻫ‬ ‫ﺎ ﻓﹶﺎ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﻤ‬‫ﺳﺄﹶﹾﻟﺘ‬ ‫ﹺﺇﺫﹶﺍ‬‫ﻭ‬
Artinya:“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-
isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. (Q.S. al-Ahzab
[33]: 53).

…‫ﻪ‬‫ﻀﻠ‬
 ‫ﻓﹶ‬ ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺍ‬‫…ﻭ‬
Artinya: “Dan mintalah kepada Allah dari sebagian karunia-Nya”. (Q.S. Al-
Nisâ’ [4]: 32).

Kata sa’ala dengan segala tashrifnya jika merupakan permintaan


pengetahuan (pertanyaan) maka redaksinya membutuhkan obyek yang
kedua (maf’ul ats-tsani) kadang kadang dengan menyebut bendanya dan
kadang-kadang diantarai dengan huruf jar. Seperti kata “sa’altuhu kaza”
(saya bertanya kepadanya begini ) atau sa’altuhu an kazaa (saya bertanya
kepadanya tentang ini). Wa bi kazaa. Biasanya kata depan (huruf jar) ‘an’
lebih banyak digunakan.6 Hal ini sejalan dengan kaedah kebahasaan, yaitu
kata: (‫)ﻳﺴﺎﻝ‬ yas-alu disertai dengan huruf preposisi (‫)ﻋﻦ‬ ‘an maka ia
berartibertanya, seperti pertanyaan tentang ruh,7 pertanyaan tentang kisah
Dzulqarnain8, pertanyaan tentang peperangan 9 dan pertanyaan tentang
5
Al-Ragib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’ân, h. 225
6
Al-Ragib al-Asfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’ân, h. 225
7
QS, al-Isrâ [17]: 85
‫ﻲ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﻣ ﹺﺮ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺡ‬
 ‫ﻭ‬‫ﺡ ﹸﻗﻞﹺ ﺍﻟﺮ‬
‫ﻭ ﹺ‬‫ﻋ ﹺﻦ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻧ‬‫ﺴﹶﺄﻟﹸﻮ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku,
8
QS. Al-Kahfi [18]: 83
‫ﺍ‬‫ﺫ ﹾﻛﺮ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺗﻠﹸﻮ‬‫ﹶﺄ‬‫ﻴ ﹺﻦ ﹸﻗﻞﹾ ﺳ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬ ‫ﻱ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ‬‫ﻦ ﺫ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻧ‬‫ﺴﹶﺄﻟﹸﻮ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
18

kedekatan Allah dengan hambanya10 sedangkan bila tanpa ‘an maka ia


dalam arti meminta.11
‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ﻱ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻚ‬‫ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳ‬‫ﻭ‬
Artinya:“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku”.
(Q.S. al-Baqarah [2]: 186).

Mencermati penjelasan makna kata sa’ala dan segala tashrifanya


tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa kata kerja sa’ala baik berupa fi’il
madhi, (Kata kerja masa lalu ) mudhari’( Kata kerja masa sekarang ) maupun
amar (Kata Kerja perintah ) baik yang positif maupun negatif yang terdapat
dalam al-Qur’an menggunakan tiga pengertian sebagai berikut :

1. Meminta
Penggunaan pengertian meminta pada kata ‫ﺳﺄﻝ‬ sa’ala dan segala
tasrifnya dalam al-Qur’an dapat ditemukan pada 39 ayat dalam surah yang
berbeda-beda yakni pada surah al-Ma’arij : 1 dan 25, surah al-Nisa : 153 dan 1,
surah al-Baqarah : 61 dan 108 serta 119 dan 134, 141, 177, 273, surah al-
Dzariyaat : 19, surah al-Dhuha : 10, surah al-An’am : 90, surah yunus : 72,

Artinya: Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain.


Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya".
9
QS, al- Anfâl [8]: 1.
‫ﻮ ﹺﻝ‬‫ﺳ‬‫ﺍﻟﺮ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻟﱠﻠ‬ ‫ﻧﻔﹶﺎ ﹸﻝ‬‫ﻧﻔﹶﺎ ﹺﻝ ﹸﻗﻞﹺ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬‫ﻋ ﹺﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻧ‬‫ﺴﹶﺄﻟﹸﻮ‬
 ‫ﻳ‬
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.
Katakanlah: "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul.
10
Q.S. al-Baqarah [2]: 186
‫ﻲ ﹶﻗﺮﹺﻳﺐ‬‫ﻲ ﹶﻓﺈﹺﻧ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ﻱ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻋﺒ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﹶﺄﹶﻟ‬‫ﻭﺇﹺﺫﹶﺍ ﺳ‬
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
11
Al-Ragib al-Asfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’ân, (Beirut: Daar al-Fikr, 1392
H.), h. 225
19

surah Huud : 29 dan 51, surah al-Furqan : 57, surah al-Syu’ara : 109, 127, 145,
164, 180, surah Shad : 86 dan 24, surah al-Syuura : 23, surah Yusuf : 104,
surah al-Thuur : 40, surah al-Qalam : 46, surah al-Rahman : 29, surah Thaha :
36 dan 132, surah al-Mu’minun : 72, surah al-Ahzab : 14, surah Saba : 47,
surah Yasin : 21, surah Muhammad : 36 dan 37, surah al-Mumtahanah : 10.
dalam bentuk kata jadian yang berfariatif, ada yang berbentuk kata kerja masa
lampau positif dan negatif, masa sekarang positif dan negatif, kata kerja
imferatif, kata pelaku, serta bentuk kata jadian (Isim ) seperti misalnya pada
beberapa contoh berikut :
1. Bentuk kata kerja masa lampau positif dan negatif.
a. kata ‫ﻞﹲ‬‫ﺎﺋ‬‫ﺳ‬ ‫ﺳﺄﹶﻝﹶ‬ artinya seorang peminta telah meminta.12
Ibnu Katsir memberikan penafsiran bahwa orang non muslim (kafir)
meminta segera diturunkannya azab (siksaan) kepada mereka di dunia bukan di
hari kemudian. Mereka bahkan mengatakan wahai Tuhan jika kebenaran ini
datang dari-Mu, maka hujanilah kami dari langit berupa batu atau
datangkanlah siksaan yang pedih kepada kami.13
b. kata ‫ﻢ‬ ‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ ﺳ‬yang berarti kamu minta.14

12
Q.S. Al-Ma‘ârij [70]: 1
‫ﻗﻊﹴ‬‫ﺍ‬‫ﺏ ﻭ‬
‫ﻌﺬﹶﺍ ﹴ‬ ‫ﻞﹲ ﹺﺑ‬‫ﺎﺋ‬‫ﹶﺄ ﹶﻝ ﺳ‬‫ﺳ‬
Artinya : “ Seseorang Telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa” .
13
Imad al-Din abi al-Fida ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut:
Muassasat al-Kutub al-Tsaqarat, t.th.), h. 547
14
QS. Al-Baqarah [2]: 61
‫ﺎ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﻭﻓﹸﻮ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻗﺜﱠﺎﺋ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻠﻬ‬‫ﺑ ﹾﻘ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺽ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬‫ﻨﹺﺒﺖ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﺝ ﹶﻟﻨ‬
 ‫ ﹺﺮ‬‫ﻳﺨ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺭﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ﻉ ﹶﻟﻨ‬
 ‫ﺩ‬ ‫ ﻓﹶﺎ‬‫ﺣﺪ‬ ‫ﺍ‬‫ﺎ ﹴﻡ ﻭ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻃﹶﻌ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺼﹺﺒ‬
 ‫ﻧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻰ ﹶﻟ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺘ‬‫ﻭﺇﹺ ﹾﺫ ﹸﻗ ﹾﻠ‬
‫ﻢ ﺍﻟﺬﱢﱠﻟ ﹸﺔ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺑﺖ‬‫ ﹺﺮ‬‫ﻭﺿ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﹶﺄﹾﻟ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﺍ ﹶﻓﺈﹺ ﱠﻥ ﹶﻟ ﹸﻜ‬‫ﺼﺮ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻫﹺﺒﻄﹸﻮﺍ‬ ‫ ﺍ‬‫ﻴﺮ‬‫ﻮ ﺧ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻱ‬‫ﻧﻰ ﺑﹺﺎﱠﻟﺬ‬‫ﺩ‬ ‫ﻮ ﺃﹶ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻱ‬‫ﺪﻟﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﺗ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺃﹶ‬‫ﻠﻬ‬‫ﺼ‬ ‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺪﺳ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬
20

Imam Muhammad al-Razy dalam tafsirnya menyebutkan bahwa


motifasi permintaan yang melatar belakangi kaum nabi Musa terdiri dari empat
motivasi yaitu : (1) mereka merasa hanya mengkonsumsi satu jenis makanan
selama empat puluh tahun lamanya sehingga menghendaki jenis makanan lain.
(2) dapat pula mereka tidak terbiasa mengkonsumsi makanan tersebut
melainkan jenis makanan lain. (3) Oleh karena mereka merasa bosan dengan
makanan yang itu-itu saja sehingga meminta jenis makanan lain yang terdapat
di daerah lain. (4) Mereka menganggap bahwa mengkonsumsi satu jenis
makanan saja dapat mengurangi nafsu birahi dan memperlemah alat
pencernaan.15 Permintaan inilah mendapat jawaban dari nabi Musa agar
mereka pergi ke suatu kota agar mendapatkan apa yang diminta.
c. Kata ‫ﻢ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ ﺳ‬seperti dalam kalimat ‫ﺟﺮﹴ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﺎ ﺳ‬‫( ﻓﹶﻤ‬aku tidak meminta
upah sedikitpun dari kamu)16

‫ﻮﺍ‬‫ﻭﻛﹶﺎﻧ‬ ‫ﺍ‬‫ﺼﻮ‬
 ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﻚ ﹺﺑﻤ‬
 ‫ﻟ‬‫ ﹶﺫ‬‫ﻖ‬‫ﻴ ﹺﺮ ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﲔ ﹺﺑﻐ‬
 ‫ﹺﺒﻴ‬‫ﺘﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﻨ‬‫ﻳ ﹾﻘ‬‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺕ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻥ ﺑﹺﺂﻳ‬‫ﻳ ﹾﻜ ﹸﻔﺮ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻢ ﻛﹶﺎﻧ‬ ‫ﻬ‬‫ﻚ ﹺﺑﹶﺄﻧ‬
 ‫ﻟ‬‫ﻪ ﹶﺫ‬ ‫ﻦ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬
‫ ﹴ‬‫ﻀ‬‫ﺎﺀُﻭﺍ ﹺﺑﻐ‬‫ﻭﺑ‬ ‫ﻨ ﹸﺔ‬‫ﺴ ﹶﻜ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻭ‬
‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺘﺪ‬‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak _bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mintalah untuk kami kepada Tuhanmu, agar
dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya,
ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata:
“Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? pergilah kamu ke
suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka
nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) Karena
mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak
dibenarkan. Demikian itu (terjadi) Karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
15
Imam Muhammad bin al-Husain Fakhruddin al-Razi,Tafsir Al-Kabir, jilid II, (Kairo:
Dar al-Fikr, t.th.), h. 106
16
QS. Q.S. Yunus [10]: 72
‫ﲔ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻠ‬‫ﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺕ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺃﹶﻛﹸﻮ ﹶﻥ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺃﹸ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻱ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬
 ‫ﺟ ﹺﺮ‬ ‫ﺟ ﹴﺮ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺃﹶ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬‫ﹶﺄﹾﻟ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﻢ ﹶﻓﻤ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻮﱠﻟ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﹶﻓﺈﹺ ﹾﻥ‬
Artinya : “ Jika kamu berpaling (dari peringatanku), Aku tidak meminta upah sedikitpun
dari padamu. upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan Aku disuruh supaya Aku
termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)". (Q.S. Yunus [10]: 72).
21

Dalam menafsirkan ayat ini syeikh Ali Al-Sabuniy menyebutkan bahwa


jika kalian (non muslim penduduk Mekkah) tidak menghiraukan nasihat dan
peringatanku (Nabi Nuh), semata-mata bukan karena hanya meminta imbalan
dari kalian. Nasihat dan peringatan diberikan karena kesesatan kalian
menempuh jalan sesat17
Kata yang sama pada ayat yang lain menjelaskan tentang Rasulullah
Saw. tidak meminta upah kepada mereka tetapi yang diminta Rasulullah Saw.
Sebagai upah ialah agar mereka beriman kepada Allah dan iman itu ialah buat
kebaikan 18
Dalam menafsirkan ayat tersebut al-Thabari menuliskan Sesungguhnya
Saya (Nabi Muhammad) tidak meminta kepada kalian imbalan, sehingga
kalian dapat mengira bahwa ajakan atau himbauan Saya ini semata mata untuk
mendapatkan uang dari kalian. 19

d. Kata ‫ﻠﹸﻮﺍ‬‫ﺳﺌ‬ artinya mereka diminta 20

17
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir jilid I, h 592
18
QS. Saba’ [34]: 47
‫ﺷﻬﹺﻴﺪ‬ ٍ‫ﻲﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛﻞﱢ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻱ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬
 ‫ﺟ ﹺﺮ‬ ‫ﻢ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺃﹶ‬ ‫ﻮ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺟ ﹴﺮ ﹶﻓﻬ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬‫ﹶﺄﹾﻟ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﹸﻗﻞﹾ ﻣ‬
Artinya: Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu.
Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu".
19
Ibnu Jarir Al-Thabari Jami’ Al-Bayan fî Tafsir al-Qur’ân Beirut: Dar al-Tiba’ah jilid
12, h. 22 Q.S. Saba’ [34]: 47
‫ﺷﻬﹺﻴﺪ‬ ٍ‫ﻲﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛﻞﱢ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻱ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬
 ‫ﺟ ﹺﺮ‬ ‫ﻢ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺃﹶ‬ ‫ﻮ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺟ ﹴﺮ ﹶﻓﻬ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬‫ﹶﺄﹾﻟ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﹸﻗﻞﹾ ﻣ‬
Artinya: Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu.
Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu".
20
Q.S. al-Ahzâb [33]: 14
‫ﺍ‬‫ﺴﲑ‬
ِ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬‫ﺜﹸﻮﺍ ﹺﺑﻬ‬‫ﺗﹶﻠﺒ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮﻫ‬ ‫ﺗ‬‫ﻨ ﹶﺔ ﻟﹶﺂ‬‫ﺘ‬‫ﻔ‬ ‫ﺌﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ ﺳ‬‫ﺎ ﺛﹸﻢ‬‫ﻦ ﺃﹶ ﹾﻗﻄﹶﺎ ﹺﺭﻫ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﹶﻠﺖ‬‫ﺩﺧ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬
Artinya: “Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, Kemudian diminta kepada
mereka supaya murtad], niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada
22

Pengertian kata ‫ﻠﹸﻮﺍ‬‫ﺳﺌ‬ ‫ﺛﹸﻢ‬ pada ayat di atas ialah ‫ ﻃﻠﺒﻮﺍ‬‫ﺛﹸﻢ‬ emudian
mereka diminta, agar menjadi non muslim dan memerangi ummat islam,
mereka segera mengabulkan permintaan21
Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya cukup jelas yakni
berbicara tentang orang-orang yanmg meminta izin untuk kembali ke
Medinah dengan dalih rumah mereka tidak terjaga. Isi hati mereka dibuka
oleh Allah Swt. dengan menyatakan: Kalau misalnya, kota mereka yakni
Yatsrib atau rumah-rumah mereka diserang dari segala penjuru, kemudian
diminta kepada mereka satu fitnah yakni keluar dari islam atau menyerah
niscaya mereka mengerjakannya dan mereka tidak akan menundanya
kecuali sebentar yakni sekadar waktu untuk menjawab permintaan itu.22

f. Surah Ibrahim : 34
‫ ﻛﹶﻔﱠﺎﺭ‬‫ﺎﻥﹶ ﻟﹶﻈﹶﻠﹸﻮﻡ‬‫ﻧﺴ‬‫ﺎ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﹾﻟﺈﹺ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺤﺼ‬
 ‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻌﻤ‬ ‫ﻭﺍ ﻧﹺ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﻩ‬‫ﻤ‬‫ﺳﺄﹶﹾﻟﺘ‬ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﻛﹸ ﱢﻞ ﻣ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﺎﻛﹸ‬‫ﺀَﺍﺗ‬‫ﻭ‬
Artinya: “ Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala
apa yang kamu minta kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat
Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)
“.(Q.S. Ibrahim [14: 34).

2. Bentuk kata kerja masa kini dan akan datang

a. Kata ‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻚ‬
 ‫ ﻳ‬yang artinya meminta kepadamu23

21
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir jilid II h. 515
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol.11, h. 234
23
QS. al-Nisâ’ [4]: 153
23

Dalam ayat ini diuraikan keburukan kelompok yang bermaksud


memisahkan antara Allah dan Rasul-Nya, antara lain dengan menyebut
beberapa permintaan mereka, yaitu bahwa ahl al-kitab, orang Yahudi,
meminta kepadamu wahai Muhammad agar engkau bermohon kepada Allah
sehingga menurunkan kepada mereka secara khusus, kalau perlu dengan
menyebut nama mereka, Sebuah kitab dari langit yang dibawa oleh para
malaikat dan mereka ikut menyaksikannya.24
Permintaan mereka agar Rasulullah Saw. bermohon kepada Allah agar
menurunkan kepada orang-orang Yahudi satu kitab yang khusus yang mereka
lihar secara nyata turun dari langit, merupakan salah satu bentuk dari
pengingkaran mereka kepada Allah Swt.
b. Kata ‫ﻢ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻜﹸ‬ ‫ﺃﹶ‬ seperti dalam kalimat “‫ﺍ‬‫ﺟﺮ‬
 ‫ﹶﺃ‬ ‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻜﹸ‬ ‫ ﻟﹶﺎ ﺃﹶ‬aku tidak meminta
upah kepada kamu 25

‫ﺮ ﹰﺓ‬ ‫ﺟﻬ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻚ ﹶﻓﻘﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶ ﹺﺭﻧ‬


 ‫ﻟ‬‫ﻦ ﹶﺫ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﻰ ﺃﹶ ﹾﻛ‬‫ﻮﺳ‬‫ﹶﺄﻟﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ﺪ ﺳ‬ ‫ﺎ ِﺀ ﹶﻓ ﹶﻘ‬‫ﻤ‬‫ﻦ ﺍﻟﺴ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻛﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ ﹶﻝ‬‫ﻨﺰ‬‫ﺗ‬ ‫ﺏ ﺃﹶ ﹾﻥ‬ ‫ﺎ ﹺ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻫﻞﹸ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻚ ﺃﹶ‬  ‫ﺴﹶﺄﹸﻟ‬  ‫ﻳ‬
‫ﺎ‬‫ﻣﺒﹺﻴﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ ﹾﻠﻄﹶﺎﻧ‬‫ﻰ ﺳ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺗ‬‫ﻭﺀَﺍ‬ ‫ﻚ‬ ‫ﻟ‬‫ﻦ ﹶﺫ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮﻧ‬ ‫ﻌ ﹶﻔ‬ ‫ﺕ ﹶﻓ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻨ‬‫ﺒﻴ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺗﻬ‬‫ﺎ َﺀ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﺪ ﻣ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻞﹶ‬‫ﻌﺠ‬ ‫ﺬﹸﻭﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﺨ‬‫ ﺍﺗ‬‫ﻢ ﺛﹸﻢ‬ ‫ﻤﻬﹺ‬ ‫ﻋ ﹶﻘ ﹸﺔ ﹺﺑ ﹸﻈ ﹾﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﺗﻬ‬‫ ﹶﺬ‬‫ﹶﻓﹶﺄﺧ‬
Artinya: Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah
Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari
itu. Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar
petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka
bukti-bukti yang nyata, lalu Kami ma`afkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami
berikan kepada Musa keterangan yang nyata.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 2, h. 642,
25
QS. Al-An’am [6]: 90
‫ﲔ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺎﹶﻟ‬‫ﻟ ﹾﻠﻌ‬ ‫ﻯ‬‫ﺫ ﹾﻛﺮ‬ ‫ﻮ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺍ ﺇﹺ ﹾﻥ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﻪ ﺃﹶ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺄﹸﻟ ﹸﻜ‬‫ﹸﻗﻞﹾ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺳ‬
Artinya: Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al
Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat.
QS. Al-Syuura [42]: 23
‫ﻰ‬‫ﺮﺑ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬‫ ﹶﺓ ﻓ‬‫ﻮﺩ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﻪ ﺃﹶ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺄﹸﻟ ﹸﻜ‬‫ﹸﻗﻞﹾ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺳ‬
Artinya: Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku
kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".
QS. Shaad [38]:86
24

Dalam QS. Al-An’am [6]: 90, QS. Al-Syuura [42]: 23, dan QS. Shaad
[38]:86 Allah Swt. menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak meminta
upah, bukannya sebagai bantahan atas tuduhan semacam itu, tetapi untuk
menggaris bawahi bahwa ajakan beliau semata-mata untuk kepentingan
ummat. Kalimat ini didahului dengan kata “qul” dimaksudkan untuk
menggaris bawahi pentingnya kandungan pernyataan itu.26
Pernyataan semacam ini adalah pernyataan para nabi kepada kaumnya
sejak Nabi Nuh as.27. Ayat ini menegaskan bahwa nabi Nuh membantah dalih
kaumnya yang menyatakan bahwa beliau berbohong dan bermaksud meraih
kekayaan dan kekuasaan kaumnya dan beliau tidak meminta upah dari
kaumnya dan menyatakan bahwa upahnya hanya dari Allah Swt. Persoalan ini
28
juga terdapat pada kisah nabi Hud as. Dalam ayat ini nabi Hud as.
Mengingatkan bahwa peringatan beliau adalah tulus tanpa pamrih dengan
menyatakan bahwa “aku tidak pernah meminta kepada kamu sekarang dan

‫ﲔ‬
 ‫ﻔ‬ ‫ﺘ ﹶﻜﻠﱢ‬‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺟ ﹴﺮ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺄﹸﻟ ﹸﻜ‬‫ﺎ ﺃﹶﺳ‬‫ﹸﻗﻞﹾ ﻣ‬
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu
atas da`wahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.
26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 4, h. 184,
27
QS. Hud [11]: 29
…‫ﻦ‬  ‫ﻳ‬‫ﺩ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﺎ ﹺﺑﻄﹶﺎ ﹺﺭ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻱ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬
 ‫ﺟ ﹺﺮ‬ ‫ﺎﻟﹰﺎ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺃﹶ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺄﹸﻟ ﹸﻜ‬‫ﻮ ﹺﻡ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺳ‬ ‫ﺎ ﹶﻗ‬‫ﻭﻳ‬
Artinya: Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu
(sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman.
28
QS. Hud [11]: 51
‫ﻘﻠﹸﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺮﻧﹺﻲ ﺃﹶﹶﻓﻠﹶﺎ‬ ‫ﻱ ﹶﻓﻄﹶ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻱ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬
 ‫ﺟ ﹺﺮ‬ ‫ﺍ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺃﹶ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﻪ ﺃﹶ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﺄﹸﻟ ﹸﻜ‬‫ﻮ ﹺﻡ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺳ‬ ‫ﺎﹶﻗ‬‫ﻳ‬
Artinya: Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, Upahku
tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan
(nya)?"
25

akan dating atas seruanku ini sedikit upahpun, upahku yang kuharapkan
hanyalah Allah yang telah menciptakanku 29

c. Kata ِ‫ﻞ‬‫ﺎﺋ‬‫“ِﺍﻟﺴ‬orang yang meminta” 30

2. Berdoa atau memohon


Sebagaimana kata ‫ﺳﺄﻝ‬ menggunakan makna meminta pada ayat-ayat
yang telah penulis sebutkan pada poin di atas, kata tersebut juga memiliki
pengertian memohon atau berdoa yang terdapat pada 5 ayat yaitu pada surah
al-Nisa : 32, surah Huud : 46 dan 47, surah Ibrahim : 34, dan surah al-Furqan :
16. Beberapa contoh dapat penulis sebutkan sebagai berikut :
a. Surah al-Nisâ’ : 32
‫ﻴﺐ‬‫ﺼ‬‫ﺎﺀِ ﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻠﻨ‬‫ﻟ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍ ﹾﻛﺘ‬‫ﻤ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﺐ‬‫ﺼ‬‫ﺎﻝﹺ ﻧ‬‫ﺟ‬‫ﻠﺮ‬‫ﻌﺾﹴ ﻟ‬ ‫ﻠﹶﻰ ﺑ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﻀﻜﹸ‬  ‫ﻌ‬ ‫ ﺑ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻓﹶﻀ‬‫ﺍ ﻣ‬‫ﻨﻮ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬
‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺀٍ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑﹺﻜﹸ ﱢﻞ ﺷ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻪ‬‫ﻀﻠ‬
 ‫ﻦ ﻓﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬‫ﺒﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍ ﹾﻛﺘ‬‫ﻤ‬‫ﻣ‬
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 32).

b. Surah Huud : 46
‫ﻈﹸﻚ‬‫ﻲ ﹶﺃﻋ‬‫ ﹺﺇﻧ‬‫ ﹾﻠﻢ‬‫ ﻋ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ ﻟﹶﻚ‬‫ﻴﺲ‬‫ﺎ ﻟﹶ‬‫ﺴﺄﹶﹾﻟﻦﹺ ﻣ‬
 ‫ﺢﹴ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﺻ‬‫ﻴﺮ‬‫ﻞﹲ ﹶﻏ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻧﻪ‬‫ ﺇﹺ‬‫ﻚ‬‫ﻫﻠ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻴﺲ‬‫ ﻟﹶ‬‫ﻧﻪ‬‫ ﺇﹺ‬‫ﻮﺡ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻳ‬
‫ﲔ‬‫ﻠ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺍﹾﻟﺠ‬‫ﻦ‬‫ﻜﹸﻮﻥﹶ ﻣ‬‫ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, h. 272
30
QS. Al-Dzariyat [51]: 19
‫ﻭ ﹺﻡ‬‫ﺮ‬‫ﻤﺤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻞﹺ ﻭ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻟﻠﺴ‬ ‫ﺣﻖ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻟﻬﹺ‬‫ﺍ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻲ ﺃﹶ‬‫ﻭﻓ‬
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
26

Artinya: “Allah berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk


keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah
kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu
supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan." (Q.S. Huud [11]: 46).

c. Surah al-Furqan : 16
‫ﺴﺌﹸﻮﻟﹰﺎ‬
 ‫ﺍ ﻣ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﻠﹶﻰ ﺭ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎﺀُﻭﻥﹶ ﺧ‬‫ﺸ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻟﹶﻬ‬
Artinya: “Bagi mereka di dalam surga itu apa yang mereka kehendaki,
sedang mereka kekal (di dalamnya). (hal itu) adalah janji dari
Tuhanmu yang patut dimohonkan (kepada-Nya) “.(Q.S. al-Furqân
[25]: 16).

3. Bertanya atau Menanyakan


Penggunaan arti bertanya pada kata ‫ ﺳﺄﻝ‬dan semua tashrifanya dalam
al-Qur’an terdapat pada 58 ayat yang tersebar pada surah yang bewrbeda-beda,
antara lain terdapat pada :
a. Surah al-Mâ’idah : 102
‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻓ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﻬ‬‫ﺤ‬‫ﺻﺒ‬
 ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎ ﻗﹶ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ﺪ ﺳ‬ ‫ﻗﹶ‬
Artinya: “Sesungguhnya Telah ada segolongsn manusia sebelum kamu
menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka),
Kemudian mereka tidak percaya kepadanya”. (Q.S. al-Mâ’idah
[5]: 102).

b. Surah al-Mulk: 8
‫ﻳﺮ‬‫ﺬ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎ ﺃﹶﻟﹶ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﺧﺰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ ﺳ‬‫ﻮﺝ‬ ‫ﺎ ﻓﹶ‬‫ﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻲ‬‫ﺎ ﺃﹸﹾﻟﻘ‬‫ ﻛﹸﻠﱠﻤ‬‫ﻴﻆ‬‫ ﺍﹾﻟﻐ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﺰ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﺎﺩ‬‫ﺗ‬
Artinya: “Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. setiap
kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir),
penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah
belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi
peringatan?". (Q.S. al-Mulk [67]: 8).
27

c. Surah al-Baqarah : 186


‫ﻮﺍ ﺑﹺﻲ‬‫ﻨ‬‫ﺆﻣ‬ ‫ﹾﻟﻴ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﻟ‬‫ﺠﹺﻴﺒ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ ﻓﹶ ﹾﻠﻴ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻋ‬‫ﺍﻉﹺ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺩ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﺪ‬‫ﻋﻮ‬ ‫ ﺩ‬‫ ﹸﺃﺟﹺﻴﺐ‬‫ﻲ ﻗﹶﺮﹺﻳﺐ‬‫ﻲ ﻓﹶﹺﺈﻧ‬‫ﻨ‬‫ﻱ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻚ‬‫ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳ‬‫ﻭ‬
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺪ‬‫ﺮﺷ‬ ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻠﱠﻬ‬‫ﻟﹶﻌ‬
Artinya: “ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku,
Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 186).

d. Surah al-Kahfi: 76
‫ﺍ‬‫ ﹾﺬﺭ‬‫ﻲ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ﻦ ﻟﹶﺪ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ﻠﹶﻐ‬‫ﺪ ﺑ‬ ‫ﺒﻨﹺﻲ ﻗﹶ‬‫ﺎﺣ‬‫ﺼ‬‫ﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﻫ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﺀٍ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻦ ﺷ‬ ‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺳ‬
Artinya:“Musa berkata: "Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu
sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan Aku
menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
padaku". (Q.S. al-Kahfi [18]: 76).

Makna ‫ﺳﺄﻝ‬ yang memiliki tiga kegunaan arti pada kata kerjanya

sebagaimana penulis jelaskan pada poin-poin diatas dapat berubah maknanya

sejalan dengan perubahan tashrifnya. Perubahan makna ini dapat ditemukan

jika kata kerja tersebut berubah menjadi kata pelaku ( Isim fa’il ) yang berarti

orang faqir31, kata benda berbentuk objek (Isim maf’ul) yang berarti
tanggungjawab atau responsibilitas32, Pengertian tersebut juga dapat ditemukan

pada beberapa ayat berikut :


a. Surah al-Dzâriyât : 19
‫ﻭﻡﹺ‬‫ﺤﺮ‬
 ‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻞﹺ ﻭ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻠﺴ‬‫ ﻟ‬‫ﻖ‬‫ﻢ ﺣ‬ ‫ﻬﹺ‬‫ﺍﻟ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻲ ﺃﹶ‬‫ﻓ‬‫ﻭ‬

31
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Dar al-Qahirah, Jilid ke-4, hal, 544, th, 2003.
32
Ilyas Anton, Qamus al-Asry al-Hadits, Sar-al-Matba’ah, (Baerut, Libanon, 1984), Cet.
II, h. 231.
28

Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian “.(Q.S. al-
Dzâriyât [51]: 19).

b. Surah al-Dhuhaa : 10
‫ﺮ‬ ‫ﻨﻬ‬‫ﻞﹶ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎﺋ‬‫ﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﺃﹶﻣ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan terhadap pengemis , janganlah kamu menghardiknya”. (Q.S.
al-Dhuhâ [93]: 10).

B. Identifikasi Penggunaan Makna ‫ﺳﺄﻝ‬ (Bertanya) Dan Segala


Perubahan Tashrifnya Dalam al-Qur’an .

Dalam mengungkap penggunaan arti bertanya pada kata ‫ ﺳﺄﻝ‬dan segala

perubahan tashrifnya, penulis menemukan berbagai jenis bentuk perubahan

dari akar kata bentuk isytiqaq ( kata jadianya )nya dalam Al-Qur’ân. Dari segi

perubahan tashrif dalam konterks ilmu sharaf, kata ‫ﺳﺄﻝ‬ pada Al-Qur’ân

menggunakan lima kata jadian (isytiqaq), yaitu fi’l madi (kata yang menunjuk

waktu lampau), fi’l mudari’ (kata yang menunjuk waktu kini atau akan

datang), fi’l amr (kata kerja yag menunjukkan perintah), ism al-fa’il (kata

benda yang mengandung arti pelaku), ism maf’ul (kata benda yang megandung

arti yang disifati) dan ism masdar (verbal noun-nama kerja). Dari akar kata s-a-

l (sa-ala) dengan perubahan kata atau tashrifnya dapat di jumpai dalam Al-

Qur’ân sebanyak seratus dua puluh sembilan tempat, tersebar pada seratus
29

delapan belas ayat yang terangkum dalam empat puluh tujuh surat,33 dengan

makna yan tidak sama.


‫ ﺳﺄﻝ‬dalam Al-Qur’ân dengan pengertian bertanya dalam berbagai
Kata
bentuknya yang berpariatif seperti kata kerja bentuk lampau aktifnya ( ‫) ﺳﺄﻝ‬
terulang-ulang sebanyak 49 tempat dan terdapat pada 2 tempat yaitu pada
surah al-Ma’idah : 102 dan surah al-Muluk : 8, adapun yang didahului dengan
huruf preposisi sebanyak 6 kali seperti pada surah al-Taubah : 65, surah al-
Ankabut : 63, surah Luqman : 25, dan surah al-Zumar : 38, serta surah al-
Zukhruf : 9 dan 87. Sedang Fi’il mudari’ (‫) ﻳﺴﺎﻝ‬ dengan segala perubahan
tashrifnya baik aktif maupun pasif terulang-ulang sebanyak 54 kali yakni pada
surah al-Baqarah : 189, 215, 217, 218, 219, 220, 222, surah al-Maidah : 4 dan
101, surah al-Anfal : 1, surah al-A’raf : 6, 187, surah al-Naziat : 42, surah al-
Dzariyat : 12 dan 21, surah al-Qiyamah : 6, surah al-Isra : 85, surah al-kahfi :
83 dan 19 serta 70, surah Toha : 105, surah al-Ma’arij : 10, surah al-Hijr : 92,
surah al-Nahl : 56 dan 93, surah al-Takatsur : 8, surah al-Mu’minun : 101,
surah al-Qashas : 66. Adapun kata kerja imferatif atau fi’il Amar terdapat
sebanyak 12 ayat, sementara kata sa’ala yang berbentuk isim Fa’il terdapat
pada 1 ayat .
Untuk dapat mengetahui secara jelas gambaran tentang bentuk kata
kerja ‫ ﺳﺄﻝ‬dan segala perubahan tashrifnya yang menggunakan makna bertanya
dalam al-Qur’ân dapat diberikan rincian sebagai berikut:
33
Empat puluh tujuh surat dengan rincian 38 surat Makkiyah dan 9 surat Madaniyah.
Penelitian ayat-ayat tyersebut berdasar pada Muhammad Fu’ad ‘Abd Al-Baqi,Al-Mu’jam al-
Mufahras Li Alfaz Al-Qur’ân Bi Hasyiyah al-Mushaf al-Syarif, (Beirut: Daar al-Fikr,
1992M./1412), Cet. ke-3 h.
30

1. Kata ‫ ﺳﺄﻝ‬dengan bentuk kata kerja aktif berupa Fi’il madhi terdapat pada
dua ayat:
a. Surah al-Mâidah: 102
‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻓ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﻬ‬‫ﺤ‬‫ﺻﺒ‬
 ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎ ﻗﹶ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ﺪ ﺳ‬ ‫ﻗﹶ‬
Artinya:“Sesungguhnya Telah ada segolongsn manusia sebelum kamu
menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka),
Kemudian mereka tidak percaya kepadanya”. (Q.S. al-Mâ’idah
[5]: 102).

b. Surah al-Mulk: 8
‫ﻳﺮ‬‫ﺬ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎ ﺃﹶﻟﹶ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﺧﺰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ ﺳ‬‫ﻮﺝ‬ ‫ﺎ ﻓﹶ‬‫ﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻲ‬‫ﺎ ﺃﹸﹾﻟﻘ‬‫ ﻛﹸﻠﱠﻤ‬‫ﻴﻆ‬‫ ﺍﹾﻟﻐ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﺰ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﺎﺩ‬‫ﺗ‬
Artinya: “Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah.
setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang
kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka:
"Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang
pemberi peringatan?" (Q.S. al-Mulk [67]: 8).

2. Kata sa’ala ‫ ﺳﺄﻝ‬yang didahului dengan Huruf preposisi Syart ‫ﻟﺌﻦ‬ terdapat
pada 6 ayat:
a. Surah at-Taubah : 65
‫ﻬﺰﹺﺋﹸﻮﻥﹶ‬ ‫ﺴﺘ‬
 ‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ ﻛﹸ‬‫ﻪ‬‫ﻮﻟ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺎﺗ‬‫ﺀَﺍﻳ‬‫ ﻭ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﹶﺃﺑﹺﺎﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺐ‬‫ ﹾﻠﻌ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺽ‬‫ﺨ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ﻧﻤ‬‫ﻦ ﺇﹺ‬ ‫ﻘﹸﻮﻟﹸ‬‫ﻢ ﻟﹶﻴ‬ ‫ﻬ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab,
"Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-
main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya
dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (Q.S. al-Taubah [9]:
65).

b. Surah al-Ankabut : 63
‫ ﻗﹸﻞﹺ‬‫ﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻘﹸﻮﻟﹸ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ﻬ‬‫ﻮﺗ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻦ ﺑ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﺎ ﺑﹺﻪ‬‫ﺣﻴ‬ ‫ﺎﺀً ﻓﹶﺄﹶ‬‫ﺎﺀِ ﻣ‬‫ﺴﻤ‬ ‫ ﺍﻟ‬‫ﻦ‬‫ﺰﻝﹶ ﻣ‬ ‫ﻦ ﻧ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻬ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
‫ﻠﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻘ‬ ‫ﻢ ﻟﹶﺎ ﻳ‬ ‫ﻫ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶ ﹾﻛﹶﺜﺮ‬‫ ﺑ‬‫ﻠﱠﻪ‬‫ ﻟ‬‫ﻤﺪ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺍﹾﻟ‬
31

Artinya:“Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka:


"Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan
dengan air itu bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan
menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah",
tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (Q.S. al-
Ankabut [29]: 63).

c. Surah Luqman : 25
‫ﻢ ﻟﹶﺎ‬ ‫ﻫ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶ ﹾﻛﹶﺜﺮ‬‫ ﺑ‬‫ﻠﱠﻪ‬‫ ﻟ‬‫ﻤﺪ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻘﹸﻮﻟﹸ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ ﺍﻟ‬‫ﺧﻠﹶﻖ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻬ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﻳ‬
Artinya: “Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka
akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah";
tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui”. (Q.S. Luqman
[31]: 25).

d. Surah al-Zumar : 38
‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻭﻥ‬‫ﻦ ﺩ‬ ‫ﻮﻥﹶ ﻣ‬‫ﺪﻋ‬ ‫ﺎ ﺗ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻳﺘ‬‫ﹶﺃ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﹶﺃﻓﹶﺮ‬‫ﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻘﹸﻮﻟﹸ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬  ‫ ﺍﻟ‬‫ﺧﻠﹶﻖ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻬ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
‫ﻤﺴِﻜﹶﺎﺕ‬ ‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻞﹾ ﻫ‬‫ ﻫ‬‫ﺔ‬‫ﺣﻤ‬ ‫ﻧﹺﻲ ﺑﹺﺮ‬‫ﺍﺩ‬‫ﻭ ﹶﺃﺭ‬ ‫ ﺃﹶ‬‫ﻩ‬‫ﺿﺮ‬  ‫ﻔﹶﺎﺕ‬‫ﻦ ﻛﹶﺎﺷ‬ ‫ﻞﹾ ﻫ‬‫ ﻫ‬‫ﻀﺮ‬  ‫ ﺑﹺ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻧﹺﻲ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﹶﺃﺭ‬
‫ﻛﱢﻠﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ﻛﱠﻞﹸ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺴﺒﹺﻲ‬
 ‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺣ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﺣﻤ‬ ‫ﺭ‬
Artinya: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka
menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah
kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah
hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan
itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah
mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah
Allah bagiku". kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri. (Q.S. al-Zumar [39]: 38).

e. Surah al-Zukhruf : 9
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﻌ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺧﻠﹶﻘﹶ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻘﹸﻮﻟﹸ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ ﺍﻟ‬‫ﺧﻠﹶﻖ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻬ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
32

Artinya: “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah


yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan
menjawab: "Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui". (Q.S. al-Zukhruf [43]: 9).

f. Surah al-Zukhruf : 87
‫ﺆﻓﹶﻜﹸﻮﻥﹶ‬ ‫ﻰ ﻳ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻧ‬‫ﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻘﹸﻮﻟﹸ‬‫ﻢ ﻟﹶﻴ‬ ‫ﺧﻠﹶﻘﹶﻬ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻬ‬‫ﺄﹶﹾﻟﺘ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah
yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah",
Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?, (Q.S. al-Zukhruf [43]: 87).

3. Kata ‫ﺳﺄﻝ‬ dengan bentuk Mudhari’Yas’alu (‫ )ﻳﺴﺄﻝ‬dengan berbagai


bentuknya ditemukan pada 34 Ayat yang tersebar salam berbagai surah,
antara lain:
a. Surah al-Mâ’idah : 101
‫ﺰﻝﹸ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﲔ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬
 ‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﺆﻛﹸ‬ ‫ﺴ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ﺒﺪ‬‫ﺎﺀَ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﺷﻴ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬
 ‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﺣ‬‫ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻔﹶﺎ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ﺒﺪ‬ ‫ﺮﺀَﺍﻥﹸ ﺗ‬ ‫ﺍﹾﻟﻘﹸ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-
hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S.
al-Mâ’idah [5]: 101).

b. Surah al-Ma‘ârij : 10
‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻤ‬‫ ﺣ‬‫ﻴﻢ‬‫ﻤ‬‫ﺴﺄﹶﻝﹸ ﺣ‬
 ‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan tidak ada seorang teman akrabpun menanyakan
temannya”. (Q.S. al-Ma‘ârij [70]: 10).

a. Surah al-A’raf : 6
‫ﲔ‬‫ﺳﻠ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟﻤ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹶ‬
 ‫ﻟﹶﻨ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ﻞﹶ ﺇﹺﻟﹶ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ ﺃﹸ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻦ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹶ‬
 ‫ﻓﹶﻠﹶﻨ‬
33

Artinya: “Maka Sesungguhnya kami akan menanyai umat-umat yang


Telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan Sesungguhnya
kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). (Q.S. al-A‘râf
[7]: 6).

b. Surah al-Hijr: 92
‫ﲔ‬‫ﻌ‬‫ﺟﻤ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻨﻬ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹶ‬
 ‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬‫ﻓﹶﻮ‬
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, kamu pasti akan menanyai mereka
semua”. (Q.S. al-Hijr [15]: 92).
e. Surah al-Nahl: 56
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺮ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﺎ ﻛﹸ‬‫ﻤ‬‫ﻦ ﻋ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹸ‬
 ‫ ﻟﹶﺘ‬‫ﺎﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﺎﻫ‬‫ ﹾﻗﻨ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴﺒ‬‫ﺼ‬‫ﻮﻥﹶ ﻧ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﺎ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻠﹸﻮﻥﹶ ﻟ‬‫ﺠﻌ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka
tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki
yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah,
Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang Telah
kamu ada-adakan. (Q.S. al-Nahl [16]: 56).

c. Surah al-Nahl : 93
‫ﻤﺎ‬ ‫ﻦ ﻋ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹸ‬
 ‫ﻟﹶﺘ‬‫ﺎﺀُ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻱ ﻣ‬‫ﻬﺪ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎﺀُ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ ﱡﻞ ﻣ‬‫ﻀ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﻣﺔﹰ ﻭ‬ ‫ﻢ ﺃﹸ‬ ‫ﻠﹶﻜﹸ‬‫ﺠﻌ‬
 ‫ ﻟﹶ‬‫ﺎﺀَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮ ﺷ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﻭ‬
‫ﻠﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻤ‬ ‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻛﹸ‬
Artinya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu
satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang apa yang Telah kamu kerjakan. (Q.S. al-Nahl [16]:
93).

g. Surah-Takatsur: 8
‫ﻴﻢﹺ‬‫ﻨﻌ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟ‬‫ ﻋ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹸ‬
 ‫ﻢ ﻟﹶﺘ‬ ‫ﹸﺛ‬
Artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (Q.S.
al-Takâtsur [102]: 8).

h. Surah al-Kahfi: 19
34

‫ﻮﻡﹴ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻌﺾ‬ ‫ﻭ ﺑ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﺎ ﻳ‬‫ﻢ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻟﹶﺒﹺﺜﹾﻨ‬ ‫ﻢ ﻟﹶﺒﹺﹾﺜﺘ‬ ‫ﻢ ﻛﹶ‬ ‫ﻨﻬ‬‫ﻞﹲ ﻣ‬‫ﻢ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﺋ‬ ‫ﻬ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺎﺀَﻟﹸﻮﺍ ﺑ‬‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻢ ﻟ‬ ‫ﺎﻫ‬‫ﹾﺜﻨ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﻛﹶﺬﹶﻟ‬‫ﻭ‬
‫ﺯﻛﹶﻰ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻬ‬‫ﺮ ﹶﺃﻳ‬ ‫ﻨﻈﹸ‬ ‫ ﻓﹶ ﹾﻠﻴ‬‫ﺔ‬‫ﻳﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻩ‬‫ﺬ‬‫ﻢ ﻫ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺭﹺﻗ‬‫ﻢ ﺑﹺﻮ‬ ‫ﻛﹸ‬‫ﺪ‬‫ﺜﹸﻮﺍ ﹶﺃﺣ‬‫ﺑﻌ‬‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﺎ ﻟﹶﺒﹺﹾﺜﺘ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻋﻠﹶﻢ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺑ‬‫ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺭ‬
‫ﺍ‬‫ﺪ‬‫ﻢ ﹶﺃﺣ‬ ‫ﻥﱠ ﺑﹺﻜﹸ‬‫ﺮ‬‫ﺸﻌ‬  ‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹶﻄﱠﻒ‬‫ﺘ‬‫ﹾﻟﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻨﻪ‬‫ﺯﻕﹴ ﻣ‬ ‫ﻢ ﺑﹺﺮﹺ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﺎ ﻓﹶ ﹾﻠﻴ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻃﹶﻌ‬
Artinya: “Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka
saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah
seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu
berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini)
sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).
Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia
lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku
lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu
kepada seorangpun. (Q.S. al-Kahfi [18]: 19).

i. Surah al-Mu’minun: 101


‫ﺎﺀَﻟﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻬ‬‫ﻴﻨ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺏ‬‫ﻧﺴ‬‫ﻮﺭﹺ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺃﹶ‬‫ﻲ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻓ‬‫ﺦ‬‫ﻔ‬‫ﻓﹶﹺﺈﺫﹶﺍ ﻧ‬
Artinya: “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian
nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula
mereka saling bertanya. (Q.S. al-Mu’minun [23]: 101).

j. Surah al-Qashash: 66
‫ﺎﺀَﻟﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﻟﹶﺎ ﻳ‬ ‫ ﻓﹶﻬ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﺎﺀُ ﻳ‬‫ﻧﺒ‬‫ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻴ ﹺﻬﻢ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻓﹶﻌ‬
Artinya: “Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan pada hari
itu, Karena itu mereka tidak saling tanya menanya”. (Q.S. al-
Qashash [28]: 66).

k. Surah al-Kahfi: 70
‫ﺍ‬‫ ﹾﻛﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻨﻪ‬‫ ﻣ‬‫ﺙﹶ ﻟﹶﻚ‬‫ﺣﺪ‬ ‫ﻰ ﹸﺃ‬‫ﺘ‬‫ﺀٍ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ﻦ ﺷ‬ ‫ﺴﺄﹶﹾﻟﻨﹺﻲ ﻋ‬
 ‫ﻨﹺﻲ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﻌﺘ‬ ‫ﺗﺒ‬‫ ﺍ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﹶﹺﺈﻥ‬
Artinya: “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai Aku
sendiri menerangkannya kepadamu". (Q.S. al-Kahfi [18]: 70).

l. Surah al-Anbiyâ’: 13
35

‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻥﹶ‬
 ‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻠﱠﻜﹸ‬‫ﻢ ﻟﹶﻌ‬ ‫ﻨﹺﻜﹸ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﺗﺮﹺ ﹾﻓﺘ‬‫ﺎ ﺃﹸ‬‫ﻮﺍ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﻣ‬‫ﺭﺟﹺﻌ‬ ‫ﺍ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﺮﻛﹸﻀ‬ ‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬
Artinya: “Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada
nikmat yang Telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat
kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya.” (Q.S. al-
Anbiyâ’ [21]: 13).

m. Surah al-Anbiya : 23
‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻥﹶ‬
 ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻫ‬‫ﻞﹸ ﻭ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﺴﺄﹶﻝﹸ ﻋ‬
 ‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬
Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan
merekalah yang akan ditanyai. (Q.S. al-Anbiyaâ’ [21]: 23).

n. Surah al-Qashash: 78
‫ﻮ‬‫ﻦ ﻫ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻭﻥ‬‫ ﺍﹾﻟﻘﹸﺮ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻫﻠﹶﻚ‬ ‫ﺪ ﺃﹶ‬ ‫ ﻗﹶ‬‫ﻢ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻌﻠﹶ‬ ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﻱ ﹶﺃﻭ‬‫ﻨﺪ‬ ‫ ﹾﻠﻢﹴ ﻋ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﻴﺘ‬‫ﺎ ﺃﹸﻭﺗ‬‫ﻧﻤ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺠﺮﹺﻣ‬ ‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻮﺑﹺ ﹺﻬﻢ‬‫ﻦ ﺫﹸﻧ‬ ‫ﺴﺄﹶﻝﹸ ﻋ‬  ‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻤﻌ‬ ‫ ﺟ‬‫ﺃﹶ ﹾﻛﹶﺜﺮ‬‫ﻮﺓﹰ ﻭ‬ ‫ ﻗﹸ‬‫ﻨﻪ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﹶﺃﺷ‬
Artinya: “Karun berkata: "Sesungguhnya Aku Hanya diberi harta itu,
Karena ilmu yang ada padaku". dan apakah ia tidak
mengetahui, bahwasanya Allah sungguh Telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih Kuat daripadanya, dan lebih
banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya
kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa
mereka. (Q.S. al-Qashash [28]: 78).

o. Surah al-Rahmân: 39
‫ﺎﻥﱞ‬‫ﻟﹶﺎ ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﻧﺲ‬‫ ﺇﹺ‬‫ﻧﺒﹺﻪ‬‫ﻦ ﺫﹶ‬ ‫ﺴﺄﹶﻝﹸ ﻋ‬
 ‫ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﻓﹶﻴ‬
Artinya: “Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang
dosanya”. (Q.S. al-Rahmân [55]: 39).

4. Kata Kerja imferatif ( Fi’il Amar ) terdapat pada 12 Ayat dalam surah yang
berbeda-beda antara lain :
a. Surah al-Baqarah: 211
‫ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ‬‫ﺗﻪ‬َ‫ﺎﺀ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ ﻣ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻦ ﺑ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻌﻤ‬ ‫ ﹾﻝ ﻧﹺ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﺔ‬‫ﻦ ﺀَﺍﻳ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﺎﻫ‬‫ﻴﻨ‬‫ﻢ ﺀَﺍﺗ‬ ‫ﻴﻞﹶ ﻛﹶ‬‫ﺍﺋ‬‫ﺳﺮ‬ ‫ﻨﹺﻲ ﺇﹺ‬‫ﻞﹾ ﺑ‬‫ﺳ‬
‫ﻘﹶﺎﺏﹺ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻳﺪ‬‫ﺪ‬‫ ﺷ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
36

Artinya: “Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-


tanda (kebenaran)34 yang nyata, yang Telah kami berikan
kepada mereka". dan barangsiapa yang menukar nikmat Allah
setelah datang nikmat itu kepadanya, Maka Sesungguhnya
Allah sangat keras siksa-Nya. (Q.S. al-Baqarah [2]: 211).

c. Surah al-A’râf: 163


‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻴﺘ‬‫ﻢ ﺣ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ ﺇﹺ ﹾﺫ ﺗ‬‫ﺒﺖ‬‫ﺴ‬
 ‫ﻲ ﺍﻟ‬‫ﻭﻥﹶ ﻓ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﺤﺮﹺ ﺇﹺ ﹾﺫ ﻳ‬
 ‫ﺓﹶ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﺿﺮ‬
 ‫ﺎ‬‫ ﺣ‬‫ﺖ‬‫ﻲ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﺍﻟﱠﺘ‬‫ﺔ‬‫ﺮﻳ‬ ‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻘﹶ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﺄﹶﹾﻟﻬ‬‫ﺍﺳ‬‫ﻭ‬
‫ﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ ﹾﻔﺴ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻢ ﺑﹺﻤ‬ ‫ﺒﻠﹸﻮﻫ‬‫ ﻧ‬‫ﻚ‬‫ﻢ ﻛﹶﺬﹶﻟ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﻮﻥﹶ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺴﺒﹺﺘ‬
 ‫ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺮﻋ‬ ‫ﻢ ﺷ‬ ‫ﻬﹺ‬‫ﺒﺘ‬‫ ﺳ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﻳ‬
Artinya: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri 35 yang
terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari
Sabtu36, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang
berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air,
dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang
kepada mereka. Demikianlah kami mencoba mereka disebabkan
mereka berlaku fasik. (Q.S. al-A‘râf [7]: 163).

d. Surah Yunus: 94
‫ﺎﺀَﻙ‬‫ﺪ ﺟ‬ ‫ ﻟﹶﻘﹶ‬‫ﻚ‬‫ﺒﻠ‬ ‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ﺀُﻭﻥﹶ ﺍﹾﻟﻜ‬‫ ﹾﻘﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺳﺄﹶﻝﹺ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ ﻓﹶﺎ‬‫ﻴﻚ‬‫ﺎ ﺇﹺﻟﹶ‬‫ﹾﻟﻨ‬‫ﻧﺰ‬‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻤ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﻲ ﺷ‬‫ ﻓ‬‫ﻨﺖ‬‫ﻓﹶﺈﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬
‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﻤﺘ‬ ‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﻦ ﺭ‬ ‫ﻖ ﻣ‬ ‫ﺍﹾﻟﺤ‬
Artinya: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan
tentang apa yang kami turunkan kepadamu, Maka
tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab
sebelum kamu. Sesungguhnya Telah datang kebenaran
kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali
kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Q.S. Yunus [10]:
94).

e. Surah Yusuf: 50

34
yaitu tanda-tanda kebenaran yang dibawa nabi-nabi mereka, yang menunjukkan kepada
keesaan Allah, dan kebenaran nabi-nabi itu selalu mereka tolak.
35
Yaitu kota Eliah yang terletak di pantai laut merah antara kota Mad-yan dan bukit
Thur.
36
Menurut aturan mereka tidak boleh bekerja pada hari sabtu, karena hari Sabti itu
dikhususkan hanya untuk beribadah.
37

‫ﺓ‬‫ﺴﻮ‬
 ‫ﺎﻝﹸ ﺍﻟﻨ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ ﻣ‬‫ﺄﹶﹾﻟﻪ‬‫ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺭ‬‫ﺭﺟﹺﻊ‬ ‫ﻮﻝﹸ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ ﺍﻟ‬‫ﺎﺀَﻩ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬‫ﻮﻧﹺﻲ ﺑﹺﻪ‬‫ ﺍﹾﺋﺘ‬‫ﻚ‬‫ﻠ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻭ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ﻦ ﻋ‬ ‫ﻫ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻲ ﺑﹺﻜﹶ‬‫ﺑ‬‫ﻦ ﹺﺇﻥﱠ ﺭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳﺪ‬‫ ﹶﺃ‬‫ﻌﻦ‬ ‫ﻲ ﻗﹶ ﱠﻄ‬‫ﺍﻟﻠﱠﺎﺗ‬
Artinya: “Raja berkata: "Bawalah dia kepadaku." Maka tatkala utusan
itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: "Kembalilah
kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana
halnya wanita-wanita yang Telah melukai tangannya.
Sesungguhnya Tuhanku, Maha mengetahui tipu daya mereka."
(Q.S. Yusuf [12]: 50).

f. Surah Yusuf : 82
‫ﻗﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺎ ﻟﹶﺼ‬‫ﺇﹺﻧ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ ﹾﻠﻨ‬‫ﻲ ﺃﹶ ﹾﻗﺒ‬‫ ﺍﻟﱠﺘ‬‫ﲑ‬‫ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻲ ﻛﹸﻨ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﱠﺘ‬‫ﺮﻳ‬ ‫ﺳﺄﹶﻝﹺ ﺍﹾﻟﻘﹶ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu,
dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang benar". (Q.S. Yusuf [12]: 82).

g. Surah al-Zukhruf: 45
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺪ‬‫ﻌﺒ‬ ‫ﺔﹰ ﻳ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺀَﺍﻟ‬‫ﺣﻤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺍﻟ‬‫ﻭﻥ‬‫ﻦ ﺩ‬ ‫ﺎ ﻣ‬‫ ﹾﻠﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﹶﺃﺟ‬‫ﻨ‬‫ﺳﻠ‬ ‫ﻦ ﺭ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ﺎ ﻣ‬‫ ﹾﻠﻨ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﺄﹶ ﹾﻝ ﻣ‬‫ﺍﺳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul kami yang Telah kami
utus sebelum kamu: "Adakah kami menentukan tuhan-tuhan
untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah.?" (Q.S. al-
Zukhruf [43]: 45).

h. Surah al-Nahl : 43
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﻢ ﻟﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻫﻞﹶ ﺍﻟﺬﱢ ﹾﻛﺮﹺ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ﻲ ﺇﹺﻟﹶ‬‫ﻮﺣ‬‫ﺎﻟﹰﺎ ﻧ‬‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺭﹺﺟ‬‫ﻚ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ﺎ ﻣ‬‫ ﹾﻠﻨ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan 37
jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. al-Nahl [16]: 43).

i. Surah al-Furqan : 59
‫ﻦ‬‫ﺣﻤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺮﺵﹺ ﺍﻟ‬ ‫ﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻯ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﺍﺳ‬ ‫ﺎﻡﹴ ﹸﺛ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺘﺔ‬‫ﻲ ﺳ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴﻨ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ ﺍﻟ‬‫ﺧﻠﹶﻖ‬ ‫ﻱ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬
‫ﺍ‬‫ﺧﺒﹺﲑ‬ ‫ﺄﹶ ﹾﻝ ﺑﹺﻪ‬‫ﻓﹶﺎﺳ‬
37
Yakni orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan Kitab-Kitab.
38

Artinya: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di
atas Arsy38 (Dialah) yang Maha pemurah, Maka tanyakanlah
(tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad)
tentang Dia. (Q.S. al-Furqan [25]: 59).

j. Surah al-Isrâ’: 101


‫ﻲ‬‫ﻮﻥﹸ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﺮﻋ‬ ‫ ﻓ‬‫ﻢ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬ ‫ﺎﺀَﻫ‬‫ﻴﻞﹶ ﺇﹺ ﹾﺫ ﺟ‬‫ﺍﺋ‬‫ﺳﺮ‬ ‫ﻨﹺﻲ ﺇﹺ‬‫ﺄﹶ ﹾﻝ ﺑ‬‫ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺕ‬‫ ﺀَﺍﻳ‬‫ﺴﻊ‬ ‫ﻰ ﺗ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺪ ﺀَﺍﺗ‬ ‫ﻟﹶﻘﹶ‬‫ﻭ‬
‫ﺍ‬‫ﻮﺭ‬‫ﺴﺤ‬ ‫ﻰ ﻣ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎﻣ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ﻟﹶﺄﹶ ﹸﻇﻨ‬
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah memberikan kepada Musa
sembilan39 buah mukjizat yang nyata[869], Maka tanyakanlah
kepada Bani Israil, tatkala Musa datang kepada mereka lalu
Fir'aun Berkata kepadanya: "Sesungguhnya Aku sangka
kamu, Hai Musa, seorang yang kena sihir". (Q.S. al-Isrâ’ [17]:
101).

k. Surah al-Anbiyâ’: 63
‫ﻄﻘﹸﻮﻥﹶ‬ ‫ﻨ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ﻢ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻧ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﻫ‬ ‫ﺬﹶﺍ ﻓﹶﺎ‬‫ﻢ ﻫ‬ ‫ﲑﻫ‬ ‫ ﻛﹶﺒﹺ‬‫ﻠﹶﻪ‬‫ﻞﹾ ﻓﹶﻌ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺑ‬
Artinya: “Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar Itulah
yang melakukannya, Maka tanyakanlah kepada berhala itu,
jika mereka dapat berbicara". (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 63).

l. Surah al-Mu’minun : 113


‫ﻳﻦ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺳﺄﹶﻝﹺ ﺍﹾﻟﻌ‬ ‫ﻮﻡﹴ ﻓﹶﺎ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻌﺾ‬ ‫ﻭ ﺑ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﺎ ﻳ‬‫ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻟﹶﺒﹺﺜﹾﻨ‬
Artinya: “Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau
setengah hari, Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
menghitung." (Q.S. al-Mu’minun [23]: 113).

Dari sejumlah pengungkapan Al-Qur’ân tentang makna sa’ala dalam


berbagai bentuk kata jadian di atas, kajian ini hanya difokuskan pada bentuk

38
Bersemayam di atas Arsy satu sifat Allah yangwajib kita imani sesuai dengan
kebesaran Allah dan kesucian-NYA.
39
Mukjizat yang sembilan itu ialah : tongkat, tangan, belalang, kutu, katak, darah,
taupan, laut, dan bukit Thur.
39

kata sa’al dan seluruh tashrifnya yang menggunakan arti bertanya atau

meminta pengetahuan atau apa yang membutuhkan pengetahuan; yakni yang


mengandung arti pertanyaan atau permintaan pengetahuan.
Di dalam Al-Qur’ân kata sa’ala dengan berbagai bentuk kata jadian

yang menunjuk kepada pengertian meminta pengetahuan atau bertanya.


Bentuk kata jadian tersebut didapati dalam Penggunaan kata sa’ala
dengan huruf jar “an” didalam Al-Qur’ân yang mengandung arti pertanyaan.

C. Penanya Dalam al-Qur’an

Dalam konteks al-Qur’ân, kata ‫ ﺳﺄﻝ‬yang merupakan kata kerja dari akar

kata ‫ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ‬ yang berarti bertanya menyiratkan adanya aspek pendidikan

yakni proses Tanya-jawab yang berlangsung antara seorang guru dan pencari

ilmu/murid dan antara Nabi dengan ummatnya. Selain mengandung aspek

pendidikan yang tercermin dalam metoda Tanya-jawab tersebut, juga tersirat

pengertian pembelajaran lain seperti berdiskusi, perdebadan atau dalam bahasa

Arab disebut dengan al-mujadalah yakni : “Pembicaraan yang dilakukan oleh

dua orang maupun sekelompok orang untuk berusaha memunculkan sesuatu


dalam bentuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban yang
merupakan argumen masing-masing”.

Dalam kaitanya dengan hal diatas, pertanyaan yang terdapat pada ayat-
ayat al-Qur’ân berlangsung antara:
40

1. Orang-orang mukmin atau sahabat nabi dengan Nabi Muhammad saw.

Maka motivasi yang mendorongnya untuk bertanya adalah karena rasa ingin
tahu terhadap persoalan keagamaan dan keduniaan mereka, seperti tanya-
jawab pada ayat 189, 215, 218, 219, dan ayat 220, serta 222 pada surah al-

baqarah, yang akan dijelaskan pada bab-bab berikut.


2. Orang-orang non-mukmin dengan Nabi Muhammad saw. Maka
pertanyaannya dimotifasi oleh rasa buruk sangka , (me-ngetes atau ngeyel-

pen),40 seperti pertanyaan tentang hari kiamat, dan hari pembalasan, yang

pembahasanya terdapat pada bab-bab berikut.

3. Orang-orang non-mukmin kepada Nabi Muhammad saw. Maka penolakan

terhadap kebenaran misi yang disampaikanya dinyatakan dengan bentuk

pertanyaan, seperti pertanyaan tentang masalah hakekat dan subtansi ruh,

dan tentang kisah sang raja Dzulkarnain.

Persoalan-persoalan yang menjadi materi pertanyaan dalam al-Qur’ân

sangat bervariatif. Di antaranya tentang hari kiamat, bulan, peperangan pada

bulan haram, khamr dan judi, pembagian harta hasil perang, ruh, masalah-

masalah kewanitaan, hokum waris, sedekah, dan masalah-masalah lain yang


berhubungan dengan urusan kehidupan dini.

40
Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media,
2003),,h. 348
41

D. Term-Term yang Identik dengan Pengertian Kata ‫ ﺳﺄﻝ‬Bermakna

Bertanya

Dalam Al-Qur’ân, terdapat beberapa term yang terkait dengan sa’ala


yaitu:

1. Istifta’
Kata ‫( ﺍﻻﺳﺘﻔﺘﺎﺀ‬istifta’), terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-
huruf fa, ta, dan ya, dengan penambahan huruf alif pada awalnya menjadi ‫ﺍﻓﱴ‬
(afta) yang artinya memberi fatwa. Dari kata ini lahir kata ‫ﺍﳌﻔﱴ‬ (mufti) yang

berarti pemberi fatwa, dan kata fatwa jamak dari kata fatَawa yang artinya

petuah.41 Yakni pendapat mengenai suatu hukum dalam islam yang merupakan

tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa

dan tidak mempunyai daya ikat.42 Kata ‫( ﺍﻻﺳﺘﻔﺘﺎﺀ‬Istiftâ’) adalah masdar dari
kata kerja ‫( ﺍﺳﺘﻔﱴ‬istaftâ) yang mengandung arti permintaan fatwa.43

Dari kata kerja ‫ﺍﻓﱴ‬ (aftâ) didapati didalam al-Qur’ân sebanyak lima

kali; dua kali dalam bentuk fi’l mudari’ (kata kerja yang menunjuk waktu

sekarang dan akan datang) yang melibatkan dua pelaku yaitu Tuhan dan

manusia.44 Dan tiga kali dalam bentuk fi”l amr.45 Sedangkan kata kerja ‫ﺍﺳﺘﻔﱴ‬

41
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), Cet. ke-25, h. 1034.
42
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove, 1999), h. 6.
43
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), Cet. ke-25, h. 1034.
44
QS. Al-Nisa: 127 dan 178
45
QS. Yusuf: 43, 46, dan Q. S. Al-Naml: 32
42

(istaftâ) didapati dalam Al-Qur’ân sebanyak enam kali; empat kali dalam

bentuk fi‘il mudhari‘46 dan dua kali dalam bentuk fi‘il amr.47

2. Istifham

Istifhâm adalah isim masdar dari kata istafhama yang berarti

istaudhaha.48 Terambil dari akar kata fahima yang berarti faham, mengerti,
jelas.49 Dari akar kata ini mendapat tambahan alif, sin dan ta di awal kata yang
fungsinya untuk meminta. Dengan demikian istifham berarti thalabul fahmi

yakni permintaan penjelasan.50

Adapun pengertian istifham secara terminologi adalah sebagai berikut:

Dalam Al-Mu’jam Al-Mufashshal disebutkan bahwa istifham ialah mencari

pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah serta sifat dari suatu hal.51

Al-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan fi ulum Al-Qur’ân menjelaskan

bahwa istifham ialam mencari pemahaman tentang suatu hal yang tidak

diketahui.52

Didalam Al-Qur’ân tidak ditemukan kata istifham tersebut, tetapi


ditemukan kata tanya (adatul istifham) dalam dua kategori yaitu huruf istifham

berupa hamzah (‫ )ﺃ‬dan hal (‫ )ﻫﻞ‬yang artinya apakah, dan isim istifham yakni

46
QS. Al-Nisa: 127, 178. QS. Al-Kahfi: 22. QS. Yusuf: 41
47
QS. Al-Shaffat: 11 dan 149
48
Azizah fuwal, Al-Mu’jam Al-Mufashshal (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1992), h. 87
49
A. W. Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 1075
50
Jalaluddin As-Suyuti As Syafi’I, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’ân (Beirut: Daar Al-Fikri,
t.th.), h. 146
51
Azizah fuwal, Al-Mu’jam Al-Mufashshal (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1992), h. 87.
52
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’ân, (tt, tp, t.th), h. 326
43

adatul istifham selain hamzah (‫ )ﺃ‬dan hal (‫)ﻫﻞ‬, diantaranya ialah : mâ (‫)ﻣﺎ‬

artinya apa, man (‫ )ﻣﻦ‬siapa, kaifa (‫ )ﻛﻴﻒ‬artinya bagaimana, dan kam (‫)ﻛﻢ‬
artinya berapa. Semuanya memiliki satu maksud pokok yaitu mencari
pemahaman atau penjelasan tentang suatu masalah. Sebagaimana ditemukan

dalam al-Qur’an sebagai berikut :


1. Huruf hamzah (‫ )ﺃ‬berbaris fathah. Digunakan untuk menanyakan
tentang apakah, yang memerlukan jawaban ya atau tidak. Seperti

firman Allah Swt dalam surat Al-A’raf ayat 97-100.

‫ﺎ‬‫ﻨ‬‫ ﹾﺄﺳ‬‫ﻢ ﺑ‬ ‫ﻬ‬‫ﻴ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﻯ ﺃﹶ ﹾﻥ ﻳ‬‫ﻫﻞﹸ ﺍﹾﻟﻘﹸﺮ‬ ‫ ﺃﹶ‬‫ﻦ‬‫ﹶﺃﻣ‬‫ ﹶﺃﻭ‬. ‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺋﻤ‬‫ﺎ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﻫ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺎﺗ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻨ‬‫ ﹾﺄﺳ‬‫ﻢ ﺑ‬ ‫ﻬ‬‫ﻴ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﻯ ﺃﹶ ﹾﻥ ﻳ‬‫ﻫﻞﹸ ﺍﹾﻟﻘﹸﺮ‬ ‫ ﺃﹶ‬‫ﻦ‬‫ﹶﺃﻓﹶﺄﹶﻣ‬
‫ﻬﺪ‬ ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ ﹶﺃﻭ‬.‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺳﺮ‬ ‫ﺎ‬‫ ﺍﹾﻟﺨ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺍﹾﻟﻘﹶ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﹾﻜﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﹾﺄﻣ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﹾﻜﺮ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ ﹶﺃﻓﹶﺄﹶﻣ‬.‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺒ‬‫ ﹾﻠﻌ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻫ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ﺿ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻠﹶﻰ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑﹺﻬﹺ‬‫ ﻋ‬‫ﻊ‬‫ ﹾﻄﺒ‬‫ﻧ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻮﺑﹺﻬﹺ‬‫ﻢ ﺑﹺﺬﹸﻧ‬ ‫ﺎﻫ‬‫ﺒﻨ‬‫ﺎﺀُ ﺃﹶﺻ‬‫ﺸ‬‫ﻮ ﻧ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ ﹾﻥ ﻟﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻫﻠ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻦ ﺑ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺮﹺﺛﹸﻮﻥﹶ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﱠﺬ‬‫ﻟ‬
. ‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﻢ ﻟﹶﺎ ﻳ‬ ‫ﻓﹶﻬ‬
Artinya: “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari
kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di
waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-
negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada
mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka
sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari
azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa
aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan
apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu
negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami
menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya;
dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat
mendengar (pelajaran lagi)? (Q.S. al-A‘râf [7]: 97-100

2. Kata hal (‫ )ﻫﻞ‬adalah kata tanya yang digunakan untuk menanyakan


informasi yang juga memerlukan jawaban ya atau tidak seperti firman
Allah dalam surat al-Syu’ara ayat: 72-73
44

. ‫ﻭﻥﹶ‬‫ﻀﺮ‬
 ‫ﻭ ﻳ‬ ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻨﻔﹶﻌ‬‫ﻭ ﻳ‬ ‫ ﺃﹶ‬. ‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺪﻋ‬ ‫ﻢ ﺇﹺ ﹾﺫ ﺗ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻌ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﻞﹾ ﻳ‬‫ﻫ‬ ‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬
Artinya: “Berkata Ibrahim: Apakah berhala-berhala itu mendengar
(do`a) mu sewaktu kamu berdo`a (kepadanya)?, atau
(dapatkah) mereka memberi manfa`at kepadamu atau memberi
mudharat?" (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 72-73).

3. Kata mâ (‫ )ﻣﺎ‬digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal.


Seperti firman Allah dalam surat Al-Mutaffifîn ayat 8-9:
. ‫ﺮﻗﹸﻮﻡ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬. ‫ﺠﲔ‬
 ‫ﺎ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻙ‬‫ﺩﺭ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Tahukah, kamu apakah sijjin itu? (Ialah) kitab yang
bertulis”. (Q.S. al-Mutaffifîn [83]: 8-9).

4. Kata man (‫ )ﻣﻦ‬untuk menanyakan makhluk berakal seperti firman Allah


dalam surat Al-An‘âm ayat : 63
‫ﻩ‬‫ﺬ‬‫ﻦ ﻫ‬ ‫ﺎ ﻣ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻧﺠ‬‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﺔﹰ ﻟﹶﺌ‬‫ ﹾﻔﻴ‬‫ﺧ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ﻀﺮ‬
 ‫ ﺗ‬‫ﻪ‬‫ﻮﻧ‬‫ﺪﻋ‬ ‫ﺤﺮﹺ ﺗ‬
 ‫ﺍﹾﻟﺒ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻦ ﹸﻇﻠﹸﻤ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﺠ‬‫ﻨ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻗﹸﻞﹾ ﻣ‬
. ‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺎﻛ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻦ‬‫ﻦ ﻣ‬
 ‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ﻟﹶﻨ‬
Artinya: “Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu
dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdo`a kepada-
Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut
(dengan mengatakan): “Sesungguhnya jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami
menjadi orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. al-An‘âm [6]:
63).

Jawabannya terdapat pada ayat berikut :


. ‫ﺸﺮﹺﻛﹸﻮﻥﹶ‬
 ‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻧﺘ‬‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺮﺏﹴ ﹸﺛ‬ ‫ﻛﹶ‬ ‫ﻦ ﻛﹸ ﱢﻞ‬ ‫ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﺠ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Artinya: Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu
dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali
mempersekutukan-Nya.” (Q.S. al-An‘âm [6]: 64).

5. Kata kaifa (‫ ) ﻛﻴﻒ‬untuk menanyakan keadaan sesuatu, seperti firman


Allah dalam surat Al-An’am ayat 81:
45

‫ﺎ‬‫ ﹾﻠﻄﹶﺎﻧ‬‫ﻢ ﺳ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﹾﻝ ﺑﹺﻪ‬‫ﺰ‬‫ﻨ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎ ﻟﹶ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ ﹾﻛﺘ‬‫ﺷﺮ‬ ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﻧﻜﹸ‬‫ﺎﻓﹸﻮﻥﹶ ﹶﺃ‬‫ﺨ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ ﹾﻛﺘ‬‫ﺷﺮ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻑ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻴﻒ‬‫ﻛﹶ‬‫ﻭ‬
. ‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻥ ﻛﹸ‬
‫ﻣﻦﹺ ﺇﹺ ﹾ‬ ‫ﻖ ﺑﹺﺎﹾﻟﺄﹶ‬ ‫ﻴﻦﹺ ﹶﺃﺣ‬‫ ﺍﹾﻟﻔﹶﺮﹺﻳﻘﹶ‬‫ﻓﹶﺄﹶﻱ‬
Artinya: “Bagaimana aku (Ibrahim) takut kepada sembahan-sembahan
yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak
takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan
yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk
mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan
itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka),
jika kamu mengetahui?" (Q.S. al-An‘âm [6]: 81).

6. Kata kam (‫ )ﻛﻢ‬digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan.


Seperti dalam firman Allah Al-Mu’minun ayat: 12
.‫ﻱ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺍﹾﻟﻌ‬ ‫ﺳﺄﹶﻝﹺ‬ ‫ﻮﻡﹴ ﻓﹶﺎ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻌﺾ‬ ‫ﻭ ﺑ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﺎ ﻳ‬‫ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻟﹶﺒﹺﺜﹾﻨ‬. ‫ﺳﻨﹺﲔ‬ ‫ﺩ‬‫ﺪ‬‫ﺭﺽﹺ ﻋ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻢ ﻟﹶﺒﹺﹾﺜﺘ‬ ‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹶ‬
Artinya: “Allah bertanya: Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di
bumi? Mereka menjawab: Kami tinggal (di bumi) sehari atau
setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
menghitung. (Q.S. al-Mu’minun [23]: 12).

E. Perbedaan Antara Bertanya dengan Meminta Fatwa


Meminta fatwa adalah meminta keterangan tentang hal-hal yang
musykil dan sangat tersembunyi, baik berupa hukum maupun hakekat alamiah.
Di dalam Al-Qur’ân, kata istifta’ dalam arti permintaan fatwa yang berupa
hukum hanya terdapat pada dua tempat dalam surat Al-Nisa ayat 127 dan 176
yaitu:
‫ﻲ‬‫ﺎﺀِ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗ‬‫ﺴ‬‫ﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﻳ‬‫ﺎﺏﹺ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻜ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ﺘﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻴ ﹺﻬ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺀِ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻓ‬‫ﻚ‬‫ﻮﻧ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺴﺘ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﻰ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ ﹾﻠﻴ‬‫ﻮﺍ ﻟ‬‫ﻘﹸﻮﻣ‬‫ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﻥ‬‫ ﺍﹾﻟﻮﹺﹾﻟﺪ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻔ‬‫ﻀﻌ‬
 ‫ﺴﺘ‬
 ‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺤ‬‫ﻨﻜ‬‫ﻮﻥﹶ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﺮ ﹶﻏﺒ‬ ‫ﺗ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﺐ‬‫ﺎ ﻛﹸﺘ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﻧ‬‫ﺆﺗ‬ ‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬
‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑﹺﻪ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺴﻂ‬
 ‫ﺑﹺﺎﹾﻟﻘ‬
Artinya: Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan
apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur'an (juga memfatwakan)
46

tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada


mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin
mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang
lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-
anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya".

‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﺼﻒ‬  ‫ﺎ ﻧﹺ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹸﺧ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻴﺲ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻠﹶﻚ‬‫ ﻫ‬‫ﺅ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ ﺍ‬‫ ﹺﺇﻥ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻜﹶﻠﹶﺎﻟﹶﺔ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ ﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻚ‬‫ﻮﻧ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺴﺘ‬  ‫ﻳ‬
‫ﺎﻟﹰﺎ‬‫ﺓﹰ ﺭﹺﺟ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻮﺍ ﺇﹺ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻤ‬‫ ﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱡﺜﻠﹸﺜﹶﺎﻥ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴﻦﹺ ﻓﹶﻠﹶ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﹾﺛﻨ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺈﹺ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻦ ﻟﹶﻬ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻟﹶ‬‫ﺮﹺﺛﹸﻬ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻭ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺀٍ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ ﺑﹺﻜﹸ ﱢﻞ ﺷ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻀﻠﱡﻮﺍ ﻭ‬ ‫ﻢ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻴﻦﹺ ﻳ‬ ‫ﻧﹶﺜﻴ‬‫ﻆ ﺍﹾﻟﺄﹸ‬
‫ ﱢ‬‫ﺜﹾﻞﹸ ﺣ‬‫ﻠﺬﱠﻛﹶﺮﹺ ﻣ‬‫ﺎﺀً ﻓﹶﻠ‬‫ﻧﹺﺴ‬‫ﻭ‬
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Selain kedua ayat di atas kata – kata istifta dalam al-Qur’an juga
mengandung arti menanyakan sesuatu tapi tidak berhubungan dengan hukum.
seperti pada ayat berikut :
.‫ﺍ‬‫ﺪ‬‫ﻢ ﹶﺃﺣ‬ ‫ﻨﻬ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ ﻓ‬‫ ﹾﻔﺖ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬...
Artinya: “…. Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda
itu) kepada seorangpun di antara mereka. (Q.S. al-Kahfi [18]: 22).

.‫ﻃﲔﹴ ﻟﹶﺎﺯﹺﺏﹴ‬
 ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﺎﻫ‬‫ﺧﻠﹶ ﹾﻘﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﺇﹺﻧ‬‫ﻠﹶ ﹾﻘﻨ‬‫ﻦ ﺧ‬ ‫ﻡ ﻣ‬ ‫ ﹾﻠﻘﹰﺎ ﺃﹶ‬‫ ﺧ‬‫ﺪ‬‫ﻢ ﹶﺃﺷ‬ ‫ﻢ ﹶﺃﻫ‬ ‫ﻬﹺ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺳﺘ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬
Artinya: “Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah
mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami
ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari
tanah liat (QS. al-Shâffât [18]: 11).
47

… ‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﻬﻢ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻢ ﹶﺃﻟ‬ ‫ﻬﹺ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺳﺘ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬


Artinya: “Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir
Mekah): "Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk
mereka anak laki-laki, (Q.S. al-Shâffât [37]: 149).

.‫ﺎﺕ‬‫ﺎﺑﹺﺴ‬‫ﻳ‬ ‫ﺧﺮ‬ ‫ﺃﹸ‬‫ﻀﺮﹴ ﻭ‬


 ‫ ﺧ‬‫ﻠﹶﺎﺕ‬‫ﻨﺒ‬‫ﺒﻊﹺ ﺳ‬ ‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻑ‬‫ﺠ‬‫ ﻋ‬‫ﺒﻊ‬ ‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﺍﺕ‬‫ﻘﹶﺮ‬‫ﺒﻊﹺ ﺑ‬‫ﻲ ﺳ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹶَ ﹾﻓﺘ‬...
Artinya: “… Terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-
kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya…(Q.S.
Yusuf [12]: 46).

. ‫ﻣﺮﹺﻱ‬ ‫ﻲ ﺃﹶ‬‫ﻮﻧﹺﻲ ﻓ‬‫ﻠﹶﺄﹸ ﺃﹶ ﹾﻓﺘ‬‫ﺎ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ ﻳ‬‫ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬


Artinya: “Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan
dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan
sebelum kamu berada dalam majelis (ku)” (Q.S. al-Naml [27]: 32).

‫ﺧﺮ‬ ‫ﺃﹸ‬‫ﻀﺮﹴ ﻭ‬
 ‫ ﺧ‬‫ﻠﹶﺎﺕ‬‫ﻨﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﺒﻊ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻑ‬‫ﺠ‬‫ ﻋ‬‫ﺒﻊ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﺍﺕ‬‫ﻘﹶﺮ‬‫ ﺑ‬‫ﺒﻊ‬‫ﻯ ﺳ‬‫ﻲ ﺃﹶﺭ‬‫ ﹺﺇﻧ‬‫ﻚ‬‫ﻠ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻭ‬
.‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻌﺒ‬ ‫ﺎ ﺗ‬‫ﻳ‬‫ﺅ‬‫ﻠﺮ‬‫ﻢ ﻟ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻥ ﻛﹸ‬
‫ ﺇﹺ ﹾ‬‫ﺎﻱ‬‫ﻳ‬‫ﺅ‬‫ﻲ ﺭ‬‫ﻮﻧﹺﻲ ﻓ‬‫ﻠﹶﺄﹸ ﺃﹶ ﹾﻓﺘ‬‫ﺎ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺎﺑﹺﺴ‬‫ﻳ‬
Artinya: “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya):
"Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus
dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang
kering”. Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku
tentang ta`bir mimpiku itu jika kamu dapat mena`birkan mimpi” (Q.S.
Yusuf [12]: 43).

‫ﻪ‬‫ﺃﹾﺳ‬‫ﻦ ﺭ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻴﺮ‬‫ ﹾﺄﻛﹸﻞﹸ ﺍﻟ ﱠﻄ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﺼﻠﹶﺐ‬


 ‫ ﻓﹶﻴ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﺎ ﺍﻟﹾﺂ‬‫ﺃﹶﻣ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﻤﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﺑﻪ‬‫ﻲ ﺭ‬‫ﺴﻘ‬
 ‫ﺎ ﻓﹶﻴ‬‫ﻛﹸﻤ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﹶﺃﺣ‬‫ﺠﻦﹺ ﺃﹶﻣ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﻲﹺ ﺍﻟ‬‫ﺒ‬‫ﺎﺣ‬‫ﺎﺻ‬‫ﻳ‬
.‫ﺎﻥ‬‫ﻴ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ ﺗ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻱ ﻓ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻲ‬‫ﻗﹸﻀ‬
Artinya: “Hai kedua penghuni penjara, "Adapun salah seorang di antara
kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamar; adapun
yang seorang lagi maka ia akan disalib, lalu burung memakan
sebagian dari kepalanya. Telah diputuskan perkara yang kamu
berdua menanyakannya (kepadaku)” (Q.S. Yusuf [12]: 41).
48

Dari beberapa ayat di atas dapat diketahui dengan jelas, Lafad ifta’
(memberi fatwa) kebanyakan tidak berhubungan dengan hukum dan tidak
mengikat. Sedangkan bertanya adalah meminta keterangan tentang yang tidak
diketahui agar ia tahu atau meminta keterangan tentang hal-hal yang
mengandung keraguan antara berbagai tafsiran agar dapat diketahui dengan
pasti tafsiran yang dikehendaki. Selain itu pula, ayat-ayat tersebut diatas
memiliki kaitan erat dengan dengan al-su’al karena berlangsung proses dialog
antara peminta fatwa dan pemberi fatwa yang merupakan suatu kegiatan
belajar mengajar yang berujung pada pemberian pemahaman dan dan
penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang belum diketahui oleh pihak
peminta fatwa.
BAB III
JENIS-JENIS PERTANYAAN DALAM AL-QUR’ÂN

A. Pertanyaan Tentang Hukum


Al-Qur’ân terbagi dalam surat-surat yang semuanya berjumlah 114
dengan panjang yang beragam, dan setiap surat masing-masing jumlah ayatnya
berbeda. ada ayat yang panjang dan pula yang pendek. Surat Makiyah adalah
surat yang paling pendek, ayat-ayat surat Makiyah diturunkan mengandung
momen-momen psikologis yang luar biasa, periode Madaniyah berganti
dengan gaya yang lebih tenang dan lancar berbarengan dengan kandungan
hukum dalam al-Qur’ân bertambah banyak yang ditujukan untuk mengatur
organisasi yang terperinci dan memberikan pada masyarakat negara Islam yang
baru lahir.
Pada masa seperti ini muncullah konsultasi-konsultasi hukum baik
dalam rangka meminta penjelasan pandangan hukum maupun dampak
ketentuan hukum itu sendiri sebagai obyek konsultasi dalam dimensi
kehidupan umat Islam baik secara individual, kelompok, bermasyarakat dan
bernegara. “Selain merupakan sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan
moral, al-Qur’ân memang mengandung beberapa pernyataan hukum yang
harus dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat negara Madinah.1
Adapun ketentuan-ketentuan legislasi sebagaimana terungkap dengan
redaksi verbal al-Qur’ân dalam konteks hukum yang lahir setelah adanya
konsultasi hukum yang kemudian menjadi ketentuan legislasi dasar yang

1
Fazlur-Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 431

49
50

mengatur beberapa persoalan yang dihadapi umat Islam pada masa Nabi SAW.
dan selanjutnya menjadi pedoman dalam kehidupan.
Dari hasil konsultasi hukum yang berlangsung dan menggunakan
kalimat yas’alûnaka sebagaimana tercantum dalam al-Qur’ân, lahirlah
beberapa ketentuan legislasi Qur’ani yang tercermin membuahkan delapan
masalah hukum, enam legislasi terdapat pada surah al-Baqarah, dan dua
keputusan hukum lainnya terdapat pada surat al-Mâ’idah dan al-A’râf.
Adapun pertanyaan tentang hukum dapat penulis simpulkan menjadi
pasal-pasal berikut:

a. Legislasi Infak dan Penerimanya

Perhatian al-Qur’ân bagi kesejahteraan hidup manusia di muka bumi


amat besar, oleh karenanya solidaritas sosial berupa dukungan finansial
terhadap golongan lemah mendapat konsiderasi serius, bahkan keimanan yang
real dikaitkan dengan sejauh mana orang merelakan jiwa raga dan hartanya di
jalan Allah. Para pakar legislasi atau yang dikenal dengan ulama fiqih
menterjemahkan kepedulian sosial berupa infaq/sedekah sebagai jihad di jalan
Allah dengan tujuan terciptanya suatu kepedulian dan kepentingan umum umat
Islam melalui partipasi dan ikut berperan serta memberikan kontribusi
meringankan beban kesulitan hidup yang dialami golongan lemah dengan cara
menginfaqkan sebagian pendapatannya.
Al-Qur’ân menyatakan persamaan kedudukan sedekah dengan
pengorbanan jiwa dalam memperjuangkan dan mempertahankan agama Allah.
51

Seruan berinfaq dan bersedekah dapat ditemukan pada 73 ayat tersebar di


beberapa surah, dan hal ini menunjukkan betapa besar perhatian al-Qur’ân
menyikapi masalah sosial dan distribusi kekayaan menyangkut kepentingan
masyarakat luas, dan betapa ia meletakkan prinsip-prinsip kehidupan sosial
kemasyarakatan untuk mewujudkan tarap kehidupan sosial yang wajar.
Ayat-ayat terkait antara lain terdapat pada surat al-Taubah yang artinya:
“Berjihadlah kalian dijalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu karena
yang demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya” dan
Surah al-Shaf yang artinya: “Ialah kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya
serta berjihad di jalan Allah dengan hartamu dan jiwa ragamu, karena yang
demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya”.
Pentingnya masalah infak dan sedekah serta peranannya yang
konstruktif dalam megurangi persoalan kemiskinan dan menanggulangi isu
sosial lainnya, kiranya amat logis jika komunitas muslim pemula mendapatkan
ketentuan legislasi menyangkut klasifikasi dan kriteria jenis harta yang
diinfaqkan dan kepada siapa infaq tersebut diberikan menurut hukum Ilahiah
yang berlaku.
Terdorong rasa keimanan kuat untuk mengetahui ketetapan yuridis
tentang infaq ini, pertanyaan legislasi pun muncul di kalangan sahabat dalam
masalah tersebut, yaitu kriteria harta apakah yang disedekahkan dan kepada
siapa harta sedekah diberikan?
Seiring dengan munculnya pertanyaan, al-Qur’ân merekam peristiwa
tersebut pada dua ayat di satu surah, yaitu al-Baqarah sebagai respon atas
52

permintaan legislasi yang diajukan sahabat kepada Nabi saw. yang pertama
menetapkan kelompok penerima sedekah dengan urutannya yaitu: kedua
orang tua, kaum karabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sementara ayat lainnya memberikan
penentuan kriteria harta yang layak disedekahkan yaitu kelebihan harta dari
keperluan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
Pertanyaan hukum infaq pada ayat di atas menyangkut jumlah
pengeluaran sedekah yang bersifat sunnah bukan wajib. Namun demikian
pengeluaran sedekah menjadi wajib jika seseorang memiliki orang tua yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari.
Pengikut Madhab Syafi’i menyebutkan bahwa seorang anak baik laki-
laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab dan kewajiban memenuhi
kebutuhan ayah dan kakeknya, termasuk kebutuhan sehar-hari dan bahkan
kebutuhan biologisnya, mereka berkewajiban mengawinkan ayah dan
kakeknya bila yang bersangkutan masih menginginkan dan tidak mampu
membiayainya untuk menghindari penyaluran kebutuhan biologis yang tidak
dibenarkan dan tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ayah.2
Sekalipun menurut Imam Malik seorang anak tidak berkewajiban
mengawinkan ayahnya, tetapi mempunyai kewajiban memberikan nafkah
kepada istri ayahnya baik ibu kandung maupun ibu tiri. Al-Qurtubi juga
berpendapat, seorang anak tidak berkewajiban mengawinkan ayah kandungnya
karena pada umumnya tidak menghendaki perkawinan, namun jika memiliki

2
Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h.
256
53

keinginan kuat melakukannya, seorang anak berkewajiban melaksanakan dan


menanggung biayanya.3
Dari elaborasi di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan
bahwa ayat 215 surah al-Baqarah ini merupakan argumentasi legislatif bagi
ketentuan hukum kewajiban pemberian nafkah oleh seorang anak kepada
kedua orang tuanya, dan kerabat-kerabat dekat. Pembatasan pemberian nafkah
kepada kedua pihak penerima ini karena pihak-pihak lainnya seperti anak-anak
yatim, kaum fakir-miskin, dan ibnu al-Sabil ini dimasukan ke dalam kelompok
penerima zakat.

b. Legislasi Perang di Bulan Haram

Sebagai komunitas yang baru lahir, penduduk Madinah banyak


menghadapi masalah hukum yang belum diketahui termasuk menyangkut
ketentuan waktu perang yang dilarang dan diperbolehkan. Meski ijin perang
telah dinyatakan dan kewajiban menjalankan peperangan menjadi tugas setiap
individu sekalipun dirasa berat (Q.S. al-Baqarah [2]: 216), dan memiliki
konsekuensi bahaya fisik seperti menderita luka berat atau bahkan kehilangan
nyawa. Oleh karenanya, boleh jadi umat Islam ada yang tidak menyukai
perang padahal itu positif baginya atau bahkan ada pula yang sebaliknya.
Dalam konfrontasi fisik pada peristiwa perang akan berakibat pada
kemenangan atau kekalahan dan implikasi kemenangan dalam peperangan
inilah menjadi objek pembahasan pada bagian ini.

3
Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h.
256
54

Ketentuan perintah kewajiban berperang yang bersifat umum pada surat


al-Baqarah ayat 216 mendorong sahabat Nabi menanyakan yuridis peperangan
di bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram yaitu Rajab, Dzu al-
Qa‘iddah, Dzu al-Hijjah, dan bulan Muharam. Pertanyaan hukum boleh
tidaknya berperang pada bulan-bulan tersebut mendapat jawaban tegas yang
disampaikan al-Qur’ân secara jelas yang kemudian menjadi ketetapan legislasi.
Dalam penjelasannya, al-Qur’ân menyatakan hukum pelarangan perang
di bulan Rajab dengan ungkapan “kabîrun” yang artinya dosa besar, dan dosa
besar memiliki pengertian pelarangan perang. Dengan demikian al-Qur’ân
meletakkan aturan perang yang menjadi rujukan umat Islam dalam
kehidupannya.
Al-Baidhawi menulis bahwa ayat di atas menunjukkan pelarangan
perang pada seluruh bulam Muharam secara mutlak sejalan dengan kegunaan
kata nakirah yang terdapat pada lafadz “qitâlun” di mana tidak tersusun dalam
konteks redaksi kalimat aktif.4

c. Hukum Minuman Beralkohol/Khamr dan Judi

Al-Qur’ân selain sebagai buku berisi tentang prinsip-prinsip dan seruan


moral, ia juga mengandug pernyataan-pernyataan hukum penting yang
diturunkan selama proses pembinaan masyarakat Madinah.5 Pelarangan
konsumsi minuman beralkohol merupakan contoh menarik dari metode

4
Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’ân al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al-
Manar, (Tt: Dar Al-Fikri, Tth), Juz 11, h. 315
5
Fazlur Rahman, Islam, h. 44
55

legislasi al-Qur’ân dan penjelasan al-Qur’ân terhadap sifat dan fungsi legislasi
itu sendiri.
Pemakaian alkohol nampaknya sama sekali tidak dilarang pada tahun-
tahun pertama pemerintahan Islam, baru kemudian dikeluarkan larangan shalat
ketika berada dalam pengaruh alkohol. Pelarangan minuman beralkohol
melewati empat fase secara gradual dari legislasi ringan hingga terberat dan
penahapan pelarangan ini merupakan kebijakan edukasi yang progresif, karena
jika dilakukan serentak “Janganlah minum khamr” niscaya mereka menjawab,
”Kami tidak akan meninggalkannya,” 6 sebagaimana yang terdapat dalam ayat
berikut:
Pertanyaan legislasi yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 2 ayat 216
ialah menyangkut konsumsi minuman keras dan permainan judi ditinjau dari
kedua perspektif hukum boleh tidaknya yang dalam terminologi Fiqih disebut
dengan kehalalan atau keharamannya.
Pertanyaan tentang halal dan haramnya minuman khamr dan judi yang
diajukan oleh Umar bin Khattab, Mu’ad bin Jabal dan sahabat-sahabat lain dari
golongan Anshar yang melakukan kunjungan kepada Nabi saw. dan meminta
fatwa hukum menyangkut khamr dan judi, yang pertama setelah minum dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran dan yang kedua menghambur-hamburkan
harta. Pertanyaan tersebut mendapat tanggapan respon Rasulullah saw. berupa
jawaban “Pada keduaya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia”.

6
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h.
271
56

Ungkapan jawaban berupa “dosa besar” mengawali tahapan kedua


legislasi pelarangan konsumsi jenis minuman khamr dan permainan judi.
Sebagian Ulama Fiqih ada yang berpendapat bahwa ayat 216 surat al-Baqarah
ini merupakan legislasi pelarangan konsumsi minuman keras dan permainan
judi. Ayat-ayat yang turun sesudahnya bersifat konfirmatif penguatan
ketentuan hukum haram khamr, karena ungkapan “dosa” mempunyai
pengertian haram. Namun demikian, para pakar hukum secara mayoritas
berpendapat, ketentuan pelarangan kedua jenis komoditi tersebut berlangsung
melalui tahapan-tahapan,7 sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Hukum pelarangan minuman keras apapun jenisnnya yang dalam ayat
216 surat al-Baqarah dinyatakan dengan kata “dosa besar” meski ada beberapa
manfaatnya bagi manusia sekalipun bahayanya lebih besar dari manfaatnya ini.
Adalah ketentuan hukum pelarangan bagi hal-hal yang terkait dengan
minuman tersebut. Pelarangan bukan hanya terbatas pada konsumi, tetapi juga
berlaku untuk para produsen yang memproduksi, para konsumen, pemasar,
penjajak/tempat-tempat penjualan, pelayan dan karyawan-karyawan yang
bekerja pada manufaktur penghasil minuman keras berbagai jenisnya.
Lahirnya legislasi larangan konsumsi minuman keras atau minuman
beralkohol dengan segala jenisnya ini sehubungan dengan adanya pengaruh
negatif yang destruktif membahayakan kesehatan, akal, sosial kemasyarakan,
moralitas, keuangan dan agama. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaeli dalam karnya

7
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir al-Qur’ân al-Karim al-Syahir bi al-Tafsir al-
Manar, h. 322
57

“Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj” menulis bahwa


dampak destruktif pengkonsumsian khamar mencakup:
1) Bahaya Kesehatan Jasmani, yaitu merusak seluruh anggota pencernaan,
menghilangkan napsu makan, membengkakkan kelopak mata,
menggendutkan perut, merusak jantung dan liver, mempercepat ketuaan,
dan melemahkan keturunan di mana anak pemabuk berbadan kurus dan
lemah intelegensinya.
2) Bahaya Akal, yaitu melemahkan daya ingatan yang dapat menyebabkan
hilang akal atau gila.
3) Bahaya Keuangan, yaitu menghambur-hamburkan kekayaan dan uang
sehingga dapat melupakan kewajiban memberi nafkah pada istri dan
anak-anak.
4) Bahaya Sosial, yaitu memicukan perselisihan, konflik, dan permusuhan
antar- pemabuk itu sendiri dan antara pemabuk dengan lainnya yang tidak
mabuk, karena tidak sedikit kasus pembunuhan, kekerasan, pemukulan
(tindakan kriminal) terjadi akibat mabuk.
5) Bahaya Moral, yaitu pemabuk menjadi hina, rendah, dan bahkan menjadi
objek ejekan karena sikap, perbuatan, dan pembicarannya yang melantur.
Para pemabuk juga sering mengumpat, mencaci, dan menghardik bahkan
berzina dan membunuh, oleh karenanya minuman keras disebut dengan
biang keladi kejahatan.
6) Bahaya Umum, yaitu membuka rahasia oleh karena tidak sedikit rahasia-
rahasia negara dibocorkan kepada mata-mata oleh pemabuk.
58

7) Bahaya Agama, yaitu tidak terlaksanakannya ibadah secara benar lebih-


lebih shalat yang merupakan tiang agama, minuman keras menyebabkan
jauh dari Allah dan menghalanginya melaksanakan shalat dan kewajiban-
kewajiban agama lainnya.8
Seperti halnya adanya dampak bahaya yang ditimbulkan dari minuman
keras sebagai tersebut di atas, judi pun memiliki beberapa pengaruh negatif
antara lain; menimbulkan permusuhan dan kebencian serta mengajarkan
seseorang bermalas-malas menanti rizki tanpa bekerja dan bahkan para penjudi
meninggalkan pekerjaan tani, industri, dan perniagaan yang menjadi pilar-pilar
kehidupan perekonomiannya. Efek destruksi paling umum adalah menderita
kebangkrutan dan menghancurkan rumah tangga sehingga dalam sekejap mata
penjudi dapat beralih kedudukan dari kaya menjadi miskin.9

d. Hukum Pengelolaan Harta Anak-anak Yatim

Pada periode sebelum kemunculan Islam, masyarakat pra-Islam


memperlakukan anak-anak yatim dengan perlakuan tidak manusiawi dan
memandang mereka dengan sebelah mata. Komunitas ini tidak mau berbaur
atau bercampur dengan anak-anak yatim karena mengangggap rendah status
mereka, apalagi makan dan minum bersama menjadi hal yang absurd. Al-
Dhahak dan Al-Sada mengatakan, masyarakat jahiliyah merasa tidak nyaman

8
Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h.
276-277
9
Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, h.
279
59

berbaur bersama-sama anak yatim dalam waktu makan dan minum,10 oleh
karenanya posisi anak yatim terisolir dan tidak mendapat perhatian di kalangan
komunitas Jahiliyah.
Kenyataan sikap seperti ini tidak dilakukan komunitas muslim baik
kalangan al-Muhajirin maupun al-Anshâr. Berbeda dengan sikap perlakuan
masyarakat non-muslim terhadap anak yatim, umat Islam justru menyikapi
eksistensi fenomena sosial ini dengan penuh kasih sayang dan perhatian serta
tidak diskriminasi lebih-lebih isolasi terhadap mereka. Pertanyaan yurisdiksi
muncul pada saat dikeluarkannya seruan menjauhi harta anak-anak yatim yang
terdapat pada surah al-An’âm ayat 152 yang berbunyi:
.‫ﺪﻩ‬
 ‫ﺒﻠﹸﻎﹶ ﹶﺃﺷ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬‫ﺣﺴ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﻲ‬‫ﻲ ﻫ‬‫ﻴﻢﹺ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺑﹺﺎﻟﱠﺘ‬‫ﺘ‬‫ﺎﻝﹶ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ ﹾﻘﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa....” (Q.S. al-An‘âm
[6]: 152).

Dan surah al-Nisâ ayat 10 yang berbunyi:


.‫ﺍ‬‫ﲑ‬‫ﺳﻌ‬
 ‫ﻮﻥﹶ‬ ‫ﺼﻠﹶ‬
 ‫ﺳﻴ‬ ‫ﺍ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﻄﹸﻮﻧﹺﻬﹺ‬‫ﻲ ﺑ‬‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﺇﹺ‬‫ﻰ ﹸﻇ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻝﹶ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﻥﹶ ﹶﺃ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠﺬ‬
Artinya: “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka ini memakan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka )”
(Q.S. al-Nisâ’ [4]: 10).

Persoalan pengelolaan harta anak yatim merupakan isu krusial di


kalangan umat Islam bukan saja pada periode kemunculan pertama Islam,
tetapi juga pada era globalisasi dewasa ini. Sebagai fenomena sosial, persoalan
anak-anak yatim tetap eksis menghiasi kehidupan masyarakat. Pertanyaan
hukum boleh tidaknya mengurus atau mengelola kekayaan anak-anak yatim
10
Wahbah al-Zuhaeli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj,, h.
286
60

secara profesional merupakan suatu pertanyaan yang bersifat eternalistik dan


futuristik. Eternalistik karena keberadaan persoalan tersebut tidak dapat
menghilang dari realita kehidupan masyarakat dan futuristik karena pertanyaan
seperti ini tidak hanya memiliki urgensitas pada zaman Nabi saw. hidup, tetapi
juga berlaku untuk masa sekarang ini.
Ditinjau dari perspektif linguistik, pertanyaan hukum pengelolaan harta
anak-anak yatim yang mempergunakan kata kerja berbentuk mudhari’
memiliki pengertian penyegeraan, pembaharuan, dan kontinuitas persoalan
yang dibahasnya. Hal ini menandakan bahwa masalah tersebut akan terus
menjadi sebuah isu yang memerlukan solusi kolektif di kalangan umat Islam.
Kepedulian terhadap keberadaan nasib anak yatim harus mulai diterjemahkan
kedalam tindakan-tindakan nyata dalam mengelola dan memelihara harta milik
mereka, dan sikap serta tindakan nyata inilah menjadi barometer ketulusan atau
kebohongan seseorang dalam beragama sebagaimana dinyatakan Allah dalam
firman-Nya:
.‫ﻴﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟﻴ‬ ‫ﻉ‬‫ﺪ‬‫ﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻚ‬‫ ﻓﹶﺬﹶﻟ‬. ‫ﻳﻦﹺ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﺪ‬‫ﻜﹶﺬﱢﺏ‬‫ﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻳﺖ‬‫ﺃﹶ‬‫ﺃﹶﺭ‬
Artinya: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama/hari kemudian?Dia
adalah yang menghardik anak yatim”. (Q.S. al-Mâ‘ûn [107]: 1-2).

Pentingnya masalah pengelolaan dan pemeliharan harta anak yatim


sampai-sampai Nabi saw. bersabda sambil merapatkan jari tengah dan jari
telunjuk beliau: “Saya bersama pemelihara anak yatim seperti ini kelak di
surga”.
Pertanyaan hukum tersebut mengawali lahirnya sebuah peraturan yang
mengesahkan hukum pemeliharaan dan pengelolaan harta anak yatim dalam
konteks mengurus urusan mereka secara patut, ikut campur dengan maksud
61

mengurus dan mengelola adalah baik dari pada tidak. Dalam waktu yang sama
jika terjadi adanya pencampuran harta anak yatim yang diurus dengan harta
pihak yang mengurus, maka tidak dikenakan sangsi ukhrowi apapun. Demikian
persoalan hukum yang dituangkan dalam surat al-Baqarah ayat 220 seperti
berikut ini:

‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﹾﻔﺴِﺪ‬‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻌﻠﹶﻢ‬ ‫ ﻳ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺍﻧ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺈﹺ‬ ‫ﻄﹸﻮﻫ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺨ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﺮ‬‫ﻢ ﺧ‬ ‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺻﻠﹶﺎﺡ‬
 ‫ﻰ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
.‫ﻴﻢ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺘ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ ﻟﹶﺄﹶ‬‫ﺎﺀَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮ ﺷ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﺢﹺ ﻭ‬‫ﺼﻠ‬
 ‫ﺍﹾﻟﻤ‬
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan
perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 220).

e. Hukum Wanita Datang Bulan

Persoalan haidh Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-


gunung, maka katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat)
sehancur-hancurnya, telah menjadi ketentuan Ilahiah yang dibebankan kepada
wanita sejak dahulu kala hingga sekarang dan seterusnya, selain sudah menjadi
suratan taqdir bagi kaum hawa, haidhh juga mengakibatkan ganguan fisik dan
psikis wanita, karena secara fisik dengan bayaknya darah segar yang keluar
dapat menimbulkan ganguan kesehatan jasmani wanita. Rasa sakit seringkali
melilit perutnya akibat rahim yang berkontraksi. Dalam pada itu haidh juga
menimbulkan ganguan lain bagi seorang suami.
62

Sebagai gejala ganguan fisik dan psikis yang dialami wanita dalam
hidupnya, haidh menimbulkan persoalan baru bagi seorang suami, pertayaan
boleh tidaknya melakukan hubungan seksual antara suami istri jika istri tegah
megalami datang bulan menjadi penting pada periode awal kemunculan Islam
sehingga jawaban yang diberikan mengawali terbentuknya undang-undang
yang mengatur halal dan haramnya menjalin hubungan seks ketika seorang
istri sedang haidh.
Mecermati redaksi pertanyaan hukum boleh tidaknya melakukan
hubungan intim antara suami istri yang tengah haidh dengan menggunakan
kata kerja berbentuk mudhari’ menyiratkan pengertian bahwa persoalan ini
berlaku pada setiap zaman dan terus terjadi dalam kehidupan rumah tangga
sehingga pengangkatan kembali masalah ini tetap diperlukan untuk
mengingatkan aturan terkait. Hal ini menunjukkan bahwa masalah haidh harus
senantiasa diperhatikan oleh suami istri, sehingga hubungan intim yang
berlangsung tidak menimbulkan riak-riak yang membahayakan keturunan bila
dikaruniai anak-anak.
Pertanyaan kondisional menyangkut hukum pembolehan dan pelarangan
penyaluran kebutuhan biologis suami istri sehubungan dengan tradisi
masyarakat Yahudi yang memposisikan kaum wanita dalam kedudukan yang
amat rendah. Bangsa Yahudi memandang wanita-wanita yang tengah
mengalami haidh sebagai tidak pantas tinggal di rumah sehingga mereka
dikeluarkan dari tempat-tempat tinggalnya, tidak diajak makan bersama,
minum bersama, dan tidak digauli.11

11
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 140
63

Persoalan hukum diatas menandai diundang-undangkannya peraturan


hukum pelarangan kegiatan seksual bagi suami dan istri yang sedang
mengalami datang bulan dan membolehkan segala sesuatu yang selama ini
dilakukan selain hubungan seks, sebagaimana disampaikan Nabi saw
“Lakukanlah segala sesuatu yang selama ini dibenarkan kecuali hubungan
seks.” 12
Demikian penghormatan dan perlakuan al-Qur’ân terhadap wanita haidh
berjalan paralel dengan perlakuannya terhadap lembaga keluarga. Oleh
karenanya dapat dikatakan sejelas-jelasnya bahwa semangat legislasi al-Qur’ân
memperlihatkan arah yang jelas menuju realisasi progresif dari nilai-nilai
fundamental tentang kedudukan wanita sebagaimana dituangkan dalam surat
al-Baqarah ayat 222 berikut:

‫ﺮﻥﹶ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻄﹾ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﺣ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺑ‬‫ ﹾﻘﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻴﺾﹺ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺎﺀَ ﻓ‬‫ﺴ‬‫ﺰﹺﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﻋﺘ‬ ‫ ﹶﺃﺫﹰﻯ ﻓﹶﺎ‬‫ﻮ‬‫ﻴﺾﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
.‫ﻬﺮﹺﻳﻦ‬ ‫ﻄﹶ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺑﹺﲔ‬‫ﺘﻮ‬‫ ﺍﻟ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴﺚﹸ ﹶﺃﻣ‬‫ﻦ ﺣ‬ ‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺮﻥﹶ ﻓﹶ ﹾﺄﺗ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻄﹶ‬‫ﻓﹶﹺﺈﺫﹶﺍ ﺗ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri. (Q.S. al-Baqarah [2]: 222).

f. Hukum Penentuan Makanan yang Halal

Persoalan konsumsi merupakan isu penting dalam kehidupan manusia


karena untuk mempertahankan kelangsungan hidup, manusia memerlukan
pemenuhan kebutuhan biologisnya berupa makan dan minum. Semua
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447
64

mengkonsumsi makanan banyak ditemukan dalam al-Qur’ân. Misalnya yang


terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 60 dan surat al-An’am ayat 142 yang
berbunyi:
.‫ﻴﻄﹶﺎﻥ‬‫ﺸ‬
 ‫ﺍﻟ‬ ‫ﺍﺕ‬‫ ﹸﻄﻮ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﺘﺒﹺﻌ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻗﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬
Artinya: “...Makanlah dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan.” (Q.S. al-
An‘âm [6]: 142).

.‫ﻳﻦ‬‫ ﹾﻔﺴِﺪ‬‫ﺭﺽﹺ ﻣ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬ ‫ﻲ‬‫ﺍ ﻓ‬‫ﻌﺜﹶﻮ‬ ‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺯﻕﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻦ ﺭﹺ‬ ‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ﺷﺮ‬ ‫ﺍ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻭ‬
Artinya: “…Makan dan minumlah rizki yang diberikan Allah, dan janganlah
kamu berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan”. (Q.S.
al-Baqarah [2]: 60).

Sejalan dengan seruan mengkonsumsi makanan dan minuman yang


secara paralel juga dibarengi dengan pelarangan mengikuti kebiasaan syaithan
dan larangan melakukan kejahatan di muka bumi ini. Pertanyaan hukum terkait
klasifikasi kehalalan dan keharaman bukan saja amat signifikan pada masa
awal kemunculan Islam, tetapi masih relevan untuk kehidupan masa kini.
Mendalami persoalan hukum yang dimunculkan al-Qur’ân dengan
menggunakan kata kerja berbentuk mudhari ini menyiratkan suatu pengertian
reaktualisasi pembahasan kembali terhadap tema dan eksisnya persoalan pada
setiap periode kehidupan umat Islam. Bukan hanya menjadi persoalan penting
pada masa kemunculan Islam.
Pertanyaan apakah yang dihalalkan bagi umat Islam memang lahir pada
zaman Nabi menyusul pelarangan mengkonsumsi daging bangkai, darah,
daging babi, dan binatang-binatang yang pemotongannya tidak dilakukan
secara Islam atau yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan
65

yang diterkam binatang buas (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 3), karena membahayakan
kesehatan jasmani dan membahayakan agama.
Pertanyaan di atas menandakan tersusunnya suatu ketentuan hukum
mmenyangkut kriteria materi-materi makanan dan daging binatang yang
memiliki kehalalan dan dapat dikonsumsi dengan ketentuan tidak kotor dari
segi zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau tercampur najis. Dalam istlilah lain
dapat dikatakan materi makanan yang halal adalah yang mengandung selera
bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya.13 Baik
berupa daging maupun jenis makanan lainnya.
Imam Sa’id mengatakan yang dimaksud dengan Thayyibât adalah
daging-daging binatang hasil pemotongan yang halal dan lezat, sementara
Maqâtil berpendapat, al-Thayibat apa saja yang dihalalkan Allah dari rezeki. 14
Demikian persoalan makanan mendapat perhatian al-Qur’ân dan ini
menunjukkan semangat legislasi qur’ani dalam rangka mengarahkan dan
membimbing manusia dalam menjalankan hidup menuju ke arah implementasi
konstruktif terhadap aturan-aturan fundamental tentang makanan dan minuman
sebagaimana tertuang dalam surat al-Mâ’idah ayat 4:
‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﻧ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﻠﱢﺒﹺﲔ‬‫ﺍﺭﹺﺡﹺ ﻣ‬‫ﺠﻮ‬
 ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻤﺘ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟ ﱠﻄﻴ‬‫ﻞﱠ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻢ ﻗﹸﻞﹾ ﹸﺃﺣ‬ ‫ﻞﱠ ﻟﹶﻬ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﹸﺃﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﺳﺮﹺﻳﻊ‬ ‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳﻢ‬ ‫ﻭﺍ ﺍ‬‫ﺍ ﹾﺫﻛﹸﺮ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﹾﻜﻦ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﻜﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻋ‬
.‫ﺎﺏﹺ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹾﻟﺤ‬
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan

13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 26
14
Hafid Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 484
66

(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang
ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas
itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat cepat hisab-Nya". (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 4).

g. Hukum Pembagian Harta Rampasan Perang

Dalam sejarah Islam, perang merupakan salah satu bentuk perjuangan


menegakkan agama Allah. Di antara peristiwa-peristiwa perang yang populis
adalah perang Badr yang merupakan awal kemenangan dari peristiwa
kemenangan yang diraih pasukan Islam pada zaman Nabi saw. sampai-sampai
sebagian sahabat ada yang menyebut surah al-Anfâl sebagai “surah Badr”
seiring dengan kandungan surah yang mengisahkann kejadian riil pertempuran
dengan strategi dan taktiknya secara rinci.15
Kemenangan gemilang yang diraih umat Islam dalam pertempuran Badr
yang berlangsung di bulan puasa tahun ke-2 Hijriah ini merupakan tahap awal
dari beberapa tahap-tahap perjuangan melawan kebatilan, kezhaliman dan
menyelamatkan golongan lemah baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak
yang berdomisili di Makkah. Namun demikian persoalan baru muncul
menyangkut harta-harta rampasan hasil perang itu.
Pertanyaan hukum terkait dengan kemenangan gemilang pada perang
Badr ini muncul menyangkut siapa yang berhak memiliki harta hasil perang
dan bagaimana pembagiannya, persoalan tersebut lahir sehubungan dengan
pernyataan Nabi saw. saat perang Badr berkecamuk.

15
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 993
67

Persoalan hukum inilah kemudian memperoleh keputusan legislasi


sebagaimana tertera dalam al-Qur’ân, surah al-An’fâl ayat 1 yang memutuskan
bahwa harta hasil rampasan perang bukan milik siapa-siapa, tetapi milik Allah
dan Rasul-Nya. Demikian hukum ini diputuskan oleh al-Qur’ân.
Demikian sekalipun pertanyaan yang datang dari orang-orang Islam
atau para sahabat Rasulullah saw. meski sangat sedikit, namun semuanya
mempunyai bobot ilmiah yang tinggi. Baik pertanyaan itu berkenaan dengan
kehidupan manusia maupun tentang alam sekitar. Banyaknya pertanyaan
menyangkut masalah hukum, menunjukkan keinginan keras para sahabat untuk
mengetahui kebenaran yang diridhai Allah dan mempunyai pengaruh yang
baik terhadap kehidupan mereka. Terutama kehidupan individual dan sosial.
Seperti: pertanyaan tentang infaq (Q.S. al-Baqarah: 2: 215 dan 219), sebanyak
dua kali, tentang berperang pada bulan haram (Q.S. al-Baqarah: 2: 217),
khamar dan judi (Q.S. al-Baqarah: 2: 219), anak-anak yatim (Q.S. al-Baqarah:
2: 220), haidh (Q.S. al-Baqarah: 2: 222), apa-apa yang dihalalkan bagi mereka
(Q.S. al-Mâidah: 5: 4), wanita (Q.S. al-Nisâ’: 4: 127 dan 178), dan tentang
harta rampasan perang (Q.S. al-Anfâl: 8: 1).
Semua yang ditanyakan itu adalah perkara praktis yang mempunyai
manfaat langsung di dalam kehidupan, dan kesemuanya berjumlah sebelas
pertanyaan. Sembilan di antaranya dengan menggunakan kalimat yas-alûnaka
dan dua yang lain menggunakan kalimat yastaftûnaka.
Yusuf Qardawi mengatakan, jumlah pertanyaan para sahabat adalah
sebelas. Tujuh di antaranya dalam surat al-Baqarah, satu dalam surat al-
68

Mâidah, dan yang lain di permulaan surat al-Anfâl. Kesemuanya menggunakan


kalimat yas-alûnaka, dan dua pertanyaan tentang wanita dengan kalimat
yastaftûnaka, ditambah satu pertanyaan dalam surat al-Baqarah ayat 186.
.‫ﻗﹶﺮﹺﻳﺐ‬ ‫ﻲ‬‫ﻲ ﻓﹶﹺﺈﻧ‬‫ﻨ‬‫ﻱ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻚ‬‫ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 186).

B. Pertanyaan Berkenaan dengan Dekatnya Allah


Persoalan dekat atau jauhnya Allah pada masa kemunculan awal Islam
sempat menghantui pikiran pengikut Nabi saw. dan sahabatnya. Salah seorang
Arab dari pedalaman bahkan menanyakan langsung pada Rasulullah, apakah
Tuhan kami dekat sehingga kami dapat bermunajat atau jauh sehingga kami
bermunajat. Selain orang Arab pedalaman tersebut para sahabat Nabi saw. juga
bertanya di manakah Tuhan kami?.16 Bahkan ada yang mengatakan jika saja
kami mengetahui saat-saat untuk berdo’a, maka di situlah kami melakukannya,
di lain pihak Allah tidak akan pernah mengecewakan permintaan atau do’a
hambanya yang memanjatkan permohonan, karena Ia Maha mendengar
sebagaimana dinyatakan Allah pada Nabi Musa dan Harun as: “Sesngguhnya
Aku bersama kalian brdua mendengar dan mengetahui.” Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang
yang berbuat baik”.
Ada sisi lain Allah menjamin mengabulkan do’a hambanya selama yang
diminta masalah kebaikan, sebagaimana Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya
16
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan
69

Allah benar-benar malu jika seorang hamba menadahkan kedua tangannya


memohon kebaikan, tapi yang didapatinya hanya tangan kosong.” 17
Pertanyaan tentang Allah dalam surat al-Baqarah ayat 186 ini
mencerminkan keinginan kuat masyarakat muslim pada masa Rasulullah untuk
memastikan terdengar atau tidaknya permohonan mereka. Pengabulan do’a
seorang hamba oleh Allah terkait dengan ketentuan-ketentuan yang ada, antara
lain: tidak memutuskan tali silaturrahmi dan tidak melanggar hukum-hukum
Allah, karena setiap pelanggaran hukum baik yang ringan atau yang berat,
sadar atau tidak sadar adalah melanggar ketentuan hukum Allah yang tidak
disukai-Nya.
Demikian ayat tersebut memberikan jawaban terhadap pertanyaan dekat
atau jauhnya Allah dari hambanya yang memanjatkan do’a, sebagaimana
firman Allah SWT: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 186.)

C. Pertanyaan Tentang Hari kiamat


Peristiwa berakhirnya alam semesta dan seisinya amat menarik
perhatian para penyekutu Tuhan dan orang-orang yang tak beragama dari
berbagai aliran. Asumsi bahwa hari kiamat adalah suatu ilusi dan dongeng-
dongeng serta kisah-kisah khayalan belaka merebak di kalangan orang-orang
non-muslim, oleh karenanya hari kiamat menjadi topik pembahasan harian,
bulanan dan bahkan tahunan mereka yang selalu diperbincangkan.

17
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dari Salmanal-Farisi
70

Berangkat dari titik tolak ketidakpercayaannya terhadap kiamat,


masyarakat non-muslim periode Nabi saw. secara konntinyu mempertanyakan
detik-detik kemunculan dan kejadiannya, pertanyaan kapankah dan
bagaimanakah sering muncul seiring dengan sikap arogansi non-muslim dan
penolakannya terhadap kebenaran hari itu. Dalam al-Qur’ân pertanyaan seperti
di atas sering terulang-ulang hingga lima kali dengan ungkapan bahasa
bervariatif pada tiga surah yaitu: al-Ahzâb, al-A’râf, dan al-Nâzi’ât. Hari
kiamat diungkap dengan kata al-Sâ’ah, sedang pada surah al-Dzâriat, hari
kiamat dituangkan dengan kata Yaum al-Dîn dan pada surah al-Qiyâmah
diungkap dengan bahasa Yaum al-Qiyâmah. Baik al-Sâ’ah maupun Yaum al-
Dîn keduanya memiliki pengertian yang sama walaupun secara harfiah
berbeda, tetapi esensi pengertiannya tidak menunjukan perbedaan yang
signifikan.
Pertanyaan tentang hari kiamat bukan pertanyaan sebenarnya yang
mencari informasi menyangkut obyek yang ditanyakan. Pertanyaan ini lebih
bersifat tendensius, bertujuan mengejek, mengolok-olok, menghina dan bahkan
menolak baik terhadap Nabi saw. yang memberitakannya maupun terhadap
kebenaran hakiki peristiwa hari tersebut, karena menurut penanya obyek yang
ditanyakan mustahil terjadi di masa mendatang. Dengan motivasi seperti ini
jawaban yang disampaikan tetap dirahasiaakan dan Nabi saw. sebagai pihak
yang menghadapi pertanyaan diperintahkan Allah memberikan jawaban:
“Jawablah’ sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui-Nya”
71

Artinya ketika Nabi saw. mengahadapi pertanyaan semacam ini, ia


diperintahkan memberikan jawaban “Aku tidak mengetahui waktu tibanya hari
kiamat dan hanya Allah-lah yang mengetahui” Allah merahasiakannya dan
tidak seorangpun dari Nabi atau pun Malaikat diberitahukan waktunya.
Dalam al-Qur’ân pertanyaan tentang hari kiamat memperoleh jawaban
elaboratif tentang peristiwa terjadinya hari kiamat, dan kondisi kesudahan non-
muslim yang menjadi penghuni neraka. Pada surah al-Ahzâb: 32 ayat 63–68
Allah menyatakan bahwa hari kiamat adalah hari di mana Allah mengusir dan
menjauhkan orang-orang kafir dari rahmat-Nya serta mempersiapkan bara api
yang dahsyat untuk mereka, menempatkan mereka di Neraka Sya’ir untuk
selamanya. Di neraka mereka dipanggang dengan api, merintih dan meratapi
nasibnya, sambil berkata:
“Seandainya saja kita mengikuti Allah dan Rasul-Nya, tentu kita tidak
akan mendapat siksa seperti ini, tetapi alangkah sayangnya, kita telah
mengikuti pemimpin dan bangsawan yang telah menelantarkan kita dari jalan
kebenaran, jadikanlah siksa mereka ini dua kali lipat dari siksa kita karena
mereka penyebab semua ini”.
Sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut ini yang berbunyi:
.‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻨ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺎﺭﹺ ﻳ‬‫ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻠﹶﻰ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ ﻫ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ ﻳ‬0‫ﻳﻦﹺ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻳ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻥﹶ ﺃﹶﻳ‬
 ‫ﻳ‬
Artinya: “Mereaka bertanya: “Bilakah hari pembalsan itu?” (Hari
pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diadzab diatas api
neraka”. (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 12-13).

Jawaban elaboratif pada ayat diatas juga diberikan pada ayat 12 dan 13
surah al-Dzâriyât, bahwa hari kiamat adalah suatu hari di mana orang-orang
72

yang tidak beriman disiksa dan dibakar di neraka. Pada hari itu Malaikat
penjaga neraka berkata:
“Rasakannlah siksa api neraka ini yang kalian minta disegerakan di dunia”,
kini terjadi dan baru tahu kalian akan kebenaran janji Allah.
Selain kedua surat di atas, jawaban senada juga dinyatakan pada surah
al-Nâzi’at ayat ke 46 bahwa hari kiamat tiada yang mengetahui selain Allah
SWT. dan Nabi saw. hanya bertugas untuk menyampaikan peringatan kepada
orang-orang yang takut pada Allah, bukan memberitahukan waktu tibanya.
Peringatan ditujukan hanya pada orang yang takut pada Allah karena sangat
berguna bagi mereka. Orang kafir saat menyaksikan hari itu seolah-olah hanya
menjalani kehidupan di dunia selama sekejap mata. Ibnu Katsir mengatakan: Ia
menganggap lamanya tinggal di dunia seolah-olah selama waktu sore atau
waktu pagi, seperti dilukiskan pada ayat-ayat berikut:
‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
Artinya: “Orang-orang kafir bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
kebangkitan, kapankah terjadinya?” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 42).

‫ﺎ‬‫ﺍﻫ‬‫ ﹾﻛﺮ‬‫ﻦ ﺫ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻧﺖ‬‫ ﺃﹶ‬‫ﻴﻢ‬‫ﻓ‬


Artinya: “Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)” (Q.S. al-
Nâzi‘ât [79]: 43).
‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻬ‬‫ﻨﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺭ‬
Artinya: “Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan
waktunya)” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 44).
‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺸ‬‫ﺨ‬‫ﻦ ﻳ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺭ‬‫ﻨﺬ‬‫ ﻣ‬‫ﻧﺖ‬‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺇﹺ‬
Artinya: “Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut
kepadanya (hari kebangkitan)” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 45).

‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺤ‬‫ﻭ ﺿ‬ ‫ﻴﺔﹰ ﺃﹶ‬‫ﺸ‬‫ﺜﹸﻮﺍ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻋ‬‫ ﹾﻠﺒ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎ ﻟﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻭﻧ‬ ‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻧﻬ‬‫ﻛﹶﺄﹶ‬
73

Artinya: “Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa
seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di
waktu sore atau pagi hari” (Q.S. al-Nâzi‘ât [79]: 46).

Masalah-masalah hari kiamat dan hari pembalasan memang merupakan


realitas-realitas supra-natural yang tidak mudah diterima orang-orang non-
muslim (Kafir Makkah). Keimanan terhadap persoalan tersebut memerlukan
faktor hidayah dari Allah, oleh karena itu, Sayyid Qutb ketika menafsirkan
ayat 3 surat al-Baqarah yaitu:
‫ﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻨﻔ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎﻫ‬‫ ﹾﻗﻨ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ﻣ‬‫ﺼﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬
 ‫ﻮﻥﹶ ﺍﻟ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻘ‬‫ﻳ‬‫ﻴﺐﹺ ﻭ‬‫ﻮﻥﹶ ﺑﹺﺎﹾﻟﻐ‬‫ﻨ‬‫ﺆﻣ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬
Artinya: (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan
kepada mereka”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 3).

Ia mengatakan bahwa, keimanan pada masalah supra-fisik itu


merupakan tingkatan yang dengan mencapainya, manusia naik melewati batas
kebinatangan di mana kemampuan persepsi terbatas pada wilayah indera-
indera eksternal dan mencapai tahap kemanusiaan, sebuah wilayah yang lebih
luas dan lebih lapang di atas wilayah terbatas indera-indera eksternal telah
terbuka dihadapannya. Memasuki tingkatan baru ini membawa perubahan
radikal dalam pandangan manusia tentang realitas eksternal secara umum dan
khususnya mengenai dirinya sendiri dan dia mampu mempersepsi kekuatan-
kekuatan tersembunyi alam semesta.18
Demikian keimanan terhadap masalah yang ghaib seperti yang
ditanyakan orang-orang kafir Makkah, bukan mencerminkan keingintahuan
mereka menyangkut realitas-realitas supra-fisik sehingga berubah
keyakinannya setelah mendapat klarifikasi dari Nabi. Tetapi pertanyaan yang

18
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’ân, h. 124
74

diajukan hanya bermaksud mengejek dan mengolok-olok pembawa risalah


karena menurut hemat mereka misi yang disampaikan Nabi dapat mengancam
kepentingan mereka.
Demikian pertanyaan bermotifkan membenci dan memusuhi Islam serta
berupaya menggerogoti dan melumpuhkannya dengan cara apapun, baik dari
dalam maupun dari luar. Juga berusaha mengaburkan dan menodai
keberhasilan Islam serta menggencarkan proses de-Islamisasi dengan segenap
bentuknya, kasar atupun halus

D. Pertanyaan Tentang Tokoh


Selain tiga materi pertanyaan di atas, terdapat pula materi lain yang
ditanyakan yaitu menyangkut tokoh-tokoh yang dikisahkan al-Qur’ân dalam
kerangka mengingatkan kembali umat Islam sehubungan dengan peristiwa-
peristiwa perjuangan dan pengorbanan dalam konteks perjuangan menegakkan
agama Allah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran di satu sisi dan
memberikan hiburan kepada Nabi agar dalam menjalankan perjuangannya
selalu bersikap tabah, sabar dan tidak mudah putus asa.
Menurut hemat penulis, pertanyaan tentang tokoh ini terdapat pada surat
al-Kahfi yang diturunkan di kota suci mekkah ini memiliki sebanyak 110 ayat.
Surat tersebut mengetengahkan tiga kisah unik.
Pertama; Kisah tokoh-tokoh muda yang gigih mempertahankan
keyakinan ketauhidan dan agamanya, sebuah kisah pengorbanan jiwa dan raga
untuk mempertahankan aqidahnya hingga akhirnya harus rela melarikan diri
dari khalayak keramaian dan menyembunyikan diri di sebuah gua yang
75

populer dengan nama ‫ﺍﻟﻜﻬﻒ‬ ‫ ﺍﺻﺤﺎﺏ‬selama 309 tahun lamanya berdiam dalam
keadaan tidur di dalam gua tersebut. Kisah ‫ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻜﻬﻒ‬menurut para pakar
tafsir bermula ketika seorang paduka yang dipertuan agung Raja diktator
bernama Daqyanus muncul di salah satu teritorial kerajaan Romawi yaitu
wilayah Tartus setelah periode Nabi Isa as. Sang Raja mengajak seluruh
rakyatnya menyembah patung dan membantai seluruh rakyat yang beragama
Islam/orang-orang mukmin yang tidak mengikuti ajakannya. Demikian berat
cobaan kaum beriman kepada Allah SWT. kala itu, sehingga tokoh-tokoh
muda ini merasa amat pilu dan nestapa melihat kondisi kekejaman seorang
raja. Setelah beritanya didengar sang raja, mereka inipun diundang agar datang
dihadapannya dan dihimbau agar mau menyembah patung dan sang Raja
berjanji membantai mereka jika mereka menolak ajakannya. Dengan sikap
tegas, para tokoh muda ini bersikap menolak ajakan raja dihadapannya seraya
menyatakan jawaban:
000‫ﺎ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻬ‬‫ﻭﻧﹺﻪ‬‫ﻦ ﺩ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺪﻋ‬ ‫ﻦ ﻧ‬ ‫ﺭﺽﹺ ﻟﹶ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ ﺍﻟ‬‫ﺏ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬000
Artinya: “Mereka berdiri lalu mengatakan Tuhan kami adalah Tuhan langit
dan bumi, kami tidak akan pernah menjyembah Tuhan lain selain
Allah”. (Q.S. al-Kahfi [18]: 14).

Mendengar pernyataan penolakan tegas yang disampaikan para tokoh


muda tersebut sang paduka Rajapun tidak serta merta menghunuskan
pedangnya di leher-leher mereka, melainkan memberi kesempatan waktu
hingga pagi hari. Raja berkata: kalian masih muda-muda saya beri kesempatan
hingga besok pagi untuk memikirkan tawaranku dan merubah pendirian kalian.
Di malam hari mereka melarikan diri melewati seorang penggembala yang
76

ditemani seekor anjing yang menggonggong dan menjelang pagi hari, mereka
tiba di sebuah gua dan masuk ke dalam gua tersebut, meskipun raja dan
pasukan-pasukan mengejarnya akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian
memasuki gua tersebut.
Kedua; Kisah Musa bersama Khidir, sebuah kisah kesopansantunan
mencari ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamam supra-natural yang
diperlihatkan hamba Allah yang saleh kepada Musa yang sama sekali belum
pernah dialami dalam hidupnya seperti pengalaman aneh tentang bahtera,
peristiwa pembunuhan seorang anak kecil, dan pembangunan sebuah dinding.
Ketiga: Kisah seorang tokoh yang disebut dalam al-Qur’ân sebagai ‫ﺫﻯ‬
‫ﺍﻟﻘﺮﻧﲔ‬ yaitu seorang Paduka Raja yang memiliki ketaqwaan dan sikap adil
serta bijaksana terhadap rakyat-rakyatnya dan kekuasaannya meluas di atas
bumi persada dari Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Dan yang
terakhir inilah yang menjadi kajian penulis sebagaimana yang dilukiskan Allah
pada ayat 83. Kisah ini diabadikan Allah SWT. dengan tujuan untuk
mengingatkan kembali kepada penguasa-penguasa di dunia agar dalam
menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya senantiasa terilhami dengan sikap
kearifan dan klebijaksanaan yang senantiasa mementingkan rakyat banyak
sehingga apapun yang diputuskan tidak menyengsarakan rakyat.
Pada ayat-ayat berikut, ketokohan seorang raja yang jujur, saleh,
bijaksana, dan tidak semena-mena dalam bertindak dilukiskan Allah SWT.
dengan redaksi tanya jawab: “Dan mereka orang-orang Yahudi bertanya
kepadamu, wahai Muhammad saw. tentang kisah seorang tokoh yang disebut-
77

sebut sebagai ‫ﺫﻯ ﺍﻟﻘﺮﻧﲔ‬, maka katakanlah/jawablah kepada mereka “Aku akan
menceritakannya kepada kalian semua kisah tokoh tersebut secara wahyu.
Sesungguhnya Allah SWT. telah memberikan segala kemudahan baginya
menjadi seorang penguasa/raja. Ia telah dikaruniai segala ilmu pengetahuan
dan kapabilitas luar biasa oleh-Nya, Maka ia kemudian menempuh perjalanan
yang terbentang dihadapannya hingga mencapai upuk Barat. Ketika sampai
pada kawasan Barat, ia menyaksikan sang surya terbenam dalam kedalaman air
dan lumpur menurut kasat pandang matanya, bukan menurut yang sebenarnya
– karena tidak demikian hal yang sebenarnya. Imam al-Râzi dalam karya
tafsirnya mengatakan, bahwa ketika sang paduka Raja tiba di ujung Barat
dunia di mana tiada lagi banguan berada, ia menyaksikan surya seolah-olah
terbenam ke dalam mata air dan dunia mulai gelap gulita walaupun sebenarnya
tidak demikian adanya, seperti halnya seseorang yang berlayar dengan bahtera
akan melihat seolah-olah matahari terbenam ke dalam lautan. Ketika tiba pada
mata air tersebut, ia menjumpai sebuah komunitas masyarakat. 19
Keterkaitan ayat 83 dan seterusnya dengan ayat-ayat sebelumnya ialah
ketika kisah peristiwa Khidir diketengahkan, Allah SWT. meneruskan kisah
seorang tokoh yang di tampilkan al-Qur’ân sebagai ‫ﺫﻯ ﺍﻟﻘﺮﻧﲔ‬ dalam kisah
perjalanannya ke Timur dan Barat serta pembangunan bendungan yang
menutupi jalan keluar ‫ﺑﺄﺟﻮﺝ ﻭﻣﺄﺟﻮﺝ‬ yaitu kisah yang ke-empat dari kisah-
kisah yang disebutkan dalam surat ini yang secara keseluruhan terkait dengan
masalah aqidah keimanan. Sebagian pakar tafsir mengatakan bahwa yang

19
Kisah selanjutnya sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’ânsurat al-Kahfi: 18:
83-98.
78

dimaksud dengan ‫ﺫﻯ ﺍﻟﻘﺮﻧﲔ‬ adalah Alexander al-Maqduni, seorang Raja yang
saleh yang dikaruniai ilmu pengetahuan dan ilmu hikmah oleh Allah SWT.
Penamaan tersebut dikarenakan yang bersangkutan menjadi penguasa muslim
yang memimpin seluruh kawasan Timur dan Barat.
Terkait dengan pertanyaan seorang tokoh juga terdapat pada surat al-
Isrâ’ ayat 101 di mana Rasulullah dianjurkan untuk bertanya kepada tokoh
Yahudi (Bani Israil) tentang peristiwa yang terjadi antara nabi Musa-Firaun,
serta surah al-Nahl ayat 42 yang mengisahkan sikap penolakan orang-orang
musyrikin terhadap status kenabian Muhammad, sehingga mereka disarankan
untuk bertanya kepada para ulama Yahudi dan Nashrani. Demikian juga surat
Furqân ayat 59, yang mengetengahkan penciptaan langit dan bumi dan priode
waktu penciptaannya itu.
Adapun ayat-ayat tersebut di atas sebagaimana berikut:
.‫ﺍ‬‫ﻛﺮ‬
‫ ﹾ‬‫ﺫ‬ ‫ﻨﻪ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ﺗﻠﹸﻮ ﻋ‬‫ﺄﹶ‬‫ﻴﻦﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﺳ‬‫ﺮﻧ‬ ‫ﻱ ﺍﹾﻟﻘﹶ‬‫ﻦ ﺫ‬ ‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain,
katakanlah: Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya” (Q.S.
al-Kahfi [18]: 83).

‫ﻚ‬‫ﻲ ﻟﹶﺄﹶ ﹸﻇﻨ‬‫ﻮﻥﹸ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﺮﻋ‬ ‫ ﻓ‬‫ﻢ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬ ‫ﺎﺀَﻫ‬‫ﻴﻞﹶ ﺇﹺ ﹾﺫ ﺟ‬‫ﺍﺋ‬‫ﺳﺮ‬ ‫ﻨﹺﻲ ﺇﹺ‬‫ﺄﹶ ﹾﻝ ﺑ‬‫ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺕ‬‫ ﺀَﺍﻳ‬‫ﺴﻊ‬
 ‫ﻰ ﺗ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺪ ﺀَﺍﺗ‬ ‫ﻟﹶﻘﹶ‬‫ﻭ‬
.‫ﺍ‬‫ﻮﺭ‬‫ﺴﺤ‬
 ‫ﻰ ﻣ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻳ‬
Artinya: “Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepada Musa sembilan
buah mu’jizat yang nyata, maka tanyakanlah kepada bani Israel,
tatkala Musa datang kepada mereka, lalu Fir’aun berkata kepadanya;
sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir ”
(Q.S, al-isrâ’: 17: 101).

‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﻢ ﻟﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻫﻞﹶ ﺍﻟﺬﱢ ﹾﻛﺮﹺ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻴﻬﹺ‬‫ﻲ ﺇﹺﻟﹶ‬‫ﻮﺣ‬‫ﺎﻟﹰﺎ ﻧ‬‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺭﹺﺟ‬‫ﻚ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ﺎ ﻣ‬‫ ﹾﻠﻨ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
79

Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang kami beri, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Nahl [16]: 43).

‫ﻦ‬‫ﺣﻤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺮﺵﹺ ﺍﻟ‬ ‫ﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻯ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﺍﺳ‬ ‫ﺎﻡﹴ ﹸﺛ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺘﺔ‬‫ﻲ ﺳ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴﻨ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬ ‫ ﺍﻟ‬‫ﺧﻠﹶﻖ‬ ‫ﻱ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬
.‫ﺍ‬‫ﺧﺒﹺﲑ‬
 ‫ﺄﹶ ﹾﻝ ﺑﹺﻪ‬‫ﻓﹶﺎﺳ‬
Artinya: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
Arsyi, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang
Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia”
(Q.S. al-Furqân [25]: 59).

E. Bentuk Pertanyaan yang Dibenarkan dalam Al-Qur’ân


Dalam konteks al-Qur’ân, bentuk materi-materi yang menjadi
pertanyaan orang-orang non-muslim kepada Nabi memilki keunikan bervariatif
seiring dengan motivasi yang melatarbelakanginya. Pada satu segi, pertanyaan
terkadang terlontar sekehendak hati mereka sehingga dengan demikian tidak
mengindahkan sama sekali norma-norma bertanya kepada seorang Nabi yang
menjadi utusan Allah.
Berbeda dengan materi pertanyaan yang diajukan umat Islam kepada
Nabi di mana pertanyaan muncul ketika umat Islam menghadapi persoalan
pelik yang dialami dalam perjalanan hidupnya dan jawaban-jawaban yang ada
sangat bermanfaat bagi kehidupan umat Islam zaman Nabi dan sekarang serta
untuk masa mendatang.
Terkait dengan metode pengajuan materi pertanyaan, al-Qur’ân
memberikan suatu landasan umum bagaimana cara mengajukan sebuah
pertanyaan dan metode apakah yang memilki kelayakan qur’âni. Sehubungan
80

dengan persoalan ini, ayat 101 surah al-Mâidah memberikan jawaban yang
berbunyi sebagai berikut:

‫ﺮﺀَﺍﻥﹸ‬ ‫ﺰﻝﹸ ﺍﹾﻟﻘﹸ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﲔ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬


 ‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﺆﻛﹸ‬ ‫ﺴ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ﺒﺪ‬‫ﺎﺀَ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﺷﻴ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬
 ‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬
.‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻓ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﻬ‬‫ﺤ‬‫ﺻﺒ‬  ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎ ﻗﹶ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ﺪ ﺳ‬ ‫ ﻗﹶ‬. ‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﺣ‬‫ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻔﹶﺎ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ﺒﺪ‬‫ﺗ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-
hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya menyusahkan kamu
dan jika kamu menanyakan tentangnya diwaktu al-Qur’ân itu sedang
diturunkan niscaya akan diterangkan kepada kamu. Allah memaafkan
tentang hal-hal itu dan Allah Maha pengampun dan Maha Penyantun.
Sesungguhnya telah ditanyakan tentang hal-hal serupa oleh
segolongan manusia sebelum kamu, kemudian mereka menjadi kafir
karenanya”. (Q.S, al-Mâ’idah [5]: 101-102).

Ayat di atas mengandung konsepsi metodologi pendidikan dalam


kegiatan belajar-mengajar menyangkut cara bertanya, yaitu pelarangan
mengajukan pertanyaan yang berlebih-lebihan bukan pada tempatnya atau
memperbanyak pertanyaan, karena jika hal semacam ini terjadi, maka bukan
saja menggangu proses pembelajaran tetapi juga menyita waktu secara sia-sia
tidak menghasilkan materi yang dibutuhkan.
Al-Zamahsyari mengatakan, “Janganlah banyak-banyak bertanya
kepada Rasulullah tentang ritual-ritual religi yang tidak diwajibkan yang jika
dijawab dan diperintahkan kepada kalian akan memberatkan dan akhirnya
kalian, karena pertanyaan seperti itu pernah terjadi sebelum kalian, tetapi
setelah mendapat jawaban berupa kewajiban yang harus dilaksanakan,
mereka menolak dan tidak mau melaksanakannya”.20

20
Muhammad Al- Al-Shabuni,al-Shafwah al-Tafâsir, h. 368
81

Ayat di atas sehubungan dengan kasus sahabat Nabi saw. yang ingin
agar diizinkan ibadah yang melebihi kemampuan manusia normal dan tidak
sejalan dengan fitrah manusia, seperti rahbaniyah yang dilakukan oleh umat
Kristiani.21
Setelah Allah melarang orang-orang beriman mengharamkan apa yang telah
dihalalkan Allah pada ayat 87 sebelumnya, di antara mereka terdapat orang
yang meminta untuk diperbanyak tuntunan dan kewajiban, padahal jika hal
tersebut dipenuhi, mereka akan mengalami kesulitan. Nah, itulah yang dilarang
oleh ayat di atas. Dalam konteks ini Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan sekian kewajiban maka janganlah kamu menyia-nyiakannya;
Dia telah melarang sekian banyak hal yang haram maka janganlah kamu
melanggar larangan itu; Dia menetapkan batas-batas maka janganlah
melampauinya”.22

21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 216
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 216
BAB IV
ANALISIS TENTANG AL-SU’AL DALAM AL-QUR’ÂN

A. Motivasi dan Tujuan Bertanya dalam al-Qur’an


Dalam al-Qur’ân, pertanyaan, tujuan pertanyaan dan jawaban atas
pertanyaan adalah sebagai dasar penegetahuan bagi ummat Islam sekaligus
sebagai muatan sejarah yang haris dipelajari. Bahwa sesuangguhnya Al-Qur’an
sebagai firman Allah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum ummat
islam telah mengatur bukan hanya pada persoalan-persoalan yang bersifat
mujmal, akan tetapi sampai pada masalah teknis yang bersifat aplikatif serta
menjadi sandaran ummat islam yang dijadikan sebahai hujjah atau dalil dalam
berbagai persoalan yang dihadapi. Walaupun pertanyaan itu telah terjadi
khususnya di kalangan masyarakat yang hidup pada masa kehidupan Nabi
Muhammad Saw. dimana Allah SWT. masih menurunkan firmannya, atau dalam
bahasa yang lain Allah masih menenrtibkan persoalan-persoalan kehidupan
manusia dengan berbagai aspek kehidupan manusiswinya untuk menbjadi sebuah
ketetapan hukum yang mengikat.baik dalam aspek aqidah, syariayt maupun
dalam kaitan dengan muamalah.
Redaksi ayat-ayat yang mempergunakan kata ‫ﺳﺄﻝ‬ “sa’ala” dengan
berbagai jenis kata jadiannya yang memiliki arti bertanya mempunyai beberapa
motivasi dan tujuan. Latar belakang ayat-ayat tersebut tidak terlepas dari akar
permasalahan yang biasanya sedang dihadapi oleh masyarakat muslim sehingga
misi yang dibawanya mencerminkan penyelesaian persoalan yang dihadapi dan
tidak jarang mencerminkan pesan moral, bimbingan dan nasehat atau ketentuan

82
83

peraturan hukum yang diperlukan dalam menyikapi masalah hukum yang


berkembang. Oleh karena itu jawaban yang dikemukakan di dalam al-Qur’ân
dihubungkan dengan urgensinya serta kepentingan hidup ummat-Nya sepanjang
masa, baik berkenaan dengan ibadah ataupun pergaulan hidup, perdagangan
ataupun kebudayaan serta kehidupan sehari-hari.
Dalam Ulum al-Qur’ân terdapat al-Asbâb al-Nuzûl, yang
melatarbelakangi turunnya sebuah ayat sehubungan dengan adanya persoalan
yang belum dapat diselesaikan. Terdapat beberapa landasan motivasi kuat
mendorong munculnya sebuah pertanyaan yang dipresentasikan ummat Islam
kepada Nabi saw. yang menurut hemat penulis memiliki dimensi tatanan hukum,
sosial, kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan bahkan negara, terkait dengan
masalah kemiliteran yaitu perang, bahkan ada juga yang menyangkut ilmu
pengetahuan astronomi yang belum mendapat perhatian di kalangan ilmuwan.
Tujuan mereka mengajukan pertanyaan kepada Nabi dengan berbagai motivasi.
Diantaranya :

1. Bertanya Karena Tidak Tahu


Dalam konteks al-Qur’ân, yang memberikan motivasi para sahabat Nabi
saw. untuk mengajukan pertanyaan ialah semangat religi yang tinggi dan
kesadaran mencari sesuatu yang baru menyangkut persoalan agama seperti
tatanan syar’i, aturan sosial dan kemasyarakatan, aturan kehidupan individu dan
kelompok, sehingga orang yang merasa dipanggil atau diseru akan bersiap-siap
84

mendengarkan seruan serta tergerak hatinya untuk melaksanakan petunjuk yang


diberikan Allah kepadanya 1 setelah mengajukan pertanyaan kepada Nabi.
Pada dasarnya esensi pertanyaan yang muncul terkait dengan suatu
persoalan yang tidak atau belum diketahui penanya sehingga penjelasan dan
jawaban perlu diberikan baik dalam bentuk deskriptif maupun elaborative atau
ekspresif dan definitif. Dalam konteks al-Qur’ân, jawaban seperti ini dapat
ditemukan dalam banyak ayat yang pada umumnya menanggapi masalah-
masalah penting yang dipertanyakan umat Islam atau para sahabat Nabi
Muhammad saw.
Mencermati ayat demi ayat pada al-Qur’ân dapat disimpulkan bahwa ayat-
ayat yang mengetengahkan tanya-jawab secara redaksional dan substansial
berjumlah sembilan ayat tersebar di tiga surat, enam di antaranya terdapat dalam
surat al-Baqarah dan dua lainnya terdapat pada surah al-Anfâl dan al-Mâidah.
Pada ayat-ayat ini pertanyaan disampaikan oleh para sahabat kepada Nabi saw.
sehubungan dengan ketidaktahuan mereka terhadap hal-hal yang dihadapinya.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang muncul dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan
mereka terhadap sembilan masalaah krusial:

a. Fungsi Bulan pada Ayat 189 Surah al-Baqarah.

‫ﺎ‬‫ﻮﺭﹺﻫ‬‫ﻦ ﻇﹸﻬ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﺕ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ ﺑﹺﺄﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﺍﹾﻟﺒﹺﺮ‬‫ﻴﺲ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﺞ ﻭ‬ ‫ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﻨﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻠ‬‫ ﻟ‬‫ﻴﺖ‬‫ﺍﻗ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﻠﱠﺔ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﺄﹶﻫ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺤ‬‫ ﹾﻔﻠ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻠﱠﻜﹸ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺍﺑﹺﻬ‬‫ﺑﻮ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﺕ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﹾﺃﺗ‬‫ﺗﻘﹶﻰ ﻭ‬‫ﻦﹺ ﺍ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟﺒﹺ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
“Bulan sabit itu tanda-tanda waktu pagi bagi manusia dan bagi
1
Qomaruddin Shaleh, Dahlan M.D., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Tururunnya
Ayat-ayat al-Qur’ân, (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1990), p. 10
85

ibadah haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari


belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang yang bertakwa.
Dan masuk rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 189).

Pertanyaan sahabat pada ayat di atas memiliki indikasi ketidaktahuannya


terhadap objek yang ditanyakan baik dari segi substansi maupun signifikansinya.
Secara substansial bulan sebagai planet angkasa ciptaan Allah SWT. mengapa
dan bagaimana diciptakan dan di sisi lain sejauh mana signifikansi penciptaan
planet dan bulan itu? Kedua objek pertanyaan tersebut melatarbelakangi turunnya
ayat di atas.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim, para sahabat bertanya kepada
Rasulullah tentang bulan sabit; untuk apa bulan diciptakan dengan bentuk
demikian? Pada riwayat lain mengatakan Mu’az bin Jabal dan Tsa’labah bin
Ghanimah bertanya kepada Nabi saw. “Mengapa bulan kelihatan mula-mula
seperti benang kemudian bertambah besar lagi sampai rata dan bulat, kemudian
terus berkurang dan mengecil kembali seperti semula dan tidak dalam bentuk
yang tetap.2
Konteks pertanyaan mengapa dan bagaimana terhadap eksistensi bulan
mempunyai bobot ilmiah yang sama. Yang pertama mengarah pada kedudukan
fungsi keberadaan bulan secara filosofis dan yang kedua menyiratkan pengertian
prosesi perubahan besar kecilnya bulan, hari demi hari.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan secara deskriptif
yang elaboratif mengenai fungsi keberadaan objek yang ditanyakan ialah bahwa

2
Ahmad Mutafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 89
86

bulan diciptakan untuk menjalankan fungsinya sebagai tanda-tanda penentuan


waktu. Memang cukup banyak hukum-hukum agama yang dikaitkan dengan
kehadiran dan kepergian bulan, seperti puasa, zakat, haji, umrah, masa hamil, dan
menyusui bagi wanita dan sebagainya. Bahkan bulan dinilai sebagai semacam
hakim yang mumutuskan perkara yang ini boleh dan yang itu tidak boleh. Saat
ini anda boleh berpuasa, saat itu tidak. Saat ini hari wukuf di Arafah dan bukan
hari itu dan lain-lain.
Ibnu Katsir menulis, bahwa orang-orang bertanya kepada Nabi Muhammad
saw. tentang al-Ahillah, maka kemudian turunlah ayat tersebut di atas.
Penciptaan bulan oleh Allah SWT. memiliki pungsi signifikan dalam kehidupan
kaum muslimin selain masalah-masalah sebagaimana penulis kemukakan di atas,
bulan juga diciptakan untuk menjalankan tugasnya sebagai penentu waktu
dimulainya ibadah puasa dan buka puasa serta waktu penutupan bulan puasa.
Keterkaitan ayat tersebut di atas dengan ayat-ayat sebelumnya, ialah bahwa
ketika Allah SWT. pada ayat-ayat sebelumnya memberikan elaborasi ketentuan
hukum wajib berpuasa bagi kaum muslimin, dan hukum diperbolehkan
menikmati berbagai hidangan makanan dan minuman di malam hari serta
bersenggama dengan isteri, maka Allah SWT. melanjutkan penjelasan ketentuan
pelarangan mengkonsumsi harta milik orang lain secara tidak legal sehubungan
dengan pelarangan mempergunakan harta haram tersebut baik pada malam bulan
Ramadlan maupun malam-malam selain Ramadlan. Oleh karena pembicaraan
bulan puasa amat terkait dengan masalah penglihatan terhadap bulan sehingga
yang demikian itu menggerakan keinginan munculnya sebuah pertanyaan tentang
87

bulan itu sendiri dan ayat di atas muncul sebagai penjelasan terhadap manfaat
keberadaan bulan itu.

b. Bentuk Infak dan Kelompok Penerimanya

‫ﺑﻦﹺ‬ ‫ﺍ‬‫ﲔﹺ ﻭ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺑﹺﲔ‬‫ﺍﹾﻟﺄﹶ ﹾﻗﺮ‬‫ﻳﻦﹺ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻟ‬‫ ﹾﻠﻮ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﻠ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻧﻔﹶ ﹾﻘﺘ‬‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹾ ﻣ‬‫ﻨﻔ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ﺴﺒﹺﻴﻞﹺ ﻭ‬
 ‫ﺍﻟ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”.
Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).

Ayat 215 surat al-Baqarah ini masih memiliki relevansi dengan ayat-ayat
sebelumnya yang mengetengahkan faktor pemicu munculnya perpecahan dan
perselisihan serta permusuhan yang diakibatkan oleh kecintaan manusia terhadap
kemewahan duniawi.
Ayat-ayat sebelumnya juga menyatakan bahwa pejuang-pejuang
kebenaran mampu menahan derita dan segala bentuk kesulitan atau kesusahan
serta mara bahaya demi mempertahankan kebenaran dan mencari keridhaan
Allah semata. Ayat di atas, kemudian mejelaskan keinginan manusia untuk
menafkahkan hartanya di jalan Allah. Tabah menderita dan suka menafkahkan
harta untuk mencari ridha Allah semata yang merupakan tanda-tanda iman
kepada Allah.3

3
Yayasan Penyelenggara Pentafsiran al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Tafsirnya, h. 378
88

Pada hakekatnya mengorbankan harta benda sama kedudukannya dengan


mengorbankan jiwa, keduanya merupakan bukti keimanan seseorang terhadap
Allah.4 Keinginan berinfak atau bersedekah di kalangan Sahabat Nabi saw.
terdorong menyusul sebuah himbauan yang disampaikan Nabi agar mereka
berinfak dan bersedekah di jalan Allah. Seruan berinfak atau bersedekah inilah
yang mendorong mereka untuk bertanya kepada Rasulullah mengenai bentuk apa
yang mereka sedekahkan.5 Ketidaktahuan dalam bentuk apa yang diinfakkan
tersebut muncullah pertanyaan bentuk atau jenis: “Apa yang mereka nafkahkan”
(‫ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ‬ ‫)ﻣﺎﺫﺍ‬.
Pertanyaan ini juga mencerminkan keinginan kuat untuk berinfak. Secara
redaksional al-Qur’ân menggunakan kata kerja masa kini (sekarang atau sedang
berlangsung) pada kata “yas’alûnaka” mereka bertanya kepadamu (hai
Muhammad). Seakan-akan pertanyaan ini masih segar terdengar dan seolah-olah
sedang terjadi dialog yang perlu diulang-ulang karena indahnya. Jawablah: “Apa
saja harta yang kamu nafkahkan dari harta yang baik, hendaklah demikian untuk
ibu dan bapak…”6
c. Kedudukan Bulan Haram untuk Berperang

‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻛﹸ ﹾﻔﺮ‬‫ ﻭ‬‫ﺳﺒﹺﻴﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻦ‬ ‫ ﻋ‬‫ﺻﺪ‬  ‫ ﻭ‬‫ ﻛﹶﺒﹺﲑ‬‫ﻴﻪ‬‫ﺎﻝﹲ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻗ‬‫ﻴﻪ‬‫ﺎﻝﹴ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻡﹺ ﻗ‬‫ﺤﺮ‬  ‫ﻬﺮﹺ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺸ‬ ‫ﻦﹺ ﺍﻟ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬ ‫ﻳ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻠﹸﻮﻧ‬‫ﻘﹶﺎﺗ‬‫ﺍﻟﹸﻮﻥﹶ ﻳ‬‫ﺰ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺘﻞﹺ ﻭ‬‫ ﺍﹾﻟﻘﹶ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺔﹸ ﹶﺃ ﹾﻛﺒ‬‫ﺘﻨ‬‫ﺍﹾﻟﻔ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨﺪ‬ ‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﹶﺃ ﹾﻛﺒ‬‫ﻨﻪ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻫﻠ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﺍﺝ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﺇﹺ‬‫ﺍﻡﹺ ﻭ‬‫ﺤﺮ‬
 ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﺠﺪ‬
‫ﺴﹺ‬
 ‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻭ‬

4
Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Semarang: CV. Toha Putra, 1985),
Terjemahan, h. 226
5
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, (Beirut, Libanon: Dâr al-
Fikr), h. 82
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 428
89

‫ﻚ‬‫ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹶﺎﻓ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﻴ‬‫ﻳﻨﹺﻪ‬‫ﻦ ﺩ‬ ‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﻨﻜﹸ‬‫ﺩ ﻣ‬ ‫ﺪ‬‫ﺮﺗ‬ ‫ﻦ ﻳ‬ ‫ﻣ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﻄﹶﺎﻋ‬‫ﺳﺘ‬ ‫ ﺍ‬‫ﻢ ﹺﺇﻥ‬ ‫ﻳﻨﹺﻜﹸ‬‫ﻦ ﺩ‬ ‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﻭﻛﹸ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺣ‬
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﺎﺭﹺ ﻫ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﺻ‬‫ﻚ‬‫ﺃﹸﻭﻟﹶﺌ‬‫ ﻭ‬‫ﺓ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﺍﻟﹾﺂ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻧﻴ‬‫ﻲ ﺍﻟﺪ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﺎﻟﹸﻬ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﺒﹺﻄﹶﺖ‬‫ﺣ‬
Artinya: ”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram.
Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,
(menghalangi) masuk masjid al-Haram dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan berbuat
fitnah lebih besar dari membunuh; Mereka tidak henti-hentiya
memerangi kamu sehingga mereka dapat mengembalikan kamu dari
agama kamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam keadaan kafir, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya
di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 217).

Pertanyaan tentang kedudukan bulan haram menyangkut boleh tidaknya


berperang muncul setelah adanya perintah berperang pada ayat sebelumnya
dengan redaksi yang bersifat umum. Pertanyaan seperti ini menjadi penting,
karena setelah melekat dalam benak mereka perintah memerangi atau membunuh
kaum musyrik di manapun mereka berada kecuali di Masjid al-Haram (ayat:
191).7
Ketidaktahuan sahabat terhadap ketetapan berperang di bulan Rajab
mendorong mereka mengajukan pertanyaan kapada Nabi saw.: “Mereka
bertanya kepadamu tentang boleh tidaknya berperang di bulan haram ( ‫ﻳﺴﺌﻠﻮﻧﻚ‬
‫)ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﳊﺮﺍﻡ‬. Yang mereka tanyakan adalah ketetapan hukum berperang pada
bulan Rajab, salah satu bulan haram, yakni peperangan yang dipimpin oleh
Abdulah Ibnu Jahisy.

7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 431
90

Para pakar tafsir mengatakan, “Rasulullah mengutus pasukan di bawah


pimpinan Abdullah Ibnu Jahisy dua bulan sebelum peristiwa perang Badar.
Pasukan tersebut berangkat dan beristirahat di Nahlah (nama tempat). Di tempat
ini mereka menjumpai rombongan Amr bin Khadrani, sebuah kafilah dagang
kaum Quraisy pada akhir bulan Jumadil Akhir (bulan Rajab). Pasukan Muslim
pun berselisih dan sebagian mengatakan, “Kita tidak tahu hari apa sekarang ini,
yang kita tahu sekarang bulan haram.” Mereka membunuh dan menyerang
kafilah dan membunuh Amr ibn Khadrani serta menahan lainnya dan merampas
harta dagangannya.8 Peristiwa di atas melatarbelakangi turunnya ayat 217 Surat
al-Baqarah ini.
Para sahabat melancarkan perang atas kafilah Quraisy di bulan Rajab
karena saat peristiwa terjadi mereka belum mengetahui ketentuan pelarangan
perang pada bulan tersebut sehingga mereka menanyakan hukum berperang di
bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram sebagaimana dalam redaksi
al-Qur’ân, “Mereka bertanya kepadamu tentang ketetapan berperang pada
bulan haram. (‫ﻓﻴﻪ‬ ‫)ﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﳊﺮﺍﻡ ﻗﺘﺎﻝ‬.
Jawabannya adalah itu dosa, karena mereka berperang dan marampas.
Padahal Nabi saw. tidak memerintahkan meraka melakukannya, lebih-lebih jika
itu mereka lakukan di bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram.
Namun demikian apa yang dilakukan kaum musyrikin yakni menghalang-
halangi manusia dari jalan Allah seperti menghalangi melaksanakan ibadah haji
dan umrah, kafir kepada Allah, tidak mengakui keesaan-Nya atau durhaka

8
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 75-76
91

kepada-Nya antara lain dengan mengahalangi masuk Masjid al-Haram dan


mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah
dibanding dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah ibn Jahisy dan
kelompoknya.9
d. Dampak Mengkonsumsi Khamr dan Praktek Perjudian

000‫ﺎ‬‫ ﹺﻬﻤ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﻦ ﻧ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﹶﺃ ﹾﻛﺒ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﺇﹺﹾﺛﻤ‬‫ﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻠﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﻊ‬‫ﺎﻓ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ ﻛﹶﺒﹺﲑ‬‫ﺎ ﺇﹺﹾﺛﻢ‬‫ﻴ ﹺﻬﻤ‬‫ﻴﺴِﺮﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﻓ‬‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻤﺮﹺ ﻭ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi; Katakanlah,
pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat kepada
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya …”.
(Q.S. al-Baqarah [2]: 219).

Ayat 219 Surat al-Baqarah di atas masih memiliki kaitan erat dengan ayat-
ayat sebelumnya. Pertanyaan tentang khamr dan judi ini menyangkut
pengkonsumsian atau penggunaan harta yang dilarang serta bertentangan dengan
menafkahkannya di jalan Allah.
Di sisi lain, sebelum ayat di atas telah dijelaskan tentang bolehnya makan
dan minum di malam hari bulan Ramadhan, maka ayat ini memberikan elaborasi
ketentuan tentang minum-minuman dan permainan yang menjadi tradisi
masyarakat Jahiliyah.
Pertanyaan tentang khamr atau minuman keras dan judi yang sebagaimana
dalam radaksi verbal al-Qur’ân ini dilatarbelakangi oleh adanya permintaan
sahabat kepada Nabi saw. memfatwakan masalah khamar dan judi yang
menyebabkan hilangnya kesadaran akal dan menghambur-hamburkan harta. Al-
Tabrasi menulis dalam karya tafsirnya “Jami’ al-Bayân”, sekelompok sahabat

9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 432
92

datang kepada Rasulullah meminta fatwa dalam masalah khamr dan judi, karena
keduanya menghilangkan kesadaran akal dan menghambur-hamburkan uang,
sehingga turunlah ayat tersebut.10 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr
dan judi (‫ﻭﺍﳌﻴﺴﺮ‬ ‫) ﻳﺴﺌﻠﻮﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﳋﻤﺮ‬.
Objek pertanyaan para sahabat ini adalah pertama tentang khamr dan
kedua tentang maisir atau judi. Terkait dengan yang pertama, para ulama
bermazhab Syafi’i menyebutkan khamr adalah segala minuman yang
memabukkan dan menghilangkan kesadaraan akal dan segala sesuatu yang
memabukkan sedikit banyaknya adalah khamr. Di sisi lain kelompok ulama
bermazhab Hanafi mengemukakan bahwa khamr ialah minuman yang terbuat
dari anggur.11 Yang kedua yaitu maisir atau judi ialah terambil dari akar kata
yang berarti “gampang”. Perjudian dinamai maisir karena harta hasil perjudian
diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa usaha, kecuali menggunakan undian
yang dibarengi oleh faktor untung-untungan.12
Atas pertanyaan-pertanyaan sahabat yang tidak mengetahui dampak
negatif mengkonsumsi minuman keras atau khamr atau praktek-praktek
permainan perjudian, Nabi saw. diperintah Allah untuk menjawab kedua
pertanyaan yang diajukan sahabat. “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
besar”, seperti hilangnya keseimbangan, gangguan kesehatan, penipuan,
kebohongan, perolehan harta tanpa hak, benih permusuhan, dan beberapa
manfaat duniawi bagi segelintir manusia, seperti keuntungan materi, kesenangan

10
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 82
11
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan h. 82
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 437
93

sementara, kehangatan di musim dingin, dan ketersediaan lapangan kerja. Ada


sebuah riwayat menceritakan, pada masa Jahiliyah hasil perjudian disumbangkan
kepada fakir miskin, semua itu ada manfaat duniawi, tetapi dosa yang
diakibatkan oleh keduanya lebih besar dari manfaatnya.13
e. Menyedekahkan Kelebihan Harta dari Kebutuhan Pokok Sehari-hari.

. ‫ﻭﻥﹶ‬‫ﻔﹶﻜﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻠﱠﻜﹸ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺍﻟﹾﺂﻳ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ ﻛﹶﺬﹶﻟ‬‫ ﹾﻔﻮ‬‫ﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻨﻔ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
(Q.S. al-Baqarah [2]: 219).

Pertanyaan tentang infak atau sedekah ini bukan terkait dengan ketentuan
sedekah itu sendiri, tetapi menyangkut teknis jenis harta yang bagaimana yang
dianjurkan untuk disedekahkan apakah seluruh harta yang dimiliki ataukah
sebagiannya. Pada pembukaan ayat terdapat indikasi pengertian bahwa
mempergunakan harta untuk bermabuk-mabukan dan praktek-praktek perjudian
dapat menjerumuskan penggunanya ke dalam berbagai mara bahaya dan bencana
kemanusiaan yang besar, sehingga penggunaan seperti ini amat mubadzir bahkan
dosa besar. Jika demikian masalahnya, maka pengunaan harta haruslah mengenal
pada kepentingan umat manusia bukan hanya kepentingan yang bersifat pribadi.
Terdorong dengan himbauan Nabi agar kaum muslimin bersedekah,
“Bersedekahlah kalian”, salah seorang sahabat bertanya: ”Saya mempunyai
satu dinar”, Nabi Saw. menjawab: “sedekahkanlah buat dirimu sendiri”, lelaki
tersebut bertanya lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang lain”. Kemudian Nabi

13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 437
94

Saw menjawab: “Sedekahkanlah untuk dirimu”, lelaki tersebut bertanya lagi,


“Saya mempunyai satu dinar yang lain”. Kemudian Nabi saw. bersabda:
“Sedekahkanlah untuk anakmu”, lelaki tersebut berkata lagi: “Saya mempunyai
satu dinar yang lain”. Nabi saw. bersabda: “Sedekahkanlah untuk
pembantumu”. Lelaki tersebut berkata lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang
lain”. Lalu Nabi saw. bersabda: “Anda lebih tahu bagaimana
14
menginfakkannya”. Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam
Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah ra.
At-Tabrasi menulis penanya pada bagian ini datang dari Umar bin al-
Jamuh yang menanyakan berinfak atau bersedekah untuk berjuang di jalan Allah
atau jihad.15 Pertanyaan inilah yang melatarbelakangi perlunya ada jawaban yang
menjadi pedoman bagi sahabat dalam mensedekahkan hartanya, “Mereka
bertanya kepadamu: “Apa yang harus mereka sedekahkan”. Pertanyaan sahabat
yang dimaksud adalah menyangkut kuantitas harta yang disedekahkan dan batas-
batas bersedekah yang kemudian dijawab “Katakanlah; yang lebih dari
keperluan”. Pengertian harta yang lebih dari keperluan menjadi suatu batasan
tertentu dalam bersedekah.
Para pakar tafsir berpendapat arti al-‘Afwu ialah yang lebih dari
keperluan keluarga atau dari kecukupan dan pendapat lain ialah yang lebih dari
kecukupan selama satu tahun. Baik pendapat yang pertama maupun yang kedua,
pertanyaan tentang seberapakah harta yang disedekahkan menjadi jelas dan
sahabat menjadi tahu apa yang dapat diinfakkan.

14
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 226-227
15
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83
95

f. Pemeliharaan Dan Penyantunan Anak Yatim

‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺍﻧ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺈﹺ‬ ‫ﻄﹸﻮﻫ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺨ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﺮ‬ ‫ﻢ ﺧ‬ ‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺻﻠﹶﺎﺡ‬
 ‫ﻰ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺓ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﺍﻟﹾﺂ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻧﻴ‬‫ﻲ ﺍﻟﺪ‬‫ﻓ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺘ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ ﻟﹶﺄﹶ‬‫ﺎﺀَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮ ﺷ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﺢﹺ ﻭ‬‫ﺼﻠ‬
 ‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﹾﻔﺴِﺪ‬‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻌﻠﹶﻢ‬ ‫ﻳ‬
Artinya: “(Berfikir) tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya
kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah; “mengurus urusan
mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu mencampuri atau
bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu;
dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya
Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 220).

Timbulnya pertanyaan tentang anak-anak yatim pada ayat di atas karena


banyak sahabat Nabi saw. hidup bersama anak-anak yatim, bercampur hartanya
dengan harta mereka, sama-sama makan dan minum dalam satu rumah. Karena
dengan cara ini terpeliharalah anak-anak yatim baik makanannya, pendidikannya,
maupun kesejahteraannya.
Ibn Abas mengatakan, ketika Allah menurunkan ayat:
000‫ﻴﻢﹺ‬‫ﺘ‬‫ﺎﻝﹶ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ ﹾﻘﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim”. (Q.S. al-An‘âm
[6]: 152).

Dan ayat;
‫ﺍ‬‫ﲑ‬‫ﺳﻌ‬ ‫ﻮﻥﹶ‬ ‫ﺼﻠﹶ‬
 ‫ﺳﻴ‬ ‫ﺍ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﻄﹸﻮﻧﹺﻬﹺ‬‫ﻲ ﺑ‬‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﺇﹺ‬‫ﻰ ﹸﻇ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻝﹶ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﻥﹶ ﹶﺃ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠﺬ‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim
secara aniaya, maka tidak lain yang mereka makan adalah api di
perutnya dan akan masuk ke dalam neraka Sair” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 10).
96

Setiap sahabat yang memiliki anak-anak yatim merasa takut dan khawatir.
Oleh karenanya mereka memisahkan makanan dan minuman anak yatim dari
makanan mereka atau dibiarkan sampai rusak jika tidak dimakan. Kemudian
mereka menanyakan tentang anak-anak yatim. Peristiwa inilah yang
melatarbelakangi turunnya ayat 220 Surat al-Baqarah.16 “Mereka bertanya
kepadamu tentang anak-anak yatim.” Pertanyaan sahabat bukan terkait dengan
individu-individu anak yatim tetapi pada pengurusan, pemeliharaan dan
penanganan baik terhadap keberadaannya maupun hartanya yang kemudian
Allah memerintahkan Nabi saw., ”Jawablah, mengurus urusan mereka secara
patut adalah baik dan jika kamu mencampuri mereka maka mereka adalah
saudara-saudaramu.” Artinya mengurus dan memelihara harta kekayaan mereka
tanpa upah dan tanpa mengambil kompensasi serta memelihara mereka
merupakan pahala paling besar.17
Ayat 220 Surat al-Baqarah ini menjelaskan bahwa yang pokok
menyangkut anak-anak yatim adalah pemeliharaan yang baik terhadap mereka,
jangan sampai tersia-sia dan terlantar hidupnya. Ketenteraman dan kesejahteraan
mereka harus terjamin, karena perhatian dan pemeliharaan terhadap mereka
merupakan amal kebaikan yang paling besar pahalanya.
Untuk mengingatkan agar manusia, khususnya pengasuh anak yatim
selalu mencurahkan kasih sayang dan tidak menyulitkan orang lain, apalagi anak-
anak yatim yang tidak berdaya, Allah mengingatkan kasih sayang-Nya yang
sedemikian luas terhadap manusia pada lanjutan ayat di atas, “Jikalau Allah

16
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83-84
17
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 83-84
97

menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kamu”, antara


lain dengan melarang mencampurkan makanan dan minuman kamu dengan
makanan dan minuman mereka. Tetapi Allah tidak menghendaki sedikit
kesulitanpun menimpa kamu. Ini adalah kasih sayangnya, bukan karena Allah
tidak mampu, sebab sesungguhmya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 18
g. Sikap Suami Terhadap Isteri Yang Datang Bulan

‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﺣ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺑ‬‫ ﹾﻘﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻴﺾﹺ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺎﺀَ ﻓ‬‫ﺴ‬‫ﺰﹺﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﻋﺘ‬ ‫ ﹶﺃﺫﹰﻯ ﻓﹶﺎ‬‫ﻮ‬‫ﻴﺾﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
000‫ﺮﻥﹶ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻄﹾ‬‫ﻳ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, Katakanlah ia adalah
gangguan, maka jauhilah istri-istrimu dan mendekatinya hingga
mereka suci“ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222)

Masyarakat Muslim pemula belum banyak mengetahui berbagai hal


yang menyangkut kehidupan berumah tangga sesuai dengan ketentuan-
ketentuan agamanya secara khusus yang terkait dengan aktivitas penyaluran
kebutuhan biologis antara suami dan isteri di satu sisi. Di sisi lain mereka
berbaur dengan masyarakat non-muslim atau Yahudi yang mengasingkan
isterinya jika sedang datang bulan. Sikap orang-orang Yahudi selain
mengkarantinakan isteri-isteri mereka yang datang bulan, mereka juga tidak
mau makan dan minum bersama dan tidak mau serumah dengan mereka,
bahkan mereka tidak mau menyentuh perempuan haidh karena kulitnya
dianggap najis.

18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 440
98

At-Thabarsi menulis masyarakat pra-Islam mengkarantinakan


perempuan haidh, tidak mau duduk bersama dan minum bersama. Faktor
inilah yang mendorong sahabat menanyakan kepada Rasulullah. Menyikapi
tradisi komunitas Yahudi terhadap perempuan yang sedang datang bulan
inilah yang mendorong sahabat menanyakan kepada Rasulullah dan hal ini
menjadi latar belakang turunnya ayat di atas.19 Mereka bertanya kepadamu
tentang mahidh (‫ﺍﶈﻴﺾ‬ ‫)ﻭﻳﺴﺌﻠﻮﻧﻚ ﻋﻦ‬. Karena mereka menjumpai pria-pria
Yahudi menghindari wanita-wanita yang sedang haidh, bahkan meninggalkan
rumah tempat tinggal mereka dengan demikian pertanyaan sahabat bukan
tentang definisi haidh atau apa itu haidh, tetapi bagaimana tuntunan Illahi
kepada suami pada saat isterinya sedang haidh.20
Tatanan kehidupan sosial Yahudi semacam ini menimbulkan tanda
tanya misalnya apakah harus diikuti tradisi semacam itu atau tidak diikuti.
Tetapi setelah adanya jawaban sebagaimana tercantum “Katakanlah: Ia
adalah gangguan.” Maksudnya, haidh mengakibatkan gangguan terhadap
fisik dan psikis wanita, juga terhadap pria. Secara fisik, dengan keluarnya
darah yang segar, mengakibatkan gangguan pada jasmani wanita. Rasa sakit
sering kali melilit perutnya akibat rahim berkontraksi. Di sisi lain kedatangan
tamu bulanan itu mengakibatkan nafsu seksual wanita menurun dan emosinya
sering kali tidak terkontrol.21

19
Syaikh Abu Ali al-Fadl bin Hasan al-Tabrasi, Majma al-Bayan, h. 88
20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447
21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 447
99

Dalam kondisi seperti ini, sikap suami terhadap isterinya yang datang
bulan tidak sebagaimana sikap orang Yahudi, tetapi justeru sebaliknya tidak
meninggalkan rumah, tidak mengisolasi, makan dan minum bersama. Seorang
suami boleh melakukan segala sesuatu (yang selama ini dibenarkan) kecuali
hubungan seks (HR. Muslim ). Hubungan seks di kala datang bulan tidak
diperkenankan. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri di waktu haidh,
dalam pengertian tidak bersetubuh di waktu mereka mengalami haidh atau pada
tempat haidh. Ini berarti boleh mendekati asal bukan pada tempat haidh, yakni
bukan pada tempat gangguan itu. Nabi mengizinkan untuk bercumbu pada bagian
atas, tidak di bagian bawah.
Kapan hubugan seks dapat dilakukan? Kapan saja tetapi dengan syarat
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Redaksi kalimat
“jangan dekati”, bukan “jangan lakukan”, karena nafsu seksual sering kali sulit
dibendung. Namun mendekati yang dimaksud di sini adalah mendekati tempat di
mana dapat terjadi hubungan seks yang berbuah.
h. Kriteria Mengkonsumsi Daging Hewan Hasil Buruan

‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﻧ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﻠﱢﺒﹺﲔ‬‫ﺍﺭﹺﺡﹺ ﻣ‬‫ﺠﻮ‬


 ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻤﺘ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟ ﱠﻄﻴ‬‫ﻞﱠ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻢ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹸﺣ‬ ‫ﻞﱠ ﻟﹶﻬ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﹸﺃﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﺳﺮﹺﻳﻊ‬ ‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳﻢ‬ ‫ﻭﺍ ﺍ‬‫ﺍ ﹾﺫﻛﹸﺮ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﹾﻜﻦ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﻜﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻋ‬
‫ﺎﺏﹺ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹾﻟﺤ‬
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?” katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatihnya untuk berburu. Kamu mengajar mereka menurut apa
yang telah diajarkan Allah kepada kamu, maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang
100

buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah,


sesunggunya Allah amat cepat hisab-Nya.” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 4).

Ayat keempat Surat al-Mâidah ini masih memiliki keterkaitan dengan


ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat-ayat sebelumnya Allah mengizinkan untuk
berburu dan melarang memakan bangkai, dan di sisi lain ada binatang buruan
yang mati terbunuh oleh anjing terlatih. Ketika Allah memberikan penjelasan
pelarangan mengkonsumsi daging bangkai, darah dan daging babi yang
membahayakan untuk dikonsumsi yang berdampak negatif bagi kesehatan
maupun agama kecuali pada situasi terpaksa atau darurat.22 Para sahabat
bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, Allah telah melarang
mengkonsumsi daging bangkai.23 Makanan apakah yang boleh dimakan?. 24
Peristiwa di atas menjadi pemicu turunnya ayat 4 Surat al-Maidah ini.
Mereka bertanya kepadamu, “Apakah yag dihalalkan bagi mereka?”
Katakanlah: “Dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.” Yakni yang sesuai
dengan tuntunan agama atau yang sejalan dengan selera kamu selama tidak ada
ketentuan agama yang melarangmu. Termasuk binatang halal yang kamu
sembelih sebagaimana diajarkan Rasul saw. dan dihalalkan juga bagi kamu
binatang halal hasil buruan oleh binatang buas seperti anjing, singa, harimau,
burung yang telah kamu ajar dengan melatihnya sungguh-sungguh untuk
berburu.25

22
Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir,Tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Dar al-Sabuni), Jilid,
h. 484
23
Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir,Tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Dar al-Sabuni), Jilid,
h. 484
24
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, (Beirut: Daar Kutub al-Islamiyah), Jilid I, h.
228
25
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 25
101

Dengan mengajukan pertanyaan kepada Nabi saw. terhadap binatang hasil


buruan dan jawaban-jawaban yang diberikan pada ayat tersebut, sahabat menjadi
tahu ketentuan-ketentuan Ilahiyah menyangkut kriteria binatang hasil buruan
yang dapat dikonsumsi dan yang tidak dapat dikonsumsi.
Ayat di atas menyiratkan pengertian bahwa al-Qur’ân menganjurkan
penggunaan makanan yang baik-baik dan bermanfaat serta melarang
mengkonsumsi makanan yang tidak baik dan tidak suci. Dipergunakannya kata
“makanan yang baik” yang berarti apa saja yang dipandang menyenangkan, baik,
manis, harum dan lezat atau enak rasanya. Dengan demikian al-Qur’ân telah
meletakkan prinsip-prinsip umum dalam masyarakat Muslim.26 Kaum muslimin
dengan jelas dianjurkan agar memakan segala sesuatu yang memberikan
kelezatan dan kesenangan dan tidak diperbolehkan memakan makanan yang
tidak baik, tidak suci, serta membahayakan kesehatan jasmaninya. Hal ini dapat
penulis temukan pada ayat di atas dan ayat-ayat berikut:

.‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺪ‬‫ﻌﺒ‬ ‫ ﺗ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻢ ﺇﹺﻳ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻛﹸ‬ ‫ ﺇﹺ ﹾﻥ‬‫ﻠﱠﻪ‬‫ﻭﺍ ﻟ‬‫ﺷﻜﹸﺮ‬ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﺎﻛﹸ‬‫ ﹾﻗﻨ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻃﻴ‬ ‫ﻮﺍ ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik
yang kami berikan kepadamu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

.‫ﺎ‬‫ﺤ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺻ‬ ‫ﻠﹸﻮﺍ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟ ﱠﻄﻴ‬‫ﻦ‬‫ﻞﹸ ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎ ﺍﻟ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬


Artinya: “Wahai para Rasul makanlah harta yang halal dan kerjakanlah amal
kebajikan.” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 51).

.‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ﻄﻴ‬
‫ﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﻞﱠ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﹸﺃﺣ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺍﹾﻟﻴ‬

26
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Jakarta: Yayasan Suara Bumi,
1997), h. 189
102

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu makanan yang baik-baik.” (Q.S. al-
Mâ’idah [5]: 5).

.‫ﺎ‬‫ﺒ‬‫ﻃﻴ‬
‫ﹶ‬ ‫ﻠﹶﺎﻟﹰﺎ‬‫ ﺣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻗﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ﻓﹶﻜﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬
Artinya: “Maka makanlah rezeki yang halal lagi baik yang telah diberikan Allah
kepadamu.” (Q.S. al-Nahl [16]: 114).

i. Ketentuan Pembagian Harta Rampasan Perang

‫ﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻴﻌ‬‫ﺃﹶﻃ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻴﻨﹺﻜﹸ‬‫ ﺑ‬‫ﻮﺍ ﺫﹶﺍﺕ‬‫ﺤ‬‫ﺻﻠ‬


 ‫ﺃﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹺ ﻓﹶﺎ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺍﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﱠﻪ‬‫ﻧﻔﹶﺎﻝﹸ ﻟ‬‫ﻧﻔﹶﺎﻝﹺ ﻗﹸ ﹺﻞ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬
‫ﻨﹺﲔ‬‫ﺆﻣ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬‫ﻮﻟﹶﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang harta rampasan perang,
Katakanlah: “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul,
sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan
sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu
adalah orang-orang mumin” (Q.S. al-Anfâl [8]: 1).

Pada akhir ayat surat al-A’râf sebelum surat di atas menceritakan kualitas
keimanan umat Islam dan kedekatannya di sisi Allah, mereka memperoleh
kedudukan tinggi dengan didekatkannya mereka di sisi Allah seperti dipahami
pada ayat terakhir surat al-Anfâl, ayat 206 ”Sesungguhnya mereka yang ada di
sisi Tuhamu tidak meyombongkan diri menyembah-Nya dan mereka mensucikan-
Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud” (Q.S. al-A’râf [7]: 260).
Ayat di atas menguraikan karakter sebagian umat Islam yang didekatkan
Allah di sisi-Nya, mereka adalah para pejuang muslim yang berhasil dengan
bantuan Allah mengalahkan kaum musyrikin dalam perang Badar. Seandainya
pasukan itu gagal maka engkau wahai Tuhan, tidak akan disembah lagi sesudah
ini, begitu Nabi Muhammad saw. melukiskan peranan mereka dalam
kemenangan di pertempuran Badr.
103

Setelah berakhirnya pertempuran Badr dengan kemenangan gemilang


yang berkonsekuensi pada perolehan harta rampasan dan perang, cukup bayak
para pejuang itu tidak mengetahui bagaimana cara dan kadar pembagian, bahkan
kelihatannya muncul perselisihan dan pertengkaran menyangkut hal tersebut.
Perselisihan dan pertengkaran inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat
“Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta hasil rampasan perang “
yakni bagaimana cara membaginya, kepada siapa dibagikan, dan berapa yang
harus dibagi-bagi.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menganggu fikiran dan benak pejuang-
pejuang yang terlibat dalam peperangan Badar sebelum mendapatkan jawaban
Nabi saw. dan Nabi pun diperintahkan menjawabnya “Katakanlah kepada
mereka” Harta-harta perolehan rampasan perang millik Allah dan RasulNya “
bukan milik kalian. Oleh karena Itu bertaqwalah kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta perbaikilah
hubungan di antara kamu dengan tetap mengedepankan keharmonisan hubungan
dan membuang jauh-jauh perselisihan dan pertengkaran seperti yang terjadi
sebelum ayat ini turun dan turutilah ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya,
menyangkut harta hasil perolehan harta rampasan perang jika kalian benar-benar
orang mu’min yang sempurna keimanannya.
104

2. Bertanya Karena Ingkar


Pertanyaan-pertanyaan yang memiliki motivasi pengingkaran dan
penolakan bukan karena tidak tahu atau bermaksud mengetahui persoalan
sebenarnya, dapat ditemukan dalam beberapa ayat.
Pertanyaan -pertanyaan yang mempunyai motivasi ingkar dan penolakan
bukan karena tidak tahu atau bukan karena ingin mengetahui persoalan yang
sebenarnya banyak ditemukan pada al-Qur’ân. Pertanyaan seperti ini pada
umumnya menyangkut hari kiamat dan dilakukan oleh kalangan non muslim baik
yang beragama Yahudi maupun Nasrani, penulis mencoba
mengklasifikasikannya ke dalam dua jenis pertanyaan:
a. Pertanyaan Inkari Istib’adi (bertanya al-Istinkâri al-Istib’adi)
Pertanyaan tentang kapan hari qiamat tiba oleh masyarakat non-muslim
kepada Nabi saw. bukan pertanyaan yang sebenarnya. Pertanyaan ini keluar dari
konteksnya yang asli yaitu mencari informasi atau menanyakan suatu persoalan
kepada pihak yang ditanya.
Masyarakat non-muslim baik di Makkah maupun di Madinah menolak
segala kebenaran yang dibawa Nabi baik menyangkut persoalan tatanan baik
berupa hukum maupun berupa tatanan sosial kemasyarakatan. Demikian pula
halnya persoalan yang menyangkut keimanan kepada yang ghaib seperti iman
kepada para Nabi terdahulu, dan Kitab-kitab yang dibawanya, para malaikat, hari
akhir, hari kiamat atau hari pembalasan dan pembangkitan kembali manusia dari
alam kuburnya. Sebagaimana pertanyaan yang yang terungkapkan pada ayat-ayat
berikut:
105

‫ﻲ‬‫ ﻓ‬‫ ﹶﺛﻘﹸﻠﹶﺖ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻫ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻗﺘ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻟ‬‫ﺠﻠﱢﻴﻬ‬ ‫ﻲ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻨﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﻳ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻔ‬‫ ﺣ‬‫ﻧﻚ‬‫ ﻛﹶﺄﹶ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬  ‫ﺔﹰ ﻳ‬‫ﻐﺘ‬ ‫ﻢ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺑ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﺭﺽﹺ ﻟﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬  ‫ﺍﻟ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﺎﺱﹺ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺃﹶ ﹾﻛﹶﺜﺮ‬
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah
pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi
Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (Q.S. al-A‘râf [7]:
187).

‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬


 ‫ﻳ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu Kapankah hari kiamat tiba” (Q.S. al-
Nâzi‘ât [79]: 42).

Sikap keras kepala non-muslim mentertawakan dan mengejek misi yang


dibawa Nabi saw. melalui pertanyaan kapankah hari kiamat terjadi,27 yang
bermotif tidak mempercayai datangnya hari tersebut dan mendustakannya
merupakan penolakan ekspilisit terhadap realitas peristiwa munculnya hari
pembalasan. Pertanyan kapan hari kiamat akan terjadi kapada Nabi saw.
bermaksud membantah persoalan dan tidak sama sekali mempercayai eksistesi
kiamat,28 dan bukan semata-mata ingin memgetahui dahsyatnya hari itu.
Penolakan dan pengingkaran kalangan penyekutu Tuhan baik masyarakat
musyrikin maupun Yahudi terhadap hari di mana tiada kekayaan dan putra-putri

27
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 484
28
Imaduddin Abi al-Fida Ismail bin Katsir,Tafsir Ibnu Katsir, h. 484
106

pelita hati, tiada lagi berarti dinyatakan melalui ungkapan pertanyaan oleh al-
Qur’ân seiring dengan permintaan mereka kepada nabi saw. “Jika engkau
seorang Nabi, beritakanlah kepada kami tentang kapan kiamat terjadi“,
sehingga turunlah ayat di atas, mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,
Bilakah terjadinya” Katakanlah sesungguhya pengetahuan tentang kiamat hanya
pada sisi Tuhanku, Artinya Allah memerintahkan kepada Nabi Muahammad saw.
untuk menjawab pertanyaan mereka “Waktu datangannya kiamat tidak ada
yang tahu selain Allah, tiada satu mahluk pun di dunia yang dapat menjelaskan
waktu kedatangannya dan hanya Dia Yang Maha Mengetahui”.
Imam al-Fakrurazi mengatakan hikmah dirahasiakannya waktu hari

kiamat bermaksud agar manusia tidak mengetahui kapan hari kiamat terjadi

sehinga setiap saat tetap waspada dan mendekatkan diri kepada Allah serta

meninggalkan larangan-larangan-Nya.

Oleh karena pertanyaan orang-orang non-muslim menyangkut isu-isu

ghaib meski bertendensi penolakan dan pengingkaran sebelum mendapat

respon Qur’âni, tetap saja al-Qur’ân memberikan jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan mereka. Dalam jawabannya, disinggung pula peristiwa terjadinya

hari kiamat dengan merekonstruksi betapa mengerikan dan menakutkan


peristiwa terjadinya hari kiamat yang bakal menimpa seluruh penghuni langit
bila kiamat tiba
dan bumi. Ibnu Jarir melukiskan -tiba langit angkasa terbelah dan

bintang-bintang bertaburan, gunung-gunung berjalan.29

29
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 486
107

Armagedon/kiamat secara tiba-tiba dan menghentak jiwa seluruh

makhluk hidup di planet bumi dan langit, Nabi saw. bersabda “Armagedon
tidak akan muncul sebelum matahari terbit dari barat. Pada saat muncul dan
manusia menyaksikannya maka segera beriman. Keimanan pada masa itu

sudah tidak diterima karena sudah terlambat. Pertanyaan Istighza (al-Suâl al-
Istighza):

‫ﺠﻠﹸﻮﻥﹶ‬
‫ﻌ ﹺ‬ ‫ﺴﺘ‬
 ‫ ﺗ‬‫ﻢ ﺑﹺﻪ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻱ ﻛﹸ‬‫ﺬﹶﺍ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻢ ﻫ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺘ‬‫ﺘﻨ‬‫ ﺫﹸﻭﻗﹸﻮﺍ ﻓ‬0‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻨ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺎﺭﹺ ﻳ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ ﻫ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ ﻳ‬0‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﻳﺎﻥﹶ ﻳ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻥﹶ ﺃﹶ‬
 ‫ﻳ‬
Artinya: “Mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?" (hari pembalasan
itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan
kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. inilah azab yang dulu kamu
minta untuk disegerakan." (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 12 – 14).

‫ﺔ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﹾﻟﻘ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻳ‬‫ﺴﺄﹶﻝﹸ ﺃﹶﻳ‬


 ‫ﻳ‬
Artinya: “Ia berkata: "Bilakah hari kiamat itu?". (Q.S. al-Qiyâmah [75]: 6).

Pertanyaan bermotif mentertawakan lagi mendustakan muncul dari

kalangan orang-orang yang menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai

penyihir ulung, pujangga dan bahkan tidak waras. Dalam kondisi seperti ini

apa pun yang dijelaskan al-Qur’ân menyangkut hakikat hari perhitungan,

balasan, pahala, siksaan dan pengumpulan manusia di arah-arah mahsyar,


tidak pernah mendapatkan respon positif dari kalangan non-muslim yang tidak

mau mengakui kebenaran dakwah yang disampaikan Nabi, selain sudah

bersikap apriori terhadap seorang Rasul, mereka juga telah terlenakan oleh
kenikmatan duniawi dan tenggelam oleh kefoya-foyaan duniawi, tidak terpikir

tentang hakikat hidup bahkan melupakan akhirat sehingga kalaupun ada


108

pertanyaan yang keluar dari mulut mereka niscaya bukan untuk memperoleh

informasi tetapi bertujuan mengejek dan mendustakan apa yang disampaikan


Nabi saw., seperti pertanyaan “Bilakah hari perthitungan dan pembalasan
tiba”? Sebagaimana dalam ayat 12 surah al-Dzâriat:

‫ﺠﻠﹸﻮﻥﹶ‬
‫ﻌ ﹺ‬ ‫ﺴﺘ‬
 ‫ ﺗ‬‫ﻢ ﺑﹺﻪ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻱ ﻛﹸ‬‫ﺬﹶﺍ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻢ ﻫ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺘ‬‫ﺘﻨ‬‫ ﺫﹸﻭﻗﹸﻮﺍ ﻓ‬0‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻨ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺎﺭﹺ ﻳ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ ﻫ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ ﻳ‬0‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻳ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻥﹶ ﺃﹶﻳ‬
 ‫ﻳ‬
Artinya: “Mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?" (hari pembalasan
itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan
kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. inilah azab yang dulu kamu
minta untuk disegerakan." (Q.S. al-Dzâriyât [51]: 12).

‫ﺔ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﹾﻟﻘ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻳ‬‫ﺴﺄﹶﻝﹸ ﺃﹶﻳ‬


 ‫ﻳ‬
Artinya: “Ia berkata: "Bilakah hari kiamat itu?". (Q.S. al-Qiyâmah [75]: 6).

3. Bertanya Karena Menguji Ilmu Pengetahuan Nabi


a. Ilmu Filsafat
Motivasi pengajuan pertanyaan dalam konteks menguji ilmu pengetahuan
seorang Nabi terdapat dalam surah al-Isra’ ayat ke 85 menyangkut hakikat dan
substansi ruh. Surah al-isra’ yang terdiri dari 111 ayat dan diturunkan di Makkah
ini banyak mengetengahkan masalah akidah seperti keesaan Tuhan, risalah Nabi
dan hari pembangkitan, tetapi unsur pembahasan paling menonjol pada surah
tersebut adalah masalah kepribadian Nabi yang didukung dengan mukjizat, dan
argumentasi kuat yang membuktikan kebenaran seorang Nabi.
Selain persoalan akidah, surat ini juga mengetengahkan masalah mukjizat
Isra’ dan Mi’raj yang menjadi salah satu manifestasi penghormatan Allah kepada
Nabi saw. dan menampilkan ayat-ayat kosmik (kauniyah) yang membuktikan
109

kebesaran dan keesaan serta membahas sebuah tatanan sistem yang akurat,
mengatur pergantian siang dan malam. Di sisi lain nasib diaspora yang dialami
bangsa Yahudi akibat sikap arogansi, destruksi dan pelanggaran perintah-
perintah Allah sebanyak dua kali, serta kesesatan kaum musyrikin yang
menisbatkan seorang teman dan anak kepada Allah, hari pembalasan,
pembangkitan kembali dari kubur juga mendapat perhatian pembahasan pada
surat ini.
Persoalan hakikat dan substansi ruh, mendapat perhatian non-muslim
terutama bangsa Yahudi, dan kenyataan ini diabadikan al-Qur’ân pada surah al-
Isrâ ayat 85. Bangsa Yahudi tersohor dengan sikap arogansinya dan mengklaim
dirinya paling terhormat, oleh karenanya ketika ingin menguji ilmu pengetahuan
Nabi saw. ia tidak menanyakan langsung kepada Nabi saw. tetapi menyuruh
orang lain untuk mengajukan pertanyaan tentang Ashab al-Kahfi, Dzu al-
Qarnain, dan ruh, jika Nabi saw. tidak dapat menjawab, maka ia bukan Nabi,
tetapi jika dapat memberikan jawaban maka ia seorang Nabi.30 Sebuah riwayat
menjelaskan, orang Quraisy meminta orang Yahudi mengajarkan materi obyek
pertanyaan yang akan diajukan pada Nabi. Maka orang Yahudi tersebut
memberitahukan materi pertanyaan, tanyalah tentang ruh kepada orang itu.31
Peristiwa di atas melatarbelakangi turunnya ayat ke 85 surat al-Isrâ’:

‫ﻴﻠﹰﺎ‬‫ ﹾﻠﻢﹺ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻗﹶﻠ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻦ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻴﺘ‬‫ﺎ ﺃﹸﻭﺗ‬‫ﻣ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ﺑ‬‫ﻣﺮﹺ ﺭ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻭﺡ‬‫ﻭﺡﹺ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻟﺮ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺮ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬

30
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj, (Beirut, Libanon:
Daar al-Fikr al-Muasir, Tth.), Juz ke-15, h. 142
31
Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirnidzi dari Ibnu Abbas
110

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang hakekat dan subtansi ruh”
Katakan: “Ruh adalah urusan Tuhanku dan hanya sedikit ilmu yang
diberikan kepada manusia” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 85).

Menayakan masalah hakikat dan substansi ruh pada ayat tersebut bukan
bertujuan mencari jawaban sebenarnya orang-orang musyrik dengan pertanyaan
ini bermaksud menguji sejauh mana ilmu pengetahuan yang dimiliki Nabi saw.
karena ruh adalah penyebab kehidupan. Jawaban yang diberikan al-Qur’ân
menanggapi pertanyaan adalah bahwa ruh merupakan urusan Allah. Hal ini
menunjukkan bahwa ia merupakan ciptaan Allah tanpa adanya penjelasan lebih
lanjut.
Wahbah al-Zuhaili menulis, penjelasan rinci tentang hakikat ruh tidak
dilakukan agar manusia menyadari kelemahan hakikat dirinya sekalipun
mengenali eksistensi keberadaannya dan jika mengenal dirinya saja tidak mampu
apalagi megenal hakikat yang hak.32
Para filusuf Yunani kuno, baik Aristoteles, Plato, maupun Phitagoras
memahami hakikat dan substansi ruh sebagai suatu wujud sederhana dan zat
yang terpancar dari sang Pencipta persis sebagaimana sinar terpancar dari
matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh.
Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan tentang segala
yang ada di dunia dan melihat hal yang di alam. Setelah berpisah dari tubuh ia
menuju ke alam akal kembali ke nur sang Pencipta, dan bertemu dengan-
Nya.33

32
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj, h. 156
33
M. M. Syarif, Para Filusuf Muslim, (Bandung: Mizan, Oktober 1999), Terj., h. 25
111

Para sarjana muslim memahami hakikat ruh dengan pemahaman


variatif. Al- Râzi dan Ibn al-Qayyim dalam karya keduanya kitab “al- Rûh“
mengartikan hakikat ruh sebagai wujud sederhana yang terpisah, dan sebagai
bentuk cahaya jasmani yang berbeda dengan bentuk indrawi, ia mengalir
bagai mengalirnya air ke dalam bunga, wujudnya terkait dengan keberadaan
penyebabnya. Sementara al-Ghâzali, Abu al-Qâsim dan al-Asfahani
memahami bahwa hakikat ruh bukan sebuah wujud bentuk maupun wujud
jasmani yang terikat dengan tubuh.34
Jawaban al-Qur’ân terhadap pertanyaan hakikat dan substasi ruh yang
diajarkan kepada Nabi saw. sebagaimana terlihat pada ayat di atas tidak
memberikan sebagaimana yang dipertanyakan karena masalah ruh menjadi
urusan Allah. Keterbatasan kemampuan manusia tidak dapat menjamak hal-
hal yang bersifat metafisik oleh karena ilmu yang dimilikinya amat sedikit
(QS. Al-Isra: 17: 85).
Memahami redaksi pertanyaan yang menggunakan bentuk kata kerja
mudhâri pada ayat di atas menandakan betapa persoalan hakikat ruh tetap
menjadi isu menarik di kalangan cendikiawan dahulu, kini dan masa depan di
mana para filosuf Muslim maupun non-Muslim memiliki perhatian yang
khusus dalam membahas masalah tersebut.
Ibnu Mas’ud mengisahkan bahwa suatu hari Rasulullah dengan
bertongkat berjalan bersamanya di Madinah melewati sekelompok orang-
orang Yahudi. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita bertanya

34
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa Syari’ah wa Mahj. h. 156
112

kepadanya”. Mereka pun berkata kepada Rasulullah: “Cobalah terangkan


kepada kami tentang ruh”. Rasul berdiri sambil menengadahkan mukanya ke
langit sesaat dan terlihat nampaknya beliau sedang menerima wahyu.
Selanjutnya beliau melafadzkan ayat 85 Surat al-Isrâ tersebut.35
Masalah yang muncul adalah obyek yang menjadi pertanyaan Yahudi
itu “ruh” dalam pengertian yang bagaimana? Dalam hal ini al-Alusi
menerangkan bahwa yang menjadi pertanyaan orang-orang Yahudi itu adalah
hakikat ruh sebagai esensi jasmaniyah manusia dan titik tolak dari
kehidupannya, karena hal itu termasuk masalah yang paling rahasia namun tak
seorang pun yang dapat mengingkari adanya.36
Mengacu pada keterangan di atas dapat dipahami bahwa yang
dikehendaki oleh orang-orang Yahudi dengan pertanyaannya adalah hakikat
ruh sebagai esensi dan substansi manusia dan sebagai suatu daya yang
membuat mereka hidup dan bergerak, namun pertanyaan itu dipatahkan oleh
al-Qur’ân dengan satu pernyataan bahwa hal itu adalah merupakan salah satu
dari urusan Allah, bukan urusan manusia. Wujud manusia dalam segala hal
berada dalam keterbatasan ilmu dan pengetahuan Allah SWT. tidaklah
sanggup manusia yang dengan serba kelemahannya ingin mengungkap rahasia
Allah tentang hakikat ruh tersebut.

.‫ﻴﻠﹰﺎ‬‫ﻗﹶﻠ‬ ‫ ﹾﻠﻢﹺ ﺇﹺﻟﱠﺎ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻦ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻴﺘ‬‫ﺎ ﺃﹸﻭﺗ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬

35
Al-Imam al Hafidz ‘Imadu al-Din abu Al-Fida Isma’il Ibn Katsir al-Qarsy al-Dimshaqy,
Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, h. 59
36
Al-Allamah Abi Al-Fadhl Syihabu al din al-Sayid mahmud al-Alusy Al-Baghdady,Ruh
Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Wa al-Sab’I Al-Matsani, (Bairut: Daar al Kutub al-Ilmiyah,
1994), h. 144
113

Serba keterbatasan ilmu pengetahuan manusia bila dibandingkan dengan


pengetahuan dari ilmu Tuhan banyak digambarkan Allah SWT. dalam al-Qur’ân.
Antara lain dalam Surat al-Kahfi ayat 109 yang berbunyi:

.‫ﺍ‬‫ﺩ‬‫ﺪ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﹾﺜﻠ‬‫ﺎ ﺑﹺﻤ‬‫ﺟﹺﹾﺌﻨ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻤ‬‫ ﻛﹶﻠ‬‫ﻨﻔﹶﺪ‬‫ﺒﻞﹶ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻗﹶ‬‫ﺤﺮ‬
 ‫ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﺪ‬‫ﻔ‬‫ﻲ ﻟﹶﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻤ‬‫ﻜﹶﻠ‬‫ﺍ ﻟ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺪ‬‫ ﻣ‬‫ﺤﺮ‬
 ‫ﻮ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﹾﻟﺒ‬ ‫ﻗﹸﻞﹾ ﻟﹶ‬
Artinya: Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
(ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula). (Q.S. al-Kahfi [18]: 109).

Pernyataan serupa juga terdapat dalam surat Luqman ayat 27 yang


berbunyi:
‫ ﹺﺇﻥﱠ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻤ‬‫ﺕ ﻛﹶﻠ‬
 ‫ﺪ‬‫ﻔ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﺤﺮﹴ ﻣ‬
 ‫ﺑ‬‫ﺔﹸ ﺃﹶ‬‫ﺒﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻩ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻦ ﺑ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ﺤﺮ‬
 ‫ﺍﹾﻟﺒ‬‫ ﻭ‬‫ ﺃﹶ ﹾﻗﻠﹶﺎﻡ‬‫ﺓ‬‫ﺠﺮ‬
 ‫ﻦ ﺷ‬ ‫ﺭﺽﹺ ﻣ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻧﻤ‬‫ﻮ ﺃﹶ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﻭ‬
.‫ﻴﻢ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Artinya: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya,
niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Luqman
[31]: 27).

Jawaban singkat al-Qur’ân atas pertanyaan tentang ruh tersebut


menunjukkan bahwa masalah ruh akan tetap menjadi rahasia yang hakikatnya
hanya diketahui oleh Allah SWT. Manusia bisa saja menemukan bahkan
menciptakan apa dengan ketajaman pemikiran namun tidak akan mampu ketika
dihadapkan dengan misteri ruh. Karena ruh merupakan bagian dari rahasia Allah,
sementara manusia terlalu lemah untuk mengungkapnya.
114

b. Ilmu Sejarah
Pertanyaan yang memiliki motivasi menguji ilmu pengetahuan sejarah
terdapat pada surah al-Kahf ayat 83 dan jawabanya dari ayat 84 hingga 94.
Surah yang memiliki 110 ayat diturunkan di Makkah ini mempunyai

kandungan tiga kisah unik dari sekian banyak kisah menarik dalam al-Qur’ân,
sejalan dengan kerangka penetapan target-target fundamental menuju
kokohnya sebuah akidah dan keimanan terhadap kekuasaan dan kebesaran

Allah SWT. Yang pertama, mengetengahkan kisah “Ashab al-Kahfi”, sebuah

kisah nyata tentang pengorbanan jiwa raga mempertahankan akidah yang

dilakukan pemuda-pemuda beriman yang dengan terpaksa meninggalkan

kampung halamannya demi memperjuangkan keyakinan agamanya dan

mencari tempat berteduh di sebuah gua yang ada di gunung selama 309 tahun

lamanya. Sedang yang kedua ialah kisah Nabi Musa dengan Khidir, sebuah

kisah nyata kesopansantunan mencari ilmu pengetahuan yang dalam

prosesnya menyaksikan peristiwa-peristiwa supra natural yang dilaluinya

selama menempuh proses belajar mengajar. Kisah terakhir adalah kisah Dzu

al-Qarnain, seorang raja yang dikaruniai ketaqwaan dan kepatuhan pada sang
Pencipta yang senantiasa bersikap adil dalam menjalankan tugas
kepemimpinannya dalam kerajaan yang mendominasi seantero dunia dari

Timur hingga Barat serta pembangunan benteng Esi yang kokoh.37

37
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 181
115

Kisah historis seorang raja yang memiliki ketaqwaan dan kepatuhan


penuh kepada sang Pencipta inilah yang menjadi obyek pembahasan seiring
dengan keinginan bangsa Yahudi dan bangsa non-muslim Makkah menguji
sejauh mana kemampuan Nabi dalam menguasai bidang ilmu pengetahuan
sejarah. Dengan nada menguji mereka bertanya kepada Nabi saw. tentang
berita/kisah raja Dzu al-Qarnain. Pertanyaan dimaksud bukan mencari informasi
sebenarnya, tetapi hanya untuk membuat ferifikasi pembuktian kenabian seorang
Muhammad, betulkah ia seorang Nabi? Hal inilah yang melatarbelakangi
turunnya ayat 83 surah al-Kahfi:

‫ﺍ‬‫ ﹾﻛﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻨﻪ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ﺗﻠﹸﻮ ﻋ‬‫ﺄﹶ‬‫ﻴﻦﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﺳ‬‫ﺮﻧ‬ ‫ﻱ ﺍﹾﻟﻘﹶ‬‫ﻦ ﺫ‬ ‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain.
Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya". (Q.S. al-
Kahfi [18]: 83).

Al-Biqa’i menghubungkan kelompok ayat ini dengan kelompok ayat-ayat

sebelumnya dari sisi perjalanan di bumi. Kisah nabi Musa as. adalah perjalanan

menuntut ilmu, dan kisah Dzu al-Qarnain adalah perjalanan melakukan jihad.

Yang pertama didahulukan karena tingginya derajat ilmu, sebab ilmulah asas

bagi segala kebahagiaan serta syarat bagi segala persoalan.38

Yang menjadi titik tolak pertanyaan pada ayat di atas bukan terkait

dengan siapakah sebenarnya nama tokoh yang diberi gelar dengan Dzu al-
Qarnain yang masih diperselisihkan di kalangan pakar tafsir itu sendiri. Pakar-

pakar tafsir berpendapat bahwa seorang tokoh yang mendapatkan gelar Dzu al-

38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 112
116

Qarnain adalah Raja Alexander Yunani, penguasa kerajaan Timur dan Barat yang

taat beragama tauhid dan memiliki sikap adil dan bijaksana dalam menjalankan
pemerintah kerajaannya yang berlangsung pada masa peralihan antara Nabi Isa
as, ke periode Nab Muhammad saw.39 Ada pula ulama Yahudi dan Nasrani yang

berpendapat bahwa disebut dengan Dzu al-Qarnain, karena ia menjadi penguasa


kerajaan Romawi dan Persia, demikian pula ada yang mengatakan disebut
dengan Dzu al-Qarnain, karena tokoh ini memiliki kedua tanduk dikepalanya.40

Objek yang menjadi pertanyaan pada ayat tersebut di atas adalah perihal

ikhwal perjalanan sejarah seorang tokoh dan bukan namanya. Pertanyaan ini juga

dalam konteks menguji kemampuan ilmu pengetahuan sejarah seorang Nabi.

Karena menyangkut sejarah perjalanan seorang tokoh, maka al-Qur’ân

mengarahkan Nabi saw. untuk memberikan jawaban secara detail kepada

kalangan non-muslim Makkah yang menanyakan hal tersebut kepada Nabi

setelah mereka diajari orang Yahudi mengenai materi pertanyaan. Jawaban atas

pertanyaan berlangsung dari ayat 84-94.

Demikian apapun jawaban yang disampaikan kepada para penanya tidak

dapat merubah sikap arogansi mereka, apalagi idiologi dan keyakinannya


sehingga mempercayai kenabian Muhammad dan risalah yang dibawanya.
c. Ilmu Geologi

Selain falsafah dan sejarah menjadi materi pengujian ilmu pengetahuan


yang diajukan kalangan masyarakat kafir Quraisy Makkah maupun kalangan

39
Muhammad Ali al-Sabuni, Shafwat at-Tafsir, h. 204
40
Hafid Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Cairo: Daar al-Islami, Tth.), Juz ke-2, h. 433
117

Yahudi Madinah, terdapat pula materi lain yang menjadi objek pertanyaan yaitu

ilmu geologi yang mempelajari bumi dan seisinya serta fenomena alam semesta
sebagaimana terungkap dalam surat Thaha ayat 105.
‫ﺴﻔﹰﺎ‬
 ‫ﻲ ﻧ‬‫ﺑ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻨﺴِﻔﹸﻬ‬‫ﺎﻝﹺ ﻓﹶﻘﹸﻞﹾ ﻳ‬‫ﺠﺒ‬
‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟ ﹺ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka
katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat)
sehancur-hancurnya. (Q.S. Thaha [20]: 105).

Surah Thaha terdiri dari 135 ayat, diturunkan di Makkah dengan


kandungan bahasan masalah agama yang fundamental seperti aspek ketauhidan,
kenabian, hari kembangkitan. Selain masalah-masalah fundamental, surat ini juga
mengetengahkan sikap kepribadian Nabi yang kokoh dalam menghadapi ulah
tipu daya, ejekan, dan keras kepala penduduk kafir Makkah serta mengisahkan
nabi-nabi terdahulu seperti nabi Musa dan Harun dalam menghadapi Fir’aun,
penguasa tirani dan represif yang sikap arogansinya sehingga mengklaim dirinya
sebagai Tuhan “Seraya berkata, Akulah Tuhanmu yang tinggi” (Q.S. al-Nâzi‘ât
[79]: 24) sebagai pelipur Nabi Muhammad saw. Demikian pula kisah Nabi Adam
as. secara sekilas serta pemandangan hari pembalasan, kemudian diakhiri dengan
arahan-arahan Rabbâni agar Nabi senantiasa memiliki sikap kesabaran penuh
dalam menghadapi derita perjuangan sampai kemenangan tercapai.
Yang menjadi materi pertanyaan bertujuan menguji ilmu pengetahuan
geologi seorang Nabi, adalah mempertanyakan gunung dan keberadaannya bila
hari kiamat terjadi. Gejala alam apakah yang akan menimpa gunung-gunung
secara keseluruhan baik yang sedang maupun yang mencakar langit setelah
menjalankan fungsinya sebagai stabilator peredaran perjalanan planet bumi
118

seisinya yang penciptaannya sebagai hamparan dan bagaimana kesudahan


gunung-gunung tersebut setelah ditegakkan sebagaimana disebutkan Allah dalam
Firman-Nya:
‫ﺍ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻭﺗ‬ ‫ﺎﻝﹶ ﹶﺃ‬‫ﺠﺒ‬
‫ﺍﹾﻟ ﹺ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan Kami telah menciptakan gunung-gunung sebagai pasak“ (Q.S. al-
Naba’ [78]: 7).
‫ﺍ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﻞﹺ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﺠﻌ‬
 ‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﺃﹶﻟﹶ‬
Artinya: “Bukankah Kami jadikan bumi sebagai hamparan” (Q.S. al-Naba’ [78]:
6).
‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺼ‬‫ ﻧ‬‫ﻴﻒ‬‫ﺎﻝﹺ ﻛﹶ‬‫ﺠﺒ‬
‫ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﹺ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan” (QS. al-Ghâsyiyah [88]:
19).

Orang-orang non-Muslim Makkah yang memang hidup di sebuah lembah

dikelilingi gunung-gunung sahara dan menjadi pemandangan sehari-hari

mempertanyakan keberadaan gunung-gunung tersebut pada hari kiamat “Wahai

Muhammad apa yang akan dilakukan Tuhan terhadap gunung-gunung itu pada

hari kiamat”. Pertanyaan inilah menjadi latar belakang turunnya ayat berikut:

‫ﺎ‬‫ﻣﺘ‬ ‫ﻟﹶﺎ ﺃﹶ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻯ ﻓ‬‫ﺮ‬‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬0‫ﻔﹰﺎ‬‫ ﹾﻔﺼ‬‫ﺎ ﺻ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻋ‬‫ﻫ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ ﻓﹶﻴ‬0‫ﺴﻔﹰﺎ‬
 ‫ﻲ ﻧ‬‫ﺑ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻨﺴِﻔﹸﻬ‬‫ﺎﻝﹺ ﻓﹶﻘﹸﻞﹾ ﻳ‬‫ﺠﺒ‬
‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟ ﹺ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, Maka
jawablah! Tuhanku akan menghancurkannya, lalu Dia akan
menjadikannya datar dan rata. Engkau tidak akan melihat disana
sedikitpun yang rendah dan tinggi” (Q.S. Tâhâ [20]: 105).

Demikian setelah Allah memberikan jawaban di mana kondisi gunung-

gunung berubah menjadi datar dan rata, hilang dari pandangan mata tidak
119

sebagaimana sedia kala dan bumi pun berubah menjadi dataran rata, tiada

bangunan yang sisa, tiada tanaman yang tumbuh. Antara gunung-gunung dan
bumi menyatu menjadi hamparan.
Dalam perspektif al-Qur’ân, memahami alam bukanlah usaha yang

bermakna, kecuali jika ia membantu penanya memahami Pencipta Maha Bijak


dunia ini dan mendekatkan diri kepada-Nya. Memahami alam dapat
mengembangkan wawasan manusia bagi pengenalan Allah dan memungkinkan

untuk dapat lebih baik memanfaatkan pemberian-pemberian Allah demi

kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya.41 Tetapi jika pertanyaan tentang alam

datang dari kalangan non-muslim, maka bukan menambah wawasan yang terjadi,

melainkan pengejekan dan penghinaan terhadap pihak yang ditanya.

Materi pertanyaan berupa gunung yang sebenarnya dalam visi al-Qur’ân

merupakan fenomena alam ini merupakan tanda-tanda Yang Maha Kuasa, dan

suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tanda-tanda

yang dapat membawa kita meraih pengetahuan tentang Tuhan,42 bukan

sebaliknya. Karena gunung merupakan tanda-tanda ciptaan Allah di muka bumi

ini seperti pada ayat berikut:


. ‫ﲔ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﹾﻠﻌ‬‫ ﻟ‬‫ﺎﺕ‬‫ ﻟﹶﺂﻳ‬‫ﻚ‬‫ﺫﹶﻟ‬ ‫ﻲ‬‫ﻢ ﹺﺇﻥﱠ ﻓ‬ ‫ﺍﻧﹺﻜﹸ‬‫ﹶﺃﹾﻟﻮ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺘ‬‫ ﹶﺃﹾﻟﺴِﻨ‬‫ﻠﹶﺎﻑ‬‫ﺧﺘ‬ ‫ﺍ‬‫ﺭﺽﹺ ﻭ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ ﺍﻟ‬‫ ﹾﻠﻖ‬‫ ﺧ‬‫ﻪ‬‫ﺎﺗ‬‫ﻦ ﺀَﺍﻳ‬ ‫ﻣ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah penciptaan langit
dan bumi dan berbeda-bedanya bahasa dan warna kulitmu,
sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (Q.S. al-Rûm [30]: 22).

41
Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), h. 78
42
Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’an, h. 78
120

B. Metode Bertanya Dalam Al-Qur’an

Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” dan “hodos”
yakni jalan atau cara.43 Dengan demikian kata metode mempunyai pengertian
suatu jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan 44. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kata metode berarti cara yang teratur dan terpikir baik-
baik untuk mencapai maksud.45 Pendapat lain mengatakan bahwa “metode
adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji atau menyusun data yang

diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut.46

Al-Qur’an sebagai pedoman bagi seluruh aspek kehidupan, tidak hanya

mengandung prinsip-prinsip ajaran agama secara umum melainkan juga

menyajikan petunjuk-petunjuk yang dapat dipahami dan diinterpertasi sebagai

konsep dan metode pembelajaran. Dalam menyampaikan materi pendidikan, al-

Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode. Salah satu diantaranya

adalah metode bertanya yang terdiri dari :

1. Bertanya Pada Ahlinya

Al-Qur’ân memerintahkan kepada umat Islam untuk bertanya kepada


ahlinya. Perintah untuk bertanya dalam al-Qur’ân disebut enam kali, perintah

43
Abdurrahman al-Nahlawiy, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa asalihiha fi al-Bayt wa
al-Madrasah wa al-Mujtama’ terj oleh Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 204
44
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Pendidikan Islam Berdasarkan
Pendidikan Interdisipliner
45
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982), h. 580
46
Imam Barnadib, Falsafah Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogtakarta: Yayasan Penerbit
IKIP, 1990) Cet VI, h. 85
121

kepada Rasullullah dan selanjutnya kepada seluruh umatnya. Bertanya adalah


sarana untuk belajar, mencari tahu dan kunci ilmu pengetahuan baik secara
etimologi berupa menanyakan hal-hal yang belum diketahuinya maupun secara
terminologi yakni menanyakan rahasia-rahasia yang terkandung pada ayat-ayat
kauniyah yang ada.

Sebagai salah satu metode belajar yang mendapat konsern qur’ani,

bertanya kepada ahlinya memiliki peran konstruktif dalam menangani persoalan-

persoalan kegiatan belajar-mengajar atau dalam menyelesaikan berbagai

persoalan yang dihadapi umat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia.

Profesionalisme amat penting dalam dunia pendidikan khususnya, karena

menyangkut kaderisasi pembentukan ilmuwan-ilmuwan baru yang akan

menggantikan para pendahulunya.

Salah satu metode belajar yang terdapat dalam al-Qur’ân adalah harus

mengembalikan segala sesuatu kepada pakarnya. Merekalah orang-orang yang

mampu menerangkan sesuatu yang belum jelas dan dapat menawarkan solusi

atas problematika yang ada.47

Allah berfirman:

‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﻢ ﻟﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻫﻞﹶ ﺍﻟﺬﱢ ﹾﻛﺮﹺ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬ ‫ﺳﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬000
Artinya: “…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Nahl [16]: 43, dan al-Anbiyâ’ [21]: 7).

47
Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:
Gema Insani, 1998), h. 240
122

Kata (‫ﻛﺮﹺ‬
‫ﺍﻟﺬﱢ ﹾ‬ ‫ﻫﻞﹶ‬ ‫ )ﺃﹶ‬Ahl al-Dzikr pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama
yakni para pemuka agama Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang-orang yang
dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang diutus Allah.
Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada

informasi al-Qur’an sebab mereka juga termasuk yang tidak mempercayainya,


kendati demikian persoalan kemanusiaan para rasul mereka akui. Ada juga yang
memahami istilah ini dalam arti sejarawan baik muslim ataupun non muslim.48

Pada surat al-Anbiyâ’ [21]: 7) di jelaskan bahwa jika kaum musyrikin

atau siapapun di antara kamu meragukan hal itu (persoalan kenabian dan

kerasulan) maka tanyakanlah kepada orang-orang yang tahu tentang persoalan

tersebut,

Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek

pertanyaan serta siapa yang ditanya tertentu pula namun karena redaksinya yang

bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja

yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun yang tahu
dan tidak tertuduh objektivitasnya,49

Perintah untuk bertanya kepada ahl al-Kitab yang dalam hal ini mereka
digelari ahl adz-Dzikr menyangkut apa yang tidak diketahui, selama mereka
dinilai berpengetahuan dan obyektif, menunjukkan betapa islam sangat terbuka

48
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, Vol. 7 h.
236
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân h. 236
123

dalam perolehan pengetahuan. Ayat ini berpesan bahwa kita boleh bertanya atau

menuntut ilmu ke mana saja, kepada siapa saja yang mempunyai ilmu. Walaupun
kepada Ahl al-Kitâb, asalkan mereka Ahl al-Dzikr, mempunyai pengetahuan
yang akan diambil dari padanya. Meskipun dalam hal aqidah kita berbeda jauh

dari mereka, namun dalam hal pengetahuan umum tidaklah ada perbedaan.
‫ﺍ‬‫ﺧﺒﹺﲑ‬ ‫ﺄﹶ ﹾﻝ ﺑﹺﻪ‬‫ﻓﹶﺎﺳ‬000
Artinya: “… maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui
(Muhammad) tentang Dia.” (Q.S. al-Furqân [25]: 59).

Kedua ayat tersebut di atas mengisyaratkan pengertian pentingnya unsur

bertanya dalam konteks pendidikan sehingga seruan dimaksud bertujuan agar

umat Islam tetap mengimplementasikan metode tersebut yang menjadi perhatian

al-Qur’ân, karena lewat konsep bertanya umat menjadi tahu masalah-masalah

yang dihadapinya dan dengan bertanya akan terjadi transfer ilmu pengetahuan

yang menguntungkan pihak penanya.

Yusuf Qardawi menyatakan: Kita tidak boleh membiarkan suatu

permasalahan tanpa penyelesaian, apa lagi yang berkenaan dengan kemaslahatan

umat. Kita harus mengembalikan permasalahan kepada ahlinya yang mengerti


dan bisa menyelesaikan secara benar. Banyak ulama dan penafsir pada masa
silam termasuk dalam kategori ulil-amri yang wajib ditaati, setelah taat kepada

Allah dan Rasul-Nya,50 seperti diperintahkan Allah dalam al-Qur’ân:

50
Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 241
124

‫ ﹺﺇﻟﹶﻰ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺩ‬‫ﺀٍ ﻓﹶﺮ‬‫ﻲ‬‫ﻲ ﺷ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻋﺘ‬ ‫ﺎﺯ‬‫ﻨ‬‫ﻢ ﻓﹶﺈﹺ ﹾﻥ ﺗ‬ ‫ﻨﻜﹸ‬‫ﻣﺮﹺ ﻣ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﺃﹸﻭﻟ‬‫ﻮﻝﹶ ﻭ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﻟ‬‫ﻴﻌ‬‫ﺃﹶﻃ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻃ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬
‫ ﹾﺄﻭﹺﻳﻠﹰﺎ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺣﺴ‬ ‫ﹶﺃ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﺮ‬‫ ﺧ‬‫ﻚ‬‫ﺧﺮﹺ ﺫﹶﻟ‬ ‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺂ‬ ‫ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﻥﹶ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨ‬‫ﺆﻣ‬ ‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ﻮﻝﹺ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺍﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan
Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’ân) dan
Rasul-Nya (sesumgguhnya) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari Qiamat. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 59).

Jika ada sebagian orang yang menginterpretasikan Ulil Amri dengan

pemerintah atau penguasa atau yang mengartikan dengan ulama, maka perlu

diingat bahwa penguasa tidak wajib ditaati, kecuali jika mereka termasuk dalam

jajaran para ulama atau paling tidak mereka taat kepada para ulama. Dari sini,

ada kaidah yang disebut oleh kaum Salaf al-Shalih, “Kerajaan adalah pemimpin

umat, sedang ulama adalah pemimpin kerajaan”. 51

Metode bertanya ini telah ada sejak kemunculan pertama Islam. Para

sahabat Nabi bahkan ketika ingin mengetahui masalah-masalah menyangkut

ketentuan hukum seperti hukum minuman keras, berjudi, infak dan kelompok-

kelompok penerimanya, berperang di bulan haram, makanan-makanan yang

halal, masalah haid dan lain sebagainya, tidak segan-segan mengajukan

pertanyaan kepada Rasullulah saw. sebagaimana pada ayat-ayat berikut:

51
Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 241
125

‫ﺴﺒﹺﻴﻞﹺ‬
 ‫ﺑﻦﹺ ﺍﻟ‬ ‫ﺍ‬‫ﲔﹺ ﻭ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺑﹺﲔ‬‫ﺍﹾﻟﺄﹶ ﹾﻗﺮ‬‫ﻳﻦﹺ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻟ‬‫ ﹾﻠﻮ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﻠ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻧﻔﹶ ﹾﻘﺘ‬‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹾ ﻣ‬‫ﻨﻔ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”, Dan apa saja
kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).

‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﻢ ﻟﹶﻌ‬ ‫ﻨﻬ‬‫ﻣﺮﹺ ﻣ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺃﹸﻭﻟ‬‫ﻮﻝﹺ ﻭ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺩ‬‫ﻮ ﺭ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﻪ‬‫ ﹶﺃﺫﹶﺍﻋ‬‫ﻮﻑ‬ ‫ﻣﻦﹺ ﹶﺃﻭﹺ ﺍﹾﻟﺨ‬ ‫ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﺎﺀَﻫ‬‫ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺟ‬‫ﻭ‬
‫ﻴﻠﹰﺎ‬‫ﻴﻄﹶﺎﻥﹶ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻗﹶﻠ‬‫ﺸ‬
 ‫ ﺍﻟ‬‫ﻢ‬‫ﻌﺘ‬ ‫ﺗﺒ‬‫ ﻟﹶﺎ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﺣﻤ‬ ‫ﺭ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ﻞﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻟﹶﺎ ﻓﹶﻀ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻨﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻨﺒﹺﻄﹸﻮﻧ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Q.S. al-
Nisâ’ [4]: 83).

Selain metode bertanya kepada ahlinya dengan menggunakan kata

langsung berbentuk is’al terdapat pula ungkapan lain tetapi mimiliki pengertian

yang sama walaupun berbeda dari segi bahasa yang dipergunakan. Hal ini
sebagaimana dapat ditemukan pada ayat berikut yang mengetengahkan masalah-

masalah konsultasi hukum terkait dengan wanita yatim dan perkawinan mereka,
demikian juga masalah pembagian warisan harta kalâlah, yaitu harta seseorang
yang meninggal dunia tidak memiliki anak tetapi memiliki saudara perempuan,

sebagaimana tercantum pada ayat-ayat berikut:


126

‫ﻲ ﻟﹶﺎ‬‫ﺎﺀِ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗ‬‫ﺴ‬‫ﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﻳ‬‫ﺎﺏﹺ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻜ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ﺘﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻴ ﹺﻬ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺀِ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻓ‬‫ﻚ‬‫ﻮﻧ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﻰ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ ﹾﻠﻴ‬‫ﻮﺍ ﻟ‬‫ﻘﹸﻮﻣ‬‫ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﻥ‬‫ ﺍﹾﻟﻮﹺﹾﻟﺪ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻔ‬‫ﻀﻌ‬
 ‫ﺴﺘ‬
 ‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺤ‬‫ﻨﻜ‬‫ﻮﻥﹶ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﺮ ﹶﻏﺒ‬ ‫ﺗ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﺐ‬‫ﺎ ﻛﹸﺘ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﻧ‬‫ﺆﺗ‬ ‫ﺗ‬
‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑﹺﻪ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺴﻂ‬
 ‫ﺑﹺﺎﹾﻟﻘ‬
Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’ân (juga memfatwakan) tentang
para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka
dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil.
Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahuinya” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 127).
Dan Firman Allah:

‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﺼﻒ‬


 ‫ﺎ ﻧﹺ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹸﺧ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻴﺲ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻠﹶﻚ‬‫ ﻫ‬‫ﺅ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ ﺍ‬‫ ﹺﺇﻥ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻜﹶﻠﹶﺎﻟﹶﺔ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ ﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻚ‬‫ﻮﻧ‬‫ ﹾﻔﺘ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﺎﻟﹰﺎ‬‫ﺓﹰ ﺭﹺﺟ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻮﺍ ﺇﹺ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻤ‬‫ ﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱡﺜﻠﹸﺜﹶﺎﻥ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻴﻦﹺ ﻓﹶﻠﹶ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﹾﺛﻨ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺈﹺ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻦ ﻟﹶﻬ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﺎ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻟﹶ‬‫ﺮﹺﺛﹸﻬ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻭ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺀٍ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ ﺑﹺﻜﹸ ﱢﻞ ﺷ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻀﻠﱡﻮﺍ ﻭ‬
 ‫ﻢ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻴﻦﹺ ﻳ‬‫ﻧﹶﺜﻴ‬‫ﻆ ﺍﹾﻟﺄﹸ‬
‫ ﱢ‬‫ﺜﹾﻞﹸ ﺣ‬‫ﻠﺬﱠﻛﹶﺮﹺ ﻣ‬‫ﺎﺀً ﻓﹶﻠ‬‫ﻧﹺﺴ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalâlah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 176).
127

Demikian juga Firman Allah sehubungan dengan permintaan fatwa

tentang ta’bir mimpi yang dialami seorang penguasa, yang ditanyakan kepada

ahli-ahli ta’bir,

‫ﺧﺮ‬ ‫ﺃﹸ‬‫ﻀﺮﹴ ﻭ‬
 ‫ ﺧ‬‫ﻠﹶﺎﺕ‬‫ﻨﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﺒﻊ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻑ‬‫ﺠ‬‫ ﻋ‬‫ﺒﻊ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﺍﺕ‬‫ﻘﹶﺮ‬‫ ﺑ‬‫ﺒﻊ‬‫ﻯ ﺳ‬‫ﻲ ﺃﹶﺭ‬‫ ﹺﺇﻧ‬‫ﻚ‬‫ﻠ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻭ‬
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻌﺒ‬ ‫ﺎ ﺗ‬‫ﻳ‬‫ﺅ‬‫ﻠﺮ‬‫ﻢ ﻟ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬‫ﺎﻱ‬‫ﻳ‬‫ﺅ‬‫ﻲ ﺭ‬‫ﻮﻧﹺﻲ ﻓ‬‫ﻠﹶﺄﹸ ﺃﹶ ﹾﻓﺘ‬‫ﺎ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺎﺑﹺﺴ‬‫ﻳ‬
Artinya: “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya),
"Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus
dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang
kering”. Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku
tentang ta`bir mimpiku itu jika kamu dapat mena`birkan mimpi” (Q.S.
Yûsuf [12]: 43).

‫ﺧﺮ‬ ‫ﺃﹸ‬‫ﻀﺮﹴ ﻭ‬
 ‫ ﺧ‬‫ﻠﹶﺎﺕ‬‫ﻨﺒ‬‫ﺒﻊﹺ ﺳ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻑ‬‫ﺠ‬‫ ﻋ‬‫ﺒﻊ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺳﻤ‬ ‫ﺍﺕ‬‫ﻘﹶﺮ‬‫ﺒﻊﹺ ﺑ‬‫ﻲ ﺳ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻨ‬‫ ﺃﹶ ﹾﻓﺘ‬‫ﻳﻖ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﺍﻟﺼ‬‫ﻬ‬‫ ﹶﺃﻳ‬‫ﻒ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻳ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻠﱠﻬ‬‫ﺎﺱﹺ ﻟﹶﻌ‬‫ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﺭﺟﹺﻊ‬ ‫ﻠﱢﻲ ﺃﹶ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺎﺑﹺﺴ‬‫ﻳ‬
Artinya: “(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, hai
orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh
ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu,
agar mereka mengetahuinya.” (Q.S. Yûsuf [12]: 46).

Selain ayat-ayat di atas yang memerintahkan untuk menanyakan

persoalan-persoalan pelik yang dialami penanya kepada seorang ahli yang

memiliki kompetensi di bidangnya dan mengetahui jalan keluar solusinya.

Demikian pentingnya faktor bertanya dalam konteks pendidikan, al-

Qur’ân mengulang-ulang kata tersebut pada beberapa ayat di atas untuk


128

memberikan nasehat dan pengarahan kepada umat Muhammad agar senantiasa

mengimplementasikan sarana bertanya pada kegiatan belajar-mengajar demi

tercapainya sebuah ilmu pengetahuan. Tidak sedikit hukum-hukum, tatanan

sosial kemasyarakatan, dan masalah-masalah ketauhidan serta permasalahan

agama lainnya tersusun berkat pertanyaan yang diajukan para sahabat

sehubungan dengan ketidaktahuan mereka pada awal munculnya Islam serta

keinginan mereka memahami masalah agamanya.

2. Tidak Berlebihan dalam Bertanya

Seandainya seorang muslim dituntut untuk bertanya kepada ahli dzikir

dalam setiap spesialisasi ilmu pengetahuan mereka, maka ia harus mengetahui

tata cara bertanya yang baik dan bermanfaat bagi agamanya dan dunianya, serta

tidak bertanya apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. Bertanyalah pada waktu

dan tempat yang tepat, serta tidak memperbanyak pertanyaan yang tidak perlu.52

Al-Qur’ân telah menceritakan kisah Bani Israil, saat Nabi mereka menyampaikan

perintah Allah.

000‫ﺓﹰ‬‫ﻘﹶﺮ‬‫ﻮﺍ ﺑ‬‫ﺤ‬‫ ﹾﺬﺑ‬‫ﻢ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬ ‫ﻛﹸ‬‫ﺮ‬‫ ﹾﺄﻣ‬‫ ﻳ‬‫ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬000


Artinya: “…Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 67).

52
Yusuf Qardawi, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 243
129

Sebenarnya, menurut konteks ayat ini, mereka bebas menyembelih sapi

apa saja, namun sifat keras kepala telah menyelimuti akal sehat mereka sehingga

mereka terus bertanya tentang sapi itu, dan setiap pertanyaan makin membebani

mereka sendiri (Q.S. al-Baqarah [2]: 67-71).

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya: “Allah menuliskan sifat keras

kepala Bani Israil dan banyaknya pertanyaan mereka kepada Nabi mereka, maka

ketika mereka membuat kesulitan, Allah kembali mempersulit mereka.

Seandainya mereka mengikuti perintah Allah pada awalnya, maka mereka tidak

akan mendapatkan kesulitan sebagaimana yang dibebankan. Mereka mempersulit

maka dipersulit”.53

‫ﺒﺪ‬ ‫ﺮﺀَﺍﻥﹸ ﺗ‬ ‫ﺰﻝﹸ ﺍﹾﻟﻘﹸ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﲔ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬


 ‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﺆﻛﹸ‬ ‫ﺴ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ ﻟﹶﻜﹸ‬‫ﺒﺪ‬‫ﺎﺀَ ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﺷﻴ‬ ‫ﻦ ﺃﹶ‬ ‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬
 ‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﺃﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﺣ‬‫ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻔﹶﺎ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﻟﹶﻜﹸ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur'ân itu
sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah
mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 101).

Larangan bertanya ini bukan untuk memudahkan Rasul, atau karena Allah

tidak dapat menginformasikannya kepada beliau, tetapi semata-mata buat

kepentingan dan kemaslahatan kamu.54

53
Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’ân al-Adzim, (Kairo: Dar al-Fikr, 1992), Jilid 1, h.110
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, h. 217
130

‫ﺮﺀَﺍﻥﹸ‬ ‫ﺰﻝﹸ ﺍﹾﻟﻘﹸ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﲔ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﻋ‬


 ‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ﻭ‬ Dan jika kamu menanyakan tentangnya,

yakni tentang suatu yang berada dengan apa yang dilarang di atas di waktu al-

Qur’ân itu sedang diturunkan, yakni pada periode turunnya wahyu Allah niscaya

akan diterangkan kepada kamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu

yakni pertanyaan dan permintaan itu dan Allah maha pengampun atas kesalahan

dan dosa-dosa kamu lagi Maha Penyantun, sehingga Dia tidak segera

menjatuhkan sanksi. Itu dilakukan-Nya agar memberi kesempatan kepada

manusia dalam memperbaiki diri dan menyesali perbuatan-perbuatannya.

‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻓ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﻬ‬‫ﺤ‬‫ﺻﺒ‬


 ‫ﻢ ﺃﹶ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺒﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﻡ‬ ‫ﺎ ﻗﹶ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ﺪ ﺳ‬ ‫ﻗﹶ‬
Artinya: “Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu
menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian
mereka tidak percaya kepadanya.” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 102).

Sesungguhnya telah ditanyakan dan dimintakan tentang hal-hal serupa,

yakni pertanyaan dan permintaan yang ketika dikabulkan ternyata menyusahkan

mereka oleh segolongan manusia sebelum kamu kepada Nabi mereka, yaitu

orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi setelah dikabulkan permintaan mereka

atau dijawab pertanyaannya, kemudian mereka menjadi kafir karenanya, yakni

tidak melaksanakannya, karena apa yang mereka minta atau tanyakan itu tidak

sejalan dengan agama fitrah, tidak juga sesuai dengan naluri atau kemampuan

mereka. Karena itu, janganlah meminta atau jangan mengharamkan atas diri

kamu apa yang telah dihalalkan Allah, dengan tujuan ingin mendekatkan diri
131

kepada-Nya. Tidak perlu melakukan rahbaniyyah.55 Sebagaimana yang

diwajibkan oleh orang-orang Nasrani atas diri mereka. Karena ternyata mereka

tidak mampu melakukannya (Q.S. al-Hadîd: 27).

Maksud ayat tersebut di atas, sesudah diterangkan kepada mereka

hukum-hukum yang mereka tanyakan itu mereka tidak menaatinya, hal ini

menyebabkan mereka menjadi kafir.

Sejalan dengan konsep Qur’âni yang melarang seseorang untuk

mengajukan pertanyaan secara tidak wajar dan berlebih-lebihan, para sahabat

senantiasa mengindahkan prinsip tersebut sehingga tidak ada satu pertanyaan pun

yang dapat dikategorikan sebagai berlebih-lebihan. Berbeda dengan sikap orang-

orang non-muslim baik kafir Makkah maupun bangsa Yahudi Madinah yang

sering mengajukan pertanyaan melebihi batas kewajaran dan di luar wewenang

orang yang ditanya. Pertanyaan seperti ini pun memiliki indikasi lain dalam

pertanyaan, bukan untuk mencari informasi sebenarnya, tetapi hanya bertujuan

mengejek, menolak, menghina, dan menyebut materi yang dipertanyakan sebagai

sesuatu yang tidak mungkin terjadi di masa mendatang. Sebagaimana pertanyaan

terkait dengan hari kiamat atau hari pembalas.

55
Rahbaniyyah adalah berlebih-lebihan dan beribadah, yaitu tidak beristeri atau tidak
bersuami dan mengurung diri dalam biara.
132

‫ﻲ‬‫ ﻓ‬‫ ﹶﺛﻘﹸﻠﹶﺖ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻫ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻗﺘ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻟ‬‫ﺠﻠﱢﻴﻬ‬


 ‫ﻲ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻨﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻔ‬‫ ﺣ‬‫ﻧﻚ‬‫ ﻛﹶﺄﹶ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﺔﹰ ﻳ‬‫ﻐﺘ‬ ‫ﻢ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺑ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﺭﺽﹺ ﻟﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﺍﻟ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﺎﺱﹺ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺃﹶ ﹾﻛﹶﺜﺮ‬
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah
pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi
Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. al-A‘râf [7]:
187).

‫ﲔ‬‫ﻗ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻢ ﺻ‬ ‫ﻨﺘ‬‫ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻛﹸ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟﻮ‬‫ﻰ ﻫ‬‫ﺘ‬‫ﻘﹸﻮﻟﹸﻮﻥﹶ ﻣ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬


Artinya: “Mereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika memang
kamu orang-orang yang benar?” (Q.S. Yûnus [10]: 48).

‫ﺎﻥﹶ‬‫ ﺍﹾﻟﺈﹺﳝ‬‫ﻴﻜﹸﻢ‬‫ ﹺﺇﻟﹶ‬‫ﺒﺐ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻨﹺﺘ‬‫ﻣﺮﹺ ﻟﹶﻌ‬ ‫ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﻦ‬‫ﲑﹴ ﻣ‬‫ﻲ ﻛﹶﺜ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻄ‬‫ﻮ ﻳ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻢ ﺭ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻮﺍ ﹶﺃﻥﱠ ﻓ‬‫ﻋﻠﹶﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ‬
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺷ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻥﹶ ﺃﹸﻭﻟﹶﺌ‬‫ﺼﻴ‬
 ‫ﺍﹾﻟﻌ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﻕ‬‫ﺍﹾﻟﻔﹸﺴ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﹾﻟﻜﹸ ﹾﻔﺮ‬‫ﻴﻜﹸﻢ‬‫ ﹺﺇﻟﹶ‬‫ﺮﻩ‬ ‫ﻛﹶ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻲ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑﹺﻜﹸ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻳﻨ‬‫ﺯ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah.
Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-
benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu
cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus.” (Q.S. al-Hujurât [49]: 7).

‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬


 ‫ﻳ‬
Artinya: “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
berbangkit, kapankah terjadinya?” (Q.S. al-Nâzi‘at [79]: 42).
133

Di dalam al-Sunnah disebutkan tentang larangan terlalu banyak bertanya

“Wahai Muhammad! Sesungguhnya umatmu senantiasa bertanya; Apa ini? Apa

itu? Sampai-sampai mereka mengatakan: Inilah Allah yang telah menciptakan

makhluk, tapi siapakah yang menciptakan Allah sendiri?”56

C. Etika Menjawab

1. Mengarahkan Penanya Pada Hal yang Berfaedah

Pada dasarnya sebuah jawaban harus sesuai dengan pertanyaan, sesuai

dengan bunyi kaidah.57

.‫ﺍ ِﻝﹺ‬‫ﺆ‬‫ﻠﺴ‬‫ﻄﹶﺎﺑﹺِﻘﺎ ﻟ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮﻥﹶ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺍﺏﹺ ﺍﹶ ﹾﻥ ﻳ‬‫ﺠﻮ‬


 ‫ﻰ ﺍﹾﻟ‬‫ﻞﹸ ﻓ‬‫ﺍﹶﻻﹶﺻ‬
Artinya: asalnya suatu jawaban harus sesuai dengan pertanyaan.

Namun terkadang jawaban yang diberikan menyimpang dari apa yang

dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang

seharusnya ditanyakan. Seperti pada Q.S. al-Baqarah (2): 189 berikut:

‫ﻦ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻮﺭﹺﻫ‬‫ﻦ ﻇﹸﻬ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﺕ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ ﺑﹺﺄﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﺍﹾﻟﺒﹺﺮ‬‫ﻴﺲ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﺞ ﻭ‬ ‫ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻠﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﻴﺖ‬‫ﺍﻗ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﻠﱠﺔ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﺄﹶﻫ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺤ‬‫ ﹾﻔﻠ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻠﱠﻜﹸ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺍﺑﹺﻬ‬‫ﺑﻮ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻮﺕ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﹾﺃﺗ‬‫ﺗﻘﹶﻰ ﻭ‬‫ﻦﹺ ﺍ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﺍﹾﻟﺒﹺ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
56
HR. Ahmad, Muslim dan Abu Awanâh yang bersumber dari Anas ra.
57
Imam Burhanuddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi,al-Burhan fi Ulum al-Qur’ân,
(Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988), Cet. I, h. 50
134

masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada


Allah agar kamu beruntung”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 189).

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan. Pertanyaan mereka adalah;

mengapa bulan pada mulanya terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke

malam ia membesar hingga mencapai purnama, kemudian mengecil dan

mengecil lagi sampai menghilang dari pandangan? Katakanlah: “Bulan sabit

adalah tanda-tanda waktu bagi manusia”. Waktu dalam penggunaan al-Qur’ân

adalah batas akhir peluang untuk menyelesaikan suatu aktivitas.

Seperti terlihat di atas, jawaban yang diberikan ini tidak sesuai dengan

pertanyaan yang diajukan. Al-Qur’ân tidak menjawabnya sesuai dengan harapan

mereka, tetapi memberi jawaban lain sesuai dengan kepentingan mereka.

Hal serupa banyak terjadi dengan tujuan mengingatkan penanya bahwa

ada yang lebih wajar ditanyakan dari pada yang telah diajukan. Memang al-

Qur’ân mendidik manusia, dan salah satu bentuk pendidikannya adalah

mengarahkan mereka melalui jawaban-jawabannya.

Pertanyaan seperti itu, tidak pada tempatnya jika diajukan kepada Nabi,

karena kedudukan Nabi adalah sebagai utusan Tuhan yang membimbing dan

membawa petunjuk agama. Nabi bukanlah ahli ilmu falak; sebab itu jawaban

yang diberikan sesuai dengan kewajibannya sebagai rasul, bahwa bulan sabit

adalah untuk menentukan waktu bagi manusia. Dengan bulan yang demikian

halnya manusia sesama manusia dapat menentukan janji. Dengan bulan demikian
135

manusia dapat menentukan iddah perempuan setelah bercerai. Dengan bulan

demikian manusia dapat menentukan beberapa purnama perempuan telah

mengandung. Dan dengan bulan itu pula dapat ditentukan waktu puasa sampai

waktu hari raya dan mengeluarkan zakat sekali setahun, sampai kepada waktu

mengerjakan haji.58

Al-Qur’ân tidak menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban ilmiah,

sebagaimana dijelaskan dalam astronomi, yakni keadaan bulan seperti itu akibat

peredaran bulan dan matahari, serta posisi masing-masing dalam memberi dan

menerima cahaya matahari. Tetapi bila jawaban ini yang disampaikan, maka

disamping masalah yang lebih penting tidak terungkap, penjelasan mengenai

pertanyaan itu bukan merupakan bidang al-Qur’ân. Karena al-Qur’ân adalah

kitab hidayah, bukan kitab ilmiah. Di samping itu jawaban ilmiah berdasar

astronomi belum terjangkau oleh para penanya ketika itu. Demikian ayat ini

mengajarkan agar tidak menjawab persoalan yang tidak termasuk otoritas kita,

tidak juga memberi jawaban yang diduga tidak mengerti oleh penanya,

sebagaimana ia mengajarkan agar mengarahkan penanya kepada pertanyaan dan

jawaban yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Yang lebih wajar mereka

ketahui adalah tujuan penciptaan bulan seperti itu dan manfaat yang harus

diperoleh dari keadaannya yang demikian.

58
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Juz I, h. 115
136

Dalam konteks pertanyaan ayat ini berpesan, “Tanyakanlah persoalan

yang bermanfaat yang dapat anda mengerti, dan ajukan pertanyaan kepada siapa

yang mengetahui dan mengerti.

Dalam ayat ini, secara lahirnya pertanyaan mengarah kepada hakikat

alamiah, namun jawabannya dipalingkan kepada aspek yang bermanfaat bagi

mereka. Mereka memang wajar bertanya tentang hal itu, seperti yang

diriwayatkan di dalam pertanyaan tentang bulan sabit. Mereka bertanya tentang

sebab mulai tampaknya bulan dalam keadaan kecil, kemudian membesar sedikit

demi sedikit hingga sempurna lalu kembali berkurang dan akhirnya hilang.

Jawaban menunjukkan kepada hikmah penciptaan semacam ini. Hikmah itu

adalah adanya kegunaan bagi mereka, bila ditinjau bahwa bulan sabit itu menjadi

tanda waktu bagi mereka untuk mengetahui waktu-waktu shaum, haji, masa

iddah wanita dan perjanjian-perjanjian.

Dipalingkannya jawaban orang-orang yang bertanya tentang sebab kepada

hikmah, tampak dengan jelas bahwa Rasul semata-mata diutus untuk

menerangkan hukum-hukum bagi perbuatan orang-orang mukallaf, bukan untuk

menerangkan hakikat kejadian. Oleh sebab itu beliau tidak ditanya: bagaimana

pedapat al-Dîn tentang atom langit, lapisan bumi, kegunaan bulan atau Mars

untuk tempat tinggal, atau bagaimana pendapat al-Dîn tentang bulat atau tidak

bulatnya bumi, bagaimana hujan kilat dan petir itu terjadi. Semua itu telah

dibiarkan oleh Allah untuk dibahas oleh mausia dengan akalnya. Sedikitpun
137

manusia tidak berdosa untuk mengadakan penelitian tentang cara bercocok

tanam, berindustri, mengobati dan perkara lain yang telah diwakilkan oleh Allah

kepada pengalaman-pengalaman dan pertimbangan manusia dalam mengetahui

dan memilih yang berfaidah dariya. Perkara-perkara keduniaan semacam ini,

tidak dirinci dan diatur dalam tasyri’ Ilahi. Inilah yang dimaksud dengan Hadits

Rasul:

( ‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬. ‫ﻢ‬ ‫ﺎﻛﹸ‬‫ﻧﻴ‬ ‫ﻮﺭﹺ ﺩ‬ ‫ ﺑﹺﺎﹸﻣ‬‫ﻋﻠﹶﻢ‬ ‫ﻢ ﺍﹶ‬ ‫ﻧﺘ‬‫ﺍﹶ‬


Artinya: Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.59

‫ﺴﺒﹺﻴﻞﹺ‬
 ‫ﺑﻦﹺ ﺍﻟ‬‫ﺍ‬‫ﲔﹺ ﻭ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺑﹺﲔ‬‫ﺍﹾﻟﺄﹶ ﹾﻗﺮ‬‫ﻳﻦﹺ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻟ‬‫ ﹾﻠﻮ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﻠ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻧﻔﹶ ﹾﻘﺘ‬‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹾ ﻣ‬‫ﻨﻔ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja
kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215).

Pertanyaan ini berasal dari Amru bin Jumuah, orang tua yang datang

kepada Rasul untuk menanyakan bagaimana cara menyedekahkan hartanya yang

banyak dan kepada siapa ia harus bersedekah. Pertanyaan yang ia ajukan bukan

sebenarnya bukan haya untuk dirinya sendiri tapi juga mewakili pertanyaan dari

59
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim.
138

orang lain, maka turunlah jawaban yang diperuntukkan bagi seluruh kaum

muslimin.

Pertanyaan pertama menyangkut nafkah. Tentu saja pertanyaan itu telah

mereka ajukan sebelum turunnya ayat ini. Tetapi al-Qur’ân bermaksud

melukiskan betapa indah sikap batin mereka dan betapa baik pertanyaan ini.

Untuk itulah ayat ini menggunakan bentuk kata kerja masa kini (sekarang/sedang

berlangsung).

Pertanyaan dengan ‫ﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻨﻔ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ﻣ‬ apa yang mereka nafkahkan menunjukkan

bahwa pada dasarnya mereka memahami dan menerima kewajiban infak, namun

mereka belum mengetahui apa yang harus mereka infaqkan. Maka jawaban yang

diturunkan Allah memberikan penjelasan secara jelas apa yang harus mereka

lakukan yaitu:

000‫ﺴﺒﹺﻴﻞﹺ‬
 ‫ﺑﻦﹺ ﺍﻟ‬‫ﺍ‬‫ﲔﹺ ﻭ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺑﹺﲔ‬‫ﺍﹾﻟﺄﹶ ﹾﻗﺮ‬‫ﻳﻦﹺ ﻭ‬ ‫ﺪ‬‫ﺍﻟ‬‫ ﹾﻠﻮ‬‫ﻴﺮﹴ ﻓﹶﻠ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻧﻔﹶ ﹾﻘﺘ‬‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻣ‬000
Artinya: “… Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan…”. (Q.S. al-Baqarah [2]:
215).

Sehubungan dengan persoalan-persoalan di atas, adalah masalah khamr

dan judi yang menjadi materi pertanyaan yang diajudakan sahabat Nabi saw.

Jawaban yang disampaikan Allah bersifat mendidik dan memberikan banyak

manfaat, artinya bukan masalah pembuatan komoditi khamr dan judi yang diberi

penjelasan dalam menanggapi pertanyaan, tetapi bahaya dan efek destruktif yang
139

ditekankan Allah sehingga konsumsi khamr dan permainan judi harus segera

ditinggalkan. Akan lebih positif, jika harta yang digunakan untuk mengkosumsi

khamr dan berjudi dikonsentrasikan dan dialokasikan untuk berinfaq atau

sedekah, maka itu lebih bermanfaat, sebagaimana Firman Allah pada ayat-ayat

berikut:

‫ﺎ‬‫ ﹺﻬﻤ‬‫ ﹾﻔﻌ‬‫ﻦ ﻧ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﹶﺃ ﹾﻛﺒ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﺇﹺﹾﺛﻤ‬‫ﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻠﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﻊ‬‫ﺎﻓ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ ﻛﹶﺒﹺﲑ‬‫ﺎ ﺇﹺﹾﺛﻢ‬‫ﻴ ﹺﻬﻤ‬‫ﻴﺴِﺮﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﻓ‬‫ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻤﺮﹺ ﻭ‬ ‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﺨ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﻭﻥﹶ‬‫ﻔﹶﻜﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻠﱠﻜﹸ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺎﺕ‬‫ ﺍﻟﹾﺂﻳ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ ﻛﹶﺬﹶﻟ‬‫ ﹾﻔﻮ‬‫ﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹺ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻨﻔ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar 60 dan judi. Katakanlah.
Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya. Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 219).

Pada bagian pertama ayat ini melarang memperoleh harta dan

menggunakannya dalam kegiatan yang tidak berguna, maka persoalan berikut

yang merupakan bagian dari ayat ini masih berkaitan dengan harta yakni mereka

bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari

keperluan yakni yang mudah dan yang diinfakkan tidak dengan berat hati.61

60
Khamr adalah segala minuman yang memabukkan, apapun bahan mentahnya.
Minuman yang berpotensi memabukkan bila diminum dengan kadar normal oleh seorang normal,
maka minuman itu adalah khamar sehingga haram hokum meminumnya.
61
Anak kalimat ayat di atas merupakan satu dari tiga macam pengeluaran harta yang
diajarkan al-Qur’an: pertama, wajib dan harus dikeluarkan, yaitu zakat. Kedua sesuatu yang bukan
zakat dan hati tidak berat mengeluarkannya. Ketiga tidak wajib tetapi hati berat mengeluarkannya.
140

Demikian juga arahan-arahan jawaban yang amat berarti bagi para

penanya seperti tentang pengurusan harta anak-anak yatim, menyikapi wanita-

wanita yang datang bulan, jenis-jenis makanan halal dari daging sebagaimana

pada ayat-ayat berikut:

‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺍﻧ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺈﹺ‬ ‫ﻄﹸﻮﻫ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺨ‬‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﺮ‬‫ﻢ ﺧ‬ ‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺻﻠﹶﺎﺡ‬


 ‫ﻰ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺓ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﺍﻟﹾﺂ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻧﻴ‬‫ﻲ ﺍﻟﺪ‬‫ﻓ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﺘ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ ﻟﹶﺄﹶ‬‫ﺎﺀَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮ ﺷ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ﺢﹺ ﻭ‬‫ﺼﻠ‬
 ‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﹾﻔﺴِﺪ‬‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﻌﻠﹶﻢ‬ ‫ﻳ‬
Artinya: “Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang
anak yatim, katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah
baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu
dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia
dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Baqarah [2]: 220).

‫ﺮﻥﹶ ﻓﹶﹺﺈﺫﹶﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻄﹾ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﺣ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺑ‬‫ ﹾﻘﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻴﺾﹺ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺎﺀَ ﻓ‬‫ﺴ‬‫ﺰﹺﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﻋﺘ‬ ‫ ﹶﺃﺫﹰﻯ ﻓﹶﺎ‬‫ﻮ‬‫ﻴﺾﹺ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﻬﺮﹺﻳﻦ‬ ‫ﻄﹶ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺑﹺﲔ‬‫ﺘﻮ‬‫ ﺍﻟ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴﺚﹸ ﹶﺃﻣ‬‫ﻦ ﺣ‬ ‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﺮﻥﹶ ﻓﹶ ﹾﺄﺗ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻄﹶ‬‫ﺗ‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri” (Q.S. al-Baqarah [2]: 222).

‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﻧ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﻠﱢﺒﹺﲔ‬‫ﺍﺭﹺﺡﹺ ﻣ‬‫ﺠﻮ‬


 ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻤﺘ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟ ﱠﻄﻴ‬‫ﻞﱠ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻢ ﻗﹸﻞﹾ ﹸﺃﺣ‬ ‫ﻞﱠ ﻟﹶﻬ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﹸﺃﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﺎﺏﹺ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﺳﺮﹺﻳﻊ‬ ‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳﻢ‬ ‫ﻭﺍ ﺍ‬‫ﺍ ﹾﺫﻛﹸﺮ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ﻠﹶ‬‫ ﻋ‬‫ ﹾﻜﻦ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺎ ﺃﹶ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﻜﹸﻠﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻋ‬
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka?
Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
141

ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya
untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu,
dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-
Nya (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 4).

Pertanyaan tentang kapankah hari kiamat tiba, bukan mempunyai motivasi

sebagaimana pertanyaan-pertanyaan lain yang bertujuan mencari penjelasan.

Pertanyaan ini lebih bersifat penolakan dan tidak mengakui eksistensi hari

tersebut, oleh karenanya jawaban yang diberikan pun tidak diberikan

sebagaimana materi yang dipertanyakan, tetapi selain masalah tersebut menjadi

urusan Allah, penjelasan tentang peristiwa terjadinya hari yang menakutkan itu

menjadi jawaban yang disampaikan sebagai mana pada ayat berikut:

‫ﻲ‬‫ ﻓ‬‫ ﹶﺛﻘﹸﻠﹶﺖ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻫ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻗﺘ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻟ‬‫ﺠﻠﱢﻴﻬ‬


 ‫ﻲ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻨﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﻳ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨﺪ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﹾﻠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺎ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻔ‬‫ ﺣ‬‫ﻧﻚ‬‫ ﻛﹶﺄﹶ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬
 ‫ﺔﹰ ﻳ‬‫ﻐﺘ‬ ‫ﻢ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺑ‬ ‫ﻴﻜﹸ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﺭﺽﹺ ﻟﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﺍﻟ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ﺎﺱﹺ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺃﹶ ﹾﻛﹶﺜﺮ‬
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah
pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi
Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. al-A‘râf [7]:
187).
142

2. Menjawab dengan Dalil Perbuatan

Suatu jawaban atas persoalan yang tengah dihadapi, tidak selamanya

berbentuk ekspresi langsung dari seorang ahli yang diminta, karena manusia

boleh saja menimba ilmu pengetahuan dari siapa saja yang mempunyai ilmu dan

bermanfaat bagi hidupnya di dunia dan akhirat kelak, sekalipun dari burung.

Dalam konteks ini, burung-burung Hûd pernah memberitahukan informasi

kepada Nabi Sulaiman as. apa yang tidak diketahui olehnya tentang kerajaan

Saba, dan ia tidak segan-segan menerima apa yang dikatakan Hud-hud.62

sebagaimana dikisahkan al-Qur’ân pada ayat-ayat yang artinya seperti berikut:

‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﻟﹶ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻄﺖ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﹶﺃﺣ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﺮ‬‫ﻜﹶﺚﹶ ﹶﻏ‬‫ ﻓﹶﻤ‬0‫ﺒﹺﲔﹴ‬‫ ﻣ‬‫ ﹾﻠﻄﹶﺎﻥ‬‫ﻲ ﺑﹺﺴ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﹾﺄﺗ‬‫ﻭ ﻟﹶﻴ‬ ‫ ﺃﹶ‬‫ﻨﻪ‬‫ﺤ‬‫ﻭ ﻟﹶﺄﹶ ﹾﺫﺑ‬ ‫ﺍ ﺃﹶ‬‫ﻳﺪ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﺬﹶﺍﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻨﻪ‬‫ﺬﱢﺑ‬‫ﻟﹶﺄﹸﻋ‬
‫ﺮﺵ‬ ‫ﺎ ﻋ‬‫ﻟﹶﻬ‬‫ﺀٍ ﻭ‬‫ﻲ‬‫ﻦ ﻛﹸ ﱢﻞ ﺷ‬ ‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ﻴ‬‫ﺃﹸﻭﺗ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻜﹸﻬ‬‫ﻤﻠ‬ ‫ﹶﺃﺓﹰ ﺗ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ ﺍ‬‫ﺪﺕ‬ ‫ﺟ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ ﹺﺇﻧ‬0‫ﲔﹴ‬‫ﻘ‬‫ﺈﹴ ﻳ‬‫ﺒ‬‫ﺈﹴ ﺑﹺﻨ‬‫ﺳﺒ‬ ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺟﹺﹾﺌﺘ‬‫ ﻭ‬‫ﻂﹾ ﺑﹺﻪ‬‫ﺤ‬‫ﺗ‬
‫ﻴﻢ‬‫ﻈ‬‫ﻋ‬
Artinya: “Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras
atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang
kepadaku dengan alasan yang terang”, Maka tidak lama kemudian
(datanglah hud-hud) lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu
yang kamu belum mengetahuinya, dan kubawa kepadamu dari negeri
Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (Q.S. An-Naml [27]:
21-23).

Selain jawaban yang diperoleh dari burung Hud-hud dalam konteks kisah

Nabi Sulaiman as. terdapat pula jawaban yang diperoleh dari munculnya sebuah

62
Yusuf Qardhawi, al-Qur’ân Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 254
143

proses perbuatan seekor burung gagak yang memberikan contoh konkrit terhadap

prosesi pemakaman kepada manusia yang tengah mencari jawaban persoalan

yang tengah dihadapinya sebagaimana dalam kisah anak-anak Adam as. Pada

ayat berikut di mana Allah memerintahkan seekor burung gagak sebagai solusi

jawaban.

‫ ﺃﹶ ﹾﻥ ﹶﺃﻛﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺰﺕ‬ ‫ﺠ‬‫ﺎ ﹶﺃﻋ‬‫ﻳﻠﹶﺘ‬‫ﺎﻭ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻳ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻮﹶﺃﺓﹶ ﺃﹶﺧ‬ ‫ﺍﺭﹺﻱ ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻴﻒ‬‫ ﻛﹶ‬‫ﻪ‬‫ﺮﹺﻳ‬‫ﻴ‬‫ﺭﺽﹺ ﻟ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ﺚﹸ ﻓ‬‫ﺒﺤ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﹸﻏﺮ‬‫ﺚﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻌ‬‫ﻓﹶﺒ‬
‫ﲔ‬‫ﻣ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺢ‬‫ﺻﺒ‬
 ‫ﻲ ﻓﹶﺄﹶ‬‫ﻮﹶﺃﺓﹶ ﺃﹶﺧ‬ ‫ ﺳ‬‫ﺍﺭﹺﻱ‬‫ﺍﺏﹺ ﻓﹶﺄﹸﻭ‬‫ﻐﺮ‬ ‫ﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﺜﹾﻞﹶ ﻫ‬‫ﻣ‬
Artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di
bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini Karena itu jadilah
dia seorang di antara orang-orang yang menyesal”. (Q.S. al-Mâ’idah
[5]: 31).

3. Jenis-jenis Jawaban

Mencermati redaksi kalimat tanya-jawab yang terdapat pada ayat-ayat

yang telah dimemukakan pada bab-bab sebelumya, penulis dapat mengambil

suatu kesimpulan bahwa shighat-shighat tanya jawab dalam al-Qur’ân terdiri dari

tiga shighat, yaitu; ‫ﻳﺴﺘﻔﺘﻮﻧﻚ‬ yang artinya mereka meminta fatwa kepadamu

tentang urusan-urusan dunia dan akhirat. Redaksi ini terdeapat pada dua tempat,

yakni pada surat an-Nisâ’ ayat 153 dan ayat 176. Sighat ‫ ﻳﺴﺌﻠﻚ‬yang berarti “ia
bertanya kepadamu” terdapat pada dua tempat, yakni pada surat an-Nisâ’ ayat

153 dan surat al-Ahzâb ayat 63, sementara ‫ﻳﺴﺌﻠﻮﻧﻚ‬, yang berarti “mereka
144

bertanya kepadamu” terdapat di lima belas tempat, di ntaranya pada surat a-

Baqarah ayat 189 dan al-Mâidah ayat 4.

Adapun jawaban-jawaban atas dialog langsung ini secara keseluruhan

menggunakan kata “Qul“ sebagai respon langsung yang diberikan Nabi

Muhammad atas bimbingan al-Qur’ân. Adapun jenis-jenis jawaban secara umum

ditinjau dari aspek generalnya, dapat penulis garis awahi sebagai berikut:

1. Jawaban yang disampaikan bersifat penjelasan, ulasan, atau uraian rinci

terhadap objek yang dipertanyakan baik menyangkut dimensi hikmah yang

terkandung dalam materi pertanyaan, maupun menyangkut pengaruh ojek

yang menjadi bahan pertanyaan dan kuantitas yang dipertanyakan.

2. Jawaban yang lugas dan langsung “to the point” terhadap materi. Abdullah

bin Amru bin al-Ash ra. Berkata: “Ada seseorang bertanya kepada Rasul

saw: Kelakuan apakah yang terbaik dalam Islam? “Jawab Nabi saw:

Memberi makanan pada orang yang kekurangan dan memberi salam pada

orang yang kau kenal dan yang belum kau kenal.” (HR. Bukhari dan

Muslim)63

3. Jawaban yang disampaikan dengan cara lelucon atau gaya yang di dalamnya

dapat dipetik pelajaran seperti yang diberikan kepada seorang nenek yang

bertanya kepada Nabi Muhammed saw. tentang apakah ia kelak akan masuk

dalam surga.

63
Shahih Bukhari.
145

4. Jawaban yang diberikan dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan

jawaban lisan, tetapi cukup direnungi dan dihayati maksudnya. Misalnya,

kisah tentang seorang yang datang kepada Nabi Muhammad saw. dan

bertanya tentang hukum berzina, Nabi menjawab dengan bentuk pertanyaan,

“Apakah kamu mau hal ini terjadi pada ibumu?”.

5. Jawaban yang disampaikan sama dengan pertanyaan yang diajukan secara

berulang-ulang. Misalnya dalam sebuah Hadits Abu Dzar ra. berkata: “Saya

datang kepada Nabi saw. sedang beliau tengah tidur berbaju putih, kemudian

saya datang kembali dan ia telah bangun, lalu bersabda: “Tiada seorang

hamba yang membaca: ‫ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﷲ‬ kemudian ia mati atas kalimat itu,

melainkan pasti masuk surga”. Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan

mencuri?”. Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri.”

Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?” Jawab Nabi saw.:

“Meskipun ia pernah berzina dan mencuri. “Saya bertanya: “Meskipun ia

telah berzina dan mencuri?” Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina

dan mencuri, meski mengecewakan hidung Abu Dzar (meskipun

mengecewakan diri Abu Dzar).64” (HR. Bukhari, Muslim).

6. Jawabanya dikembalikan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Mu’adz bin

Jabal ra. Berkata: “Ketika saya sedang mengikuti di belaknag kendaraan Nabi

saw. tiada renggang antara aku dengan Nabi saw. kecuali belakang kendaraan

64
HR. Bukhari, Muslim
146

itu, tiba-tiba Nabi saw. memanggil: “Ya Mua’dz! “Jawabku: ‫”ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺳﻌﺪﻳﻚ‬.
Kemudian terus berjalan sejenak, lalu memanggil “Ya mua’dz! “Jawabku:

‫ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺳﻌﺪﻳﻚ‬ "Kemudian terus berjalan lalu memanggil “Ya mua’dz!

“Jawabku: ‫ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺳﻌﺪﻳﻚ‬ “Lalu bersabda: “Tahukah Anda apakah hak Allah

yang diwajibkan atas hamba-Nya? “ Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasulullah

yang lebih mengetahui. “Maka sabda Nabi saw: “Hak Allah yang diwajibkan

atas hamba-Nya, supaya mereka menyembah kepada-Nya dan tidak

mempersekutukan Allah dengan suatu apapun.” Kemudian meneruskan

perjalanan, lalu bertanya: “Ya Mua’dz bin Jabal! “Jawabku: ‫ﻟﺒﻴﻚ ﻭﺳﻌﺪﻳﻚ‬
“Lalu ditanya: “Tahukah Anda apakah hak hamba jika mereka telah

melaksanakan kewajiban itu? “ Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasul-Nya yang

lebih mengetahui. “Maka sabda Nabi saw: “Hak hamba atas Allah bahwa

Allah tidak akan menyiksa mereka.”65

7. Jawaban tidak selamanya dinyatakan dalam bentuk lisan, akan tetapi bisa juga

dengan diam atau dengan gerakan tubuh, misalnya dengan mengangguk dan

menggeleng atau dengan gerakan tangan dan sebagainya. Contoh dari Abi

Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda: “Tidak boleh

dinikahkan seorang janda melainkan sesudah diajak berembuk, dan tidak

boleh dinikahkan seorang perawan melainkan sesudah dimintai izinnya.

65
Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf al-Nawawy, Terjemah Riyadh al-Shalihin. Ter.
H.Salim Bahresy, Jilid 1 ( Bandung : PT.al-Ma’arif, 1986, h. 487
147

“Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?” Sabdanya:

“Diamnya”

8. Jawaban yang bertingkat-tingkat sebagaimana jawaban yang diberikan Nabi

Muhammad saw. kepada pertanyaan. Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah

saw. ditanya: “Apakah amal yang utama?” Jawab Nabi saw.: “Iman kepada

Allah dan Rasul-Nya. “Lalu ditanya: “Kemudian apakah?” Jawabnya: “Jihad

berjuang fi sabilillah (untuk menegakkan agama Allah),” Ditanya:

“Kemudian apakah?” Jawab Nabi saw: “Haji yang mabrur (diliputi amal

kebaikan)”66

9. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tapi butuh perenungan terhadap

pertanyaan itu. sebagaimana pertanyaan yang terdapat pada surat al-

Ghâsyiyah ayat 17-20 seperti berikut:

‫ﻴﻒ‬‫ﺎﻝﹺ ﻛﹶ‬‫ﺠﺒ‬
‫ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﹺ‬‫ ﻭ‬0‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻓ‬‫ ﺭ‬‫ﻴﻒ‬‫ﺎﺀِ ﻛﹶ‬‫ﺴﻤ‬
 ‫ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬‫ ﻭ‬0‫ﻘﹶﺖ‬‫ﺧﻠ‬ ‫ﻴﻒ‬‫ﻭﻥﹶ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﹺﺈﺑﹺﻞﹺ ﻛﹶ‬‫ﻨﻈﹸﺮ‬‫ﺃﹶﻓﹶﻠﹶﺎ ﻳ‬
‫ﺖ‬‫ﺤ‬‫ﻄ‬‫ ﺳ‬‫ﻴﻒ‬‫ﺭﺽﹺ ﻛﹶ‬ ‫ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﺄﹶ‬‫ ﻭ‬0‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺼ‬‫ﻧ‬
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-
gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?”. (QS. al-Ghâsyiyah [88]: 17-20).

Pada masa awal periode Islam, jawaban atas pertanyaan disampaikan

secara langsung oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat yang menanyakan

masalah-masalah yang dihadapi sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab

66
HR. Bukhari dan Muslim
148

sebelumnya baik pertanyaan yang bersifat hakiki maupun yang bertendensi

menguji ilmu pengetahuan seorang.

Dari penjelasan-penjelasan yang telah penulis kemukakan pada poin-poin

di atas, dapat dikatakan bahwa, al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna

dan dapat disebut sebagai miniatur ayatullah, himpunan firman Allah dan garis

besar terjemahan alam semesta, yang bersifat mukjizat ini bukanlah sekedar

dokumen histioris atau pedoman hidup dan tuntunan spiritual bagi sekalian

manusia, tetapi juga sebagai mitra dialog dan tempat mengadukan dan

menghadapkan macam-macam urusan kehidupan yang konkrit, sehingga wajib

“diajak” untuk berdiskusi, ditelaah isinya, dinalar sekaligus diamalkan.

Kitab suci, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang lalu

disampaikannya kepada kita secara mutawatir dan ditulis dalam sebuah mushaf

yang mendengarkan dan membacanya saja mendapatkan pahala.

Sebagai kitab suci yang banyak mengandung nasehat dan pelajaran bagi

manusia ini, konsep bertanya yang terdapat dalam banyak ayat memiliki banyak

implikasi pendidikan yang positif untuk diimplementasikan dalam dunia belajar-

mengajar. Konsep bertanya, bukan saja menjadi instrumen penting dalam rangka

mencari dan menggali ilmu pengetahuan tetapi betapa banyak persoalan-

persoalan agama, hukum, dan lain sebagainya bisa diketahui setelah adanya

pertanyaan ini.
149

Sebagai salah satu metode mencari ilmu, unsur pertanyaan memainkan

peranan konstruktif dalam dunia pendidikan karena dengan bertanya masalah

yang dihadapi dapat diselesaikan atau persoalan yang belum diketahui, bisa

diketahui melalui pengajuan pertanyaan. Sebagai implementasinya, al-Qur’ân

meletakkan dasar pijakan sehubungan dengan persoalan bertanya dan kepada

siapa pertanyaan itu hendaknya disampaikan agar memperoleh jawaban yang

benar, yaitu bertanya kepada pakar-pakar disiplin ilmu sejalan dengan

spesialisasinya masing-masing sehingga tidak terjadi kekeliruan penyampaian

ilmu pengetahuan yang ditanyakan baik menyangkut ilmu agama, pengetahuan

umum, atau cabang-cabang ilmu lainnya.

Dalam visi qur’âni, pencarian ilmu yang dilakukan dengan cara bertanya

tidak terbatas hanya pada ajaran khusus syari’ah, tapi juga berlaku untuk setiap

pengetahuan yang dapat menjadi alat dalam membawa manusia lebih dekat

kepada Tuhan. Setiap ilmu, apakah itu teologi atau fisika, adalah alat untuk

mencapai kedekatan dengan Tuhan, dan selama ilmu tersebut memainkan

peranan ini, maka ia sakral.67

Seruan untuk bertanya kepada ahlinya, mencerminkan ajakan kepada umat

Islam untuk mencari dan menimba ilmu pengetahuan dari ahli-ahli yang

berkompetensi di bidangnya dalam rangka mendapatkan ilmu dan kearifan,

67
Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, Nopember
1998), h. 73
150

karena menurut perspektif qur’ani bahwa orang-orang yang berpengetahuan

memiliki kedudukan derajat yang tinggi. Adalah tidak sama derajat kedudukan

antara mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui.

000 ‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﺎ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﻌﻠﹶﻤ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻮﹺﻱ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﺴﺘ‬


 ‫ﻞﹾ ﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬000
Artinya: “…Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui…?” (Q.S. al-Zumar [39]: 9).

Karena bertanya merupakan salah salah satu elemen penting dalam proses

menimba ilmu pengetahuan, maka Rasulullah saw. pun menghimbau umat Islam

agar mencari jawaban-jawaban materi ilmu yang belum diketahuinya sekalipun

harus ke negeri luar. Hal ini menunjukkan bahwa mencari ilmu memiliki

ketentuan hukum wajib bagi seorang muslim lelaki maupun perempuann, dan

ketentuan seperti ini berlaku dari usia kecil hingga tua, sejak lahir hingga

meninggal. Demikian penting arti sebuah ilmu, sehingga ayat pertama yang

diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. menitikberatkan pada unsur-unsur

pencarian ilmu pengerahuan dengan metode membaca yang merupakan salah

satu sarana mencari ilmu pangetahuan. Oleh karenanya, jika suatu cabang ilmu

pengetahuan terdapat di luar negeri maka seorang muslim berkewajiban mencari

dan mengejarnya.

“Hikmah (kearifan) itu kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana

saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya”.


151

“Ambillah ilmu dari apa yang dikatakan orang-orang”. 68

Terkait dengan masalah ini, Ali bin Abi Thalib mengatakan:

“Dianjurkan bagi orang yang berakal untuk menambahkan pendapat

orang bijak lainnya kepada pendapatnya, dan menambahkan ilmu para

bijak kepada ilmunya.69 Juga ilmu adalah harta kekayaan orang mukmin

yang hilang, maka ambillah sekalipun dari tangan-tangan non-muslim”. 70

Masalah spesialisasi yang disebut Ahl al-Dzikr oleh al-Qur’ân, telah

dikenal pada zaman Nabi Muhammad saw. Di mana untuk pelayanan-pelayanan

tertentu semisal al-Qur’ân, tajwid, syari’ah, harus belajar pada guru-guru tertentu

yang dianggap cakap dan ahli. Nabi pun mengajarkan olah raga dan keterampilan

(memanah, berenang, menunggang kuda, dan sebagainya), astronomi, cara

meramu obat-obatan, geneologi, dan fonatika praktis yang diperlukan untuk

membaca al-Qur’ân.71 Seruan-seruan untuk bertanya mendapat konsern serius

dalam al-Qur’ân sebagaimana terdapat pada surah al-Nahl: 16 ayat 42, surah al-

Furqân: 25 ayat 59, dan surah al-Isrâ’: 17 ayat 101, serta surah al-Qolam: 68 ayat

40.

Dalam implikasinya, pertanyaan yang menjadi salah satu metodologi

pendidikan telah diimplementasikan dalam dunia pendidikan nyata dewasa ini di

68
Muhammad Bagir Majlisi, Bihar Al-Anwar,(Tt., Tp., Tth.), Jilid 11, h. 105
69
Amidi, Ghurar Al-Hikam Wa Durl Al-Hikam“ (Taheran: Univ, Pres, Tth), Jilid 111, h.
408
70
Ibn Abd Al-Bar, Jami Al-Bayan Al-Ilm, Jilid 1, h. 121
71
Dr. Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an, h. 109
152

mana seorang pengajar setelah menjelaskan pelajaran-pelajaran yang diberikan

kepada murid/siswa/mahasiswa memberi kesempatan kepada mereka untuk

mengajukan suatu pertanyaan terkait dengan materi-materi yang disampaikannya

dalam kerangka mengetahui tingkat pemahaman dan penerimaan seorang setelah

mendapatkan penjelasan-penjelasan yang disampaikan seorang guru. Dalam

dunia belajar-mengajar, jawaban-jawaban atas pertanyaan tertulis dalam bentuk

ujian akhir tahun merupakan barometer kenaikan seorang didik atau tidaknya

pada level yang lebih tinggi lagi.

Kenyataan di atas telah eksis pada masa awal Islam, yaitu ketika Nabi

Musa as. sendiri mengajukan pertanyaan kepada Nabi Khidir as. tentang boleh

tidaknya menimba ilmu pengetahuan darinya. Proses tanya-jawab dalam

peristiwa perjalanan mencari ilmu pengetahuan antara Musa dan Khidir yang

didahului dengan permintaan/pertanyaan Musa kepada Khidir dengan bahasa

yang penuh dengan kesopansantunan sebagaimana yang dilukiskan al-Qur’ân

pada surat al-Kahfi ayat 66 berikut ini:

‫ﺍ‬‫ﺷﺪ‬ ‫ ﺭ‬‫ﻤﺖ‬ ‫ﻠﱢ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶ ﹾﻥ ﺗ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺗﺒﹺﻌ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶ‬‫ﻫ‬000


Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni mengatakan dalam menafsirkan ayat di

atas: “Apakah aku diperbolehkan/diizinkan menemanimu untuk menimba ilmu


72
pengetahuan darimu yang dapat bermanfaat untuk kehidupanku?”

72
Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni,al-Safwat at-tafasir, h.199
153

Para pakar Tafsir menulis, bahwa redaksi ayat ini menunjukkan suatu

percakapan yang penuh dengan sopan santun dari seorang Nabi dan sikap seperti

ini hendaknya dicontoh dan diteladani oleh setiap orang yang hendak mencari

ilmu pengetahuan dengan gurunya.

Ayat ini menunjukkan bahwa dalam bertanya kepada seorang pendidik

hendaknya mempergunakan bahasa yang halus dan sopan dan ketika proses

kegiatan belajar-mengajar berlangsung hendaknya seorang peserta didik tidak

melakukan interupsi kepada seorang pendidik sebelum selesai menerangkan

materi yang disampaikannya, karena selain mengganggu wacana dan ilmu

pengetahuan yang sedang disampaikan, ia juga keluar dari batas-batas kesopanan

seorang peserta didik terhadap sang guru/pendidik. Metodologi seperti ini telah

disinggung al-Qur’ân sebagaimana yang dikatakan Nabi Khidir kepada Nabi

Musa as: “Jika engkau mengikuti, maka jangan sekali-kali menanyakan

kepadaku tentang sesuatu yang aku kerjakan sebelum aku sendiri

menjelaskannya kepadamu”. Larangan interupsi pada saat proses

berlangsungnya belajar-mengajar ini dimaksudkan agar kegiatan pendidikan

terarah dan terkonsentrasi sepenuhnya sehingga seorang anak didik dapat

menyerap segala ilmu yang disampaikan pendidik. Hal ini dijelaskan al-Qur’ân

Surat al-Kahfi: 18 ayat 70 berikut:

‫ﺍ‬‫ ﹾﻛﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻨﻪ‬‫ ﻣ‬‫ﺙﹶ ﻟﹶﻚ‬‫ﺣﺪ‬ ‫ﻰ ﹸﺃ‬‫ﺘ‬‫ﺀٍ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ﻦ ﺷ‬ ‫ﺴﺄﹶﹾﻟﻨﹺﻲ ﻋ‬


 ‫ﻨﹺﻲ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﻌﺘ‬ ‫ﺗﺒ‬‫ ﺍ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﹶﹺﺈﻥ‬
154

Demikian penting sistem qur’ani dalam metodologi pendidikan yang

melarang seseorang melakukan kegiatan/aktifitas interupsi ketika proses belajar-

mengajar berlangsung sehingga bila diimplementasikan dalam dunia pendidikan

akan memiliki dampak positif bagi perkembangan ilmu pendidikan dan ilmu

pengetahuan, karena materi-materi yang diberikan tidak mengalami distorsi

sedikitpun dan menjadi jelas dan tuntas tidak sebagaimana ketika munculnya

sebuah interupsi yang menimbulkan kurang maksimalnya materi-materi yang

diberikan karena terputus sebelum selesai diberikan.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejalan dengan uraian-uraian pada bab-bab di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa:
1. Pada dasarnya secara redaksional, pertanyaan-pertanyaan yang
terkandung dalam al-Qur’ân tidak memiliki perbedaan yang signifikan
baik dalam maksud dan tujuannya dengan pertanyaan-pertanyaan lain di
luar struktur kalimat bertanya al-Qur’ân, yakni meminta klarifikasi
perihal materi-materi yang dipertanyakan sehubungan dengan belum
diketahuinya objek-objek yang menjadi bahan pertanyaan oleh pihak
penanya. Hal ini dapat ditemukan pada banyak ayat al-Qur’ân antara lain
pertanyaan tentang kedudukan dan fungsi bulan sebagaimana terdapat
dalam surah al-Baqarah: 2: 189, pertanyaan tentang bentuk infak dan
kelompok penerimanya seperti terdapat dalam surah yang sama ayat 215.
Demikian juga halnya dengan kedudukan bulan haram untuk berperang
pada ayat 217, serta dampak mengkosumsi minuman keras/minuman
beralkohol dan praktek-praktek perjudian, dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya. Selain pertanyaan yang bertujuan mendapatkan jawaban yang
dikehendaki karena ketidaktahuan menyangkut suatu permasalahan yang
dipertanyakan, terdapat pula pertanyaan-pertanyaan yang memiliki
motivasi lain, yakni ingkari istib’adi yakni suatu pertanyaan yang

155
156

diajukan sebagai penolakan atau pengejekan dan bahkan penghinaan


baik terhadap kebenaran materi yang dipertanyakan maupun terhadap
pribadi Nabi. Pertanyaan seperti ini biasanya menyangkut masalah
keimanan terhadap peristiwa terjadinya hari kiamat yang diajukan oleh
orang-orang non-muslim sebagaimana pertanyaan tentang hari kiamat
yang terdapat pada surah al-A’râf: 7: 187, al-Nâziat: 79: 42. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut bukan untuk mendapatkan suatu kejelasan dan
kebenaran, melainkan hanya penolakan dan bahkan penghinaan terhadap
berita kebenaran datangnya hari kiamat. Tujuan lain selain dua motivasi
pertanyaan di atas terdapat maksud lain yakni suatu pertanyaan yang
memiliki tendensi pengetesan dan pengujian terhadap salah satu
penguasaan cabang ilmu pengetahuan sebagaimana pertanyaan tentang
masalah ruh yang merupakan salah satu bahasan ilmu filsafat pada surah
al-Isrâ’: 17: 85, dan demikian pula halnya pertanyaan tentang ilmu
sejarah yang terdapat dalam surah al-Kahfi: 18: 83, serta pertanyaan
tentang ilmu geologi pada surah Thâha: 20: 105.
2. Sebagai metode bertanya, al-Qur’ân telah memainkan peran konstruktif
dalam meletakkan metode pendidikan tentang konsep pengajuan
pertanyaan di mana al-Qur’ân menekankan bahwa pertanyaan harus
diajukan kepada pakar yang memang memiliki keahlian dalam bidang
disiplin ilmu pengetahuan yang menjadi topik permasalahan, bukan
kepada seorang pakar atau guru yang tidak menguasai pengetahuan
terhadap materi yang ditanyakan untuk menghindari kekeliruan dalam
157

memberikan informasi dan mengabadikan kebenaran ilmu pengetahuan.


Dalam kaitannya dengan hal tersebut, konsep Qur’ani menyangkut
pengajuan pertanyaan kepada ahlinya ini diulang-ulang sebanyak 6 kali
antara lain dalam surah al-Nahl: 16: 43 dan surah al-Anbiyâ: 21: 7 serta
pada surah al-Furqân: 25: 59. Selain masalah tersebut di atas, pertanyaan
juga hendaklnya tidak dilakukan secara berlebih-lebihan sehingga
menyulitkan penanya itu sendiri ketika mendapat jawaban sebagaimana
larangan bertanya secara berlebih-lebihan pada surah al-Mâ’idah: 5: 151,
karena hal ini dapat menimbulkan akumulasi permasalahan yang
semakin membebani pihak penanya. Pertanyaan yang diajukan harus
tetap mengedepankan tata krama kesopanan di hadapan nara
sumber/seorang guru dan menjaga etika kesopanan tidak berlebih-
lebihan sehingga tidak mengkaburkan esensi pokok permasalahan yang
dihadapi dan menyulitkan orang yang ditanya seperti pertanyaan yang
pernah diajukan orang-orang bani Israel kepada Nabi Musa as tentang
perihal perintah pemotongan seekor sapi betina sebagaimana
dielaborasikan al-Qur’ân pada surah al-Baqarah: 2: 67.
3. Signifikansi bertanya sebagai metodologi pendidikan menurut al-Qur’ân
memberikan cerminan kondusif bagi peraihan dan pencarian sains.
Seruan-seruan al-Qur’ân terkait dengan konsepsi dunia pendidikan yang
termuat dalam beberapa ayat-ayatnya ini, dimaksudkan agar ummat
Islam senantiasa mengingat kewajiban menuntut ilmu pengetahuan
selama hidupnya tanpa mengenal pembatasan baik usia maupun
158

geografis. Implementasi nyata terhadap pesan-pesan Qur’âni sehubungan


dengan konsepsi pendidikan berupa pencarian dan penimbaan ilmu
pengetahuan melalui penerapan prinsip bertanya yang merupakan bagian
penting dari proses pendidikan dapat melahirkan kapabilitas handal
dalam disiplin ilmu, yang pada gilirannya menghasilkan ilmuwan-
ilmuwan muslim baru dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga
kejumudan dan stagnasi tidak lagi menghiasi peta-peta dunia keilmuan
di negara-negara Islam di satu sisi dan di sisi lain ummat Islam dapat
mengejar ketertinggalan dan menjadi umat terbaik dalam dimensi
keilmuan dan pengetahuan.

B. Saran-saran
1. Penulis menyarankan kepada para pembaca dan para peneliti agar
kiranya dapat mengimplementasikan konsep tuntunan al-Qur’ân dalam
perihal bertanya dengan tetap mengedepankan pertanyaan-pertanyaan
yang riil yang memang belum diketahui dan dipahami benar materi-
materi permasalahan yang dipertanyakan. Oleh karena esensi pertanyaan
yang sebenarnya haruslah bertolak dari apa yang belum diketahui,
bukan didasarkan pada motivasi lain yang tendensius seperti halnya
pertanyaan yang memiliki maksud penolakan, pencemoohan, atau
bahkan penghinaan dan cercaan yang bukan mencari suatu kebenaran.
Kondisi seperti ini bukan tradisi sikap ummat Islam melainkan kebiasaan
orang kafir quraisy dan orang-orang Yahudi. Selain saran di atas, penulis
juga menyarankan agar konsep metodologi bertanya kepada pakar-pakar
159

disiplin ilmu pengetahuan terus dikembangkan dalam dunia pendidikan


sehingga jawaban-jawaban yang diberikan dapat berperan memberikan
solusi bagi masalah-masalah yang tengah dihadapinya baik menyangkut
objek-objek ketentuan hukum, tatanan sosial, aturan ekonomi, prinsip-
prinsip moralitas, dan norma-norma kehidupan sosial dan individu yang
belum mendapatkan kajian para pakar disiplin ilmu. Jawaban-jawaban
terhadap objek-objek pertanyaan tersebut diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang progresif bagi wawasan ke-Islaman ummat Islam di
Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diajukan kepada
lembaga yang berafiliasi dengan Perguruan Tinggi terkait seperti Pusat
Kajian Qur’âni atau Institut Pemikiran Islam yang mengkaji tentang al-
Qur’ân dan tafsirnya.
2. Menyangkut signifikansi kegunaan konsep bertanya dalam al-Qur’ân,
penulis menyarankan agar etika bertanya tentang bagaimana pertanyaan
tersebut disampaikan dan jawaban diberikan tetap diupayakan
pelaksanaanya dalam dunia pendidikan sehingga memberikan nuansa
diferensi antara konsep metodologi yang Islamis dengan yang tidak
Islamis. Pendirian lembaga-lembaga kajian Qur’âni menyangkut konsep
metodologi pendidikan dan pengembangannya harus tetap diupayakan
agar dapat mengungkap hal-hal baru yang dapat memainkan peran dan
memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan.
3. Penulis menyarankan dibentuknya suatu lembaga Pendidikan Qur’ani
yang menyediakan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan
160

dedikasi tinggi dalam bidang ilmu ketafsiran demi terwujudnya


pengembangan bidang tafsir, yang ada kaitannya dengan masalah
pendidikan atau yang juga disebut Tafsir Tarbawi sehingga hasil kajian-
kajian yang dikeluarkan dapat memberikan peranan dalam
menyelesaikan problematika pendidikan yang muncul.
DAFTAR PUSTAKA

‘Abd. al-Baqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-


Qur’ân bi Hasyiyah al-Mushaf al-Syarif, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992,
Cet. ke-3
‘Abd. Rasul, Ali, al Mabadi al-Iktishodiyah fi al-Islâm, Kairo: Dâr al-Fikr
al-Arabi, 1968
Abi al-Fadhl, al-Allâmah, Syihabu al-Dîn al-Sayyid Mahmud al-Alusy al-
Baghdady, Ruh Al-Ma’âni fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm wa al-Sab’i
al-Matsâni, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994
Abi al-Fida Ismail, Imaduddin, bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Kairo: Dâr al-
Shabuni, Tth., Jilid III
-------, bin Katsir, Mukhtashar Ibnu Katsir, Kairo: Dâr al-Shabuni, Tth.,
Jilid II
Abu Ali al-Fadl, Syaikh, bin Hasan al-Tabrasi, Majma’ al-Baya, Beirut,
Libanon: Dâr al-Fikr, Tth.
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Yayasan
Suara Bumi, 1997
Al-‘Azim al-Zarqaniy, Muhammad Abd., Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-
Qur’ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Juz II
Al-Asfahaniy, al-Ragib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-
Fikr, 1392 H.
Al-Bâr, Ibn Abd, Jami al-Bayan al-Ilm, Jilid 1
Al-Farmawiy, Abd, al-Hay, al-Bidayat fi Tafsir al-Mauduiy, Mesir:
Almaktabah Jumhuriyah, 1977
Al-Hafidz, al-Imam, Imadu al-Din Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir al-Qarsy
al-Dimshaqy, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, Beirut: Dâr al-Jael, Tth., Juz
II

161
162

Ali al-Sabuni, Muhammad, Shafwat lt-Tafsir, Beirut: Dâr Kutub al-


Islamiyah, Tth., Jilid I,
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’ân, Tt, Tp, Tth.
Amidi, Ghurar al-Hikam wa Durl al-Hikam “ Teheran: Univ, Pres, Tth.,
Jilid 111
Arsyad, M. Natsir, Seputar al-Qur’ân Hadits dan Ilmu, Bandung: al-bayan,
Juli 1992
Azra, Azyumardi, Prof. Dr. dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002
Az-Zuhaeli, Wahbah, Prof. DR.al-Tafsir al-Munir fi al-Aqîdah wa al-
Syarî’ah wa al-Manhaj, Libanon, Beirut: Dâr al-Fikr, Tth., Juz I
Bagir Majlisi, Muhammad, Bihar al-Anwar, Tt., Tp., Tth., Jilid 11
Basri, Hasan, dkk., (Terj.), Metodologi Tafsir al-Quran Kajian Kritis,
Obyektif dan Komprehensif, Jakarta: Tp, 2000
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’ân: Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Departemen Agama RI., al-Qur’ân dan Terjemehannya, Jakarta: Gema
Risalah Press, 1989
Fuwal, Azizah, al-Mu’jam al-Mufashshal Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
1992
Ghuslsyani, Mahdi Dr., Filsafat-Sains Menurut al-Qur’ân, Bandung:
Mizan, November 1998
Hadisaputra, Ichsan, Anjuran al-Qur’ân dan Hadits Untuk Menuntut Ilmu
Pengetahuan dan Pengalamannya, Surabaya: al-Ikhlas, 1981
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Juz I
Ibn Katsir, Hafidz, Tafsir ibn Katsir, Cairo: Daar al-Islami, Tth., Juz ke-2
Jalaluddin al-Suyuti al-Syafi’i, al-Itqan fi Ulum al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-
Fikr, Tth.
163

Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’ân al-Adzim, Kairo: Dâr al-Fikr, 1992, Jilid 1
Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Imam Burhanuddin, al-Burhan fi
Ulum al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988, Cet. I
Munawwir,Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progressif, 2002, Cet. ke-25
Musthafa al-Maraghiy, Ahmad, Tafsir al-Maraghiy, Semarang: CV. Toha
Putra, 1985, (Terj.)
Qardawi, Yusuf, al-Qur’ân berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
Jakarta: Gema Insani, 1998
Qutb, Muhammad, dalam bukunya Dr. H. Abuddin Nata, Perspektif Islam
Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2001, Cet. ke-1
Qutb, Sayyid, fi Dilalat al-Qur’ân, Mesir: Dâr al-Kitab al-Islam, Tth. Jilid I
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 2000
Rida, Rasyid, Syeikh Muhammad, Tafsir al-Quran al-Karim al-Syahir bi al-
Tafsir al-Manar, Tt: Dâr al-Fikr, Tth., Juz 11
-------, al-Wahy al-Muhammadiy, Tt: al-Maktab al-Islamiy, Tth,
Shaleh,. Qomaruddin, KH, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul;
Latar Belakang Historis Tururunnya Ayat-ayat al-Qur’ân, Bandung:
Penerbit CV. Diponegoro, 1990
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’ân, Jakarta: Lentera Hati, 2001, Vol. III
-------, Metode Penyusunan Tafsir yang berorientasi pada Sastra dan
Kemasyarakatan, Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984
Suparta, Munzier, Drs. H. M.A, dan Harjani Hefni, Lc., Metode Dakwah,
Jakarta: Prenada Media, 2003
Syarif, M M., MA, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, Oktober 1999,
(Terj.)
164

Yayasan Penyelenggara Pentafsiran al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Tafsirnya,


Jilid 1
Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains
dan Alquran, Jakarta: Raja Garafindo Persada, 1994
Zuhaili, Wahbah, Prof. Dr., al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah
wa Mahaj, Beirut, Libanon: Dâr al-Fikr al-Muasir, Tth., Juz ke-15
BIODATA PENULIS

A. PRIBADI:
Nama : FAHIMA ABD. GANI
NIP : 150259000
Tempat/Tanggal Lahir : Ternate, 24 Oktober 1964
Pekerjaan : Dosen Tetap STAIN Ternate
Pangkat/Gol. Ruang : Penata Tk.I (III/b)
Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
Alamat Rumah : Jl. Pemuda, Kel. Toboleu, Ternate
( Maluku Utara ) Telp. (0921)3127363 / 3123371
Alamat Kantor : Jl. Dufa-Dufa Pantai, Kel. Dufa-Dufa,
Ternate (Maluku Utara) Telp. (0921) 3121426

B. KELUARGA:
Suami : Drs. Syahril Hi. Rauf
Anak : 1. M. Fadly S. Hi Rauf
2. Faris Zulkarnain S. Hi. Rauf
3. M. Shabri S. Hi. Rauf
4. Ahmad Khaidar S. Hi. Rauf

C. ORANG TUA:
Ayah : Abd. Gani Hi. Bakir
Ibu : Fatma Sula
D. RIWAYAT PENDIDIKAN:
SD : Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairaat Ternate
SLTP : Madrasah Tsanawiyah Al-Khairaat Ternate
SLTA : Madrasah Aliyah Al-Khairaat Ternate
S.1 : Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Cab. Ternate
S.2 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

E. KARYA TULIS:
1. Studi Tentang Sistem Pengembangan Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairaat di
Maluku Utara.
2. Apendidikan Formal dan Ketenaga Kerjaan Perempuan
3. Isu Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Agenda Hak Asasi Manusia
4. Konsep Al-Su’al dalam Al-Qur’an

Anda mungkin juga menyukai