Anda di halaman 1dari 224

Buku Ajar

FIQH MUAMALAH 1
Buku Ajar
FIQH
MUAMALAH
Oleh : Dr. Syaflin Halim, MA

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH i
Buku Ajar
FIQH MUAMALAH

Penulis : Dr. Syaflin Halim, MA


Kata Pengantar : DR. FREDDY HARRIS, S.H., LL.M., ACCS
Editor : Vini Wela Septiana, M.Pd.
Desain kover & layout : Sandra Putra, S.Kom (UMSB Press)

ISBN: 978-623-98999-1-2

No. Reg. Naskah UMSB Press : 31/Reg-UMSB/II/2021


Jenis buku : Buku Ajar
Ukuran : 15 x 21 cm
Ketebalan : xxvi+ 194 halaman

Cetakan ke-1, 2021


©Syaflin Halim, 2021
Penerbit: UMSB Press (Anggota APPTIMA)
Jl. Pasir Kandang No. 4, Kecamatan Koto Tangah,
Kota Padang, Sumbar
Kontak : Novia Iska Jelita (HP: 081268474598)
Alamat email : umsbpress30@gmail.com

All rights reserved


Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku ini
sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apapun juga, baik
secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman dan lain-lain
tanpa izin tertulis dari penerbit.

Buku Ajar
ii FIQH MUAMALAH
PRAKATA

Segala puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas segala


curahan nikmat dan rahmat-Nya. Salawat serta salam teruntuk buat
Nabi Muhammad SAW agar senantiasa dapat mentauladani apa yang
dipraktekkan beliau semasa hidupnya, atas tersusunnya Buku Ajar Fiqh
Muamalah.
Buku ajar ini disusun tidak terlepas dari dukungan UM Sumatera
Barat, dengan harapan buku ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa
Fakultas Agama Islam khususnya mahasiswa Prodi Hukum Keluarga
Islam dalam mata kuliah Fiqh Muamalah.
Buku ajar Fiqh Muamalah ini memberikan informasi secara
lengkap mengenai materi apa saja yang akan mereka pelajari yang
berasal dari berbagai sumber terpercaya yang berguna sebagai tambahan
wawasan mengenai bab-bab dalam fiqh muamalah. Dengan demikian
pembelajaran serta diskusi dalam perkuliahan dapat lebih mudah dan
terarah,karena buku ini dilengkapi petunjuk teknis penggunaan buku
ajar serta latihan disetiap babnya.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan UM
Sumatera Barat. Dekan Fakultas Agama Islam dan kepada semua pihak
yang telah membantu memberikan wawasan dan bimbingan dengan
terbitnya buku ajar ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa
dan pembaca yang tertarik dengan kajian Fiqh Muamalah.

Padang, April 2021

Dr. Syaflin Halim,.MA

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH iii
KATA PENGANTAR
DR. FREDDY HARRIS, S.H., LL.M., ACCS
(DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN
INTELEKTUAL, KEMENKUMHAM RI)

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,


Kepada saya dimintakan oleh editor UMSB
Press, Efri Yoni Baikoeni untuk memberikan kata
pengantar buku ini yang dihasilkan dari berbagai
kegiatan workshop penulisan buku ajar di lingkungan
dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
(UM Sumatera Barat).
Buku ajar merupakan produk intelektual dari seorang dosen
yang mengampu satu mata kuliah di perguruan tinggi. Kewajiban untuk
menghasilkan buku ajar atau buku teks ini dinyatakan secara eksplisit
dalam UU Nomor 12/2012 tentang Perguruan Tinggi dan UU No 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, serta sejumlah regulasi yang dikeluarkan
Kemenristek dan Dikti.
Saya yakin dan percaya bahwa buku ajar ini dihasilkan melalui
proses yang sangat rigit, seperti melalui “literatur review” untuk
memastikan isinya sesuai dengan tujuan pembelajaran, melalui format
penulisan buku ajar untuk memastikannya sesuai dengan standar
penerbitan yang ber-ISBN. Dengan demikian, buku ajar ini layak
digunakan sebagai pegangan bagi mahasiswa untuk mencapai capaian
pembelajaran dalam satu semester.
Sebagai Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), saya tentunya
sangat menyambut baik penerbitan buku ini karena buku ajar akan
banyak membantu mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan
tinggi. Buku ini berfungsi memandu proses pembelajaran sehingga dosen
dan mahasiswa punya pegangan akademik yang kurang lebih sama. Buku
ajar pada prinsipnya seolah-seolah menjadi pengganti dosen apabila tatap
muka tidak dapat berlangsung karena di dalamnya terdapat bab-bab untuk

Buku Ajar
iv FIQH MUAMALAH
memandu pembelajaran, maupun menggunakan referensi, tugas, atau
penelaahan tertentu bagi mahasiswa. Selain itu, buku ajar yang ditulis
dosen ini sangat membantu mahasiswa yang kesulitan mengakses buku
yang ditulis oleh pakar dari luar negeri yang menggunakan media penulisan
berbahasa asing seperti bahasa Inggris.
Budaya menulis buku ajar ini perlu terus disebar di kalangan pengajar
di perguruan tinggi karena dapat menghentikan kebiasaan fotocopy di
kalangan mahasiswa. Budaya fotocopy ini seringkali melanggar hak cipta
penulis atau pengarang.
Penulisan buku ajar ini juga memberikan banyak manfaat bagi
dosen penulis itu sendiri karena melatih dirinya supaya lebih fasih dalam
menulis karya sendiri serta mencegah plagiarism, disamping tentunya
berhak mendapatkan royalti atau keuntungan finansial.
Karena manfaatnya yang sangat besar, buku ajar ini perlu mendapat
perlindungan dari negara dengan memberikan hak atas kekayaan intelektual.
Secara singkat HaKI ini merupakan hak yang bersumber dari hasil
kegiatan intelektual manusia yang memiliki manfaat ekonomi. HaKi ini
merupakan hak eksklusif karena hanya diberikan khusus kepada orang
atau kelompok yang menciptakan karya cipta terkait. Melalui hak ini,
orang lain tidak dapat memanfaatkan secara ekonomis karya cipta milik
orang lain tanpa izin dari pencipta atau penulisnya.
Secara garis besar kekayaan intelektual terdiri atas hak cipta
(copyrights), dan kekayaan industri (industrial property) yang meliputi
paten (patent), desain industri (industrial design), merek (trademark),
desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit),
rahasia dagang (trade secret), dan perlindungan varietas tanaman (plant
variety protection). Dari berbagai jenis kekayaan intelektual tersebut,
maka jenis kekayaan intelektual yang berpeluang besar didapatkan
oleh seorang dosen melalui kegiatan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat setidaknya yaitu Hak Cipta, Paten, Merek, dan Desain
Industri.
Dalam kesempatan yang terhormat ini, saya tentunya sangat
mendorong para dosen khususnya di lingkungan UM Sumatera Barat

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH v
yang sudah berhasil menerbitkan karyanya di penerbitan tertentu
khususnya di UMSB Press untuk segera mendaftarkan HaKI di
Kementerian Hukum dan HAM RI. Melalui pendaftaran kekayaan
intelektual ini diharapkan jumlah HaKI akan terus meningkat,
khususnya paten, hak cipta, desain industri, dan merek tersebut.
Akhirnya, pada kesempatan yang terhormat ini, saya
menyampaikan ucapan selamat kepada penulis buku ini yaitu
Dr. Syaflin Halim, MA yang telah berhasil menulis buku ajar berjudul
“Fiqh Muamalah “ dan diterbitkan oleh UMSB Press.
Saya juga mengucapkan selamat kepada Tim Redaksi UMSB
Press yang telah melakukan pendampingan bagi dosen penulis
sehingga buku ajar ini dapat hadir di tengah-tengah masyarakat ilmiah
di lingkungan UM Sumatera Barat.
Saya juga diberi tahu bahwa buku ini diluncurkan sebagai
rangkaian penyelenggaraan “International Conference on Natural
Sciences, Technology, Islamic Studies, Social Sciences, and Humanity”
atau ICoNTISH yang diselenggarakan oleh UM Sumatera Barat tanggal
25 November 2021. Kegiatan ini telah berhasil mempertemukan
para peneliti, ilmuwan dari berbagai negara seperti Australia, Brunei
Darussalam, Malaysia, Jepang, selain tentunya dari Indonesia. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan selamat
atas terselenggaranya kegiatan itu dengan sukses. Semoga even ini
mencapai tujuannya yaitu mempresentasikan hasil penelitian dosen
dalam forum yang lebih luas sekaligus mempublikasikannya di
berbagai jurnal internasional serta berkontribusi positif bagi kemajuan
ilmu pengetahuan di Indonesia. Amiin.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Jakarta, November 2021

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M, ACCS.

Buku Ajar
vi FIQH MUAMALAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

Nama Mata Kuliah : Fiqh Muamalah


Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Kode MK : 21WP01104
SKS : 2 SKS
Semester : 1 (Satu)
Dosen Pembina : Dr. Syaflin Halim. MA

A. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah


1. Sikap dan Tata Nilai
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu
menunjukkan sikap religius dan bekerjasama dan memiliki
kepekaan sosial serta kepedulian terhadap masyrakat dan
lingkungan.
2. Penguasaan Pengetahuan
Menguasai konsep dasar fiqh muamalah hukum- hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia
dalam masalah maliyah (harta) dan huquq (hak) atau masalah
hak-hakkebendaan.
3. Keterampilan Umum
Mengkaji kitab fiqh-fiqh klasik secara kritis sesuai
dengan konteksnya, kemudian dikembangkan sesuai dengan
perubahan konteks yang baru.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH vii
4. Keterampilan Khusus
Merumuskan sebuah tatanan ekonomi yang di bangun
atasdasar ajaran tauhid dan prinsip-prinsip moral Islam (seperti
moral keadilan), dibatasi oleh syari’at Islam (misalnya aturan
tentang halal dan haram) dan fiqh (hukum Islam yang bersifat
furu’iyah).

B. Tujuan Pembelajaran (Kemampuan akhir yangdiharapkan)


Kemampuan akhir yang diharapkan pada setiap tahap
pembelajaran untuk memenuhi capaian pembelajaran sebagai
berikut: Mahasiswa dapat memahami konsep dasar fiqh muamalah
yang berlandaskan nilai-nilai Ilahiyah dan perbedaan utamanya
dengan prinsip dan operasional produk-produk ribawi dalam
perbankan konvensional yang hanya berasasakan keterbatasan
pemikiran manusia.
C. Deskripsi Singkat Mata Kuliah
Mata kuliah ini memberikan kemampuan kepada
mahasiswa tentang konsep dasar Islam tentang harta benda, hak-
hak kebendaan dan pendistribusiannya kepada manusia. Tumpuan
awal pembahasan ditekankan pada teori-teori dasar dalam harta,
hak, kepemilikan dan akad,jual beli, sistem jual beli salam isishna’
dan sharaf, riba, syirkah, mudhrabah, wadi’ah, hutang piutang, dan
ijarah. Sebagai salah satu cabang ilmu fiqh, prinsip asas perumusan
fiqh muamalah didasarkan pada kebolehan dan fleksibelitas
hukum, seiring dengan perkembangan dan perubagahn masyarakat
yang dinamis.

Buku Ajar
viii FIQH MUAMALAH
D. Rekontruksi Pertemuan dan Materi Kuliah Fiqh Muamalah
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
I Mahasiswa dapat 1. RPS,Silabus Ceramah Penilaian 0
memahami RPS, Fiqih dan Diskusi Sikap
Silabus Fiqh Muamalah
Muamalah dan dan Ruang
menjelaskan Lingkupnya
ruang 2. Eksistensi dan
lingkupnya serta
Fungsi Fiqh
Eksistensi dan
Fungsi Fiqh Muamalah
Muamalah dalam dalam Sistem
Sistem Ekonomi Ekonomi
Modern Modern
3. Prinsip-Prinsp
Muamalah

II Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan Menilai 5


mampu Harta dan Diskusi capaian
memahami dan Fungsi Uang pembelajar
menjelaskan 2. Pembagian an kelompok
tentang Konsep Jenis-Jenis terhadap
Harta dan Harta kemampuan
Fungsi Uang (al-
berfikir
Mal),Kedudukan
Harta dan Uang kreatif, kerja
dan Jenis-jenis kelompok,
harta dalam kemampuan
Islam komunikasi

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH ix
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
III Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan sda 5
mampu Hak Diskusi
memahami dan 2. Akibat
menjelaskan Hukum suatu
tentang Konsep Hak
Hak, Akibat 3. Pembagian
hukum suatu
jenis-jenis
Hak dan
Pembagian jenis Hak
Hak
IV Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan sda 5
mampu Hak Milik Diskusi
memahami dan
menjelaskan 2. Sebab-sebab
Pengertian Hak Kepemilikan
Milik,Sebab-
sebab 3. Macam-
Kepemilikan, macam
Macam-macam Kepemilikan
Kepemilikan,
4. Prisip umum
Prisip umum
Kepemilikan
Kepemilikan

Buku Ajar
x FIQH MUAMALAH
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
V Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dansda 5
mampu Akad Diskusi
memahami dan 2. Rukun dan
menjelaskan Syarat Akad
tentang 3. Proses Akad
Pengertian Akad, dan hak-
Proses Akad dan
hak yang
hak-hak yang
merusaknya, merusaknya
persyaratan 4. Persyaratan
Akad dan Hak Akad dan
Khiyar Konsekwensi
hukumnya
5. Pembagian
macam-macam
Akad
6. Khiyar
7. Berakhirnya
hak Khiyar
VI Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan sda 5
mampu Jual Beli Diskusi
memahami dan 2. Rukun dan
menjelaskan Syarat Jula
tentang Beli
Pengertian 3. Membatalkan
Jual Beli (al-
Jual Beli
Bai’), Rukun
dan Syarat Jual
Beli dan yang
membatalkan
Jual Beli

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xi
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
VII Mahasiswa 1. Konsep Seminar dan sda 5
mampu Sistem Jual Diskusi
memahami dan Beli Salam
menjelaskan dan Istishna’
Sistem Jual Beli 2. Syarat Akad
Salam, Istishna’ Salam dan
dan Sharaf
Istishna’
3. Konsep Sharaf
4. Syarat Akad
Sharaf
VIII Ujian Tengah 30
Semester (UTS)

IX Mahasiswa 1. Konsep Riba Seminar dan sda 5


mampu dan Dasar Diskusi
memahami dan Hukum
menjelaskan Keharamannya
tentang Konsep 2. Macam-
Riba, Macam- macam Riba.
macam Riba
3. Bunga Bank
serta Bunga
Bank

Buku Ajar
xii FIQH MUAMALAH
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
X Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan sda 5
mampu Syirkah Diskusi
memahami dan (Perserikatan)
menjelaskan dan Landasan
Pengertian Hukumnya.
Pengerian 2. Pembagian
Syirkah
Jenis dan
(Perserikatan),
Pembagian Macam-
Syirkah dan Macam
Prinsip-prinsip Syirkah
Syirkah (Perserikatan)
3. Prinsip dan
Syarat Syirkah
(Perserikatan)
4. Bentuk-Bentuk
Syirkah
(Perserikatan)
Kerjasama dan
Kemitraan

XI Mahasiswa 1. Pengertian dan Seminar dan sda 5


mampu Dasar Hukum Diskusi
memahami dan 2. Rukun Syarat
menjelaskan Mudharabah
tentang 3. Penerapan
Mudaharabah Mudharabah
serta Penerapan dalam kegiatan
Mudharabah Ekonomi
dalam kegiatan
Ekonomi

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xiii
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
XII Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan sda 5
mampu dan dasar Diskusi
memahami dan Hukum
menjelaskan Wadia’h
tentang 2. Rukun
Pengertian dan Syarat
Wadi’ah
Wadi’ah
(Titipan), Ruku
Syarat dan Sifat 3. Sifat Akad
Wadi’ah, Tatat Wadi’ah
cara penjagaan 4. Tata cara
barang dalam penjagaan
akad Wadi’ah, barang dalam
Akad Wadia’ah akad Wadi’ah
dalam perbankan 5. Wadi’ah
Syari’ah, Akad dalam
Wadia’ah pada perbankan
era kontemporer. Syari’ah
6. Akad Wadia’h
pada era
Kontemporer
XIII Mahasiswa 1. Pengertian Seminar dan sda 5
mampu Utang Diskusi
memahami dan Piutang Serta
menjelaskan Landasan
tentang Hukumnya
Pengertian 2. Syarat Utang
Qardh (Utang Piutang
Piutang), Syarat 3. Hukum
serta Hukum tentang Utang
Utang Piutang Piutang

Buku Ajar
xiv FIQH MUAMALAH
Metode Bobot
Bahan Kajian Kriteria
Ming Kemampuan Pembelajar Nilai
/ Materi Penilaian
gu Akhir yang an/ Bentuk (%)
Pembelajaran/ (Indi
ke- Diharapkan Pembelajar
Materi Ajar kator)
an
XIV Mahasiswa 1. Pengertian dan Seminar dan sda 5
mampu Syarat Hukum Diskusi
memahami dan Gadai
menjelaskan 2. Perbedaan
Pengertian Gadai gadai Syari’ah
(Rahn) dan dan Gadai
Perbedaan Gadai
Konvensional
Syari’ah dan
Konvensional
Mahasiswa 1. Pengertian 5
XV mampu dan Landasan
memahami dan Hukum Ijarah
menjelaskan (Persewaan
Pengertian Ijarah dan
(Persewaan dan perburuhan)
Perburuhan), 2. Obyekdan
Obyek dan Syarat-
Syarat-syarat Syarat Ijarah
Ijarah (Persewaan
dan
Perburuhan)
XVI Ujian Akhir 35
Semester (UAS

E. Penilaian Akhir Mata Kuliah Fiqh Muamalah


Penilaian akhir terhadap mata kuliah Hukum Administrasi
Negara diberikan kepada mahasiswa peserta dengan mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
1. Kehadiran minimal 75% dari 16 kali pertemuan tatap muka
kuliah teori, sebagai prasyarat dapat mengikuti UTS, dan UAS;

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xv
2. Penilaian dan bobot nilai dilakukan terhadap: sikap, kehadiran,
keaktifan, tugas mandiri, tugas terstruktur, (30%), Ujian
Tengah Semester (30%), dan Ujian Akhir Semester: 35%
(tentatif dengan tetap berpedoman pada panduan akademik)

F. Acuan Penilaian

Rentang Nilai Huruf Angka Kategori


85 – 100 A 4 Sempurna
80 – 84 A- 3,6 Sangat Baik
75 – 79 B+ 3,3 Baik Sekali
70 – 74 B 3 Baik
65 – 69 B- 2,6 Cukup Baik
60 – 64 C+ 2,3 Lebih Dari Cukup
55 – 59 C 2 Cukup
50 – 54 C_ 1,6 Kurang Cukup
40 – 49 D 1 Kurang
< 39 E 0 Gagal
00-00 T - Tunda

G. Kepustakaan
A. Wajib
1. Departemen Agama RI.,Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT.
Intermasa Jakarta, 2006.
2. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Huikum,
Pustaka Rizki Purtra, Jakarta, 2001.
3. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, (Terjemahan)
PT, Daba Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1996
4. A. Rahman I. Do’i, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah
(Syari’ah), (terjemahan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Buku Ajar
xvi FIQH MUAMALAH
5. KH. Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu’amalat, UII
Press, Yogyakarta, 2000
6. Nasrtun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama
Jakarta, 2000
7. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika
Jakarta, 2000
8. Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002
9. Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah (Membahas Ekonomi Islam),
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
10. Syaflin Halim, Endri Yenti, Dasar-Dasar Fiqh Muamalah
dalam Bisnis Syariah, Wade Group, 2020

B. Pilihan
Buku-buku dan artikel yang memuat masalah yang relevan dengan
matakuliah ini

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xvii
Petunjuk Teknis Penggunaan Buku Ajar

1. Buatlah kontrol diskusi seminar sebagai bukti anda telah


membuat tugas berdasarkan hasil bacaan anda terhadap materi
kuliah dalam buku ajar ini sesuai dengan format dibawah ini
2. Tulis pertanyaan anda terhadap materi kuliah yang belum anda
pahami minimal 3 pertanyaan dan maksimal 5 pertanyaan
3. Kemudian diskusikan pertanyaan tersebut dengan teman anda
dalam kelompok seminar/diskusi anda pada setiap pertemuan
baik online maupun offline yang dipimpin oleh salah seorang
anggota kelompok secara bergilir.
4. Kemudian buat pertanyaan teman anda dan ringkasan jawabannya
pada kolom yang tersedia.
5. Anggota kelompok seminar/diskusi maksimal 10 orang yang
dibagi oleh ketua kelas
6. Laporan kontrol seminar/diskusi dalam lembaran terpisah dengan
tugas dan ditempatkan pada halaman terakhit setelah halaman
tugas
Judul:..................
Kontrol Diskusi/Seminar Tgl......... Nama:...............
Nim..............

Pertanyaan terhadap materi kuliah yang belum dipahami


1.
2.
3.
4.
5.

Buku Ajar
xviii FIQH MUAMALAH
Pertanyaan Peserta Diskusi dan Jawabannya
Moderator Diskusi Nama:...............................Nim:.............................
No Nama Nim Pertanyaan Ringkasan Jawaban
1
2
3

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xix
Buku Ajar
xx FIQH MUAMALAH
Daftar Isi
Halaman Judul.................................................................................... i
Pengesahan Penerbit.......................................................................... ii
Prakata............................................................................................... iii
Petunjuk Teknis Penggunaan Buku Ajar.................................. xviii
Daftar Isi.......................................................................................... xxi
BAB I Pengantar Fiqh Muamalah..................................................1
A. Pengertian Fiqh Muamalah..........................................1
B. Eksistensi Fikih Mu’amalah dalam Sistim Syari’ah
Islamiyah......................................................................3
C. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah..................................5
D. Fungsi Fiqh Muamalah dalam Sistem Ekonomi Islam......6
E. Eksistensi Fiqh Muamalah dalam Kehidupan Ekonomi
Modern.........................................................................7
F. Rangkuman...................................................................9
G. Soal dan Latihan.........................................................10
BAB II Konsep Harta dan Fungsi Uang........................................11
A. Pengertian Harta......................................................... 11
B. Kedudukan dan Fungsi Harta.....................................13
C. Macam-macam Harta.................................................16
D. Fungsi Uang...............................................................19

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xxi
E. Rangkuman.................................................................23
F. Soal dan Latihan.........................................................23
BAB III Konsep Hak (al-Huquq)...................................................25
A. Pengertian Hak...........................................................25
B. Akibat Hukum Suatu Hak..........................................27
C. Pembagian Jenis Hak.................................................33
D. Rangkuman.................................................................38
E. Soal dan Latihan.........................................................38
BAB IV Konsep Hak Milik (al-Milkiyah)....................................41
A. Pengertian Hak Milik.................................................41
B. Sebab-sebab Kepemilikan..........................................42
C. Macam-macam Kepemilikan.....................................45
D. Prinsip Umum Kepemilikan.......................................46
E. Rangkuman.................................................................51
F. Soal dan Latihan.........................................................52
BAB V Konsep Umum Akad............................................................55
A. Pengertian Akad.........................................................55
B. Rukun dan Syarat Akad..............................................57
C. Proses Akad dan Hak-hak yang merusaknya.............61
D. Persyaratan Akad dan Konsekuensi Hukumnya.........65
E. Pembagian Macam-macam Akad...............................67
F. Khiyar.........................................................................71
G. Berakhirnya Akad.......................................................77
H. Rangkuman.................................................................79

Buku Ajar
xxii FIQH MUAMALAH
I. Soal dan Latihan.........................................................80
BAB VI Jual Beli (al-Ba’i)................................................................83
A. Pengertian Jual Beli....................................................84
B. Rukun dan Syarat Jual Beli........................................86
C. Obyek Jual Beli..........................................................91
D. Beberapa Hukum yang berkaitan dengan Mabi’ dan
Tsaman........................................................................92
E. Membatalkan Jual Beli..............................................93
F. Pembagian Macam-macam Jual Beli......................101
G. Rangkuman...............................................................102
H. Soal dan Latihan.......................................................102
BAB VII Sistem Jual Beli Salam Isthisna’ dan Sharf..................105
A. Konsep Jual Beli Salam dan Isthisna’......................105
B. Syarat Akad Salam dan Isthisna’..............................108
C. Konsep Sharf............................................................ 110
D. Syarat Akad Sharf..................................................... 111
E. Rangkuman............................................................... 112
F. Soal dan Latihan....................................................... 112
BAB VIII Riba.................................................................................115
A. Konsep Riba dan Dasar Hukum Keharamannya.......... 115
B. Macam-macam Riba................................................120
C. Bunga Bank..............................................................122
D. Rangkuman...............................................................124
E. Soal dan Latihan.......................................................125

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xxiii
BAB IX Perserikatan (al-Syirkah)...............................................127
A. Pengertian dan Landasan Hukum Syirkah...............127
B. Pembagian Jenis dan Macam Syirkah......................129
C. Prinsip dan Syarat Syirkah.......................................131
D. Kerja Sama Kemitraan.............................................133
E. Rangkuman...............................................................134
F. Soal dan Latihan.......................................................135
BAB X Mudharabah......................................................................137
A. Pengertian Mudharabah............................................137
B. Dasar Hukum Mudharabah......................................138
C. Rukun Mudharabah..................................................139
D. Syarat Mudharabah..................................................139
E. Hukum Mudharabah.................................................141
F. Macam Mudharabah.................................................141
G. Batas Kewenangan Mudharib..................................142
H. Mudharabah Paralel..................................................143
I. Hak Mudharib..........................................................144
J. Hal yang membatalkan Akad Mudharabah..............146
K. Rangkuman...............................................................148
L. Soal dan Latihan.......................................................148
BAB XI Wadi’ah.............................................................................151
A. Pengertian Wadi’ah..................................................151
B. Landasan Hukum Wadi’ah.......................................153
C. Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah.............................154

Buku Ajar
xxiv FIQH MUAMALAH
D. Jenis-jenis Wadi’ah...................................................155
E. Status dan Tata Cara Penjagaan Barang dalam Akad
Wadi’ah....................................................................156
F. Terputusnya Akad Wadi’ah......................................157
G. Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syari’ah............157
H. Akad Wadi’ah Pada Era Kontempore.......................160
I. Rangkuman...............................................................160
J. Soal dan Latihan.......................................................161
BAB XII Utang Piutang (Qardh)..................................................163
A. Pengertian Utang Piutang.........................................163
B. Syarat Utang Piutang................................................165
C. Hukum Tentang Utang Piutang................................167
D. Rangkuman...............................................................168
E. Soal dan Latihan.......................................................168
BAB XIII Gadai (al-Rahn).............................................................171
A. Pengertian Gadai......................................................171
B. Dasar Hukum Gadai.................................................173
C. Rukun Gadai.............................................................174
D. Syarat-syarat Gadai..................................................175
E. Rangkuman...............................................................176
F. Soal dan Latihan.......................................................177
BAB XIV Persewaan dan Perburuhan (Ijarah)...........................179
A. Pengertian dan Landasan Hukum Ijarah.................179
B. Obyek dan Syarat-syarat Ijarah................................181

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH xxv
C. Beberapa Masalah dalam Praktek Ijarah..................184
D. Rangkuman...............................................................186
E. Soal dan Latihan.......................................................186
DAFTAR KEPUSTAKAAN...........................................................187
RIWAYAT HIDUP PENULIS........................................................193

Buku Ajar
xxvi FIQH MUAMALAH
BAB

I
PENGANTAR FIQH MUAMALAH

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami pengertian, ruang lingkup Fiqh Muamalah
b. Menjelaskan eksistensi Fiqh Muamalah dalam Sistem Ekonomi
Modren
c. Menjelaskan prinsip-prinsip Muamalah

A. Pengertian Fiqh Muamalah


Fiqh Muamalah merupakan kalimah idhafi (kata majemuk)
terdiri dari fiqh dan muamalah. Fiqh secara bahasa adalah al-fahmu
artinya pemahaman yang mendalam. Secara istilah fiqh adalah:
Ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum yang bersifat amaliah
yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.1

Sedangkan kata muamalah berasal dari bahasa Arab mu’amalah


yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling
berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi
1 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid I,
h. 16

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 1
kebutuhan masing-masing,2 seperti jual beli, utang piutang, kerja sama
dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah dan sewa
menyewa. Sedangkan muamalah secara istilah adalah:
Hukum-hukum yang mengatur tentang hubungan manusia
dengan sesamanya dalam masalah keduniwian.3

Ini merupakan pengertian muamalah dalam arti luas, cakupan


muamalah dalam pengertian ini meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia di dunia meliputi persoalan bisnis, keluarga, politik dan
kenegaraan, perdata maupun pidana. Sedangkan pengertian muamalah
dalam arti khusus adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia dalam masalah maliyah dan huquq
atau masalah hak-hak kebendaan4.
Sesuai dengan pengertian muamalah dalam arti luas di atas
maka cakupan muamalah sangat luas meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia di dunia seperti persoalan bisnis, keluarga, politik dan
kenegaraan, perdata maupun pidana. Ini berarti muamalah dalam
kajian ilmu fiqh sangan erat hubungan dengan fiqh-fiqh lain. Hubungan
manusia dengan sesama manusia dalam masalah bisnis dan perdagangan
dibahas dalam Fiqh Muamalah. Hubungan manusia dengan manusia
dalam masalah hidup berumah tangga dibahas dalam Fiqh Munakahat
dan hubungan manusia dalam masalah harta warisan dibahas dalam
Fiqh Mawaris. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia tentang
sangsi dan hukuman bila terjadi pelanggaran dibahas dalam Fqh Jinayah
serta hubungan manusia dengan manusia tentang hidup berbangsa dan
bernegara dibahas dalam Fiqh Siyasah.5

2 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. vii
3 Abd as-Satar Fathullah Sa’id, Al-Muamalat Fi al-Islam, (Makkah al-
Mukarramah:Rabithah Alam al-Islami-Iradah al-Kitab al-Islami, t, th), h. 12
4 T.M.Hasbii Ashiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), h.3
5 Rozalinda, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah, (Padang: Hayfa
Press, 2005), h. 3

Buku Ajar
2 FIQH MUAMALAH
B. Eksistensi Fikih Mu’amalah dalam Sistim Syari’ah Islamiyah
Setiap aktivitas manusia yang dilaksanakan sesuai dengan ajaran
Islam berinilai ibadah sebagai pengabdian kepada Allah SWT. yang
diberikan nilai manfaat dan berkat oleh Allah SWT untuk kehidupan
yang hasanah (kehidupan yang baik dan mulia serta bahagia) di dunia,
serta diberikan nilai pahala oleh Allah SWT. untuk kehidupan yang
hasanah (kehidupan yang hahagia) di akhirat. Ibadah dalam ajaran
Islam secara garis besar terbagi kepada dua bidang, yaitu:
1. Pertama bidang ibadah Mahdha (ibadah khusus sebagai ibadah
hablum-minallah) yang tergabung dalam rukun Islam.
2. Kedua IbadahMu’amalah (badah umum sebagai ibadah hablum-
minannafsi, hablum-minannas, dan hablum-minal‘alamin).
Keberadaan mu’amalah dalam sistem kerangka ajaran Islam, dapat
dilihat dalam bagan Ruang Lingkup ajaran Islam sebagai berikut:

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 3
RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM
2.
1. Iman kepada Malaikat
Allah I 2.
1. Shalat
Syahadatain
‘Aqidah
3. Iman kepada Kitabullah b 3. Zakat
Islamiyah
4. Iman kepada Rasulullah a 4. Puasa
1 a
d
5. Iman kepada hari akhirat yang 5. Haji
ditetapkan Allah a
D h
6. Iman kepada qadha yang telah 1.Sosial
I I
ditetapkan Allah dan Qadar
b 2. Ekonomi
N yang ditentukan Allah pada a
setiap akhir ikhtiar manusia K
d 4. Hukum
U ha
Syari’ah Islamiyah . h
L 3. Politik
u
M
I 7.Pendidikan
5
Akhlak terhadap Khaliq (Allah)
us 6. Filsafat
IPTEK
1) a
S u 8. Olah raga
m
L Nilai sikap/tingkah laku a 9. Seni
Akhlak dari pelaksanaan Aqidah sl
A syari’ah Islamiyah a
Islamiy 11. Pergaulan
h
ah
M
Membentuk: Akhlak terhadap makhluk 10. Pakaian

12.Makanan/

minuman
Akhlak terhadap manusia 13. Perumahan
a b
Akhlak terhadap bukan manusia
Ayah/ibu,diri sendiri,
saudara, karib/kerabat,
(1)
keluarga,jiran, (
Makhluk Makhluk fisika:
sesama,lawan metafisika
jenis,pergaulan, (makhluk) (Makhluk nyata):
berpakaian, gaib:
makan/minuman, Malaikat, jin Bumi dan langit
bermasysrakat, dan dan beserta makhluk
23 iblis
bernegara. yang berada di
dalam dan di
atasnya

Buku Ajar
4 FIQH MUAMALAH
C. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
Sebagaimana telah dikemuakan di atas fiqh muamalah diartikan
sebagai bagian hukum Islam yang mengatur hubungan keperdataan
antar manusia, maka etiap dapatlah dikatakan bahwa fiqh muamalah
lebih mudah dipahami sebagai hukum perdata Islam. Namun
dibandingkan dengan istilah “Hukum Perdata” yang berlaku dalam
disiplin ilmu hukum umum, fiqh muamalah lebih sempit. Dalam hal
ini ruang lingkup fiqh muamalah secara garis besarnya hanya meliputi
pembahasan tentang al-mal (harta), al-huquq (hak-hak kebendaan), dan
hukum perikatan (al-aqad).
Berikut ini adalah pembahasan secara global tentang ruang
lingkup fiqh muamalah:6
1. Bagian pertama: Hukum Benda
Ruang lingkup ini terdiri dari tiga pokok pembahasan masing-
masing dalam satu bab:
Pertama, konsep harta (al-mal), meliputi pembahasan tentang
pengertian harta, unsur-unsurnya dan pembagian jenis-jenis harta.
Kedua, konsep hak (al-huquq), meliputi pebahasan tentang pengertian
hak, sumber hak, perlindungan dan pembatasan hak,dan pembagian
jenis-jenis hak.
Ketiga, konsep tentang hak milik (al-milkiyah), meliputi pembahasan
tentang pengertian hak milik, sumber-sumber pemilikan dan pembagian
macam-macam hak milik.
2. Bagian Kedua: Konsep Umum Akad
Ruang lingkup ini membahas konsep umum akad, sedangkan
aneka jenis akad khusus akan disampaikan pada bagian ketiga. Konsep
Umum Akad ini membahas:
a. Pengertian akad dan tasharruf

6 Ghufron A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h.4

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 5
b. Unsur-unsur akad dan syarat masing-masing unsur akad
c. Macam-macam akad

3. Bagian Ketiga: Aneka Macam Akad Khusus


Ruang lungkup pembahasan ini meliputi berbagai macam akad
(transaksi) muamalah seperti: jual beli (al-bai’), sewa menyewa (al-
ijarah), utang piutang (al-qard), penanggungan (al-kafalah), gadai
(rahn), bagi hasil (muhdarabah), persekutuan (musyarakah), pinjam
meminjam (al-ariyah), penitipan (al-wadi’ah), dan lain sebaginya.

D. Fungsi Fiqh Muamalah dalam Sistem Ekonomi Islam


Ekonomi pada umunya didefinisikan sebagai pengetahuan tentang
prilaku manusia dalam hubugannya dengan pemanfaatan sumber-
sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang atau
jasa serta mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi7. Dengan
demikian obyek kajian ekonomi adalah perbuatan atau prilaku manusia
yang berkaitan dengan fungsi produksi, distribusi dan konsumsi.
Agama baik Islam maupun non Islam, pada esensinya merupakan
panduan tersebut pada garis besarnya bertumpu pada ajaran akidah,
aturan hukum (syari’ah) dan budi pekerti luhur (ahklakul karimah)
Tampaklah bahwa antara agama (Islam) dan ekonomi terdapat
ketersinggungan obyek. Dalam kaitan antara keduanya, Islam berperan
sebagai panduan moral terhadap fungsi produksi, distribusi dan
konsumsi. Sejauh manakah signifikan (makna) Islam bagi kehidupan
keseharian manusia (termasuk kehidupan ekonomi)? Pertanyaan seperti
ini sama kedudukannya dengan mempertanyakan signifikansi moral
dalam kehidupan manusia. Justru “moral” inilah yang membedakan
kehidupan manusia dengan makhluk lainnya di muka bumi ini.

7 Monzer Kahf, Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap fungsi-fungsi Ekonomi Islam,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h 2

Buku Ajar
6 FIQH MUAMALAH
Dengan demikian, secara normatif ekonomi Islam adalah sebuah
sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan tuntunan ajaran Islam.
Kontruksi (rancang bangun) ekonomi Islam adalah sebuah tatanan
ekonomi yang di bangun atas dasar ajaran tauhid dan prinsip-prinsip
moral Islam (seperti moral keadilan), dibatasi oleh syari’at Islam
(misalnya aturan tentang halal dan haram) dan fiqh (hukum Islam yang
bersifat furu’iyah).
Jadi, fiqh muamalah yang ruang lingkupnya meliputi hukum
benda (al-mal wal milkiyah) dan hukum perikatan (al-aqad) dalam
konstruksi sistem ekonomi Islam hanya berperan sebagai instrumen
teknis. Artinya ekonomi Islam pada satu sisi dibatasi oleh aturan-aturan
teknis yang terdapat dalam fiqh muamalah.Namun ini bukan satu-
satunya batasan. Prinsip moral (nilai-nilai ideal) dan syari’at Islam lebih
banyak berpengaruh terhadap sistem ekonomi Islam dibandingkan fiqh
muamalah.
Pada sisi lainnya, perkembangan sistem ekonomi Islam yang
dihasilkan dari kajian prilaku ekonomi masyarakat muslim, turut
mempengaruhi instrument hukum teknis (yaitu fiqh muamalah), sebab
fiqh muamalah mampu menerima perkembangan kehidupan. Sekalipun
antara keduanya, fiqh muamalah dan ekonomi Islam, saling berkait,
namun sesungguhnya keduanya adalah dua hal yang berbeda.

E. Eksisitensi Fiqh Muamalah dalam Kehidupan Ekonomi Modern


Pembaruan dan modernism mulai berkembang secara pesat di
dunia Islam semenjak abad ke-20 M. Karena negeri-negeri muslim
sebagian besar meraih kedaulatan politik antara pertengahan abad
ini, sekitar tahun 1945 dan 1965. Periode pasca kemerdekaan negara-
negara Islam ditandai dengan beberapa situasi baru yang sebagian
merupakan konsekuensi logis dari modernisasi periode sebelumnya.
Kemerdekaan dan kedaulatan politik sendiri sesungguhnya mengandug
makna perubahan yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara
dan bermasyarakat. Sehingga dalam jangka waktu dekat, periode pasca

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 7
kemerdekaan ini telah menghasilkan perubahan-perubahan besar,
khususnya dalam bidang teknologi dan ekonomi.
Program pembangunan pada umumnya lebih ditujukan sebagai
pembangunan dan pengembangan (ekspansi) ekonomi dan alih
teknologi. Ini merupakan sumber berkembangnya gejala perubahan
sosial yang baru. Globalisasi zaman dalam wujud interaksi sosial
budaya antar bangsa-bangsa semakin mempercepat laju perubahan
sosial. Di Negara-negara Islam, termasuk Indonesia, perubahan sosial
budaya akibat pembangunan selain menimbulkan kesenjangan antara
nilai lama dengan nilai baru juga memunculkan persoalan bagi hukum
Islam (fiqh).
Perubahan sosial tersebut dapat diilustrasikan dengan perubahan
desa menjadi kota, perubahan masyarakat ekonomi agraris menjadi
ekonomi industri dan perdagangan, perubahan pola kehidupan gotong
royong menjadi kehidupan invidualis, dan lain sebagainya. Perubahan-
perubahan ini tentunya mempengaruhi cara pandang (sikap mental) dan
prilaku masyarakat terhadap “harta” dan “teknis bertransaksi”, misalnya
konsep harta dalam masyarakat agraris tentu berbeda dengan konsep
harta yang berkembang dalam masyarakat industri dan perdagangan.
Dalam masyarakat industri dan perdagangan harta berfungsi
sebagai modal dan komoditas, sedangkan dalam masyarakat agraris
harta berfungsi sebatas untuk memenuhi hajat hidup. Sampah dan
kotoran binatang ternak pada masyarakat tertentu tidak di pandang
sebagai harta, namun sekarang keduanya nyata-nyata menjadi sumber
penghasilan bagi segolongan manusia, teknis bertransaksi juga
mengalami perubahan kearah yang lebih praktis dibandingkan dengan
aturan-aturan normativ yang terdapat dalam fiqh muamalah.
Tampaklah di sini perlunya pembahasan secara kritis terhadap
aturan-aturan fiqh muamalah. Pengajaran fiqh muamalah tidak
cukup secara apriori bersandar (merujuk) teks kitab-kitab fiqh klasik,
melainkan teks fiqh-fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis
sesuai dengan konteksnya, kemudian dikembangkan sesuai dengan

Buku Ajar
8 FIQH MUAMALAH
perubahan konteks yang baru.
Sesungguhnya sumber syari’at Islam (al-Qur’an dan Hadis)
tidak mengatur prilaku ekonomi kecuali hal-hal yang bersifat
prinsip. Rumusan fiqh muamalah yang sangat lengkap dan mendetail
sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh, sesungguhnya sebagian
besar merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu dalam upaya mereka
merumuskan ajaran-ajaran prinsip tersebut. Tentunya formulasi fiqh
mereka dipengaruhi atau setidaknya diwarnai kondisi sosial ekonomi
yang ada.
Dalam kondisi sekarang ini, kalangan sarjana (ulama) Islam
dituntut merumuskan kembali ajaran prinsip-prinsip Islam dalam
konteks sosial ekonomi modern.

F. Rangkuman
Setiap aktivitas manusia yang dilaksanakan sesuai dengan ajaran
Islam berinilai ibadah sebagai pengabdian kepada Allah SWT. yang
diberikan nilai manfaat dan berkat oleh Allah SWT untuk kehidupan
yang hasanah (kehidupan yang baik dan mulia serta bahagia) di
dunia, serta diberikan nilai pahala oleh Allah SWT untuk kehidupan
yang hasanah (kehidupan yang bahagia) diakhirat. Pada sisi lainnya,
perkembangan sistem ekonomi Islam yang dihasilkan dari kajian
prilaku ekonomi masyarakat muslim, turut mempengaruhi instrument
hukum teknis (yaitu fiqh muamalah), sebab fiqh muamalah mampu
menerima perkembangan kehidupan. Sekalipun antara keduanya, fiqh
muamalah dan ekonomi Islam, saling berkait, namun sesungguhnya
keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 9
G. Tugas dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang materi
yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian Fiqh Muamalah dalam arti luas dan khusus?
2. Jelaskan cakupan Fiqh Muamalah meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia di dunia?
3. Jelaskan Ibadah dalam ajaran Islam secara garis besar terbagi ke
dalam duabidang ?
4. Jelaskan Keberadaan mu‟amalah dalam sistem kerangka ajaran
Islam, dapat dilihat dalam bagan Ruang Lingkup ajaranIslam ?
5. Jelaskan ruang lingkup fiqh muamalah secara garis besarnya
meliputi pembahasan tentangal-mal(harta), al-huquq (hak-hak
kebendaan), dan hukum perikatan (al-aqad) ?
6. Jelaskan sejauh manakah signifikan (makna) Islam bagi kehidupan
keseharian manusia (termasuk kehidupanekonomi ?
7. Jelaskan perkembangan sistem ekonomi Islam yang dihasilkan dari
kajian prilaku ekonomi masyarakat muslim?
8. Jelaskan eksistensi Fiqh Muamalah dalam ekonomi modren?
9. Jelaskan sumber berkembangnya gejala perubahan sosial dalam
pembangunan dan pengemabangan ekonnomi?
10. Jelaskan pormulasi fiqh muamalah yang tepat dalam menjawab
pengaruh dan warna oleh kondisi sosial?

Buku Ajar
10 FIQH MUAMALAH
BAB

II
KONSEP HARTA DAN FUNGSI UANG

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami tentang konsep harta dan fungsi uang (al-Mal) dalam
Islam
b. Menjelaskan kedudukan harta dan fungsi uang dalam Islam
c. Menjelaskan macam-macam harta dalam Islam

A. Pengertian Harta
Dalam kitab-kitab fiqh untuk menunjukkan harta digunakan
istilah al-mal yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara bahasa
al-mal (harta) berarti condong atau berpaling dari satu posisi ke posisi
yang lainnya. Pengertian ini sangat sesuai dengan naluri manusia yang
selalu punya keinginan untuk mengumpulkan harta, baik dalam bentuk
materi maupun dalam bentuk manfaat.
Menurut Wahbah al-Zuhaily penegertian harta menurut bahasa yaitu:
Segala sesuatu yang disimpan dan dikumpulkan manusia dengan
perbuatan baik berupa zat maupun manfaat sesuatu,8 seperti
emas,hewan,tumbuh-tumbuhan dan manfaat sesuatu

8 Wahbah al-Zuhaily, op cit., h 40

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 11
Dalam mendefinisikan harta dikalangan para ulama terjadi
perbedaan, menurut golongan Hanafiyah harta adalah:
Segala sesuatu yang memungkinkan pemeliharaan dan
pemanfaatannya menurut kebiasaan.9

Berdasarkan definisi ini maka yang dikatakan dengan hata adalah


yang memenuhi unsur:10
1. Dapat dipelihara dan disimpan, maka sesuatu yang tidak dapat
disimpan, misalnya yang bersifat abstrak seperti ilmu, kesehatan,
kemuliaan, dan kesucian tidak dinamakan harta.
2. Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan. Maka segala sesuatu yang
tidak dapat dimanfaatkan menurut asalnya seperti bangkai, makanan
basi tidak dapat dinamakan harta. Namun definisi ini dipandang
sempit karena cakupan terbatas. Karena suatu karya seni ataupun
karya ilmiah begitu juga manfaat dari sesuatu seperti hak manfaat
tidak dapat diwariskan karena tidak bernilai harta.
Sedangkan dikalangan jumhur fuqaha selain Hanafiyah
mendefenisikan harta dengan:
Segala sesuatu yang mempunyai nilai yang mengharuskan
mengganti bagi yang menghilangkannya.11

Defenisi ini dipandang sebagai defenisi yang luas maknanya dan


definisi inilah yang dimasukkan dalam undang-undang. Dari uraian
di atas maka yang dimaksud dengan harta (al-mal) adalah segala
sesuatu yang bernilai atau bermanfaat dimana manusia cendrung untuk
mengumpulkannya, memeliharanya, dapat dimanfaatkan pada waktu
yang dibutuhkan.
9 Ibid
10 Rozlinda, op cit, h. 34
11 Op cit, h. 42

Buku Ajar
12 FIQH MUAMALAH
Dengan demikian ada empat unsur yang bisa dikatakan harta:
1. Bernilai, sesuatu yang bernilai dan mendatangkan nilai materi
dapat dikatakan harta seperti manfaat sesuatu, hak cipta.
2. Dapat disimpan (dipelihara), sesuatu yang dapat dikumpulkan dan
disimpan serta dapat dihadirkan ketika dibutuhkan dinamakan
harta seperti kayu, beras dan lain-lain.
3. Bermanfaat, segala ssuatu yang bisa dimanfaatkan seperti rumah.
4. Manusia cendrung kepadanya, sesuatu yang tidak disukai oleh
manusia menurut kebiasaan seperti hama tidak dinamakan
harta.

B. Kedudukan dan Fungsi Harta


Harta dalam pandangan Islam menempati kedudukan yang
sangat penting. Islam menempatkan harta sebagai salah satu dari lima
kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang harus dipelihara (ad-
dharuriyah al-khamsah). Ad-dharuriyah al-Khamsah secara berurutan
meliputi memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta12. Meskipun
harta menempati urutan kelima dari seluruh aspek ad-dhaririyah al-
khamsah ini, namun harta adalah sesuatu yang sangat urgen dalam
pemeliharaan keempat aspek lainnya. Misalnya melaksanakan shalat
sebagai bentuk perwujudan dalam pemeliharaan agama membutuhkan
pakaian untuk menutup aurat, untuk memelihara jiwa, manusia
membutuhkan makan dan minumm, semua itu didapatkan dengan
harta. Memelihara keturunan dengan melaksanakan pernikahan itupun
dicapai dengan harta, memelihara akal diantaranya dengan menuntut
ilmu adalah dengan harta. Jadi harta merupakan sesuatu yang sangat
fital dalam kehidupan manusia.

12 Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t,t),
Jilid II, h. 8

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 13
Dalam pandangan Islam, harta bukanlah menjadi tujuan yang
esensial dalam manusia, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan hidup dan ridha Allah ataupun untuk kebaikan pribadi dan
masyarakat banyak.13 Dengan demikian jelaslah bahwa harta dalam
pandangan Islam adalah sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan
perhiasan hidup serta sendi kesejahteraan dan kemaslahatan hidup
manusia. Sesuai dengan QS.18:46
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi hanyalah amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.14

Harta merupakan nikmat dari Allah yang dengannya ia menguji


pemiliknya, apakah bersyukur ataukah kufur. Allah menyebut harta
sebagai ‘Fitnah” yaitu ujian dan cobaan.15 Dalam QS 8: 28 Allah
berfirman:
Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu hanyalah
sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang
besar.

Dalam masalah ini Rasulpun mengingatkan bahwa fitnah di dunia


yang paling besar adalah fitnah harta yang menjadikan sebahagian
besar manusia terlalu mencintai dan loba terhadapnya, dan harta dapat
menjadikan mereka bisu dan buta terhadap kebaikan. Sebagimana
Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya setiap umat itu ada fitnah dan fitnah umatku
adalah harta (HR.Turmuzi)

13 Rozalinda, Ekonomi Islam Perspektif Yusuf al-Qardhawi, (Padang: Baitul Hikmah,


2003), h. 10
14 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Gema Risalah Press,
1989), h. 450
15 Op cit, h. 111

Buku Ajar
14 FIQH MUAMALAH
Ini berarti harta dalam pandangan Islam merupakan ujian dari
Tuhan kepada manusia baik ketika manusia itu dilapangkan rezekinya
atau disempitkan, bukan pemuliaan atau penghinaan terhadap manusia.
Atas dasar itulah Islam mengajarkan kepada pemiliknya bahwa harta
bukan segala-galanya dalam hidup ini. Tapi nilai-nilai yang tinggi
berupa nilai spiritual, keimanan, amal saleh dan akhlak al-karimah
itulah warisan yang tidak pernah habis, kekayaan yang tidak akan pernah
punah dan tidak akan hancur dengan pergantian masa. Hal ini telah
dijelaskan Allah dalam QS. 18:46. Dengan kata lain, nilai keutamaan
seseorang bukan karena harta yang dimiliki ataupun pengaruh dan
kekuasaannya. Tetapi keutamaan seseorang terletak pada hati dan
ketakwaannya kepada Alllah, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
Sesungguhnya Alllah tidak melihat kepada rupa dan hartamu
tetapi melihat kepada hati dan amalmu.(HR.Muslim).16

Harta dalam pandangan Islam pada hakikatya adalah milik


Allah, sedangkan manusia hanyalah diserahi tugas memegang amanah
untuk mengelolanya, ia hanya mengurus serta memanfaatknnya untuk
kepentingan dan kelangsungan hidup dan kehidupannya di muka bumi
QS.53:31 Allah berfirman:
Dan milik Allahlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi
Ini berarti hak manusia atas harta benda yang dimilikinya terbatas
pada hak pemanfaatan dan pengurusan sesuai dengan ketentuan yang
telah digariskan Allah, pemilik mutlak alam semesta.

16 Imam Abu Zakaria Yahya ibn an-Nawawi, Riyad as-Shalihin, (Jakarta: CV. H. Mas
Agung, 1980), H. 6

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 15
C. Macam-macam Harta
Ada beberapa kategori harta menurut fuqaha dengan ketetapan
hukum yang berbeda, yaitu:
1. Dilihat dari segi kebolehan atau tidaknya memanfaatkan yaitu:
a. Mal mutaqawwim (benda yang boleh dimanfaatkan)
adalah: segala sesuatu yang dibolehkan oleh syara’ untuk
dimanfaatkan seperti jenis benda bergerak dan tidak bergerak,
makanan dan sebagainya).
b. Mal ghairu mutaqawwim (benda yang tidak boleh
dimanfaatkan) adalah: sesuatu yang tidak dibolehkan oleh
syara’ untuk dimanfaatkan kecuali dalam kondisi darurat
seperti, khamar, daging babi.17
Pembagian harta jenis ini menimbulkan beberapa ketentuan
hukumnya, yaitu:
a. Sah atau tidaknya akad terhadap harta tersebut, Mal
mutaqawwim sah terhadap semua akad seperti jual beli, hibah
dan sebaginya, sedangkan terhadap mal ghairu mutaqawwim,
akad apapun yang dilakukan menjadi tidak sah, seperti jual
beli khamar atau minuman keras lainnya.
b. Penggantian. Apabila seseorang menghilangkan mal
mutaqawwim milik orang lain, maka ia wajib mengganti
dengan yang sama atau yang senilai, adapun terhadap mal
ghairu mutaqawwim tidak ada penggantian bila dimusnahkan,
misalnya petugas polisi memusnahkan minuman keras atau
vcd porno, maka tidak wajib diganti harganya.
2. Dilihat dari segi tetap atau tidaknya benda pada tempatnya, yaitu:
a. Al-‘Iqar (Benda tak bergerak) adalah: benda yang tetap yang
tidak mungkin menurut asalnya dilakukan perubahan dari satu
tempat ke tempat yang lain seperti rumah atau tanah.

17 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 44

Buku Ajar
16 FIQH MUAMALAH
b. Al-Manqul (Benda bergerak) adalah: sesuatu yang dapat
dipindahkan dan dibawa dari suatu tempat ke tempat lain
seperti pakaian, buku, kendaraan dan lain sebagainya.18
Perbedaan benda bergerak dan tak bergerak dalam kajian fiqh
memunculkan berbagai implikasi hukum yaitu:
a. Syuf’ah
Terhadap benda tak bergerak berlaku hak suf’ah,19 namun hak
ini tidak berlaku terhadap benda bergerak, begitu juga dengan
bai’ al-wafa.20 hanya berlaku untuk benda tak bergerak dan
tidak dapat dilakukan terhadap benda bergerak.
b. Wakaf
Menurut golongan Hanafiyah, wakaf hanya sah dilakukan
terhadap benda tak bergerak seperti tanah, tetapi menurut junhur
ulama selain Hanafiyah, wakaf dapat dilakukan terhadap benda
bergerak dan tak bergerak.
c. Wali anak yatim tidak boleh menjual benda tak bergerak milik
anak yatim yang berada di bawah perwaliannya tanpa seizin
hakim kecuali untuk hal-hal yang mendesak misalnya untuk
melunasi hutang orang tua anak yatim tersebut, tetapi terhadap
benda bergerak seorang wali dapat menjualnya untuk memenuhi
kebutuhan anak yatim, tanpaharus minta izin kepada hakim.
3. Dilihat dara segi ada atau tidaknya harta sejenis dipasaran, yaitu:
1. Mal mitsli yaitu: benda yang mempunyai persamaan dan
perbandingannya di pasar.
Mal Mitsly ada empat macam:

18 ,Ibid, h.46
19 Hak syuf ’ah adalah hak istimewa yang dimilki oleh seseorng tetangga untuk ditawarkan
terlebih dahulu dalm jual beli benda tak bergerak seperti rumah, tanah.
20 Bai’ al wafa’ adalah jual beli yang dlakukan yang diiringi dengan syarat bahwa barang
yang dijual dapat dibeli kembali oleh penjual apabila batas waktunya suda tiba.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 17
a. Makilat (benda-benda yang ditakar) seperti gandum, beras
dan sebaginya
b. Muzunat (benda-benda yang ditimbang) seperti kapas, besi,
dan sebaginya.
c. Addiyat (benda-benda yang dihitung) seperti buah pala, telur
dan sebagainya.
d. Zar’iyat (benda-benda yang diukur dengan hasta atau meter)
seperti kain.
2. Mal qimi, yaitu: benda yang tidak mempunyai bandingan atau
persamaan di pasar atau mempunyai persamaan tapi sulit
diperhitungkan antara kesatuannya dalam penentuan harga.21
Seperti, satu per satu dari hewan, tanah dan pepohonan, satuan
alat rumah tangga.
Pembagian jenis benda dari segimal mitsli dengan mal qimi ini
mempunyai akibat hukum yaitu:
a. Apabila seseorang merusak mal mistli, maka ia wajib mengganti
dengan yang sejenis, tetapi apabila yang dirusak adalah mal qimi,
maka ia boleh mengganti nilainya saja.
b. Mal qimi tidak memunculkan riba karena jenis satuannyatidak
sama sehingga boleh melakukan jual beli seekor sapi dengan dua
ekor kambing. Sedangkan mal mistli memunculkan riba dalam
transaksinya karena mal ini bendanya sejenis, seperti dalam jual beli
satu gantang beras kualitas baik dengan satu gantang beras kualitas
kurang baik.
4. Dilihat di segi tetap atau tidak tetapnya zat benda dengan pemakaian,
yaitu:
a. Benda habis pakai (mal-istihlaki) adalah: sesuatu yang
tidak dapat dimanfaatkan melainkan dengan menghabiskan
zatnya, misalnya makanan dan minuman dan sebaginya.
Disebut dengan mal istihlaki karena benda ini hanya bisa
21 Ibid, h.49

Buku Ajar
18 FIQH MUAMALAH
dimanfaatkan sekali pakai saja, bila telah dimanfaatkan maka
benda ini akan habis. Mal istihlaky terbagi dua:
1. Istihlaky haqiqi, merupakan benda yang habis secara nyata
bila dipakai seperti gula, minyak dan lain sebaginya.
2. Istihlaky majazi, dari segi hukum benda tersebut habis bila
dipakai tapi pada dasarnya benda tersebut masih utuh,
misalnya uang kalau dibelanjakan habis jumlahnya tapi
pada dasarnya materi uang tersebut masih utuh.
b. Benda tidak habis dipakai mal ist’maly adalah: Benda yang
tetap zatnya dengan pemanfaatan. Mal ist’imaly tidak habis atau
binasa dengan pemakaian tetapi dapat dipakai lama menurut
tabiatnya masing-masing seperti tanah, tempat tidur, pakaian dan
sebagainya.

D. Fungsi Uang
Dalam Hukum Islam fungsi uang sebagai alat tukar menukar
diterima secara meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena
fungsi uang ini dirasakan dapat menghindarkan kecendrungan
ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Sebagai alat
tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil. Hal serupa
tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali
mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut berkurang. Oleh
karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yaitu riba fadhal.
Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang
berkembang sekarang ini fungsi uang bukan hanya diakui sebagai
alat tukar, tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup
yang bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai
komoditas, uang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang
dapat dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan
(laba). Sedangkan dalam fungsinya sebagai modal (capital) uang dapat
menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 19
maupun menghasilkan jasa. Lembaga keuangan seperti pasar modal,
bursa efek, dan perbankan konvensional yang berkembang sekarang
ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah berkembang
sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya sebagai
alat tukar.
Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang
diterima secara bulat, fungsi uang sebagi komoditas dan modal masih
diperselisihkan. Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang
sebagai komoditas dan sebagai modal.22
Penolakan fungsi uang sebagi komoditas dan sebagai modal
mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun
sistem ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang
menyangkalnya dipandang sebagi prinsip yang membedakan antara
sitem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non Islam (konvensional).
Atas dasar prinsip ini mereka menjatuhkan keharaman setiap perputaran
(transaksi) uang yang disertai keuntungan(laba atau bunga) sebagai
praktek riba. Prinsip inilah yang pada ujung-ujungnya menjadi dasar
pembentukan lembaga keaungan bebas bunga dengan dua produk
unggulan, yakni mudharabah23 dan bai’ al-murabahah. 24
Rujukan (hujjah) penolakan tersebut yang paling kuat terdapat
pada konsep-konsep akad khusus. Menurut fiqh muamalah suatu akad
dipandang sah selain bergatung kepada aturan teknis (syarat rukun)
juga bergantung pada obyeknya. Maksudnya setiap akad menghendaki
22 Abdul Manan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek,(Yogyakarta: Dhana Bhakti, 1993),
h. 163
23 Mudharabah secara bahasa berasal dari kata dharb artinya “memulul” atau
melangkahkan kaki dalm melakukan suatu usaha di muka bumi. Secara terminologis mudharabah
berarti akad kerja sama antara dua pihak, pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh
modal dan pihak lain (mudharib) sebagai pengelola modal, di mana keuntungan dibagi berrsama
sesuai prosentasi yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Baca
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Intelektual,(Jakarta: Tazkiah
Institut, 1999), h. 171
24 Bai’ al-murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga pokok dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al murabahah pihak penjual harus memberitahu secara
transparan harga barang dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan harga. Ibid, h.
121.

Buku Ajar
20 FIQH MUAMALAH
obyek tertentu. Sebagai ilustrasi mengenai hal ini, misalnya dalam
konsep jual beli (bai’). Obyek akadnya haruslah berupa benda
(‘ain) yang bermanfaat ketika uang tidak dipandang sebagai benda
yang tidak manfaat natural, maka uang tidak dapat diperjual belikan
(diperdagangkan). Dari sinilah diambil kesimpulan secara sederhana
bahwa uang tidak berfungsi sebagai komoditas.
Dalam konsep sewa menyewa (ijarah) selain berlaku aturan jual
beli sebagaimana di atas, juga terdapat aturan bahwa obyek sewa adalah
harta yang bersifat isti’mali (dapat dipakai berkali-kali tanpa merusak
atau mengurangi nilainya). Dalam hal ini uang dipandang sebagai harta
yang bersifat istihlaki (pemakaian atas menimbulkan kerusakan atau
berkurang nilainya). Dari konsep inilah disimpulkan secara sederhana
bahwa uang tdak berfungsi sebagai modal yang dapat menghasilkan
jasa.
Contoh lain, misalnya dalam konsep utang piutang (qard) yang
merupakan satu-satunya akad yang terbuka bagi uang dalam menjadi
objek transaksi. Namun hal ini dibatasi persyaratan “tidak mengambil
keuntungan atasnya”. Bahwa setiap keuntungan yang dikaitkan degan
transaksi utang piutang dipandang sebagai riba.
Di sisi lain, dalam pandangan kelompok yang mendukung fungsi
uang sebagai komoditas dan modal, tidak tedapat keterangan dalam al-
Qur’an mengenai fungsi uang, apakah hanya berfungsi sebagi alat tukar
atau dapat difungsikan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai modal
(kapital), tentunya al-Qur’an tidak dalam kapasitas menjelaskan konsep
fungsi uang yang tidak prinsip ini. Perbedaan fungsi uang dan barang
juga tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Menurut mereka, sekalipun
demikian terdapat sedikitnya dua isyarat yang mengindikasikan fungsi
harta (termasuk uang).25
Pertama, seruan zakat, shadaqah dan infaq dijalan Allah mengisyaratkan
fungsi sosial. Distribusi harta (termasuk uang) ini dimaksudkan untuk
tujuan ta’awun tolong menolong), tidak dimaksudkan untuk tujuan
25 Ghufron A, Mas’adi, op cit, h. 16

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 21
mencari keuntungan ekonomis. Dengan demikian, dalam konteks ini
uang tidak dapat difungsikan sebagai komoditas dan sebagai modal.
Kedua, Penghalalan al-Qur’an terhadap kegiatan niaga (tijarah), yakni
kegiatan mencari kuntungan sepanjang dilakukan secara saling rela (‘an
tardhin). Hal ini mengisyaratkan bahwa harta (termasuk uang) dapat
diperdagangkan (berfungsi sebagai komoditas) untuk mendapatkan
keuntungan dan dapat difungsikan sebagai modal untuk disewakan
manfaatnya.
Term “saling rela” dalam fiqh muamalah merupakan asas atau
prinsip akad (transaksi). Format saling rela adalah ijab dan qabul, sedang
esensinya adalah saling “menguntungkan”. Gharar (tidak transparan),
ikrah (intimidasi), dzulum (ekploitasi) merupakan cara batil dalam
bertijarah. Sebab semua ini mengindikasikan keuntugan pada satu pihak
dan kerugian pada pihak lain. Setiap tijarah yang dipraktekkan secara
batil bertentangan prinsip “saling menguntungkan” yang merupakan
esensi dari prinsip ‘an-tardin. Demikianlah pada tataran normatif al-
Qur’an dan fiqh muamalah dan pada tataran asas atau prinsip akad
tidak terdapat rujukan yang kuat atas penolakan fungsi uang sebagai
komoditas dan sebagi modal (kapital).
Berkaitan dengan beberapa akad khusus dalam Fikih Muamalah
yang dijadikan rujukan oleh kalangan yang menolak di atas, kelompok
yang mendukung mengkritisi hal tersebut sebagai perlakuan tidak fair
(tidak sepadan) atas harta yang berupa benda dan uang. “Mengapa
konsep-konsep akad dalam fiqh muamalah memperlakukan benda dan
uang secara tidak fair?”

Buku Ajar
22 FIQH MUAMALAH
E. Rangkuman
Harta bukanlah menjadi tujuan yang esensial dalam manusia,
tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup dan ridha
Allah ataupun untuk kebaikan pribadi dan masyarakat banyak. Dengan
demikian jelaslah bahwa harta dalam pandangan Islam adalah sebagai
sarana untuk mencapai kebaikan dan perhiasan hidup serta sendi
kesejahteraan dan kemaslahatan hidup manusia. Pada tataran normatif
al-Qur’an dan fiqh muamalah dan pada tataran asas atau prinsip akad
tidak terdapat rujukan yang kuat atas penolakan fungsi uang sebagai
komoditas dan sebagi modal (kapital).

F. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan beberapa pendapat ulama tentang defenisi harta?
2. Harta adalah segala sesuatu yang bernilai atau bermanfaat dimana
manusia cendrung untuk mengumpulkannya, memeliharanya,
dapat dimanfaatkan pada waktu yang dibutuhkan. Jelaskan unsur
yang bisa dikatakan harta?
3. Jelaskan dalam pandangan Islam menempatkan harta sebagai
salah satu dari lima kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia
yang harus dipelihara (ad-dharuriyah al-khamsah)?
4. Jelaskan dalam pandangan Islam, harta bukanlah menjadi tujuan
yang esensial dalam manusia, berdasarkan QS.18:46?
5. Jelaskan dalam pandangan Islam harta pada hakikatya adalah
milik Allah, berdasarkan QS.53:31?
6. Jelaskan beberapa kategori harta menurut fuqaha dengan ketetapan
hukum yang berbeda?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 23
7. Jelaskan Perbedaan benda bergerak dan tak bergerak dalam kajian
fiqh muamalah memunculkan berbagai implikasi hukum?
8. Jelaskan Pembagian jenis benda dari segi mal mitsli dengan mal
qimi ini mempunyai akibat hukum?
9. Jelaskan dua isyarat dalam al-Qur’an yang mengindiasikan
tentang fungsi uang?
10. Jelaskan Term “saling rela” dalam fiqh muamalah merupakan
asas atau prinsip akad (transaksi)?

Buku Ajar
24 FIQH MUAMALAH
BAB

III
KONSEP HAK (AL-HUQUQ)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami pengertian hak dan akibat hukum suatu hak
b. Menjelaskan pembagian jenis-jenis hak

A. Pengertian Hak
Hak bersal dari bahasa Arab haqq, secara hafiah berarti
“kepastian” atau “ketetapan” sebagaimana firman Allah dalam QS. 36:7
Sesunguh pasti berlaku perkataan (ketetapan) Allah terhadap
kebanyakan mereka sedang mereka tidak beriaman.26

Kata hak pada ayat ini berarti tetap dan pasti. Sedangkan hak
dengan pengertian wajib terdapat dalam QS.2:241
Dan bagi wanita-wanita yang ditalak (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban
bagi orang-orang yang bertaqwa.27

26 Al-Qur’an Tejemahannya, op cit, h.436


27 Ibid, h. 40

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 25
Kata-kata hak dalam ayat ini berarti kewajiban. Sedangkan
pengertian hak secara istilah terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ahli fiqh yaitu:
Hukum yang telah tetap menurut syari’at.28
Defenisi ini sangat umum dan mencakup semua kalimat yang
dipakaikan untuk hak, karena hak juga dipakaikan untuk harta milik.
Dalam defenisi lain hak adalah:
Kewenangan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas
seseorang terhadap orang lain.29

Defenisi yang mencakup untuk semua kalimat yang dipakaikan


untuk hak adalah defenisi yang diungkaf oleh Musthafa Zarqa’ seperti
yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily:
Kekhususan yang dengannya syara’ menetapkan kekuasaan dan
kewajiban.30

Hak/kekuasaan pada defenisi ini meliputi kekuasaan terhadap


jiwa/diri, seperti hak hadhanah (hak memelihara anak), dan kekuasaan
terhadap benda seperti hak milkiyah (hak miliki), sedangkan taklif pada
defenisi ini tanggung jawab atas seseorang seperti kewajiban buruh
melaksanakan kerjanya, dan tanggung jawab terhadap harta seperti
kewajiban dengan melunasi hutang.31
Defenisi hak secara umum mencakup hak-hak keagamaan seperti
hak Allah atas hambanya seperti shalat, puasa dan sebagainya. Hak
keduniawian seperti hak kepemilikan, hak-hak adabiyah seperti hak
anak taat kepada orang tua, serta kebendaan seperti hak nafkah. Sesuai
dengan konsep fiqh muamalah yang pembahasannya mencakup hak
28 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamwa Adillatuh, Juz IV, (Lebanono: Dar al-Fikr,
1984), h. 8
29 T.M Habi Ashiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.108
30 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h.8
31 Rozalinda, op cit, h. 10

Buku Ajar
26 FIQH MUAMALAH
dan kebendaan, maka yang dimaksud dengan hak dalam pembahasan
ini adalah kekuasaan seseorang untuk menguasai sesuatu berupa benda
atau dengan istilah lain kaedah yang mengatur tentang orang dan benda
yang harus ditaati orang lain.32

B. Akibat Hukum Suatu Hak


1. Perlindungan Hak
Pada prinsipnya Islam memberikan jaminan perlindungan hak
setiap orang. Setiap pemilik boleh menuntut pemenuhan haknya.
Apabila terjadi pelanggaran atau pengerusakan hak maka pemilik
hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi (denda) yang sepadan
dengan haknya. Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak
maka pihak pemerintah atau hakim wajib memaksa pihak tertentu agar
memenuhi hak orang lain.
Perlindungan hak dalam ajaran Islam merupakan penjabaran
dari ajaran dan prinsip keadilan. Demi keadilan diperlukan kekuatan
atau kekuasaan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak.
Tanpa jaminan seperti ini, pelanggaran dan pelecehan hak orang lain
berkembang pesat.
Namun atas dasar keadilan dan kemuliaan budi pekerti, Islam
menganjurkan agar pemilik hak berlapang hati dan bermurah hati dalam
menuntut pemenuhan haknya, khususnya terhadap orang-orang yang
dalam kondisi kesulitan. Misalnya, dalam hak pemenuhan piutang,
firman Allah QS.2:280
Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesulitan, berilah
tangguh sampai ia berkelapangan. Dan sekiranya engkau
meyedekahkanya, hal itu lebih mulia bagimu jika engkau
mengetahui.33

32 Ibid
33 Al-Qur’an dan Terjemahnnya, op cit, h. 48

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 27
2. Pengguaan Hak
Pada prinsipnya Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik
untuk mempergunakan haknya sesuai dengan kehendaknya (iradah)
sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Atas dasar prinsip
ini pemilik hak dilarang mempergunakan haknya untuk bermaksiat
seperti menghamburkan untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Dalam
pandangan Islam perbuatan tersebut hukumya haram dan pelakunya
dipandang berdosa.
Kebebasan menggunakan hak selain dibatasi dengan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam juga dibatasi sepanjang tidak
melanggar hak atau ingan merugikan kepentingan orang lain. Prinsip
perlindungan hak dalam Islam, sebagaimana telah disinggung di
atas berlaku untuk semua orang. Sehingga perlindungan kebebasan
dalam penggunaan hak pribadi harus sejalan dan seimbang dengan
perlindungan hak orang lain, terutama perlindungan hak masyarakat
umum. Jika dalam menggunakan haknya seseorang bebas melanggar
hak orang lain atau hak masyarakat umum, maka sungguh telah terjadi
pemahaman yang keliru terhadap prinsip perlindungan dan kebebasan
hak, yakni pemahaman kebebasan dan perlindungan hak secara tidak
seimbang, “ hak sendiri harus dilindungi sedang hak orang lain tidak
perlu dilindungi”.
Perlindungan hak tidak boleh tidak menghendaki perlindungan
atas hak orang lain dan hak masyarakat umum. Demikian juga kebebasan
menggunakan hak tidak boleh tidak menghendaki perlindungan atas
hak dan kebebasan orang lain. Yang demikian inilah pemahaman yang
utuh dan seimbang. Dan inilah kekebasan dan perlindungan hak yang
sejati, mengarah terbentuknya prinsip keadilan yang diajarkan Islam.
Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan
pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain maupun
tehadap hak dan kepentingan masyarakat umum, dalam hukum Islam
hal ini disebut ta’assuf fi isti’malil haqq.34
34 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h.29

Buku Ajar
28 FIQH MUAMALAH
Ta’assuf fi isti’malil haqq ditegaskan oleh ajaran Islam sebagai
perbuatan terlarang dan tercela (haram). Dalil yang menunjukan
larangan terhadap ta’assuf fi isti’malil haqq antara lain: QS.2: 231
Apabila kamu mentalaq istrir-istrimu lalu mereka mendekati
akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan cara yang ma’ruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula. Jangnlah
kamu merujuk mereka untuk menimbulkan kemudharatan, karena
dengan cara demikian kamu telah menganiaya mereka.35

Berdasarkan ayat ini, suami dilarang menggunakan hak merujuk


dengan tujuan untuk menganiaya istri, sebagimana yang lazim dilakukan
oleh kaum lelaki di masa jahiliyah. Kemudian firman Allah QS.4:12
….sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak menimbulkan mudharat
(terhadap ahli warisnya)36

Berdasarkan ayat ini seseorang tidak membuat wasiat apabila


menimbulkan mudharat terhadap ahli warisnya, sekalipun wasiat hak
bagi setiap pemilik harta benda.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi
Waqas, ia berkata aku bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Wahai
Rasulullah aku adalah seorang yang kaya, aku tidak mempunyai ahli
waris kecuali seorang anak wanita, bolehkah aku bersedeqah 2/3 dari
hartaku?. Nabi menjawab: Tidak!. Aku bertanya lagi kepadanya:”
Bagaimana jika aku bersadaqah ½ dari hartaku?. Nabi menjawab:
“Tidak!” Aku bertanya lagi kepadanya: bagiamaa jika aku bersedaqah
1/3 dari hartaku?. Nabi menjawab:” Ya boleh, sepertiga adalah cukup
banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan
bercukupan adalah lebih baik daripada jika engkau meninggalkan
35 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op cit, h.38
36 Ibid, h. 80

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 29
mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-minta kepada
orang lain. (HR.Bukhari dan Muslim).37
Hadits ini menafsirkan keumuman surat al-Nisa’ ayat 12,
bahwasanya 1/3 harta merupakan batas maksimal hak kebebasan wasiat
yang tidak menimbulkan kemudharatan terhadap ahli waris. Namun
pada prinsipnya hadits tersebut melarang berwasiat yang menimbulkan
kerugian atau resiko besar terhadap ahli waris. Jika pada kenyataannya
tidak menimbulkan mudharat teradap ahli waris, misalnya ahli waris
kaya dan dilakukan atas izin mereka, maka berwasiat atas seluruh harta
benda tentu tidak tergolong sebagai ta’assuf fi istimalil haqq
Selain didasarkan dalil-dalil sebagaimana disebutkan di atas,
larangan terhadap ta’assuf fi istimalil haqq didasarkan pada dua
prinsip.38
Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat
mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Yaitu
kebebasan mempergunakan hak yang disertai rasa tanggung jawab atas
terpelihara hak dan kepentingan orang lain. Pelaksanaan kebebasan
secara mutlak menimbulkan konsekuensi kebebasan melanggar hak
dan kepentingan dan hak orang lain. Hal yang demikian ini tentunya
hanya akan menimbulkan perselisihan antar sesama manusia. Tentunya
kondisi seperti ini bertentangan dengan tujuan risalah Islam sebagai
rahmatan li ‘alamin.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwasanya Allah SWT adalah
pemilik hak yang sesungguhnya, sedang hak yang dimiliki manusia
merupakan amanat Allah yang dipergunakan sebagaimana yang
dikehendaki-Nya. Dalam bahasa sosiologis kehendak Allah dapat
diterjemahkan sebagai “ kepentingan atas terpeliharanya kemaslahatan
publik (al maslahat al-‘ammah). Oleh karena itu penggunaan hak sama
sekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum.

37 Muhammad bin Ismail al-Kahlany, Subulus Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, tt),
Jilid III, h. 104
38 Ghufron A Masadi, op cit, h.41

Buku Ajar
30 FIQH MUAMALAH
Perbuatan yang tergolong ta’assuf fi isti’malil haqq adalah
sebagai berikiut:39
a) Apabila seseorang dalam mempergunakan haknya mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak orang lain atau menimbulkan kerugian
terhadap orang lain. Seperti kewenangan dalam menggunakan hak
rujuk dan hak wasiat sebagaimana telah dicontohkan di muka.
b) Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyari’atkan
dan tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai
dalam penggunaa haknya tersebut. Misalnya seseorang melakukan
akad nikah tahlil.40 Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:”
Allah melaknat orang yang melakukan nikah tahlil (muhallil)
dan yang memanfaatkannikah tahlil (muhallalah)”. (HR. Arba’ah
kecuali Tirmidzi).41
c) Apabila seseorang mempergunakan haknya untuk kemaslahatan
pribadinya tetapi mengakibatkan mudharat yang besar terhadap
pihak lain atau kemaslahatan yang ditimbulkannya sebanding
dengan mudharat yang ditimbulkannya baik terhadap kepentingan
pribadi orang lain lebih-lebih terhadap kepentingan masyarakat
umum. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda: “ Jangan
ada diantara kamu melakukan aniaya dan jangan ada pula yang
teraniaya”. (HR. Ibn Majah dan Daruquthni). Misalnya prkatek
ihtikar42. Nabi Muhammad SAW bersabda:”Tidak ada orang yang
melakukan ihtikar kecuali ia pendosa besar”.

39 Wahbah al-Zuhaily, juz 4, h. 3-37


40 Nikah Tahlil adalah melakukan akad nikah bukan untuk tujuan membina keluarga
yang langgeng melainkan untuk tujuan diceraikan, dengan tujuan membolehkan mantan suami
menikah kembali dengan mantan istri yg telah ditalq tiga.
41 Muhammad bin Ismail al-Kahlany, op cit, h. 127
42 Ihtikar adalah penimbunan barang-barang dagangan (komoditas)yang dibutuhkan
masyarakat banyak sehingga barang tersebut menjadi langka. Akibatnya harga barang teesebut
menjadi naik dan pihak penimbun mendapatkan keuntungan yang sangat besar.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 31
d) Apabila seseorang mempergunakan haknya tidak sesuai pada
tempatnya atau bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku
serta menimbulkan mudharat terhadap pihak lain. Misalnya
membunyikan tape radio dengan keras sekali sehingga mengganggu
ketentraman para tetangga. Kecuali jika hal tersebut telah menjadi
adat kebiasaan suatu masyarakat, seperti orang yang punya kerja
memasang pengeras suara.
e) Apabila seseorang mempergunakan haknya secara ceroboh (tidak
hati-hati) sehingga mengakibatkan mudharat terhadap pihak lain

3. Berpindah dan berakhirnya hak


Hak berakhir dan berpindah karena sebab yang ditetapkan oleh
syari’at yang dibedakan menurut ukuran dan jenis hak diantaranya
adalah:
a. Akad. Seperti jual beli, maka akan berakhir dan pindah secara
timbal balik dari penjual kepada pembeli. Penjual sebagai
pemilik barang, berakhir haknya dari barang tersebut dan
berpindah hak kepemilikannya kepada pembeli, begitu juga
pemilik uang akan berakhir hak kepemilikannya terhadap
uang tersebut dan berpindah kepada penjual dengan adanya
akad jual beli.
b. Wafat, hak seseorang terhadap harta bendanya akan berakhir
dengan kematiannya dan akan pindah kepada ahli warisnya,
begitu juga dengan tanggung jawab untuk melunasi utang
piutang akan pindah kepada ahli warisnya.
c. Hiwalah, tanggung jawab melunasi utang berpindah dari
tanggungan orang yang berhutang dan berpiutang, menjadi
tanggung jawab orang yang menanggung.
d. Hak anak berupa nafkah dari bapaknya berakhirnya karena
kemampuan anak untuk berusaha.

Buku Ajar
32 FIQH MUAMALAH
e. Hak manfaat berakhir karena akad batal atau habis waktunya.
Seperti hak sewa akan berakhir dengan hancurnya rumah
sewaan atau habis waktu akad.
f. Hak utang- piutang berakhir karena pelunasan utang atau
pemaafan (pemilik piutang menggugurkan haknya dari orang
yang berhutang.43

C. Pembagian Jenis-Jenis Hak


Hak ada beberapa macam:
1. Dipandang dari segi pemilik hak ada tiga macam:
a. Hak Allah, yaitu hak yang ditujukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah mengagungkan dan melaksanakan
syari’atnya, seperti ibadah, diantaranya shalat, puasa dan
sebagainya. Hukum-hukum hudud seperti had zina, had
sirkah, had qazaf dan sebagainya. Hak hak Allah ini tidak
dapat digugurkan atau diubah dengan yang lainnya, serta
tidak dapat diwariskan kepada ahli waris kecuali ada wasiat.
b. Hak manusia, yaitu hak yang bertujuan untuk menjadi
kemaslahatan pe rorangan, seperti menjaga kesehatan,
memelihara anak dan harta, mewujudkan rasa aman.
Hukum-hukum yang terdapat dalam hak manusia ini adalah
seseorang yang memiliki hak ini dapat menggugurkan atau
memaafkan, atau mengubahnya serta dapat mewariskannya.
Hak manusia dapat dibagi kepada:
1. Hak yang dapat digugurkan seperti hak khiyar, hak
suf’ah
2. Hak yang tidak dapat digugurkan dalam hal ini terbagi
kepada:

43 Ibid, h. 39

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 33
a. Hak yang belum tetap seperti pembeli mengugurkan
hak khiyar ru’yah sebelum melihat barang.
Menggugurkan haknya untuk menjadi wali anak
b. Hak yang dimiliki seseorang secara pasti
berdasarkan ketetapan syara’ seperti seorang bapak
atau kakek menggugurkan haknya menjadi wali
anak yang masih kecil.
c. Hak apabila digugurkan akan berakibat pada
berubahnya hukum syara’ seperti hak orang yang
berwasiat untu menarik kembali wasiatnya.
d. Hak yang berkaitan dengan hak orang lain seperti
seorang ibu yang menggugurkan hak hadhanah atau
hak mengasuh anaknya.
3. Hak yang dapat diwariskan seperti hak untuk menahan
barang rungguhan (mahun) sampai hutang dilunasi.
4. Hak yang tidak dapat diwariskan seperti hak-hak ijarah
menurut pendapat ulama Hanafiyah karena hak manfaat
bukan materi sedangkan yang dapat diwariskan menurut
mereka hanya yang bersifat materi. Berbeda dengan
pendapat jumhur ulama bahwa hak ijarah dapat diwariskan
karena manfaa menurut mereka benilai materi sehingga
dapat diwariskan.
c. Hak berserikat yaitu hak yang berkumpul dua di dalamnya yaitu
hak Allah dan hak manusia. Dalam hal ini adakalanya hak Allah
yang lebih dominan seperti iddah talaq, pada hak ini ada hak
Allah yaitu menjaga percampuran keturunan dan hak manusia
yaitu menjaga nasab anak-anak. Adakyalnya hak manusia
yang lebih dominan seperti hak qishah yang bertujuan untuk
memlihara dan mencegah manusia dari tindakan pembunuhan.
Dalam hak ini hak manusia lebih kuat yaitu manusia dapat
menggugurkan, memaafkan dan mengganti dengan hukuman

Buku Ajar
34 FIQH MUAMALAH
yang lain seperti membayar diyat.44
2. Dipandang dari segi objek hak terbagi:
a. Haqal-maliyah (kebendaan) dan haq ghairu al-maliyah (bukan
kebendaan). Hak kebendaan yaitu hak yang berkaitan dengan
benda dan manfaatnya seperti hak penjual terhadap uang, hak
pembeli terhahadap barang. Hak bukan kebendaan yaitu hak
yang berkaitan dengan selain benda seperti hak qisash.
b. Haq syakhsyi dan haq ‘aini anadalah hak yang ditetapkan
syara’ kepada seseorang berupa tanggng jawab terhadap orang
lain, seperti tanggung jawab penjual untuk menyerahkan barang
pada pembeli dan tanggung jawab pembeli untuk menyerahkan
barang. Haq ‘aini yaitu hak yang ditetapkan syara’ untuk
seseorang terhadap suatu benda dengan zatnya sekaligus seperti
hak pemilikan.45
Haq syakhsyi dan haq ‘aini mempunyai krakteristik masing-
masing yang mempertegas perbedaan antara kedua hak ini.
Karateristik hak syakhsyi dan hak ‘aini adalah:
1. Haq ‘aini mengikut kepada pemiliknya. Haq ‘aini merupakan
hak yang terkait langsung dengan materi, misalnya harta
seseorang dicuri kemudian harta itu dijual oleh pencurinya
kepada orang lain, maka pemilik harta tetap berhak untuk
meminta kembali hartanya walaupun harta itu sudah berada
di tangan orang lain. Sedangkan haq syakhsyi merupakan
hak yang terkait dengan tanggung jawab, misalnya hak
terhadap utang, walaupun materi hutang berada di tangan
orang lain haq syakhsyi tidak berpindah kepada orang lain,
karena tanggung jawab bersifat tetap walaupun materi
utang pindah ke tangan orang lain kecuali dengan kehendak
pemilik haq syahksyi seperti akad kafalah atau akad hiwalah.

44 Ibid, h. 13-15
45 Ibid, h. 18-19

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 35
2. Haq ‘aini gugur dengan hancur atau binasanya materi, akad-
akad yang terkait dengan haq ‘ainipun juga batal dengan
sendirinya. Misalnya barang yang dijual hancur di tangan
penjual sebelum serah terima dengan pembeli maka akad
jual beli itu batal. Begitu juga dengan hancurnya barang
sewaan, membatalkan akad ijarah. Sementara haq syakhsyi
tidak akan gugur dengan hancur atau binasanya materi.
Misalnya barang yang dhutang habis atau hancur maka
tangung jawab orang yang berhutang tidak gugur dengan
habisnya maeri hutang. Karena hutang berkaitan dengan
tanggung jawab tidak berkaitan dengan materi.46
Haq ‘aini terbagi kepada:
a. Haq milkiyah, yaitu hak yang memberikan kepada pemiliknya
hak wilayah (kewenangan). Pada hak ini pemilik dapat memilki,
memanfaatkan, atau memindahtangankan pada pihak lain.
Artinya pemilik bebas berbuat terhadap hak miliknya selama
tidak mendatangkan kemudharatan pada diri dan orang lain,
seperti kepemilikan terhadap rumah pribadi.
b. Haq intifa’ yaitu hak memiliki manfaat sesuatu. Seperti hak
terhadap dapat bertindak bebas terhadap barang sewaan
tersebut, misalnya penyewa tidak bisa merubah bentuk rumah
sewaannya tanpa seizin pemilik rumah.
c. Haq irtifa’ yaitu hak yang ditetapkan untuk memanfaatkan
sebidang tanah. Seperti hak untuk melewati tanah milik
tetangga.
d. Haq irtihan yaitu hak yang diperoleh dari harta yang digadai.
Seperti hak untuk menahan barang gadai bila orang yang
berhutang belum melunasi hutangnya.
e. Haq ihtibas yaitu hak menahan suatu benda. Seperti hak penemu
barang luqathah untuk menahan barang. Bila pemilik barang
46 Ibid, h. 19-20

Buku Ajar
36 FIQH MUAMALAH
telah diketahui dia boleh menahan barang tersebut untuk
memperoleh kembali biaya yang telah dikeluarkannya.
f. Haq Qarar yaitu hak menetap ddi tanah wakaf. Seseorang berhak
memanfaatkan tanah wakaf atas seizin pemerintah.
Berdasarkan enam macam haq ‘aini di atas pada dasarnya haq
‘aini terbagi kepada:
a. Hak ashli yaitu hak yang berdiri sendiri, seperti haq
milkiyah, haq irtifaq yang berwujud dwngan adanya
pemilikan hak terhadap benda. Pada hak asli pemilik
hak boleh menggunakan hak, memproduktifkan dan
mentransaksikan benda tersebut.
b. Hak thabi’i yaitu hak yang tidak berdiri sendiri
seperti haq irtiham, pada hak thabi’i ini pemilik
tidak boleh bertindak sesuka hatinya terhadap benda
karena kekuasaannya terbatas, seperti haq irtihan,
penerima gadai hanya berhak menjual barang
jaminan apabila penggadai tidak sanggup melunasi
hutangnya.47
3. Hak murni (haq mujarad) dan hak tidak murni (haq ghairu
mujarad)
haq mujarad adalah hak yang tidak meninggalkan bekas
(implikasi hukum) apabila digugurkan melalui perdamaian
dan pemaafan, misalnya jika pemberi utang menggugurkan
haknya atau memaafkan utang dari orang yang berhutang
maka orang yang berhutang bebas dari utangnya dan tidak
meninggalkan bekas sedikitpun. Haq ghairu mujarad
adalah hak yang meninggalkan bekas (implikasi hukum)
dengan menggugurkannya. Seperti hak qisash bila
digugurkan tetap meninggalkan bekas pada hak tersebut,
yakni berubahnya hukum dari halalnya darah pembunuh
47 T.M Hasbi Ashiddiqy, op cit, h. 116

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 37
akhirnya menjadi haram (tidak boleh dibunuh) sedangkan
pelaku pembunuhan tetap berkewajiban membayar diyat
kepada ahli waris korban.

D. Rangkuman
Perlindungan hak dalam ajaran Islam merupakan penjabaran
dari ajaran dan prinsip keadilan. Demi keadilan diperlukan kekuatan
atau kekuasaan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak.
Tanpa jaminan seperti ini, pelanggaran dan pelecehan hak orang lain
berkembang pesat. Namun atas dasar keadilan dan kemuliaan budi
pekerti, Islam menganjurkan agar pemilik hak berlapang hati dan
bermurah hati dalam menuntut pemenuhan haknya, khususnya terhadap
orang-orang yang dalam kondisi kesulitan.

E. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan defenisi hak sesuai dengan konsep Fiqh Muamalah?
2. Jelaskan akibat hukum suatu hak berdasarkan al-Qur’an QS.
2:280?
3. Jelaskan prinsip perlindungan hak dalam Islam?
4. Jelaskan pengertian Ta’assuf fi isti’malil haqq sebagai perbuatan
terlarang dan tercela (haram) dalam ajaran Islam?
5. Jelaskan salah satu dalil larangan terhadap ta’assuf fi isti’malil
haqq?
6. Jelaskan secara ringkas perbuatan yang tergolong ta’assuf fi
isti’malil haq?
7. Jelaskan Hak berakhir dan berpindah karena sebab yang ditetapkan
oleh syari’at yang dibedakan menurut ukuran dan jenis hak?

Buku Ajar
38 FIQH MUAMALAH
8. Jelaskan Pembagian Jenis-Jenis Hak dipandang dari segi pemilik
hak?
9. Jelaskan hak yang dapat digugurkan dan yang tidak dapat
digugurkan beserta contoh?
10. Jelaskan karateristik hak syakhsyi dan hak ‘aini beserta contoh?
11. Jelaskan pengertian hak asli dan hak thabi’i beserta contoh?
12. Jelaskan pengertian hak mujarad dan ghairu mujarad beserta
contoh?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 39
Buku Ajar
40 FIQH MUAMALAH
BAB

IV
KONSEP HAK MILIK (AL-MILKIYAH)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami pengertian Hak Milik dan Sebab-sebab Kepemilikan
b. Menjelaskan macam-macam Kepemilikan dan Prinsip umum
Kepemilikan

A. Pengertian Hak Milik


Milik merupakan hubungan manusia dengan benda yang
ditetapkan syara’ yang menjadikan manusia itu mempunyai kekuasaan
khusus terhadap benda tersebut. Secara bahasa milik berarti:
Penguasaan terhadap benda dan bebas bertindak hukum
terhadapnya48
T.M Hasbi as-Shiddieqy menjelaskan milik menurut bahasa
yaitu:
Menguasai sesuatu dan mampu bertindak hokum terhadapnya.49
Sedangkan pengertian milik menurut istilah adalah:

48 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 56


49 TM. Habi Ashiddiqy, op cit, h. 8

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 41
Sesuatu hal yang bersifat khusus yag menghalangi orang lain
secara syarim’at serta membebaskan pemiliknya bertindak
terhadap barang milik kecuali penghalang50

Wahbah al-Zuhaily menjelaskan pengertian milik menurut para


fuqaha adalah:
Milik yaitu kekhususan seseorang terhadap sesuatu yang
menghalangi , orang lain terhadapnya dan memungkinkan
pemiliknya melakukan tindakan hokum terhadap benda tersebut
kecuali ada halangan syara’.51

Dari beberapa pengerian di atas, dapat diambil kesimpulan


bahwa milik adalah penguasaan terhadap benda yang memungkinka
pemilik melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut kecuali
ada larangan syara’, dan dengan kekuasaan ini orang lain terhalang
untuk melakukan tindakan apa saja terhadap benda tersebut. Dari
definisi ini dapat diilustrasikan, bila seseorang menguasai suatu benda
dengan cara yang dibolehkan agama,maka orang tersebut mempunyai
kekhususan atau kewenangan terhadap benda itu yang memnugkinkan
dia dapat memanfaatkannya, mentasyarrufkannya (melakukan tindakan
hukum) dalam bentuk apapun kecuali ada larangan agama.

B. Sebab-sebab Kepemilikan
Sebab-sebab pemilikan terhadap sesuatu benda adalah:
1. Istitila’ ala al-mubahat (penguasaan terhadap benda-benda
bebas).52Mal mubah adalah benda yang tidak termasuk milik
yang dihormati dgan tidak ada ia penghalang secara syari’at
untuk memilikinya, atau benda-benda bebas yang ada di alam
50 Wahbah al-zuahily, loc cit
51 Ibid, h. 57
52 Ibid, h. 69

Buku Ajar
42 FIQH MUAMALAH
dan dapat dimilki atau dikuasai oleh setiap manusia. Misalnya
air di lautan,binatang dan rumputan di hutan, ikan di sungai
dan sebagainya. Semua ini merupakan karunia Allah yang
diperuntukkan buat manusia di muka bumi, sesuai dengan firan-
Nya QS. 2:29.

Dialah yang telah menciptakan untukmu segala yang ada dibumi53


Benda-benda bebas itu dapt dimilki dan dikuasai seeorang dengan
syarat:
a. Benda tersebut sebelumnya belum dimilki dan dikuasai
orang lain. Artinya belum ada yang mendahului memiliki
dan menguasainya. Jika seseorang melakukan suatu tindakan
terhadap benda tersebut maka benda itu menjadi miliknya.
Misalnya menangkap ikan di laut maka ikan itu menjadi
Siapa yang mendahului orang lain kepada sesuatu yang mubah
maka sesunguhnnya ia telah memilikinya.54
b. Maksud memilki seseorang yang punya keinginan terhadp
benda-benda bebas maka harus ada maksud untuk memilkinya.
Misalnya seseorang mempunyai sangkar burung tanpa sengaja
seekor burung masuk dan tertangkap didalamnya, maka ia
menjadi pemilik hewan tersebut jika ia bermaksud untuk
memilikinya. Tetapi sebaliknya jika ia tidak puya keinginan
untuk memiliki dan membiarkan saja maka orang lain boleh
memiliki hewan itu. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqh:
Segala urusan sesuai dengan tujuannya.55

53 Al-Qur’an dan Terjemahnnya, h. 6


54 Abdurrahman Ibn Abi Bakar as-Suyuti, Asybah wa an Nazai fi al-furu’, (Semarang:
Maktabah Usaha Keluarga,t,th), h. 6
55 Ibid

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 43
2. Akad
Akad adalah ikatan antara ijab dan qabul berdasarkan cara
yang disyari’atkan dan memunculkan implikasi hukum terhadap
sesuatu yang diakadkan itu.
Akad menjadi sebab pemilikan yang ada dua:
a. Akad jabariyah yaitu akad yang terjadi karena keputusan
hakim,imisalnya menjual harta orang yang pailit untuk
memebayar harta orang lain.
b. Pemilikan untuk kemaslahatan umum, misalnya tanah
dipekarangan masjid harus dijual kepada pengurus masjid.
3. Khalafiyah (pewarisan)
Berpindahnya seseorang atau sesuatu kepada tempat baru dari
tempat lama mengenai beberapa hak.
Khalafiyah ada dua macam:
a. Pewarisan, ahli waris berhak memilki harta yang ditinggalkan
oleh pewaris.
b. Tanggungan, apabiala seseorang menyerobot barang orang
lain kemudian barang itu hilang atau rusak maka dia wajib
mengganti kerugian pemilik harta karema orang yang dirugikan
berhak menerima ganti.
4. Tawallud mim mamluk (beranak pinak)
Segala sesuatu yang terjadi terhadap harta milik menjadi hak
pemilki, misalnya anak atau bulu domba atau biri-biri menjadi
milik pemilik domba atau biri-biri tersebut.
Dari keempat sebab-sebab pemilikan di atas pada dasarnya terbagi
dua:
a. Ikhtiyariyah yaitu manusia ada ikhtiyar atau usaha
mewujudkannya, misalnya ihrazul mubahat,akad.

Buku Ajar
44 FIQH MUAMALAH
b. Jabariyah yaitu manusia tidak ada ikhtiyar atau usaha untuk
mewujudkannya, misalnya khalafiyah tawallud mim mamluk.

C. Macam-macam Kepemilikan
Kepemilikan dalam Islam terbagi kepada dua macam yaitu:56
1. Milik sempurna (milk al-tam) yaitu:
Memiliki zat dan sekaligus manfaatnya, sehingga seluruh hal
yang terkait dengan harta tersebut berada di bawah penguasaan.
Milik sempurna merupakan milik yang mutlak, tidak dikaitkan
dengan batas waktu, tidak bisa digugurkan oleh orang lain, hanya
bisa dipindah-tangankan oleh pemilik dengan cara akad seperti
jual beli, atau dengan cara pewarisan, wasiat. Misalnya seseorang
memiliki rumah maka ia berkuasa terhadap rumah tersebut.
2. Milik tidak sempurna (milk an-naqis) yau:
Memiliki bendanya saja atau manfaatnya saja. Milk an-naqis
dinamakan juga dengan milik manfaat. Misalnya rumah sewaan,
penyewa hanya memiliki hak memanfaatkan saja dari rumah
sewaannya, sedangkan dia tidak dapat berkuasa terhadap rumah
sewaan tersebut.
Milk an-naqis terbagi kepada
a. Milk al’ain (memiliki benda saja) yaiu materi benda dimiliki
seseorang, sedangkan mamfaatnya dimiliki orang lain.
Misalnya seseorang mewasiatkan kepada si A untuk mendiami
rumahnya selam 3 tahun, maka selama itu pula ia memiliki
bendanya namun tidak memiliki manfaatnya.
b. Milk al-manfaah (memiliki manfaat saja) atau hak manfaat.
Seperti mendiamai rumah sewaan, penyewa hanya memiliki
hak sewa atau hak memanfaatkan rumah selama waktu tertentu
menurut kesepakatan, rumah secara zatnya tetap menjadi
pemilik rumah.
56 Rozalinda, op cit, h. 29

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 45
Dari sisi bentuknya, milik dibedakan menjadi dua:57 pertama,
milk al mutamayyaz (milik jelas) adalah pemilikan sesuatu benda yang
mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan
dari yang lainnya. Seperti pemilikan terhadap seekor binatang, sebuah
kitab dan lain-lain, atau pemilikan atas sebagian tetentu dari rumah yang
terdiri dari beberapa bagian. Kedua, milk al-masya’ (milik bercampur)
adalah pemilikan atas sebagian, baik sedikit maupun banyak, yang
tidak tertentu dari sebuah harta benda, seperi pemilikan atas separuh
rumah, atau seperempat kebun dan lain sebagainya. Ketika diadakan
pembagian atas harta campuran ini untuk masing-masing pemiliknya,
maka berakhirlah pemilikan masya’ menjadi pemilikan mutamayyaz.
Pemilikan campuran tidak hanya berlaku pada pemilikan atas
benda (milk ‘ain) tetapi bisa terjadi pada pemilikan atas hutang (milk
al-dain). Hutang yang demikian ini dinamakan al-duyun al-mustarikah
(hutang bersama) yaitu hutang atau tanggungan yang dibebankan
kepada sejumlah orang tertentu karena sebab harta bersama, atau jika
seseorang menghilangkan suatu benda bersama. Maka harga barang
yang dibeli atau nilai barang yang dihilangkan tersebut merupakan al-
duyun al-musytarkah (piutang bersama)

D. Prinsip-prinsip Umum Kepemilikan


Pemilikan dalam beberapa jenis dan corak sebagaimana yang
telah dikemukakan di muka memeliki beberapa prinsip yang besifat
khusus. Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum
pada sebagian jenis pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan
lainnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagaimana disampaikan
dibawah ini:
1. Prinsip pertama58
“ Pada prinsipnya milk al-‘ain (pemilikan atas benda) sejak awal
57 Musthafa al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al’Amm, (Beirut: Dar al-Fiktr, 1986), Juz I, H.
261-266
58 Ibid, . 268

Buku Ajar
46 FIQH MUAMALAH
disertai milk al-manfaat (pemilikan atas manfaat) dan bukab
sealiknya.”

Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilika


atas manfaat. Dengan prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk
al-tam (pemilikan sempurna). Sebaliknya setiap pemilikan atas tidak
mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya, sebagaimana yang
terjadi pada ijarah (persewaan) atau i’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan
sebagai pemilkian atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari
pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang. Tidak
ada artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak
mempunyai manfaat. Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha’
Hanafiyah ketika mendefinisakan al-mal (harta) sebagai materi benda
bukan manfaatnya. Menurut fuqaha Hanafiyah manfaat merupakan
unsur utama milkiyah (pemilikan).
2. Prinsip kedua
“ Pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda yang belum
pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagai milk al-tam
(pemilikan sempurna)”

Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah pemilikan


diperoleh berdasarkan prinsip ibraz al-mubahat dan dari prinsip
tawallud minal mamluk. Pemilikan sempurna seperti ini akan terus
berlangsung sampai ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat
mengalihkan pemilikan atas benda dan sekaligus manfaatnya melalui
jual beli, hibah, dan cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-
tam kepada pihak lain, mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja
kepada orang lain melalui cara-cara yang dibenarkan syara’. Pemilikan
oleh orang lain ini merupakan pemilikan naqish.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 47
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemilikan
sempurna adakalnya diperoleh melalui pemilikan awal (ibraz al-
mubahat dan tawallud), pemilik awal, yakni melalui akad.
3. Prinsip ketiga
“Pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu,
sedang pemilikan naqish dibatasi waktu”

Milk al-‘ain berlaku sepanjang saat (mu’abbadah) sampai


terdapat akad yang mengalihkan kepemilikan kepada pihak lain. Jika
tidak muncul suatu akad baru dan tidak terjadi khilafiyah, pemilikan
terus berlanjut. Adapun milk al-manfaat yang tidak disertai pemilikan
bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas, sebagaimana yang
berlaku pda persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas
waktu tertentu. Ketika sampai batas waktu yang telah ditentukan maka
berakhirlah milk al-manfaat.
Batas waktu dalam milk al-manfaat ini jika bersumber dari
akad mu’awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir
batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian,
karena sesungguhnya ijarah merupakan bai’ al manfaat (jual beli atas
manfaat) dalam batasan waktu tetentu. Apabila milk al-manfaat tersebut
bersumber dari akad tabarru’ seperti pada i’arah (peminjaman),
biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada umumnya
pihak yang meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu
dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta pengembalian benda yang
dipinjamkan.
Sekalipun demikian para fuqaha juga memperhatikan batas
waktu pengembalian ’ariyah yang menimbulkan kerugian pada pihak
peminjam. Seperti jika seorang pemilik meminjamkan tanah untuk
kepentingan bercocok tanam, berkebun atau mendirikan bangunan.
Kemudian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut sebelum
pekeerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal ini fuqaha menetapkan

Buku Ajar
48 FIQH MUAMALAH
kebijakan dengan perincian perkasus, sebagaimana berikut ini:59
a. Dalam kasus pinjaman untuk pertanian, pemilik tanah tidak
berhak menuntut pengembalian sebelum masa panen, sebab
pertanian berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda
denga kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini
penggunaan melebihi batas waktu sampai masa panen diganti
dengan penambahan ongkos sewa. Dengan cara demikian
terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa tidak
dirugikan.
b. Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk
mendirikan bangunan, pemilik tanah berhak menarik kembali
tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu peminjam wajib
mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan
tanah kepada pemiliknya dalam keadaan kosong. Karena
perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak terbatas
masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan masa
panen. Namun jika sejak semula pinjaman tersebut dibatasi
oleh waktu,sedang pemilik menarik kembali tanahnyasebelum
usaha yang dilakukan pihak peminjam selesai dilakukan, maka
pemilik benar-benar telah berbuat curang (gharar) yang sangat
merugikan. Dalam kasus seperti ini pihak peminjam berhak
menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah
sampai batas akhir waktu, dengan mempertimbangkan harga
jual bangunan atau perkebunan.
4. Prinsip keempat
“Pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkan namun
dapat dialihkan atau dipindah”60

59 Musthafa al-Zarqa’, Juz I, h. 274


60 Ibid, h. 275

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 49
Sekalipun seeorang bermaksud menggugurkan hak miliknya atas
suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku
baginya. Berdasarkan prinsip ini Islam melarang sa’ibah (melepaskan),
yaitu perbuatan semata menggugurkan atau melepaskan sustu milik
tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara umum perbuatan ini
termasuk dalam kategori tabdzir (menyia-nyiakan) karunia Tuhan.
5. Prinsip kelima
“Pada prinsinya mal al-masya’ (pemilikan campuran) atas benda
materi, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan milk al-
mutayyaz, kecuali ada halangan (al-mani’)”.

Berdasarkan prinsip ini dibolehkan menjual bagian dari milik


campuran, mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas
sebagian harta campuran sama dengan bertasharruf atas pemilikan
benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf denga tiga jenis
akad: rahn (jaminan utang) hibah dan ijarah (persewaan). Halangan
bertasharruf pada rahn dikarenakan tujuan rahn adalah sebagai agunan
pelunasan hutang, sehingga marbun (benda agunan) harus diserahkan
kepada murtahin (pemegang gadai/ agunan) yang demikian tidak sah
dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf dengan hibah dikarenakan kesempurnaan
hibah harus disertai penyerahan (al-qabdhu), sedang penyerahan
hanya dapat dilakukan pada milk al-mutayyaz (harta dapat dipisah
dari yang lainnya). Adapun halangan tasharruf dengan ijarah, menurut
pandangan fuqaha Hanafiyah adalah jika akad ijarah tersebut dilakukan
terhadap sebagian dari harta campuran. Namun jika ijarah dilakukan
oleh masing-masing sekutu atas keseluruhan harta campuran, yang
demikian ini tidak ada halangan.
6. Prinsip keenam
“Pada prinsipnya milik campuran atas hutang bersama yang
berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-
pisahkan”.61
61 Ibid , h. 280

Buku Ajar
50 FIQH MUAMALAH
Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi
(diserahkan) maka telah berubah menjadi milk al-‘ain bukan lagi milk
al-dain. Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing
pemiliknya, sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta
campuran yang dapat menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seseorang dari sejumlah
orang yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang
yang sepadan dengan bagian yang dimiikinya, maka pelunasan tersebut
harus dibagi diantara sekutunya. Sebab kalau seorang danatara mereka
dapat melepaskan diri dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang
harus dinyatakan sebelumnya bahwa telah terjadi pembagian atas
piutang bersama dalam bentuk pertanggungan sehingga tidak lagi
sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi piutang
mumayyazikianlah. Demikianlah maksud dari “piutang bersama tidak
dapat dipisah-pisahkan”.

E. Rangkuman
Milik merupakan hubungan manusia dengan benda yang
ditetapkan syara’ yang menjadikan manusia itu mempunyai kekuasaan
khusus terhadap benda tersebut, dan dapat memanfaatkannya,
mentasyarrufkannya (melakukan tindakan hukum) dalam bentuk
apapun kecuali ada larangan syara’ dan dengan kekuasaan ini orang lain
terhalang untuk melakukan tindakan apa saja terhadap benda tersebut.
Bila seseorang menguasai suatu benda dengan cara yang dibolehkan
agama, maka orang tersebut mempunyai kekhususan atau kewenangan
terhadap benda itu yang memungkinkan dia dapat memanfaatkannya,
mentasyarrufkannya (melakukan tindakan hukum) dalam bentuk
apapun kecuali ada larangan agama.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 51
F. Tugas dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan kesimpulan saudara yang dapat dipahami dari
pengertian al-Milik yang disampaikan beberapa pendapat
ulama?
2. Jelaskan Sebab-sebab pemilikan terhadap sesuatu benda
Istitila’ ala al-mubahat (penguasaan terhadap benda-benda
bebas) beserta contoh?
3. Jelaskan syarat-syarat seseorang dapat menguasai dan memilki
benda-benda bebas?
4. Jelaskan Sebab-sebab pemilikan terhadap sesuatu benda akad
beserta contoh?
5. Jelaskan Sebab-sebab pemilikan terhadap sesuatu benda
karena Khalafiyah (pewarisan)beserta contoh?
6. Jelaskan Sebab-sebab pemilikan terhadap sesuatu benda
karena Tawallud mim mamluk (beranak pinak) beserta contoh?
7. Jelaskan pemahaman saudara tentangMilik sempurna (milk al-
tam) beserta contoh?
8. Jelaskan pemahaman saudara tentang Milik tidak sempurna
(milk an-naqis) beserta contoh?
9. Jelaskan pemahaman saudara tentang Milk al’ain (memiliki
benda saja) beserta contoh?
10. Jelaskan pemahaman saudara tentang Milk al-manfaah
(memiliki manfaat saja) atau hak manfaah beserta contoh?
11. Jelaskan.pemahaman saudara tentangmilk al mutamayyaz
(milik jelas) beserta contoh?
12. Jelaskan pemahaman saudara tentang milk al-masya’ (milik
bercampur) beserta contoh?

Buku Ajar
52 FIQH MUAMALAH
13. Jelaskan prinsip kepemilikan milk al-‘ain (pemilikan atas
benda) sejak awal disertai milk al-manfaat (pemilikan atas
manfaat) dan bukab sebaliknya?
14. Jelaskan prinsip kepemilikan pemilikan awal pada suatu benda
yang belum pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagai
milk al-tam (pemilikan sempurna)?
15. Jelaskan prinsip kepemilikan pemilikan sempurna tidak
dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu?
16. Jelaskan prinsip kepemilikan pemilikan benda tidak dapat
digugurkan namun dapat dialihkan atau dipindah?
17. Jelaskan prinsip kepemilikan mal al-masya’ (pemilikan
campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama
posisinya dengan milk al-mutayyaz, kecuali ada halangan (al-
mani’)?
18. Jelaskan prinsip kepemilikan milik campuran atas hutang
bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat
dipisah-pisahkan?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 53
Buku Ajar
54 FIQH MUAMALAH
BAB

V
KONSEP UMUM AKAD (PERJANJIAN)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Pengertian Akad dan Rukun Syarat Akad
b. Memahami Proses Akad dan pembagian macam-macam Akad
c. Menjelaskan Khiyar dan berakhirnya hak Khiyar

A. Pengertian Akad
Salah satu prinsip muamalah adalah antaradin atau azas kerelaan
para pihak yang melakukan akad. Rela merupakan persoalan batin
yang sulit dapat diukur kebenarannya, maka manifestasi dari suka sama
suka itu diwujudkan dalam bentuk akad. Akadpun menjadi salah satu
proses dalam pemilikan sesuatu.
Lafal akad berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang berarti ikatan,
perjanjian, dan permufakatan. Pengertian akad secara bahasa:
“Ikatan antara sisi-sisi sesuatu, baik ikatan itu secara nyata
atau maknawi yang berasal dari satu sisi atau dari kedua sisi”62.

62 Wahbah al-Zuhaily,op cit, h. 80

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 55
Sedangkan pengertian akad secara istilah terbagi pada pengertian
umum dan khusus, akad dalam pengertian umum,sejalan dengan
pengertiannya secara bahasa, adalah:
“Segala yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya
baik bersumber dari keingianan satu pihak seprti waqaf atau
bersumber dari dua pihak seperti jual beli”.63

Dalam hal ini, makna akad sejalan sama dengan makna tasharruf dan
iltizam.
Adapun Pengertian akad dalam makna khusus adalah:
“Ikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang disyari’atkan
yang memunculkan akibat (konsekuensi) hukum terhadap
objeknya”.64

Yang dimaksud dengan ijab dalam defenisi akad adalah


ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh
suatu pihak, biasanya disebut dengan pihak pertama. Sedangkan qabul
adalahpernyataan atau ungkapan yang, menggambarkan kehendak pihak
lain. Biasanya dinamakan pihak yang kedua, menerima atau menyetujui
pernyataan ijab. Maksud term yang dibenarkan oleh syara’ (‘ala wajhin
masyru’in) adalah bahwasanya setiap akad tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan syari’at Islam. Term ini merupakan batasan normativ
yang sangat prinsip dalam fikih muamalah.65 Misalnya,mengkonsumsi
narkoba menurut ajaran Islam hukumnya haram, maka segala hala yang
terkait dengan produksi dan distribusi narkoba (termasuk akad-akad
yang terkait dengannya) juga bertentangan dengan ajaran Islam, karena
itu hukumnya adalah haram juga.

63 Ibid
64 Ibid, h. 81
65 Ghufron A Mas’udi, op cit, h.77

Buku Ajar
56 FIQH MUAMALAH
Akad seperti yang disampaikan dalam definisi di atas merupakan
salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad (perikatan)
tersebut menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan akad.
Perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda dalam fikih muamalah
dinamakan al-tasharruf, yang pengertiannya sebagai berikut:
Segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak
seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat
hokum (hak dan kewajiaban).66

Tindakan hukum (al-tasharruf) dibedakan menjadi dua: (1)


tasharruf yang berupa perbuatan, dan (2) tasharruf yang berupa
perkataan. Tidak semua perkataan manusia bersifat akad. Perkataan
seseorang tergolong sebagai akad apabila dua atau beberapa pihak
sepakat untuk saling mengikatkan diri. Kehendak (perbuatan) seseorang
untuk melepaskan harta miliknya, seperti dalam wakaf, hibah, dan
thalaq sesungguhnya tidak tergolong sebagai akad. Oleh kerena itu
perbuatan hukum (al-tasharruf) lebih luas cakupannya dibandingkan
akad.

B. Rukun dan Syarat Akad


Agar suatu akad dapat dinilai sah maka harus terpenuhi rukun
dan syaratnya. Dalam menjelaskan rukun dan syarat akad terjadi
perbedaan pendapat ulama perbedaan pendapat ini terjadi karena
berbedanya mereka dalam mendefenisikan rukun dan syarat. Rukun
menurut Hanafiyah adalah:
Segala hal yang eksistensi sesuatu bergantung kepadanya dan
merupakan bagian dari hakikat (esensi) sesuatu itu.67

66 Musthafa al Zarqa’, op cit, h.288


67 Wahbah al Zuhaily, op cit, h. 92

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 57
Maka yang menjadi rukun di kalangan Hnafiyah adalah shigat
akad yaitu ijab-kabul, karena hakikat dari akad ialah ikatan antara ijab
dan kabul. Namun menurut golongan Hanafiyah, ‘aqid, dn ma’qud
‘alaih tidak termasuk rukun karena kedua unsur ini merupakan seseatu
yang berada di luar esensi akad. Menurut mereka ‘aqid, dan ma‘aqud
‘alaih termasuk ke dalam syarat-syarat akad.
Sedangkan rukun menurut Jumhur fuqaha selain Hanafiyah
adalah:
Segala hal yang eksistensi sesuatu bergantung kepadanya
meskipun bukan bagian dari hakikat sesuatu itu.68

Maka dalam hal ini yang termasuk rukun akad adalah: akid
(orang yang berakad), ma’qud ‘alaih (objek kad), shighat aqad.
Adapun syarat-syarat akad adalah sebagai berikut:
1. ‘Akid (orang yang berakad), disyaratkan balihg berakal atau cakap
hukum. Orang yang cakap hokum merupakan orang yang dapat
mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, sehingga dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Begitu pula orang
yang cakap hukumlah yang bisa dinilai bahwa perbuatan yang
dilakukannya sah dan punya implikasi hukum.
2. Ma’qud ‘alaih (objek aqad), disyaratkan:
a. Sesuatu yang diakadkan ada ketika akad, maka tidak sah
melakukan akad terhadap sesuatu yang tidak ada seperti jual
beli buah-buahan yang masih berbentuk putik.
b. Objek akad adalah sesuatu yang dibolehkan syari’at, maka
tidak dibenarkan melakukan akad terhadap sesustu yang
dilarang agama (mal qhairu mutaqawwimin) seperti jual beli
darah, narkoba dan lain sebagainya.

68 Ibid

Buku Ajar
58 FIQH MUAMALAH
c. Dapat diserah terimakan ketika akad, maka tidak sah melakukan
akad terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan
seperti jual beli burung di udara.
d..Objek yang diakadkan diketahui oleh pihak-pihak yang berakad.
Keharusan mengetahui objek yang diakadkan ini menurut para
fuqaha’ adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan antara
pihak yang berakad. Hal ini berdasarkan kepada larangan yang
tetdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang melarang
jual beli gharar dan jual beli majhul (bendanya tidak diketahui).
Nabi bersabda:
Nabi melarang jual beli sperma pejantan dan jual beli gharar
e. Bermanfaat, baik manfaat yang akan diperoleh berupa materi
ataupun immateri . Artinya jelas keguanan yang terkandung
dari apa yang diakadkan tersebut.
3. Shigat akad, merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang
yang melakukan aqad yang menunjukkan tujuan kehendak batin
mereka yang melakukan aqad.
Shigat terdiri dari ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan
yang menunjukkan kerelaan yang terjadi lebih awal dari salah
seorang yang berakad.69 Maka perkataan yang pertama dalam jual
beli dinamakan ijab, baik berasal dari penjual maupun pembeli.
Bila penjual mengawali dengan perkataan “saya jual” dinamakan
ijab, atau pembeli yang mengawali perkataan “saya beli” juga
dinamakan dengan ijab. Sedangkan qabul adalah sesuatu yang
disebut kemudian yang berasal dari salah satu pihak yang
berakad yang menunjukkan kesepakatan dan kerelaan sebagai
jawaban dari ucapan pertama. Qabul adakalnya dari penjual
dan adakalanya dari pembeli ketika akad berlangsung, misalnya
dengan kalimat saya terima.

69 Ibid, h. 93

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 59
Ijab dan Kabul disyaratkan:
a. Jelas menunjukkan ijab dan kabul, artinya masing-masing dari
ijab dan qabul jelas menunjukkan maksud dan kehendak dari
dua orang yang berakad.
b. Bersesuaian antara ijab dan kabul, kesesuain itu dikembalikan
kepada setiap yang diakadkan. Bila seseorang mengatakan jual
maka jawabannya beli atau sejenisnya. Bila terjadi perbedaan
antara ijab dan kabul maka akad tidak sah.
c. Menunjukkan kehendak kedua pihak secara pasti, yaitu tidak
ada hal-hal yang bersifat paksaan atau yang menimbulkan
keraguan dalam berakad.
d. Bersambungan antara ijab dan kabul. Ijab dan kabul terjadi pada
satu tempat yang sama jika kedua belah pihak hadir bersamaan.
Atau pada suatu tempat yang diketahui oleh pihak yang tidak
hadir dengan adanya ijab.
Untuk terciptanya bersambungnya antara ijab dan kabul
disyaratkan:
1. Bersatunya majelis (tempat) ijab kabul
Akad tidak boleh dilakukan dengan ijab pada satu tempat
sedangkan kabul pada tempat yang lain misalnya dikatakan
saya jual barang ini dengan harga sekian, kemudian ia pindah
ketempat lain yang jauh dari tempat pertama sehingga
majelis pertama itu berakhir, kemudian pihak lain (pembeli)
menjawab setelah perpindahan tersebut, maka akad itu tdak
dapat diakadkan.70
Dalam masalah bersambungan ijab dan kabul ini terjadi
perbedaan pendapat ulama apakah ijab harus segera dijawab
dengan kabul? Jumhur fuqaha yang terdiri dari Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan tidak disyaratkan
segera dalam pernyataan kabul, karena pihak lain (penjawab)
70 Ibid, h. 104-106

Buku Ajar
60 FIQH MUAMALAH
membutuhkan waktu untuk berpikir. Sedangkan al-Ramli
dari kalangan Syafi’iyah mensyaratkan segera dalam kabul.
Hanafiyah dan Malikiyah dalam masalah ini berpendapat,
antara ijab dan kabul boleh saja diantarai oleh waktu sehingga
pembeli dapat berpikir dengan baik. Namun Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat, jarak antara ijab dan kabul tidak boleh
terlalu lama yang menimbulkan dugaan terjadinya perubahan
terhadap objek akad.71
2. Tidak ada penolakan dari salah seorang yang berakad
3. Tidak ditarik kembali sebelum ada kabul dari pihak lain.

C. Proses Akad dan Hal-Hal yang Merusaknya


Akad sebagaimana telah disampaikan di muka, merupakan
pertalian dua kehendak. Shighat akad (ijab dan kabul) merupakan
ungkapan yang mencerminkan kehendak masing-masing pihak. Dengan
demikian kehendak dapat dibedakan menjadi dua: Iradah al-bathinah
dan iradah al-zhahirah. Iradah al-bathiah adalah niat atau al-qashdu.
Sedangkan iradah al-zhahirah adalah ungkapan lahir atau formulanya
(shighat) yang menggambarkan kehendak batin seseorang.
Jadi ijab kabul sesungguhya merupakan format akad yang
mencerminkan kehendak bathin masing-masing pihak. Adapun subtansi
dari al-iradah al-‘aqdiyah (kehendak berakad) adalah al-ridha (rela).
Jika akad dilakukan hanya dengan iradah zhahirah saja tanpa disertai
iradah bathinah, maka akad tersebut bersifat nihil, tidak menimbulkan
akibat hukum sama sekali. Berikut ini ada beberapa jenis dan kondisi
akad yang nihil ini:
1. Akad yang dinyatakan dalam kondisi mabuk, tidur, gila, dan
oleh seorang anak yang tidak mumayyiz, karena mereka tidak
mempunyai persyaratan ahliyatul ada’.
2. Pernyataan akad tidak dapat dipahami maknanya
71 Nasruen Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Media Gaya Pratama 2000), h. 117

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 61
3. Pernyataan akad untuk tujuan pengajaran dan contoh, tidak
dimaksudkan untuk tujuan akad itu sendiri.
4. Pernyataan akad yang dinyatakan dengan maksud gurauan atau
kelakar. Menurut fuqaha Syafi’iyah ungkapan akad yang dinyatakan
sebagai kelakar gurauan berlaku sebagai akad yang sah, baik dalam
akad mu’awwadhah al-maliyah seperti dalam jual beli, maupun
dalam al-ahwal al-syahsiyah seperti akad nikah, cerai, rujuk dan
lain-lain. Sedangkan fuqaha Hanafiyah, Hanabilah dan Malikiyah
memisahkan antara akad al-mu’awwadhah al-maliyah yang man
ungkapan akad secara gurauan tidak mempuyai akibat hukum,
karena tidak adanya unsur kerelaan (al-ridha) yang merupakan
subtansi dari iradah. Sedangkan untuk lima jenis akad ini: Nikah,
talak, rujuk, memerdekakan budak dan sumpah menurut mereka
dinyatakan dengan sungguh-sungguh atau dinyatakan dengan
gurauan adalah tidaka ada bedanya, sebagaimana dinyatakan
dalam riwayat hadis Nabi.72
5. Akad yang dinyatakan secara khatha’ (kesalahan tidak disengaja).
Misalnya ketika seseorang bermaksud menyatakan “aku beli!”,
namun lisan tergelincir mengucapkan kalimat “aku talak!”.
Menurut jumhur fuqaha,khatha’ sama kedudukannya dengan orang
lupa atau gila yang perkataannya tidak bersumber dari iradah,
sehingga perkataannya sama sekali tidak dianggap sebagai akad.
Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah pernyataan orang lupa dan
khatha’ dapat dianggap sebagai akad dan iltizam.
6. Iltija’ah adalah ketika dua orang sepakat untuk melakukan rekayasa
akad dengan tujuan untuk menghindari penganiayaan seseorang
terhadap hak miliknya, atau dengan menaikkan harga pembayaran
yang sebenarnya untuk mendapatkan gengsi dan popularitas.
Misalnya mengumumkan penambahan jumlah mahar dari pada
aslinya demi nama baik dan popularitasnya.

72 Wahbah al Zuhaily, op cit, h.191-192. Mengenai haidis Nabi yang dimaksud dapat
dilihat dalam Nailul Author, juz. 6, h.234

Buku Ajar
62 FIQH MUAMALAH
7. Ikrah (paksaan), yaitu keadaan di mana seseorang dipaksa
menyatakan akad yang tidak sesuai dengan iradahnya. Oleh karena
itu akad jual beli yang dilakukan secara paksa , menurut fuqaha
Syafi’iyah dan Hanabilah adalah batal demi hukum. Sedangkan
menurut fuqaha Malikiyah pihak yang dipaksa mempunyai hak
pilih (khiyar) untuk tetap meneruskan akad atau membatalkannya.
Sedangkan fuqaha Hanafiyah memberlakukan ikrah persis
sebagimana gurauan. Menurut mereka akad yang berobyek harta
seperti jual beli, ijarah, hibah, dan lain-lain yang disertai unsur
paksaan hukumya digantungkan pada adanya kerelaan setelah
unsur paksaan tersebut berakhir dalam tempo tiga hari. Jika pihak
yang dipaksa rela maka akadnya sah, dan jika tidak rela maka
akadnya batal. Sedangkan dalam hal akad nikah, talak, rujuk,
sumpah, dan pemerdekaan budak sekalipun dilakukan dalam
keadaan terpaksa hukumnya tetap sah.73
Yang dimaksud dengan ‘uyub al-iradah (hal-hal yang merusak
akad) atau ‘uyub al-ridha (hal-hal yang merusak kerelaan) adalah hal-
hal menyertai pelaksanaan akad yang dapat menimbulkan rusaknya
kehendak atau menghilangkan kerelaan. Wahabah al-Zuhaily dan al-
Syanhuri mencatat empat hal yang dapat mencederai iradah: al-ikrah
(paksaan), al-ghalat (kesalahan), al-tadlis ataual-gharar (curang),
al-ghabn (penipuan).74 Sedangkan Mushtafaal-Zarqa’ mencatat empat
hal: al-ikrah, al-khilabah(penipuan), al-taghrir dan al-tadlis.75 Adapun
uraian global hal-hal yang merusak kerelaan atau kehendak sebagai
berikut:
Pertama: Ikrah (paksaan)
Yang dimaksud al-ikrah adalah memaksakan orang lain berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu melalui tekanan atau ancaman.76 Ikrah
dibedakan menjadi dua. Pertama, al-ikrah al-tam, di mana seseorang
73 Wahbah al Zuhaily, juz. IV, h. 195
74 Ibid, h. 112
75 Musthafa al Zarqa’, juz I, h. 366
76 Ibid, h. 368

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 63
sama sekali kehilangan kekuasaan (daya) dan ikhtiyar (pilihan), seperti
paksaan yang disertai ancaman membunuh dan melukai anggota badan.
Paksaan jenis ini menyebabkan hilangnya ridha (kerelaan) dan merusak
ikhtiyar. Kedua,al-ikrah al-naqish, yaitu paksaan dengan ancaman yang
tidak membahayakanjiwa atau anggota badan lainnya, seperti dan lain-
lain. Paksaan jenis ini tidak menyebabkan hilangnya ridha dan tidak
merusak ikhtiyar.
Kedua: Ghalat (salah)
Ghalat yang dimaksudkan adalah ghalat (kesalahan) pada obyek
akad, yakni suatu kesalahan di mana terjadi ketidaksesuaian materi
atau sifat tertentu dari obyek akad yang dikehendaki oleh pihak yang
melakukan akad seperti kehendak membeli mutiara, namun yang
didapatkan adalah sebutir kaca, atau kehendak membeli sesuatu yang
berwarna merah, namun yang didapatkan adalah berwarna hitam.
Ketikaksesuaian obyek seperti ini menyebabkan batalnya akad. Kecuali
dalam pandangan Hanafiyah, di mana menurut mereka dalam hal akad
yang tidak menerima pembatalan (fasakh) seperti akad nikah, ghalat
tidak menyebabkan batalnya akad nikah. Dalam hal ini Imam Ahmad
berpendapat bahwa suami mempunyai hak fasah (membatalkan akad
nikah).
Ketiga: Tadlis
Tadlis (menyembunyikan cacat) atau tagrir (manipulasi)
adalah suatu kebohongan atau penipuan oleh pihak yang berakad
yang berusaha meyakinkan pihak lainnya dengan keterangan yang
berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.77Kebohongan melalui
perbuatan dan perkataan lebih popular disebut tagrir atau gharar,
sedangkan kebohongan dengan menyembunyikan keadaan yang
sungguhnya lebih popular disebut tadlis. Fuqaha sepakat bahwa tadlis
atau tagrir menyebabkan hak khiyar bagi pihak yang dirugikan untuk
membatalkan akad atau menerimanya78.

77 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 218


78 Ibid, h. 221

Buku Ajar
64 FIQH MUAMALAH
Keempat: al-Ghabn
Al-ghabn secara bahasa berat “kurang atau pengurangan”, secara
istilah adalah pengurangan obyek akad dengan jumlah yang tidak sesuai
dengan kesepakatan akad, atau jika salah satu harga atau nilai harta
benda yang dipertukarkan tidak setimbang yang lainnya.
Menurut fuqaha Hanafiyah dan Syafi’iyah, ghabn tidak
menyebabkan fasakh akad atau penolakan terhadap obyek akad oleh
pihak yang dirugikan kecuali jika ghabn tersebut disertai dengan
tagrir (kebohongan atas obyek akad). Sebab,menurut mereka yang
tidak disertai tagrir sesungguhnya hanya bersifat pengurangan, tidak
sampai merusak aspek kerelaan. Sedangkan menurut fuqaha Hanabilah
dan Malikiyah, ghabn mengakibatkan akadnya bersifat mauquf
(ditangguhkan) atau gairu lazim (tidak tuntas), baik ghabn tersebut
disertai dengan tagrir maupun tidak, dan pihak yang dirugikan berhak
mengajukan fasakh.

D. Persyaratan Akad dan Konsekuensi Hukumnya


Berikut ini adalah penjabaran keempat syarat akad beserta
konsekuensinya terhadap akad.79
1. Syarat In’iqad
Ini adalah persyaratan yang berkenaan dengan berlangsung
atau tidak berlangsungnya sebuah akad. Persyaratan ini mutlak
harus dipenuhi bagi eksistensi (keberadaan) akad. Jika tidak
terpenuhi, akadnya menjadi batal/gagal (bathil). Termasuk dalam
kategori persyaratan ini adalah persyaratan akad yang bersifat
umum berlaku pada setiap unsur akad, dan sejumlah persyaratan
khusus berlaku pada setiap akad-akad tertentu. Misalnya
saksi dalam akad nikah, dan serah terima dalam akad ‘ainiyah
(kebendaan), dan lain-lain.

79 Ghufron A Mas’adi, op cit, h. 101

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 65
2. Syarat Shihhah
Syarat shihhah(sah) adalah syarat yang ditetapkan oleh
syara’ yang berkenaan untuk memunculkan ada atau tidaknya
akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak terpenuhi,
akadnya menjadi fasid (rusak). Contoh persyaratn jenis ini,dalam
hal jual beli yang sangat popular dalam mazhab adalah keharusan
terhindarnya akad dari enam perkara: jihalah (tidak transparan),
ikrah, tauqit, tagrir, dharar dan syarat fasid.
3. Syarat Nafadz
Ini adalah persyaratan yang ditetapkan oleh Syara’
berkenaan dengan berlaku atau tidak berlakunya sebuah akad.
Jika persyaratan ini tidak terpenuhi akadnya menjadi mauquf
(ditangguhkan). Syarat nafazd ada dua: 1) milik atau wilayah,
artinya orang yang melakukan akad benar-benar sebagai pemilik
barang atau ia mempunyai otoritas atas obyek akad. 2). Obyek
akad harus terbebas dari hak-hak pihak ketiga.
4. Syarat Luzum
Ini adalah persyaratan yang ditetapkan oleh Syara’ berkenaan
dengan kepastian sebuah akad. Akad sendiri sesungguhnya
sebuah ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum bisa dipastikan
berlakunya seperti ada unsur tertentu yang menimbulkan hak
khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghairu lazim (belum
pasti), karena masing-masing pihak mem-fasakh-kan akad atau
tetap melangsungkannya.

Buku Ajar
66 FIQH MUAMALAH
E. Pembagian Macam-Macam Akad
Pembagian macam dan jenis akad dapat dilakukan dari berbagai
aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda, sebagaimana berikut:80
1. Akad Shahih dan Ghairu Shahih
Dari segi pemenuhan terhadap syarat dan rukun akad dibedakan
menjadi dua: akad shahih dan akad ghairu shahih. Akad shahih adalah
akad yang memenuhi segala persyaratan dan berlaku pada setiap unsur
akad (‘aqidain, shighatul ‘aqd, maudhu’ul ‘aqd, dan mahallul ‘aqd).
Akibat hukum yang ditimbulkan berlaku semenjak berlangsungnya
akad. Misalnya, akad jual beli yang dilakukan oleh pihak yang cakap
hukum atau mal al-mutaqawwimin, dengan tujuan untuk memindahkan
hak pemilikan secara sah. Maka setelah berlangsung ijab dan kabul,
seketika itu pemilikan benda berpindah kepada pembeli, sedang penjual
berhak atas pembayaran harga, sepanjang tidak terdapat alasan khiyar.
Akad ghairu shahih adalah akad yang bagian unsurnya atau
sebagian rukunnya tidak terpenuhi. Seperti akad jual beli bangkai
dan daging babi, atau jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak
memenuhi syarat kecakapan hukum. Akad seperti ini tidak menimbulkan
akibat hukum.
Dalam konsep fuqaha Hanafiyah akad ghairu shahih dibedakan
menjadi dua: (1) akad fasid, (2) akad bathil. Namun konsep jumhur
fuqaha tidak membedaka antara keduanya. Yang dimaksud dengan
akad bathil dalam pandangan fuqaha Hanafiyah adalah akad yang
cacat rukun dan tujuannya, atau karena prinsip dan sifat-sifat akadnya
bertentangan dengan ketentuan syari’at, seperti akadnya orang gila,
atau cacat pada shighat akadnya, atau obyek tidak dapat dikenai hukum
akad. Menurut mereka akad bathil ini sama sekali tidak menimbulkan
akibat hukum.

80 Wahbah al Zuhaily, op cit, h. 234-249

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 67
Sedangkan akad fasid menurut mereka adalah akad yang apada
prinsipnya tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat
tertentu yang dilarang oleh syara’ yang menyebabkan cacat iradah
(kehendak berakad), seperti ada unsur tipuan dan paksaan. Sekalipun
telah terjadi serah terima, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
fasakh (pembatalan akad) baik secara langsung maupun melalui qadhi
(hakim), dengan dua syarat: (1). Bendanya masih utuh sebagaimana
adanya sebelum terjadi serah terima. (2). Benda tersebut belumdi-
tasharruf-kan dengan piak lain.
Fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah selanjutnya membedakan akad
shahihmenjadi dua: (1) akad nafidz, dan (2) akad mauquf. Akad nafidz
adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap dan mempunyai
kewenangan melakukan akad. Akibat hukum yang ditimbulkannya
berlaku seketika berlangsungnya akad. Sedang akad mauquf adalah
yang dilakukan oleh orang yang cakap namun tidak mempunyai
kewenangan melaksanakan akad. Akibat hukum yang ditimbulkannya
digantungkan (mauquf) kepada izin pihak yang berwenang. Jika
pihak yang berwenang tidak mengizinkannya maka akadnya batal.
Dalam pandangan fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah akad mauquf ini
dinamakan sebagai akad yang batal.
Selanjutnya akad nafidz dibedakan menjadi dua: akad lazim
dan akad ghairu lazim. Akad lazim adalah akad yang mana salah satu
masing-masing pihak tidak dapat mengajukan fasakh kecuali dengan
kesepakan lainnya. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah, kelaziman ini
berlaku semenjak akad berlangsung, sedangkan menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah kelaziman ini berlaku semenjak kedua belah pihak berpisah
dari majelis akad. Sedangkan akad gahiru lazim dalah akad di mana
kedua belah pihak atau salah satunya mempunyai hak fasakh tanpa
perlu kesepakatan pihak lain.
Dari segi kelaziman (kepastian hukum) dan dari segi dapat atau
tidaknya menerima upaya fasakh, akad dibedakan menjadi empat
macam:

Buku Ajar
68 FIQH MUAMALAH
a. Akad lazim yang tidak dapat dikenakan fasakh. Misalnya
akad nikah tidak dapat difasakhkan meskipun berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak melalui iqalah. Namun akad
nikah dapat diakhiri melalui tata cara yang telah ditetapkan
oleh syari’at Islam melalui thalaq dan khulu’. Dalam hal ini
berlaku kaidah: “Setiap akad yang tidak menerima difasakhkan
tidak ada hak khiyar, karena khiyar memberikan hak fasakh
kepad shahibul khiyar”.
b. Akad lazim yang dapat dikenakan fasakh. Maksudnya akad yang
dapat diurungkan melalui iqalah (berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak). Akad jenis ini berlaku pada akad
muauwwadhah al-maliyah, seperti jual beli, ijarah, muzara’ah,
musaqah dan lain-lain.
c. Akad yang lazim (mengikat) terhadap salah satu pihak. Seperti
akad rahn dan kafalah. Keduanya bersifat lazim (mengikat)
kepada pihak rahin dan kafil, namun tidak bersifat lazim (tidak
mengikat) pihak murtahin dan makfullah.
d. Akad yang bersifat tidak lazim (tidak mengikat) terhadap kedua
pihak. Karenanya kedua belah pihak sama-sama memiliki hak
fasakh dan ruju’ (menarik kembali), misalnya akad wadi’ah,
ariyah, wakalah, syirkah, mudharabah. Pada lima akad ini
masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat mem-fasakh akad.
Termasuk jenis ini adalah wasiat dan hibah, di mana pihak yang
berwasiat dan yang berhibah berhak untuk menariknya kembali.
Demikian juga pihak yang menerima wasiat atau hibah berhak
menolak atau membatalkannya.

2. Akad Musamma dan Ghairu Musamma


Perbedaan jenis akad ini adalah dari segi penamaan yang
dinyatakan oleh syara’. Sejumlah akad yang disebutkan oleh Syara’
dengan terminologi tertentu beserta akibat hukumnya dinamakan
Akad Musamma. Misalnya akad bai’, ijarah, syirkah, hibah, kafalah,

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 69
hiwalah, wakalah, rahn, wasiat, qordh dan lain-lain.
Sedangkan Akad Ghairu Musamma adalah akad yang mana
Syara’ tidak menyebutkan dengan terminologi tertentu dan tidak pula
menerangkan akibat hukum yang ditimbulknnya. Akad ini berkembang
berdasarkan kebutuhan manusia dan perkembangan kemaslahatan
masyarakat. Seperti akad istihna’, bai’ al-wafa’, bai’ istijrar, dan
sebagainya.
3. Akad dari segi maksud dan tujuannya
Dari segi maksud dan tujuannya, akad dibedakan menjadi tujuh
macam sebagaimana berikut ini:
a. Akad al-tamlikiyyah, yakni akad yang dimaksud sebagai proses
pemilikan, baik pemilikan benda maupun manfaat. Jika akad ini
dilaksanakan dengan saling memberi dan menerima dinamakan
akad mu’awwadhah, seperti akad jual beli dan ijarah. Jika akad
tamlikiyyah ini dilaksanakan secara cuma-cuma dinamakan
akad tabarru’, seperti hibah, wakaf dan ‘ariyah (pinjam
meminjam).
b. Akad al-Isqath yakni akad yang dimaksudkan untuk
menggugurkan hak, baik disertai imbalan tau tidak. Jika tidak
disertai imbalan dinamakan akad isqath al-mahdhi, seperti akad
menjatuhkan khulu’ tanpa iwadh, permaafan terhadap qishash,
pembebesan hutang. Apabila akad isqath ini disertai imbalan
dinamaka isqoth al-muawwadah.
c. Akad al-Ithlaq adalah akad yang menyerahkan suatu urusan
dalam tanggung jawab orang lain, seperti , wakalah (perwakilan)
dan tawliyah (penyerahan kuasa).
d. Akad al-Taqyid, yaitu akad yang bertujuan untuk mencegah
seseorang bertasharruf, seperti pencabutan kewenangan,
wasiat, pengampuan atas seseorang lantaran gila atau cacat
mental.

Buku Ajar
70 FIQH MUAMALAH
e. Akad al-Tawtsiq, yaitu akad yang dimaksudkan untuk
menanggung piutang seseorang, atau menjaminnya, seperti
yang terjadi pada akad kafalah, hawalah dan rahn.
f. Akad al-Isytirak, yaitu akad yang bertujuan untuk bekerja sama
dan berbagi hasil, seperti yang berlaku pada berbagai macam
akad syirkah, satu di antaranya adalah mudharabah.
g. Akad al-Hifzh yaitu akad yang dimaksudkan untuk menjaga
harta benda, seperti akad wadi’ah (penitipan barang).
4. Akad ‘Ainiyah dan Ghairu ‘Ainiyah
Perbedaan ini didasarkan dari sisi penyempurnaan akad. Akad
‘Ainiyah adalah akad yang harus disempurnakan dengan penyerahan
harta benda objek akad, yang tergolong akad ‘Ainiyah adalah hibbah,
‘ariyah, wadi’ah, rah dan qord. Adapun akad Ghairu ‘Ainiyah adalah
yang kesempurnaannya hanya didasarkan pada kesempurnaan bentuk
akadnya saja dan tidak mengharuskan adanya penyerahan. Seluruh akad
selain lima yang disebut di atas termasuk jenis akad Ghairu ‘Ainiyah.

F. Khiyar
Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh ‘aqidain untuk memilih
antara meneruskan akad atau membatalknnya dalam hal khiyar syarat
dan khiyar ‘aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah benda dalam
khiyar ta’yin. Sebagian khiyar adakalanya bersumber dari kesepakatan
seperti khiyar syarat dan khiyar ta’yin, dan sebagian lainnya bersumber
dari ketetapan syara’ seperti khiyar ‘aib.
Menurut Wahbah al-Zuhaily ada tujuh macam khiyar. Namun
dalam kitabnya ia hanya menerangkan enam macam khiyar yang
populer, sebagimana akan diuraikan sebagai berikut:81

81 Ibid, h. 250

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 71
1. Khiyar Majelis
Yaitu hak setiap ‘aqidain untuk memilih antara meneruskan
akad atau mengurugkannya sepanjang keduanya belum berpisah.
Artinya suatu akad belum bersifat lazim (pasti) sebelum berakhirnya
majelis akad yang ditandai dengan berpisahnya ‘aqidain atau dengan
timbulnya pilihan lain. Khiyar majelis ini tidak berlaku pada setiap
akad, melainkan hanya berlaku pada akad al-mu’awwadhah ala-
maliyah, seperti akad jual beli dan ijarah.
Khiyar majelis dipegang teguh oleh fuqaha Syafi’iyah dan
Hanabilah berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim di mana
Rasulullah SAW bersabda:
“Masing-masing dari penjual dan pembeli memilki hak khiyar
selama keduanya belum berpisah”.82
Sedangkan fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah menyangkal
kebenaran jenis khiyar ini. Menurut mereka akad telah sempurna
dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua belah
pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan qabul. Allah
memerintahkan agar menunaikan akad, dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. Yang demikian itu dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya
Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-
Nya.83

Sedangakn khiyar majelis setelah terjadi ijab dan qabul


sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap akad. Mereka
mewakilkan teks hadis al-bayyi’ani (dua pihak yang berjual beli)
dalam konteks proses tawar menawar sebelum ada keputusan akad,
82 Subulul As Salam, juz III, h.33
83 Al-Qur’an dan Terjemahnnya

Buku Ajar
72 FIQH MUAMALAH
dan mewakilkan hadis ma lam yatafarraqa(selama keduanya belum
berpisah) dengan pengertian “terputus lisan”, tidak dalam pengertian
“berpisah badan”. Artinya ijab dan kabul telah terputus dengan
perkataan lain, maka masing-masing pihak dapat membatalkannya.
Yang demikian ini dalam pandangan mazhab Hanafiyah dinamakan
khiyar qabul dan khiyar ruju’.
Sesungguhnya hadis tentang khiyar majlis ini tidaklah
bertentangan dengan ayat al-Qur’an tentang perintah untuk menunaikan
akad. Karena yang dimaksud akad dalam ayat tersebut adalah akad
yang sudah lazim yang tidak mengandung unsur khiyar di dalamnya.
2. Khiyar Ta’yin
Yaitu yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan
atas sejumlah benda sejenis dan setara sifat atau harganya. Khiyar ini
hanya berlaku pad akad muawwadhah al-maliyah yang mengakibatkan
perpindahan hak milik, seperti jual beli. Yang demikian ini konsep
fuqaha Hanafiyah. Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal menyangkal
konsep khiyar ta’yin ini dengan alasan bahwa salah satu syarat obyek
akad adalah harus jelas.
Keabsahan khiyar ta’yin menurut fuqaha Hanafiyah harus
memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
a. Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad
b. Sifat dan nilai benda-benda yang mnjadi obyek pilihan harus
setara dan harganya harus jelas. Jika sifat dan nilai masing-
masing benda berbeda jauh, maka tidak ada artinya khiyar
ta’yin ini.
c. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.
3. Khiyar Syarat
Yaitu hak yang dimiliki‘aqidain untuk melangsungkan akad
atau membatalkannya selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan
ketika akad berlangsung. Seperti ucapan seorang pembeli:”Aku beli
barang ini dengan hak khiyar untuk diriku dalam sehari atau tiga

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 73
hari”. Sesungguhnya khiyar ini dimaksudkan utuk melindungi pihak
yang berakad dari unsur kecurangan akad. Khiyar ini hanya berlaku
pada akad lazim yang dapat menerima upaya fasakh, seperti jual beli
ijarah, muzara’ah, musaqah, mudharabah, kafalah, hawalah, dan lain-
lain. Khiyar syarat ini tidak berlaku pada akad ghairu lazim seperti
wakalah,ariyah. wadi’ah, hibah dan wasiat. Khiyar syarat ini juga tidak
berlaku pada akad lazim yang tidak menerima upaya fasakh, seperti
akad nikah, talak dan khulu’.
Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut ini:
a. Terjadi penegasan pembatalan akad atau penetapannya
b. Berakhirnya batas waktu khiyar
c. Terjadi kerusakan pada obyek akad. Jika kerusakan tersebut
terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal
dan berakhir khiyar. Namun apabila kerusakan tersebut terjadi
dalam penguasaan pembeli maka berakhirlah khiyar namun tidak
membatalkan akad.
d. Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan
pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak atau bertelur
atau mengembang.
e. Wafatnya shahibul khiyar, ini menurut pendapat mazhab Hanafiyah
Dan Hanabilah. Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris
ketika shahibul khiyar wafat.
4. Khiyar ‘Aib(karena adanya cacat)
Yakni hak yang dimilki oleh salah seorang dari ‘aqidain untuk
membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ia menemukan cacat
pada obyek akad yang mana pihak lain tIdak memberitahukannya
pada saat akad. Khiyar ‘Aib ini didasarkan pada riwayat hadis Nabi
Muhammad SAW:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, maka
tidak halal seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu

Buku Ajar
74 FIQH MUAMALAH
yang mengandung kecuali ia harus menjelaskan kepadanya”.84

Khiyar ‘Aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:


a. ‘Aib (cacat) tersebut terjadi sebelum akad, atau setelah akad
namun belum terjadi penyerahan. Jika cacat tersebut terjadi
setelah penyerahan atau terjadi dalam penguasaan pembeli
maka tidak berlaku hak khiyar.
b. Pihak pembeli tidak mengetahui akad tersebut ketika berlangsung
akad atau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli
sebelumnya telah mengetahuinya, tidak ada hak khiyar baginya.
c. Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak
bertanggung jawab terhadap segala cacat yang ada. Jika ada
kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak khiyar pihak
pembeli menjadi gugur.
Khiyar ‘Aib ini berlaku semenjak pihak pembeli mengetahui
adanya cacat setelah berlangsung akad. Adapun batas waktu untuk
menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat dikalangan
fuqaha.menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya
berlaku secara tarakhi. Artinya pihak yang dirugikan tidak harus
menuntut pembatalan akad ketika ia mengetahui cacat tersebut.
Sedangkan menurut fuqaha Syafi’iyah dan Malikiyah, batas waktunya
berlaku secara faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus
menggunakan hak khiyar secepat mungkin. Jika ia mengulur-ulur
waktu tanpa alas an yang dapat dibenarkan maka hak khiyar gugur dan
akad dianggap telah lazim (pasti).
Jika belum terjadi penyerahan, maka pihak yang dirugikan dapat
membtlkan akad secara langsung, tanpa melalui keputusan qadhi.
Namun jikaelah trjadi serah terima, maka menurut fuqaha Hanafiyah
tidak dapat difasakhkan kecuali melalui keputusan qadhi. Hal ini untuk
menghindari timbulnya persengketaan kedua belah pihak.
84 Nailul Author, juz V, h. 211

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 75
Hak khiyar ‘aib ini gugur apabila:
a. Pihak yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat
tersebut.
b. Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad
c. Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan
pihak pembeli
d. Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan
pihak pembeli, baik dari sejumlah seperti beranak atau
bertelur,maupun dari segi ukuran seperti mengembang.
5. Khiyar Ru’yat (melihat)
Yaitu hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketiaka ia melihat objek akad dengan syarat ia
belum melihatnya ketika beralngsung akad atau sebelumnya ia pernah
melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi
perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqaha Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah dan Dzahiriyah dalam kasus jual beli benda yang
ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa
berdasarkan keterangan hadis:
“Barang siapa membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya,
maka baginya hak khiyar ketika melihatnya”.85
Imam Syafi’I menyangkal kebenaran khiyar ru’yat ini, karena
menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib sejak semula sudah
tidak sah.
6. Khiyar Naqd (pembayaran)
Jika dua pihak melakukan jual beli dengan ketentuan jika
pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual
tidak dirugikan mempunyai hak untuk memnatalkan akad atau tetap
melangsungkannya.
85 Wahbah al Zuhaily, op cit, h. 268

Buku Ajar
76 FIQH MUAMALAH
G. Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad adakalanya disebabkan karena fasakh,
kematian atau karena tidak adanya izin pihak lain dalam hal akad yang
maquf.
Berakhirnya akad karena fasakh
Hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad adalah
sebagai berikut:86
1. Fasakh karena fasakhnya akad
Jika suatu akad beralangsung secara fasid, seperti bai’ al-majhul
atau bai’ al-muaqqat, maka akad harus difasakhkan baik oleh para pihak
yang berakad maupun oleh keputusan qadhi. Kecualai terdapat halangan
fasakh, misalnya jika pihak pembeli telah menjual atau menghibahkan
kepada pihak lain.
2. Fasakh karena khiyar
Shahibul khiyar berhak memfasakh akad jika menghendakinya
kecuali dalam kasus khiyar ‘aib setelah penyerahan barang, kecuali
dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan qadhi.
3. Fasakh berdasarkan iqalah
Iqalah adalah memfasakhkan akad berdasarkan kesepakatan
kedua pihak, seperti jika salah satu pihak mereka menyesal lalu
menghendaki untuk membatalkannya, yang demikian ini hanya bisa
terjadi atas kesepakatan pihak lain.
4. Fasakh karena tidak ada realisasi
Fasakh ini khusus berlaku pada khiyar naqd, sebagimana telah
diuraikan di muka. Misalnya karena rusaknya obyek akad sebelum
penyerahan, atau seperti kasus ijarah lantaran adanya udzur (halangan)
pada pihak musta’jir atau pad benda yang disewa dan lain sebaginya.

86 Ghufron A Mas’adi, op cit, h. 115

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 77
5. Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terrealisir
Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir,
atau jika tujuan Seperti ketika batas waktu sewa telah beakhir, ketika
hutang gadai telah terlunasi, ketika wakalah telah dilaksanakan,dan
lainsebagainya.
Berakhirnya akad karena kematian
Kematian menjadi penyebab berakhir sejumlah akad, sebagai
berikut:87
a. Ijarah (sewa menyewa)
Menurut fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan
berakhirnya akad ijarah. Berdasarkan alas an bahwasanya ijarah
merupakan akad yang berlaku atas dua pihak jika salah satu pihak
meninggal maka dengan sendirinya berakhirlah akad. Menurut jumhur
fuqaha selain Hanafiyah, kematian seseorang tidak meyebabkan
berakhirnya akad ijarah.
b. Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang)
Keduanya tergolong akad yang lazim atas suatu pihak. Jika pihak
penggadai
(rahin) meninggal, maka barang gadai harus dijual untuk melunasi
hutangnya. Sedangkan dalam hal kafalah (penjaminan) hutang, maka
kematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya
kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya atau diibra’kan oleh pihak lain.
Adapun dalam hal kafalah al-nafs (penjaminan diri) berakhir dengan
kematian pihak kafil atau pihak makful.
c. Syirkah dan Wakalah
Keduanya tergolong akad yang tidak lazim atas dua pihak.
Oleh karena itu, kematian seseorang dari sejumlah orang yang
berserikat,menyebabkan berakhir syirkah. Yang demikian berlaku juga
pada wakalah dengan lantaran kematian wakil atau muwakkal.

87 Ibid

Buku Ajar
78 FIQH MUAMALAH
d. Muzara’ah dan musaqah
Hanafiyah tidak membolehkan kedua akad ini, Syafi’iyah
membolehkan musyaqah,sedangkan Malikiyah dan Hanabilah
membolehkan keduanya. Menurut fuqaha yang membolehkannya, akad
muzara’ah dan musaqah berakhir dengan kematian pemilik tanah atau
pihak pekerja tani. Namun jika pemilik tanah meninggal sebelum panen
maka kedua akad tersebut tetap berlangsung sampai datang masa panen.
Namun apabila pekerja tani meninggal maka ahli warisnya meneruskan
akad sampai datang masa panen.
Berakhirnya Akad karena tidak adanya izin pihak lain
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai
wewenang tidak mengizinkannya, sebagaimana telah disampaikan
dalam pembahasan akad mauquf. Dan ketika pihak yang berwenang
meninggal sebelum memberikan izin,maka seketika akad mauquf
berakhir.

H. Rangkuman
Akad merupakan ungkapan atau pernyataan kehendak
melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut dengan
pihak pertama. Sedangkan qabuladalahpernyataan atau ungkapan yang,
menggambarkan kehendak pihak lain. Biasanya dinamakan pihak yang
kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab. Maksud term yang
dibenarkan oleh syara’ (‘ala wajhin masyru’in) adalah bahwasanya
setiap akad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.
Dalam akad ada hak khiyar yaitu hak yang dimiliki oleh ‘aqidain untuk
memilih antara meneruskan akad atau membatalknnya, dalam hal
khiyar syarat dan khiyar ‘aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah
benda dalam khiyar ta’yin. Sebagian khiyar adakalanya bersumber
dari kesepakatan seperti khiyar syarat dan khiyar ta’yin, dan sebagian
lainnya bersumber dari ketetapan syara’ seperti khiyar ‘aib. Sedangkan
berakhirnya akad adakalanya disebabkan karena fasakh, kematian atau
karena tidak adanya izin pihak lain dalam hal akad yang maquf.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 79
I. Tugas dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian akad secara istilah yang terbagi pada
pengertian umum dan khusus?
2. Jelaskan perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda (al-
tasharruf) dalam fikih muamalah?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ‘Akid (orang yang berakad
dalam syarat akad?
4. Jelaskan apa yang dimaksud Ma’qud ‘alaih (objek aqad) dalam
syarat akad?
5. Jelaskan persyaratan ijab dan kabul dalam akad?
6. Jelaskan syarat untuk terciptanya dan bersambungnya antara
ijab dan kabul?
7. Jelaskanbeberapa jenis dan kondisi akad yang nihil?
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Iltija’ahdalam akad
beserta contoh?
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Ikrah (paksaan dalam
akad beserta contoh?
10. Jelaskan hal-hal yang merusak akad?
11. Jelaskan persyaratan akad beserta konsekuensinya terhadap
akad ?
12. Jelaskan pengertian Akad Shahih dan Ghairu Shahih beserta
contoh?
13. Jelaskan pengertian akad fasid dan bathi beserta contoh ?
14. Jelaskan pengertian akad nafidz, dan akad mauquf beserta
contoh?
15. Jelaskan akad dari segi maksud dan tujuannya?

Buku Ajar
80 FIQH MUAMALAH
16. Jelaskan pengertian khiyar dalam akad beserta contoh?
17. Jelaskan macam-macam khiyar menurut Wahbah al-Zuhaily ?
18. Jelaskan keabsahan khiyar ta’yin menurut fuqaha Hanafiyah?
19. Jelaskan sebab-sebab berakhirnya khiyar syarat?
20. Jelaskan pengertian khiyar ‘aib dalam akad beserta contoh?
21. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakhnya
akad?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 81
Buku Ajar
82 FIQH MUAMALAH
BAB

VI
JUAL BELI (AL-BAI’)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan kepada mahasiswa mampu
a. Memahami Pengertian Jual Beli serta Rukun dan Syaratnya
b. Memahami hal-hal yang membatalkan Jual Beli
c. Menjelaskan hukum Mabi’ dan Tsaman

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 83
a. Memahami Pengertian Jual Beli serta Rukun dan Syaratnya
b. Memahami hal-hal yang membatalkan Jual Beli
c. Menjelaskan hukum Mabi’ dan Tsaman

PETA KONSEP
JUAL BELI

1. Pengertian 2. Dasar hukum 3. Hukum jual beli

1.1. Bahasa (etimologi) 2.1. Al-Qur’an


Mubah (boleh)
1.2. Istilah (terminologi) 2.2. Sunnah

4. Rukun dan 5. Berselisih 6. Bentuk Jual beli


syarat jual beli dalam jual yang dilalarang
beli

7. Manfaat dan 8. Melaksanakan


hikmah jual jual beli secara
beli benar

A. Pengertian Jual beli


A. Pengertian Jual beli
Secara bahasa al-bai’ (menjual) berarti “Mempertukarkan sesuatu dengan
Secara bahasa al-bai’ (menjual) berarti “Mempertukarkan
88
Atau ungkapan
sesuatu”.dengan 88 “Tukar menukar secara mutlak”. 89 Jalluddin al-
sesuatu sesuatu”.lain Atau ungkapan lain “Tukar menukar secara
mutlak”. 89
Jalluddin al-Mahally menjelaskan pengertian jual beli secara
88
Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazdahibil Arba’ah,(Beirut: Dar Fikri), Juz II, h.
bahasa
141 adalah: “Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang disertai
88 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazdahibil Arba’ah,(Beirut: Dar Fikri),
88
Juz II, h. 141
89 Sayyd Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz III, (libanon: Dar al-Fikr, 1983), h. 124

Buku Ajar
84 FIQH MUAMALAH
ganti dan imbalan”.90 Ia merupakan sebuah terma yang mencakup
makna kebalikannya yakni al-syira’ (membeli). Demikianlah al-bai’
sering diterjemahkan dengan “jual beli”.
Pengertian al-bai’ secara istilah, para Fuqaha menyampaikan
defenisi yang berbeda-beda antara lain sebagai berikut:
Menurut Fuqaha Hanafiyah:
“Menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tetentu, atau
mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang
lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-
bai’, seperti melalui ijab dan ta’athi (saling menyerahkan)”.91
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menyampaikan defenisi seabagai
berikut:
“Mempertukarkan harta dengan harta untuk tujuan pemilikan”
Ibn Qudamah menyampaikan defenisi sebagai berikut:
“Menukarkan harta dengan harta dengan tujuan pemilikan dan
penyerahan milik”.
Sayyid Sabiq dalam hal ini berpendapat:
“ Saling menukar harta dengan harta lain berdasarkan suka sama
suka”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka pengertian jual
beli adalah tukar menukar benda dengan benda (uang dengan barang)
berdasarkan suka sama suka dengan cara yang ditentukan syari’at, baik
dengan ijab dan kabul yang jelas atau dengan cara saling memberikan
barang atau uang tanpa mengucapkan ijab dan kabul seperti yang
berlaku pada pasar swalayan.
Allah SWT mensyari’atkan jual beli sebagai suatu kemudahan
untuk manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia
90 Jalaluddin al-Mahally, Qulyubi wa Amirah, (Mesir: Mustafa Babil Halabi, 1956),
Juz III, h. 151
91 Wahabah al-Zuhaily, Juz IV, h. 344

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 85
mempunyai kebutuhan hidup yang berbeda, adakalnya kebutuhan itu
ada pada orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan itu seseorang tidak
mungkin memberikannya tanpa ada imbalan. Salah satu sarana dalam
memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan jalan melakukan jual beli.
Jual beli dibolehkan dalam Islam berdasarkan keterangan al-Qur’an
dan Hadis Nabi SAW. Seperti dalam firman Allah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” 92
Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan:
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat, “pekerjaan
apakah yang paling baik”. Beliau menjawab: “pekerjaan yang
dilakukan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang
baik (kullu bai’in mabrurin)93.
Kaum muslimin telah sepakat tentang kebolehan jual beli dan hikmah
yang terkandung dalam jual beli. Manusia senantiasa membutuhkan
barang yang berbeda di tangan orang lain, sementara orang lain tidak
akan menyerahkan sesuatupun tanpa ada gant rugi atau imbalannya. Jual
beli disyari’atkan untuk memenuhi kebutuhan manusia karena manusia
merupakan mahkluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan
orang lain.

B. Rukun dan Syarat Jual Beli


Jual beli akan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya, yang
menjadi rukun jual beli di kalangan Hanafiyah adalah ijab dan kabul
yang menunjukkan saling tukar menukar atau berupa saling memberi
(muathah).94 Sedangkan yang menjadi rukun jual beli di kalangan
Jumhur ada tiga yaitu ba’i wa al-musytari, (penjual dan pembeli),
tsaman wa mabi’ (harga dan barang), shighat.

92 Al-Qur’an dan Tejemahannya


93 Muhammad bin Ismail al-Khalaniy,Subulus Salam, (Bandung:Maktabah Dahlan)
Juz III, h. 4
94 Abdurrahman al-Jaziri, op cit, Juz II, h. 155

Buku Ajar
86 FIQH MUAMALAH
Adapun yang menjadi syarat-syarat jual beli adalah:
1. Ba’i wa musytari (penjual dan pembeli) disyaratkan:
a. Berakal dalam arti mumayyiz, maka jual beli tidak dipandang
sah bila dilakukan oleh orang gila, anak kecil yang tidak
berakal. Bagaimana hukumya juala beli yang dilakukan anak-
anak seperti yang biasa terjadi pada masa sekarang.
Dalam persoalan ini Ulama berbeda pendapat, Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat transaksi jual beli yang
dilakukan anak-anak kecil yang telah mumayyiz adalah sah
selama ada izin dari walinya. Hanafiyah tidak mensyaratkan
baligh dalam jual beli, berarti sah transaksi yang dilakukan
anak kecil yang telah mumayyiz (lebih kurang berumur tujuh
tahun). Berbeda halnya dengan Abdurrahman al-Jaziri, syarat
akid dalam jual beli adalah mumayyiz, mengerti dengan jual
beli yang dlakukannya. Maka tidak sah jual beli yang dilakukan
anak-anak yang belum mumayyiz dan orang gila.95
Terhadap tranasaksi yang dilakukan anak-anak yang sudah
mumayyiz lagi berakal. Ulama Hanafiyah membagi kepada
tiga bentuk:
1. Transaksi yang mendatangkan manfaat untuk dirinya seperti
menerima hibah, hadah, sedekah, wasiat ataupun menerima
kafalah (tanggungan) jiwa, transaksi ini sah dilakukan oleh
anak-anak yang telah mumayyiz tanpa harus meminta izin
walinya, karena transaksi itu mendatangkan manfaat yang
utuh.
2. Transaksi yang mendatangkan mudharat untuk dirinya seperti
melakukan hibah, sedekah, utang piutang, menanggung utang
atau jiwa orang lain, tranasaksi ini tidak boleh dilakukan oleh
anak-anak yang mumayyiz lagi berakal walaupun ada izin
walinya.

95 Ibib, h. 160

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 87
3. Transaksi yang berkisar antara manfaat dan mudharat seperti
jual beli, ijarah, perkawinan, musaqah, syirkah dan sejenisnya.
Terhadap transaksi seperti ini sah dilakukan oleh akan-anak
yang mumayyiz tapi dengan izin walinya.
Syafi’yah berpendapat tidak sah jual beli yang dilakukan
oleh anak kecil karena tidak ada ahliyah (kepantasan), aqid
disyaratkan cerdas,maksudnya telah baligh dan mempunyai
ahliyah (kemampuan) dalam persoalan agama dan harta.96
Anak-anak yang lahir di zaman modern ini, sangat cepat
perkembangan otak dan pemikirannya (aspek kognitif),
walupun belum baligh. Kalau dipersyaratkan baligh segabai
syarat sahnya sebuah akad tentu akan menimbulkan kesulitan
dalam kehidupan manusia. Bagi anak-anak yang sudah
mengerti dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk,
boleh melakukan jual beli terhadap barang-barang kecil dan
murah seperti makanan dan mainan.
2. Atas kemauan sendiri
Jual beli yang dilakukan dengan paksaan dan intimidasi pihak
ketiga tidak sah, karena salah satu prinsip jual beli adalah
suka sama suka. Kecuali pemaksaan itu suatu hal yang mesti
dilakukan karena menjaga hak orang seperti menjual barang
gadai karena keputusan hakim untuk melunasi hutang.
3. Bukan pemboros dan pailit
Terhadap orang ini tidak dibenarkan melakukan jual beli
karena mereka dikenakan hajru (larangan melakukan
transaksi terhadap harta). Bagi pemboros dilarang melakukan
jual beli adalah untuk menjaga hartanya dari kesia-siaan, bagi
orang pailit dilarang karena menjaga hak orang lain.

96 Wahabah al-Zuhaily, op cit, h. 359

Buku Ajar
88 FIQH MUAMALAH
2. Mabi’ wa tsaman (benda dan uang) disyaratkan:
a. Milik sendiri
Barang yang bukan milik sendiri tidak boleh diperjual belikan
kecuali ada mandat yang diberikan oleh pemilik seperti akad
wakalah (perwakilan). Karena akad jual beli mempunyai
pengaruh terhadap perpindahan hak milik. Maka yang
diperjualbelikan harus milik sendiri sesuai dengan hadis Nabi
SAW:
“Tidak sah jual beli kecuali terhadap benda yang dimilki”
b. Benda yang diperjualbelikan itu ada dalam arti yang
sesungguhnya, jelas sifat, ukuran dan jenisnya. Maka tidak sah
jual beli benda yang belum berwujud seperti jual beli buah-
buahan yang belum jelas buahnya (masih dalam putik), jual
beli anak hewan yang masih dalam perut induknya, jual beli
susu yang masih dalam susu induknya (belum diperah), sesuai
dengan hadis Nabi SAW:
“Sesungguhya Nabi SAW melarang jual beli buah-buahan
sebelum jelas baiknya”
c. Benda dapat diserah terimakan ketika akad secara langsung
maupun tidak langsung. Maka tidak sah jual beli sesuatu yang
tidak dapat diserah terimakan, misalnya juala beli burung yang
terbang di udara dan ikan di lautan.97
d. Benda yang diperjual belikan adalah mal mutaqawwim. Mal
mutaqawwim merupakan benda yang dibolehkan syari’at
untuk memanfaatkannya,maka tidak sah melaksanakan jual
beli terhadap benda yang tidak dbolehkan syari’at untuk
memanfaatkannya seperti bangkai, babi, minuman keras dan
lain sebagainya, sesuai firman Allah QS 5: 3
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
97 Abdurrahman al-Jaziri, op cit, h. 166

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 89
Allah. Yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
yang dterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya.98
Dan Hadis Nabi Muhammad SAW:
Sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan jual beli
khamar, bangkai, babi dan berhala.
Berkaitan dengan ini, Abdurrahman al-Jaziri mensyaratkan
benda-benda yang diperjualbelikan harus suci, maka tidak sah
melakukan jual beli najis dan benda-benda yang mengandung
najis (mutanajis).99
3. Shighat ijab dan kabul, disyaratkan:100
a. Ijab dan Kabul diucapkan oleh yang mampu (ahliyah). Menurut
ulama Hanafiyah yang mengucapkan ijab dan kabul harus
orang yang berakal lagi mumayyiz sebagimana dipersyaratkan
bagi aqid.
b. Kabul berkesesuaian dengan ijab, misalnya seseorang berkata
“saya jual barang ini dengan harga sekian, kemudian dijawab
saya beli atau saya terima atau yang semakna dengan kalimat
tersebut sesuai dengan kebiasaan.
c.. Menyatunya majelis (tempat) akad
Ijab dan Kabul berada pada suatu tempat, dalam pengertian
masing-masing pihak yang berakad hadir bersamaan atau pada
tempat lain yang diketahui oleh phak lain. Apabila salah satu
pihak mengucapkan ijab jual beli, sementara pihak lain atau
ia sibuk mengerjakan pekerjaan lain yang berbeda tempatnya,
maka akad jual belinya tidak dapat dlaksanakan.

98 Al-Qur’an dan Terjemahnnya


99 Abdurrahman al-Jaziri, op cit
100 Rozalinda, op cit, h. 63

Buku Ajar
90 FIQH MUAMALAH
C. Obyek Jual Beli
Fuqaha Hanafiyah membedakan objek jual beli menjadi dua: (1)
mabi’, yakni barang yang dijual, dan (2) tsaman atau harga. Menurut
mereka mabi’adalah sesuatu yang dapat dikenali (dapat dibedakan)
melalui sejumlah kriteria tertentu. Sedangkan tsaman atau harga adalah
sesuatu yang tidak dapat dikenali, mata uang atau sesuatu yang dapat
menggantikan fungsinya, seperti gandum, mnyak atau benda-benda
lainnya yang ditakar dan ditimbang. Tsaman juga dapat berupa barang
dengan kriteria tertentu yang dtangguhkan pembayarannya. Misalnya,
jual beli setakar gula dengan harga Rp. 1000 atau dengan setakar
kedelai secara tempo. Maka setakar gula adalah mabi’ sedangkan uang
Rp. 1000 dan setakar kedelai sebagai tsaman.101
Menurut Imam Syaf’i dan Imam Zufar, mabi’ dan tsaman dua
kata yang bersifat muradif (sama arti) yang menunjukkan pengertian
dan objek yang sama.
1. Persamaan Antara Tsaman, Qimah dan Dain
Tsaman adalah harga yang disepakati oeh kedua belah pihak dalam
sebuah akad, sedangkan qimah adalah harga (nilai) yang berlaku secara
umum. Adapun dain adalah harga yang dibebankan kepada pihak lain
karena sebab-sebab iltizam seperti karena merusakkan barang orang
lain, ghasab, utang-piutang, jual beli dan lain-lain. Dalam hal ini
terdapat sebuah kaidah:
“Segala sesuatu yang dapat berfungsi sebagai mabi’ dapat
pula difungsikan sebagai tsaman, namun tidak berlaku yang
sebaliknya”.102
Untuk memperjelas pengertian mabi’ dan tsaman dalam jual beli perlu
diperhatikan hal-hal berikut:103
a. Nuqud (mata uang) seperti emas, perak atau uang kertas jika
berfungsi sebagai alat pembayaran, maka ia berlaku sebagai
101 Wahbah Al-Zuhaily Juz IV,, op cit, h. 401
102 Ibid, h. 403
103 Ibid, h. 103-105

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 91
tsaman, sedangkan barang yang ditukar dengannya selamanya
sebagai mabi’.
b. Barang yang tidak ada padanannya (qimiyyat) jika dipertukarkan
dengan barang yang banyak padanannya (misliyyat), maka yang
pertama sebagai mabi’ sedangkan yang kedua sebagai tsaman.
c. Barang misliyyat jika dipertukarkan dengan mata uang, maka
barang tersebut sebagai mabi’. Namun jika barang misliyyat
tersebut bersifat tempo, sepertidalam jual beli salam, maka ia
berlaku sebagia tsaman.
d. Barang qimiyyat ditukarkan dengan barang qimiyyat lainnya,
masing-masing berlaku sebagai mabi’ dan dari sisi lainnya
berlaku sebagai tsaman.

D. Beberapa Hukum yang Berkaitan Dengan Mabi’ dan Tsaman.104


1. Syarat obyek jual beli harus berupa mal mutaqawwimim berlaku
pada mabi’. Persyaratan ini tidak berlaku pada tsaman.
2. Syarat nafadz di mana obyek jual beli harus ada (wujud) dan
harus merupakan milik orang yang berakad berlaku pada mabi’.
Persyaratan ini tidak berlaku pada tsaman.
.3. Dalam bai’ al-salam tidak boleh mendahulukan (ta’jil) tsaman,
melainkan wajib mendahulukan mabi’.
4. Ongkos penyerahan tsaman wajib atas pembeli sedangkan
ongkos peyerahan mabi’ wajib atas pihak penjual.
5. Akad jual beli yang tidak disertai penyebutan tsaman adalah
fasid sedang jika tidak disertai penyebutan mabi’adalah batal.
6. Rusaknya mabi’ setelah serah terima menghalangi iqalah,
sedang rusaknya tsaman setelah searh terima tidak menghalangi
iqalah.

104 Ibid, h. 305-307

Buku Ajar
92 FIQH MUAMALAH
7. Rusaknya mabi’ sebelum serah terima membatalkan juala
beli, sedangkan rusaknya tsaman sebelum serah terima tidak
membatalkan jual beli.
8. Pembeli tidak berhak bertasharruf atas mabi’ sebelum serah
terima, sedang pihak penjual berhak bertasharruf atas tsaman
sebelum serah terima.
9. Pihak pembeli wajib menyerahkan tsaman lebih dahulu. Dari
situlah ia berhak atas peyerahan mabi’.

E. Membatalkan Jual Beli


Adapun suatu akad jual beli secara syara’ sah atau tidak sah
bergantung pada pemenuhan syarat dan rukunnya. Dari sudut pandangan
ini jumhur fuqaha membagi hukum jual beli menjadi dua: (1) shahih,
dan (2) ghairu shahih. Jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
adalah shahih, sedang jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat
atau rukunnya adalah ghairu shahih.
Fuqaha Hanafiyah membedakan akad jual beli menjadi tiga: (1)
shahih, (2) bathil, dan (3) fasid. Demimianlah mereka membagi ghairu
shahih menjadi dua yakni bathil dan fasid. Menutut fuqaha Hanafiyah
jual beli yang bathil adalah jual beli yang tidak memnuhi rukun dan
tidak diperkenankan oleh syara’. Jual beli bathil ini sama sekali tidak
menimbulkan akibat hukum peralihan hak milik dan tidak menimbulkan
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sedang jual beli fasid menurut mereka adalah jual beli yang
secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat
sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Berikut ini akan
disampaikan beberapak kasus jual beli yang bathil dan fasid.105

105 Ghufron A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada,2002), h.131

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 93
Beberapa Contoh Kasus Jual Beli yang Fasid dan Bathil
1. Bai’ al-Ma’dum (jual beli atas oaring yang tidak ada)
Seluruh mazhab sepakat atas batalnya jual beli ini. Seperti
jual beli janin di dalam perut induknya dan jual beli buah yang
belum tampak. Kesepakatan ini didasarkan pada sabda Raulullah
SAW:
“Rasulullah SAW melarang jual beli madhamin (sesuatu yang
tersimpan di dalam rusuk pejantan) dan jual beli mulaqib (sesuatu
yang tersimpan di dalam perut betina”.106
Dalam hadits lain Nabi bersabda:
“Rasulullah SAW melarang jual beli buah-buahan hingga masak,
menjual bulu yang masih melekat di punggung, dan menjual air
susu di dalam tetek”107
Imam Malik berpendapat lain dalam dua kasus. Pertama,
jual beli air susu dalam tetek sejumlah hewan ternak, jika kapasitas
jumlahnya dapat diketahui berdasarkan adat, menurutnya adalah
sah. Kedua, jual beli yang masih melekat di punggung domba
adalah sah, karena wujudnya dapat diketahui dan dapat diserah
terimakan.
Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, jual beli barang
yang tidak ada (al-ma’dum) ketika akad berlangsung adalah boleh
sepanjang barang tersebut benar-benar ada menurut perkiraan
adat dan dapt diserahterimakan setelah akad berlangsung. Karena
sesungguhnya larangan menjual barang yang ma’dum tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Yang dilarang sesungguhnya adalah
jual beli yang mengandung unsure gharar, yakni jual beli barang
yang sama sekali tidak mungkin diserahterimakan.108

106 Subulus Salam, Juz III,op cit, h 32.


107 Ibid
108 Wahbah al-Zuhaily,Juz IV, op cit, h. 427-429

Buku Ajar
94 FIQH MUAMALAH
2. Bai’ al-Ma’juz al-Taslim (Jual beli barang yang tidak mungkin
dapat diserahterimakan).
Misalnya jual beli burung yang terbang di udara, budak yang
melarikan diri, ikan dalam sungai dan lain-lain. Pada prinsipnya
seluruh imam mazhab sepakat bahwasanya jual beli seperti ini
adalah tidak sah, berdasarkan sejumlah hadis Nabi:
“Rasulullah SAW melarang jual beli hashah dan jual beli
gharar”.109
“Rasulullah SAW melarang jual beli anak di dalam perut binatang
hingga lahir, air susu dalam tetek dan budak yang melarikan
diri…”.110
3. Bai’ al-Gharar
Yakni jual beli yang mengandung tipu-daya yang merugikan
salah satu pihak karena barang yang diperjual belikan tidak
dapat dipastikan adanya, atau tidak dapat dipastikan jumlah atau
ukurannya, atau karena tidak mungkin dapat diserahterimakan.
Unsur gharar tersebut sebagimana terdapat pada kasus bai’
almadhamin, mulaqih, mulamasah, munabadzah, dan bai’ al-
bashah. Pada prinsipnya para fuqaha sepakat bahwasanya seluruh
kasus akad jual beli gharar adalah tidak sah.
4. Jual beli Barang Najis
Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya jual beli bangkai,
khamar dan babi adalah batal atau tidak sah. Hal ini sebagimana
dinyatakan dalam Sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar (minuman
keras),bangkai, babi dan berhala, kemudian seeorang bertanya:
“Bagaimana tentang lemak bangkai, karena banyak yang
menggunakannya sebagai pelapis perahu dan meminyaki kulit dan
untuk bahan bakar lampu?.Rasulullah SAW menjawab: “Tidak
109 Subulus Salam, Juz III, op cit, h.31
110 Ibid

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 95
boleh, semua iti adalah haram”111.
Mengenai benda-benda najis selain dinyatakan di dalam
hadis di atas fuqaha berselisih pandangan. Menurut mazhab
Hanafiyah dn Dhahiriyah, benda najis yang bermamfaat selain yang
dinyatakan dalam hadis di atas, sepanjang untuk tidak dimakan
sah diperjual belikan, seperti kotoran ternak. Kaidah umum yang
popular dalam mazhab ini adalah:
“Sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh syara’
boleh diperjualbelikan”.112
Menurut jumhur setiap benda najis tidak boleh
diperjualbelikan. Demikianlah fuqaha Hanafiyah berpegang pada
prinsip manfaat, sementara jumhur berpegang teguh pada prinsip
kesucian bend.
5. Bai’ al-‘Urban
Yakni jika seseorang membeli sesuatu dengan
membayar sebagian harga kepada pihak penjual. Jika pembeli
mengurungkannya maka sebagian harga yang telah dibayarkan
tersebut berlaku sebagai hibah.
Menurut fuqaha Hanabilah jual beli adalah sah berdasarkan
keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq dari sahabat
Zaid ibn Aslam di mana Rasulullah SAW pernah ditanya perihal
bai’ al-‘Urban dan beliau menghalalkannya. Menurut Jumhur
selain Hanabilah jual beli seperti ini dilarang dan hukumnya tidak
sah karena mengandung unsure gharar. Rasulullah SAW pernah
melarang jenis jual beli ini.
“Rasulullah SAW melarang ba’ al-‘Urban”.113

111 Ibid, h.5


112 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 446
113 Subulus Salam, op cit, h. 17

Buku Ajar
96 FIQH MUAMALAH
6. Bai’ al-Majhul
Yakni jual beli di mana mabi’ atau tsamannya tidak
dinyatakan, atau dinyatakan secara fasid (rusak/tidak benar).
Namun jika tidak menimbulkan persengketaan hukumnya sah.
Demikian ini adalah pandangan fuqaha Hanafiyah.
7. Bai’ al-Mu’allaq ‘ala Syarth
Yakni akad jual beli yang digantungkan pada syarat tertentu,
atau digantungkan pada masa yang akan datang. Misalnya
perkataan penjual: “ aku menjual rumahku kepadamu seharga x
Rupiah jika Fulan menjual rumahnya kepadaku”. Pada prinsipnya
seluruh mazhab sepakat akad jual beli seperti ini tidak sah. Fuqaha
Hanafiyah menyebut akadnya fasid, sementara jumhur menyebut
akadnya batal.
8. Bai’ al-Ghaibah
Yakni jual beli atas barang yang wujud (ada) namun tidak
dihadirkan ketika berlangsung akad. Menurut Hanafiyah dan
Malikiyah jual beli seperti ini adalah boleh, namun akdnya bersifat
fasid. Dan pembeli memilki hak khirar ru’yat. Menurut Syafi’iyah
hokum jual beli ini tidak sah secara mutlak karena mengandung
unsure gharar, yakni unsur ketidakpastian jenis dan sifat-sifatnya.
Dalam mazhab Hanabilah terdapat dua pandangan. Jika
barang tersebut tidak pernah dilihat oleh pihak pembeli dan tidak
dijelaskan sifat-sifatnya hukumnya tidak sah. Tetapi jika pihak
pembeli pernah melihatnya atau pihak oenjual menyatakan secara
jelas sifat dan kreterianya hukumnya sah sebagaimana yang
berlaku dalam akad jual beli saham.
9. Jual beli Orang Buta
Kasus ini berkaitan dengan bai’ al-ghaibah, di mana
orang buta tidak melihat barang yang diperjual belikan. Menurut
fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah jual beli orang buta
hukumnya sah dan ia memiliki hak khiyar sepanjang ia dapat

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 97
mengenali seperti perabaan ayau penciuman.
Menurut Syafi’iyah jual beli orang buta tidak sah, kecuali
ia sebelumnya pernah mengetahui barang yang hendak dibelinya
dalam batas waktu yang tidak memungkinkan terjadinya perunahan
atasnya. Hal ini disebabkan karena bagi orang buta, barang yang
diperjualbelikan bersifat majhul.
10. Jual beli Dengan Harga Haram
Jika jual beli dilakukan dengan harga (tsaman) yang
haram, menurut jumhur hukumnya tidak sah. Sedangkan
Hanafiyah menyebutnya fasid, karena menurut mereka tsaman
tidak dipersyaratkan harus berupa mal-mutaqawwim. Seperti telah
disampaikan di muka Hanafiyah membedakan antara mabi’ dan
tsaman, sedang menurut jumhur kedua istilah ini sama.
11. Bai’ al-‘Inah
Yakni jual beli yang dimaksudkan sebagai khillah
(rekayasa) untuk menghindari piutang riba. Misalnya seseorang
menjual barang dengan harga tempo, kemudian ia membelinya
kembali dengan harga kontan yang lebih murah. Demikianlah
prosese jual beli ini sesungguhnya bersifat shurriyah (sandiwara)
semata. Fuqaha sepakat jual beli seperti ini hukumnya tidak sah114.
Adakalanya bai’ al-‘Inah dilakukan dengan menyerrtakan
pihak ketiga yang membeli dengan harga kontan dari orang yang
bermaksud berhutang, lalu pihak ketiga ini menjualnya kembali
kepada pihak yang bermaksud menghutangi. Terhadap kasus
seperti ini fuqaha berbeda pandangan. Menurut Abu Hanifah
kehadiran pihak ketiga ini menyebabkan sahnya akad bai’ al-‘inah.
Menurut Imam Syafi’i hukumnya makruh namun
sah.karena seluruh syarat rukunya terpenuhi. Menurutnya,
sesungguhnya suatu akad tidak dapat dibatalkan karena niatan
tertentu. Sedangkan menurut Malkiyah dan Hanabilah hukumya
114 Ibid, h 467-469

Buku Ajar
98 FIQH MUAMALAH
batal berdasrkan syadz al-dzari’ah, yakni untuk menutup rapat-
rapat atau menghindari terjadinya sesuatu yang haram, yakni riba.

12 Jual Beli Buah-buahan dan Hasil Pertanian


Seluruh mazhab sepakat bahwasanya jual beli buah-
buahan atau hasil Nabi:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang
muhalaqah,muzabanah, dan mukhabarah”.115
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli buah di atas
pohon dan hasil pertanian yang masih tersimpan di dalam bumi.
Fuqaha Hanafiyah mengembangkan pembahasan masalah ini
menjadi dua kasus.116
1. Pertama, jika belum layak dipanen terdapat beberapa alternatif
hukum sebagai berikut:117
a. Jika akadnya mensyaratkan harus dipetik, maka sah dan
pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah
berlangsung akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
b. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apa pun maka
boleh. Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’I , Malik dan
Ahmad yang mengharuskan buah tersebut segera dipetik.
c. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik
(tetap di pohon) sampai masak, maka akadnya fasad,
sedang menurut Jumhur batal.
2. Kedua, Jika buah tersebut sudah layak dipanen, terdapat
beberapa alternatif hukum sebagai berikut:

115 Nailul Authar Juz V, h. 175


116 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 486
117 Ibid, h. 388-490

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 99
a. Jika disyaratkan keharusan memetiknya sesaat setelah
berlangsung akad, sah.
b. Jika akad dilaksanakan secara mutlak tanpa syarat memetik,
sah.
c. Jika disyaratkan tidak memetik kecuali buah yang besar,
atau menghalangi memetik yang masih kecil akadnya fasid.
Jika dalam periode tertentu suatu pohon menghasilkan
buah baru sedang akad jual beli tidak disertai persyaratan
apa pun, maka buah yang baru tersebut adalah milik penjual
(pemilik pohon). Namun jika antara buah lama dan baru
bercampur sedemikian rupa antara keduanya tidak dapat
dipisahkan, maka dalam hal ini pendapat mazhab Hanafiyah
adalah sebagai berikut:
1. Jika buah baru tersebut muncul sebelum penjual (pemilik pohon)
memisahkan atau menyerahkannya kepada pembeli akadnya
batal, Karena adanya kesulitan penyerahan.
2. Jika hal tertentu terjadi sesudah penyerahan tidak membatalkan
akad, dan buah baru tersebut hak pemilik pohon.
Pendapat Jumhur Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
adalah sebagai berikut:118
1. Jika buah telah layak benar-benar layak dipetik, akadnya sah,
baik jual beli tersebut dilaksanakan secara mutlak, dengan
syarat dipetik, maupun dengan syarat tidak langsung dipetik.
2. Jika buah tersebut belum layak petik, maka jika disyaratkan
tidak langsung dipetik hukumnya tidak sah. Namun jika
disyaratkan harus segera dipetik, sah. Karena menurut mereka
sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah
gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti
ini tidak terjadi jika langsung dipetik.

118 Ibid

Buku Ajar
100 FIQH MUAMALAH
3. Jual beli buah yang belum pantas dipetik (masih hijau) secara
mutlak tanpa persyaratan apa pun adalah batal.

F. Pembagian Macam-Macam Jual Beli


Dari aspek obyeknya jual beli dibedakan menjadi empat
macam:119
1. Bai’ al-Muqayadhah, atau bai’ al-‘ain bil-‘ain, yakni jual beli
barang dengan barang yang lazim disebut jual beli barter, seperti
menjual hewan dengan gandum.
2. Bai’ al-Muthlaq, atau bai’ al-‘ain bil-dain, yakni jual beli barang
dengan barang lain secara tangguh tau menjual barang dengan
tsaman secara mutlaq,seperti Dirham, Rupiahatau Dolar.
3. Bai’ al-Sharf, atau bai’ al-dain bil dain, yakni menjual belikan
tasaman (alat pembayaran) dengan tsaman lainnya, seperti Dinar,
Dirham, Dolar atau lat-alat pembayaran lainnya yang berlaku
secara umum.
4. Bai’ al-Salam, atau bai’ al-dain bil-‘ain. Dalm hal ini barang yang
di akadkan bukanberfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain
(tanggungan) sedangkan uang yang dibayarkan sebagi tsaman,
bisa jadi berupa ‘ain dan bisa jadi berupa dain namun harus
diserahkan sebelum keduanya berpisah. Oleh karena itu tsaman
dalam akd salam berlaku sebagai ‘ain.
Dari aspek tsaman, jual beli dibedakan menjadi empat macam:120
a. Bai’ al-Murabahah, yaknijual beli mabi’ dengan ra’s al-mal (harga
pokok) ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati
dalam akad.
b. Bai’ al-Tauliyah, yakni jual beli mabi’ dengan harga asal (ra’s
al-mal) tanpa ada penambahan harga atau pengurangan.

119 Ghufron A Mas’adi, op cit, h.141


120 Ibid, h. 142

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 101
c. Bai’ al-Wadhi’ah yakni jual beli barang dengan harga asal dengan
pengurangan sejumlah harga tau diskon.
d. Bai’ al-Musawamah, yakni jual beli barang dengan tsaman yang
disepakati kedua belah pihak, karena pihak penjual cendrung
merahasiakan harga asalnya. Ini adalah jual beli paling popular
berkembang d masyarakat sekarang ini.

G. Rangkuman
Allah SWT mensyari’atkan jual beli sebagai suatu kemudahan
untuk manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia
mempunyai kebutuhan hidup yang berbeda, adakalnya kebutuhan itu
ada pada orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan itu seseorang tidak
mungkin memberikannya tanpa ada imbalan. Salah satu sarana dalam
memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan jalan melakukan jual beli.
Jual beli adalah tukar menukar benda dengan benda (uang dengan
barang) berdasarkan suka sama suka dengan cara yang ditentukan
syari’at, baik dengan ijab dan kabul yang jelas atau dengan cara saling
memberikan barang atau uang tanpa mengucapkan ijab dan kabul
seperti yang berlaku pada pasar swalayan.

H. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan kesimpulan anda tentang pengertian jual beli yang
dikemukakan beberapa pendapat ulama?
2. Jelaskan hikmah yang terkandung dalam jual beli?
3. Jelaskan persyaratan Ba’i wa musytari (penjual dan pembeli)
dalam jual beli?
4. Jelaskan persyaratn Mabi’ wa tsaman (benda dan uang) dalam
jual beli?

Buku Ajar
102 FIQH MUAMALAH
5. Jelaskan persyaratan Shighat ijab dan Kabul dalam jual beli?
6. Jelaskan pengertian mabi’dan tsamandalam obyek jual beli
beserta contoh?
7. Jelaskanpersamaan Antara Tsaman, Qimah dan Dain dalam jual
beli?
8. Jelaskan hal-hal yang membatalkan jual beli?
9. Jelaskan pengertian jual beli yang Fasid beserta contoh?
10. Jelaskan. pengertian jual beli yang Bathilbeserta contoh ?
11. Jelaskan pendapat ulamaHanafiyah mengenai jual beli buah di
atas pohon dan hasil pertanian yang masih tersimpan di dalam
bumi?
12. Jelaskan pendapat jumhur ulama mengenai jual beli buah di atas
pohon dan hasil pertanian yang masih tersimpan di dalam bumi?
13. Jelaskan pengertian Bai’ al-Muqayadhah beserta contoh?
14. Jelaskan pengertian Bai’ al-Muthlaq besrta contoh?
15. Jelaskan pembagian jual beli dilihat dari aspek tsaman?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 103
Buku Ajar
104 FIQH MUAMALAH
BAB

VII
SISTEM JUAL BELI SALAM, ISTISHNA’
DAN SHARF

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Sistem Jual Beli Salam, Istishna’ dan Sharaf
b. Menjelaskan praktik Sistem Jual Beli Salam, Istishna’ dan Sharaf

A. Konsep Jual Beli Salam dan Istishna’


Salam menurut bahasa hijaz (Madinah) dinamakan dengan salam
sedangkan menurut peneduduk Irak salam diistilahkan dengan salaf.
Secara bahasa Salam atau salaf bermakna:Menyegerakan modal dan
mengemudiankan barang.121
Sayyid Sabiq menamakan salam dengan salaf yaitu
Jual beli sesuatau dengan criteria tertentu yang berada dalam
tanggungan dengan pembayaran segera.122
Abu Zahrah berpendapat salam adalah:
Salam yaitu jual yang pemberian barangnya ditunda sedangkan
121 Abdurrahman al-Jaziri, op cit, h. 306
122 Sayyid Sabiq, op cit, h. 171

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 105
harga barang dibayarkan segera.123
Musthafa Ahmad Zarqa’ menjelasakan salam adalah:
Jual beli benda dengan jenis tertentu yang penyerahannya,
ditangguhkan sedangkan uang disegerakan peyerahannya
(bayar di muka).124
Wahbah al-Zuhaily berpendapat:
Salam atau salaf yaitu jual yang pemberian barangnya ditunda
dengan pembayaran segera, atau jual beli sesuatu yang
sifatnya berada dalam tangungan, jual beli yang didahulukan
pembayaran dan barangnya ditunda sampai batas waktu yang
tertentu.125
Salam berarti “memesan” barang dengan cara menyerahkan
uang terlebih dahulu akan tetapi barang diserahkan pada waktu yang
ditentukan. Pada jual beli salam ini barang yang dibeli masih dalam
tanggungan penjual. Salam biasa terjadi pada keadaan barang yang
diinginkan sangat eklusif (berbeda dan menarik) dari jenis yang
lainnya.126
Pada prinsipnya seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang
tidak ada padanya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Hadits Nabi:
Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu
Namun ada pengecualaian dari kaidah ini, kaena ada kemaslahatan
yang lebih urgen yakni pemenuhan kebutuhan manusia
Akad salam dibolehkan dalam Islam berdasarkan QS: al-Baqarah (2)
:282

123 Muhammad Abu Zahrah, Mausuah al-Fiqh al-Islami, Juz II, (Kairo: Jami’ah al-
Dirasah al-Isalamiyah, 1967), h. 41
124 Musthafa Ahmad Zarqa’, Syarah a.-Qanun al-Madani al-Suwari al-Uqud al-
Musamah Aqad Bai’, (Damsiq: Ma’thabi Fata al-Arabi, 1965), h. 23
125 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 598
126 Rozalinda op cit, h. 76

Buku Ajar
106 FIQH MUAMALAH
Apabila kamu melakukan jualbeli tidak secara tunai untuk waktu
tertentu maka tuliskanlah.127
Dan Hadits Nabi MuhammadSAW:
Siapa yang melakukan jual beli salam terhadap sesuatu
hendaklah dengan aturan yang jelas, timbangan yang sampai
batas waktu tertentu
Para ulama sepakat menyatakan bahwa jual beli salam dibolehkan.
Jual beli salam mengandung unsur efesien dan efektifitas, pada waktu
tertentu seseorang dapat memenuhi kebutuhan terhadap barang
yang diinginkan dengan mudah. Sehingga akan dapat meningkatkan
perdagangan dan perkembangan perekonomian.
Sedangkan al-Istishna’ (Jual beli barang pesanan dari pengerajin)
adalah akad dengan pihak pengerajin atau pekerja untuk mengerjakan
suatu produk barang (pesanan)tertentu di mana materi dan biaya
produksi menjadi tanggung jawab pihak pengerajin. Jika materinya
berasal dari pihak pemesan berlaku sebagai akad ijarah.128
Akad istishna’ bersifat tidak luzum (biasa) di mana masing-
masing pihak mempunyai hak khiyar. Hak hkiyar pihak pengerajin
berakhir ketika ia mendatangkan produk kepada pihak pemesan.
Sedangkan pihak pemesan mempunyai khiyar ru’yat (melihat barang).
Yang demikian ini merupakan pandangan fuqaha Hanafiyah.
Pada prinsip akad istishna’ mempunyai akad salam di mana
keduanya tergolong bai’ al-ma’dum (yakni jual beli barang yang belum
berwujud). Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaan
sebagai berikut:129
1. Obyek salam bersifat al-dain (tanggungan), sedangkan obyek
istishna’ bersifat al-‘ain (benda)

127 Al-Qur’an dan Termahannya


128 Abdurrahman al-Jaziri, op cit, h. 280
129 Ghufron A Mas’adi,op cit, h. 144

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 107
2. Dalam akad salam dibatasi dengan tempo (waktu) yang pasti.
Persyaratan ini menurut Hanafiyah tidak berlaku pada akad
istishna’.
3. Akad salam bersifat luzum, sedangkan akad istishna’ tidak bersifat
luzum. Demikian ini menurut Hanafiyah. Sedangkan menurut
jumhur akad salam dan istishna’ sama-sama bersifat luzum
(mengikat kedua belah pihak).
4. Ra’s al-mal (hara pokok) dalam akad salam harus dibayarkan
secara kontan demikian ini tidak diteruskan dalam akad istishna’.
Ini menurut Hanafiyah. Sedangkan menurut jumhur, harga pada
kedua akad tersebut harus dibayar tunai ketika akad berlangsung.
Demikian juga ulama sepakat atas kebolehan akad istishna’
meskipun tampaknya bertentangan dengan hadits Nabi prihal bai’ al-
ma’dum (yakni jual beli barang yang tidak ada) dan mengandung unsure
spekulasi. Dalam mazhab Hanafiyah kebolehan istishna’ didasarkan
pada prinsip istihsan (karena unsur kebaikannya, (efiisen, efektf),
dan unsur kepentingan umum), sedangkan jumhur mengqiyaskannya
kepada salam.

B. Syarat Akad Salam dan Istishna’


Rukun dan syarat jual beli salam pada dasarnya sama dengan
jual beli biasa , yakni ijab dan Kabul menurut Hanafiyah, sedangkan
menurut selain ulama Hanafiyah rukun akad salam tiga ada yaitu akid
(muslam dan muslam alaih) jual beli salam, di sampingharus terpenuhi
syarat-syarat jual beli biasa, para ulama sepakat untuk sahnya akad
terpenuhi enam syarat yaitu:130
1. Ra’sul mal (harga asal ) disyaratkan:
a. Diketahui jumlahnya
b. Jelas jenisnya (misalnya dinar atau dirham)

130 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 600

Buku Ajar
108 FIQH MUAMALAH
c. Merupakan uang yang sah
d. Diserahkan pada waktu akad tunai maupun cek sebelum para
pihak berpisah dari tempat akad. Jika uang diserahkan kemudian
setelah para pihak berpisah dari tempat akad maka akad salam
menjadi batal. Karena yang dimaksud dengan salam atau salaf
adalah mendahulukan menyerahkan uang (muka). Dalam akad
salam, barang merupakan utang yang berada dalam tanggungan,
apabila mengemudiankan penyerahan uang akan memunculkan
jual beli hutang dengan hutang,padahal itu dilarang dalam hadits
Nabi:
Rasulullah SAW melarang jual beli hutang dengan hutang
Ini merupakan syarat yang disepakati antara ualama Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun berbeda dengan Imam Malik
yang membolehkan mengemudiankan menyerahkan uang dalam
waktu tiga hari.131
2. Muslam fih (barang) disyaratkan;
a. Diketahui jenisnya
b. Diketahui sifat dan kriterianya
c. Diketahui ukurannya baik melalui takaran, timbangan, hitungan
atau biji. Sesuai dengan hadiat Nabi yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim yang memerintahkan agar orang yang melakukan
akad salam hendaklah dengan ukuran yang jelas, timbangan
yang jelas, batas waktu yang jelas.
d. Tidak menimbulkan riba fadhal (penambanhan keuntungan
untuk pihak penjual, diluar harga yang disepakati)
e. Barang diserahkan kemudian (waktu tunda), bila barang
diserahkan pada waktu akad maka akad salam tidak sah, karena
tidaklah dinamakan salam bila barang diserahkan pada waktu
akad, demikian pendapat ulama Hanafiyah. Malikiyah dan
131 Ibid, h. 603

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 109
Hanabilah. Namun ulama Syafi’iyah membolehkan penyerahan
barang pada waktu akad.
f. Jenis barang dari segi sifat dan kriterianya merupakan barang
yang ada di pasaran.
g. Akad bersifat tetap, tidak adahak khiyar bagi kedua belah pihak
atau salah seorang dari keduanya.
3. Jelas batas waktu dan tempat penyerahan barang
4. Barang yang dipesan merupakan hutang yang menjadi tanggungan
penjual
Karena akad istishna’ tidak sesuai dengan kaiah umum
jual beli, maka fuqaha menggantungkan kebolehan akad ini dengan
sejumlah syarat sebagai berikut:132
1. Obyek akad (atau produk yang dipesan) harus dinyatakan secara
rinci: jenis, ukuran, sifatnya. Syarat ini sangat penting untuk
menghilangkan unsur jihalah dan gharar.
2.Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang
mana masyarakat lazim memesannya, seperti sepatu, perabot
rumah tangga dan lain-lain.
3.Waktu pengadaan produk tidak dibatasi. Jika dibatasi dengan
waktu tenggang tertentu ia menjadi akad salam.

C. Konsep Sharaf
Al-Sharf secara bahasa berarti al-ziyadah (tambahan) dan al-a’adl
(seimbang). Sedangkan menurut istilah fiqh,l-sharf adalah:
“Jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis
secara tunai”.133

132 Ghufron A Mas’adi, op cit, h. 148-149


133 Wahbah Al-Zuhaily, op cit, h. 636

Buku Ajar
110 FIQH MUAMALAH
Seperti memperjual belikan emas dengan emas atau emas dengan
perak baik berupa perhiasan maupunmata uang. Praktek jual beli anatar
valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis, seperti
yang berkembang sekarang ini merupakan bentuk dari praktek al-sharf.
Jual beli seperti ini lazimnya disebut jual beli tukar barang atau barter.
Fuqaha menyatakan bahwa kebolehan praktek al-sharf didasarkan
pada sejumlah hadits Nabi:
“Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam
(apabila sejenis) harus sama (kualitas dan kuantitasnya) dan
harus tunai. Apabila tidak sama (jenis kualitas dan kuantitasnya)
maka jual belikanlah sekehendakmu secara tunai”.134

D. Syarat Akad Sharf


Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-Sharf adalah:135
1. Masing-masing pihak saling menyerah-terimakan barang
sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghidarkan
terjadinya riba nasi’ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak
menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-
sharf menjadi batal.
2. Jika akad al-sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus
seimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model
cetakannya.
3. Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-sharf. Karena akad
ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.
Berbeda denga khiyar ‘aib atau khiyar ru’yat. Kedua jenis khiyar
yang disebut terakhir ini sesungguhnya melekat dalam setiap
akad untuk menghindarkan terjadinya gharar. Oleh karena itu
masing-masing pihak dibenarkan menggunakan dua jenis khiyar
ini dalam akad a.l-sharf
134 Al-Shun’ani, Subulus Salam, Juz III, H. 37
135 Wahbah al-Zuhaily, op cit

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 111
E. Rangkuman
Jual beli Salam mengandung unsur efesien dan efektifitas, pada
waktu tertentu seseorang dapat memenuhi kebutuhan terhadap barang
yang diinginkan dengan mudah. Sehingga akan dapat meningkatkan
perdagangan dan perkembangan perekonomian. Sedangkan al-Istishna’
(Jual beli barang pesanan dari pengerajin) adalah akad dengan pihak
pengerajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang
(pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggung
jawab pihak pengerajin. Jika materinya berasal dari pihak pemesan
berlaku sebagai akad ijarah. Sedangkan praktek jual beli antar valuta
asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis, seperti yang
berkembang sekarang ini merupakan bentuk dari praktek al-sharf. Jual
beli seperti ini lazimnya disebut jual beli tukar barang atau barter.

F. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian jual beli salam beserta dalil dalam al-Qur’an?
2. Jelaskan pendapat saudara pada prinsipnya seseorang tidak boleh
menjual sesuatu yang tidak ada padanya.?
3. Jelaskan pengertian jual beli Isthisna’ beserta contoh?
4. Jelaskan berakhirnya hak khiyar pengerajin dalam jual beli
Isthisna’?
5. Jelaskanberakhirnya hak khiyar pemesan dalam jual beli Isthisna’?
6. Jelaskan perbedaan jual beli Salam dan jual beli Isthisna’?
7. Jelaskan syarat akad jual beli Salam dan Isthisna?
8. JelaskanMuslam fih (barang) disyaratkan dalam jual beli Salam
dan Isthisna?

Buku Ajar
112 FIQH MUAMALAH
9. Jelaskan kebolehan akad isthisna dengan sejumlah syarat, karena
akad istishna’ tidak sesuai dengan kaiah umum jual beli,?
10. Jelaskan jual beli sharf beserta dalil dan contohnya?
11. Jelaskan persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-Sharf?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 113
Buku Ajar
114 FIQH MUAMALAH
BAB

VIII
RIBA

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahamitentang Konsep Riba
b. MenjelaskanMacam-macam Riba serta Bunga Bank

A. Konsep Riba dan Dasar Hukum Keharamannya


Riba menurut bahasa berarti (tumbuh subur,bertambah), seperti
yang terdapat dalam firman Allah SWT:
Maka apabia telah kami turunkan air atasnya hiduplah bumi itu
dan meninggi (QS:22:5) 136
Sayyid Sabiq menjelaskan riba adalah:
Tambahan terhadap modal, sedikit maupun banyak137
Abdurrahma al-Jaziri menjelaskan riba adalah:
Penambahan dari salah satu dari dua barang sejenis yang
dipertukarkan tanpa ada kompensasi terhadap tambahan
tersebut138
136 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnnya, (Jakarta: al-Huda 2005), h. 333
137 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Libanon:Dar al-Fikr 1980), h. 176
138 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Mazahib al- Arba’ah, (Mesir: Maktabah al-
Tijariyah al-Qubra, 1970), h. 245

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 115
Dengan demikian riba merupakan kelebihan atau tambahan
pembayaran tanpa ada ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari
dua orang yang berakad. Semua agama samawi melarang praktek riba,
karena dapat menimbulkan dampak negative pada masyarakat pada
umumnya dan bagi mereka yang terlibat khususnya. Adapun dampak
negative dari praktek riba dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan
bermasyarakat adalah:139
1. Menyebabkan ekploitasi (pemerasan)oleh si kaya terhadap simiskin
2. Menyebabkan kebangkrutan usaha pada gilirannya menyebabkan
keretakan rumah tangga jika peminjam tidak mampu mengembalikan
pinjamannya
3. Riba akan menimbulkan kemalasan berusaha karena pemilik modal
menggantungkan pendapatan dari hasil buga uang yang dipinjamkan
4. Memutuskan hubungan silaturrahmi antara sesama manusia
5. Menyebabkan hati orang yang terlibat riba mnejadi guncang,
perasaannnya tumpul dan pikirannya kusut.
Karena banyaknya dampak negativ yang dituimbulkan oleh
riba, maka Allah SWT melarang kegiatan riba, sebagaimana yang
diperingatkan Allah dalam QS. 2:275
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran
penyakit gila. Hal itu disebabkan karena mereka berkata
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba140
Ayat di atas mengecam keras pemungutan riba dan mereka
diserupakan dengan yang kerasukan syetan. Selanjutnya ayat ini
membantah kesamaan antara jula beli dan riba dengan menegaskan
Allah menghallkan juala beli dan mengharamkan riba. Larangan
139 Rozalinda, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Perbankna Syari’ah, (Padang:
Hayfa Press, 2005), h.158
140 Al-Qur’an dan Terjemahnnya, op cit, h. 48

Buku Ajar
116 FIQH MUAMALAH
riba dipertegas kembali pada ayat 278 pada surat yang sama, dengan
perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali
pada QS.2: 279:
Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahauilah
Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat
maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada di antara kamu
yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya141.
Mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian
diharamkan? Ayat 279 memberikan jawaban yang merupakan
kalimat kunci hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud
menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi sadaqah. Sedang
illat pengharaman riba dinyatakan dalam ayat 279, latadzlimuna
wala tudzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau
tidak berbuat dzulm (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak
seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah bahwasanya
illat pengharaman dalam surat al-Baqarah adalah dzulm (ekploitasi:
menindas, memeras dan menganiaya).
Keempat ayat dalam surat Al-Baqarah tentang kecaman dan
pengharaman riba ini didahului 14 ayat (QS:2:261 sampai dengan
ayat 274) tentang seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan shadaqah
dan kewajiban berzakat. Antara lain dinyatakan bahwa Allah akan
mengganti dan melipatgandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat
bahkan lebih banyak lagi, bahwa sesungguhnya syetan selalu menakuti
dengan kekhawatiran jatuh miskin sehingga manusia cendrung berbuat
keji dengan bersikap kikir, enggan bershadaqah dan melakukan riba.
Pernyataan al-Qur’an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam
QS.3: 130.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda. Dan bertaqwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.142
141 Ibid
142 Ibid, h. 67

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 117
Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada
dalam konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara
lain dinyatakan bahwa kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi
tolak ukur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu
dinyatakan bahwa menafkahkan harta dijalan Allah baik dalam kondisi
sempit maupun lapang merupakan sebagian pertanda orang yang
bertakwa.
Berdasarkan uraian singkat tentang pernytaan al-Qur’an tentang
riba dalam surat al-Baqarah dan surat Ali-Imran , tampaklah bahwa
keduanya berada dalam konteks seruan shadaqah (termasuk seruan infaq
fi sabilillah dn kewajiban berzakat). Dalam pernyataan al-Qur’an, antara
keduanya (yakni riba dan shadaqah) selalu dipertentangkan. Kecaman,
ancaman keras dan pengharaman riba dipertentangkan dengan seruan
shadaqah yang sangat gencar. Praktek riba yang memungut keuntungan
secara berlipat ganda dipertentangkan dengan pahala shadaqah
yang sangat spektakuler, dan riba sebagai hutang kepada manusia
dipertentangkan dengan shadaqah yang dinyatakan sebagai pinjaman
kepada Allah. Jelaslah bahwa tujuan dari semua itu adalah bahwa Allah
bermaksud menghapuskan tradisi Jahiliyah, yakni praktek riba, dan
menggantinya dengan tradisi baru yakni tradisi shadaqah.143
Jika illat riba adalah zdulm (penindasan dan pemerasan) dan hikmah
pengharaman riba adalah untuk enumbuh suburkan shadaqah, maka
denga sendirinya tradisi riba yang diharamkan dalam al-Qur’an adalah
praktek riba yang bertentangan dengan seruan shadaqah. Kepada pakir
miskin al-Qur’an menyerukan konsep ta’awun (pertolongan) melalui
pinjaman tanpa bunga, juga memalui pemberian (shadaqah) dan
pembayaran hak zakat mereka, maka pemerasan terhadap fakir miskin
yang seharusnya ditolong dengan pinjaman berbunga inilah praktek
riba.

143 Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo ,2002),
h. 154

Buku Ajar
118 FIQH MUAMALAH
Sekalipun al-Qur’an menyerukan ta’awun (pertolongan semata-
mata mencari keridhoan Allah), dalam batasan tertentu al-Qur’an
menghalalkan tijarah (niaga) yang bertujuan mencari keuntungan
berdasrkan prinsip antaradhin (saling rela) sebagaimana diajarkan
dalam surat al-Nisa’ (4:29-30)
Format dari prinsip antaradhin adalah ijab qabul. Sedangkan
subtansinya adalah “saling menguntungkan”. Gharar (curang atau
tipuan), dzulum (memeras) dan ikrah (paksaan) merupakan cara-cara
bertijarah secara bathil. Semua cara tersebut mengakibatkan keuntungan
pada satu pihak dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Berbeda dengan benda-benda hidup seperti hewan yang
menghasilkan telur, susu, keturunan, dan seperti pepohonan yang
menghasilkan bunga dan buah, benda-benda mati secara alamiyah tidak
bersifat produktif. Benda-benda mati sepert ini tidak dapat berlaku
atasnya prinsip tawallud, artinya benda-benda mati tersebut tidak dapat
“berbunga dan beranak” atau menghasilkan suatu keuntungan bagi
pemiliknya. Satu-satunya cara untuk menghasilkan keuntungan bagi
pemiliknya adalah melalui tijarah.144
Pernyataan hadits Nabi mengenai keharaman riba antara lain:
Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang
yang member makan riba, penulis dan saksi riba. Kemudian
beliau bersabda mereka semua adalah sama.145
Rasulullah SAW bersabda: menjual emas dengan emas harus
sama beratnya dan sama (tunainya) dan menjual perak dengan
perak harus sama beratnya dan sama (tunainya). Barang siapa
menambah atau meminta tambah, maka tambahan tersebut
adalah riba. Penerima dan pemberi adalah sama-sama salah.146
Rasulullah SAW melarang menjual perak dengan perak, kecuali
sama beratnya emas dengan emas dan membolehkan kita
144 Ibid, h. 156
145 Al-Shon’ani, Subulus Salam, Juz III, h. 36
146 Ibid, h. 38

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 119
menjual emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai
kehendak kita.147
Dalam hadis Nabi menyataka:
Allah melaknat orang yang memakan riba, orang yang
memakannya, saksi-saksinya dan penulis-penulisnya.148
Allah mengharamkan riba disebabkan karena banyak dampak
negativ yang ditimbulkan dari praktek riba. Hikmah pelarangan riba
adalah menolak kemudharatan dan mewujudkan kemaslahatan manusia.

B. Macam-Macam Riba
Riba menurut jumhur fuqaha ada dua yaitu riba fadhal dan riba nasi’ah:
1. Riba nasi’ah yaitu: Tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh
orang yang menghutangkan dari orang yang berhutang, sebagai
imbangan penundaan pembayaran hutang.149 Mislnya A meminjam
uang pada B sebanyak Rp. 1 juta selama 1 tahun. A akan diberi
hutang dengan pembayaran secara cicilan plus dengan memberikan
tambahan sebanyak Rp. 100.000,. tambahan inilah yang dikatan
riba.
Riba nasi’ah merupakan praktek riba nyata, dilarang dalam
Islam karena dianggap sebagai penimbunan kekayaan secara tidak
wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan kebaikan.
Kelebihan pembayaran karena penundaan waktu akan menambah
jumlah hutang oarang yang berhutang. Akhirnya jumlah hutangnya
akan membengkak, bahkan akan mengakibatkan kebangkrutan
karena mekanisme bunga berbunga. Semua ini telah diperingatkan
Allah dalam QS.3:130
Janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda150
147 Baca Shahih Al-Bukhari, dalam kitab al-Buyu’ nomor Hadits 2034
148 Ibid
149 Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqh, (Jakarta: CV. Mas Agung, 1993), h. 100
150 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op cit, h. 67

Buku Ajar
120 FIQH MUAMALAH
2. Riba fadhal yaitu: jual beli uang dengan uang atau makanan dengan
makanan dengan ada tambahan.151 Dengan kata lain riba fadhal
merupakan tukar menukar barang yang sejenis namun tidak sama
kualitasnya. Misalnya 1 iter beras dolog (kualitas rendah) ditukar
dengan 1 liter beras Solok (kualitas baik). Atau 1 gram emas 24
karat ditukar dengan 2 gram emas 21 karat.
Riba fadhal dilarang berdasrkan hadis Nabi:
Emas dengan emas, perak dengan perak, padi gandum dengan
gandum, beras gandum denga beras gandum, kurma dengan
kurma, garam dengan garam harus sama dengan tunai. Siapa
yang menambah atau minta tambahan maka sesunguhnya dia
meungut riba, oarng yang mengambil dan memberikannya sama
dosanya.152
Fara fuqaha telah sepakat tentang keharaman riba fadhal, untuk
semua jenis jula beli yang tersebut pada hadis di atas. Berarti jual
beli barter seperti yang dicontohkan pada hadis tersebut dilarang
kecuali sama kualitas dan kuantitasnya dan diberikan secara tunai.
Apabila jual beli barter dilakukan terhadap barang yang sama
kualitasnya maka jual beli itu sah. Tukar menukar barang yang
sama illatnya tapi berbeda jenisnya seperti 1 gram emas ditukar
dengan 10 gram perak , atau berbeda jenis dan illatnya seperti 1
gram emas ditukar dengan 100 kg korma dibolehkan.153

151 Sayid Sabiq, op cit, h. 178


152 Shahih al-Bukhari, op cit, Juz II, h. 253
153 Rozalinda, op cit, h. 160

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 121
C. Bunga Bank
Dalam litelatur ulama fikih klasik tidak dijumpai pembahasan
yang mengaitkan antara riba dan bunga perbankan. Sebab lembaga
perbankan seperti yang berkembang sekarang ini tidak dijumpai dalam
zaman sekarang. Bahasan bunga Bank apakah termasuk riba atau tidak,
baru ditemkan dalam berbagai litelatur fikih kontemporer.
Wahbah al-Zuhaily membahas hukum bunga bank dengan
menggunakan sudut pandangan teori fikih klasik. Menurutnya bunga
bank termasuk riba al-nasi’ah. Karena bungan bank termasuk kelebihan
atau tambahan yang dipungut dengan tidak disertai imbalan, melainkan
semata-mata karena penundaan tenggang waktu pembayaran.
Muhammad Rasyid Ridha (seorang mufassir kontemporer
Mesir) setelah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan larangan
dan keharaman riba menyampaikan pernyataan hipotesis “jika seeorang
menyerahkan harta kepada pihak lain sebagai investasi (modal kerja)
dan ia menetapkan prosentasi keuntungan dari hasil usaha tidak
termasuk riba. Karena transaksi investasi seperti ini menguntungkan
kedua pihak. Sedangkan riba yang diharamkan, menurutnya adalah
yang menimbulkan kerugian salah satu pihak, dan menguntungkan
pihak lain tanpa suatu usaha.154
Quraisy syihab (tokoh mufassr Indonesia) setelah menganalisis
banyak hal yang berkaitan dengan ayat-ayat riba menyimpulkan illat
keharaman riba adalah al-zdulum (anaiaya), sebagaimana tersirat dalam
surat al-Baqarah ayat 279. dzulm (penindasan atau pemerasan )tidak
semua bunga.
Majma’ Buhus al-Islamiyah di Cairo, sekalipun menyadari
bahwa system perekonomian suatu Negara tidak bisa lepas dari lembaga
perbankan yang belum dikenal pada masa Rasulullah, namun karena
sifatnya yang merupakan tambahan pokok piutang yang tidak disertai
imbalan, maka lembaga ini memutuskan bunga bank sebagai riba yang

154 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz III, h, 113-114

Buku Ajar
122 FIQH MUAMALAH
haram hukumnya155.
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Sidoarjo tahun
1968 memutuskan bunga perbankan sebagai sesuatu yang bersifat
syubhat atau mutasyabihat (meragukan), sedangkan menghindari setiap
mutasyabihat adalah lebih baik.156 Keputusan ini dikukuhkan kembali
dalam muktamar di Malang tahun 1989.
Nahdhatul Ulama (NU) dalam Munas Ulama di Bandar Lampung
pada tahun 1992 menetapkan tiga aspirasi yang berkembang di
kalangan ulama mengenai hukum bunga bank: (1) hukumnya haram
berdasarkan qiyas terhadap riba.(2) hukumnya halal berdarkan al-
maslahah, dan (3) subhat.157
Beberapa pandangan tokoh Islam kontemporer di atas cukup
untuk menggambarkan dua paradigm hukum Islam mengenai bunga
bank. Pertama., paradigma tekstual yang memahami bunga bank secara
induktif. Paradigm ini berpegang pada konsep setiap utang-piutang yang
disertai manfaat atau tambahan adalah riba. Sesungguhnya pendekatan
induktif ini berpijak pada teori qiyas yang bersandar pada illat jail (illat
yang jelas). Dalam hal riba dan bunga bank keduanya disatukan oleh
illat tambahan atau bunga. Abu Zahrah, Abul A’ala al-Mududi, Abdul
Manan, Syafi’i Antonio, Wardiman Abdul Karim merupaka sebagian
tokoh-tokoh penganut paradigm tekstual ini. Kedua, paradigama tekstual
yang memahami bunga bank secara deduktif. Paradigma ini berusaha
menguji pasangkan qiyas bunga bank terhadap keharaman riba dengan
menguji konteks masing-masing. Sebahagian ahli, sebagaimana telah
disampaikan di muka, menemukan perbedaan konteks antara keduanya.
Konteks keharaman riba dalam al-Qur’an adalah memungut tambahan
utang kepada pihak-pihak yang seharusnya ditolong, sehingga mereka
menyimpulkan illat keharaman riba adalah sifat dzulm.
155 Keputusan ini dikutib dari Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta:Ichtiyar Baru Van
Hoeve) Jilid V, h. 1500
156 PP Muhammadiyah, Himpunan Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah,
:Bandung:Sumber Jaya, 1997), h. 309-312
157 Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU,
Dinamika Press, Surabaya, 1997, h. 368

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 123
Sedangkan bank adalah lembaga niaga (tijarah) yang menjadi
mediator antara pihak yang ingin menyimpan modal (investor) dan
pengusaha yang membutuhkan modal. Jadi pijam meminjam atau
utang piutang dalam perbankan bukan dalam konteks tolong menolong
antara sikaya dan simiskin, melainkan tijarah (niaga) untuk mencari
keuntungan bersama antara pihak investor, pengusaha dan pihak
perbankan. Hasil analisis kontekstual seperti ini mengharuskan mereka
meninggalkan keputusan qiyas. Yang demikian ini merupakan penerapan
dari metode istihsan. Muhammad Syalthout, Mustafa Ahmad al-Zarqa’,
Fazlul Rahman, Quraisy Syihab, A. Hasan, Syfruddin Dawam Raharjo
merupakan sebagian dari tokoh penganut digma kontekstual ini.
D. Rangkuman
Riba merupakan kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa
ada ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang
berakad. Semua agama samawi melarang praktek riba, karena dapat
menimbulkan dampak negative pada masyarakat pada umumnya dan
bagi mereka yang terlibat khususnya. Dampak negative dari praktek
riba dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat:
1.Menyebabkan ekploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap simiskin
2.Menyebabkan kebangkrutan usaha pada gilirannya menyebabkan
keretakan rumah tangga jika peminjam tidak mampu mengembalikan
pinjamannya. 3.Riba akan menimbulkan kemalasan berusaha karena
pemilik modal menggantungkan pendapatan dari hasil buga uang yang
dipinjamkan4. Memutuskan hubungan silaturrahmi antara sesama
manusia. 5.Menyebabkan hati orang yang terlibat riba mnejadi guncang,
perasaannnya tumpul dan pikirannya kusut.

Buku Ajar
124 FIQH MUAMALAH
E. Soal dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian Riba secara etimologi dan terminologi berserta
dalilnya?
2. Jelaskan dampak negative dari praktek riba dalam kehidupan
pribadi maupun kehidupan bermasyarakat?
3. Jelaskan mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian
diharamkan?
4. Jelaskan hikmah pengharaman riba?
5. Jelaskan prinsip antaradhin dan prinsip tawallud beserta contoh?
6. Jelaskan Riba menurut jumhur fuqaha beserta contoh?
7. Jelaskan hukum bunga bank dengan menggunakan sudut pandangan
teori fikih klasik?
8. Jelaskan pendapat Muhammad Rasyid Ridha tentang bunga bank?
9. Jelaskan pendapat Quraisy syihab tentang bunga bank?
10. Jelaskan pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama tentang bunga bank?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 125
Buku Ajar
126 FIQH MUAMALAH
BAB

IX
PERSERIKATAN (AL-SYIRKAH)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Pengertian Syirkah (Perserikatan), Pembagian Syirkah
b. Menjelaskan Prinsip-prinsip Syirkah, Bentuk-bentuk Syirkah
Kerjasama dan Kemitraan

A. Pengertian dan Landasan Hukum


Secara bahasa al-Syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) atau
persekutuan dua hal atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit
dibedakan. Seperti persekutuan hak milik atau perserikatan usaha.
Beberapa pengertian al-syirkah secara terminologis yang
disampaikan oleh fuqaha mazdhab yang empat adalah sebagai berikut:158
Menurut fuqaha Malikiyah al-syirkah adalah kebolehan (izin)
bertasharruf bagi masing-masing pihak yang berserikat.
Maksudnya masing-masing pihak saling memberikan izin kepada
pihak lain dalam mentasharrufkan harta (obyek) perserikatan.
Menurut fuqaha Hanabilah al-syirkah adalah persekutuan
dalam hal hak dan tasharruf.

158 Wahbah al-Zuhaily, Ibid, h. 792

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 127
Menurut fuqaha Syafi’iyah al-syirkah adalah berlakunya hak atas
sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan.
Sedangkan fuqaha Hanafiyah al-syirkah adalah akad antara
pihak-pihak yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Trem al-syirkah dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat aal-
Nisa’:12 dan surat al-Shadd: 24
….Tetapi jika saudara seibu tersebut lebih dari seorang maka
mereka bersekutu dalam bagian sepertiga….
….Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat,
sebagian mereka berbuat aniaya terhadap sebagian lainnya.
Kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih. Dan mereka
itu amat sedikit…
Dalam hadits Qudsi diriwayatkan bahwasanya diriwayatkan Rasulullah
SAW bersabda:
“Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat,
sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat
terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap
lainnya maka Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud dan
al-Hakim dan Abu Hurairah)159
Dalam hadits lain Rasulullah SAW besabda:
“Pertolongan Allah tercurah atas dua pihak yang berserikat,
sepanjang keduanya tidak saling berserikat” (dalam berikhianat).
(HR. Muslim)160
Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW
tersebut di atas, pada prinsipnya seluruh fuqaha sepakat menetapkan
bahwa hukum syirkah adalah mubah (boleh-boleh saja), meskipun
mereka masih memperselisihkan kebashan hukum beberapa jenis
syirkah.

159 Al-Syaukani, Nailul Authar, Juz V, h. 264


160 Matan hadis ini penulis kutib dari Wahbah al-Zuhailiy, op,cit, . h. 793

Buku Ajar
128 FIQH MUAMALAH
B. Pembagian Jenis dan Macam Syirkah
Pada garis besarnya syirkah dibedakan menjadi dua jenis:
1. Syirkah amlak, yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam
pemilikan suatu barang, jenis syirkah ini dibedakan menjadi dua
macam:
a. Ijbariyah yaitu syirkah ini terjadi tanpa adanya kehendak
masing-masing pihak. Seperti persekutuan di antara ahli
waris terhadap harta warisan tertentu, sebelum dilakukan
pembagian.
b. Ikhtiyariah yaitu syirkah ini terjadi atas perbuatan dan
kehendak pihak-pihak yang berserikat. Seperti ketika dua
orang yang sepakat berserikat untuk membeli sebuah rumah
secara keuntungan.
2. Syirkah uqud, yaitu perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam
hal usaha, modal dan keuntungan. Fuqaha Hnafiyah membedakan
jenis syirkah ini menjadi tiga macam: syirkah al-amwal, syirkah
a’mal, syirkah wujuh. Masing-masing bisa bercorak mufawadah dan
‘inan. Fuqaha Hanabilah membedakannya menjadi lima macam:
syirkah ‘inan, syirkah mufawadah, syirkah abdan, syirkah wujuh
dan syirkah mudharabah. Adapun fuqaha Malikiyah dan Syfi’iyah
membedakannya menjadi empat jenis: syirkah ‘inan, syirkah
mufawadhah, syirkah abdan dan syrkah wujuh.
Pembagian macam-macam syirkah tersebut di atas dapat
dihimpun menjadi dua kategori. Pertama: syirkah al-anwal, syirkah
a’mal, atau abdan dan syirkah wujuh, merupakan kategori pembagian
dari segi materi syirkah. Sedangkan syirkah ‘inan, syirkah mufawadhah
dan syirkah al-mudharabah, merupakan kategori pembagian dari segi
posisi dan komposisi saham.
Berikut ini adalah pengertian umum tentang macam-macam syirkah al-
uqud:161
161 Ghufron A. Mas’adi, op cit, h. 193

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 129
1. Syirkah al-amwal adalah persekutuan antara dua pihak pemodal
atau lebih dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal
bersama dan membagi keuntungan dan resiko kerugian
berdasarkan kesepakatan.
2. Syirkah al-a’mal atau syirkah abdan adalah persekutuan dua
pihak pekerja atau lebih untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Hasil atau upah dari pekerjaan tersebut dibagi sesuai dengan
kesepakatan mereka.
3. Syirkah al-wujuh adalah persekutuan-persekutuan antara dua
pihak pengusaha untuk melakukan kerjasama di mana masing-
masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal. Mereka
menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga.
Keuntungan yang dihasilkan dibagi berdasarkan kesepakatan
bersama.
4. Syirkah al-‘inan adalah sebuah persekutuan di mana posisi
dan komposisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah
sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, maupun dalam hal
keuntungan dan resiko kerugian.
5. Syirkah al-muwafadhah adalah sebuah persekutuan di mana posisi
dan komposisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah
tidak sama, baik dalam hal modal, pekerjaan maupun dalam hal
keuntungan dan resiko kerugian.
6. Syirkah al-mudharabah adalah persekutuan antara pihak
pemilik modal dengan pihak yang ahli dalam berdagang atau
pengusaha, di mana pihak pemodal menyediakan sluruh modal
kerja. Dengan demikian mudharabah dapat dikatakan sebagai
perserikatan antara modal pada satu pihak, dan pekerjaan
pada pihak lain. Keuntungan dibagi berdasrkan kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Buku Ajar
130 FIQH MUAMALAH
C. Prinsip dan Syarat Syirkah
Setiap perserikatan dari seluruh jenis dan macam perserikatan
yang telah disampaikan di muka berlangsung berdasarkan prinsip-
prinsip umum berikut ini:162
1. Masing-masing pihak yang berserikat berwenang melakukan
tindakan hukum atas nama perserikatan dengan izin pihak lain.
Segala akibat dari tindakan tersebut, baik hasil maupun resikonya
ditanggung bersama.
2. Sistem pembagian keuntungan harus ditetapkan secara jelas, baik dari
segi prosentase maupun priodenya, misalnya 60%:40%, 30%:70%,
per triwulan atau per tahun. Bila system pembagian keuntungan
tidak dinyatakan secara jelas, hukumnya tidak sah.
3. Sebelum dilakukan pembagian, seluruh keuntungan merupakan
keuntungan bersama. Tidak boleh sejumlah keuntungan tertentu
yang dihasilkan salah satu pihak dipandang sebagai keuntungannya.
Selain prinsip umum sebagaimana dismpaikan di atas, terdapat
persyaratan khusus yang berlaku pada macam syirkah tertentu,
sebagaimana berikut ini:
Persyaratan khusus syirkah al-amwal:
a. Ra’s al-mal atau modal perserikatan harus diserahkan dan
tunai, tidak boleh berupa hutang atau jaminan.
b. Modal syirkah haruslah berupa al-tsaman (harga tukar) seperti
dinar, dirham, atau mata uang tertentu yang berlaku. Tidak
boleh modal syirkah berupa barang dagangan atau komoditas.
Persyaratan khusus dalam syirkah muwafadhah:
1. Masing-masing pihak harus berhak menjadi wali bagi mitra
serikatnya.
2. Syirkah ini dibentuk berdasarkan asas persamaan, dalam hal
komposisi modal, posisi kerja, dan juga dalamhal prosentase
keuntungan.
162 Wahbah al-Zuhaily, op cit, h. 805

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 131
Kedua persyaratan tersebut tidak berlaku pada syirkah al-
inan. Tidak terdapat persyaratan khusus dalam syirkah al-inan. Dengan
demikian syirkah al-inan sangat terbuka bagi keragaman kepentingan
dan kebeutuhan masing-masing pihak, baik dalam hak komposisi modal
maupun dalam hal posisi dalam menjalankan usaha.
Persyaratan khusus syirkah a’mal dan syirkah wujuh. Apabila
didirikan dengan prinsip muwafadhah maka berlaku seluruh persyaratan
muwafadhah, kecuali persyaratan modal. Kedua jenis usaha syirkah ini
dibentuk tidak dengan penyetoran modal. Tetapi jika didirikan dengan
prinsip al-inan, maka tidak ada ketentuan persyaratan khusus pada
kedua macam syirkah ini, ketentuan yang mempersyaratkan al-inan
masing-masing berwenang dalam mewakili mitra serikatnya.
Persyaratan khusus syirkah al-Mudharabah
a. Masing-masing pihak memenuhi persyaratan kecakapan
wakalah.
b. Modal (ra’s al-mal) harus jelas jumlahnya, berapa tsaman
(harga tukar) tidak berupa barang dagangan, dan harus tunai
dan diserahkan seluruhnya kepada pihak pengusaha.
c. Prosentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan
harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan
bersama. Sebelum dilakukan pembagian, seluruh keuntungan
menjadi milik bersama.
d. Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa
campur tangan pihak pemodal. Sekalipun demikian pada awal
transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar
kebijakan pengelolaan modal.
5. Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak
pemodal. Sedangkan pihak pekerja atau pengusaha sama
sekali tidak menanggungnya, melainkan ia menaggung
kerugian pekerjaan.

Buku Ajar
132 FIQH MUAMALAH
D. Syirkah: Kerja Sama Kemitraan
Prinsip dasar yang dikembangkan dalam syirkah adalah prinsip
kemitraan dan kerja sama antara pihak-pihak yang terkait untuk meraih
kemajuan bersama. Prinsip ini dapat ditemukan dalam ajaran Islam
tentang ta’awun (gotong-royong) dan ukhuwwah (persaudaraan).
Dalam hal ini syirkah merupakan bentuk kerja sama antar
pemilik modal untuk mendirikan usaha bersama yang lebih besar,
atau kerja sama antara pemilik modal yang tidak mempunyai keahlian
menjalankan usaha dengan pehak pengusaha yang tidak mempunyai
modal atau yang memerlukan modal tambahan.
Bentuk kerja sama antara pemilik modal dengan pengusaha
ini merupakan pilihan usaha yang lebih efektif untuk mengiatkan etos
kerja dibandingkan dengan perburuhan (ijarah) kareana masing-masing
mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan usaha secara optimal.
Apalagi jika dibandingkan dengan system persaingan (kompetisi) yang
cendrung mengarah kepada persaingan usaha secara tidak sehat.
Kalau diperhatikan, seluruh sistem syirkah dalam Islam didasarkan
pada sistem keadilan. Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik
modal adalah keuntungan ril, bukan harga dari fasilitas modal itu
sendiri, yang lazim disebut dengan bunga (interest). Bahkan sekiranyau
usaha syirkah mengalami kerugian, pihak pemodal menanggung
seluruh kerugian tersebut sebatas saham yang diinvestasikannya.
Sistem bagi hasil ini tentunya berbeda dengan sistem syirkah
kapitalis. Di mana pemilik modal tidak terlibat langsung dalam
tanggung jawab pengelolaan usaha. Apapun yang terjadi, pihak pemodal
mendapatkan keuntungan prosentatif dari besarnya modal investasi.
Sekalipun perusahaan syirkah mengalami kerugian dan kebangkrutan.
Terlepas apakah bunga modal adalah riba atau tidak karena
masih diperdebatkan system ekonomi bunga ini mengandung unsur
eksploitasi atau tidak, tergantung sudut pandang yang digunakan. Dari
sudut pandang pemodal, investasi sesungguhnya dapat dipandang
sebagai sebuah usaha yang layak mendapatkan keuntungan, yakni

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 133
keuntungan dari usaha jasa permodalan. Apalagi prosentasi bunga
yang berkembang sekarang relative lebih kecil, sekitar 16% per tahun
dibandingkan nisbah bagi keuntungan bersih sekitar 40 persen untuk
pemilik modal. Unsur eksploitasi dalam sistem bunga terlihat dari sudut
pandang pengusaha, khususnya apabila pengusaha tidak mempunyai
keahlian mengembangkan usahanya. Memang dalam ekonomi kapitalis
tidak dikembangkan model kemitraan melainkan yang menonjol
adalah prinsip kemandirian usaha. Keuntungan atau resiko kerugian
sepenuhnya tanggung jawab individu pihak pengusaha.
Meskipun sistem bagi keuntungan atau bagi hasil dalam syirkah
yang sesungguhnya merupakan sebuah sistem ekonomi alternative,
sejak awal dibangun di atas dasar kemitraan dan kerjasama. Namun
jika tidak didukung manajemen yang transparan memungkinkan
praktek manipulasi keuntungan. Sehingga pemodal sebagai mitra
usaha cendrung dirugikan. Manipulasi seperti ini juga dapat dipandang
sebagai bentuk ekploitasi.
Jadi, selain materi akad syirkah yakni modal dan pembagian
keuntungan, sebagaimana terdapat dalam fiqh harus dinyatakan secara
jelas dan adil, yang lebih penting lagi adalah sistem pengelolaan usaha
yang menjamin hak-hak pemilik modal. Dengan demikian materi
syirkah perlu ditambah “kerja sama” (keterlibatan lansung) dalam hal
manejemen. Sehingga resiko kerugian dan manipulasi dapat ditekan
serendah mungkin.

E. Rangkuman
Prinsip dasar yang dikembangkan dala syirkah adalah prinsip
kemitraan dan kerja sama antara pihak-pihak yang terkait untuk meraih
kemajuan bersama. Prinsip ini dapat ditemukan dalam ajaran Islam
tentang ta’awun (gotong-royong) dan ukhuwwah (persaudaraan). Dalam
hal ini syirkah merupakan bentuk kerja sama antar pemilik modal untuk
mendirikan usaha bersama yang lebih besar, atau kerja sama antara
pemilik modal yang tidak mempunyai keahlian menjalankan usaha
dengan pehak pengusaha yang tidak mempunyai modal atau yang
memerlukan modal tambahan.

Buku Ajar
134 FIQH MUAMALAH
F. Tugas dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian al-syirkah secara terminologis yang
disampaikan oleh fuqaha mazdhab yang empat?
2. Jelaskan dasar hukum tentang hukum syirkah/
3. Jelaskan secara garis besarnya syirkah dibedakan menjadi dua
jenis?
4. Jelaskan pengertian Ijbariyah dan Ikhtiyariyah beserta contoh?
5. Jelaskan pengertian umum tentang macam-macam syirkah al-
uqud?
6. Jelaskan prinsip-prinsip umum syirkah?
7. Jelaskan persyaratan khusus syirkah al-amwal?
8. Jelaskan persyaratan khusus dalam syirkah muwafadhah?
9. Jelaskan persyaratan khusus syirkah al-Mudharabah?
10. Jelaskan prinsip dasar yang dikembangkan dalam syirkah?
11. Jelaskan keuntungan yang dibagikan kepada pemilik modal?
12. Jelaskan perbedaan sistem bagi hasil dengan sistem syirkah
kapitalis?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 135
Buku Ajar
136 FIQH MUAMALAH
BAB

X
MUHDARABAH

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Pengertian Mudharabah serta Rukun dan Syaratnya
b. Menjelaskan penerapan Mudharabah dalam kegiatan ekonomi

A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan
usaha. Mudharabah merupakan bahasa penduduk Iraq, sedangkan
menurut bahasa penduduk Hijaz disebut dengan istilah disebut dengan
istilah qiradh.
Secara terminologis adalah akad kerja sama usaha antar dua
pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul
maal) yang menyediakan seluruh modal 100 %, sedangkan pihak
lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha
yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah
(persentase). Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian itu
ditanggung oleh shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan akibat

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 137
kelalaian mudharib. Seangkan mudharib menanggung kerugian atas
upaya jerih payah dan waktu yang telahdialakukan untuk menjalankan
usaha. Namun jika kelalaian itu disebabkan oleh mudharib, maka
mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.163

B. Dasar Hukum Mudharabah


1. Al-Qur’an
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang
yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan
batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu,
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an. Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah
pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk
dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya…. (QS:
Al-Muzzammil Ayat: 20)
2. Hadis Rasulullah SAW
a. Hadis riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar
tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar,

163 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989(,
Jild IV, h. 836

Buku Ajar
138 FIQH MUAMALAH
ia (mudharib) harus menaggung risikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abba situ didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya
.   b. Hadis riwayat Ibnu Majah
“Nabi bersabda, ada tiada hal yang mengandung berkah; jual beli
tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
dandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan
dijual”.
3. Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr.
WahbahZuhaily dari kitab al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh.
4. Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan Mudharabah dengan
mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi
hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan.

C.    Rukun Mudharabah
1.      Shahibul maal (pemilik dana)
2.      Mudharib (pengelola)
3.      Sighat (ijab qabul)
4.      Ra’sul maal (modal)
5.      Pekerjaan
6.      Keuntungan

D.    Syarat Mudharabah:
1.      Shahibul maal dan mudharib
Harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil
2.      Sighat atau ijab dan qabul
a   Harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan
kemauan mereka

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 139
b      Terdapat kejelasan tujuan dalam melakukan sebuah kontrak
.3.      Modal
Adalah jumlah uang yang diberikan shahibul maal kepada
mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah.
a.  Diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang)
b.  Disetor tunai kepada mudharib
4.      Keuntungan
Adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
a. Kadar keuntungan harus diketahui, berapa jumlah yang
dihasilkan
b.  Keuntungan dibagi secara proporsinal kepada kedua pihak
c . Proporsi (nisbah) keduanya sudah dijelaskan saat melakukan
kontrak
5.      Pekerjaan/usaha perniagaan
Adalah kontribusi mudharib dalam kontrak mudharabah yang
disediakan sebagai pengganti untuk modal yang disediakan oleh
shahibul maal.
a.   Usaha perniagaan adalah hak eksklusif mudharib tanpa adanya
intervensi dari pihak shahibul maal
b. Pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha
mudharib
c . Mudharib tidak boleh menyalahi menyalahi aturan syariah
dalam usaha perniagaannya
d. Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan
shahibul maal.164

164 Ibid, h. 848-851

Buku Ajar
140 FIQH MUAMALAH
E.     Macam Mudharabah
1. Mudharabah Mutlaqah
Adalah akad kerjasama dimana mudharib diberikan
kekuasaan penuh untuk mengelola modal usaha. Mudharib/
pengelola tidak dibatasi dengan tempat usaha, tujuan maupun
jenis usaha
2. Mudharabah Muqayyadah
Adalah akad kerjasama dimana shahibul maal (pemilik modal)
menetapkan syarat tertentu yang ahrus dipatuhi mudharib,
baik menegnai tempat usaha tujuan maupun jenis usaha.165

F. Hukum Mudharabah
Mudharabah akan dikatakan fasid jika terdapat salah satu
syarat yang tidak terpenuhi. Jika semua syarat terpenuhi, maka
akad mudharabah dikatakan shahih. Dalam konteks ini, mudharib
diposisikan sebagai orang yang menerima titipan asset shahibul mal.
Ketika mudharib melakukan pembelian, ia layaknya sebagai wakil
dari shahibul mal, ia melakukan transaksi atas asset orang lain dengan
mendapatkan izin darinya. Ketika mudharib mendapatkan keuntungan
atas transaksi yang dilakukan, ia berhak mendapatkan bagian dari
keuntungan yang dihasilkan, dan bagian lainnya milik shahibul mal.
Jika mudharib mealnggar syarat yang ditetapkan shahibul mal, maka
ia diposisikan sebagai orang mengghosob (menggunakan harta orang
tanpa izin) dan memiliki tanggung jawab penuh atas harta tersebut.
Jika terjadi kerugian atas asset, maka ia tidak diharuskan untuk
menanggung kerugian, karena ia diposisikan sebagai pengganti shahibul
mal dalam menjalankan bisnis, sepanjang tidak disebabkan karena
kelalaian. Jika terjadi kerugian, maka akan dibebankan kepada shahibul
mal, atau dikurangkan dari keuntungan, jika terdapat keuntungan bisnis.
         
165 Ibid, h. 840

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 141
Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk pada tanggung
jawab mudharib untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana
dalamsemua keadaan. Hal ini tidak dibolehkan, karena adanya fakta
bahwa pegangan mudharib akan dana itu sifatnya amanah, dan orang
yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itukecuali
menlanggar batas ataumenyalahi keuntungan.
Jika shahibul mal mensyaratkan kepada mudharib untuk
menjamin penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu
merupakan syarat batil dan akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat
Hanafiyah. Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah
menjadi fasid (rusak), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif
dengan karakter dasar akad mudharabah.166

G. Batas Kewenangan Mudharib


Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka
mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis
apa saja, dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Karena maksud
dari mudharabah adalah mendapatkan keuntungan, dan tidak akan
didapatkan dengan melakukan transaksi bisnis. Mudharib diperbolehkan
menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena
hal ini merupakan suatu hal yang bisa dihindari. Ia juga memiliki hak
untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa
gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional
bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian ada beberapa
hal yang tidak boleh dilakukan mudharib.
Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset
mudharabah tanpa izin dari shahibul mal, karena hal itu akan menambah
tanggungan shahibul mal. Jika shahibul mal membolehkan, maka
penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar.
Ulama malikiyah berpendapat bahwa mudharib tidak boleh membeli
barang dengan utang, sekalipun pemilik modal mengizinkannya. Jika
166 Ibid, h. 854

Buku Ajar
142 FIQH MUAMALAH
mudharib melakukannya, maka dia menanggung resiko apa yang
dibelinya, keuntungannya dimiliki sendiri dan pemilik modal tidak
berhak mendapat apapun darinya. Hal itu karena Nabi Muhammad
saw melarang mengambil keuntungan yang tidak dijaminnya. Maka
bagaimana mungkin pemilik modal mengambil keuntungan dari sesuatu
yang menjadi tanggungan amil?
Mudharib juga tidak membeli aset dengan cara berhutang,
walaupun mendapatkan izin dari shahibul mal. Jika mudharib tetap
melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun,
jika terdapat keuntungan akan menjadi miliki penuh mudharib. Shabul
mal tidak berhak apapun, karena ia tidak ikut menanggung resiko.
Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharbah
kepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad
syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali
mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul mal. Dengan adanya
transaksi ini , maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul mal,
sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari
shahibul mal.167

H.  Mudharabah Paralel


Menurut Hanafiyah, mudharib tidak diperbolehkan menyerahkan
aset mudharabah kepada orang lain tanpa mendapatkan kesepaktan
shahibul mal, baik hanya sebagai titipan atau diberdayakan oleh pihak
ketiga (mudharib kedua). Jika aset yang diterima mudharib kedua
hanya sebagai titipan, maka mudharib pertama tidak berkewajiban
menanggung risiko yang ada, karena hanya diposisikan sebagai wadi’ah.
Namun, jika mudharib pertama menyerahkan aset mudharabah kepada
mudharib kedua dengan maksud investasi, maka mudharib pertama
memiliki tanggung jawab penuh terhadap shahibul mal. Menurut Zafar,
mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah,
baik hanya sebagai titpan atau investasi, seperti halnya ketika kita
167 Ibid, h. 855-858

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 143
menitipkan titipan kita kepada orang lain.
Menurut imam shahiban, jika penyerahan aset itu dimaksudkan
untuk investasi, dan digunakan mudharib kedua untuk menjalankan
bisnis, maka mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset
mudharabah. Dengan alasan, mudharib kedua menggunakan aset
tanpa izin pemiliknya. Jika mudharib kedua menggunakan aset
tersebut, shahibul mal memiliki dua opsi, tanggung jawab risiko
aset itu dibebankan kepada mudharib pertama atau kedua. Menurut,
pendapat yang shahih dari Hanafiyah, mudharib pertama bertanggung
jawab penuh atas risiko aset yang diberikan mudharib kedua untuk
menjalankan bisnis.
Jika terdapat keuntungan dalam mudharabah paralel ini, akan
dibagi sesuai kesepakatan mudharabah pertama (antara shahibul
mal dan mudharib pertama). Bagian keuntungan mudharib pertama,
akan dibagi dengan mudharib kedua sesuai kesepakatan dalam akad
mudharabah kedua. Ulama 4 mazhab sepakat bahwa risiko mudharabah
paralel ditanggung oleh mudharib pertama.168

I. Hak Mudharib
Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah,
yakni nafkah (living cost, biaya hidup) dan keuntungan yang disepakti
dalam akad. Ulama berbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset
mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika dirumah
atau dalam perjalanan. Menurut, imam syafi’i, mudharib tidak berhak
mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset mudharabah,
baik dirumah atau dala perjalanan. Karena, mudharib kelak akan
mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan
manfaat lain dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi nominalnya
dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih.
Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad mudharabah
fasid hukumnya.
168 Ibid, h. 858-861

Buku Ajar
144 FIQH MUAMALAH
Menurut abu hanifah dan imam malik, mudharib hanya berhak
mendapatkan nafkah dari aset mudharabah ketika ia melakukan
perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun pakaian. Madzhab
hanabalah memberikan keleluasan, mudharib berhak mendapatkan
nafkah pribadi, baik dirumah atau dalam perjalanan, dan boleh
menjadikan syarat dalam akad.
Menurut Hanafiyah, mudharib berhak mendapatkan nafkah
dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi:
makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah,
listrik, telepon, transportasi, upah, cuci pakaian, begitu juga dengan
biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang
dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku
dikhalayak umum.
Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan
bisnis) akan dikurangkan dari keuntungan, namun jika ada keuntungan,
akan dikurangkan dari aset shahibul mal, dan dihitung sebagai kerugian.
Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari,
maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika
ia kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus dikembalikan
sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi
maka akan menjadi hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.
Selain itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan,
namun jika bisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan,
mudharib tidak berhak mendapatkan apa pun. Keuntungan akan
dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan
shahibul mal (ra’sul mal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan
sebagai keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak
mendapatkan bagian atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari
keuntungan (revenue sharing).Akan tetapi, mayoritas ulama sepakat,
mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul mal, dan ia tidak
berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 145
mal. Jika masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan
(profit sharing).

J. Hal Yang Membatalkan Akad Mudharabah


1. Fasakh (Pembatalan) dan Larangan Usaha atau Pemecatan
Mudharabah batal dengan adanya fasakh dan dengan
larangan usaha atau pemecatan, jika terdapat syarat fasakh dan
larangan tersebut yaitu, mudharib mengetahui dengan adanya
fasakh dengan larangan tersebut serta modal dalam keadaan
berbentuk uang dengan pada waktu fasakh dengan larangan
tersebut. Hal itu agar jelas apakah terdapat keuntungan bersama
antara mudharib dan pemilik modal. Jika modal tersebut masih
berbentuk barang, maka pemecatannya tidak sah. Hal ini
mengakibatkan bahwa jika mudharib tidak mengetahui dengan
adanya fasakh atau larangan usaha tersebut, maka usahanya
diperbolehkan. Jika mudharib telah mengetahui perihal
pemecatannya sedangkan modalnya masih dalam bentuk barang,
maka dia boleh menjualnya untuk mengubah modal menjadi
uang agar keuntngannya terlihat. Dalam hal ini, pemilik modal
tidak mempunyai hak melarangnya dalam penjualan barang
tersebut karena hal itu bisa menghilangkan hak mudharib.
2. Kematian Salah Satu Pelaku Akad
Jika pemilik modal atau mudharib meninggal, maka akad
mudharabah menjadi batal menurut mayoritas ulama, mudharabah
batal baik mudharib mengetahui perihal meninggalnya pemiliki
modal maupun tidak, karena kematian mengeluarkan mudharib
dari mudharabah secara hukum, maka tidak bergantung pada
pengetahuannya.
3. Salah Satu Pelaku Akad Menjadi Gila
Mudharabah batal menurut ulama selain syafi’iyah dengan gilanya
salah satu pelaku akad, jika gilanya itu gila permanen, karena

Buku Ajar
146 FIQH MUAMALAH
gila membatalkan sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan). Adapun
pelarangan membelanjakan harta bagi mudharib karena bodoh
atau idiot, maka menurut ulama Hanafiyah mudharib tidak keluar
dari mudharabah, karena dalam keadaan itu dianggap seperti anak
kecil yang belum balig (mumayyiz). Menurut mereka, anak yang
mumayyiz memiliki sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan) untuk
menjadi wakil dari orang lain, maka dengan demikian juga dengan
orang yang bodoh.
4. Murtadnya Pemilik Modal
Jika pemilik modal murtad dari agama islam lalu mati atau terbunuh
dalam keadaan murtad, atau ia masuk ke negeri musuh dan hakim
telah mengeluarkan keputusan tentang perihal masuknya ke negeri
musuh tersebut, maka mudharabahnya batal semenjak hari murtadnya
menurut ulama Hanafiyah. Hal itu karena masuk ke negeri musuh
sama kedudukannya dengan kematian, dan itu menghilangkan sifat
ahliah (kemapuan/kelayakan) Pemilik modal, dengan dalil bahwa
orang yang murtad itu hartanya boleh dibagikan kepada para ahli
warisnya.
5. Rusaknya modal mudharabah ditangan mudharib
Jika modal rusak ditangan mudharib sebelum dibelanjakan sesuatu,
maka mudharabahnya batal. Pasalnya, modal menjadi spesifik untuk
mudharabah dengan adanya penerimaan barang, sehingga akadnya
batal dengan rusaknya modal. Demikian juga akad mudharabah batal
dengan digunakannya modalnya oleh mudharib, dinafkahkan atau
diberikan pada orang lain kemudian digunakan oleh orang tersebut,
hingga mudharib tidak memiliki hak untuk membeli sesuatu untuk
mudharabah. Jika mudharib mengganti modal yang digunakannya,
maka dia dapat membelanjakan kemabali modal tersebut untuk
mudhrabah.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 147
K. Rangkuman
Akad kerja sama usaha antar dua pihak, dimana pihak pertama
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan
seluruh modal 100 %, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola
usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (persentase). Jika usaha
yang dijalankan mengalami kerugian itu ditanggung oleh shahibul maal
sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Seangkan
mudharib menanggung kerugian atas upaya jerih payah dan waktu yang
telahdialakukan untuk menjalankan usaha. Namun jika kelalaian itu
disebabkan oleh mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut.

L. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian Mudharabah secara etimologi dan
terminologi?
2. Jelaskan dasar hukum Mudharabah?
3. Jelaskan Rukun Mudharabah?
4. Jelasakan Syarat Mudharabah?
5. Jelaskan yang dimaksud modal dalam syarat mudharabah?
6. Jelasakan yang dimaksud keuntungan dalam syarat mudharabah/
7. Jelasakan Mudharabah Muthlaqah beserta contoh?
8. Jelasakan Mudhrabah Muqayyadah beserta contoh?
9. Jelaskan hukum mudharabah?

Buku Ajar
148 FIQH MUAMALAH
10. Jelaskan batas kewenangan mudharib?
11. Jelaskan mudharabah paralel beserta contoh?
12. Jelasakan hak-hak mudharib?
13. Jelaskan hal yang membathalkan mudharabah?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 149
Buku Ajar
150 FIQH MUAMALAH
BAB

XI
WADI’AH
Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami PengertianWadi’ah (Titipan), Ruku Syarat dan Sifat
Wadi’ah
b. Menjelaskan Tatat cara penjagaan barang dalam akad Wadi’ah,
c. Menjelaskan Akad Wadia’ah dalam perbankan Syari’ah, Akad
Wadia’ah pada era kontemporer.

A. Pengertian Wadi’ah
Secara etimologi wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amanah).
Kata Al-wadi’ah memiliki bentuk masdar dari fi’il madi wada’a yang
dapat   diartikan sebagai   meninggalkan atau meletakan. Yaitu meletakan
sesuatu  kepada orang lain untuk dijaga dan dipelihara.169 Sehingga
secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan. Secara
terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada
dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh:
1. Ulama Hanafiyah :
‫تسليط الغير على حفظ ماله‬
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik
169 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 244

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 151
dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui
isyarat)”
2. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama):
‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu”
3. Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan
Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad
penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang
atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau
uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah ialah memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara harta
atau barangnya  dengan cara terang-terangan  ataupun dengan
isyarat yang semakna dengan itu.170
Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana
dengan alasan tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak
lain untuk menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang memiliki
harta dan berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada orang lain
bukan untuk dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga
karena ada suatu hal dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut
dititipkan.  Tidak ada ketentuan mengenai alasan kenapa akad wadiah
harus dilakukan. Tetapi yang pasti seseorang mempunyai hak penuh
atas harta untuk dititipkan kepada orang lain, bagi orang yang merima
barang yang dititipkan bisa menerima ataupun menolaknya.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah
tidak diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari
penerimaan titipan. Akan tetapi cukup dengan menerima barang  yang
ditirpkan  oleh pemilik barang tersebut. Disamping itu, kedua belah
170 Afandi, Yazid,. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 201

Buku Ajar
152 FIQH MUAMALAH
pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan  saja. Penerima titipan
bisa saja mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu dan pihak yang
mentitipkan barang bisa mengambilnya sewaktu-waktu pula.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang
mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang
dia titipkan , terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat
terjaga dengan aman dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan
harta, pada dasarnya tidak boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan
pemilik kepadanya.

B.   Landasan Hukum Wadi’ah


Dalil yang menghadirkan akad ini yaitu Q.S An-Nisa: 58
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak merimanya, dan apabila kamu menetapkan
hukum diantara manusia hendaknya kamu  menetapkanya
dengan adil. Sungguh, sebaik-baik yang memberi pengajaran
kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat”
Kemudian pada Q.S Al-Baqarah: 283
“Dan hendaklah  yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertaqwalah kepada Allah “
Diperkuat juga  dengan hadits Nabi SAW, “ Tunaikanlah amanah
kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Al Irwaa, 5/381).
Ijma’ para ulama  dari zaman dulu sampai sekarang telah
menyepakati akad wadi’ah  sangat diperlukan manusia dalam kehidupan
muamalah.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 153
C.  Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah
Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti
memiliki rukun yang menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad
wadiah menurut jumhur ulama:
1.    Mudi, (orang yang menitipkan barang)
2.    Wadii’ (orang yang dititipi barang)
3.    Wadi’ah ( barang yang dititipkan)
4.    Sighat titipan (ijab-qobul)
Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu
adanya ijab qobul (sighat), sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan
hambali memiliki tambahan syarat  ialah barang tersebut harus memiliki
nilai atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal.
Syarat-syarat Wadi’ah
1.    Syarat yang terkait penitipan dan penerima titipan (aqidain) harus
orang yang termasuk ithlaq al-tasharruf (bebas melakukan
transaksi). Maka dianggap tidak sah akad wadi’ah apabila yang
dilakukan oleh anak kecil, orang tidak waras (gila), dan mahjur
alaih bi safih (orang bodoh yang tidak mengerti mata uang).
Persyaratan tersebut diperjelas dengn penambahan aqil baligh
oleh  jumhur ulama.Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Abu
Hanifah boleh bagi anak yang belum baligh melakukan akad
wadi’ah, asalkan mendapatkan  izin dari orang tua atau walinya.
2.    Syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek akad wadi’ah
harus muhtaramah, dianggap mulya oleh syara’. Meskipun barang
tersebut tidak memiliki nilai jual. Disamping itu barang yang
dititipkan juga harus diketahui indentitasnya dan bisa dikuasai
untuk dipelihara.

Buku Ajar
154 FIQH MUAMALAH
D.  Jenis-jenis Wadi’ah
1.        Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka.
Kedua pihak (penitip dan yang dititipi) melakukan kesepakatan
bahwa barang yang dititipkan tidak digunakan dalam hal apapun
oleh pika yang dititipi. Pihak yang diberi amanah hanya menjaga
keberadaan harta yang dititi tersebut.  Dalam kondisi yang seperti
ini tidak ada kewajiban bagi orang yang dititipi untuk menanggung
kerugian jika barang titipan rusak, terkecuali ada unsur kesengajaan
atau karena kelalaian.
2.       Wadiah yad al-dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi
harus menanggung kerugian. Akad wadi’ah pada dasarnya bersifat
amanah.171 Namun, saja bisa berubah menjadi dhamanah dengan
sebab-sebab berikut ini;
a.   Barang tidak dipelihara dengan baik oleh penerima titipan.
Apabila seseorang merusak barang titipan, dan pihak yang dititipi
tahu dan tidak berusaha untuk mencegah hal tersebut padahal ia
mampu, maka pihak yang dititipi wajib menanggung kerugian.
b.   Barang titipan kemudian dititipkan kepada orang lain yang tidak
termasuk keluarga deket dan tidak dibawah tanggung jawabnya.
c. Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima
titipan. Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa orang yang
dititpi barang apabila orang tersebut menggunakan barang
titipan, maka orang yang dititpi wajib membayar ganti rugi,
sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain diluar
kemampuanya.
d. Orang yang dititipi barang itu mencampurkan barang titipan dengan
harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama
sepakat  bahwa apabila pihak yang dititipi barang  mencampur
barang titipan dengan harta milik pribadinya, semenstara barang
titipan  sulit untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk
171 Sri Nurhayati, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h.
230

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 155
menuntut ganti rugi barang tersebut.
e. Penerima barang titipan melanggar syarat-syarat yang telah
disepakati. Misalnya, ketika akad wadi’ah dilaksanakan,
kedua belah pihak  sepakat bahwa barang yang dititipkan
ditaruh dibrankas. Akan tetapi pihak penerima titipan tidak
melakukannya. Maka jika barang titipan rusak atau hilang
pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.172
Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadi’ah yang semula
merupakan amanah berubah menjadi dhamanah. Dimana pihak yang
dititipi punya tanggungjawab penuh terhadap keberadaan harta titipan
tersebut. Berawal dari logika seperti inilah akad wadi’ah di terapkan
pada Lembaga Keuangan Syariah.

E.    Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad Wadi’ah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat
dilakukan oleh orang dalam tanggunganya semisal istri, anak, pembantu
ataupun orang yang diberi upah untuk menjaga barang tersebut. Namun
barang tersebut tidak diperbolehkan  untuk ditipi kepada keluarga yang
baru semisal istri yang baru dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru
saja diterima dan menjadi karyawan.
Adapun menurut pendapat  ulama Syafi’iyyah  tentang penjaggaan
barang ialah barang tersebut harus dijaga sendiri oleh pihak yang diberi
amanah, pihak tersebut tidak diperkenankan untuk meninggalkan
barang tersebut kepada siapapun bahkan kepada istri, anak kecuali ada
izin dari pihak penitip.
Seluruh Ulama Madzhab setuju bahwa barang yang dititipkan
merupakan sebuah ibadah sunnah bagi pihak yang dititipi, dan mendapat
pahala apabila barang tersebut di jaga dan dipelihara dengan baik.

172 Ibid

Buku Ajar
156 FIQH MUAMALAH
F.  Terputusnya Akad Wadi’ah
Ada beberapa kondisi yang menjadi penyebab terputusnya wadi’ah
yaitu;
1.  Pengembalian barang yang dititipi kepada pihak penitip baik diminta
oleh penitip ataupun tidak.
2.  Meninggalnya pihak yang dititipi barang/harta atau penitip barang/
harta.
3.   Salah satu dari pihak penitip atau penerima dititipan dalam keadaan
koma yang berkepanjangan,  menjadi tidak waras (gila), maupun
dalam keadaan stress berat dalam beberapa waktu dan hal ini
merusak akad titipan.
4.  Terjadinya ‘hajr’ atau legal restriction yang terjadi pada penitip
seperti hilang kompetensi, dan pada pihak yang dititipi mengalami
kebangkrutan atau pailit, maka akad tititpan tersebut putus.

G.  Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah


Wadiah terkait dengan praktek dalam perbankan pada awalnya
hanyalah sebuah akad amanah yang sederhana dikemas sedemikian
rupa oleh perbankan dalam rangka mengakomodasi uang tabungan
nasabah yang ada dalam bank. Dengan alasan untuk menghindari riba
akad ini digunakan untuk mengakomodasi nasabah yang berkeinginan
uangnya aman. Bank siap menerima titipan uang.
Mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga
mediasi permodalan. Tentunya uang yang ada di dalam bank tidak di
diamkan begitu saja, namun juga digunakan dengan tujuan investasi
atau pembiayaan, yang secara otomatis bercampur dengan uang milik
bank yang lain. Karena dengan praktek ini, pihak bank mendapatkan
keuntungan, maka bank dengan sukarela memberikan sebagian
keuntungannya kepada nasabah. Titik Inilah yang disebut munculnya
perkembangan dalam akad wadi’ah

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 157
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadi’ah ini khususnya
dalam rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat
(funding). Berdasarkan akad wadi’ah ini jenis produk perbankan yang
dapat diaplikasikan diantaranya:
1.    Giro wadi’ah bank. Yang dapat diartikan sebagai bentuk simpanan
yang penarikannya dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,
bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara
pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan. Dalam giro
wadi’ah nasabah tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga,
melainkan bonus yang nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal
akad. Sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadi’ah yang dapat
dipraktekkan oleh perbankan syari’ah adalah giro wadi’ah yang
memenuhi persyaratan bersifat titipan, titipan bisa diambil kapan
saja (on call), tidak ada imbalan yang diisyaratkan, kecuali dalam
bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai titipan
wadi’ah yad al-dlamanah. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh
bank sebagai penerimaan titipan selama dana tersebut mengendap di
bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk membayarnya setiap saat
jika nasabah mengambil titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan
yang dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima
imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank dalam
bentuk bonus. Akan tetapi bonus yang akan diterima kan oleh pihak
bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di awal titik pihak
nasabah harus memahami bahwa bonus yang kemungkinan diterima
adalah hak penuh pihak bank untuk memberikannya atau tidak.
2.   Tabungan wadiah yad al-dlomanah, adalah rekening tabungan
yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat dan bukan
tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada dasarnya
hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap saat. Hal yang
membedakannya hanya pada mekanisme penarikannya saja.

Buku Ajar
158 FIQH MUAMALAH
Sedangkan kalau dilihat dari jenis simpanan nya sama dengan giro,
maka aturan tentang pemberian bonus atau imbalan lainnya pun
sama dengan rekening giro.
Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah
dan bank mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus
dibagikan? Nah, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau
pada akad wadiah, bank tidak memiliki hak untuk memberikan
bonus. Tetapi, umumnya Bank memberikan keuntungan tersebut
sebagai hadiah/bonus untuk nasabah secara sukarela dan dalam
islam hal tersebut diperbolehkan.
Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan
diputar oleh bank pada suatu usaha yang kemudian dari usaha
tersebut menghasilkan keuntungan yang diperuntukan khusus untuk
bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus atau tidak maka itu
tergantung dari kebijakan bank itu
3.    Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktekkan wad’iah
Yad Al-amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box.
Dimana nasabah yang membutuhkan jasa ini akan mendapatkan
fasilitas penyimpanan barang berharga mereka dalam bentuk kotak
penyimpanan dengan inisial tertentu, menyimpan dan memegang
kunci sendiri. Pihak bank akan menerima upah titipan yang ditentukan
dan secara keseluruhan akan menjaga keamanan lingkungan dan
ruang penyimpanan melalui prosedur administrasi keluar dan masuk
ruang penyimpanan serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses
yang lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang
untuk dititipkan. Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip
memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk
save deposit box.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 159
H.   Akad Wadiah pada Era Kontemporer
Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan
pada produk bank yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk
yang lain yang memudahkan seseorang untuk bertransaksi. Apakah
produk tersebut? Produk tersebut adalah e-money. Secara sederhana,
e-money adalah sistem uang elektronik yang mengkonversi uang kertas
yang dimiliki masuk ke dalam sistem e-money yang berbentuk kartu.
Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi ini.
Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi
mereka yang tidak terbiasa membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka
akan mengkonversi uang mereka ke dalam kartu  e-money. Terlebih
buat mereka yang berkendara menggunakan transportasi umum seperti
kereta yang tentunya akan lebih efisien ketika menggunakan e-money.
Namun, apakah kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu
e-money, Ustadz Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah
Kontemporer: Membahas Ekonomi Kekinian menjelaskan bahwa kartu
e-money secara syariah diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada
fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah
karena dilihat dari maslahat yang hadir dengan adanya kartu e-money.

I. Rangkuman
Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai
barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau
uang. Sedangkan secara terminologi wadi’ah ialah memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara harta atau
barangnya  dengan cara terang-terangan  ataupun dengan isyarat yang
semakna dengan itu

Buku Ajar
160 FIQH MUAMALAH
J. Tugas dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian Wadiah secara etimologi?
2. Jelaskan Pengertian Wadiah menurut Ulama?
3. Jelasakan Pengertian Wadiah menurut UU No 21 Tentang
Perbankan Syariah?
4. Jelaskan landasan hukum Wadiah?
5. Jelasakan Rukun dan Syarat Wadiah?
6. Jelaskan Wadi’ah yad al-amanah beserta contoh?
7. Jelaskan Wadiah yad al-dhamanah beserta contoh?
8. Jelaskan Status dan Tata cara Penjagaan barang dalam Akad
Wadi’ah?
9. Jelaskan Terputusnya Akad Wadi’ah?
10. Jelaskan Wadiah Dalam Praktek Perbankan Syariah?
11. Jelaskan Akad Wadiah pada Era Kontemporer beserta contoh!

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 161
Buku Ajar
162 FIQH MUAMALAH
BAB

XII
UTANG PIUTANG (QARDH)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Pengertian Utang Piutang Serta Landasan Hukumnya
b. Menjelaskan Syarat Utang Piutang serta Hukum tentang Utang
Piutang

A. Pengertian Utang Piutang


Istilah Arab yang sering digunakan untuk utang piutang adalah al-
dain (jamaknya al-duyun) dan al-qordh. Dalam pengertian yang umum,
utang piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa-menyewa yang
dilakukan secara tidak tunai (kontan). Transaksi seperti ini dalam fiqh
dinamakan mudayanah atau tadayun.173
Sebuah transaksi yang bersifat khusus, istilah yang lazim dalam
fiqh untuk transaksi utang piutang khusus ini adalah al-qordh dengan
demikian cakupan tadayun lebih luas dari pada al-qordh.
Al-qordh secara bahasa berarti al-qoth’ (terputus). Harta yang
dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qordh karena ia terputus dari
pemiliknya. Defenisi yang berkembang di kalangan fuqaha adalah
173 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 169

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 163
sebagai berikut:
Wahbah al-Zuhaily menjelaskan pendapat Hanafiyah tentang qordh
yaitu:
Akad tertentu atas penyerahan harta kepada orang lain agar
orang tersebut mengembalikan dengan nilai yang sama.174
Sayid Sabiq berpendapat qordh yaitu:
Harta yang diberikan kepada orang yang berhutang agar
dikembalikan dengan nilai yang sama kepada pemiliknya ketika
orang yang berhutang mampu membayar.175
Jelasnya qordh atau hutang piutang adalah akad antara dua pihak,
satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain dengan ketentuan
pihak yang menerima harta mengembalikan kepada pemiliknya dengan
nilai yang sama.
Dari defenisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya utang-piutang
merupakan bentuk muamalah yang bercorak ta’awun (pertolongan)
kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber ajaran
Islam sangat kuat menyerukan prinsip hidup gotong royong seperti ini.
Bahkan al-Qur’an menyebut piutang untuk menolong atau meringankan
orang lain yang membutuhkan dengan istilah “menghutangkan kepada
Allah dengan hutang baik”
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. QS. Al-Maidah (5):2.
Barang siapa menghutangkan (karena Allah) dengan hutang yang
baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu
untuknya dan ia akan memperoleh pahala yang banyak.176

174 Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Libanon: Dar al-Pikr, 1989), h. 783
175 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Libanon: Dar al-Fikr, 1980), h. 182
176 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
h.538

Buku Ajar
164 FIQH MUAMALAH
Keterangan Rasulullah SAW mengenai hutang piutang antara lain:
“Dari sahabat Ibn Mas’ud bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda: tidak ada seoarang muslim yang menghutangi muslim
lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti sedeqah”177
“Dari sahabat Anas bin Malik ra berkata Rasulullah SAW
bersabda:”Pada malam aku diisra’kan aku melihat pada
sebuah pintu surga tertulis sadhaqah dibalas 10 kali lipat dan
utang dibalas 18 kali lipat”. Lalu aku bertanya: “Wahai jibril
mengapa menghutangi lebih utama dari pada shadaqah?. Ia
menjawab: karena meskipun seorang pengemis meminta-minta
namun ia masih mempunyai harta, sedangkan seseorang yang
berhutang pastilah karena ia sangat membutuhkannya”.178

B. Syarat Utang Piutang


1. Karena utang piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi
(akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas,
sebagimana jual beli, dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau
yang sepadan dengannya. Masing-masing pihak harus memenuhi
persyaratan kecakapan bertindak hukum dan berdasarkan iradah
(kehendak bebas).179
2. Harta benda yang menjadi obyeknya harus mal mutaqawwim.
Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi obyek utang
piutang terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha Mazhab.
Menurut fuqaha mazhab Hanafiyah akad utang piutang hanya
berlaku pada harta benda al-misliyat, yakni harta benda yang
banyak padanannya, yang lazimnya dihitung melalui timbangan,
takaran atau satuan. Sedangkan harta al-qimiyyat tidak sah
dijadikan obyek utang piutang, seperti hasil seni, rumah, tanah,
hewan dan lain-lain. Menurut fuqaha mazhab Malikiyah, Syafi’yah
177 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah, dalam kitab al-ahkam, nomor Hadis 2421
178 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah, dalam kitab al-ahkam, nomor Hadis 2422
179 Wahbah al-Zuhaily, op cit, Juz IV, H. 723

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 165
dan Hanabilah setiap harta benda yang boleh diberlakukan atasnya
akad salam boleh diberlakukan atasnya utang piutang, baik berupa
harta benda al-misliyat maupun al-qimmiyyat. Pendapat ini
didasarkan pada sunnah Rasulullah SAW di mana beliau pernah
berhutang seekor bakr (unta berumur 2 tahun).
3. Akad utang piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di
luar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh
(pihak yang menghutangi). Misalnya persyaratan memberikan
keuntungan (mamfaat) apa pun bentuknya atau tambahan, fuqaha
sepakat yang demikian ini haram hukumnya.
Jika keuntungan terebut tidak dipersyaratkan dalam akad
atau jika hal itu telah menjadi urf (kebiasaan di masyarakat)
menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh. Fuqaha Malikiyah
membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan
utang piutang ansih (al-qardh). Dalam hal utang yang bersumber
dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan
adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang ansih (al-qardh)
penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak
dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat,
hukumnya adalh haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan
dan tidak menjadi kebiasaan di masyarakat baru boleh diterima.
Penambahan pelunasan hutang yang diperjanjikan oleh
muqtaridh (pihak yang berhutang), menurut Syafi’iyah pihak yang
menghutangi makruh menerimanya, sedangkan Hanabilah pihak
yang menghutangi dibolehkan menerimanya.180

180 Ibid, h. 725-727

Buku Ajar
166 FIQH MUAMALAH
C. Hukum tentang Utang Piutang
1. Akad utang-piutang menetapkan peralihan pemilikan. Misalnya
apabila seseorang menghutangkan satu kilo gandum kepada
orang lain maka barang tersebut terlepas dari pemilikan muqridh
(orang yang menghutangi), dan muqtaridh (orang yang berhutang)
menjadi pemilik atas barang tersebut sehingga ia bebas bertsarruf
atasnya. Hal ini sebagaimana berlaku pada kad jual beli, hibah, dan
hadiah.
2. Penyelesaian utang-piutang dilaksanakan di tempat akad
berlangsung. Sekalipun demikian. Dapat juga dilaksanakan di
tempat lain sepanjang penyerahan tersebut tidak membutuhkan
ongkos atau sepanjang disepakati demikian.
3. Pihak muqtaridh wajib melunasi hutang dengan barang yang
sejenis jika obyek hutang adalah barang al-misliyyat, atau dengan
barang yang sepadan (senilai) jika obyek hutang adalah barang al-
qimiyyat. Ia sama sekali tidak wajib melunasi hutangnya dengan
a’in (barang) yang dihutangkannya karena barang tersebut telah
terlepas dari pemilikannya.181
4. Jika dalam akad ditetapkan waktu atau tempo pelunasan hutang,
maka pihak muqridh tidak menuntut pelunasan sebelum jatuh
tempo. Sedangkan apabila tidak ada kesepakatan waktu atau
tempo pengembaliannya, menurut fuqaha Malikiyah pelunasan
hutang berlaku sesuai adat yang berkembang. Misalnya jika
seseorang maminjam satu kwintal padi tanpa dibatasi waktu
pengembaliannya, sedangkan adat utang- piutang padi dibayarkan
setelah musim panen. Mak ketika panen tiba muqtaridh wajib
melunasinya. Jika sama sekali tidak berlaku adat tertentu, maka
pelunasan hutang berlaku semenjak pihak muqtaridh telah selesai
memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan tujuannya.182

181 Ibid, h. 723-724


182 Abdur Rahman al-Zajiriy, Fiqh al-‘Ala Madzahibil Arba’ah,(Beirut: Dar al-Fikr
1996), h. 315

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 167
5. Ketika waktu pelunasan hutang tiba, sedang pihak muqtaridh
belum mampu melunasi hutang, sangat dianjurkan oleh ajaran
Islam agar pihak muqridh berkenan memberi kesempatan
dengan memperpanjang waktu pelunasan, sekalipun demikian ia
berhak menuntut pelunasannya. Pada sisi lain ajaran Islam juga
menganjurkan agar pihak muqtaridh menyegerakan pelunasan
hutang, karena bagaimanapun juga hutang adalah sebuah
kepercayaan dan sekaligus pertolongan, sehingga kebajikan ini
sepantasnya dibalas dengan kebajikan pula, yakni menyegerakan
pelunasannya.

D. Rangkuman
Sesungguhnya utang-piutang merupakan bentuk muamalah yang
bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Sumber ajaran Islam sangat kuat menyerukan prinsip
hidup gotong royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang
untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan
dengan istilah “menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik.

E. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan pengertian Qardh secara umum?
2. Jelaskan pengertian Qardh secara khusus?
3. Jelaskan landasan hukum Qardh?
4. Jelaskan syarat hutang piutang?
5. Jelaskan jenis harta benda yang dapat menjadi obyek utang
piutang?
6. Jelaskan Akad utang piutang jika dikaitkan dengan suatu
persyaratan di luar utang piutang?

Buku Ajar
168 FIQH MUAMALAH
7. Jelaskan perbedaan utang piutang yang bersumber dari jual
beli dan utang piutang ansih (al-qardh)?
8. Jelaskan hukum hutang piutang?
9. Jelaskan ketika waktu pelunasan hutang tiba, sedang pihak
muqtaridh belum mampu melunasi hutang?
10. Jelaskan apabila tidak ada kesepakatan waktu atau tempo
pengembalian hutang piutang?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 169
Buku Ajar
170 FIQH MUAMALAH
BAB

XIII
GADAI (AL-RAHN)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Pengertian dan Syarat Hukum Gadai
b. Menjelaskan Perbedaan gadai Syari’ah dan Gadai Konvensional

A. Pengertian Gadai
Secara etimologi kata ar-rahn nerarti tetap, kekal, dan jaminan.
Akad ar-rahn dalam istilah hokum fositif disebut dengan barang
jaminan, agunan, dan rungguhan.183 Dal Islam ar-rahn merupakan
sarana saling tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan
jasa.
Adanya beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan para ulama
fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang
bersifat mengikat.184
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat
183 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 251
184 Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir bi Syarh ash-Shawi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt),
Jilid. III, h. 302

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 171
tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan
secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti
menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan itu adalah
surat jaminannya.185
Ulama Hanafiyah mendifinisikannya dengan:
Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak
(piutang)itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.186
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendifinisikan ar-rahn
dengan:
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak
bisa membayar hutangnya itu.187
Definisi yang dikemukakan oleh Syafi’iyah dan Hanabilah ini
mengandung pegertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan
utang itu hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat
sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya
manfaat itu, menurut mereka (Syafi’iyah dan Hanabilah), termasuk
dalam pengertian harta. Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan
disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin,
sedangkan yang menerima jaminan disebut murtahin. Barang jaminan
itu baru boleh djual/dihargai apabila dalam waktuyang disetujui kedua
belah pihak, utang tidak dapat dilunasi orang yang berhutang. Oleh
sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan,
apabila orangyang berhutang tidak mampu melunasi utangnya.

185 Ibid., h. 325


186 Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ,ala ad-Darr al-Mukhtar,(Beirut: Dar al-Fikr, tt),
Jilid V, h. 339
187 Asy-Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, (Beirut: Dar Fikr, 1978), Jilid. II, h.21

Buku Ajar
172 FIQH MUAMALAH
B. Dasar hukum Gadai (ar-Rahn)
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan
dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. Dalam surat al-Baqarah
283 Allah berfirman:
Dan jika kamu dalam perjalanan (dalam keadaan bermuamalah
tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang
(pemberi utang)...188
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh
dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal
barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hokum oleh
pemberi piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat
dipegang oleh pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada
semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa jaminan itu berbentuk
sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah.
Dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dengan
menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan.189
Hewan yang digadaikan boleh dinaiki oleh orang yang menerima
gadai disebabkan ia telah mengeluarkan biaya pemeliharaan,
demikian juga air susunya boleh diminum disebabkan ia telah
mengeluarkan biaya pemeliharaan. Biaya perawatan wajib
atas orang yang menaiki atau meminim susu (hewan) yang
digadaikan.190
Mengenai al-marhun (benda yang dijadikan sebagai jaminan
utang) pada prinsipnya seluruh fuqaha sepaka bahwasanya setiap harta
benda (al-mal) yang sah diperjual belikan sah pula dijadikan sebagai
jamianan. Bahkan menurut fuqaha Malikiyah piutang terhadap pihak
188 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ibid, . h. 49
189 Baca Shahih al-Bukhari, dalam kitab al-buyu’, nomor hadiss 1926
190 Baca Shahih al-Bukhari, dalam kitab al-rahn, nomor hadis 2329

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 173
ketiga dapat dijadikan sebagai jaminan utang pihak kedua. Demikian
pula mereka membolehkan jaminan berupa harta berserikat, sekalipun
tidak ada izin dari pihak sekutunya. Hal demikian ini karena menurut
fuqaha Malikiyah al-rahn (jaminan utang) tidak harus disertai
penyerahan barang jaminan.
Menurut jumhur fuqaha akad al-rahn harus disertai penyerahan
barang jaminan. Karena itu menurut mereka piutang dan harta bersama
tidak sah dijadikan jaminan, kecuali ada persetujuan dari sekutunya.
Fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah mempertegas persyaratan al-marhun
harus berupa ‘ain (benda), tidak sah menjaminkan manfaatnya suatu
benda, dan akad ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan
yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama
manusia.

C. Rukun Gadai (al-Rahn)


Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn.
Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu shigat (lafal
ijab dan qabul), orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin), harta
yang dijadikan agunan (al-marhun), dan utang (al- marhun bih). Ulama
Hanfiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya ijab (pernyataan
menyerahkan barang sebagai agunan oleh pemilik barang) dan qabul
(pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang agunan
itu). Di samping itu menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya
akad ar-rahn ini, maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh
pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang
dijadika agunan, dan utang, menurut ulama Hanafiyah termasuk syarat-
syarat ar-rahn, bukan rukunnya.191

191 Imam Kasani, al-Bada’i ash-Shana’i, (Mesir: al-Muniriyah,tt), h. Jilid IV, h. 125

Buku Ajar
174 FIQH MUAMALAH
D. Syarat-Syarat Gadai (al-Rahn)
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat ar-rahn sesuai dengan
rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat ar-rahn
meliputi:192
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur
ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah kedua belah pihak tidak disyaratkan
baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu anak kecil yang
mumayyiz boleh melakukan akad ar-rahn, dengan syarat akad ar-
rah yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat
persetujuan dari walinya.
2. Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu
ar-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan
dengan masa yang akan datang, karena akad ar-rahn sama dengan
akad juala beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat-ayarat
tertentu, atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka
syaratnya batal, sedang akadnya sah. Misalnya, orang yang berhutang
mensyaratkan apabila tenggang waktu telah habis dan utang belum
terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi
utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan.
3. Syarat al-marhun bihi (utang) adalah:
a. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada tempat orang
berhutang
b. Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu
c. Utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para
ulam fiqh adalah:

192 Ibn Rushd, Bidayah al-Mijtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,
1978), Jilid, II, h. 268

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 175
1. Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan
utang
2. Barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan,
karenanya khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan,
disebabkan khamar tidak bernialai harta, dan tidak bermanfaat
dalam Islam.
3. Barang jaminan itu jelas dan tertentu
4. Agunan itu milik sah orang yang berutang
5. Barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain
6. Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran
dalam beberapa tempat
7. Barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun
manfaatnya.

E. Rangkuman
Ar-rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat
Islam, tanpa adanya imbalan jasa. Harta yang dijadikan barang jaminan
tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya
secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan itu adalah surat jaminannya.

Buku Ajar
176 FIQH MUAMALAH
F.Tugas dan Latihan
Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan defenisi Rahn menurut pendapat Ulama?
2. Jelaskan yang dapat dijadikan barang jaminan (agunan)?
3. Jelaskan istilah marhun, rahin dan murtahin dalam pegadaian?
4. Jelaskan dasar hukum gadai?
5. Jelaskan Menurut jumhur fuqaha tentang akad al-rah?
6. Jelaskan perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan rukun
ar-rahn?
7. Jelaskan syarat-syarat ar-rahn?
8. Jelaskan Syarat al-marhun bihi (utang)?
9. Jelaskan Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan)?
10. Jelaskan hukum apabila akad itu dibarengi dengan syarat-
ayarat tertentu, atau dikaitkan dengan masa yang akan datang?

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 177
Buku Ajar
178 FIQH MUAMALAH
BAB

XIV
PERSEWAAN DAN PERBURUHAN (IJARAH)

Capaian Pembelajaran
Setelah menyelesaikan bab ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Memahami Pengertian dan Landasan Hukum Ijarah (Persewaan dan
perburuhan)
b. Menjelaskan Obyekdan Syarat-Syarat Ijarah (Persewaan dan
Perburuhan)

A. Pengertian dan Landasan Hukum Ijarah


Ijarah secara bahasa berarti upah atau sewa. Jasa atau imbalan. Ia
sesungguhnya merupakan transaksi yang memperjual-belikan manfaat
suatu harta benda. Transaksi Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan
muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Adapun definisi ijarah yang disampaikan oleh kalangan fuqaha
antara lain sebagai berikut:
Menurut fuqaha Hanafiyah, ijarah adalah akad atau transaksi
terhadap manfaat dengan imbalan.
Menurut fuqaha Syafi’iyah ijarah adalah transaksi terhadap
manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat
mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 179
Menurut fuqaha Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah
pemilikan manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah
selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan193
Kebolehan transaksi ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan
al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana firman Allah: QS.Al-Baqarah:233,
QS. Al-Zuhruf :32
Jika kamu hendak menyusukan anak kamu (kepada orang lain)
maka tidak berdosa apabila kamu memberikan pembayaran
secara pantas. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ingatlah
bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.194
Apakah kamu yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan penghidupan mereka di dunia ini, dan telah
kami lebihkan sebagian kamu atas sebagian lainnya beberapa
derajat agar sebagian mereka dapat memperkerjakan sebagian
yang lain.195
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah SAW
pernah berbekam, kemudian beliau memberikan kepada tukang
bekam tersebut upahnya.196
Diriwayatkan dari Umar ra, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.197

193 Wahbah al-Zuhailiy, op,cit, Juz IV, h. 731


194 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op,cit,. h. 38
195 Ibid,. h. 490
196 Subulus Salam, Juz III, h. 80
197 Ibid,. h. 81

Buku Ajar
180 FIQH MUAMALAH
B. Obyek dan Syarat-syarat Ijarah
Dalam beberapa definisi yang disampaikan di muka dapat digaris-
bawahi bahwasanya ijarah sesungguhnya merupakan sebuah transaksi
atau suatu manfaat. Dslam hal ini, manfaat menjadi obyek transaksi.
Dari segi ini, ijarah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama ijarah
yang mentrnsaksikan manfaat harta benda yang lazim disebut dengan
persewaan. Misalnya menyewa rumah, pertokoan, kenderaan, dan lain
sebagainya. Kedua, ijarah yang mentransaksikan manfaat Sumber Daya
Manusia yang lazim disebut dengan perburuhan.
Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:198
1. Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas. Hal ini dapat
dilakukan, misalnya dengan memriksa atau pemilik memberikan
informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.
2. Obyek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara
langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
Tidak dibenarkan trnsaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam
penguasaan pihak ketiga
3. Obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan
dengan hokum syara’. Menyewakan VCD porno dan menyewakan
rumah untuk kegiatan maksiat, merupakan contoh kasus transaksi
yang tidak memenuhi syarat yang ketiga ini.
4. Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
Misalnya, sewa-menyewa rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai, buku untuk dibaca, tanah atau kebun untuk ditanami,
dan lain sebagainya. Tidak dibenarkan sewa-menyewa manfaat
suatu benda yang bersifat tidak langsung. Seperti sewa-menyewa
pohon untuk diambil buahnya, atau sewa menyewa hewan ternak
untuk diambil keturunannya, telor, bulu atau susunya. Keturunan,
telor, buah, bulu, air susu adalah materi bukan manfaat. Sebagaimana
disepakati bahwasanya ijarah merupakan sebuah akad yang
198 Wahbah al-Zuhaily, op, cit,. h. 736-749

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 181
mentransaksi harta benda untuk dimanfaatkan sesuai fungsinya,
tidsk untuk mengambil materi yang dihasilkannya.
5. Harta benda yang menjadi obyek ijarah haruslah harta benda yang
bersifat isti’maliy, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan
berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan zat dan pengurangan
sifatnya. Seperti, tanah, rumah, mobil. Sedangkan harta benda yang
bersifat istihlaki, harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya
karena pemakaian seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah
atasnya.199 Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah:
Setiap harta benda yang dimanfaatkan sedang zatnya tidak
mengalami perubahan, boleh diakdkan ujarah, jika sebaliknya
maka tidak boleh.200
Kelima persyaratan di atas harus dipenuhi dalam setiap ijarah
yang mentransaksikan manfaat harta benda.
Adapun ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas
seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya
bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas
jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak,
mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkan terakhir
ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya.
Pendek kata, dalam hal ijarah pekerjaan, diperlukan adanya job
description (uraian pekerjaan). Tidak dibenarkan mengupah
seseorang dalam priode waktu tertentu dengan ketidakjelasan
pekerjaan. Sebab ini cendrung menimbulkan tindakan
kesewenangan yang memberatkan pihak pekerja. Seperti yang
di alami oleh pembantu rumah tangga dan pekerjaan harian.
Pekerjaan yang harus mereka laksanakan bersifat tidak jelas dan
tidak terbatas. Seringkali mereka harus mengerjakan apa saja yang
199 Abdur Rahman al-Jaziry, op,cit,. Juz.III, h. 11
200 Wahbah al-Zuhaily, op,cit, h. 733

Buku Ajar
182 FIQH MUAMALAH
diperintahkan, bos atau juragan.
2. Pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan
yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerja) sebelum
berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang,
mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain. Demikian
juga tidak sah mengupah perbuatan ibadah seperti shalat, puasa
dan lain-lain. Sehubungan dengan prinsip ini terdapat perbedaan
pendapat mengenai ijarah terhadap pekerjaan seorang mu’adzin
(juru azan) imam, dan pengajar al-Qur’an, memandikan jenazah.
Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah tidak sah. Alasan mereka
perbuatan tersebut tergolong pendekatan diri kepada Allah. Dalam
hal ini mereka berpegang kepada kaidah:
“Tidak ada hak upah atas orang yang melakukan amal kepatuhan”
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i ijarah atas pengajaran
al-Qur’an, mengumandangkan adzan dan menjadi imam masjid
adalah boleh. Karena ijarah tersebut berlaku pada suatu pekerjaan
yang jelas dan bukan merupakan kewajiban pribadi. Namun
Imam Syafi’i tidak membenarkan ijarah atas imam shalat fardhu.
Dalam hal ibadah haji Imam Syafi’i membolehkan ijarah untuk
melaksanakan manasik haji.201
Selain persyaratan yang berkenaan dengan obyek ijarah, hukum
Islam juga mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan ujrah
(upah atau ongkos sewa) sebagaimana berikut:
1. Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah tersebut harus
dinyatakan secara jelas. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan sabda
Rasulullah SAW : “Barang siapa mempekerjakan buruh hendaklah
menjelaskan upahnya”. Memperkerjakan orang dengan upah makan,
merupakan contoh upah yang tidak jelas karena mengandung
unsur jihalah (ketidakpastian). Ijarah seperti ini menurut jumhur
fuqaha, selain Malikiyah tidak sah. Fuqaha Malikiyah menetapkan
keabsahan ijarah tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan
201 Ibid,. h. 745

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 183
dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan.
2. Upah harus berbeda dengan jenis onyeknya. Menyewa rumah dengan
rumah lainnya, atau mengupah suatu pekerjaan dengan pekerjaan
yang serupa, merupakan contoh ijarah yang tidak memenuhi
persyaratan ini. Karena itu hukumnya tidak sah, karena dapat
mengantarkan kepada prkatek riba.

C. Beberapa Masalah dalam Praktik Ijarah


1. Perihal Pemanfaatan Barang
Jika seseorang menyewa sebuah rumah temoat tinggal,
maka ia berhak memanfaatkan fungsi rumah tersebut sebagai
tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Ia
juga berha mentasharufkan fungsi rumah tersebut, sepanjang tidak
menyalahi fungsun rumah tersebut.
Jika seseorang menyewa sebidang tanah, maka dalam akad
harus dijelaskan fungsi tanah tersebut, apakah untuk pertanian,
perkebunan atau untuk mendirikan bangunan. Pihak penyewa tidak
berhak memnafaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang dinyatakan
dalam akad.
2. Perihal Perbaikan Obyek Sewa
Terkadang sebuah obyek persewaan tidak dilengkapai
sarana yang layak untuk menunjang fungsinya. Seperti rumah
yang tidak diengkapi dengan sumur, tidak ada saluran air, atau
tidak berjendela, gentengnya pecah-pecah dan lain sebagainya.
Siapakah yang wajib memperbaikinya, pakah pihak penyewa atau
pemilik?
Semua bentuk perbaikan fisik rumah yang berkenaan
dengan fungsi utamanya sebagai tempat tinggal pada prinsipnya
berkewajiban menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun
demikian pihak penyewa tidak berhak menuntut perbaikan fasilitas
rumah. Sebab pihak pemilik menyewakan rumah dengan segala

Buku Ajar
184 FIQH MUAMALAH
kekurangan yang ada. Dan kesepakatan pihak penyewa tentunya
dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang
ada. Kecuali perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad.
Adapun kewajiban pihak penyewa sebatas pada perawatan,
seperti menjaga kebersihan dan tidak merusak. Sebab di tangan
pihak penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat.
3. Kerusakan Barang Sewaan
Akad ijarah dapatlah dikatakan sebagai akad yang menjual-
belikan antara manfaat barang dengan sejumlah imbalan sewa
(ujrah). Dengan demikian tujuan ijarah dari pihak penyewa adalah
pemanfaatn fungsi barang secara optimal. Sedangkan dari pihak
pemilik, ijarah bertujuan untruk mendapatkan keuntungan dari
ongkos sewa.
Apabila obyek sewa rusak sebelum terjadi penyerahan maka
akad ijarah batal. Apabila kerusan tersebut terjadi setelah penyerahan
maka harus dipertimbangkan faktor penyebab kerusakan tersebut.
Kalau kerusakan tersebut tidak disebabkan karena kelalaian atau
kecerobohan pihak penyewa dalam memnfaatkan barang sewaan,
maka pihak penyewa berhak membatalkan sewa dan menuntut
ganti rugi atas tidak terpenuhi haknya memnfaatkan barang secara
optimal. Sebaliknya jika kerusakan tersebut disebabkan kesalahan
atau kecerobohan pihak penyewa, maka pihak pemilik tidak berhak
membatalkan akad sewa, tetapi ia berhak menuntut perbaikan atas
kerusakan barangnya.
Demikian juga bila barang tersebut hilang atau musnah.
Maka segala bentuk kecerobohan menimbulkan kewajiban atau
tanggung jawab atas pelakunya, dan pada sisi lain mendatangkan
hak menuntut ganti rugi baik pihak yang dirugikan.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 185
D.Rangkuman
Transaksi ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah
yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Akad ijarah dapatlah dikatakan sebagai akad yang menjual-belikan
antara manfaat barang dengan sejumlah imbalan sewa (ujrah). Dengan
demikian tujuan ijarah dari pihak penyewa adalah pemanfaatn fungsi
barang secara optimal. Sedangkan dari pihak pemilik, ijarah bertujuan
untruk mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa

E. Tugas dan Latihan


Jawab pertanyaan berikut berdasarkan pemahaman anda tentang
materi yang dibahas dalam bab ini:
1. Jelaskan definisi ijarah yang disampaikan oleh kalangan fuqaha ?
2. Jelaskan Kebolehan transaksi ijarah ini didasarkan sejumlah
keterangan al-Qur’an dan Hadits?
3. Jelaskan pembagian ijarah beserta contoh?
4. Jelaskan persyaratan harta benda yang boleh diakadkan ijarah
atasnya ?
5. Jelaskan persyaratan ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan
atas seorang pekerja atau buruh?
6. Jelaskan hukum Islam mengatur sejumlah persyaratan yang
berkaitan dengan ujrah?
7. Jelaskan prihal pemanfaatan barang ijarah?
8. Jelaskan prihal perbaikan obyek sewa?
9. Jelaskan kerusakan barang sewaan?
10. Jelaskan bila barang yang disewa tersebut hilang atau musnah?

Buku Ajar
186 FIQH MUAMALAH
Daftar Kepustakaan
„Abidin, Ibnu, Radd al-Mukhtar „ala ad-Darr al-Mukhtar. Jilid
5. Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Anggota IKPI, Perbankan Syari‟ah di Indonesia. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2007
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani, 2001
-------, Bank Syari‟ah Wacana Ulama dan Intelektual. Jakarta:
Tazkiah Institut, 1999
Arianti, Farida, Fikih Muamalah 1. Batusangkar: STAIN Batu
Sangkar Press, 2015
Ashiddiqy, T.M Habi, Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974
-------, Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5.
Jakarta:Ichtiyar Baru Van Hoeve
Dardir, Ad-, Asy-Syarh ash-Shaghir bi Syarh ash-Shawi. Jilid 3.
Mesir: Dar al-Ma‟arif, tth.

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 187
Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahannya. Bandung:
Gema Risalah Press, 1989
-------, Al-Qur‟an dan Terjemahnnya. Jakarta: al-Huda, 2005
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2005
Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-. Terjemahan
Fathul Mu‟in. Bandung: Sinar Baru Algensind, 2016
Fauzan, Shalih al-, Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Indah Press, 2005

Ghazali, Abdul Rahman, dkk., Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana,


2010
Hafidz, Ahsin W. Al-, Kamus Ilmu Al-Qur‟an. Cet.2. Jakarta:
Amzah, 2006
Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia. Ciputat: Ciputat
Press, 2005
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2000
Jaziriy, Abdurrahman al-, Kitab al-Fiqh „Ala Mazdahibil
Arba‟ah. Juz 2. Beirut: Dar Fikri, tth.
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam, Telaah Analitik Terhadap Fungsi-
Fungsi Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Kahlaniy, Muhammad bin Ismail al-, Subulus Salam. Juz 3.
Bandung:Maktabah Dahlan, tth.

Buku Ajar
188 FIQH MUAMALAH
Kasani, Imam al-, al-Bada‟i ash-Shana‟i. Jilid 4. Mesir: al-
Muniriyah, tth.
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Khatib, Muhammad Asy-Syarbaini al-, Mugni al-Muhtaj. Jilid 2.
Beirut: Dar Fikr, 1978
-------, Al-„Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuja‟. Dar al-Ihya al-
Kutub: Indonesia, tth.
Latumaerissa, Julius R., Bank dan Lembaga Keuangan Lain.
Jakarta: Salemba Empat, 2012
Mahally, Jalaluddin al-, Qulyubi wa Amirah. Juz 3. Mesir: Mustafa
Babil Halabi, 1956
Manan, Abdul, Ekonomi Islam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Dhana
Bhakti, 1993

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah. Jakarata:


Kencana, 2012
Mas‟adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002
Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan
Munas Ulama NU. Surabaya: Dinamika Press, 1997
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Indonesia-
Arab Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 189
Nawawi, Imam Abu Zakaria Yahya ibn an-, Riyad as-Shalihin.
Jakarta: CV H. Mas Agung, 1980
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2012
Pasaribu, Chairuman & Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1996
PP Muhammadiyah, Himpunan Keputusan Majlis Tarjih
Muhammadiyah. Bandung: Sumber Jaya, 1997
Qal„ahji, Muhammad, Mu„jam Lugatil Fuqaha. Juz 1. Dalam al-
Maktabah asy-Syamilah, al-Ishdar ats-tsani
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Rozalinda, Ekonomi Islam Perspektif Yusuf al-Qardhawi. Padang:
Baitul Hikmah, 2003
-------, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Perbankan
Syari‟ah. Padang: Hayfa Press, 2005
-------, Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2016
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mijtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Jilid 2.
Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Sa‟id, Abd as-Satar Fathullah, al-Muamalat Fi al-Islam. Makkah


al-Mukarramah: Rabithah Alam al-Islami-Iradah al-Kitab
al-Islami, tth

Buku Ajar
190 FIQH MUAMALAH
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah. Juz 3. Libanon: Dar al-Fikr, 1983
Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata.
Jakarta: Lentera Hati, 2007
Sarong, Hamid, dkk., Fiqh. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009
Sholahuddin, Muhammad, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan,
dan Bisnis Syari‟ah. Jakarta: IKAPI, 2011
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Rajawali Press, 2008
Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000
Suyuti, Abdurrahman Ibn Abi Bakar as-, Asybah wa an Naza`ir fi
al-Furu‟. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth.
Syafe‟i, Rachmat, Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia,
2001
Syafi‟i, Abi Yahya Zakariyya Al-Anshari Asy-, Asnal Mathalib.
Juz 5. Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, tth.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana,
2003
Syatibi, Abu Ishaq asy-, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari‟ah. Jilid
II. Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tth.
Triandaru, Sigit, Totok Budiasantoso, Bank Dan Lembaga
Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2010
Wijaya, Faried dan Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga Keuangan
Bank Dan Non Bank. Yogyakarta: Bpffe

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 191
Yasid, Abu (ed.), Fiqh Realitas. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002
Zahrah, Muhammad Abu, Mausuah al-Fiqh al-Islami. Juz 2.
Kairo: Jami‟ah al-Dirasah al-Isalamiyah, 1967
-------, Mausuah al-Fiqh al-Islami. Kairo: Jami‟ah al-Dirasah al-
Isalamiyah. 1967

Buku Ajar
192 FIQH MUAMALAH
Riwayat Hidup
Penulis
Syaflin Halim adalah anak kedua dari lima
bersaudara pasangan suami istri Syaiful Bahri (Alm)
dan Herlina yang dilahirkan di Pasaman pada tanggal
26 April 1983. Setelah menamatkan pendidikan SDN
tahun 1995 dan pesantren Musthafawiyah Purba
Baru di Mandailing Natal tahun 2002. Melanjutkan
pendidikan di Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol
Padang lulus tahun 2007, S2Syariah IAIN Imam Bonjol Padang lulus
tahun 2011 dan S3 Hukum Islam UIN Imam Bonjol Padang lulus tahun
2018.
Mengajar di beberapa perguruan tinggi, Dosen tetap Fakultas
Agama Islam mata kuliah Fiqh Muamalah Universitas Muhammadiyah
Sumatera Barat tahun 2018 sampai sekarang.. Dosen Fakultas Ekonomi
dan Bisnis mata kuliah Fiqh Muamalah dan Pendidikan Agama Islam
Universitas Dharma Andalas 2015 sampai sekarang. Dosen Pendidikan
Agama Islam Universitas Andalas 2013 sampai sekarang. Dosen
Program Magister Pascasarjana mata kuliah Pendekatan Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Tahun 2018 sampai
sekarang. Menulis beberapa karya ilmiah Komparasi Fiqh Hanafiyah
dan Syafiiyah tentang Hukum Menarik Hibah Orang Tua Terhadap
Anak (2007). Efektifitas Keputusan Menteri Agama dalam Penetapan
Awal Ramadhan dan Syawal (2011). Rehabilitasi Sebagai Pengalihan
Sanksi Bagi Penyalahgunaan Narkoba dalam Pandangan Hukum Islam
di Indonesia (2017) dan Dasar-Dasar Fiqh Muamalah dalam Bisnis
Syari’ah (2000).

Buku Ajar
FIQH MUAMALAH 193
Buku Ajar
194 FIQH MUAMALAH

Anda mungkin juga menyukai